Sabara
Balai Litbang Agama Makassar
Jalan AP. Pettarani No 72 Makassar
Email; barackfilsafat@yahoo.co.id
Abstract;
The History of Islamic thought by some schools of kalam (theology) who have
different views with one another. Differences in views on the different schools
of kalam theology in Islam is based on the difference manhaj or epistemology to
understand and believe in the existence of God. The concept of divinity of each
of the flow of Islamic theology in different and sometimes diametrically
opposed in interpreting sentences shared Tawhid, which is La ilaha illallah as
an axiom in Islamic theology. Not only difference of interpretation at the level
of mere theological concepts, but also implications for the realm of social
applications of these theological views. So the difference in the attitude of life is
largely determined by differences in theological outlook.
Keywords:
Asy‟ariyah, Maturudiyah, Mu‟tazilah, Wahabiyah, Syi‟ah
Abstrak;
Sejarah pemikiran Islam oleh beberapa sekolah kalam (teologi) yang memiliki
pandangan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan pandangan tentang
sekolah yang berbeda dari teologi kalam dalam Islam didasarkan pada manhaj
perbedaan atau epistemologi untuk memahami dan percaya pada keberadaan
Tuhan. Konsep ketuhanan dari masing-masing aliran teologi Islam di yang
berbeda dan kadang-kadang bertentangan dalam menafsirkan kalimat Tauhid
bersama, yang merupakan La ilaha illallah sebagai aksioma dalam teologi
Islam. Tidak hanya perbedaan penafsiran pada tingkat konsep teologis semata,
tetapi juga berimplikasi pada ranah aplikasi sosial pandangan teologis. Jadi
perbedaan dalam sikap hidup sangat ditentukan oleh perbedaan pandangan
teologis.
Kata Kunci;
Asy‟ariyah – Maturidiyah – Muktazilah – Wahabi - Syiah
I. PENDAHULUAN
Dalam Islam pembahasan mengenai masalah ketuhanan terdapat dalam
bidang filsafat dan kalam (teologi) Pengkajian filosof muslim mengenai
ketuhanan biasanya berkisar pada menetapkan adanya Tuhan berdasarkan
argumen rasional, hubungan zat Tuhan dengan sifat-sifatNya, hubungan
perbuatan Tuhan dengan manusia, hakekat qadha dan qadhar Tuhan, serta
hakekat kejahatan dan hubungannya dengan Tuhan.1 Jika filsafat lebih
mendasarkan argumentasinya pada akal, maka ilmu kalam lebih mendasarkan
argumentasinya pada naql (wahyu).
Bagi pemikiran teologi (kalam), agama adalah persoalan hidup dan mati
(ultimate concern) yang tidak dapat dengan mudah diganti.2 Pada awal teologi
dipandang sebagai bagian dari hukum (fiqh), namun kemudian wacana teologi
berkembang secara massif hingga melahirkan berbagai aliran yang
bertentangan satu sama lain dalam sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu
kalam. Persoalan yang dihadapi oleh ilmu kalam ialah bagaimana menetapkan
kepercayaan-kepercayaan mendasar dalam Islam dengan bukti yang
meyakinkan, yaitu mengenai wujud Allah, sifat-sifatNya, perbuatan Tuhan,
Rasul, Alquran, dan Eskatologi. Mu‟tazilah merupakan aliran pertama dalam
teologi yang fokus pada pembahasan seputar tema-tema ketuhanan yang
kemudian disusul oleh munculnya aliran Asy‟ariyah, Maturudiyah, dan lain-
lain.3
Sekalipun terjadi perbedaan yang cukup signifikan dalam pembahasan
mengenai masalah-masalah ketuhanan, namun kesemuanya itu berdasarkan
pada aksioma yang sama, yaitu La ilaha illallah sebagai kalimat Tauhid yang
menjadi fondasi utama dalam akidah Islam. Kalimat Tauhid tersebut terdiri
atas dua frase, yaitu ”La ialaha” sebagai frase negasi (nafy) yang menegasikan
segala eksistensi wujud mutlak baik dalam pahaman manusia serta frase
”Illallah” sebagai frase afirmasi (itsbat) yang menyiratkan pengakuan akan
eksistensi Allah sebagai Wujud Mutlak yang mesti diimani secara total melebihi
apa pun.4
Dalam Islam, kalimat La ilaha illallah diterima sebagai postulat yang
menjadi penanda keberislaman dan keberimanan seseorang. Hanya saja,
penafsiran tentang kalimat Tauhid itulah yang kemudian terjadi perbedaan dan
perdebatan hingga melahirkan banyak aliran pemikiran dalam memahami
konsep ketuhanan dalam Islam. Oleh karena itu, fokus dalam tulisan ini adalah,
bagaimana perdebatan aspek-aspek ketuhanan dalam teologi dan kaitannya
dengan kalimat Tauhid?. Kemudian terjabarkan dalam tiga pokok pembahasan,
yaitu; bagaimana perdebatan seputar epistemologi ketuhanan?, bagaimana
perdebatan seputar konsep ketuhanan?, dan bagaimana perdebatan konsep
ketuhanan dan relasinya dengan kehidupan sosial?
II. PEMBAHASAN
A. Perdebatan Epistemologi Ketuhanan (Manhaj Kalam)
Bagaimana manusia bisa mengetahui dan meyakini akan eksistensi
Tuhan?, merupakan pertanyaan dasar seputar epistemologi ketuhanan atau
manhaj kalam. Pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk mengetahui
kerangka paradigmatik dari masing-masing aliran teologi dalam menyusun
kerangka dan formulasi konsep teologinya. Secara umum perbedaan dalam
manhaj kalam didasarkan pada perbedaan dalam memposisikan peran akal dan
wahyu dalam kaitannya dengan konsep ketuhanan.
Mu‟tazilah dianggap sebagai aliran yang sangat menitikberatkan peran
akal dalam manhaj kalamnya. Hal ini bertentangan secara diametral dengan
aliran Asy‟ariyah yang lebih mendasarkan manhaj kalamnya pada pendekatan
skriptualistik dalam memahami nash Al-quran maupun hadis. Mu‟tazilah
memberikan kepercayaan yang penuh pada kekuatan akal manusia.
Epistemologi kaum Mu‟tazilah ini ialah mempergunakan akal dan kemudian
memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal.
Sehingga kaum Mu‟tazilah banyak memakai ta‟wil dalam memahami nas
wahyu atau dengan kata lain, Mu‟tazilah lebih cenderung membaca yang
tersirat dari teks.5 Itulah sebabnya Mu‟tazilah kemudian berkembang menjadi
sebuah aliran kalam yang bercorak rasional dan bahkan cenderung bersifat
liberal dalam pemikiran kalamnya.
Berbeda secara diametral dengan Mu‟tazilah, kelompok Asy‟ariyah lebih
cenderung bergantung pada wahyu dalam memahami konsep-konsep
ketuhanan. Berkebalikan dengan Mu‟tazilah, kalam Asy‟ariyah terlebih dahulu
beranjak kepada teks wahyu dan kemudian memberikan argument-argumen
rasional untuk teks tersebut. Jika Mu‟tazilah banyak berpegang pada ta‟wil atas
teks, Asy‟ariyah lebih berpegang pada arti harfiah dari teks wahyu. Dengan
kata lain, kelompok Asy‟ariyah membaca teks secara tersurat.6 Akhirnya manhaj
kalam Asy‟ariyah jatuh pada manhaj kalam tradisional yang tidak terlalu
banyak melibatkan logika dan filsafat dalam memahami petunjuk nas.7
Kalam Asy‟ariyah dalam manhaj kalamnya lebih cenderung memandang
kalimat tauhid pada sebagai kalimat yang menegasi (nafy). Dan implikasinya
menolak segala bentuk ta‟wil dan analogi menyangkut masalah-masalah
ketuhanan. Perkembangan selanjutnya dari kalam Asy‟ariyah, lebih banyak
diwarnai dengan corak sufistik, khususnya dari al-Ghazali, al-Baqillani, dan al-
Juwaini. Mereka inilah yang kemudian mengembangkan pemikiran kalam
Asy‟ariyah. Sehingga tampak di permukaan, khususnya di kalangan umat
Islam Indonesia, pemikiran kalam Asy‟ariyah yang telah diramu dan diwarnai
oleh pemikiran sufistik al-Ghazali dan tokoh tasawuf lainnya. Sehingga
terkesan manhaj kalam Asy‟ariyah adalah manhaj kalam yang cenderung
sufistik.8 Manhaj dan konsep kalam Asy‟ariyah juga menemukan pembelaan
filosofisnya melalui seorang mutakallim Asy‟ariyah yang juga seorang filosof
muslim terkemuka yaitu Fakhr al-Din al-Razi. Secara umum kalam Asy‟ariyah
menjadi pemikiran kalam yang mainstream dalam dunia Ahlussunnah (Sunni).
Pandangan kalam Asy‟ariyah ini memiliki kesamaan dengan pandangan
kalam kelompok Wahabi9 yang aksentuasi manhaj kalamnya pada purifikasi
akidah (Tauhid) umat Islam. Segala bentuk ta‟wil atau analogi tentang Allah
merupakan sebuah pemahaman yang bertentangan dengan kalimat Tauhid,
sehingga dapat merusak Tauhid umat. Pada praksisnya, manhaj kalam Wahabi
justru lebih memperlihatkan ortodoksi pemikiran dibandingkan Asy‟ariyah.
Bahkan lebih dari Asy‟ariyah, kalam Wahabi sangat tekstual dalam memahami
nas-nas teologi dalam Alquran maupun hadis dan sangat menentang segala
bentuk penggunaan akal dalam pandangan teologi.
Di samping kalam Asy‟ariyah dan Wahabi, aliran kalam yang juga eksis
di dunia Sunni adalah kalam Maturudiyah. Secara umum, manhaj kalam
Maturudiyah berposisi sebagai sintesa dari manhaj kalam Mu‟tazilah yang
cenderung “liar” dalam penggunan akal serta manhaj kalam Asy‟ariyah yang
sangat menekankan pada otoritas makna harfiah nas. Sehingga manhaj kalam
Maturudiyah tampak mengambil jalan tengah antara dikotomi akal dan naql
(nas) Bebas dari ikatan fanatisme terhadap ortodoksi tradisional tetapi tetap
mempedomani naql sebagai kebenaran mutlak. Akal bukan disejajarkan dengan
naql, melainkan digunakan untuk memahami naql. Dengan demikian manhaj
kalam Maturudiyah terlihat berada pada posisi tengah antara manhaj kalam
Mu‟tazilah yang rasional dan manhaj kalam Asy‟ariyah yang literal. Dari sisi
naql, manhaj kalam Maturudiyah lebih dekat dengan Asy‟ariyah, sdangkan dari
segi penggunaan akal, manhaj kalam Maturudiyah lebih dekat dengan
Mu‟tazilah.10 Corak manhaj kalam Maturudiyah ini berimplikasi pada
bangunan konsep teologinya yang cenderung lebih rasional dibandingkan
Asy‟ariyah namun tidak seliberal Mu‟tazilah.
Berbeda dengan aliran-aliran kalam yang ada di dunia Sunni, di dunia
Syiah bangunan konsep kalam termasuk belakangan baru tersusun secara
sistematis. Secara konseptual, pemikiran kalam Syiah baru tersusun secara
sistematis oleh Nashr al-Din al-Thusi, seorang ulama Syiah yang hidup sekitar
abad 14 Masehi.11 Nashr al-Din al-Thusi merupakan seorang ulama yang juga
seorang filosof aliran paripatetik (masysya‟iyyah). Sehingga dalam manhaj
kalamnya sangat diwarnai oleh corak berpikir filsafat paripatetik. Secara
umum, manhaj kalam di dunia Syiah sangat memberikan porsi yang cukup
besar dalam penggunaan akal. Hal ini didasarkan pada frase nafy dalam
kalimat Tauhid, yang meniscayakan pengingkaran rasional terhadap segala
macam pahaman tentang Ilah atau wujud mutlak. Frase afirmasi “Illallah”
merupakan simbolitas dari capaian akhir pencaharian rasionalitas manusia
akan Sang Wujud Mutlak yang keberadaanNya bersifat Wajib al-Wujud.12 Posisi
akal dan naql dalam manhaj kalam Syiah didudukkan dalam porsi yang sama
sebagai penuntun kebenaran fitrawi manusia akan sang Khalik. Rasio manusia
menuntun manusia pada aksioma dasar akidah, khususnya tentang kebenaran
Dia di luar dari apa pun termasuk pemahaman mnausia. Oleh karena itu nalar
manusia tak akan mungkin mampu memahami Dia sebagaiamana Dia. Akal
manusia hanya mengantarkan manusia pada batas-batas pembuktian akan
keberadaan dan keesaanNya saja. 23 Terkait dengan frase Nafy dalam kalimat
Tauhid, Tauhid Zat adalah menafikan apa pun yang seperti Allah baik dalam
pemahaman maupun kenyataan. Dan terkait dengan frase itsbat, tauhid Zat
bermakna pengakuan akan eksistensi Allah yang melebihi dari segala apa pun
dan tidak ada yang serupa denganNya.
Dalam hal Tauhid Sifat, kalam Syiah mengakui bahwa Zat dan Sifat-sifat
Allah adalah identik. Tauhid Sifat bermakna menafikan pluralitas dalam
ZatNya sebagai keniscayaan akan keesaanNya.24 Tauhid Sifat dalam kalam
Syiah memiliki kesamaan dengan Mu‟tazilah yang cenderung menafikan Sifat
Allah sebagai entitas yang mandiri. Sifat Allah merupakan realitas i‟tibari yang
eksistensinya idnetik dengan Zat Allah. Nama dan Sifat-sifat merupakan
atribusi-atribusi artifisial yang dilekatkan kepada Allah dalam upaya untuk
memudahkan memahami tentang Allah, karena memahami Zat Allah adalah
suatu hal yang mustahil. Dalam Kalam Syiah, Sifat Allah terbagi dalam dua
kategori, yaitu Sifat Zati dan Sifat Af‟ali.25 Yang pertama merupakan Sifat Allah
yang dikaitkan dengan DiriNya sendiri, seperti Sifat Wujud, Qadim, Esa,
Quddus, dan lain-lain. Sedangkan Sifat Af‟ali adalah Sifat-sifat Allah yang
dilekatkan atas dasar relasi antara Allah dan makhlukNya. Seperti Sifat
Rahman, Rahim, Khaliq, Ghafur, dan lain-lain.
Konsep tentang Allah dalam kalam Syiah banyak dipenngaruhi oleh
pandangan filsafat dan sufisme atau irfan. Allah dipahami sebagai Causa Prima,
Wujud Mutlak (Wajib al-Wujud), Cahaya di atas segala cahaya (al-Nur al-anwar),
dan Wujud qua wujud (Wujud Murni). Konsep Wahdat al–Wujud diterima
sebagai keyakinan mainstream yang berbeda dengan pandangan kalam di dunia
Sunni. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh konsep irfan Ibn „Arabi dan
filsafat wujud Mulla Shadra. Tauhid dipahami sebagai kesatuan dengan Allah
yang menafikan kesadaran akan segala sesuatu selain Allah, dalam pengertian
tidak ada segala sesuatu yang eksis secara mandiri selain Dia. 26 Pandangan ini
didasarkan pada pahaman frase nafy dalam kalimat Tauhid yang meniscayakan
penafian akan wujud-wujud lain yang mandiri selain Allah. Karena Wujud
pada dasarnya adalah tunggal, maka proses penciptaan alam semesta
merupakan proses gradasi dari Wujud Murni yang melahirkan tingkatan-
tingkatan wujud dalam ciptaan atau yang dikenal dalam filsafat Shadra dengan
istilah tasykik al-wujud.
Perbedaan yang sangat tajam dalam konsep ketuhanan dalam teologi
Islam menjadikan wacana teologi Islam menjadi sangat kaya dalam hal tema-
tema pembahasan dan pendekatan dalam memahami tema-tema tersebut.
Namun, di sisi lain perbedaan tersebut terkadang melahirkan konflik
horizontal yang cukup tajam antara masing-masing kelompok. Sangat banyak
catatan sejarah bertutur tentang arogansi suatu golongan teologi yang ketika
adalah satu hal yang sangat urgen dalam rangka pembenahan kondisi umat
Islam menuju keadaan yang lebih baik. Teologi islam yang lebih bercorak
antroposentris adalah corak teologi yang sangat dibutuhkan dalam menjawab
kondisi kekinian umat Islam yang terpuruk pada keterbelakangan dan
ketertinggalan dari umat-umat yang lain. Dalam rangka menyusun format
kerangka teologi yang bersifat antroposentris sangat dibutuhkan penafsiran
baru yang rasional dan ilmiah, serta tetap berdasarkan pada nash suci (Al-quran
dan hadis) sebagai rujukan doktrinal dalam menyusun kerangka teologi yang
konstruktif bagi umat Islam.
Menurut Toshio Kuroda, dalam menyusun konstruk teologi yang
memiliki relevansi dalam menjawab persoalan-persoalan yang senantiasa
muncul dalam perjalanan manusia sepanjang zaman. Didasarkan pada
keyakinan bahwa Islam adalah norma kehidupan yang sempurna dan mampu
beradaptasi pada setiap bangsa dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi
dan universal yang menyangkut seluruh aktivitas dari seluruh suasana
aktivitas kemanusiaan tanpa perbedaan apakah ia aktivitas mental atau
aktivitas duniawi.29
Berdasarkan pernyataan Toshio Kuroda tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Islam mencakup bidang-bidang keduniaan, mental, dan sekaligus
ketuhanan. Dengan demikian teologi (Tauhid) memiliki fungsi vital dalam
pemikiran umat Islam, dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam
peradaban.30 Tauhid haruslah bermakna penyatuan atau kesatuan antara
dimensi transenden (spiritual) dan imanen (sosial). Antara realitas ilahiyah
yang transenden dengan realitas alam dan manusia yang imanen tak memiliki
keterpisahan yang kaku sehingga tak bsia diposisikan secara biner. Dalam
pandangan Murtadha Muthahhari, konstruksi teologi (Tauhid) akhirnya, harus
menjadi sebuah pandangan dunia (world view) Tauhid yang bersifat unipolar
dan uniaxial.31
Menurut Allamah Husein Thabaththaba‟I kalimat Tauhid sebagai nilai
dasar dalam akidah Islam meniscayakan akan terwujudnya tatanan masyarakat
yang didasarkan pada beberapa prinsip dasar kemanusiaan. Yang pertama
adalah prinsip persamaan (egalitarianisme) yang mnyiratkan makna bahwa
posisi manusia pada dasarnya adalah sama. Pangkat, golongan, suku, dan
kekayaan bukanlah parameter yang menjadi ukuran kemuliaan seseorang di
masyarakat. Kemuliaan seseorang didasarkan pada kedekatan hubungannya
dengan Allah sebagai modus existence. Kedua adalah prnsip realisme, di mana
pandangan dunia Tauhid meniscayakan sebuah keyakinan teologis yang
berimplikasi secara langsung pada kenyataan hidup manusia sehari-hari dan
menjadi landasan dalam setiap gerak kehidupan manusia. Dan yang ketiga
adalah prinsip keseimbangan antara wilayah material dan spiritual, ranah
individual dan sosial manusia.32
Dalam kaitannya dengan konsep La ilaha illallah, kalimat tauhid tersebut
harus terejawantah dalam seluruh tata kehidupan manusia. Internalisasi
III. PENUTUP
Perbedaan dalam pandangan teologi pada berbagai aliran kalam dalam
islam didasarkan pada perbedaan manhaj atau epistemologi dalam memahami
dan meyakini eksistensi Allah. Konsep ketuhanan antara masing-masing aliran
teologi dalam Islam berbeda bahkan terkadang bertentangan secara diametral.
Perbedaan ini membuat munculnya firqah-firqah kalam dalam Islam yang di
satu sisi memperkaya khasanah tema-tema teologi Islam namun juga di sisi lain
terkadang menjadi pemicu perpecahan dan konflik di kalangan umat islam.
Dengan menelisik manhaj ketuhanan aliran kalam dalam Islam, maka
kita akan mengetahui akar-akar perbedaan pandangan teologi dari masing-
masing aliran kalam. Hingga kita bisa menyusun kerangka epistemologi
ketuhanan yang mumpuni. Sehingga dengan itu dapat tersusun konstruksi
konsep teologi Islam yang par excellence.
Perbedaan konsep ketuhanan dalam setiap aliran kalam dalam Islam
telah memperkaya khasanah pemikiran teologi Islam, selain membuat tema-
tema teologi Islam menjadi lebih luas secara konseptual, perlu juga dilakukan
pendekatan multidisipliner dalam menyusun kerangka konsep teologi Islam,
sehinga tema ketuhanan dalam Islam bisa lebih bersifat dinamis. Oleh karena
itu, perlu disusun sebuah kerangka teologi Islam yang benar-benar menyentuh
permasalahan realitas kemanusiaan. Sehingga teologi Islam dapat benar-benar
menjadi wacana yang membumi.
Endnotes
1
Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i (Cet, I; Bandung:
Teraju, 2003), h. 3.
2
A. Khudori Saleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Cet, I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.
29.
3
Cyril Glase, The Concise Ensiklopedia of Islam, (Cet, I; London: Stacey International, 1990), h.
202.
4
Murtadha Muthahhari, Islamic of World View, Cet, II; London: Zahra Foundation Press, 1992),
h. 33.
5
Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II, (Cet, VI; Jakarta: UI
Press, 1986), h. 42.
6
Lihat ibid.
7
Noer Iskandar al-Barsany, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturudi, (Cet, I; Jakarta:
Srigunting Press, 2001), h. 89.
8
Ibid., h. 89-90.
9
Aliran revivalis Islam yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan lahir serta
berkembang di Hijaz pada abad 18. Secara epistemic, pemikiran kalam Wahabi merupakan
pengembangan lebih alnjut dari pemikiran kalam Ibnu Taimiyah yang bercorak neo Hambali. Aliran ini
sangat keras dalam menekankan purifikasi akidah umat, sehingga pada prakteknya cenderung sangat tidak
toleran pada berbagai paham yang menurut mereka bertentangan dengan ajaran Islam. Lihat Ja’far
Subhani, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, (Cet, I; Qum: Maktabah Tauhid, 2000), h. 11-19.
10
Lihat Noer Iskandar al-Barsany, ibid., h. 90-91.
11
Murtadha Muthahhari, Fundamental of Islamic Teology, (Cet, IV; Teheran: Islamic
Propagation Organization, 1997), h. 34.
12
Murtadha Muthahhari, Islamic of World View… h. 45.
13
Akidah Syiah terdiri atas lima poin dasar yang dikenal dengan istilah ushul al-khamsah, yaitu;
Tauhid, al-Adl al-Ilahi, nubuwwah, imamah, dan ma’ad. Tauhid, nubuwwah, dan ma’ad merupakan ushul
al-din, sedangkan al-adl al-ilahi dan imamah merupakan ushul mazhab.
14
Lihat ibid., h. 49-50.
15
Hal ini didasarkan pada ucapan Ali bin Abu Thalib dalam Nahj al-Balaghah, “Pangkal agama
adalah pengetahuan tentang Dia”. Lihat Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah, Diterjemahkan oleh Muhammad
Hashem dengan Judul Mutiara Sastra Ali, (Cet, I; Jakarta; al-huda, 2009), h. 37.
16
Hasan Abu Ammar, Akidah Syiah Seri Tauhid, (Cet, I: Jakarta: yayasan al-Muntazhar, 1992),
h. 45.
17
Lihat Cyril Glase, op. cit., h. 409.
18
Lihat Noer Iskandar al-Barsany, op. cit., h. 81.
19
Noer Iskandar al-Barsany, op. cit., h. 33.
20
Ibid., h. 91-92.
21
Lebih lengkap mengenai dalil-dalil pembuktian akan keberadaan dan keesaan Allah dalam
akidah Syiah, lihat Hasan Abu Ammar, op. cit. h. 45-219.
22
Lihat Syarif Radhi, Nahj Balaghah, op. cit., h. 37-40.
23
Ja’far Subhani, Illahiyat Jilid I, (Cet, II; Qum: Maktabah Tauhid, 2002), h. 34.
24
Lihat Ibid., h. 43.
25
Ibid., h. 46.
26
Cyril Glase, loc. cit.
27
Lihat AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Cet, I; Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), h. 44-
45.
28
Lihat Hassan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, diterjemahkan oleh Asep Usman Ismail,
Suadi Putro, dan Abdul Rauf dengan Judul Dari Akidah ke Revolusi (Cet, I; Jakarta: Paramadina, 2003),
h. 39.
29
Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan
Hanafi’s Thought : a Critical Reading, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula dengan
Judul Islam Kiri: Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (Cet.
VII; Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 16.
30
Ibid.
31
Lihat Murtadha Muthahhari, Syesyi Makoleh, diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan
dengan Judul Kumpulan Artikel Pilihan (Cet, I; Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h, 221.
32
Lihat Allamah Husein Thabaththaba’I, Muhammad in the Mirror of Islam, Diterjemahkan oleh
Husein Anis al-habsy dengan Judul Hikmah Islam. (Cet, IV; Bandung: Mizan, 1993), h. 23-35.
33
Jauh sebelum slogan liberte, freternite, dan egalite didengungkan dalam revolusi Prancis tahun
1789. Rasulullah saw dengan revolusi Tauhidnya secara tidak langsung telah memperkenalkan konsep-
konsep tersebut sebagai nilai dasar dalam sistem sosial masyarakat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ammar, Hasan Abu, Akidah Syiah Seri Tauhid. Jakarta: Yayasan al-Muntazhar.
1992.
Glase, Cyril. The Concise Ensiklopedia of Islam. London: Stacey International. 1990.
Hanafi, Hassan. Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, diterjemahkan oleh Asep Usman
Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rauf dengan Judul Dari Akidah ke
Revolusi. Jakarta: Paramadina. 2003.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Jakarta: UI Press,
1986.
Shaleh, Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Shimogaki, Kazuo. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr.
Hassan Hanafi‟s Thought : a Critical Reading. Diterjemahkan oleh M. Imam
Aziz dan M. Jadul Maula dengan Judul Islam Kiri: Antara Modernisme dan
Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanaf. Yogyakarta: LKiS.
2004.
_______, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Qum: Maktabah tauhid. 2000.