II.TUJUAN PERCOBAAN :
2.1. Menentukan kadar tembaga dalam sampel dengan metode elektrolisis
2.2. Menentukan kadar tembaga dalam sampel dengan metode titrasi kompleksometri
IV.CARA KERJA
a. Penyiapan larutan sampel
Ditimbang dengan teliti 1.5 gram sampel tembaga dan dimasukkan ke dalam gelas kimia
100 mL. Sampel dilarutkan dengan asam sulfat encer dan dipindahkan secara kuantitatif ke
dalam labu takar 100 mL, lalu diencerkan hingga tanda batas.
b. Elektrolisis
Penyiapan Elektroda Kerja
Elektroda kasa tembaga dicuci dengan asam nitrat 1:1 dan dibilas dengan aqua dm.
Elektroda dibilas dengan alkohol lalu aseton, kemudian ditempatkan di atas kaca arloji dan
dikeringkan dalam oven suhu 105oC. Setelah 15 menit, elektroda dikeluarkan dari oven dan
didinginkan dengan desikator kemudian ditentukan beratnya menggunakan neraca analitis.
Proses pengeringan ini diulang hingga berat dari elektroda konstan.
Elektrolisis
Larutan sampel dipipet 25 mL ke dalam gelas piala 100 mL dan ditambahkan 2 mL asam
sulfat pekat dan 1 mL larutan asam nitrat ke dalam gelas kimia, lalu ditambahkan 1 gram
ureum. Air bebas mineral ditambakan hingga elektroda terendam. Elektrolisis dijalankan
dengan potensial antara 3-4 V dengan arus 2-4 hingga larutan menjadi bening. Katoda
dikeluarkan dari dalam larutan, dibilas dengan aqua dm lalu dicuci dengan alkohol dan aseton.
Elektroda dikeringkan dan ditimbang hingga berat elektroda menjadi konstan.
c. Titrasi Kompleksometri
Pembakuan larutan EDTA
Larutan EDTA 0,05 M diencerkan lima kali di dalam gelas kimia 250 mL menjadi larutan
baku 0,01 M. Sebanyak 0,24 gram magnesium sulfat heptahidrat ditimbang dan dilarutkan
dengan air dalam gelas kimia 100 mL. Larutan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu
takar 100 mL dan diencerkan hingga tanda batas. Larutan EDTA 0,01 M dibakukan dengan
larutan baku magnesium sulfat yang telah dibuat dengan indikator EBT/NaCl dan buffer pH
10. Titrasi dilakukan secara duplo.
Penentuan kadar tembaga dalam larutan sampel
10 mL larutan sampel tembaga dipipet ke dalam labu takar 100 mL dan diencerkan
hingga tanda batas. Larutan yang telah diencerkan ini dipipet 25 mL ke dalam erlenmeyer 250
mL dan ditambahkan basa ammonia, 25 mL aqua dm, dan sedikit indikator murexide. Larutan
ini dititrasi dengan larutan baku EDTA 0,01 M hingga berwarna biru ungu. Titrasi dilakukan
secara duplo.
V. DATA PENGAMATAN
1. Penentuan Kadar Tembaga Dalam Sampel Metode Elektrolisis
-Penyiapan larutan Sampel
Wsampel tembaga 1.5067 gram
-Penyiapan Elektroda Kerja dan Elektrolisis
Welektroda sebelum elektrolisis 17.5759 gram 17.5760 gram
Welektroda setelah elektrolisis 17.6156 gram 17.6157 gram
massa Cu = m
̅ elektroda dan sampel − m
̅ elektroda kosong = 0.0397 g
massa Cu 0,0397 g 100
% Kadar Cu = × fp × 100% = × × 100% = 10.54%
massa sampel 1,5067 25
VII. PEMBAHASAN
Pada percobaan ini, dilakukan penentuan kadar tembaga dalam sampel dengan metode
elektrogravimetri dan titrasi kompleksometri. Pada metode elektrogravimetri menggunakan
prinsip elektrolisis yang mereduksi ion pada katoda (Cu2+) sehingga terbentuk endapan.
Beberapa fungsi reagen dan perlakuan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
Pada penyiapan larutan sampel, sampel dilarutkan dengan reagen assam sulfat encer agar
sampel padatan dapat larut. Reaksi yang terjadi adalah :
Cu(s) + H2SO4(aq) -> CuSO4(aq) + H2(g)
Penyiapan katoda elektroda kasa tembaga dilakukan dengan mencuci katoda dengan
HNO3 1:1 untuk menghilangkan endapan tembaga atau zat pengotor lainnya yang melekat pada
elektroda kasa tembaga. Cu yang mengendap pada elektroda kasa, akan larut kedalam HNO3
ditandai dengan warna larutan menjadi biru muda.
Pada proses elektrolisis, potensial listrik diatur pada rentang 3-4 volt dengan kuat arus 2-
4 A. Potensial reduksi Cu2+ berlangsung pada rentang potensial tersebut, sehingga proses
reduksi Cu berlangsung secara optimal. Pada anoda, elektroda platina, terbentuk gelembung-
gelembung udara. Gelembung tersebut merupakan gas oksigen terbentuk dari proses oksidasi
air. Elektrolisis dihentikan saat larutan berwarna bening, yang menandakan ion tembaga telah
tereduksi semua. Selain itu warna elektroda kasa juga menjadi merah bata.
Metode lain dalam menentukan kadar Cu dalam sampel adalah titrasi kompleksometri.
Fungsi penambahan EBT adalah sebagai indikator yang spesifik terhadap Mg2+ dan
memberikan perubahan yang stabil. Saat Mg2+ habis, maka larutan yang dititrasi akan berubah
warnanya. Fungsi penambahan buffer pH 10 adalah untuk menjaga EDTA agar memiliki spesi
Y4-
Mg2+ + Y4- Mg2Y2-
Berikut ini merupakan struktur EDTA dan indikator EBT :
Fungsi penambahan murexide adalah sebagai indikator yang baik terhadap Mg2+ dan
memberikan perubahan yang stabil. Saat Cu2+ habis, maka larutan yang dititrasi akan berubah
warnanya. Fungsi penambahan ammonia adalah untuk memberikan kondisi suasana larutan
tetap basa. Fungsi penambahan buffer pH 10 adalah untuk menjaga EDTA agar memiliki spesi
Y4-
Cu2+ + Y4- Mg2Y2-
Pada pembakuan larutan EDTA, Mg2+ akan cenderung melepaskan ikatannya dengan EBT dan
lebih suka berikatan dengan EDTA. Berdasarkan struktur, EBT memiliki 1 sisi gugus yang
dapat berikatan dengan Mg2+ sedangkan EDTA memiliki 2 sisi gugus yang dapat berikatan
dengan Mg2+. Kecenderungan Mg2+ berikatan dengan EDTA dibandingkan EBT juga dapat
dijelaskan melalui Kf nya. Kf MgEDTA sebesar 4.9 x 108 dan Kf MgEBT sebesar .Nilai
Kf MgEBT < Kf MgEDTA menyebabkan kecenderungan Mg2+ lebih mudah membentuk
kompleks dengan EDTA. Proses yang terjadi adalah :
MgEBT(aq) + EDTA(aq) -> MgEDTA(aq) + EBT(aq)
Pada penentuan kadar tembaga dengan titrasi kompleksometri, digunakan indikator
murexide karena Cu2+ biru pekat dengan murexide kemerahan menghasilkan warna biru ungu
yang mudah untuk dilihat. Berikut ini struktur dari indikator murexide :
Cu2+ akan cenderung melepaskan ikatannya dengan murexide dan lebih suka berikatan dengan
EDTA. Berdasarkan struktur, murexide memiliki 1 sisi gugus yang dapat berikatan dengan
Cu2+ sedangkan EDTA memiliki 2 sisi gugus yang dapat berikatan dengan Cu2+.
Kecenderungan Cu2+ berikatan dengan EDTA dibandingkan murexide juga dapat dijelaskan
melalui Kf nya. Kf CuEDTA sebesar 6.3 x 1018 dan Kf Cu-murexide sebesar .Nilai Kf
Cu-murexide < Kf CuEDTA menyebabkan kecenderungan Cu2+ lebih mudah membentuk
kompleks dengan EDTA.
Persentase hasil yang diperoleh dari kedua metode analisis kadar Cu dalam sampel adalah
pada metode elektrogravimetri (elektrolisis) kadar Cu dalam sampel sebesar 10.54% dan pada
metode titrasi kompleksometri, kadar Cu dalam sampel sebesar 11.87%
Berdasarkan percobaan kadar Cu dalam sampel lebih besar terukur pada titrasi
kompleksometri karena galat konsentrasi EDTA sebesar 0.005 M dari yang seharusnya, selain
itu terjadi galat paralaks dalam penentuan warna biru ungu sebagai titik akhir titrasi larutan
sampel tembaga menyebabkan volume yang diperoleh menjadi tidak akurat. Serta pada
pengukuran volume galat terjadi pada 10-2 dari pengukuran dan dipengaruhi oleh tekanan dan
suhu. Seharusnya elektrogravimetri metode elektrolisis lebih baik dibandingkan titrasi
kompleksometri karena pengukuran massa memiliki galat 10-4 dan dipengaruhi oleh gravitasi
bumi. Endapan tembaga tidak sensitif terhadap perubahan tekanan dan suhu yang rendah.
Selain itu, dengan elektrogravimetri metode elektrolisis, ion Cu2+ akan tereduksi semua dengan
voltase dan arus tetap yang hanya mempengaruhi waktu elektrolisis. Massa Cu metode
elektrogravimetri pada percobaan lebih sedikit terjadi karena beberapa faktor. Faktor pertama
disebabkan oleh voltase dan arus melebihi yang seharusnya sehingga terbentuk gas hidrogen
yang dapat mereduksi massa tembaga. Selain itu setelah elektrolisis, elektroda kasa tembaga
langsung dicuci dengan aqua dm, alkohol dan aseton tanpa dilakukan pemanasan menyebabkan
endapan terbawa larut kembali.
VIII. KESIMPULAN
Pada percobaan elektrogravimetri penentuan kadar tembaga, dapat menentukan % kadar
tembaga metode elektrogravimetri sebesar 10.54%. Dapat menentukan % kadar tembaga
metode titrasi kompleksometri sebesar 11.87%.