Anda di halaman 1dari 30

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul “ZERO
MOTHER MORTALITY PREECLAMPSIA” ini dapat diselesaikan.

Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Obstetri dan Ginekologi di RSUD Dr. Slamet
Garut. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. H. Dadan Susandi, Sp.OG selaku dokter pembimbing.
2. Para Bidan dan Pegawai di Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr.
Slamet Garut.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr. Slamet Garut.

Segala daya upaya telah dioptimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan
tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani
aplikasi ilmu. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Garut, Desember 2019

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan


adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan
adanya hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan diatas 20 minggu (POGI, 2014).
Gambaran klinis yang utama dan harus terpenuhi adalah terdapatnya hipertensi dan
proteinuria, karena organ target yang utama terpengaruhi adalah ginjal (glomerular
endoteliosis). Patogenesisnya sangat kompleks, dipengaruhi oleh genetik, imunologi, dan
interaksi faktor lingkungan (Pribadi, A., et al, 2015).

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat
kesehatan perempuan. Selain itu AKI merupakan salah satu target utama yang telah
ditentukan oleh WHO sebagai indikator kesehatan suatu negara. Jumlah angka kematian
ibu di Indonesia (angka nasional) tahun 1991 sebanyak 390 sedangkan pada tahun 2015
menurun mencapai 305/100.000 jumlah kelahiran hidup. Setiap hari, sekitar 830 wanita
meninggal akibat kehamilan dan persalinan. 99% dari seluruh kematian ibu terjadi di
negara berkembang. Kematian ibu lebih tinggi pada wanita yang tinggal di daerah
pedesaan dan di antara masyarakat miskin. Remaja muda menghadapi risiko komplikasi
dan kematian yang lebih tinggi akibat kehamilan. Di sisi lain, angka kematian ibu Provinsi
Jawa Barat tahun 2015 adalah sebanyak 823/100.000.

Kematian ibu disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan (HDK) secara global
menempati nomor dua setelah kasus perdarahan, demikian pula di Indonesia. Pada tahun
2016 dalam rangka menunjang kegiatan penurunan angka kematian ibu. Maka dari itu
dibutuhkan pengetahuan masyarakat dan pemeriksaan medis menyeluruh untuk
menangani hal tersebut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Preeklampsia

a. Definisi preeklampsia
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan
berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan diatas 20 minggu.
Edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan
pada wanita dengan kehamilan normal. (POGI, 2014). Sedangkan Cunningham et al.,
(2005) mendefinisikan preeklampsia adalah sindrom kehamilan spesifik yang ditandai
dengan penurunan perfusi organ secara sekunder hingga terjadinya aktivasi
vasospasme dan endotel.

Preeklampsia mempunyai gambaran klinik bervariasi dan komplikasinya


sangat berbahaya pada saat kehamilan, persalinan dan masa nifas. Gambaran klinis
yang utama dan harus terpenuhi adalah terdapatnya hipertensi dan proteinuria, karena
organ target yang utama terpengaruhi adalah ginjal (glomerular endoteliosis).
Patogenesisnya sangat kompleks, dipengaruhi oleh genetik, imunologi, dan interaksi
faktor lingkungan (Pribadi, A., et al, 2015). Kematian ibu disebabkan oleh hipertensi
dalam kehamilan (HDK) secara global menempati nomor dua setelah kasus
perdarahan, demikian pula di Indonesia. Pada tahun 2016 dalam rangka menunjang
kegiatan penurunan angka kematian ibu.

b. Epidemiologi
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat
kesehatan perempuan. Selain itu AKI merupakan salah satu target utama yang telah
ditentukan oleh WHO sebagai indikator kesehatan suatu negara (WHO, 2011). Dari
hasil survey yang dilakukan, AKI di Indonesia telah menurun dari waktu ke waktu,
namun masih relatif tinggi dibandingkan negara Asia lainnya. Jumlah angka
kematian ibu di Indonesia (angka nasional) tahun 1991 sebanyak 390 sedangkan pada
tahun 2015 menurun mencapai 305/100.000 jumlah kelahiran hidup. Setiap hari,
sekitar 830 wanita meninggal akibat kehamilan dan persalinan. 99% dari seluruh
3
kematian ibu terjadi di negara berkembang. Kematian ibu lebih tinggi pada wanita
yang tinggal di daerah pedesaan dan di antara masyarakat miskin. Remaja muda
menghadapi risiko komplikasi dan kematian yang lebih tinggi akibat kehamilan. Di
sisi lain, angka kematian ibu Provinsi Jawa Barat tahun 2015 adalah sebanyak
823/100.000 (Adhi Pribadi, 2018). Gangguan hipertensi dalam kehamilan (HDK)
terhitung hampir 18% dari seluruh kematian ibu di seluruh dunia, dengan perkiraan
62.000-77.000 kematian per tahun. Hipertensi Dalam Kehamilan menempati urutan
pertama penyebab kematian ibu di Jawa Barat (31%). Data dari RSHS jumlah
persalinan Periode 1 Januari 2009 – 31 Desember 2013 →8275 persalinan. Jumlah
total kasus preeklamsi dan eklamsi sebanyak 1811 kasus. Jumlah total kematian ibu
selama periode tersebut sebanyak 106 kasus, dan 61 kasus atau 57.5% diantaranya
preeklamsi dan eklamsi.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor
penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan
untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi antara lain
pendarahan, preeklamsi-eklamsi dengan komplikasi, aborsi, dan infeksi. Namun,
ternyata masih ada faktor lain yang cukup penting, yaitu pemberdayaan perempuan
yang belum baik, latar belakang pendidikan, sosioekonomi keluarga, lingkungan
masyarakat dan kebijakan publik. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya lebih
aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi. Oleh karena itu, pandangan yang
menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural
agar perempuan dapat lebih mendapat perhatian dari masyarakat. Sangat diperlukan
upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu oleh pemerintah, swasta, maupun
masyarakat lainnya terutama suami (Adhi Pribadi, 2018).
Kematian ibu disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan (HDK) secara
global menempati nomor dua setelah kasus perdarahan, demikian pula di Indonesia.
Pada tahun 2016 dalam rangka menunjang kegiatan penurunan angka kematian ibu,
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) bersama Kantor
Kementerian Kesehatan mengeluarkan Panduan Nasional Praktik Kedokteran
(PNPK) tentang preeklamsi yang menjadi dasar untuk pembuatan standar pelayanan
preeklamsi di seluruh Indonesia dan diharapkan mampu membantu mempercepat
penurunkan AKI.

4
c. Etiologi Preeklampsi

Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi dari preeklampsia, meliputi
(Pribadi, A., et al., 2015) :
1. Abnormalitas invasi tropoblas
Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka akan terjadi
kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna
hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka waktu lama
mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Hipoksia dalam jangka lama
menyebabkan kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia.
Produk dari kerusakan vaskuler selanjutknya akan terlepas dan memasuki darah ibu
yang memicu gejala klinis preeklampsia. (Pribadi, A, et al, 2015).
2. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal
Berawal pada awal trimester kedua pada wanita yang kemungkinan akan terjadi
preeklampsia, Th1 akan meningkat dan rasio Th1/Th2 berubah. Hal ini disebabkan
karena reaksi inflamasi yang distimulasi oleh mikropartikel plasenta dan adiposit
(Redman, 2014).

3. Maladaptasi kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses kehamilan


normal.

4. Faktor genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik.

Dari sudut pandang herediter, preeklampsia adalah penyakit multifaktorial


dan poligenik. Predisposisi herediter untuk preeklampsia mungkin merupakan hasil
interaksi dari ratusan gen yang diwariskan baik secara maternal ataupun paternal
yang mengontrol fungsi enzimatik dan metabolism pada setiap sistem organ. Faktor
plasma yang diturunkan dapat menyebabkan preeklampsia. (McKenzie, 2012). Pada
ulasan komprehensifnya, Ward dan Taylor (2014) menyatakan bahwa insidensi
preeklampsia bisa terjadi 20 sampai 40 persen pada anak perempuan yang ibunya
mengalami preeklampsia; 11 sampai 37 persen saudara perempuan yang mengalami
preeklampsia dan 22 sampai 47 persen pada orang kembar.

5. Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.


John et al (2002) menunjukan pada populasi umumnya konsumsi sayuran dan
buah-buahan yang tinggi antioksidan dihubungkan dengan turunnya tekanan darah.
Penelitian yang dilakukan Zhang et al (2002) menyatakan insidensi preeklampsia

5
meningkat dua kali pada wanita yang mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85
mg.
6. Faktor resiko
Faktor resiko dan berpengaruh terhadap progresifitas preeklampsia (Pribadi,
A. et al, 2015) :
1. Faktor usia ibu
2. Paritas
3. Usia kehamilan
4. Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT diatas 30 dengan kategori obesitas, resiko
preeklampsia meningkat menjadi 4 kali lipat.

Faktor resiko preeklampsia (Cunningham, et al., 2014) antara lain :


1) Obesitas
2) Kehamilan multifetal
3) Usia ibu
4) Hiperhomosisteinemia
5) Sindrom metabolik
Faktor resiko lain melliputi lingkungan, sosioekonomi, dan bisa juga pengaruh
musim. (Cunningham et al., 2014)

d. Klasifikasi preeklampsia
American Congress of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) (2013)
mengklasifikasikan hipertensi dalam kehamilan menjadi:
1. Preeklampsia dan eklampsia. Eklampsia adalah timbulnya kejang grand-mal pada
perempuan dengan preeklampsia. Eklampsia dapat terjadi sebelum, selama, atau
setelah kehamilan. Preeklampsia sekarang diklasifikasikan menjadi :
2. Preeklampsia tanpa tanda bahaya; serta
3. Preeklampsia dengan tanda bahaya, apabila ditemukan salah satu dari gejala/tanda
berikut ini :
a. TD sistol ≥ 160 mmhg atau TD diastole ≥110 mmHg pada dua pengukuran dengan
selang 4 jam saat pasien berada dalam posisi tirah baring;
b. Trombositopenia <100.000/µL;
c. Gangguan fungsi hati yang ditandai dengan meningkatnya transaminase dua kali
dari nilai normal, nyeri perut kanan atas persisten berat atau nyeri epigastrium yang

6
tidak membaikk dengan pengobatan atau keduanya;
d. Insufisiensi renal yang progresif (konsentrasi kreatinin serum >1.1 mg/dL)
e. Edema paru
f. Gangguan serbral dan pengelihatan
4. Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan

5. Hipertensi kronis dengan superimposed preeclampsia adalah preeklampsia yang


terjadi pada perempuan hamil yang hipertensi kronis
6. Hipertensi gestasional adalah peningkatan tekanan darah setelah usia kehamilan
lebih dari 20 minggu tanpa adanya proteinuria atau kelainan sistemik lainnya.

e. Gejala dan tanda preeklampsia

Gejala klinis preeklampsia sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
mengancam kematian pada ibu. Efek yang sama terjadi pula pada janin, mulai dari
yang ringan, pertumbuhan janin terlambat (PJT) dengan komplikasi pascasalin
sampai kematian intrauterine (Pribadi, A et al., 2015) .

Gejala dan tanda preeklampsia meliputi (Morgan &Hamilton, 2009):


1. Hipertensi: Peningkatan sistolik sebesar 30 mmHg atau diastolic sebesar 15
mmHg.
2. Hiperrefleksi nyata, terutama disertai klonus pergelangan kaki yang sementara
atau terus-menerus.
3. Edema wajah
4. Gangguan pengelihatan
5. Mengantuk atau sakit kepala berat (pertanda konvulsi)
6. Peningkatan tajam jumlah proteinuria (≥5 g pada specimen 24 jam, atau bila
menggunakan uji dipstick 3+ sampai 4+)
7. Oliguria : keluaran urine kurang dari 30 ml/jam atau kurang dari 500 ml/24 jam
8. Nyeri epigastrium karena distensi hati
f. Diagnosis preeklampsia
Pada umumnya diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya 2 dari trias
tanda utama: hipertensi, edema, dan proteinuria. Hal ini memang berguna untuk
kepentingan statistik, tetapi dapat merugikan penderita karena tiap tanda dapat
merupakan bahaya kendatipun ditemukan sendiri. (Wibowo dan Rachimhadhi,
2006).

7
Tabel. 1 Diagnosis Preeklampsia
Parameter Keterangan
Tekanan Darah 1. TD sistol ≥ 140 mmHg atau diastole
≥ 90 mmHg pada dua kali
pengukuran setidaknya dengan
selisih 4 jam, pada usia kehamilan
lebih dari 20 minggu pada
perempuan dengan TD normal
2. TD Sistol ≥ 160 mmHg atau diastole
≥ 110 mmHg hipertensi dapat
ditegakkan dalam hitungan menit
untuk mempercepat dimulainya
pemberian antihipertensi
DAN
Proteinuria Protein urine kuantitatif ≥ 300 mg/24 jam
atau
Protein/rasio kreatinin ≥ 0.3 mg/dL
Pemeriksaan carik celup urine +1
(hanya jika protein urine kuantitatif tidak
tersedia)
Atau jika tidak ada proteinuria hipertensi yang baru timbul dengan awitan
salah satu dari :
Trombositopenia Hitung trombosit < 100.000/µL
Insufisiensi ginjal Konsentrasi kreatinin serum >1,1 mg/dL
atau lebih dari dua kali kadarnya dan tidak
terdapat penyakit ginjal lainnya
Gangguan fungsi hati Konsentrasi transaminase lebih dari dua
kali normal
Edema paru
Gangguan serebral atau pengelihatan

Sumber :American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013


g. Deteksi dini preeklampsia
Yang dimaksud dengan deteksi dini disini adalah berbagai pemeriksaan petanda

8
biologis, biokimia, dan biofisika sebelum timbulnya gejala klinis sindrom
peeklampsia, yaitu hipertensi dan proteinuria. Deteksi dini dapat dilakukan dengan
cara mengidentifikasi factor risiko dan pemeriksaan petanda preeklampsia.
Faktor risiko preeklampsia dapat dibagi menjadi factor yang meningkatkan
risiko dan yang mengurangi risiko kejadian.
1. Faktor yang meningkatkan risiko kejadian:
a. Risiko terkait pasangan laki-laki/suami – primigravida, primipaternitas,
umur yang ekstrim (terlalu muda atau terlalu tua), pasangan/suami pernah
menikahi wanita yang kemudian hamil dan menderita preeklampsia,
pemaparan sperma terbatas, inseminasi donor sperma atau oosit.
b. Risiko terkait riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit dalam keluarga
– riwayat preeklampsi/eklampsi, hipertensi kronik, obesitas, diabetes
gestasional atau DM tipe 1, sindrom antifosfolipid, dan
hiperhomosisteinemia.
c. Risiko terkait kehamilan sekarang – mola hidatidosa, kehamilan ganda,
infeksi saluran kencing, dan hidrop fetalis.
2. Factor yang mengurangi risiko kejadian : seks oral atau merokok.
Berbagai petanda preeklampsia yang pernah dikemukakan antara lain terkait
dengan:
1. Perfusi plasenta/resistensi vaskuler – uji roll over, uji genggaman tangan
isometric, uji cold pressor, pemberian infus angiotensin II, tekanan darah
arteri rata-rata (mean arterial pressure), pemantauan tekanan darah 24 jam,
dan doppler arteri uterine.
2. Unit feto-plasenta dan gangguan fungsi endokrin- bHCG, AFP (alpha feto
protein), estriol, inhibin A, aktivin A, dan CRP (corticotropin releasing
hormone).
3. Gangguan fungsi ginjal – asam urat serum, microalbuminuria, kalsium
urin, kalikrein urin, mikrotransferiuria dan N-asetil-b-glukosaminidase.
4. Gangguan fungsi endotel dan stress oksidatid- jumlah dan aktifasi
trombosit, fibronectin, molekul adhesi endotel, prostaglandin, tromboksan,
CRP ( creactive protein), sitokin, endotelin, neurokinin B, homosistein,
lemak, antibody antifosfolipid.
5. Lain-lain- AT-3 (antitrombin-III), ANP (atrial natriuretic peptide), B2
mikroalbumin, petanda genetic, free fetal DNA, dan petanda proteonomik
9
serum.
Saat ini, tidak satupun dari semua jenis pemeriksaan diatas yang dianjurkan
sebagai satu-satunya pemeriksaan untuk mendeteksi preeklampsia karena
sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktifnya masih rendah. Karena sindrom
preeklampsia merupakan kelainan multifactorial dan poligenik, kombinasi
beberapa pemeriksaan diatas merupakan pilihan yang rasional.
Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kematian tersebut,
antara lain kurangnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kehamilan secara
berkala, fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan kehamilan yang kurang memadai
dan tidak tersebar merata di seluruh daerah, tingkat pendidikan masyarakat yang
masih rendah, dan keadaan sosial-ekonomi masyarakat. Selama ini terdapat
berbagai metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit pada masa
kehamilan. Metode yang sudah digunakan untuk mendeteksi PE yaitu faktor
maternal dan riwayat penyakit ibu seperti Uterine Artery Doppler (UAD), Volume
Plasenta dan 3D Power Doppler, dan Blood Pressure and Mean Arterial Pressure
(MAP).
1. Uterine Artery Doppler (UAD)
Menurut Placensia, peningkatan impedansi aliran darah di arteri rahim
dikaitkan dengan perkembangan PE. Keadaan resistensi yang tinggi dari
sirkulasi uteroplasenta dapat diukur secara non-invasif menggunakan UAD.
Pengukuran PE dengan menggunakan UAD dilakukan pada trimester pertama
dan kedua. Akan tetapi, kinerja UAD lebih baik jika digunakan pada trimester
kedua dengan sensitivitas 78% dan spesifisitas 95%, sedangkan pada trimester
pertama tingkat deteksinya hanya 40% dengan positif palsu 5%.
2. Volume Plasenta dan 3D Power Doppler
Ultrasound tiga-dimensi (3D) dapat memberi peningkatan pencitraan anatomi
janin bila dibandingkan USG dua-dimensi yang konvensional. Dengan kemajuan
terbaru dalam 3D USG daya Doppler, evaluasi yang lebih kuat dari vaskularisasi dan
aliran darah plasenta dapat dilakukan. Penelitian yang dilakukan Odeh menyatakan, 3D
Power Doppler dari plasenta pada trimester pertama bisa memprediksi masalah pada
kehamilan tetapi tidak dapat mendeteksi perbedaan indeks aliran darah pada wanita
yang mengalami PE dan volume plasenta tidak sesuai untuk memprediksi PE pada tahap
awal.
3. Blood Pressure and Mean Arterial Pressure (MAP)
Perubahan kecil dalam tekanan darah adalah penanda risiko
10
berkembangnya PE. Perempuan yang mengalami PE memiliki tekanan darah
sistolik yang lebih tinggi dan MAP sebelum timbulnya penyakit klinis. MAP
dihitung dengan membagi jumlah sistolik dan dua kali tekanan darah diastolik
dengan tiga, dan dengan demikian mudah diukur. MAP lebih prediktif pada
wanita PE trimester pertama atau kedua dari bacaan sistolik ataupun diastolik.
Spencer et al., melaporkan bahwa Blood Pressure dan MAP yang diukur antara
usia kehamilan 11 sampai 19 minggu memiliki tingkat positif palsu 10% dengan
tingkat deteksi 74,3%, 62,9%, dan 49,3% pada awal PE, PE prematur, dan
jumlah PE. Pada usia kehamilan 20–24 minggu, tingkat positif palsu tetap 10%
dengan tingkat deteksi yang 84,3%, 65,7%, dan 52,5% pada awal PE, PE
prematur, dan jumlah PE.
Tabel 2 Kelebihan dan Kekurangan Biomarker untuk Deteksi Dini Preeklampsia

11
h. Pencegahan Preeklampsia
Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit pre-eklamsia dapat dilakukan
melalui 3 tahapan, yaitu : (1) Pencegahan primer yaitu upaya untuk menghindari
terjadinya peyakit (2) Pencegahan sekunder yaitu memutus proses terjadinya
penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis
karena penyakit tersebut. (3) Pencegahan tersier yaitu pencegahan dari komplikasi
yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan
tata laksana
 Pencegahan primer pre-eklamsia
Pemeriksaan antenatal care dilakukan secara rutin untuk deteksi awal faktor-
faktor resiko. Berdasarkan pengumpulan beberapa studi pada PNPK tahun 2016
didapatkan 17 faktor yang terbukti meningkatkan risiko preeklamsia yang
sebenarnya bisa dinilai pada kunjungan antenatal pertama, umur >40 tahun,
nulipara, multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya, multipara dengan
kehamilan oleh pasangan baru, multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10
tahun atau lebih, riwayat pre-eklamsia pada ibu atau saudara perempuan,
12
kehamilan multiple, IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus), Hipertensi
Kronik, Penyakit Ginjal, Sindrom antifosfolipid, kehamilan dengan inseminasi
donor sperma, oosit atau embrio, obesitas sebelum hamil; serta didapatkannya
indeks massa tubuh >35, tekanan darah diastolic >80 mmHg, proteinuria (dipstick
>+1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara kuantitatif 300 mg/24
jam) pada pemeriksaan fisik (Sarman N, 2018).
 Pencegahan sekunder pre-eklampsia
Agen antitrombotik : aspirin dosis rendah 60 mg per hari diberikan pada
awal kehamilan pada pasien dengan resiko tinggi. Hal ini secara selektif
mengurangi produksi tromboksan. Aspirin dosis rendah diketahui dapat
menghambat siklooksigenase pada platelet dengan mencegah pembentukan
tromboksan A2 tanpa mengganggu prostasiklin. Penggunaan aspirin dosis rendah
(75 mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi pre-eklamsia pada wanita dengan
risiko tinggi. Aspirin dosis rendah sebagai prevensi preeklamsia sebaiknya mulai
digunakan sebelum usia kehamilan 20 minggu. Suplementasi kalsium
direkomendasikan terutama pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah.
Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium direkomendasikan sebagai
prevensi pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya pre-eklamsia.
Penelitian yang dilakukan Hofmeyr, dkk pada tahun 2010 pada wanita yang pre-
eklamsia mendapatkan dosis 1 mg/hari sebagai dosis rekomendasi sebagai prevensi
pre-eklamsia pada wanita dengan risiko tinggi. Antioksidan, vitamin E dan C dan
suplemen dengan magnesium, zinc, minyak ikan, dan diet rendah garam telah
dicoba namun manfaatnya masih terbatas. Pada penelitian Rumbold, dkk tahun
2008 didapatkan hasil bahwa pemberian vitamin C dan E dosis tinggi tidak
menurunkan risiko hipertensi dalam kehamilan, pre-eklamsia dan eklamsia. Diet
seimbang kaya protein mungkin dapat mengurangi resiko (Rumbold A, et al. 2008).
Heparin atau heparin low-molecular-wieght bermanfaat pada wanita dengan
trombofilia dan dengan kehamilan dengan resiko tinggi (Dutta DC 2015).
i. Penanganan preeklampsia
Pengobatan pada preeklampsia hanya dapat dilakukan secara simtomatis
karena etiologi preeklampsia dan faktor-faktor apa dalam kehamilan yang
menyebabkannya, belum diketahui. Tujuan utama penanganan adalah (Wibowo
dan Rachimhadhi, 2006):
1. Mencegah terjadinya preeklampsia berat dan eklampsia
13
2. Melahirkan janin hidup
3. Melahirkan janin hidup dengan trauma sekecil-kecilnya.
Wibowo dan Rachimhadhi (2006) mengklasifikasikan penanganan
preeklampsia menjadi dua sebagai berikut:
1) Penanganan preeklampsia ringan
Istirahat di tempat tidur karena dengan berbaring pada sisi tubuh dapat
menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga
lebih banyak, tekanan vena pada ekstrimitas bawah turun dan resorbsi cairan dari
daerah tersebut bertambah selain itu juga mengurangi kebutuhan volume darah
yang beredar. Pemberian

Fenobarbital 3x30 mg sehari akan menenangkan penderita dan dapat juga


menurunkan tekanan darah.
2) Penanganan preeklampsia berat
Pengobatan preeklampsia berat bertujuan untuk: menjaga eclampsia,
memperbesar kemungkinan hidup anak yang lahir, sedapat mungkin
meminimalisasi trauma persalinan serta menghindari penyulit dikehamilan /
persalinan berikutnya, mencegah hipertensi presisiten. Penderita preeklampsia
berat dapat ditangani secara konservatif maupun aktif. Pada perawatan konservatif,
kehamilannya dipertahankan bersama dengan pengobatan medisinal, sedangkan
pada perawatan aktif kehamilannya segera diakhiri / terminasi setelah pengobatan
medisinal.
Indikasi perawatan aktif:
a. Ibu:

1. Kehamilan > 37 minggu


2. Adanya tanda-tanda gejala impending eklamsi
3. Kegagalan terapi pada perawatan konseratif
- setelah 6 jam sejak dimulainya pengobatan medicinal terjadi kenaikan
tekanan darah
- setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medicinal. Tidak ada
perbaikan
b. janin:

1. Adanya tanda-tanda gawat janin


2. Adanya tanda-tanda PJT
14
c. Laboratorik:
Adanya HELLP syndrome
A. Perawatan medicinal
1. Infuse dekstrose 5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan ringer laktat
500cc (60-125cc/jam).
2. Diet: cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam
3. Pemberian obat: MgSO4 Cara pemberian:

a. Dosis awal
4 gram MgSO4 20% (20 cc) dilarutkan kedalam 100 cc cairan ringer laktat
atau ringer dextrose selama 155-20 menit secara i.v.
b. Dosis pemeliharaan
10 gram MgSO4 20% dalam 500cc cairan ringer laktat atau ringer dextrose
dengan kecepatan 1-2 gram per jam.

Syarat-syarat pemberian MgSO4:


1. Harus tersedia antidotum yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram dalam 10cc)
diberikan i.v 3 menit ( dalam keadaan siap pakai )
2. Refleks patella (+) kuat
3. Frekwensi pernafasan > 16 kali per menit
4. Produksi urin > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0.5cc/kgBB/jam)

Sulfas magnesius dihentikan bila:


1. Ada tanda-tanda intoksikasi
2. Setelah 24 jam pasca salin
3. Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan (normotensif)

Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada:

a. edem paru
b. payah jantung kongestif
c. edem anasarca Antihipertensi diberikan bila:
1. Tekanan darah:
- Sistolik ≥ 180 mmHg, Diastolik > 110 mmHg Diberikan: Hidralazine
- Sistolik 160-180 mmHg, Diastolik 95-110 mmHg Diberikan: Nifedipin 3
kali 5-10mg peroral
2. Obat-obatan antihipertensi yang diberikan:

15
 Hydralazine 2 mg i.v, dilanjutkan dengan 100 mg dalam 500 cc NaCL secara
titrasi sampai tekanan darah sistolik <170 mmHg dan diastolic <110 mmHg.

 Labetalol 20 mg bolus i.v. Bila tidak berhasil menurunkan tekanan darah


selama 10 menit, labetalol dapat diulangi dengan pemberian 40mg, lalu 80 mg
setiap 10 menit (max 220 mg) sampai tekanan darah yang diinginkan.

 Nifedipine 10 mg peroral setiap 30 menit (max 120 mg/hari) sampai tercapai


tekanan darah yang diinginkan, nifedipin tidak boleh diberikan sublingual
karena dapat menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin.

Dapat juga diberi pilihan lain seperti :


Obat-obat per oral
- metildopa 2 x 250 – 500 mg peroral (max 2000 mg/ hari)
- betabloker (atenolol 50-100 mg/hari, metoprolol 50-225 mg/hari)
b. Kardiotonika
Indikasi pemberian kardiotonika ialah bila ada tanda-tanda paying jantung.
Kardiotonika yang diberikan : cedilanid-D. Perawatan dilakukan bersama
bagian penyakit jantung

c. Lain-lain
- Antipiretik
Diberikan bila suhu rectal > 38.50C Dapat dibatu dengan kompres dingin
atau alkohol.
- Antibiotika diberikan atas indikasi
- Antinyeri
Bila pasien gelisah karena konstraksi rahim dapat diberikan petidin HCl
50-75 mg sekali saja (selambat-lambatnya 2 jamsebelum janin lahir)
4. Pengelolaan obstetric
Tidak ada tanda-tanda inpartu :
1. Induksi persalinan : amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor bishop
≥6
2. Seksio sesarea bila :
- syarat tetes oksitosin tidak dipenuhi atau ada kontra indikasi
- 8 jam sejak dimulainya tetes oksitosin belum masuk fase aktif
- Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan
seksio sesarea
16
Sudah ada tanda-tanda inpartu :
Kala I
Fase laten : Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor bishop ≥ 6 Fase
aktif
1. amniotomi
2. bila his tidak adekuat beri tetes oksitosin
3. bila 6 jam belum terjadi pembukaan lengkap dilakukan SC

Kala II
Pada persalinan per vaginam maka kala II diselesaikan dengan partus buatan
B. Pengelolaan Konservatif

Gambar 1. Kriteria manajemen konservatif atau terminasi kehamilan pada


pasien PEB
a. Indikasi
Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending
eklampsi dan keadaan janin baik
b. Pengobatan medicinal
Sama dengan perawatan medicinal pengelolaan secara katif hanya dosis awal MgSO4
tidak diberikan iv cukup im saja (MgSO4 40% 8 gr im). Dihentikan jika sudah
mencapai tanda-tanda preeklampsi ringan selambat-lambatnya 24 jam

17
c. Pengelolaan obstetric
- Selama perawatan konservatif tindakan observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif termasuk pemeriksaan NST dan USG untuk memantau kesejahteraan
janin
- Bila setelah 24 jam tidak ada pebaikan tekanan darah maka keadaan ini dianggap
sebagai kegagalan pengobatan medicinal dan harus diterminasi sesuai dengan
pengelolaan aktif.

Gambar 2. Alur tatalaksana preeklamsia berat

18
j. Komplikasi preeklampsia
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia.
Komplikasi dibawah ini yang biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan
eklampsia (Wibowo dan Rachimhadhi, 2006) :
1. Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih
sering terjadi pada preeklampsia.
2. Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada preeklampsia berat. Oleh karena itu dianjurkan
pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3. Hemolisis

Penderita dengan gejala preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan


gejala klinis hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti
apakah ini merupakan kerusakan sel hati atau destruksi eritrosit. Nekrosis
periportal hati yang ditemukan pada autopsy penderita eklampsia dapat
menerangkan ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.
5. Kelainan mata
Kehilangan pengelihatan untuk sementara, yang berlansung selama
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadi apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronchopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses
paru.
7. Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada preeklampsia/eklampsia merupakan akibat
vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi
ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui

19
dengan pemeriksaan faal hati, terutama pada enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes and low platelets

Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,


hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGOT, SGPT], gejala subyektif [cepat
lelah, mual, muntah dan nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran
eritrosit oleh radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia
(<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan
tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom (Manuaba, 2007).
9. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endotheliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endhotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya.
Kelainan lain yang dapat timbul adalah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jantung akibat kejang- kejang,
pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated intravascular coagulation).
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin
b. Primipara dan Multipara

Seorang primipara adalah wanita yang yang telah pernah melahirkan satu
kali dengan janin yang telah mencapai batas viabilitas, tanpa mengingat janinnya
hidup atau mati pada waktu lahir. Beberapa penulis lain menganggap istilah
primipara meliputi wanita-wanita yang sedang dalam proses untuk melahirkan
anak pertama. (Oxorn & Forte, 2010). Sedangkan multipara adalah perempuan
yang telah melahirkan dua hingga empat kali. (Manuaba, 2009).
c. Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum didefiniskan sebagai hilangnya darah ibu sebanyak


500 ml atau lebih setelah kala III pada persalinan (Cunningham et al., 2010).
Sedangkan menurut Manuaba (2003) perdarahan postpartum adalah perdarahan
kala ketiga yang melebihi 400 cc, disebut perdarahan primer (early postpartum
hemorrhage) apabila terjadi pada 24 jam pertama dan perdarahan sekunder (late
postpartum hemorrhage) apabila terjadi setelah 24 jam.
a. Etiologi
Perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh empat penyebab utama yang sering
disingkat dengan “4T”. 4 T tersebut terdiri dari tonus, tissue (jaringan),trauma,
20
dan thrombosis. (Bloomberg, 2011):
3. Tonus
Atonia uteri dan kegagalan dari kontraksi dan retraksi serat otot myometri dapat
menyebabkan perdarahan hebat dan syok hipovolemi. Overdistensi dari uterus
dapat disebabkan karena kehamilan kembar, bayi yang besar, polihidroamnion
atau abnormalitas bayi.
4. Tissue (Jaringan)
Kontraksi dan reraksi dari uterus menyebabkan pelepasan dan pengeluaran
plasenta. Pelepasan komplit pelepasan plasenta dapat menyebabkan retraksi yang
berlanjut dan oklusi optimal pembuluh darah.
5. Trauma
Kerusakan pada saluran genital dapat terjadi secara spontan atau melalui
manipulasi digunakan untuk melahirkan bayi.Trauma dapat terjadi setelah
persalinan yang lama atau kuat, terutama jika pasien memiliki disproporsi
sefalopelvik absolut atau relatif dan rahim telah dirangsang dengan oksitosin atau
prostaglandin.
6. Trombosis
Deposisi febrinpadaplasenta dan faktor pembekuan dalam memasok pembuluh
berperan penting dalam pemasokan pembuluh darah, dan kelainan di ini dapat
menyebabkan PPH late onset atau memperburuk perdarahan dari penyebab lain,
terutama, trauma. Kelainan sistem pembekuan darah dibagi menjadi karena
dapatan seperti rupture placentam, Sindrom HELLP, sepsis, dan emboli cairan
amnion. Sedangkan penyebab utama nya adalah karena adanya menoragia pada
menstruasi pertama, penyakit perdarahan pada keluarga, dan perdarahan pada
mulut dan pencernaan karena luka hebat.

5. Predisposisi
Predisposisi perdarahan postpartum menururt JHPIEGO, POGI, JNKPR (2007)
antara lain :
1. Pembesaran uterus lebih dari normal selama kehamilan yang disebabkan karena
jumlah air ketuban yang berlebihan (polihidroamnion), kehamilan kembar
(gemeli), bayi besar (makrosomia)
2. Kala satu atau kala dua yang memanjang

21
3. Persalinan cepat (presipitatus)
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Pengaruh pemberian narkosa pada anestesi
7. Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklampsi.

22
DAFTAR PUSTAKA

- Adhi Pribadi, 2018. Program Akselerasi Penurunan Angka Kematian Ibu POGI Jabar: Zero
Mother Mortality Preeclampsia (ZOOM), Divisi Kedokteran Fetomaternal Departemen
Obstetri dan Ginekologi, RSUP Dr. Hasan Sadikin/FK Unpad, Koordinator Pendidikan
POGI Jabar.
- auf Altenstadt, J. F. V. S., Hukkelhoven, C. P., van Roosmalen, J., & Bloemenkamp, K.
W. (2012). 126: Pre-eclampsia increases the risk for postpartum haemorrhage: a
nationwide cohort study among more than 340,000 deliveries. American Journal of
Obstetrics and Gynecology, 206(1), S68.
- auf Altenstadt, J. F. V. S., Hukkelhoven, C. W., van Roosmalen, J., & Bloemenkamp, K.
W. (2013). Pre-eclampsia increases the risk of postpartum haemorrhage: a nationwide
cohort study in The Netherlands. PloS one, 8(12), e81959
- Bloomberg, M. (2011). Maternal obesity and risk of postpartum hemorrhage. Obstet
Gynecol. 118(3):561-8
- Bujold E, Morency A M, Roberge S, Lacasse Y, Forest J C, GiguèreY. Acetylsalicylic acid
for the prevention of preeclampsia and intra-uterine growth restriction in women with
abnormal uterine artery Doppler: a systematic review and meta-analysis.
JOGC.2009;31(9):818–26.
- Cunningham, F.G. 2005. Obstetri Williams. Jakarta : EGC
- Cunningham, G.F. et al. (2010). Williams Obstetrics (23rded.). USA: Mc-Graw Hill.

- Cunningham, F. Gary. 2012. Obstetri Williams. Edisi 23. Jakarta : EGC.


- Cunningham, G.F et al. (2014). Williams Obstetrics (24thed.). USA: Mc-Graw Hill.
- Dutta DC. Text book of Obstetrics including Perinatology and Contraception. 6th edition.
New Central book agency India; 2015: pp256
- JHPIEGO, POGI, JNPKR.(2007). Asuhan Persalinan Normal. Asuhan Essential. Edisi 3.
Jakarta: JHPIEGO, POGI, JNPKR.
- John JH, Ziebland S, Yudkin P., et al (2002). Effect of fruits and vegetable consumptions
on plasma antioxidant concentrations and blood pressure: a randomized controlled
trial.Lancet. 359:1969
- Mackenzie RM, Sandrim VC &Carty DM., et al.(2012): Endhotelial FOS expression and
preeclampsia. BJOG 119 (13) : 1564

23
- Manuaba, I.B.G.(2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetric Genekologi dan
KB. EGC.Jakarta. (51-52)
- Manuaba I. B. G. (2007). Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31
- Manuaba, I.A.C., Manuaba, I.B.G.F. (2009). Keluarga Berencana. (Ed.2). Jakarta: EGC
- Morgan, G. & Hamilton, C. (2009). Obstetri dan Ginekologi: Panduan Praktik (Ed. 2).
Jakarta: EGC
- Oxorn, H. & Forte, W.R. (2010). Human Labor and Birth. (M.Hakimi, editor ahli).
Yogyakarta: Penerbit Andi.
- Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. (2014). Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Indonesia: Diagnosis dan Tata Laksana Preeklampsia. Diakses tanggal 7
Desember 2019 dari http://pogi.or.id/publish/hot-news/
- Pribadi, A., Mose, J.C., Anwar, A.D.(2015). Kehamilan Risiko Tinggi. Jakarta: CV Sagung
Seto
- Redman CW, Sargent IL, Taylor RN.(2014).Immunology of abnormal pregnancy and
preeclampsia. In Taylor RN, Roberts JM, Cunningham FG (eds): Chesley’s Hypertensive
Disorder in Pregnancy, 4th ed. Amsterdam : Academic Press.
- Rumbold A, Duley L, Crowther CA, Haslam RR. Antioxidants for preventing
preeclampsia. Cochrane database of systematic reviews. 2008
- Sarma N Lumbanraja. 2018. Pencegahan Dan Manajemen Pada Pre-Eklamsia. Department
of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine University of Sumatera Utara Medan,
Indonesia.
- Wibowo B., Rachimhadi T., 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu Kebidanan.
Edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99
- World Health Organization (2011). The 11 indicators of maternal, newborn and child
health.
Didapatkandari:http://www.who.int/woman_child_accountability/progress_information/r
ecommendation2/en/ (diunduh 7 desember 2019)
- Zhang C, Williams MA, King IB., et al. (2002). Vitamin C and the risk of preeclampsia-
results from dietary questionnaire and plasma assay: Epidemiology. 13: 382.

24
25
26
27
28
29
30

Anda mungkin juga menyukai