Anda di halaman 1dari 2

KISAH FIKHRI, BOCAH PUTUS SEKOLAH PENJUAL EMPEK-EMPEK

Fikhri yang merupakan seorang anak berumur 13 Tahun yang tinggal di daerah
Cengkareng Jakarta Barat merupakan salah satu anak di Indonesia yang belum mendapatkan
pendidikan yang layak. Anak sebaya dia yang seharusnya belajar di sekolah karena alasan
ekonomi dia memilih berjualan empek-empek karena tidak ada biaya sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa belum adanya pemerataan pendidikan di Indonesia. Selain itu pendidikan
harus menjadi perhatian serius pemerintah. Pada Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 pada
pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap Warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Selanjutnya pada pasal 31 ayat (2) juga disebutkan “setiap warga Negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Namun kenyataannya masih banyak
anak putus sekolah di Indonesia. Menurut IDN Times pada 26 Januari 2019 menyebutkan bahwa
sampai tahun 2018 saja sebnayak 200.000 siswa yang putus sekolah. Hal ini menunjukkan
bahwa belum semua warga Negara belum terpenuhi haknya dalam bidang pendidikan. Bahkan
salah satu bupati di Indonesia yakni Bupati Kubu Raya (Mahendra) mengatkan bahwa
membiarkan anak putus sekolah merupakan pelanggaran HAM (Harian Kompas, 6 Desember
2012). Seharusnya pemerintah baik itu pusat dan daerah bisa bekerja sama dengan baik dalam
memberikan pemerataan pendidikan bagi masyarakatnya,

Untuk menangani masalah pendidika di Indonesia pemerintah telah mengupayakan


berbagai cara seperti pendidikan telah dianggarkan minimal 20% dalam APBN dan APBD sesuai
dengan amanat Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dilansir
dari Kementerian Keuangan pada tahun 2019 saja pada APBN anggaran pendidikan mencapai
492,5 Triliun. Namun ternyata Anggaran yang besar ini belum mampu meratakan pendidikan di
Indonesia tentunya menjadi suatu pertanyaan yang besar. Selain itu berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nomor 80 Tahun 2013 tentang Pendidikan Menegah Universal untuk
menyukseskan program 12 tahun telah di gemborkan oleh pemerintah, tetapi liat saja kasus
Fikhri yang seharusnya mengenyam pendidikan SMP karena biaya harus putus sekolah.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut ternyata belum mampu membuat
semua warga Indonesia merasakan yang namanya pendidikan, maka diperlukan solusi-solusi lain
dalam mengatasi hal ini. Perlunya pengawasan yang lebih ketat dalam penggunaan anggaran
pendidikan agar pemerintah tidak semena-mena. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri
Faqih mengatakan bahwa berdasarakan data Neraca Pendidikan Daerah yang diterbitkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan banyak hanya mengganggarkan kurang
dari 10% persen dari APBD. Hal ini tentunya perlu tindakan tegas dari pemerintah pusat
terhadap daerah agar Fikhri dan teman-teman sebayanya di seluruh Indonesia dapat mengeyam
pendidikan yang layak karena hal ini telah melanggar amanat pasal 31 ayat (4) Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait dengan anggaran pendidikan minimal 20% dari
APBn ataupun APBD. Selain itu untuk mengurangi angka putus sekolah perlu melakukan
inovasi-inovasi baru seperti bisa dilaksanakan dengan membangun sekolah rakyat yang
diperuntukkan bagi anak-anak yang kurang mampu dengan tidak dipungut biaya sepeserpun baik
itu untuk perlengkapan dan kegiatan belajar mengajar dan lain-lain. Serta sekolah rakyat ini juga
perlu penyetaraan dengan SD, SMP, SMA maupun universitas.

Anda mungkin juga menyukai