Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teosofi merupakan sebuah ajaran atau pengetahuan tentang jalan
(thariqat) menuju Tuhan. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah
(riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan
maqam (tingkatan) dan hal (keadaan) dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat)
kepada Allah SWT.
Maqam dapat dikatakan sebagai rukun ataupun pondasi dari ilmu teosofi.
Dalam menjalani proses maqamat yang maha berat itu, jiwa seseorang terbang
mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup, manusia dan Tuhan.
Pada saat yang sama, ia juga mengalami ahwal; merasakan nikmatnya berada
puncak spiritual yang tak terkatakan dan tak bisa dilukiskan keindahannya.
Puncak kenikmatan dan keindahan ruhani itu- secara terbatas- oleh Abu Yazid
disebut ijtihad, al-Hallaj menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya ma’rifat,
al-Sarraj menyebutnya musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menamainya
dengan mahabbah. Begitulah, setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah
sendiri untuk melukiskan nikmat dan indahnya bertemu Sang Kekasih,
walaupun kata-kata itu sebenarnya tidak dapat menggambarkan sejatinya
pertemuan itu karena keterbatasan-keterbatasan (bahasa) manusia.

Dalam makalah ini penulis akan menjelasakn tentang beberapa macam


maqamat seperti sabar, taubat, syukur, khouf, dan raja’.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penjelasan maqamat sabar dalam ilmu teosofi?
2. Bagaimanakah penjelasan maqamat taubat dalam ilmu teosofi?
3. Bagaimanakah penjelasan maqamat syukur dalam ilmu teosofi?
4. Bagaimanakah penjelasan maqamat khouf dalam ilmu teosofi?
5. Bagaimanakah penjelasan maqamat raja’ dalam ilmu teosofi?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami maqamat sabar dalam ilmu teosofi

1
2. Mengetahui dan memahami maqamat taubat dalam ilmu teosofi
3. Mengetahui dan memahami maqamat syukur dalam ilmu teosofi
4. Mengetahui dan memahami maqamat khouf dalam ilmu teosofi
5. Mengetahui dan memahami maqamat raja’ dalam ilmu teosofi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sabar
Pengertian Sabar Kata sabar berasal dari bahasa Arab shabara-shabura-
shabranshabaratan (‫بر‬22‫ ص‬-‫صبر‬-‫ صبرا‬-‫ ) صابرة‬yang berarti menanggung atau menahan
sesuatu). Imam Junaid bin Muhammad menyatakan sabar secara kebahasaan berarti
meneguk sesuatu yang pahit tanpa keluh kesah”.
Rangkaian huruf shad, ba dan ra, (‫ ) صبر‬maknanya berkisar pada tiga hal, yaitu;
”menahan, ketinggian sesuatu, dan sejenis batu”. Dari kata ”menahan”, lahir makna
”konsisten; bertahan”, karena yang bertahanmenahan pandangannya pada satu sikap.
Seseorang yang menahan gejolak hatinya dinamai sabar; yang ditahan dipenjara
sampai mati dinamai mashburah. Dari makna kedua lahir kata shubr yang berarti
puncak sesuatu. Sedangkan dari makna ketiga muncul kata al-shubrah yakni batu yang
kukuh lagi kasar atau potongan besi.
Dzun Nun al-Mishri mendefinisikan sabar: ”Sabar adalah menjauhkan diri dari
pelanggaran, merasa tentram saat menghadapi kepahitan hidup, dan menampakkan
kecukupan diri saat ditimpa kemelaratan. Ketika datang bencana dan petaka dihadapi
dengan etika yang baik dan merasa diri cukup tanpa mengadu”. Sabar merupakan
perilaku (khuluq) jiwa yang mulia yang dapat menahan diri dari perbuatan yang tidak
baik. Sabar merupakan kekuatan jiwa yang dapat mendatangkan kesalehan bagi
dirinya dan kelurusan perbuatannya. Sabar juga merupakan keteguhan jiwa dalam
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan menerima cobaan
dariNya dengan lapang.
Dengan kata lain, sabar merupakan teguhnya kekuatan akal dan agama dalam
melawan kekuatan hawa nafsu dan syahwat. Hawa nafsu selalu menuntut apa yang
diinginkan, sementara kekuatan akal dan agama mencegahnya. Perseteruan pun akan
terus berlangsung di antara keduanya.
Kata sabar didalam Al-Qur’an disebut dalam beragam konteks dan pengertian
yang kemudian, apabila ditelaah bersama, dapat menunjukkan kepada makna tertentu.
Sedangkan psikologi kesabaran dapat dibagi ke dalam tiga unsur, sebagai berikut:
1. Unsur komponen utama adalah dinamika yang ada dalam sebuah kesabaran
seseorang. Unsur proses terdiri dari 4 (empat) hal yang harus ada dalam sebuah
kesabaran. Kehilangan salahsatu dari unsur aspek menyebabkan segala proses
dinamis yang terjadi tidak dapat digolongkan sebagai kesabaran.

3
2. Unsur komponen pendukung adalah unsur yang mewarnai kesabaran seseorang.
Unsur ini terdiri dari 6 hal yang masing-masing perlu ada dalam kesabaran
seseorang namun kekuatannya berbeda-beda. Perbedaan kekuatan dari masing-
masing sifat kesabaran inilah yang nantinya akan menjadi dasar untuk melihat
tingkatan sabar seseorang.

3. Unsur atribut adalah unsur dimana proses sabar terjadi, yaitu emosi, pikiran,
perkataan, dan perbuatan/ perilaku. Setiap kesabaran dapat terjadi pada masing-
masing atribut atau keseluruhan atribut baik secara bersamaan atau sendiri-
sendiri. Walaupun dapat terjadi secara terpisah, setiap atribut akan mempengaruhi
atribut lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka susunan definisi Psikologi Kesabaran
adalah sebagai berikut: Psikologi Kesabaran adalah respon awal yang aktif dalam
menahan emosi, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang taat pada aturan untuk tujuan
kebaikan dengan didukung oleh optimis, pantang menyerah, semangat mencari
informasi/ ilmu, memiliki semangat untuk membuka alternatif solusi, konsisten, dan
tidak mudah mengeluh. Berdasarkan Atribut Psikologi kesabaran maka kesabaran
berdasarkan atributnya adalah sebagai berikut :
1. Atribut emosi, yaitu respon awal yang aktif dalam menahan emosi yang taat pada
aturan untuk tujuan kebaikan dengan didukung oleh optimis, pantang menyerah,
semangat mencari informasi/ ilmu, memiliki semangat untuk membuka alternatif
solusi, konsisten, dan tidak mudah mengeluh.
2. Atribut pikiran, yaitu respon awal yang aktif dalam menahan pikiran yang taat
pada aturan untuk tujuan kebaikan dengan didukung oleh optimis, pantang
menyerah, semangat mencari informasi/ ilmu, memiliki semangat untuk
membuka alternatif solusi,, konsisten, dan tidak mudah mengeluh.
3. Atribut perkataan, yaitu respon awal yang aktif dalam menahan perkataan yang
taat pada aturan untuk tujuan kebaikan dengan didukung oleh optimis, pantang
menyerah, semangat mencari informasi/ ilmu, memiliki semangat untuk
membuka alternatif solusi,, konsisten, dan tidak mudah mengeluh.
4. Atribut perbuatan/ perilaku, yaitu respon awal yang aktif dalam menahan perilaku
yang taat pada aturan untuk tujuan kebaikan dengan didukung oleh optimis,
pantang menyerah, semangat mencari informasi/ ilmu, memiliki semangat untuk
membuka alternatif solusi,, konsisten, dan tidak mudah mengeluh.

4
Dilihat dari subjeknya, sabar terbagi dua macam; kesabaran jasmani dan
kesabaran jiwa dan masing-masing terdiri atas dua macam pula; sukarela dan
keterpaksaan.
1. Kesabaran jasmani
a. Secara sukarela seperti melakukan pekerjaan atas pilihan dan kehendak
sendiri.
b. Faktor keterpaksaan, seperti sabar menahan rasa sakit akibat pukulan,
sabar manahan penyakit, menahan dingin, panas, dan sebagainya.
2. Kesabaran jiwa
a. Secara sukarela, seperti kesabaran manahan diri untuk melakukan
perbuatan yang tidak baik berdasarkan pertimbangan syari’at agama dan
akal.
b. Faktor keterpaksaan seperti kesabaran berpisah dengan orang yang
dikasihi atau yang disayangi jika terhalang.
Pembagian jenis kesabaran tersebut hanya berlaku pada manusia, tidak pada
binatang. Binatang hanya mengenal dua bentuk menjadi istimewa oleh dua jenis
kesabaran yang dilakukan atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri.
Sifat sabar yang paling terpuji merupakan kesabaran jiwa yang lahir dari rasa
suka rela atas kesediaan meninggalkan bujukan syahwat (hawa nafsu) tercela.
Derajat dan istilah-istilah khusus tentang sabar, diketahui berdasarkan
keterkaitannya dengan objek kesabaran itu sendiri.
1. Sabar menahan syahwat kemaluan disebut kesucian (iffah), kebalikannya
zina.
2. Sabar menahan syahwat perut disebut kemuliaan jiwa atau kepuasaan jiwa
(syarafu nafs), kebalikannya rakus.
3. Sabar menahan yang tidak baik untuk ditampakkan disebut menyimpan
rahasia, kebalikannya menyebarkan, mengumumkan, mendakwa, dusta.
4. Sabar menahan keinginan untuk memenuhi tuntutan hidup sekunder disebut
zuhud, kebalikannya tamak.
5. Sabar menahan keinginan nafsu amarah disebut santun, kebalikannya
gegabah, dan sebagainya.
Sedangkan dilihat dari objeknya, sabar dibagi menjadi tiga macam;
1. Sabar menjalankan keataatan kepada Allah Swt.
Menurut Ibn Taimiyyah seperti dikutip al-Atsari (2007: 47), sabar dalam
mengerjakan ketaatan kepada Allah Swt. lebih utama dan sempurna daripada

5
menjauhi keharaman-Nya. Kemaslahatan (manfaat) mengerjakan ketaatan
lebih disukai Allah Swt. daripada kemaslahatan menjauhi maksiat.
Sedangkan kerusakan tidak adanya ketaatan lebih dibenci Allah Swt.
daripada kerusakan adanya maksiat.kesabaran kesabaran jasmani dan jiwa
oleh faktor keterpaksaan saja.
2. Sabar menjauhi larangan Allah Swt.
Sabar dalam menjauhi keharaman Allah Swt., yaitu seseorang hendaklah
menahan diri dari yang Allah Swt. haramkan. Sebab jiwa senantiasa
mengajak kejelekan. Hendaklah manusia sabar menjauhi keharaman Allah,
seperti dusta, dan menipu dalam pergaulan, makan harta yang bathil,
berzina, mabuk, mencuri, dan ragam lainnya dari bentuk kemaksiatan.
Seperti sabarnya Nabi Yusuf ketika isteri tuannya menggoda dan mengajak
berbuat maksiat, dengan benteng kesabaran beliau selamat dari larangan
perzinahan.
3. Sabar menerima ketetapan Allah Swt.
Ketetapan Allah Swt. atas hamba-Nya terbagi dua; 1) Ketetapan yang
sesuai dengan keinginannya berupa keselamatan, harta yang melimpah,
kedudukan, dan perkara kesenangan duniawi lainnya. Seorang hamba
hendaklah bersabar jangan sampai lalai dari mengingat Allah Swt. serta
menggunakannya di jalan yang benar. 2) Ketetapan Allah Swt. berupa
musibah dan sesuatu yang tidak dikehendaki. Musibah, cobaan ataupun
bentuk kesengsaraan lainnya, merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan
dalam kehidupan seseorang. Seorang hendaklah bersabar, serta mengambil
hikmah dari musibah yang menimpanya.

B. Syukur
Kata syukur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai rasa terima
kasih kepada Allah swt, dan untunglah (meyatakan perasaan lega, senang dan
sebagainya).
Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang
dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kufur. Hakikat syukur adalah
menampakkan nikmat, sedangkan hakikat ke-kufur-an adalah menyembunyikannya.
Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai
dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan
pemberinya dengan lidah.

6
Menurut istilah syara’, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang diberikan
oleh Allah swt dengan disertai ketundukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat
tersebut sesuai dengan kehendak Allah swt.
Menurut sebagian ulama, Syukur berasal dari kata “syakara”, yang artinya
membuka atau menampakkan. Jadi, hakikat syukur adalah menampakkan nikmat
Allah swt yang dikaruniakan padanya, baik dengan cara menyebut nikmat tersebut
atau dengan cara mempergunakannya di jalan yang dikehendaki oleh Alah swt.
1. Hakikat Bersyukur
Imam Ghazali menjelaskan bahwa syukur tersusun atas tiga perkara, yakni:
a. Ilmu, yaitu pengetahuan tentang nikmat dan pemberinya, serta meyakini
bahwa semua nikmat berasal dari Allah swt dan yang lain hanya sebagai
perantara untuk sampainya nikmat, sehingga akan selalu memuji Allah swt
dan tidak akan muncul keinginan memuji yang lain. Sedangkan gerak lidah
dalam memuji-Nya hanya sebagai tanda keyakinan.
b. Hal (kondisi spiritual), yaitu karena pengetahuan dan keyakinan tadi
melahirkan jiwa yang tentram. Membuatnya senantiasa senang dan
mencintai yang memberi nikmat, dalam bentuk ketundukan, kepatuhan.
Men-syukur-i nikmat bukan hanya dengan menyenangi nikmat tersebut
melainkan juga dengan mencintai yang memberi nikmat yaitu Allah swt.
c. Amal perbuatan, ini berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan, yaitu
hati yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan, lisan yang menampakkan
rasa syukur dengan pujian kepada Allah swt dan anggota badan yang
menggunakan nikmat-nikmat Allah swt dengan melaksanakan perintah Allah
swt dan menjauhi larangan-Nya.
Muhammad Quraish Shihab menyebutkan bahwa syukur mencakup tiga sisi,
yaitu:
a. Syukur dengan hati yakni menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang
diperoleh semata-mata karena anugerah dan kemurahan dari ilahi, yang akan
mengantarkan diri untuk menerima dengan penuh kerelaan tanpa
menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut.
b. Syukur dengan lidah yakni mengakui anugerah dengan mengucapkan al-
Hamdulillah serta memuji-Nya.
c. Syukur dengan perbuatan yakni memanfaatkan anugerah yang diperoleh
sesuai tujuan penganugerahannya serta menuntut penerima nikmat untuk
merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah swt.

7
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hakikat syukur adalah
mempergunakan nikmat yang dikaruniakan Allah swt untuk berbuat ketaatan
kepada Allah swt guna mendekatkan diri kepada Allah swt.

2. Manfaat Bersyukur
Manfaat syukur itu kembali pada orang yang ber-syukur, kebaikan yang ada
kembali pada mereka yang ber-syukur, sebagaimana dalam surat An-Naml (27)
ayat 40
‫ك بِ ِه قَ ْب َل أَ ْن يَرْ تَ َّد إِلَ ْيكَ طَرْ فُكَ ۚ فَلَ َّما َرآهُ ُم ْستَقِ ًّرا ِع ْن َدهُ قَا َل ٰهَ َذا ِم ْن‬
َ ‫ب أَنَا آتِي‬
ِ ‫ال الَّ ِذي ِع ْن َدهُ ِع ْل ٌم ِمنَ ْال ِكتَا‬ َ َ‫ق‬
ِ ‫فَضْ ِل َربِّي لِيَ ْبلُ َونِي أَأَ ْش ُك ُر أَ ْم أَ ْكفُ ُر ۖ َو َم ْن َشك ََر فَإِنَّ َما يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ِه ۖ َو َم ْن َكفَ َر فَإِ َّن َربِّي َغنِ ٌّي ك‬
‫َري ٌم‬
Artinya; “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku
akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka
tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata:
"Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau
mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa
yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.
Sayyid Quthb yang dikutip oleh Ahmad Yani, menyatakan empat manfaat
ber-syukur, yakni:
a. Menyucikan Jiwa, ber-syukur dapat menjaga kesucian jiwa, sebab
menjadikan orang dekat dan terhindar dari sifat buruk, seperti sombong atas
apa yang diperolehnya.
b. Mendorong jiwa untuk beramal saleh, ber-syukur yang harus ditunjukkan
dengan amal saleh membuat seseorang selalu terdorong untuk
memanfaatkan apa yang diperolehnya untuk berbagi kebaikan. Semakin
banyak kenikmatan yang diperoleh semakin banyak pula amal saleh yang
dilakukan.
c. Menjadikan orang lain ridha, dengan ber-syukur, apa yang diperolehnya
akan berguna bagi orang lain dan membuat orang lain ridha kepadanya.
Karena menyadari bahwa nikmat yang diperoleh tidak harus dinikmati
sendiri tapi juga harus dinikmati oleh orang lain sehingga hubungan dengan
orang lain pun menjadi baik.
d. Memperbaiki dan memperlancar interaksi sosial, dalam kehidupan
bermasyarakat, hubungan yang baik dan lancar merupakan hal yang amat
penting. Hanya orang yang ber-syukur yang bisa melakukan upaya

8
memperbaiki dan memperlancar hubungan sosial karena tidak ingin
menikmati sendiri apa yang telah diperolehnya.

3. Cara Bersyukur
Menurut Abu Bakar Abdullah bin Muhammad, berikut cara-cara
menyatakan syukur:
a. Ber-tasbih
b. Ber-dzikir, Ber-dzikir merupakan sebagian dari cara ber-syukur. Abdullah
bin Salam menyatakan bahwa nabi Musa as pernah bertanya pada Allah swt:
“Ya Allah, syukur manakah yang patut dilakukan untuk Mu? Maka Allah
berfirman: ‘Bukankah lidahmu senantiasa basah karena ber-dzikir kepada-
Ku?”.
c. Ucapan Hamdalah dan Istighfar
d. Berdoa, Rasulullah saw bersabda: “Doa yang paling utama ialah La ilaha
illallah, sedangkan dzikir yang paling utama adalah Alhamdulillah”.
e. Melalui anggota badan
Aura Husna menjelaskan bahwa cara-cara yang dapat dilakukan untuk ber-
syukur meliputi tiga hal:
a. Hati, Merasa puas atau senang terhadap apa yang menjadi ketetapan Allah
swt. Menyadari dengan sepenuh hati bahwa semua nikmat, kesenangan, dan
segala sesuatu yang diperoleh semata-mata karena kemurahan dari Allah
swt. Hati yang ber-syukur akan melahirkan jiwa yang qana’ah.
b. Anggota Tubuh, Adanya tindak lanjut dari amalan hati yang nampak pada
gerakan anggota tubuh sebagai bukti nyata dari rasa syukur. Namun tidak
semua gerak anggota badan merupakan bentuk dari syukur, terdapat
beberapa syarat gerak anggota tubuh yang menjadi bukti amal syukur, yakni:
1) Memanfaatkan anugerah yang telah diperoleh sesuai dengan maksud dan
tujuan Allah swt menganugerahkan nikmat tersebut. 2) Melakukan amalan
dengan penuh ketundukan dan rasa harap amalan itu akan diterima oleh
Allah swt. Melakukan amalan dengan sepenuh hati dan bersunguh-sungguh.
3) Amal dari anggota tubuh harus sesuai dengan aturan syariat Allah swt.
Perwujudan syukur tidak hanya dalam bentuk ibadah vertikal kepada Allah
swt, melainkan ibadah horizontal kepada sesama manusia. Amal syukur yang
dilakukan oleh anggota tubuh ini memiliki dimensi sosial, misalnya: sedekah
dalam bentuk materi dan non materi.

9
c. Lisan, Syukur dalam bentuk gerak lisan yakni dengan cara mengucapkan
lafadz hamdalah dan memuji Allah swt serta tidak mengeluh terhadap
nikmat yang tidak sesuai dengan kehendak diri sendiri.

C. Taubat
Secara lughot taubat berasal dari bahasa arab‫ توبة‬،‫ يتوب‬،‫ تاب‬yang artinya kembali.
Sedangkan menurut istilah taubat beberapa ulama’ mendefinisikan pengertian taubat
diantaranya:
a. Menurut Imam al-Ghazali, taubat yaitu: kembali dari jalan yang menjauhkan diri
dari Allah yang mendekatkan diri kepada syetan. Dijelaskan pula dalam kitab
ihya’ Ulumddin taubat terbagi dari tiga unsur yaitu ilmu, amal, dan hal.
b. Menurut Al-Junaidi, taubat memiliki tiga makna yaitu menyesali kesalahan,
berketetapan hati untuk tidak kembali kepada apa yang telah dilarang Allah, dan
menyelesaikan atau membela orang yang teraniaya.
c. Dan menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: orang yang
bertaubat dari dosa dan keburukan, orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat
Allah dan orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa taubat ialah amalan seorang hamba
untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia
kembali kepada jalan yang lurus dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan
tidak akan mengulanginya lagi.
Jadi taubat merupakan hal yang wajib dilaksanakan dari setiap dosa, maka jika
(maksiat) itu hanya antara dia dan Allah semata yang tahu. Sebagaimana yang sudah
dijelaskan dalam al-Qur’an surah an-Nisa’: 17 berbunyi:
‫ب فَأُولَئِكَ يَتُوبُ هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬
ٍ ‫إِنَّ َما التَّوْ بَةُ َعلَى هَّللا ِ لِلَّ ِذينَ يَ ْع َملُونَ السُّو َء ِب َجهَالَ ٍة ثُ َّم يَتُوبُونَ ِم ْن قَ ِري‬
Artinya: Sesungguhnya taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang
yang mengerjakan kejatahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat
dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Maksud kata kejahilan pada ayat tersebut ialah:
a. Orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah
maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu.
b. Orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak.

10
c. Orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah
atau karena dorongan hawa nafsu.
Menurut Imam Ghazali, taubat itu mengandung tiga unsur yang tidak dapat
dipisahkan sebagaimana yang telah beliau jelaskan :
‫اني‬22‫ال الث‬22‫العلم األول والح‬22‫ل ف‬22‫ال وفع‬22‫ة علم وح‬22‫ور مرتب‬22‫اعلم أن التوبة عبارة عن معنى ينتظم ويلتثم من ثالثة أم‬
‫والفعل الثالث ……الخ‬
Ketiga unsur tersebut adalah :
a. Unsur ilmu, artinya ia mengetahui bahwa perbuatan yang sudah dikerjakan
adalah perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah. Jadi mempunyai pengertian yang
membenarkan bahwa dosa itu adalah suatu hal yang merusakkan dan
menyesatkan.
b. Unsur khal, yaitu dari unsur ilmu yang kemudian muncul khal atau kesadaran
bathin. Jeritan dalam hati berupa perasaan menyesal terhadap segala perbuatan
dosa yang telah dilakukannya.
c. Unsur amal yaitu dengan adanya dua unsur diatas, kemudian lahirlah amal yang
didahului dengan niat yang kuat dan sungguh-sungguh bahwa akan mohon
ampun dan tidak akan mengulanginya kembali.

1. Syarat Taubat
Adapun syarat diterimanya taubat, diantaranya:
a. Harus meninggalkan maksiat atau dosa
Taubat tidak mungkin dengan tetap melaksanakan dosa yang ia bertaubat
darinya. Ibnul-Qoyyim berkata: ”Taubat mustahil terjadi, sementara dosa tetap
dilakukan”. Orang yang bertaubat tapi tetap melaksanakan dosa tersebut
berarti ia telah berdusta dan menghina Allah 'Azza wa Jalla.
b. Harus menyesal atas perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya
Kalau ia tidak menyesalinya, hal itu sebagai bukti bahwa ia ridla dengan
perbuatan dosa tersebut dan pasti akan selalu melakukannya. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ٌ‫" النَّ َد ُم تَوْ بَة‬Menyesal adalah (inti) taubat."
(Ibnu Majah : 4252, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani). Sedangkan
Menyesal adalah berangan-angan, seandainya kesempatan itu datang lagi, ia
pasti akan melaksanakan kewajiban yang telah ditinggalkan, tidak akan
berbuat dosa, akan istiqamah terhadap perintah Allah dan senantiasa taat
kepada-Nya.
c. Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kemali

11
Kalau seandainya ia sengaja melakukan dosa tersebut, maka taubatnya
batal, ia harus bertekad lagi untuk tidak mengulanginya. Ibnu Mas’ud berkata:
”Taubat yang benar adalah: Taubat dari kesalahan yang tidak akan diulangi
kembali, bagaikan mustahilnya air susu kembali pada kantong susunya lagi.”
Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka,
menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas
kesalahannya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikannya. Imam
Nawawi berkata: ”Diantara syarat taubat adalah mengembalikan kedzoliman
kepada pemiliknya, atau meminta untuk dihalakan”.
d. Ikhlas.
Ibnu hajar berkata: “Taubat tidak sah kecuali dengan ikhlas”. Allah
berfirman dalam QS. At Tahrim [66]: 8 yang berbunyi sebagai berikut :
ٍ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا تُوبُوا إِلَى هَّللا ِ تَوْ بَةً نَصُوحًا َع َسى َربُّ ُك ْم أَ ْن يُ َكفِّ َر َع ْن ُك ْم َسيِّئَاتِ ُك ْم َويُ ْد ِخلَ ُك ْم َجنَّا‬
‫ت تَجْ ِري‬
.ُ‫ِم ْن تَحْ تِهَا اأْل َ ْنهَار‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu
akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.

2. Tingkatan Taubat
Dalam ilmu tasawuf maqam taubat dibedakan menjadi beberapa macam,
berikut penjelasannya;
a. Taubatnya orang-orang awam
Taubatnya orang awam ada 3 kategori, yaitu :
1) Taubatnya orang kafir adalah taubat menuju iman dan islam serta
meninggalkan sifat melampaui batas atau kesewenang-wenangan.
2) Taubatnya orang fasik adalah taubat dari dosa besar.
3) Taubatnya orang mukmin, adlah taubat dari dosa kecil yang timbul akibat
dari kelupaan, kelalaian, dan kebodohannya.
b. Taubatnya orang-orang khawas
Menurut Dzun Nun al-Misri mengatakan: taubatnya orang awam taubat
dari dosa-dosa, sementara taubatnya orang khawas karena adanya ghoflah
(lalai mengingat Tuhan). Karena itu untuk kalangan para sufi ghoflah
dipandang dosa, dan taubat sebagai pangkal tolak peralihan dari zaman
madhi ke zaman ‘ashri. Taubatnya khawash (khusus) Yakni taubatnya
orang-orang yang ahli hakikat, yakni mereka yang tidak ingat lagi akan

12
dosa-dosa mereka karena keagungan Allah, telah memenuhi hati mereka dan
mereka senantiasa ingat (dzikir) kepadanya. Sementara taubatnya orang
khawas ada dua kategori, yaitu:
1) Taubatnya khawas (orang-orang khusus) adalah taubat dari pikiran,
besitan hati, dan cinta dunia serta segala hal yang terikat erat dengannya.
2) Taubatnya khawas al-khawas (orang-orang istimewa) adalah taubat dari
kelalaiannya untuk mengingat Allah. Taubatnya ahli ma’rifat dan
kelompok istimewa. Pandangan ahli ma’rifat, wajidin (orang-orang yang
mabuk kepada Allah), dan kelompok istimewa tentang pengertian taubat
adalah engkau bertaubat (berpaling) dari segala sesuatu selain Allah.
Lain halnya Ibnu Taimiyah, ia membedakan taubat terdiri dari dua
macam yakni taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat
karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara wajib, atau
menyesal karena melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat
sunnah adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-
perkara sunnah,atau karena menyesali perbuatan dengan melakukan
perkara-perkara makruh.

3. Penopang-penopang Taubat
a. Taubat Nashuha
Perlu diketahui, bahwa taubat yang diperintahkan untuk orang mukmin
adalah taubat Nashuha sebagaimana yang sudah terukir dalam al-Qur’an surat
at-Tahrim; 08.
ٍ ‫ ْد ِخلَ ُك ْم َجنَّا‬2 ُ‫يِّئَاتِ ُك ْم َوي‬2 ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا تُوبُوا إِلَى هَّللا ِ تَوْ بَةً نَصُوحًا َع َسى َربُّ ُك ْم أَ ْن يُ َكفِّ َر َع ْن ُك ْم َس‬
‫ ِري‬2 ْ‫ت تَج‬
.ُ‫ِم ْن تَحْ تِهَا اأْل َ ْنهَار‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan
Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke
dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Muhammad bin Khattab al-Qurthuby berkata: Taubat nasuha
menghimpun empat perkara; memohon ampun dengan lisan, membebaskan
diri dari dosa dengan badan, tekat untuk kembali melakukannya lagi dengan
sepenuh perasaan dan menghindari teman-teman yang buruk.
b. Istighfar
Istighfar artinya memohon ampunan, segala perbuatan yang menyelimuti
jiwa manusia dari kegelapan dan kesesatan. Ibnu Qayyim Al-Jauzy berkata:

13
al-Maghfiroh adalah perlindungan dari kejahatan dosa, seperti al-migfar tutup
yang melindungi kepala dari gangguan. Adapun syarat-syarat istighfar
diantaranya:
1) Niat yang benar dan ikhlas karena Allah semata.
2) Harus ada kebersamaan hati dan lisan untuk istighfar
3) Adab yang menyempurnakan istighfar iniialah menjaga kesucian, agar
dia berada dalam kondisi yang paling sempurna lahir maupun batin.
4) Memohon ampunan kepada Allah dalak keadaan antara takut dan
berharap.
5) Memilih waktu yang lebih utama misal, waktu sahur nisful lail.
6) Memohon ampun sewaktu shalat, seperti ketika sujud, sebelum salam
sesudah takhiyat terakhir atau pun sudah selesai shalat.
7) Berdoa bagi diri sendiri dan bagi orang-orang mukmin.
8) Berdo’a memohon ampunan dan kalimat yang sudah disebutkan dalam
al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih.

D. Khauf
Secara Bahasa Khauf berasal dari kata khafa, yakhafa, khaufan yang artinya
takut. Takut yang dimaksud disini adalah takut kepada Allah swt. Khauf adalah takut
kepada Allat SWT dengan mempunyai perasaan khawatir akan adab Allah yang akan
ditimpahkan kepada kita. Cara untuk dekat kepada Allah SWT yaitu mengerjakan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Sedangkan definisi khauf menurut terminologi adalah:

“Kondisi (bisikan) kejiwaan yang timbul sebagai akibat dari dugaan akan munculnya
sesuatu yang dibenci atau hilangnya sesuatu yang disenangi”.

Para pakar tasawuf juga berkomentar tentang pengertian khauf , berikut


uraiannya:

1. Al-Ashfahani
Al-Ashfahani menyatakan bahwa kha’uf adalah:

14
Ia pun melihat ada dua istilah yang berkaitan dengan masalah ini, yakni
alkhauf minallah (takut dari Allah) dan al takhwif minallah (seseorang takut
akan Allah). Al - khauf minallah (takut kepada Allah) bukanlah berupa ketakutan
kepada Allah yang bergetar dan terasa di dada manusia seperti takut kepada
singa. Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah menghindari diri dan perbuatan
maksiat dan selanjutnya mengarahkannya untuk tunduk dan patuh kepada
Allah.Oleh karena itu, tidaklah disebut sebagai seorang takut bila belum sanggup
menghilangkan perbuatan perbuatan dosa. Adapun at - takwif minallah
(Membuat seseorang takut akan Allah) adalah perintah agar tetap melaksanakan
dan memelihara kepatuhan kepada-Nya
2. Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Syauman Ibn Ahmad Ibn Mustafa al-Ramli
Menurut Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Syauman Ibn Ahmad Ibn
Mustafa al-Ramli dalam bukunya al - Khauf min Allah Ta’ala mengatakan bahwa
khauf adalah salah satu keadaan merasa takut kepada Tuhan jika pengabdiannya
kurang, sehingga dengan persaan takut ini, maka ia selalu terpelihara dari
perbitana maksiat dan semakin bertambah sifat wara (kehatia-hatian) pada dirinya
dengan mengaplikasikan dalam bentuk ibadah kepada Tuhan. Dengan kata lain
memelihara diri dengan ikatan ketaatan.
3. Zu al-Nun al-Misri

Zu al-Nun al-Misri lebih memperjelas, sebagaimana yang dikutip oleh al-


Qusyairi bahwa orang tetap bertada pada rel-rel agama adalah orang-orang yang
senantiasa takut. Jika takut tidak ada lagi pada diri seseorang, niscaya akan sesat
jalannya. Jadi, takut yang dimaksud adalah takut ibadahnya tidak diterima karena
adanya pelanggaran, sehingga menimbulkan sikap kehati-hatian dalam kehidupan
sehari-hari.

1. Hakikat Khauf
Imam al-Ghazali berkata bahwa hakikat dari khauf adalah kepedihan dan
terbakarnya hati karena memperkirakan akan tertimpa sesuatu yang tidak

15
menyenagkan di masa yang akan datang. Dengan melihat berbagai definis di atas,
semakin jelaslah bahwa rasa takut yang dibahas dalam makalah ini adalah rasa
takut kepada Allah. Rasa takut kepada Allah kadang timbul karena perbuatan
dosa. dan kadang timbul karena seseorang mengetahui sifat-sifat-Nya yang
mengharuskannya untuk takut kepada-Nya. Inilah tingkatan khauf yang paling
sempurna. Sebab barang siapa yang mengetahui Allah, maka dia akan takut
kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman:

2. Pembagian Khauf Menurut Para Ulama


a. Khauf Ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan menghina siapa yang
dikehendaki-Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di
tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan. Inilah yang diistilah olah
sebahagian ulama‟ dengan Khaufus-Sirr.
b. Khauf Syirik, yaitu memalingkan ibadah qalbiyah ini kepada selain Allah,
seperti kepada para Wali, Jin, Patung-patung, dan sebagainya.
c. Khauf Maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang
diharamkan karena takut dari manusia dan tidak dalam keadaan terpaksa .
Allah berfirman, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang
menakuti-nakuti (kamu) dengan kawan- kawannya (orang-orang musryik
Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku jika kamu benar- benar orang-orang yang beriman. “
d. Khauf Tabiat, seperti takutnya manusia dari ular, takutnya singa, takut
tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya. Allah berfirman tentang
Musa, “Karena itu, jadilah manusia di kota itu merasa takut menungggu
dengan khawatir (akibat perbuatannya).
e. Khauf Wahm, yaitu rasa takut yaang tidak ada penyebabnya, atau
pengebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini amat tercela bahkan
memasukkan pelaku ke dalam golongan para penakut

3. Tingkatan Khauf

16
Orang-orag yang takut kepada Allah tidak berada pada satu tingkatan,
tapi mereka beda pada tingkatan yang berbeda-beda. Ibnu Ujaibah telah
mengelompokkan mereka dalam tiga kategori.
a. Takutnya orang awam dari siksaan dan hilangnya pahala.
b. Takutnya orang khawwash dari celaan dan hilangya kedekatan dari sisi-Nya.
c. Takutnya orang khawwashulkhawwash akan tertutupnya pandangan dari
akhlak yang buruk.

E. Raja’
Secara etimologi, kata raja’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas
tiga huruf, yaitu ra, jim, dan ‘ain yang bermakna rhoddu (mengembalikan,
menjawab, menolak, dan memalingkan) dan takror (pengulangan). Sedangkan
definisi raja menurut terminologi adalah “Suatu keadaan mental yang optimis
adanya limpahan rahmat Tuhan. Dengan sikap optimis ini menambah
semangat untuk meningkatkan ibadah kepada Tuhan, sehingga raja’ itu
datang setelah kha’uf . Adanya harapan untuk diterima segala ibadah yang
telah dilakukan.

Menurut Ahmad Zaruq definisi raja’ adalah kepercayaan atas karunia


Allah yang dibuktikan dengan amal. Kalau bukan demikia maka itu adalah
keterpedayaan diri. Raja’ (pengharapan) berbeda dengan tamanni (angan-
angan). Sebab, orang yang beharap adalah orang yang megerjakan sebab,
yakni ketaatan, seraya mengharapkan ridha dan pengabulan dari Allah.
Sedangkan orang yang beranganangan meninggalkan sebab dan usaha, lalu dia
menunggu datangnya ganjaran dan pahala dari Allah. Orang semacam inilah
yang terekam dalam sabda Nabi, “ dan orang yang lemah adalah orang yang
selalu menurutkan hawa nafsunya dan berangan - angan terhadap Allah .”
(HR.Tirmidzi).

Ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang raja’ terhadap sesuatu,
yaitu: pertama, mencintai yang diharapkannya. Kedua, takut akan
kehilangannya. Ketiga, usaha untuk mendapatkannya. Jadi, raja yang tidak
disertai dengan tiga perkara di atas, hanyalah anganangan semata. Sedangkan
raja’ itu bukan angan-angan, begitu pula sebaliknya.

17
Allah telah menganjurkan kita semua untuk mengharapkan karunia-Nya
dan melarang kita untuk berputus asa dari Rahmat-Nya. Allah berfirman :

Menurut Ibnu Ujaibah, orang-orang yang mengharap rahmat Allah tidak


berada dalam satu tingkatan, tapi mereka berada dalam tingkatan yang berbeda-beda,
yaitu:

1. Pengharapan orang awam, yakni tempat kembali yang baik dengan


diperolehnya pahala.
2. Pengharapan orang khawwas, yakni ridha dan kedekatan di sisi-Nya.
3. Pengharapan orang khawwas al-khawwas yakni kemampuan untuk melakukan
musyahadah dan bertambahnya tingkatan derajat dalam rahasiarahasia Tuhan
yang disembah

Setiap orang yang raja’ pastilah ia orang yang khauf. Seorang pejalan, jika ia
takut, ia pasti mempercepat langkahnya, kalau–kalau ia tidak mendapatkan yang
ditujunya. Dalam hal ini penulis mengutip pendapat Ibnu Qayyim yang mengatakan
bahwa dalam perjalanan menujun Tuhan, cinta, takut, dan harapan merupakan inti.
Setiap orang yang mencintai tentu berharap dan takut. Mengharapkan apa yang ada

18
pada diri kekasih dan takut tidak diperhatikan oleh kekasih atau yang ditinggalkan,
sehingga setiap cinta disertai dengan rasa takut dan harapan, karena setiap perjalanan
menuju Tuhan tidak terlepas dari dosa dan mengharapkan ampunan, tidak terlepas
dari amal saleh dan mengharapkan diterima, tidak lepas dari istiqamah ,dan
mengharapkan kekekalannya dan tidak lepas dari kedekatan dengan Tuhan dan
mengharapkan pencapaiannya. Jadi, harapan (raja’) merupakan sebab tercapaianya
apa yang diinginkan.
Jika seseorang hamba sedang menghadap kepada Tuhannya dan berjalan
untuk mencapai kedekatan di sisi-Nya, maka sebaiknya dia menggabungkan antara
khauf dan raja’ . Jangan sampai khaufnya mengalahkan raja’nya, sehingga dia
berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Dan jangan pula raja’nya mengalahkan
khaufnya, sehingga di terjerumus ke jurang maksiat dan kejahatan. Dia harus terbang
dengan kedua sayap itu (khauf dan raja’) di udara yang jernih, sehingga dia dapat
mencapai kedekatan di hadirat Allah. Relasi antara khauf dan raja’ digambarkan
dengan takut kepada neraka-Nya dan mengharap surga-Nya, takut jauh dari-Nya dan
mengaharap untuk berada di dekat-Nya, takut ditinggalkan-Nya dan mengharap
ridha-Nya, takut putus hubungan dengan-Nya dan berharap agar dapat terus
berinteraksi dengan-Nya.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sabar adalah menjauhkan diri dari pelanggaran, merasa tentram saat
menghadapi kepahitan hidup, dan menampakkan kecukupan diri saat
ditimpa kemelaratan. Ketika datang bencana dan petaka dihadapi dengan
etika yang baik dan merasa diri cukup tanpa mengadu
2. Syukur adalah menampakkan nikmat Allah swt yang dikaruniakan
padanya, baik dengan cara menyebut nikmat tersebut atau dengan cara
mempergunakannya di jalan yang dikehendaki oleh Alah swt.
3. Taubat ialah amalan seorang pendosa untuk tidak mengulangi kesalahan-
kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang
lurus dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan
mengulanginya lagi
4. Khauf adalah rasa takut kepada Allah kadang timbul karena perbuatan
dosa. dan kadang timbul karena seseorang mengetahui sifat-sifat-Nya yang
mengharuskannya untuk takut kepada-Nya.

5. Raja’ adalah suatu keadaan mental yang optimis adanya limpahan rahmat
Tuhan. Dengan sikap optimis ini menambah semangat untuk
meningkatkan ibadah kepada Tuhan

B. Saran
Sebagai mahasiswa, selain belajar tentang bidang ilmu kedokteran kita
perlu memahami/mempelajari bidang ilmu lain seperti teosofi. Dalam
mempelajari ilmu tersebut, kita juga perlu memahami tingkatan-tingkatan
(maqam) sebagi pondasi dari ilmu teosofi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Departemen RI Lajnah Pentashih al-Qur’an dan Terjemah. 2009. al - Qur’an


Terjemah dan Asbabun Nuzul. Jakarta, Pustaka al-Hanah.
Al-Ghazali. 1985. Ihya‟ Ulum al-din terj. Prof Ismail Yakub, Ihya‟ Al-Ghazali.
Jilid VII. Jakarta: C.V. Faizan.
Dr. H. Muzakkir, MA. 2012. Tasawuf Jalan Mudah Menuju Tuhan. Medan:
Perdana Publising.

21

Anda mungkin juga menyukai