Anda di halaman 1dari 17

PROJECT BASED LEARNING, COLLABORATIVE LEARNING, DAN DISCOVERY

LEARNING

A. PROJECT BASED LEARNING


1. Pengertian Project Based Learning
Menurut Buck Institute for Education (BIE) (dalam Khamdi, 2007) :
“Project Based Learning adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa
dalam kegiatan pemecahan masalah dan memberi peluang siswa bekerja
secara otonom mengkonstruksi belajar mereka sendiri, dan puncaknya
menghasilkan produk karya siswa bernilai dan realistik. Project Based
Learning merupakan pembelajaran inovatif yang berpusat pada siswa (student
centered) dan menempatkan guru sebagai motivator dan fasilitator, dimana siswa
diberi peluang bekerja secara otonom mengkonstruksi belajarnya. Project Based
Learning sangat cocok dipadukan dengan materi koloid. Berdasarkan kegiatan
pembelajaran dalam silabus, materi koloid menuntut siswa untuk aktif (student
centered) sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator, siswa
bekerja sama dengan berbagai percobaan seperti percobaan pengelompokan
berbagai sistem koloid, percobaan sifat-sifat koloid secara kelompok dan
percobaan pembuatan koloid. Selain itu materi koloid juga sangat berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari sehingga banyak peluang untuk mengajak siswa
berpikir kritis dan kreatif mengenai masalah nyata yang akan diangkat dalam
Project Based Learning .
2. Karakteristik Project Based Learning
Dalam Susanti, (2008) menyebutkan ciri-ciri Project Based Learning
diantaranya adalah: isi, kondisi, aktivitas dan hasil. Keempat ciri-ciri itu adalah
sebagai berikut:
a. Isi Difokuskan pada ide-ide siswa yaitu dalam membentuk gambaran
sendiri bekerja atas topik-topik yang relevan dan minat siswa yang
seimbang dengan pengalaman siswa sehari-hari.Pada materi koloid
masalah nyata yang diangkat haruslah difokuskan pada pengalaman
siswa sehari-hari.
b. Kondisi Maksudnya adalah kondisi untuk mendorong siswa mandiri,
yaitu dalam mengelola tugas dan waktu belajar. Sehingga dalam belajar
materi koloid siswa mencari sumber informasi secara mandiri dari
berbagai referensi seperti buku maupun intenet.
c. Aktivitas Adalah suatu strategi yang efektif dan menarik, yaitu dalam
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan
masalahmasalah menggunakan kecakapan. Aktivitas juga merupakan
bangunan dalam menggagas pengetahuan siswa dalam mentransfer dan
menyimpan informasi dengan mudah. Pada materi koloid, siswa
dituntut untuk aktif, menggunakan kecakapan untuk memecahkan
masalah dan berbagai tujuan belajar yang ingin dicapai. Dilihat dari
kegiatan pembelajaran dalam silabus, materi koloid sangat menekankan
aktifitas siswa.
d. Hasil disini adalah penerapan hasil yang produktif dalam membantu
siswa mengembangkan kecakapan belajar dan mengintegrasikan dalam
belajar yang sempurna, termasuk strategi dan kemampuan untuk
mempergunakan kognitif strategi pemecahan masalah. Juga termasuk
kecakapan tertentu, disposisi, sikap dan kepercayaan yang dihubungkan
dengan pekerjaan produktif, sehingga secara efektif dapat
menyempurnakan tujuan yang sulit untuk dicapai dengan model-model
pengajaran yang lain.
3. Komponen-komponen Project Based Learning Komponen-komponen Project Based
Learning meliputi beberapa hal:
a. Isi kurikulum Guru dan siswa bertanggung jawab atas dasar standar dan
tujuan yang jelas serta mendukung proses belajar.
b. Komponen multimedia Siswa diberi kesempatan untuk menggunakan
teknologi secara efektif sebagai alat dalam perencanaan, perkembangan
atau penyajian proyek.
c. Komponen petunjuk siswa Dirancang untuk siswa dalam membuat
keputusan, berinisiatif dan memberi materi untuk mengembangkan dan
menilai pekerjaannya.
d. Bekerja sama Memberi siswa kesempatan bekerjasama diantara siswa
maupun dengan guru serta anggota kelompok yang lain.
e. Komponen hubungan dengan dunia nyata Project Based Learning
dihubungkan dengan dunia nyata menuju persoalan yang relevan untuk
kehidupan siswa atau kelompok dan juga komunikasi dengan dunia luar
kelas melalui internet, serta bekerjasama dengan anggota kelompok.
f. Kerangka waktu Memberi siswa kesempatan merencanakan, merevisi,
membayangkan pembelajarannya dalam kerangka waktu berpikir untuk
materi dan waktu yang mendukung pembelajaran tersebut.
g. Penilaian Proses penilaian dilakukan secara terus menerus dalam setiap
pembelajaran, seperti menilai guru, teman, menilai dan merefleksi diri.
4. Dukungan teoritis Project Based Learning Secara teoritis dan konseptual,
pembelajaran berbasis proyek juga didukung oleh teori aktivitas. Activity
theory menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiri atas: (a) tujuan
yang ingin dicapai, (b) subjek yang berada dalam konteks, (c) suatu masarakat
dimana pekerjaan itu dilakukan dengan perantaraan, (d) alat-alat, dan (e)
peraturan kerja dan pembagian tugas. Dalam penerapannya dikelas bertumpu
pada kegiatan belajar aktif dalam bentuk melakukan sesuatu (doing) daripada
kegiatan pasif menerima transfer pengetahuan dari guru (Wena,2010).
Pembelajaran berbasis proyek juga didukung oleh teori belajar konstruktivistik,
yang bersandar pada ide bahwa siswa membangun pengetahuannya sendiri
didalam konteks pengalamannya sendiri. Pembelajaran berbasis proyek dapat
dipandang sebagai salah satu pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang
dapat mendorong siswa mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan secara
personal. Ketika pembelajaran berbasis proyek dilakukan dalam model belajar
kolaboratif dalam kelompok kecil siswa, pembelajaran berbasis proyek juga
mendapat dukungan teoritis yang bersumber dari konstruktivisme sosial
Vygotsky yang memberikan landasan pengembangan kognitif melalui
peningkatan intensitas interaksi antarpersonal. Adanya peluang untuk
menyampaikan ide, mendengarkan ide orang lain, dan merefleksikan ide
sendiri pada orang lain, adalah suatu bentuk pembelajaran individu. Proses
interaktif dengan kawan sejawat membantu proses konstruksi pengetahuan.
Dari perspektif teori ini pembelajaran berbasis proyek dapat membantu siswa
meningkatkan keterampilan dan memecahkan masalah secara kolaboratif
(Wena,2010). 5. Tahap-Tahap Project Based Learning 1. Menentukan proyek
yang akan dilakukan Pada tahap ini guru memberikan proyek kepada siswa,
menentukan batasan-batasan dan menentukan tujuan utama dari proyek.
Proyek yang akan dilakukan terkait dengan materi koloid yaitu proses
penjernihan air. 2. Menentukan kerangka waktu proses penjernihan air Tahap
ini merupakan tahap menentukan berapa lama proyek akan dikerjakan,
memeriksa tujuan proyek yang akan diteliti dan menyediakan tempat yang
sesuai untuk proyek. Penentuan kerangka waktu proyek disesuaikan dengan
persiapan pencarian referensi pendukung materi koloid terutama yang
berhubungan dengan proses penjernihan air, dan penyediaan alat dan bahan
yang dibutuhkan dalam proses penjernihan air, 3. Merencanakan kegiatan apa
yang akan dilakukan Pada tahap ini guru memilih beberapa kegiatan yang
sesuai, menggambarkan kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa. Guru
memberikan gambaran proses penjernihan air secara ringkas selanjutnya siswa
mencari sendiri informasi yang dibutuhkannya mengenai proses penjernihan
air serta kaitannya dengan sifat-sifat koloid. 4. Merencanakan penilaian Setelah
siswa melakukan kegiatan pada tahapan ini nantinya guru meninjau atau
menuliskan beberapa tujuan penilaian, merencanakan alatalat penilaian apa
saja yang akan digunakan, menambahkan penilaian dalam kerangka waktu.
Penilaian ini juga mencakup penguasaan materi koloid oleh siswa terutama
yang berhubungan dengan proses penjernihan air seperti sifat koloid adsorpsi
dan koagulasi. 5. Memulai proses penjernihan air dengan siswa Tahap ini
adalah tahap pengerjaan proses penjernihan air dengan mendiskusikan tujuan
dikelas, melaksanakan, melihat dan mendengarkan pekerjaan apa yang
dilakukan, mengingatkan siswa untuk tidak membuang-buang waktu
pengerjaan proyek, menambah atau mengurangi kegiatan untuk memperkuat
kecakapan dalam kelompok dan kecakapan dalam mengelola dan
mendiskusikan beberapa perbaikan. 6. Gambaran akhir proses penjernihan air
Tahap ini memberikan hasil akhir dalam suatu forum khusus, yaitu
mendiskusikan atau menuliskan hal-hal yang penting dari proses penjernihan
air, menganjurkan perbaikan untuk proses penjernihan selanjutnya. 6.
Kelebihan Project Based Learning Project Based Learning adalah penggerak
yang unggul untuk membantusiswa belajar melakukan tugas-tugas otentik dan
multidisipliner, menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efektif dan
bekerja dengan orang lain. Pengalaman di lapangan baik dari guru maupun
siswa bahwa Project Based Learning menguntungkan dan efektif sebagai
pembelajaran selain itu memilki nilai tinggi dalam peningkatan kualitas belajar
siswa. Anatta (dalam Susanti, 2008) menyebutkan beberapa kelebihan dari
Project Based Learning diantaranya sebagai berikut: 1. Meningkatkan
motivasi, dimana siswa tekun dan berusaha keras dalam mencapai proyek dan
merasa bahwa belajar dalam proyek lebih menyenangkan daripada komponen
kurikulum yang lain. 2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dari
berbagai sumber yang mendeskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek
membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-
problem yang kompleks. 3. Meningkatkan kolaborasi, pentingnya kerja
kelompok dalam proyek memerlukan siswa mengembangkan dan
mempraktikan keterampilan komunikasi. Teori-teori kognitif yang baru dan
konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan bahwa
siswa akan belajar lebih didalam lingkungan kolaboratif. 4. Meningkatkan
keterampilan mengelola sumber, bila diimplementasikan secara baik maka
siswa akan belajar dan praktik dalam mengorganisasi proyek, membuat alokasi
waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan
tugas. 7. Kekurangan Project Based Learning Menurut (Susanti, 2008)
berdasarkan pengalaman yang ditemukan di lapangan Project Based Learning
memiliki beberapa kekurangan diantaranya: 1. Kondisi kelas agak sulit
dikontrol dan mudah menjadi ribut saat pelaksanaan proyek karena adanya
kebebasan pada siswa sehingga memberi peluang untuk ribut dan untuk itu
diperlukannya kecakapan guru dalam penguasaan dan pengelolaan kelas yang
baik. 2. Walaupun sudah mengatur alokasi waktu yang cukup masih saja
memerlukan waktu yang lebih banyak untuk pencapaian hasil yang maksimal.

B. COLLABORATIVE LEARNING
1. Pengertian Collaborative Learning
Menurut Smith & MacGregor (1992), “Collaborative Learning” adalah satu istilah
untuk suatu jenis pendekatan pendidikan yang meliputi penggabungan karya/usaha
intelektual siswa, atau siswa bersama dengan guru. Biasanya, siswa bekerja dalam 2 atau
lebih kelompok, saling mencari pemahaman, penyelesaian, atau arti, atau membentuk
suatu produk/hasil. Kegiatan dalam Collaborative Learning bermacam-macam, 
tetapi pada dasarnya berpusat pada eksplorasi siswa atau aplikasi dari bagian materi, dan
bukan hanya ceramah dari guru. Collaborative Learning menggambarkan suatu
perubahan yang signifikan dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam Collaborative Learning, penekanannya
adalah pada diskusi siswa dan keaktifan dalam bekerja dengan materi yang telah
disediakan. Pendapat ini didukung oleh pendapat Nizar (2008), yang menyatakan
bahwa Collaborative Learning adalah proses belajar kelompok yang setiap anggota
menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan
ketrampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan
pemahaman seluruh anggota. Collaborative Learning dilandasi oleh pemikiran bahwa
kegiatan belajar hendaknya mendorong dan membantu peserta didik untuk terlibat secara
membangun pengetahuan sehingga mencapai pemahaman yang mendalam. Lebih lanjut,
Fall (1995) menambahkan bahwa dengan belajar secara berkelompok, selain dapat
meningkatkan motivasi dan minat peserta didik, juga dapat meningkatkan dan
mengembangkan cara berpikir kreatif. Hal ini terkait dengan peningkatan tanggungjawab
peserta didik dalam belajar secara berkelompok sehingga dapat menciptakan seseorang
yang berpikir kreatif.
Gunawan (2003 : 198 – 199) lebih menspesifikkan gambaran tentang  proses belajar
secara kolaborasi atau Collaborative Learning. Menurutnya, penekanan Collaborative
Learning   bukan hanya sekadar bekerja sama dalam suatu kelompok tetapi lebih kepada
suatu proses pembelajaran yang melibatkan proses komunikasi secara utuh dan adil di
dalam kelas. Proses tersebut meliputi :
a. Bagaimana guru berkomunikasi dengan murid dalam kaitannya dengan informasi
yang akan diajarkan dan bagaimana kriteria penilaian?
b. Bagaimana murid itu berkomunikasi dengan guru dengan guru dan dengan murid
lainnya?
c. Apakah komunikasi di kelas adalah komunikasi satu arah, dua arah, atau multi arah?
d. Apakah komunikasi dalam bentuk tulisan, ucapan, atau sentuhan dan peragaan? 
Menurut Kemp dalam Hirschy (2003), Collaborative Learning itu meliputi kemampuan
sosial dan kemampuan pembelajaran. Ini menggabungkan 3 konsep, yaitu tanggungjawab
individu (individual accountability), keuntungan kelompok (group benefit), dan pencapaian
kesuksesan yang sama (equal achievement of success). Tujuan dari Collaborative
Learningadalah meningkatkan interaksi siswa dalam memahami suatu tugas.
Berikut ini langkah-langkah pembelajaran kolaboratif.
1. Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-
sendiri.
2. Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis..
3. Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi, mendemontrasikan,
meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-jawaban tugas atau masalah
dalam LKS atau masalah yang ditemukan sendiri.
4. Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah, masing-masing
siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
5. Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya diupayakan agar semua
kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan presentasi hasil diskusi kelompok
kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada kelompok lain mengamati, mencermati,
membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan
selama lebih kurang 20-30 menit.
6. Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan elaborasi, inferensi, dan
revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan dikumpulan.
7. Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah dikumpulkan, disusun
perkelompok kolaboratif.
8. Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada pertemuan berikutnya,
dan didiskusikan

Ada banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli maupun
praktisi pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada John Hopkins
University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian secara luas, yaitu:

1. Learning Together

Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa yang beragam


kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian
didasarkan pada hasil kerja kelompok.

2. Teams-Games-Tournament (TGT)

Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba
dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian
didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.

3. Group Investigation (GI)

Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan
pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan
siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di depan
forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.

4. Academic-Constructive Controversy (AC)


Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual
yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota sekelompok
maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian
dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan
antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap
anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.

5. Jigsaw Proscedure (JP)

Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda tentang
suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok bahasan, tes
diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasarkan pada rata-rata skor tes
kelompok.

6. Student Team Achievement Divisions (STAD)

Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam
setiap kelompok saling belajar dan membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan
seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan
kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian didasarkan pada
pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok.

7. Complex Instruction (CI)

Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada
penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan pengetahuan sosial. Fokusnya adalah
menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode
ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual(menggunakan dua bahasa)
dan di antara para siswa yang sangat heterogen. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja
kelompok.

8. Team Accelerated Instruction (TAI)

Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara pembelajaran kooperatif/ kolaboratif


dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap anggota kelompok diberi soal-soal yang
harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama
dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap siswa
mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika seorang siswa belum dapat menyelesaikan
soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap
tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada hasil belajar
individual maupun kelompok.

9. Cooperative Learning Stuctures (CLS)


Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa (berpasangan).
Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan
pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau
skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan
sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.

10. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)

Model pembelajaran ini mirip dengan TAI. Sesuai namanya, model pembelajaran ini
menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para
siswa saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun
lisan di dalam kelompoknya.

Keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta yang berpartisipasi dalam model


pembelajaran kolaboratif adalah:

1. Pembentukan kelompok

2. Bekerja dalam satu kelompok

3. Pemecahan masalah kelompok

4. Manajemen perbedaan kelompok

Menurut Reid (2004) dalam menggembangkan collaborative learning ada lima tahapan


yang harus dilakukan, yaitu:

1.      Engagement

Pada tahap ini, pengajar melakukan penilaian terhadap kemampuan, minat, bakat dan kecerdasan
yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Lalu, siswa dikelompokkan yang di dalamnya terdapat
siswa terpandai, siswa sedang, dan siswa yang rendah prestasinya.

2.      Exploration

Setelah dilakukan pengelompokkan, lalu pengajar mulai memberi tugas, misalnya dengan
memberi permasalahan agar dipecahkan oleh kelompok tersebut. Dengan masalah yang
diperoleh, semua anggota kelompok harus berusaha untuk menyumbangkan kemampuan berupa
ilmu, pendapat ataupun gagasannya.

3.      Transformation

Dari perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa, lalu setiap anggota saling
bertukar pikiran dan melakukan diskusi kelompok. Dengan begitu, siswa yang semula
mempunyai prestasi rendah, lama kelamaan akan dapat menaikkan prestasinya karena adanya
proses transformasi dari siswa yang memiliki prestasi tinggi kepada siswa yang prestasinya
rendah.

4.      Presentation

Setelah selesai melakukan diskusi dan menyusun laporan, lalu setiap kelompok
mempresentasikan hasil diskusinya. Pada saat salah satu kelompok melakukan presentasi, maka
kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi tersebut, dan
menanggapi.

5.      Reflection

Setelah selesai melakukan presentasi, lalu terjadi proses Tanya-jawab antar kelompok.
Kelompok yang melakukan presentasi akan menerima pertanyaan, tanggapan ataupun sanggahan
dari kelompok lain. Dengan pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain, anggota kelompok
harus bekerjasama secara kompak untuk menanggapi dengan baik.

Brandt (2004) menekankan adanya lima elemen dasar yang dibutuhkan agar kerjasama
dalam proses pembelajaran dapat sukses, yaitu :

1.      Possitive interdependence (saling ketergantungan positif)

Yaitu siswa harus percaya bahwa mereka adalah proses belajar bersama dan mereka peduli pada
belajar siswa yang lain. Dalam pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia bergantung
secara positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan tanggung jawab
menguasai bahan pelajaran dan memastikan bahwa semua anggota kelompoknya pun
menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses.

2.      Verbal, face to face interaction (interaksi langsung antarsiswa)

Yaitu hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antarsiswa
yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling berhadapan dan saling
membantu dalam pencapaian tujuan belajar. Siswa juga harus menjelaskan, berargumen,
elaborasi, dan terikat terhadap apa yang mereka pelajari sekarang untuk mengikat apa yang
mereka pelajari sebelumnya.

3.      Individual accountability (pertanggungjawaban individu)

Yaitu setiap kelompok harus realis bahwa mereka harus belajar. Agar dalam suatu kelompok
siswa dapat menyumbang, mendukung dan membantu satu sama lain, setiap siswa dituntut harus
menguasai materi yang dijadikan pokok bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok
bertanggung jawab untuk mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap
hasil belajar kelompok.
4.      Social skills (keterampilan berkolaborasi)

Yaitu keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut mempunyai
keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok tercipta interaksi yang dinamis untuk
saling belajar dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar kolaboratif. Siswa harus
belajar dan diajar kepemimpian, komunikasi, kepercayaan, membangun dan keterampilan dalam
memecahkan konflik.

5.      Group processing (keefektifan proses kelompok)

Yaitu kelompok harus mampu menilai kebaikan apa yang mereka kerjakan secara bersama dan
bagaimana mereka dapat melakukan secara lebih baik. Siswa memproses keefektifan kelompok
belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana
yang tidak serta membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan atau yang perlu
diubah.

Tiga pola pengelompokkan, yaitu:

1.      The two-person group (tutoring)

Yaitu satu orang ditugasi mengajar yang lain. Jadi, siswa dapat berperan sebagai pengajar yang
disebut tutor, sedangkan siswa yang lain disebut tutee.

2.      The small group (interactive recitation; discussion)

Adalah cara penyampaian baha pelajaran di mana guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan
masalah.

3.      Small or large group (recitation)

Yaitu suatu metode mengajar dan pengajar memberikan tugas untuk mempelajari sesuatu kepada
pembelajar, kemudian melaporkan hasilnya. Tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar dapat
dilaksanakan di rumah, sekolah, perpustakaan, laboratorium, atau di tempat lain.

Karakteristik dalam belajar kolaboratif adalah :

1. Siswa belajar dalam satu kelompok dan memiliki rasa ketergantungan dalam proses
belajar, penyelesaian tugas kelompok mengharuskan semua anggota bekerja bersama.

2. Interaksi intensif secara tatap muka antar anggota kelompok.

3. Masing-masing siswa bertanggung jawab terhadap tugas yang telah disepakati.

4. Siswa harus belajar dan memiliki ketrampilan komunikasi interpesonal.


5. Peran guru sebagai mediator.

6. Adanya sharing pengetahuan dan interaksi antara guru dan siswa, atau siswa dan siswa.

7. pengelompokkan secara heterogen.

E.     KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

1.      Kelebihan

a. Siswa belajar bermusyawarah

b. Siswa belajar menghargai pendapat orang lain

c. Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional

d. Dapat memupuk rasa kerja sama

e. Adanya persaingan yang sehat

2.      Kelemahan

a. Padapat serta pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok persoalan.

b. Membutuhkan waktu cukup banyak.

c. Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya yang lemah merasa
rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain.

d. Kebulatan atau kesimpulan bahan kadang sukar dicapai.

F.     PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa collaborative learning merupakan salah satu


strategi pembelejaran yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar. Dalam strategi tersebut
lebih memfokuskan bagaimana memaksimalkan partisipasi dan keaktifan dalam pembelajaran
serta bagaimana siswa dapat mengkonstruksi sendiri ilmu pengetahuan untuk menjadi miliknya.
Dalam strategi ini, peran guru cenderung menjadi fasilitator, motivator, dan membimbing
menemukan alternatif pemencahan bila terjadi siswa mengalami kesulitan belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Hastuti, Sri. 1996. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian
Proyek Penataran Guru Slip Setara D-III.

Parwoto. 2007. Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Departemen


Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.
C. DISCOVERY LEARNING
1. Pengertian Pembelajaran Discovery Learning Penemuan (discovery)
Merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan
pandangan konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau
ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam
proses pembelajaran. Menurut Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan
penemuan siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka
sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk
memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Pengertian discovery learning menurut Jerome
Bruner adalah metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang
menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa anak harus
berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa
yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang
dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar
yang terjadi sebagia hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan
mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ie menemukan informasi baru. Dalam
belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu
hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau proses
dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi. Pembelajaran penemuan
merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis
modern. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri
melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong
siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.
Pembelajaran Discovery learning adalah model pembelajaran yang mengatur sedemikian
rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui
pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran
discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan jalan dan hasil penemuan ditentukan
oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Maier (Winddiharto:2004) yang
menyatakan bahwa, apa yang ditemukan, jalan, atau proses semata – mata ditemukan oleh
siswa sendiri. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif
dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan
tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan,
anak juga bisa belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri problem yang
dihadapi. Kebiasaan ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Tujuan
Pembelajaran Discovery Learning Bell (1978) mengemukakan beberapa tujuan spesifik
dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut: a. Dalam penemuan siswa
memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan
menunjukan bahwa partisipasi banyak siswa dalam pembelajaran meningkat ketika
penemuan digunakan. b. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar
menemukan pola dalam situasi konkrit mauun abstrak, juga siswa banyak meramalkan
(extrapolate) informasi tambahan yang diberikan c. Siswa juga belajar merumuskan strategi
tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi
yang bermanfaat dalam menemukan. d. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa
membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar
dan mneggunakan ide-ide orang lain. e. Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa
keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui
penemuan lebih bermakna. f. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan
dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam
situasi belajar yang baru. 3. Strategi-strategi dalam Pembelajaran Discovery Learning
Dalam pembelajaran dengan penemuan dapat digunakan beberapa strategi, strategi-strategi
yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Strategi Induktif Strategi ini terdiri dari dua
bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi (kesimpulan). Data
atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan menuju
kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini
selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak. Karenanya
kesimpulan yang ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan
perkataan “barangkali” atau “mungkin”. b. Strategi deduktif Dalam matematika metode
deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena matematika berisi
argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang peranan
penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang bersifat umum yang
sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan konsep-
konsep lain yang belum ia ketahui sebelumnya. Sebagai contoh, untuk menentukan rumus
luas lingkaran, siswa dapat diarahkan untuk membagi kertas berbentuk lingkaran menjadi n
buah sector yang sama besar, kemudian menyusunnya sedemikian rupa sehingga berbentuk
seperti persegi panjang dan rumus keliling lingkaran yang sudah diketahui sebelumnya,
siswa akan dapat menemukan bahwa luas lingkaran adalah . 4. Peranan Guru dalam
Pembelajaran Discovery Learning Dahar (1989) mengemukakan beberapa peranan guru
dalam pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut: a. Merencanakan pelajaran
sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk
diselidiki para siswa. b. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi
para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat
mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan
menggunakan fakta-fakta yang berlawanan. c. Guru juga harus memperhatikan cara
penyajian yang enaktif, ikonik, dan simbolik. d. Bila siswa memecahkan masalah di
laboratorium atau secara teoritis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing
atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebuh dahulu prinsip atau aturan
yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. e. Menilai
hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Secara garis besar tujuan
belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan
generalisai-generalisasi itu. 5. Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Discovery
Learning Kelebihan discovery learning: 1. Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk
memecahkan masalah (problem solving) 2. Dapat meningkatkan motivasi 3. Mendorong
keterlibatan keaktifan siswa 4. Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab ia
berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir. 5. Menimbulakan
rasa puas bagi siswa. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi
sehingga minat belajarnya meningkat 6. Siswa akan dapat mentransfer pengetahuannya
keberbagai konteks. 7. Melatih siswa belajar mandiri Kekurangan discovery learning: 1.
Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalah fahaman antara guru dengan
siswa 2. Menyita waktu banyak. Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang
umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa
dalam belajar. Untuk seorang guru ini bukan pekerjaan yang mudah karena itu guru
memerlukan waktu yang banyak. Dan sering kali guru merasa belum puas kalau tidak
banyak memberi motivasi dan membimbing siswa belajar dengan baik. 3. Menyita
pekerjaan guru. 4. Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan 5. Tidak berlaku untuk
semua topik . 6. Aplikasi Pembelajaran Discovery Learning di Kelas a. Tahap Persiapan
dalam Aplikasi Model Discovery Learning Seorang guru bidang studi, dalam
mengaplikasikan metode discovery learning di kelas harus melakukan beberapa persiapan.
Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner, yaitu: a) Menentukan tujuan pembelajaran.
b) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya). c) Memilih materi pelajaran. d) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari
siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi). e) Mengembangkan bahan-bahan
belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkrit ke
abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik. g) Melakukan penilaian proses
dan hasil belajar siswa (Suciati & Prasetya Irawan dalam Budiningsih, 2005:50). b.
Prosedur Aplikasi Discovery Learning Adapun menurut Syah (2004:244) dalam
mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas tahapan atau prosedur yang harus
dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut: a)
Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan). Pertama-tama pada tahap ini pelajar
dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk
tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri (Taba dalam
Affan, 1990:198). Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh
anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan. Stimulation
pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner
memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang
mendorong eksplorasi. b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah). Setelah
dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis
(jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). c) Data collection
(pengumpulan data). Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada
para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi
untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidak hipotesis, dengan demikian
anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang
relevan, membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan
uji coba sendiri dan sebagainya (Djamarah, 2002:22). d) Data processing (pengolahan
data). Menurut Syah (2004:244) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan
informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan. Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/
kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari
generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif
jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis. e) Verification
(pentahkikan/pembuktian). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41). f) Generalization (menarik
kesimpulan/generalisasi) Tahap generalitation/ menarik kesimpulan adalah proses menarik
sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian
atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Atau
tahap dimana berdasarkan hasil verifikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau
generalisasi tertentu (Djamarah, 2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi (Junimar Affan, 1990:198).

Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah
untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada
siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah
ada.
Blake et al. membahas tentang filsafat penemuan yang dipublikasikan oleh Whewell.
Whewell mengajukan model penemuan dengan tiga tahap, yaitu: (1) mengklarifikasi; (2)
menarik kesimpulan secara induksi; (3) pembuktian kebenaran (verifikasi).
Langkah-langkah pembelajaran discovery adalah sebagai berikut:
1. identifikasi kebutuhan siswa;
2. seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi
pengetahuan;
3. seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
4. membantu dan memperjelas tugas/ problema yang dihadapi siswa serta peranan masing-
masing siswa;
5. mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;
6. mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;
7. memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;
8. membantu siswa dengan informasi/ data jika diperlukan oleh siswa;
9. memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan
mengidentifikasi masalah;
10. merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa;
11. membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.
Salah satu metode belajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang
sudah maju adalah metode discovery. Hal ini disebabkan karena metode ini: (1) merupakan
suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif; (2) dengan menemukan dan
menyelidiki sendiri konsep yang dipelajari, maka hasil yang diperoleh akan tahan lama
dalam ingatan dan tidak mudah dilupakan siswa; (3) pengertian yang ditemukan sendiri
merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer
dalam situasi lain; (4) dengan menggunakan strategi discovery anak belajar menguasai
salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkan sendiri; (5) siswa belajar berpikir
analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan
ditransfer dalam kehidupan nyata.
Beberapa keuntungan belajar discovery yaitu: (1) pengetahuan bertahan lama dan mudah
diingat; (2) hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil
lainnya; (3) secara menyeluruh belajar discoverymeningkatkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berpikir bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-
keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa
pertolongan orang lain.
Beberapa keunggulan metode penemuan juga diungkapkan oleh Suherman, dkk (2001: 179)
sebagai berikut:
1. siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk
menemukan hasil akhir;
2. siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat;
3. menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin
melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat;
4. siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu
mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks;
5. metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.
Selain memiliki beberapa keuntungan, metode discovery (penemuan) juga memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya membutuhkan waktu belajar yang lebih lama
dibandingkan dengan belajar menerima. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka
diperlukan bantuan guru. Bantuan guru dapat dimulai dengan mengajukan beberapa
pertanyaan dan dengan memberikan informasi secara singkat. Pertanyaan dan informasi
tersebut dapat dimuat dalam lembar kerja siswa (LKS) yang telah dipersiapkan oleh guru
sebelum pembelajaran dimulai

Anda mungkin juga menyukai