Anda di halaman 1dari 38

KARYA TULIS ILMIAH

PEMBUATAN KRIM TABIR SURYA DARI EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS


( Garcinia mangostana L)

Disusun Oleh :

1. Sonia Septi Maelani ( 1801045)


2. Mitta Sasmita Saputri Ismet ( 1801059)
3. Nurpatma (1801057)
4. Miftahul Alvina (1801116)
5. Besfren Joni (19012002)

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


PADANG
2020
PEMBUATAN KRIM TABIR SURYA DARI EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS
(Garcinia mangostana L.)

ABSTRAK

Manggis (Garcinia mangostana L.) kaya akan senyawa kimia xanton terutama di
bagian kulitnya. α-mangsotin sebagai senyawa derivat xanton dipercaya memiliki
kemiripan struktur kimia dengan senyawa UV filter organik sehingga berpotensi
untuk dijadikan bahan aktif tabir surya. Pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini
bertujuan untuk mngetahui cara pembuatan krim tabir surya dengan ekstrak kulit
manggis, Pembuatan krim tabir surya dilakukan dengan metode Post Test-Only
Design. Ekstrak dibuat dari 200,25 gram serbuk simplisia kulit manggis
menggunakan 3 L metanol. Fraksi etil asetat terbuat dari ekstrak kental metanol
yang dipartisi dengan 300 ml etil asetat sehingga diperoleh serbuk fraksi etil asetat
kulit manggis sebanyak 4,8633 gram. Variabel yang diteliti adalah nilai SPF yang
diperoleh dari krim dengan konsentrasi 1% fraksi etil asetat kulit manggis.
Penentuan nilai SPF dilakukan secara in vitro dengan mengukur serapan larutan
uji dalam pelarut etanol pada konsentrasi yang setara dengan 30-40mg/100ml
bahan aktif menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Hubungan nilai SPF dengan
konsentrasi bahan aktif dianalisis menggunakan uji statistik One-Way ANOVA.

Kata Kunci : Krim Tabir Surya, Kulit Manggis, Nilai SPF.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah yang berjudul “Pembuatan Krim Tabir Surya Dari Ekstrak Kulit Buah
Manggis (Garcinia mangostana L.)”.

Penulis menyadari betul bahwa sangatlah sulit menyusun karya tulis


ilmiah ini tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak yang telah
membantu, oleh karena itu penulis sangat ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada :

1. Ibu Henni Rosaini,S.Si,M.Farm selaku dosen pemangku matakuliah


teknologi fitofarmakan yang telah memberikan arahan dalam pemilihan
judul karya tulis ilmiah ini.

2. Teman-teman khususnya kelopok 9 yang telah berpartisipasi dalam


menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang
turut membantu dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan pihak yang dengan senang
hati telah membantu. Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh
dari kata sempurna. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak untuk setidaknya dapat membantu
memperbaiki karya tulis ilmiah ini.

Padang, April 2020

Kelompok 9

iii
DAFTAR ISI

ABSTRAK..............................................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
1.1 Latar Belakang.........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian.....................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
2.1 Tinjauan Pustaka.....................................................................................
2.1.1 Kulit manusia................................................................................
2.1.2 Radiasi Sinar Ultra Violet dan Dampak Buruknya ......................
2.1.3 Tabir Surya....................................................................................
2.1.4 Tanaman Manggis.........................................................................
2.1.5 Ekstraksi........................................................................................
2.1.6 Kosmetik.......................................................................................
2.1.7 Krim..............................................................................................
BAB III METODELOGI......................................................................................
3.1 Populasi...................................................................................................
3.2 Sampel.....................................................................................................
3.3 Formulasi.................................................................................................
3.4 Alasan Pemilihan Bahan.........................................................................
3.5 Alat dan Bahan........................................................................................
3.5.1 Alat................................................................................................
3.5.2 Bahan.............................................................................................
3.5.3 Cara Kerja.....................................................................................
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..............................................................................................
4.2 Saran........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Radiasi ultraviolet merupakan radiasi elektromagnetik yang memiliki

panjang gelombang diantara 100-400 nm dan dikategorikan ke dalam sinar

Ultraviolet A (320-400 nm), sinar Ultraviolet B (290-320 nm) dan sinar

Ultraviolet C (100-290 nm) (Liandhajani dkk., 2013). Matahari sebagai sumber

cahaya berperan penting bagi keberlangsungan hidup, salah satunya membantu

sintesis provitamin D yang ada pada epidermis menjadi vitamin D (Maulidia,

2010). Akan tetapi, kulit yang secara terus-menerus kontak dengan sinar matahari

dapat menimbulkan efek yang merugikan berupa perubahan akut seperti inflamasi,

eritema, pigmentasi, hiperplasia, immunosuppression dan juga efek kronik seperti

keganasan kulit dan penuaan dini. Radiasi UVC berpotensi merusak kulit, namun

sinar tersebut dapat tersaring oleh lapisan ozon sebelum mencapai bumi

(Liandhajani dkk., 2013).

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang berpotensi memperoleh

sinar matahari lebih banyak sehingga memiliki resiko tinggi terkena efek

merugikan akibat pancaran sinar UV (Misnadiarly, 2006). Kulit dapat menjadi

pertahanan awal dalam melindungi tubuh dari efek merugikan sinar UV dengan

cara penebalan startum korneum dan pigmentasi kulit. Namun, apabila kulit

kontak dengan sinar matahari secara terus-menerus, fungsinya akan menjadi tidak

efektif (Ditjen POM, 1985). Maka dari itu, diperlukan perlindungan lain dalam

menahan paparan langsung sinar matahari ke kulit serta dapat meminimalkan efek

berbahaya dari sinar UV, salah satunya adalah dengan penggunaan sediaan tabir

surya secara rutin.

v
Tabir surya merupakan kosmetik yang di dalam formulanya terkandung

senyawa aktif yang dapat menyerap atau memantulkan secara efektif cahaya

matahari pada daerah spektrum gelombang UV sehingga mencegah gangguan

kulit akibat sinar matahari (Ditjen POM, 1985). Berdasarkan mekanisme bahan

aktifnya, tabir surya dibagi menjadi dua, yaitu penghambatan fisik (physical

blocker) yang melindungi kulit dengan cara memantulkan radiasi UV seperti TiO 2

dan ZnO, dan penyerap kimia (chemical absorber) seperti turunan benzofenon,

turunan salisilat, turunan sinamat yang bekerja dengan cara menyerap radiasi UV

(Barel dkk., 2009).

Saat ini, banyak dilakukan penelitian terhadap senyawa-senyawa aktif

dalam tumbuhan yang berpotensi dijadikan bahan aktif tabir surya karena lebih

mudah diterima oleh masyarakat. Garcinia mangostana L. atau buah manggis

merupakan buah tropis khas Asia Tenggara yang memiliki banyak aktivitas

farmakologi seperti antioksidan, antijamur, antimikroba dan potensi sitotoksik

karena mengandung berbagai senyawa kimia yaitu derivat Xanton (Hyun-Ah

dkk., 2006) namun, aktivitasnya sebagai sunscreen agent masih sedikit yang

meneliti. Penelitian Liandhajani dkk. (2013) membuktikan bahwa senyawa α-

mangostin yang diisolasi dari kulit buah manggis mempunyai aktivitas sebagai

tabir surya dengan memberikan nilai SPF 21,76 pada konsentrasi 50 ppm dan 37,8

pada konsentrasi 100 ppm.

Dalam pembahasan ini akan dibuat sediaan krim tabir surya dengan bahan

aktif fraksi etil asetat kulit manggis, dimana efek tabir surya diukur dengan

menentukan nilai SPF nya secara in vitro. Krim merupakan sediaan yang

mengandung tidak lebih dari 60% air, berupa cairan kental atau emulsi setengah

vi
padat bertipe air dalam minyak maupun minyak dalam air yang biasa digunakan

sebagai emolien atau pemakaian obat pada kulit (Ansel, 2005).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara pembuatan krim tabir surya dari ekstrak kulit manggis

(Garcinia mangostana L.) ?

2. Apa saja kandungan kimia yang terdapat dalam kulit buah

manggis(Garcinia mangostana L.)?

3. Apa saja manfaat kulit buah mangis dalam bidang farmasi?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui cara pembuatan krim tabir surya dari ekstrak kulit manggis

(Garcinia mangostana L.)

2. Mengetahui kandungan kimia yang terdapat dalam kulit buah

manggis(Garcinia mangostana L.)

3. Mengetahui manfaat kulit buah mangis dalam bidang farmasi

1.4 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi baru mengenai pemanfaatan bahan alam untuk

proses pengembangan pembuatan krim tabir surya yang bersifat ramah

lingkungan dan mampu memberikan efek samping lebih sedikit

dibandingkan dengan tabir surya dari bahan kimia.

vii
viii
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kulit Manusia

1) Struktur kulit

Kulit merupakan suatu organ berlapis yang dapat menutupi permukaan

lebih dari 20.000 serta memiliki berbagai macam fungsi yaitu sebagai pertahanan

terhadap pengaruh lingkungan baik secara fisika maupun kimia, sebagai termostat

dalam mempertahankan suhu tubuh, berperan dalam mengatur tekanan darah dan

dapat melindungi tubuh dari radiasi sinar ultraviolet (Lachman dkk., 2008).

(Sumber : Clark RK, 2005)

Gambar 2.1 Penampang Lapisan Kulit

9
Kulit terdiri dari dua lapisan jaringan utama yaitu dermis dan epidermis,

serta lapisan lainnya yaitu hipodermis yang dikenal sebagai jaringan subkutan

(Tranggono, R.I dan F. Latifah, 2007). Lapisan terluar kulit disebut sebagai

stratum korneum yang terdiri dari sel-sel padat, mati dan sel-sel keratin yang

berlapis-lapis yang mengakibatkan nilai koefisien difusi dalam jaringan stratum

korneum seribu kali lebih kecil dari jaringan kulit lain bahkan lebih, sehingga

memiliki daya tahan yang tinggi dan sulit ditembus (Lachman dkk., 2008).

(1) Epidermis

Epidermis tersusun atas epithelium berlapis, terdiri juga dari sejumlah

lapisan sel yang disusun atas dua lapisan yang tampak jelas yaitu

lapisan tanduk dan zona germinalis. Lapisan tanduk terletak di bagian

paling luar, tersusun atas tiga sel yang dapat membentuk epidermis,

yaitu stratum corneum, stratum lusidium dan stratum granulosum

(Pearce, 1979).

(2) Dermis

Lapisan dermis disusun oleh jaringan fibrus dan jaringan ikat yang

elastis. Pada permukaan dermis tersusun papila-papila kecil berisi

ranting-ranting pembuluh darah kapiler. Fungsi lapisan dermis adalah

memberikan kekuatan pada struktur jaringan ke kulit (Pearce, 1979).

Secara garis besar jaringan ini dibagi menjadi dua yaitu pars papilare

(bagian yang menonjol ke epidermis) dan pars retikulare (bagian

bawah dermis yang berhubungan dengan subkutis) (Tranggono, R.I

dan F. Latifah, 2007).

10
(3) Lapisan subkutis (hypodermis)

Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak yang

ada di dalamnya. Lapisan sel-sel lemak disebut juga panikulus adipose

yang memiliki fungsi sebagai cadangan makanan. Di dalam lapisan ini

juga terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah bening

(Tranggono, R.I dan F. Latifah, 2007).

2) Fisiologi kulit

Fungsi Biologik Kulit diantaranya :

(1) Proteksi

Kulit memiliki serabut elastis yang posisinya terletak di bagian dermis

serta jaringan lemak subkutan yang mempunyai fungsi yaitu mencegah

trauma mekanik langsung terhadap interior tubuh. Mantel asam kulit

berfungsi mencegah pertumbuhan bakteri di kulit. Lapisan tanduk dan

mantel lemak kulit dapat menjaga kadar air dalam tubuh dengan cara

mencegah masuknya air dari luar tubuh, mencegah penguapan air dan

berfungsi sebagai barrier terhadap racun dari luar (Tranggono, R.I dan

F. Latifah, 2007).

(2) Termoregulasi

Tranggono (2007) menyatakan bahwa kulit berfungsi sebagai

termoregulasi, mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi

dan konstriksi pembuluh kapiler, melalui prespirasi, yang keduanya

dipengaruhi saraf otonom. Pada saat temperatur badan meningkat

terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan pembuangan panas.

(3) Persepsi Sensoris

Kulit bertanggung jawab dalam menerima rangsangan dari luar baik

berupa tekanan, raba, suhu dan nyeri melalui beberapa reseptor, seperti

11
Benda Meissner, Diskus Merkell dan Korpuskulum Golgi sebagai

reseptor raba, Korpuskulum Pacini sebagai reseptor tekanan,

Korpuskulum Ruffini dan Benda Krauss sebagai reseptor suhu dan

Nervus End Plate sebagai reseptor nyeri. Rangsangan terahadap kulit

akan diterima oleh reseptor-reseptor berdasarkan jenis rangsangannya

kemudian diteruskan ke SSP dan selanjutnya akan diinterpretasikan

oleh suatu korteks serebri (Tranggono, R.I dan F. Latifah, 2007).

(4) Absorbsi

Epidermis dan kelenjar sebasea merupakan dua jalur di dalam kulit

yang mampu mengabsorbsi bahan-bahan tersebut untuk masuk ke

dalam tubuh. Kulit lebih mudah mengabsorbsi material yang larut di

dalam lemak dibanding material yang larut dalam air dan air itu sendiri

(Tranggono, R.I dan F. Latifah, 2007).

(5) Fungsi Lain

Kulit dapat dijadikan sebagai gambaran status emosional seseorang

ditandai dengan adanya perubahan warna kulit menjadi pucat ataupun

kontraksi otot penegak rambut (Tranggono, R.I dan F. Latifah, 2007).

3) Absorpsi Perkutan

Penggunaan obat secara topikal sebagai terapi dermatologi memiliki

tujuan yang secara umum yaitu untuk menghasilkan efek terapeutik pada tempat

yang spesifik di jaringan epidermis melalui proses penetrasi difusi dari kulit atau

biasa disebut absorpsi perkutan (Lachman dkk., 2008). Absorpsi perkutan

memiliki pengertian yaitu absorpsi bahan dari luar kulit ke posisi di bawah kulit

termasuk yang masuk ke dalam aliran darah. Absorpsi perkutan dari bahan obat

12
yang terjadi dalam sediaan topikal seperti cairan, gel, salep, krim atau pasta tidak

hanya bergantung pada sifat kimia dan fisika dari bahan obat itu sendiri, tetapi

juga pada sifat pembawa obat dan kondisi dari kulit. Obat dengan sistem secara

topikal, mekanisme kerjanya adalah obat tersebut akan keluar dari pembawanya

dan berdifusi ke permukaan jaringan kulit melalui beberapa jalur, yaitu melalui

daerah kantung rambut, melalui kelenjar keringat atau melalui stratum korneum

yang terletak diantara kelenjar keringat dan kantung rambut (Lachman dkk.,

2008). Beberapa jalur difusi obat pada stratum korneum, diantaranya penetrasi

transeluler (menyebrangi sel), penetrasi interseluler (antarsel), penetrasi

transappendageal (melalui folikel rambut, keringat, kelenjar lemak dan

perlengkapan pilo sebaceous) (Ansel, 2005).

2.1.2 Radiasi Sinar Ultraviolet dan Dampak Buruknya

Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar UV diklasifikasikan menjadi

tiga tipe yaitu Ultraviolet C, Ultraviolet B dan Ultraviolet A. Sinar UVC (200-290

nm) merupakan sinar UV yang berpotensi besar menyebabkan kerusakan pada

kulit, tetapi sinar UVC dapat tersaring oleh lapisan ozon sebelum mencapai

permukaan bumi. Sedangkan UVB (290-320 nm) dan UVA (320-400 nm) adalah

radiasi UV yang dapat mencapai permukaan bumi (Barel dkk., 2009). Intensitas

sinar UV memancarkan sinarnya ke bumi ditentukan oleh musim, lokasi dan

waktu, terutama pukul 10.00 - 16.00 merupakan waktu yang berbahaya bagi orang

untuk melakukan aktivitasnya di luar (Shaath dan Nadim, 2005). Semakin pendek

panjang gelombang, semakin berbahaya radiasi UV tersebut (WHO, 2014),

semakin panjang suatu panjang gelombang, semakin dalam sinar UV berpenetrasi

ke dalam kulit (Barel dkk., 2009). Kulit yang terpapar sinar UV secara terus-

13
menerus dapat mengakibatkan efek berbahaya seperti sunburn, eritema,

immunosuppressive, mutagenik bahkan kanker kulit (Barel dkk., 2009).

Sinar UVB merupakan sinar yang aktif secara biologi dan mampu

berpenetrasi hingga lapisan dermis (Hawk dkk., 2004). Sebanyak 2-5% radiasi

sinar UV yang menembuas bumi adalah sinar UVB dan 95-98% nya adalah sinar

UVA. Sinar UVB merupakan penyebab utama terjadinya photoaging dan

photocarsinogenesis (Hawk dan Young, 2004; Walker dkk., 2008). Sinar UVB

berperan dalam terjadinya kerusakan DNA. Sinar UVB yang terserap oleh

epidermis dan dapat menembus papila dermis akan menyebabkan gejala berupa

eritema. Radiasi UVA juga dapat menimbulkan eritema, tetapi sangat kurang

efektif dibandingkan dengan UVB. Eritema yang terjadi pada kulit sangat

bergantung pada dosis dan tipe kulit. Dosis terendah yang dibutuhkan untuk

mengakibatkan terjadinya kemerahan minimal yang dapat dilihat dengan jelas 24

jam setelah radiasi UV disebut dengan Minimal Erythema Dose (MED) (Rigel

dkk., 2004).

Sinar UVA terbagi lagi menjadi UVA I (340-400 nm) dan UVA II (320-340 nm).

Radiasi sinar UVA diperkirakan sebanyak 95% dapat mencapai permukaan bumi

(WHO, 2014). Sinar ini dapat berpenetrasi lebih dalam ke permukaan kulit dan

dengan segera menyebabkan efek tanning. UVA berperan penting meyebabkan

penuaan kulit dan kerutan (photoaging), namun sampai saat ini para ilmuan

mempercayai bahwa sinar ini tidak menyebabkan kerusakan yang cukup

signifikan di daerah epidermis, tetapi tidak dipungkiri bahwa sinar ini memiliki

kemampuan untuk mempertinggi resiko kemungkinan terjadinya kanker kulit, hal

ini dikarenakan UVA akan merusak bagian kulit yang disebut keratinosit yaitu

tempat dimana kanker kulit biasa terjadi (WHO, 2014).

14
2.1.3 Tabir Surya

Tabir surya adalah sediaan yang mengandung bahan aktif yang mampu

menghamburkan atau mengabsorbsi energi dari radiasi sinar matahari. Pada

hakikatnya, penggunaan tabir surya ditujukan untuk mengurangi atau mencegah

terjadinya sunburn (Cioca dkk., 1996). Produk tabir surya diketahui dapat

melindungi kulit dari beberapa efek berbahaya radiasi sinar matahari. Produk ini

mengandung molekul yang dapat mengabsorbsi sinar matahari pada panjang

gelombang ultraviolet (290-320 nm) sebelum sinar tersebut menembus kulit.

Bahan alam yang diperoleh dari ekstrak tumbuhan dipertimbangkan

memiliki potensi sebagai sunscreen agent karena mampu menyerap sinar UV

pada panjang gelombang UV dan karena aktivitas antioksidannya (Khazaeli P.

dan Mitra M., 2008). Kombinasi sinergik dari antioksidan dan sunscreen agent

dapat memberikan potensi yang tinggi dalam melindungi kulit terhadap efek

berbahaya radiasi UV (Siddiqui dkk., 2000).

1) Mekanisme Perlindungan Tabir Surya

Mekanisme kerja UV filters terbagi ke dalam dua cara yaitu chemical

absorber dan physical blocker. Tabir surya berbahan aktif kimia umumnya

mengandung gugus aromatik yang dihubungkan dengan gugus karbonil. Physical

blocker atau pemblok fisik bekerja dengan merefleksikan atau menghamburkan

sinar UV. Sediaan tabir surya pemblok fisik dengan ukuran partikel mikro juga

dapat berfungsi sebagai pengabsorbsi sinar UV (Barel dkk., 2009).

Tabel 2.1 Perbandingan Physical Sunscreen dan Chemical Sunscreen

Kriteria Physical Chemical


Chemica
l sunscreen
Bekerja dengan
Physical sunscreen mengabsorbsi sinar UV.
Cara Kerja melindungi kulit dari Beberapa tabir surya tipe

15
matahari dengan Ini dapat juga
memblok sinar UV. menghamburkan sinar UV
namun tetap lebih banyak
mengabsorbsi.
Sunblock Organic sunscreen
Nama lain
Inorganic sunscreen
Oktil metoksisinamat,
Avobenzon, Oktinoksat,
UV filters Titanium dioksida Oktisalat, Oksibenzon,
Zink Oksida Homosalat, Tinosorb
dan lain-lain.
Pada umumnya Kebanyakan bersifat tidak
Stabilitas
bersifat stabil Stabil
Titanium dioksid Tipe ini mampu
melindungi radiasi menawarkan perlindungan
sinar UVB, tetapi terhadap sinar UVA dan
Protection tidak dalam semua UVB, tetapi besar
spektrum UVA. Zink perlindungannya
Oksida melindungi bergantung pada partikel
sinar UVB dan UVA aktif dan stabilitasnya.
(Sumber : http://www.skinacea.com Tahun : 2012)
2) Syarat-syarat Bahan Aktif Tabir Surya (Maulidia,2010)

Syarat-syarat bahan aktif sediaan tabir surya adalah :

a. Memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi UVB, bersifat stabil

tanpa adanya perubahan secara kimiawi, karena akan mengurangi

efisiensi, bahkan bisa menjadi toksik dan menimbulkan iritasi.

b. Dapat meneruskan sinar UVA untuk mendapatkan tanning

(biasanya untuk kulit orang Eropa).

c. Stabil, tahan terhadap keringat dan tidak mudah menguap.

d. Tidak toksik, mengiritasi dan tidak menyebabkan sensitifitas.

3) Sun Protection Factor

Produk pelindung sinar UV seperti losio tabir surya, didesain untuk

menyerap atau menghamburkan radiasi sinar UV dan menjaga kulit dari bahaya

sinar UV. Efektivitas perlindungan sinar UVB diekspresikan sebagai nilai Sun

Protection Factor (SPF) (Khan, 2014) yang merupakan faktor waktu

16
perlindungan terhadap kulit yang terpapar sinar matahari dibandingkan dengan

kulit tanpa perlindungan (Allen dkk., 2010).

SPF didefinisikan sebagai kalkulasi energi sinar UV yang diperlukan

untuk menginduksi 1 dosis minimal eritema (MED) dalam kulit yang dilindungi

setelah dioleskan 2 mg produk tabir surya dengan kulit yang tidak dilindungi tabir

surya. Angka SPF menggambarkan rasio waktu yang dibutuhkan untuk

memberikan iradiasi untuk memproduksi MED (dosis sinar UV yang dibutuhkan

untuk terjadinya sunburn atau eritema 16-24 jam setelah terpapar) (Barel dkk.,

2009).

MEDpi adalah rasio dosis minimal sinar UV yang dibutuhkan untuk

terjadinya eritema dalam kulit yang terlindungi dan MEDui = rasio dosis minimal

sinar UV yang dibutuhkan untuk menyebabkan eritema dalam kulit yang tidak

terlindung (European Comission, 2006). Semakin besar nilai SPF, semakin efektif

suatu produk dalam mencegah sunburn (FDA, 2009).

Pengukuran nilai SPF suatu sediaan tabir surya yang dilakukan secara in

vitro terbagi menjadi dua tipe. Tipe pertama yaitu dengan cara mengukur serapan

atau tranmisi radiasi UV melalui lapisan produk tabir surya pada plat kuarsa atau

biomembran. Tipe kedua yaitu dengan menentukan karakteristik serapan tabir

surya meggunakan analisis secara spektrofotometri larutan hasil pengenceran dari

tabir surya yang duji (Kaur dan Saraf, 2010). Mansur mengembangkan suatu

persamaan matematis untuk mengukur nilai SPF secara in vitro dengan

menggunakan spektrofotometer. Perhitungan nilai SPF secara in vitro yang dibuat

oleh Mansur dkk. sangat menguntungkan dan cepat (Khan, 2014). Cara

perhitungan nilai SPF berdasarkan rumus matematis yang dikembangkan Mansur:

17
320
SPF  CF x  EE (  ) x I ( ) x Abs( )
spectrophotometric 290

Dimana CF (Correction Factor) merupakan faktor koreksi yang sudah mempunyai nilai tetap
yaitu 10, EE (Erythemal Effect spectrum) menyatakan spektrum efek eritemal, I (solar
intensity spectrum) adalah intensitas spektrum sinar dan absorbansi (Abs) merupakan nilai
serapan produk tabir surya
Nilai EExI merupakan nilai konstan yang sudah ditetapkan dan dapat dilihat pada

tabel 2.2.

Tabel 2.2 Nilai EExI

Panjang gelombang (λ nm) EE x I


290 0,0150
295 0,0817
300 0,2870
305 0,3278
310 0,1864
315 0,0839
320 0,0180
Total 1
EE-Erythemal effect spectrum; I-solar intensity spectrum

Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi nilai SPF diantaranya perbedaan

pelarut ketika tabir surya dilarutkan, kombinasi dan konsentrasi tabir surya, tipe

emulsi, efek dan interaksi antar komponen, inetraksi komponen dengan kulit, nilai

pH sediaan, dan sifat alir emulsi yang dapat meningkatkan atau menurunkan

penyerapan sinar UV dari tabir surya (Khan, 2014). FDA mengelompokkan

keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan nilai SPF (Wilkinson & Moore, 1982).

Tabel 2.3 Keefektifan Sediaan Tabir Surya

SPF Kategori Proteksi Tabir Surya


2-4 Proteksi Minimal
4-8 Proteksi Sedang
6-8 Proteksi Ekstra
8-15 Proteksi Maksimal
≥15 Proteksi Ultra

18
2.1.4 Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.)

1) Klasifikasi

Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) diklasifikasikan menjadi :

Kingdom: Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Ordo : Guttiferales atau Clusiales
Family : Guttiferae (Clusiaceae)
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana L. (Hutapea dan Sugasti, 2006)

2) Morfologi

Garcinia mangostana L. yang dikenal dengan tanaman manggis termasuk

ke dalam spesies Clusiaceae (Guttiferae). Manggis merupakan pohon berbuah

dengan tinggi mencapai 6-25 m, kulitnya tebal dan pertumbuhannya lambat

(Pedraza-Chaverri dkk., 2008).

(a) (b)

(Sumber : http://garciniauscite.atspace.eu/garcinia-mangostana.html)
Gambar 2.2 (a) Buah Manggis, (b) Pohon Manggis

19
Buah manggis memiliki variasi berat antara 75-120 g, berwarna ungu tua

atau kemerah-merahan, daging buahnya mengandung banyak air dan lembut

ketika dimakan, rasanya sedap dengan sedikit asam-manis (Pedraza-Chaverri dkk.,

2008). Kulit buah manggis mengandung α-mangostin tidak kurang dari 1,09%

(Depkes RI, 2010).

3) Ekologi dan Penyebaran

Garcinia mangostana L. tumbuh di daerah tropis terutama di kawasan

Asia Tenggara seperti India, Myanmar, Malaysia, Filipina, Sri Lanka dan

Thailand (Pedraza-Chaverri dkk., 2008).

4) Kegunaan

Kulit manggis mengandung pigmen yang berasal dari dua metabolit yaitu

α-mangostin dan β-mangostin. Kulit manggis banyak digunakan sebagai

pengobatan infeksi kulit, luka dan diarrhea selama bertahun-tahun di Thailand

(Liandhajani dkk., 2013). Penelitian ilmiah membuktikan bahwa ekstrak kulit

manggis memiliki banyak manfaat diantaranya sebagai, antioksidan (Hyun-Ah

dkk., 2006), antialergi, antiinflamasi, antitumor, antibakteri, antifungi, dan

antivirus (Pedraza-Chaverri dkk., 2008).

5) Kandungan Kimia

Kulit manggis mengandung senyawa xanton dengan mengeksudasikan

resin kuning, selain xanton, mengekstraksi kulit manggis didapat kandungan

tannin dan flavonoid (Pedraza-Chaverri, 2008). Maliana dkk. (2013) menemukan

bahwa ekstrak etanol kulit manggis mengandung senyawa bioaktif dari golongan

tannin, polifenol, alkaloid, terpenoid dan flavonoid.

20
6) Xanton

Salah satu alasan mengapa kulit manggis sangat bermanfaat bagi

kesehatan adalah karena senyawa xanton yang terkandung di dalamnya. Xanton

merupakan bahan kimia aktif yang memiliki struktur cincin 6 karbon dan karbon

rangkap yang mengakibatkan senyawa tersebut dapat stabil dan memiliki banyak

kegunaan ketika berada dalam tubuh (Mardiana, 2011).

Gambar 2.3 Derivat senyawa Xanton yang telah diisolasi

Xanton termasuk ke dalam keluarga fitonutrien, disinyalir memiliki kadar

antioksidan yang lebih tinggi daripada vitamin C dan vitamin E terutama pada

bagian kulitnya (pericarp). Sekitar 40 jenis senyawa xanton terkandung di dalam

kulit manggis diantaranya, mangostin, mangostenol, mangostinon A,

mangostenon B, trapezifolixanthone, tovophyllin B, α-mangostin, β-mangostin,

21
garcinon B, mangostanol, flavonoid epicatechin, epikatekin, garciniafuran,

mangoxanthone, gartanin, dan lain-lain (Mardiana, 2011).

Dari semua senyawa jenis xanton yang terdapat dalam kulit manggis, α-

mangostin dan γ-mangostin merupakan yang paling bermanfaat. α-mangostin

yang diambil dari kulit batang atau getah manggis berhasil diisolasi pertama kali

pada tahun 1855 dengan wujud berupa zat kuning. Sebagai antioksidan nomor

pertama, xanton memiliki banyak manfaat diantaranya, ampuh dalam membantu

mengusir radikal bebas, menghambat penuaan, dan mengontrol penyakit

degeneratif seperti arthritis (Mardiana, 2011).

2.1.5 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan kandungan kimia yang dapat

larut pada pelarut tertentu agar terpisah dari bahan yang tidak terlarut dengan

pelarut cair. Cairan pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi adalah pelarut

yang mampu menarik senyawa kandungan yang berkhasiat agar dapat

memisahkan bahan yang diinginkan dari senyawa kandungan lainnya (Ditjen

POM Depkes RI, 2000). Metode ekstraksi memiliki jenis yang beragam, salah

satunya adalah dengan menggunakan pelarut.

1) Maserasi

Prinsipnya adalah merendam bahan yang akan dimaserasi menggunakan

pelarut tertentu dalam wadah tertutup pada suhu ruangan. Kecepatan ekstraksi
dapat ditingkatkan dengan cara pengadukan sesekali atau secara konstan

menggunakan alat pengocok mekanik. Kelemahan dari metode ini yaitu prosesnya

memakan waktu yang lama bahkan dapat berlangsung selama beberapa jam

hingga beberapa minggu. (Ditjen POM Depkes RI, 2000).

2) Perkolasi

22
Proses ekstraksi dengan cara mengalirkan cairan penyari melalui serbuk

simplisia yang telah dibasahi. Alat yang digunakan dalam proses perkolasi

dinamakan perkolator, serbuk simplisia direndam di dalam pelarut yang

bentuknya seperti kerucut terbalik (Ditjen POM Depkes RI, 2000).

3) Soxhlet

Prinsipnya adalah menggunakan pelarut yang selalu baru dan jumlah

pelarut yang relatif konstan serta adanya pendingin balik. Metode ini dilakukan

dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu (Ditjen POM Depkes RI,

2000).

4) Refluks

Proses ekstraksi menggunakan pelarut tertentu pada temperatur titik

didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarutnya terbatas, prosesnya relatif

konstan dengan adanya kondensor. Kekurangan dari metode ini yaitu komponen

yang tidak tahan panas akan mudah terdegradasi (Ditjen POM Depkes RI, 2000).

5) Infusa

Proses ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infusa tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96°-

98°C) selama waktu 15-20 menit. Dekok adalah metode infusa dengan waktu

yang lebih lama dan dilakukan pada temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM

Depkes RI, 2000).

6) Digesti

Digesti disebut juga maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu), secara

umum dilakukan pada temperatur 40°-50°C (Ditjen POM Depkes RI, 2000).

2.1.6 Kosmetik
Menurut Kemenkes No 445/Menkes/Permenkes/1998, “Kosmetik

merupakan sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian

23
luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar), gigi

dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah

penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau

badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu

penyakit” (Tranggono, R.I dan F. Latifah, 2007).

2.1.7 Krim

Krim merupakan emulsi setengah padat baik tipe air dalam minyak

maupun minyak dalam air yang biasa digunakan sebagai emolien atau pemakaian

obat pada kulit (Ansel, 2005). Berdasarkan tipe emulsinya, krim dibagi menjadi

dua yaitu (Ditjen POM, 1985) :

1) Emulsi minyak dalam air (O/W)

Krim minyak dalam air merupakan emulsi yang fase lipofilnya

terdispersi dalam fase hidrofil. Krim tipe ini memiliki sifat yang

mudah menghilang dan memberikan efek dingin pada kulit, sehingga

krim ini disebut juga vanishing cream.

2) Emulsi air dalam minyak (W/O)

Emulsi ini merupakan emulsi yang fase hidrofilnya terdispersi dalam

fase lipofil. Konsentrasi krim bervariasi dan bergantung pada

komponen fase minyak, fase air dan campuran zat pengemulsi yang

dipakai.

BAB III

24
METODELOGI

3.1 Populasi

Seluruh buah kulit manggis dikawasan sekitar kecamatan nanggalo.

3.2 Sampel

sampel dalam penelitian ini adalah Ekstrak diperoleh dari 200,25 gram simplisia kulit

buah manggis yang telah masak yang dimaserasi menggunakan 3 L metanol, kemudian

dipartisi menggunakan etil asetat sebanyak 300 ml sehingga didapatkan ekstrak sebanyak 5

gram, yang dibuat dengan konsentrasi 1%.

3.3 Formulasi

R/ Ekstrak kulit manggis 1%


Paraffin cair 20%
SLS 1%
Setostearil Alkohol 9%
Metyl Paraben 0,18%
Propil Paraben 0,2%
Propilenglikol 15%
BHT 0,05%
Etanol 96% Qs
Aquadest ad 100

25
3.4 Alasan Pemilihan Bahan

1. Ekstrak kulit manggis

Mengandung zat aktif senyawa xanton yang memiliki antioksidan yang lebih tinggi

dari pada vitamin C dan vitamin E terutama pada bagian kulit.

2. Setostearil Alkohol

Digunakan sebagai stiffening agent dengan konsentrasi 2-10%

(Rowe dkk, 2009)

3. Metyl Paraben

Digunakan sebagai antimikroba dengan konsentrasi 0.02-0,3%

(Rowe dkk, 2009)

4. Propil Paraben

Digunakan sebagai antimikroba dengan konsentrasi 0,01-0,6%

(Rowe dkk, 2009)

5. BHT

Digunakan sebagai antioksidan topikal dengan konsentrasi 0,0075-0,1%

(Rowe dkk, 2009)

6. Propilenglikol

Digunakan sebagai antimikroba, humektan, desinfektan, bahan pelarut dan stabilizer

7. Etanol 96%

Digunakan sebagai pelarut

8. Aquadest

Sebagai pelarut yang biasa digunakan berupa air yang mengalami penyulingan

3.5 Alat dan Bahan

3.5.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Timbangan Analitik

(Mettler Toledo), Corong pisah (Pyrex), Spektrofotometer UV-VIS Double-Beam

26
(Shimadzu UV-1700 PHARMA SPEC), Lampu UV (Camag), pH-meter (Mettler

Toledo), Viskometer Stormer, Kolom silika gel, Rotary Evaporator (IKA)® RV

10 digital), Oven (Memmert), Plat tetes, Dryer (Sayota Lady), Alat-alat gel

3.5.2 Bahan

Paraffin Cair (Pharmaceutical Grade), SLS (Pharmaceutical Grade),

Setostearil Alkohol (Pharmaceutical Grade), Setil Alkohol (Pharmaceutical

Grade), Metil Paraben (Pharmaceutical Grade), Propil Paraben (Pharmaceutical

Grade), Propilenglikol (Pharmaceutical Grade), BHT (Pharmaceutical Grade),

Krim Komersil Kode P dengan SPF 33, Simplisia kulit manggis, Akuades, Etanol

96%, Metanol (Merck, Jerman), N-heksan, Etil Asetat dan Kloroform.

3.5.3 Cara Kerja

1. Parameter Karakteristik Ekstrak dan Simplisia

(1) Parameter Spesifik Ekstrak (Maulidia, 2010)

a. Identitas

Bertujuan untuk mengetahui identitas spesifik dari ekstrak meliputi

pendeskripsian dari nama ekstrak (nama latin, bagian tumbuhan yang

digunakan, nama Indonesia dan senyawa identitas yang dapat

dijadikan sebagai petunjuk dengan metode tertentu).

b. Organoleptik

Bertujuan untuk mengetahui bentuk, warna dan bau dari ekstrak.

(2) Parameter Non Spesifik Simplisia (Depkes RI, 2000)

a. Pemeriksaan susut pengeringan

Botol timbang dipanaskan pada suhu 105°C selama 30 menit, lalu

ditimbang. Hal tersebut dilakukan sampai memperoleh bobot botol

timbang yang konstan atau perbedaan hasil tidak melebihi 0,005 g.

27
Timbang 1 gram sampel, dimasukkan ke dalam botol timbang. Sampel

dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 jam dan ditimbang kembali.

Proses pengeringan dilanjutkan dan timbang kembali selama 1 jam

hingga perbedaan antara penimbangan berturut-turut tidak lebih dari

0,25 %. Susut pengeringan dihitung dengan persamaan di bawah ini.

a -b
% Susut Pengeringa n  a x 100%

Keterangan :
a = berat awal simplisia (g)
b = berat akhir simplisia (g)

b. Pemeriksaan kadar abu

Krus tertutup kering ditimbang sebagai berat kosong (a), sebanyak 2

g simplisia (b) dimasukkan ke dalam krus yang sudah ditara, lalu

dipijarkan di dalam furnace pada suhu 600°C sampai menjadi abu,

didinginkan dan ditimbang hingga bobot konstan (c).

c -a
% Kadar Abu  b x 100%

c. Rendemen ekstrak

Rendemen ekstrak dapat dihitung menggunakan rumus berikut.

% Rendemen ekstrak : berat ekstrak


yang diperoleh (g) x 100% berat
simplisia awal (g)

2. Proses Ekstraksi

(1) Ekstrasi serbuk simplisia kulit manggis dengan metanol

Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Sebanyak

200 gram serbuk simplisia kering kulit manggis (Garcinia mangostana

L.) dimaserasi menggunakan 500 ml metanol selama tiga hari pada

28
suhu ruang, masing-masing dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.

Kemudian disaring menggunakan kertas saring. Uapkan larutan yang

telah disaring tersebut dalam rotary evaporator pada suhu 50°C

sehingga menghasilkan ekstrak kental metanol.

3. Pembuatan krim ekstrak kulit manggis :

1. Fase minyak yang terdiri dari setostearil alkohol, setil alkohol dan

sebagian paraffin cair dimasukkan ke dalam cawan kemudian dilebur

di atas penangas air pada suhu 70ºC (Campuran 1).

2. Fase air yang terdiri dari SLS dan propilenglikol dimasukkan ke dalam

beaker glass dan ditambahkan akuades, kemudian dipanaskan pada

suhu 70 ºC (Campuran 2).

3. Masukan campuran 1 ke campuran 2 pada suhu yang sama, diaduk

hingga terbentuk massa krim (Campuran 3).

4. BHT dilarutkan menggunakan sebagian paraffin cair.

5. Metil paraben dan propil paraben dilarutkan dengan menggunakan

etanol 96%.

6. Dimasukkan metil paraben dan propil paraben yang sudah larut ke

dalam campuran 3, diaduk hingga homogen.

7. BHT yang sudah dilarutkan dimasukkan ke dalam campuran 3, diaduk

hingga homogen.

8. Fraksi etil asetat kulit manggis dilarutkan menggunakan etanol 96%,

lalu dimasukkan ke dalam campuran 3, diaduk hingga homogen.

9. Krim yang sudah jadi dimasukkan ke dalam wadah.

4. Penentuan nilai SPF sediaan krim

29
Krim Fraksi Etil Asetat Kulit Manggis 1% : Sebanyak 0,1 gram sampel

ditimbang dengan teliti lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml dan diencerkan

dengan etanol (larutan konsentrasi 4000 ppm setara dengan 40 ppm bahan aktif).

Nilai SPF dihitung menggunakan persamaan Mansur dkk.. Spektrum

serapan sampel diperoleh menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang

gelombang 290-400 nm dengan menggunakan etanol sebagai blanko. Serapan

diukur setiap interval 5 nm yaitu masing-masing pada panjang gelombang 290,

295, 300, 305, 315, 320 (nm). Nilai serapan yang diperoleh dikalikan dengan EE x

I untuk masing-masing interval. Nilai EE x I tiap interval dapat dilihat pada Tabel

2.2. Jumlah EE x I yang diperoleh dikalikan dengan faktor koreksi (CF nilainya =

10) untuk mendapatkan nilai SPF dari sediaan.

Cara perhitungan SPF berdasarkan metode Mansur :

SPF (spectrophotometric CF x EE (  ) x I( ) x Abs ()

Keterangan :

CF = Faktor koreksi (nilai = 10)

EE = Spektrum efek eritemal

I= Intensitas spektrum sinar

Abs = Serapan produk tabir surya

5. Evaluasi fisik sediaan krim (Setiawan, 2010)

1) Organoleptis

Pengamatan organoleptis merupakan penilaian terhadap tekstur

sediaan yang meliputi perubahan bentuk, warna dan bau krim.

2) Uji Homogenitas

30
Homogenitas diuji dengan cara mengoleskan krim yang telah dibuat

pada kaca objek, lalu dilihat bagaimana sebaran basis tersebut.

3) Uji pH

Pengukuran pH dilakukan menggunakan alat pH meter yang

sebelumnya sudah dikalibrasi menggunakan larutan dapar standar pH 4

dan 7. Krim diuji nilai pH nya dan interpretasi hasilnya disesuaikan

dengan pH kulit. Menurut standar mutu sediaan tabir surya dalam SNI

16-4399-1996, rentang pH yang baik dalam sediaan tabir surya adalah

4,5 – 8,0.

4) Uji Viskositas

Uji viskositas sediaan krim dilakukan menggunakan alat Viskometer

Stromer. Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dengan akuades 10 ml

dan diukur viskositasnya menggunakan spindel yang sesuai.

31
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kulit manusia sesungguhnya telah memiliki sistem perlindungan alamiah terhadap

efeksinar matahari yang merugikan dengan cara penebalan stratum korneum dan pigmentasi

kulit. Namun tidak efektif untuk menahan kontak dengan sinar matahari yang berlebih. Untuk

mengatasinya diperlukan perlindungan tambahan, seperti menggunakan sediaan tabir surya.

Sediaan tabir surya ekstrak kulit manggis adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk

maksud menyerap secara efektif sinar matahari terutama didaerah gelombang ultraviolet

sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit oleh sinar matahari. Tabir surya yang

beredar di pasaran dapat kita pilih sesuai dengan kebutuhan, apakah untuk memfilter sinar

UVB atau sekaligus menghambat sinar UVA.

5.2 Saran

Disarankan untuk pembuatan tabir surya menggunakan esktrak kulit manggis dengan kualitas

yang bagus karna nantinya akan mempengaruhi kualitas sediaan yang dihasilkan .

32
DAFTAR PUSTAKA

Allen, M.W., Gordon B., Thermo Fisher Scientific, Madison, WI, USA . 2012.
“Measuring the Sun Protection Factor of Sunscreens”. USA: Thermo
Scientific.
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi IV. hlm. 492-513.
Terjemahan dari Introducton to pharmaceutical dosage form oleh Farida
Ibrahim. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Barel, A.O., M. Paye, Howard I. Maibach. 2009. Handbook of Cosmetic Science and
rd
Technology 3 Edition. hlm. 311-324. New York: Informa Healthcare.

Cioca, G., Jon E. Anderson, Isaac D. Cohen, Charles C. Tadlock, Andrew J.


Bevacqua. 1996. “Sunscreens Containing Plant Extracts”. Dalam: United
Status Patent. 3 September. United States.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ditjen POM. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan
Pertama. Hal. 10-11. Jakarta: Ditjen POM Depkes RI.

European Commission. 2006. Standardisation mandate assigned to concerning


methods for testing efficacy of sunscreen products. Brussels: European
commission.

Ditjen POM. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

FDA. 2009. Effectivity of Sun Protection Factor. Dalam:


http://www.fda.gov/AboutFDA/CentersOffices/OfficeofMedicalProductsa
ndTobacco/CDER/ucm106351.htm. 26 Februari. United States.

Hawk, J. dan Young, A. 2004. Cutaneus Photobiology. Dalam: Burn, T.


Breathnach, CoxN., Griffiths, editors. Rook;s Textbook of Dermatology.
Oxford Blackwell Scientific Publication. Vol. 24: 241-9.
Hyun-Ah Jung, Bao Ning S., W.J. Keller, R.G. Mehta, A.D. Kinghorn. 2006.
“Antioxidant Xanthones from the Pericarp of Garcinia mangostana L
(Mangosteen)”. Dalam: Journal of Agriculture and Food Chemistry.
Chicago. 54. 2077-2082.

Kaur, C.D dan Saraf, S. 2010. “In Vitro Sun Protection Factor Determination of
Herbal Oils Used in Cosmetics”. Dalam: Pharmacognocy Research 2,
Issue 1. Hal. 22-25.

Kementrian Kesehatan RI. 2010. Suplemen Farmakope Herbal Indonesia. hlm.


65-67. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

33
Khan, M.A. 2014. “Sun Protection Factor Determination Studies of Sunscreen
Formulations For Their Selection and Use in Cosmetics”. Dalam Journal
of Pharmaceutical Biology. India. 4(1), 9-11

Lachman, L., Herbert A. Lieberman, Joseph A.Kanig. 2008. Teori dan Praktek
Farmasi Industri. Edisi ketiga. hlm. 1093-1096. Jakarta : UI Press.

Liandhajani, M.I.I., Sukrasno, Andreanus A. Soemardji, Muhammad Hanafi.


2013. “Sunscreen Activity of ɑ-mangostin from the Pericarps of Garcinia
mangostana Linn Liandhajani, Maria Immaculata Iwo, Sukrasno,
Andreanus A. Soemardji, Muhammad Hanafi”. Dalam Journal of Applied
Pharmaceutical Science Vol.3 (06). Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Hal. 070-073

Maliana, Y., S. Khotimah., F. Diba. 2013. “Aktivitas Antibakteri Kulit Garcinia


mangostana Linn. Terhadap Pertumbuhan Flavobacterium dan Holmgren
Enterobacter coptotermes curvinathus”. Dalam Jurnal Protobiont 2.
Mardiana, L. 2011. Ramuan dan Khasiat Kulit Manggis. Cetakan pertama.
Jakarta: PT Penebar Swadaya.
Pedraza-Chaverri J., Noemi Cardenas-Rodriguez, Marisol Orozco-Ibarra, Jazmin
M. Perez-Rojas. 2008. ”Medicinal properties of mangosteen (Garcinia
mangostana)”. Dalam Food and Chemical Toxicology. Vol 46. Meksiko:
Science Direct. 3227-3239.

Pearce, Evelyn. 1979. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Cetakan pertama.
Jakarta : PT Gramedia.

Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W., Dover, J.S. 2004. Photoaging 6th ed.
Terjemahan oleh Marcel Dekker, dkk. dari Flitzpatrick;s dermatology in
General Medicine. New York: McGraw-Hill. Hal. 517-41.

Rowe, R.C., Paul J.S., dan Marian E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients. 6th ed., London: Pharmaceutical Press.

Shaath, N. 2005. Sunscreen: Regulation and Commercial Development 3rd ed.


Taylor and Francis Group. New York.

Siddiqui, M., Richard L.R., James A. Greene. 2000. “High Efficiency Skin
Protection Formulation with Sunscreen Agents and Antioxidant”. Dalam:
United States Patent.
Tranggono, R.I dan F. Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Kosmetik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Walker, S.L. Hawk, J.L.M. dan Young, A.R. 2008. “Acute and Chronic
Collagenase Degradeed Collagen in Vitro”. Dalam: Journal Pathology.
Vol 158: 931-42.

[WHO] World Health Organization. 2014. “What is UV”. Dalam:


http://www.who.int/uv/faq/whatisuv/en/index2.html. Diakses tanggal 24
Februari 2015.

34
35
36
37
38

Anda mungkin juga menyukai