Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN MINI PROPOSAL PROJECT BASED LEARNING (PJBL)

PENANGANAN EPILEPSI PADA ANAK

KELOMPOK 4 :

Ketua : Afini Anindita Ramania 201810420311083

Anggota : Sevina Eka Purwati 201810420311049

Amelia Ayu Shita 201810420311050

Ishak Dahlan 201810420311054

M. Nur Maulana Ibrahim 201810420311055

Ulfa Nur Faujiah 201810420311058

Farid Rochman C 201810420311059

Wulan Rahmadana 201810420311063

Titania Ervina Mahardika R 201810420311064

Yuvarmadion Nugraha Alfiqi 201810420311070

Navy Sealsi Adinda Prisca Marina 201810420311075

Diby Fadilah 201810420311078

Nabilah Widyadhari Ayu Larista 201810420311079

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI ILMU
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG 2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah melakukan,

Pengajuan Miniproposal Project Based Learning (PjBL)


Penanganan Epilepsi Pada Anak

Pada,
Hari/Tanggal :
Tempat :

Fasilitator Ketua Kelompok

Ika Riski Anggraini, S.Kep.Ns Afini Anindita


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala , penulis panjatkan karena hanya
berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya pengerjaan produk PjBL Blok Keperawatan Anak
dengan judul Penanganan Epilepsi Pada Anak dapat terselesaikan dengan baik.
Sholawat serta salam tidak lupa pula tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, panutan yang selalu kami rindukan syafaatnya. Penulis menyadari bahwa produk PjBL ini
dapat diselesaikan berkat bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak. Semoga apa
yang telah diberikan kepada peneliti, senantiasa mendapatkan balasan yang terbaik dari Allah
SWT.

Tim penulis sadar bahwa produk PjBL ini masih sangat jauh dari kata sempurna maka
tim penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhirnya tim penulis mengharap
semoga produk PjBL ini bermanfaat bagi peneliti lain maupun bagi orang lain yang membaca
saat ini dan dikemudian hari.

Malang, 18 Maret 2020

Kelompok 4
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................................2
KATA PENGANTAR..............................................................................................................3
DAFTAR ISI.............................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................5
1.2 Keterkaitan Dengan Mata Kuliah.....................................................................................6
1.3 Kebermanfaatan dengan Pihak Lain.................................................................................6
1.4 Kebermanfaat dengan Keperawatan.................................................................................6
1.5 Manfaat.............................................................................................................................6
1.6 Tujuan...............................................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................7
2.1 Pengertian Epilepsi pada Anak.........................................................................................7
2.2 Penyebab Epilepsi pada Anak..........................................................................................8
2.3 Tanda dan Gejala serta Kriteria Epilepsi pada Anak......................................................11
2.4 Dampak Epilepsi pada Anak..........................................................................................10
2.5 Pemeriksaan Penunjang Epilepsi pada Anak.................................................................12
2.6 Penatalaksanaan dan Intervensi Keperawatan Epilepsi pada Anak...............................13
BAB III MEKANISME.........................................................................................................15
3.1 Rancangan......................................................................................................................15
3.2 Sumber Daya yang Diperlukan......................................................................................15
3.3 Sumber Biaya.................................................................................................................16
3.4 Jadwal Kegiatan..............................................................................................................16
BAB IV PENUTUP...............................................................................................................17
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom epilepsi adalah bentuk klasifikasi epilepsi berupa sekumpulan tanda dan gejala
yang muncul bersamaan dalam suatu serangan epilepsi. Klasifikasi sindrom epilepsi ini
diperkenalkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1989, yang
disusun berdasarkan usia/onset saat terjadi kejang, tipe kejang, status neurologis, faktor pencetus,
gejala dan tanda fisik maupun mental, riwayat keluarga, gambaran EEG, prognosis serta respon
terhadap pengobatan (Cui, 2019).

Epilepsi pada anak mempunyai angka kejadian cukup tinggi. Sebagian besar epilepsi
pada orang dewasa mengalami serangan awal pada usia dini.1 Insidens epilepsi pada anak 20-70
per 100000 per tahun,1,2 dengan prevalens 500-2000 per 100000.1 Pengobatan epilepsi dengan
fenobarbital tidak lagi merupakan pilihan pertama di luar negeri, walaupun cukup efektif, aman,
dan tidak mahal,3-5,8,9 tetapi mempunyai efek samping mengantuk, gangguan tidur, bertambah
agresif, hiperaktif,4,6,10 gangguan tingkah laku, dan penurunan kecerdasan.4 Efek samping dan
reaksi toksik fenobarbital pada anak tercatat mencapai 40% (Perucca, 2018).

Insiden sindrom epilepsi belum diketahui secara pasti. Annegers (1996) melaporkan
insiden epilepsi idiopatik berkaitan dengan lokasi (idiophatic localized-related) sebesar 1,7 per
100.000, insiden epilepsi simptomatik berkaitan lokasi (symptomatic localized-related) sebesar
13,6 per 100.000. Sindrom epilepsi yang paling sering ditemukan pada masa anak adalah epilepsi
Rolandic (Perucca, 2018).

Oleh karena itu epilepsi pada anak-anak nilainya semakin meningkat, dibutuhkan
penanganan dan pencegahan untuk menurunkan resiko epilepsy pada anak dan cara untuk
menangani atau penatalaksanaan epilepsi khususnya pada anak. Untuk lebih lengkapnya
dijelaskan pada bab tinjauan pustaka.
1.2 Keterkaitan Dengan Mata Kuliah

Pada materi pencegahan epilepsy pada anak ini sangat berkaitan dengan mata kuliah
keperawatan. Dapat mengajarkan mengenai bagaimana epilepsy terjadi pada anak. Mempelajari
kondisi kesehatan pada anak.

1.3 Kebermanfaatan dengan Pihak Lain


Materi tentang ini tentunya bermanfaat pada pihak lain atau produsen pangan seperti
para orangtua ataupun pengasuh anak jika ada tanda gejala yang terjadi merujuk pada epilepsy
dapat mengerti cara untuk menanganinya di rumah dan cara merujuk pada layanan kesehatan jika
tanda gejala dirasa parah.

1.4 Kebermanfaatan dengan Keperawatan

Membantu untuk dapat memahami tentang penyebab, penatalaksanaa serta intervensi


epilepsi yang terjadi pada pasien anak.

1.5 Manfaat
Dalam pembuatan produk ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Dan untuk para
tenaga kesehatan, ini juga memudahkan para tenaga kesehatan dalam memberikan pendidikan
kesehatan kepada masyarakat untuk menangani epilepsy pada anak. Manfaat dari pengerjaan
Project Based Learning (PJBL) memberikan wawasan luas secara umum kepada masyarakat
terkait dengan epilepsy yang diderita khususnya pada anak-anak.
1.6 Tujuan
Tujuan kami dalam membuat miniproposal ini yaitu agar masyarakat atau orangtua
dan perawat mengetahui dan memahami penanganan epilepsy pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Epilepsi pada Anak


Epilepsi didefinisikan sebagai kejang berulang yang tidak terkait dengan demam
atau dengan serangan otak akut. Kata “epilepsi” berasal dari kata Yunani “epilambanein”
yang berarti “serangan” dan menunjukkan bahwa “sesuatu dari luar badan seseorang
menimpanya, sehingga ia jatuh”. Epilepsi tidak dianggap sebagai suatu penyakit, akan
tetapi sebabnya diduga sesuatu diluar badan si penderita, biasanya dianggap sebagai
kutukan roh jahat atau akibat kekuatan gaib yang menimpa seseorang. Anggapan
demikian masih terdapat dewasa ini, terutama di kalangan masyarakat yang belum
terjangkau oleh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan (Risa, Vera, 2014).

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,


dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.13 Terdapat dua kategori dari kejang
epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena
adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai
10 kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang
luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang
mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum (Cui, 2019).

2.2 Penyebab Epilepsi pada Anak


1. Bayi Lahir Prematur
Bayi yang lahir lebih awal juga bisa terkena resiko epilepsi. Ada banyak hal yang
menyebabkan bayi bisa terlahir prematur termasuk seperti kehamilan kembar atau
komplikasi kehamilan. Ini sangat berbahaya untuk bayi karena organ pada otak dan
sistem syaraf belum berkembang dengan sempurna. Kemudian bayi juga bisa lahir
dengan kondisi kekurangan oksigen. Ada banyak resiko penyakit yang bisa terjadi
pada bayi yang lahir secara prematur. Kemudian ketika bayi lahir prematur maka juga
bisa memiliki resiko pendarahan dalam otak. Kondisi ini yang akan memicu serangan
kejang pada sistem otak dan juga resiko pendarahan intrakranial.
2. Bayi Kekurangan Oksigen saat Persalinan
Kemudian penyebab epilepsi pada bayi dan anak yang lain adalah terjadi ketika
bayi dilahirkan dengan kondisi kurang oksigen. Hal ini bisa terjadi karena proses
persalinan yang sangat sulit, ibu mengalami pendarahan yang berat selama persalinan,
gangguan pada plasenta, bayi lahir sungsang dan kondisi kesulitan lain. Tanda bayi
yang kurang oksigen bisa saja seperti tidak menangis saat dilahirkan, warna kulit
sangat pucat, bibir biru, detak jantung yang sangat lemah dan bayi tidak bereaksi
terhadap beberapa tes. Akibatnya maka otak bayi kurang oksigen, sehingga banyak
reaksi impuls listrik setelah bayi lahir yang memicu neuron pada otak bayi.

3. Kadar Natrium, Kalsium dan Natrium Rendah


Bayi yang lahir akan melewati beberapa pemeriksaan dan kemudian bayi bisa
dinyatakan sehat. ketika bayi lahir dengan berat badan yang rendah maka bayi
mungkin kurang nutrisi selama dalam kandungan. Hal ini juga bisa membuat
penyerapan nutrisi pada bayi menjadi sangat rendah. Akibatnya bayi bisa kekurangan
bahan penting seperti natrium, kalsium dan glukosa. Kekurangan bahan ini bisa
menyebabkan gerakan neuron dan sistem syaraf dalam otak bayi menjadi tidak
normal. Inilah yang kemudian bisa menyebabkan bayi terkena epilepsi. Semua ini
juga bisa dipengaruhi ketika ibu hamil kurang nutrisi selama hamil.

4. Infeksi Otak dan Batang Otak


Bayi yang masih sangat rentan termasuk usia 3 tahun ke bawah, bisa terkena
infeksi. Ada dua jenis infeksi yang sangat berbahaya pada bayi seperti meningitis dan
ensefalitis. Meningitis disebabkan oleh virus yang kemudian menyerang sum-sum
tulang yang menghubungkan dengan batang otak. Dampaknya sangat berat karena
bisa memicu kematian pada bayi jika tidak dirawat dengan cepat dan tepat. Kemudian
bayi yang terkena ensefalitis sebenarnya terjadi ketika virus menyerang pada batang
otak dan bisa melemahkan sistem otak. Bayi bisa koma selama berbulan-bulan dan
memiliki resiko tinggi terkena epilepsi.
5. Kelainan Otak Sejak Lahir
Cacat mental atau cacat fisik pada bayi juga bisa menyebabkan epilepsi pada bayi.
Hal ini paling sering terjadi ketika bayi terkena kelainan otak sejak lahir. Beberapa
penyakit lain seperti sindrom down, trisomi 13, sindrom fragille dan jenis kelainan
lain bisa menyebabkan bayi terkena epilepsi. Komplikasi pada otak akan membuat
bayi lebih sering terkena kejang. Kemudian masalah ini bisa lebih berat karena
biasanya otak bayi juga tidak mendapatkan oksigen yang cukup akibat masalah paru-
paru dan jantung pada bayi.

6. Pengaruh Genetik
Banyak ahli yang mengatakan jika epilepsi bukan termasuk penyakit keturunan.
Memang ini tepat karena nyatanya tidak ada bukti yang membenarkan bahwa epilepsi
itu penyakit yang diturunkan. Tapi ketika salah satu orang tua atau keluarga orang tua
memiliki riwayat epilepsi maka anak juga bisa mengalami hal yang sama. Jadi secara
umum medis sering menyebutkan jika epilepsi juga bisa disebabkan oleh genetik
meskipun angkanya memang sangat kecil.

7. Pengaruh Cedera Kepala saat Lahir


Cedera kepala saat masih bayi ternyata juga bisa menyebabkan bayi mengalami
epilepsi. Resiko cedera kelapa pada bayi paling sering terjadi karena bayi jatuh dari
tempat tidur, kecelakaan kendaraan yang menyebabkan pukulan pada kepala dan bayi
jatuh saat digendong. Benturan yang keras bisa menyebabkan bagian otak terguncang
kemudian memicu dorongan keras pada neuron. Akibatnya banyak impuls listrik yang
menyerang sistem syaraf dalam waktu bersamaan. Inilah yang kemudian
meningkatkan resiko epilepsi pada bayi dan anak-anak.

8. Hydrocephalus
Salah satu kelainan lain yang bisa menjadi penyebab epilepsi pada bayi dan anak
adalah kondisi hidrocefalus. Hidrocefalus akan membuat kepala bayi banyak berisi
cairan yang kemudian mendesak otak, sistem syaraf dan fungsi organ lain. Otak
menghasilkan cairan yang kemudian bisa disekresikan ke luar tubuh melewati
beberapa organ. Tapi pada hidrocefalus tidak ada saluran yang bisa membantu cairan
keluar. Akibatnya bisa merusak otak dan memicu epilepsi pada bayi .

9. Hipoksia Perinatal
Lahir tepat waktu atau kehamilan lebih lama juga bisa memicu epilepsi pada bayi.
Kondisi ini terjadi ketika bayi lahir kemudian langsung mengalami kekurangan
oksigen pada bagian otak. kondisi ini bisa terjadi sejak bayi sudah masuk waktu
persalinan. Hipoksia perinatal adalah sebuah kondisi yang bisa membuat otak bayi
terluka, otak bayi tumbuh dengan tidak normal dan otak bayi kekurangan nutrisi.
Selain menyebabkan epilepsi maka kondisi ini juga bisa memicu kelainan pada anak
seperti autis, tantrum dan hiperaktif (Risa, Vera, 2014) .

2.3 Tanda dan Gejala Serta Kriteria Epilepsi pada Anak


Begitu tubuh anak terindikasi epilepsi, tubuh biasanya akan mengalami berbagai tanda
dan gejala awal seperti :
1. Anggota badan jadi kaku seolah tak bisa digerakkan.
2. Muncul sensasi kedutan di sebelah mata atau sebagian wajah.
3. Anak tampak bengong atau melamun beberapa saat kemudian hilang kesadaran.
4. Anak tiba-tiba terjatuh seperti kehilangan tenaga (Risa, Vera, 2014).
Ada pula kriteria epilepsy yaitu :
1. Epilepsi dan Sindrom epilepsi lokal (localized related)
 Idiopatik (primer)
A. Epilepsi benigna dengan gelombang paku daerah temporal
B. Epilepsi dengan gelombang paroksismal daerah oksipital
C. Primary Reading Epilepsy
 Simptomatik (sekunder)
A. Epilepsi parsialis kontinua kronik progresif pada anak (Sindrom
Kojewnikoff’s)
B. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi rangsangan tertentu
C. Epilepsi dan sindrom lain berdasarkan lokasi dan etiologi
1. Epilepsi lobus temporalis
2. Epilepsi lobus frontalis
3. Epilepsi lobus parietalis
4. Epilepsi lobus oksipitalis
 Kriptogenik
2. Epilepsi dan sindrom epilepsi umum
 Idiopatik
A. Kejang neonatus familial benigna
B. Kejang neonatus benigna
C. Epilepsi mioklonik pada bayi
D. Epilepsi lena pada anak (pyknolepsy)
E. Epilepsi lena pada remaja
F. Epilepsi mioklonik pada remaja
G. Epilepsi dengan bangkitan tonik klonik saat terjaga
H. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu diatas
I. Epilepsi yang dipresipitasi faktor tertentu
 Idiopatik dan/atau simptomatik
A. Sindrom West (infantile spasms)
B. Sindrom Lennox-Gastaut
C. Epilepsi mioklonik astatik
D. Epilepsi lena mioklonik
 Simptomatik
A. Etiologi non spesifik
a. Ensefalopati mioklonik dini
b. Ensefalopati infantile dini dengan burst suppression
c. Epilepsi simptomatik lain yang tidak termasuk diatas
B. Etiologi spesifik : Membangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom epilepsy yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
 Bangkitan umum dan fokal
A. Bangkitan neonatal
B. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
C. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
D. Epilepsi afasia didapat (Sindrom Landau Kleffner)
E. Epilepsi yang tidak terklasifikasi selain diatas
4. Sindrom khusus
 Berkaitan dengan situasi tertentu
A. Kejang demam
B. Bangkitan kejang terjadi hanya sekali
C. Bangkitan kejang yang terjadi ekibat keadaan tertentu seperti stress, perubahan
hormonal, obat, alkohol, kurang tidur
 Kejang terisolasi atau Status epileptikus terisolasi (Saing, J. H, 2016)

2.4 Dampak Epilepsi pada Anak


1. Mengakibatkan kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan pada
anak.
2. Kelainan gambaran EEG.
3. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak,
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya) (Cui, 2019).

2.5 Pemeriksaan Penunjang untuk Epilepsi pada Anak


1. Elektroensefalografi (EEG).
Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun menyingkirkan diagnosis
epilepsi, kurang lebih 5% pasien tanpa epilepsi mempunyai kelainan EEG berupa aktivitas
epilepsi pada rekaman EEG, dan hanya 50% pasien dengan epilepsi memiliki aktivitas
epileptiform pada rekaman EEG pertamanya11. EEG sangat berperan dalam menegakkan
diagnosis epilepsi dan memberikan informasi berkaitan dengan sindrom epilepsi, serta dalam
menentukan lokasi atau fokus kejang khususnya pada kasus-kasus kejang fokal15-17.
Prosedur standar yang digunakan pada pemeriksaan EEG adalah rekaman EEG saat tidur
(sleep deprivation), pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik, dimana ketiga keadaan
tersebut dapat mendeteksi aktivitas epileptiform. Selain ketiga prosedur standar diatas dikenal
pula rekaman Video-EEG dan ambulatory EEG, yang dapat memperlihatkan aktivitas elektrik
pada otak selama kejang berlangsung11,15-17.
2. MRI.
MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada kasus-kasus epilepsi
karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan sensitivitas yang tinggi. Gambaran
yang dihasilkan oleh MRI dapat digunakan untuk membedakan kelainan pada otak, seperti
gangguan perkembangan otak (sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal), tumor otak,
kelainan pembuluh darah otak (hemangioma kavernosa) serta abnormalitas lainnya18.
Meskipun MRI memiliki banyak keunggulan, pemeriksaan dengan MRI tidak dilakukan pada
semua jenis epilepsi. MRI tidak dianjurkan pada sindrom epilepsi dengan kejang umum
karena jenis epilepsi ini biasanya bukan disebabkan oleh gangguan struktural. Demikian juga
halnya dengan BETCS, karena BETCS tidak disebabkan oleh gangguan pada otak18.
3. CT Scan.
Walaupun CT Scan sering memberikan hasil yang normal pada kebanyakan kasus
epilepsi, CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup penting karena dapat
menunjukkan kelainan pada otak seperti atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor dan
kelainan pada pembuluh darah otak (Risa, Vera, 2014).

2.6 Penatalaksanaan dan Intervensi Keperawatan Epilepsi pada Anak


2.6.1 Penatalaksanaan
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal,
maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu jika keadaan tersebut sudah teratasi,
maka terjadinya kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak
dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti kejang untuk
mencegah kejang lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya
biasa hanya mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat,
karena itu obat anti kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intervena.
Obat anti kejang sangat efektif, tapi juga bisa menimbulkan efek samping. Salah satu
diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak – anak menyebabkan
hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk mengetahui fungsi ginjal,
hati dan sel – sel darah. Obat anti kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian
obat lain berlawanan dengan obat anti kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter karena
bisa mengubah jumlah obat anti kejang di dalam darah. Keluarga penderita hendaknya
dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting
adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah
leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita.
Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dibaringkan agar lebih mudah
bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar – benar sadar dan bisa
bergerak secara normal. Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan
pembedahan untuk mengangkat serat – serat saraf yang menghubungkan kedua sel otak
(korpus kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengobati epilepsi atau
efek sampingnya tidak dapat ditoleransi (Gusti, Made, 2011).

2.6.2 Intervensi Keperawatan Epilepsi pada Anak


1. Berikan privasi dan perlindungan pada anak yang mengalami epilepsy.
2. Jika anak yang mengalami epilepsy berada di lantai jika memungkinkan lindungi kepala
dengan bantalan untuk mencegah cedera dari membentur permukaan yang keras.
3. Lepaskan pakaian yang ketat pada anak.
4. Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai anak selama kejang.
5. Jika anak di tempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
6. Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah atau benda yang dapat memberi
bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
7. Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk
memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena
tindakan ini.
8. Jangan ada upaya dibuat untuk merestrein anak selama kejang karena kontraksi otot kuat
dan restrenin dapat menimbulkan cidera.
9. Jika mungkin tempatkan anak dalam kondisi miring pada salah satu sisi dengan kepala
fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan
mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret. Setelah
kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa
jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode
apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat
bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan (Risa, Vera, 2014).
BAB III

MEKANISME

3.1 Rancangan

a. Mencari materi yang berkaitan dengan PJBL

b. Mencari jurnal penelitian yang berkaitan dengan PJBL

c. Menyusun laporan mini proposal PJBL

d. Melakukan konsultasi dengan fasilitator

e. Membuat desain produk PJBL

f. Merancang anggaran biaya PJBL

3.2 Sumber Daya yang Diperlukan

No Nama Peran
1. Yuvarmadion Nugraha Alfiqi Membuat laporan akhir
2. Wulan Rahmadana Membuat laporan akhir
3. Amelia Ayu Shita Membuat laporan akhir
5. Sevina Eka Purwati Mencari literature dan Mengerjakan mini
proposal
6. Titania Ervina Mencari literature dan Mengerjakan mini
proposal
7. Navy Sealsi Adinda Mencari literature dan Mengerjakan mini
proposal
8. Nabilah Widyadhari Ayu Membuat design pjbl
Larista
9. M. Nur Maulana Ibrahim Membuat design pjbl
10. Ishak Dahlan Membuat design pjbl

3.3 Sumber Biaya

No Nama Barang Harga


1. Pencetakan miniprop Rp 20.000;

Total Rp 20.000;

3.4 Jadwal Kegiatan

Kegiatan Minggu

I II III
Planning

Background Research
Writing Proposal
Manuscript Making
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kejadian epilepsy pada anak merupakan bentuk klasifikasi epilepsi pada anak yang
ditentukan berdasarkan usia/onset saat terjadi kejang, tipe kejang, status neurologis, faktor
pencetus, gejala dan tanda fisik maupun mental, riwayat keluarga, gambaran EEG, prognosis
serta respon terhadap pengobatan. Klasifikasi ini merupakan panduan untuk menentukan
diagnosis epilepsi yang lebih akurat, sehingga tatalaksana yang diberikan kepada penderita
akan tepat dan terarah. Dengan, demikian, prognosis penyakit dan kualitas hidup penderita
epilepsi dapat lebih optimal khusunya penderita anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA

Saing, J. H. (2016). Tingkat Pengetahuan, Perilaku, dan Kepatuhan Berobat Orangtua dari Pasien
Epilepsi Anak di Medan. Sari Pediatri, 12(2), 103-7.

Suwarba, I. G. N. M. (2016). Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada anak. Sari
Pediatri, 13(2), 123-8.

Vera, R., Dewi, M. A. R., & Nursiah, N. (2014). Sindrom Epilepsi Pada Anak. Majalah
Kedokteran Sriwijaya, 46(1), 72-76.

Cui, C., Li, S. Z., Zheng, X. L., Cheng, W. J., & Xia, Q. (2019). Health assessment of Chinese
adolescents with epilepsy in the preparatory phase of transition process from pediatric to
adulthood: A single-center study using the Omaha system. Journal of pediatric nursing.

Perucca, P., Scheffer, I. E., & Kiley, M. (2018). The management of epilepsy in children and
adults. Medical Journal of Australia, 208(5), 226-233.

Anda mungkin juga menyukai