Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH EVALUASI GIZI DAN PANGAN

PENGARUH PENAMBAHAN NATRIUM BENZOAT TERHADAP


VITAMIN C PADA SARI BUAH BELIMBING

KELOMPOK 3 :

1. Nusi Susanti (J1A017079)


2. Ria Junianti ( J1A017085)
3. Rifti Aulia Utami (J1A017087)
4. Rizka Agusfiana Triutami (J1A017089)
5. Rosita (J1A017093)
6. Salwah Ramdhani (J1A017095)
7. Saripati (J1A017097)
8. Siti Nurshafira (J1A017101)
9. Solatul Hifzi Ulan Nasri (J1A017103)
10. Tini Helawati (J1A017113)
11. Triono Saputra (J1A017115)
12. Vanetta Crisha Budi Harto (J1A017117)
13. Winda Novita Sari (J1A017119)
14. Yuliatin Hasfiani (J1A017125)
15. Shania Julianas Arsia (J1A017127)

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI

UNIVERSITAS MATARAM

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul
“Pengaruh Penambahan Zat Aditif terhadap Zat Gizi” ini dengan baik. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi mata kuliah Evaluasi Gizi dan Pangan.
Atas terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dosen pembimbing mata kuliah Evaluasi Gizi dan Pangan
yang telah meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk membimbing kami.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari taraf
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pihak.

Mataram, 25 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

COVER..........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................5
1.3 Tujuan..................................................................................................................5
1.4 Manfaat................................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................7
2.1 Pengertian Bahan Aditif.......................................................................................7
2.2 Jenis-Jenis Bahan Aditif/Bahan Tambahan Makanan (BTM).............................8
2.3 Bahaya Bahan Tambahan Makanan Bagi Kesehatan........................................14
2.4 Kandungan Kimia Buah Belimbing...................................................................16
BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................18
3.1 Natrium Benzoat................................................................................................18
3.2 Karakteristik Vitamin C.....................................................................................19
3.3 Tahapan Proses Pembuatan Sari Buah Belimbing.............................................19
3.4 Pengaruh Penambahan Natrium Benzoat Terhadap Vitamin C Pada Sari Buah
Belimbing.................................................................................................................24
BAB IV KESIMPULAN.............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Buah-buahan merupakan bahan pangan sumber vitamin. Selain buahnya yang
dimakan dalam bentuk segar, daunnya juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan. Warna buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar
matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi
busuk. Oleh karena itu pengolahan buah untuk memperpanjang masa simpannya
sangat penting. Buah dapat diolah menjadi berbagai bentuk minuman seperti sari
buah.
Sari buah merupakan suatu cairan jernih atau agak jernih yang di peroleh dari
buah-buahan dengan cara pengempaan buah-buahan yang telah matang dan masih
segar. Sari buah mengandung flavor dan warna yang khas sesuai dengan buah yang
digunakan. Sari buah murni (single  strength) umumnya dibuat dari bahan baku buah
grade below standard (BS), buah surplus musiman atau buah yang khusus di
budidayakan. Buah-buahan yang digunakan dalam pembuatan sari buah ini cukup
beragam, diamana hampir semua buah dapat dimanfaatkan yang secara umum
digunakan formulasi yang sama.
Minuman ringan seperti sari buah merupakan produk pangan yang mudah
mengalami kerusakan selama proses penyimpanan. Pada saat segera selesai
diproduksi, usable quality dari suatu produk adalah 100%, kemudian segera setelah
itu akan menurun selama penyimpanan, dimana laju penurunan dapat dihitung
(Arpah, 2001). Penurunan mutu pangan dapat terjadi pada tahap-tahap bahan mentah
dan bahan yang siap dikonsumsi. Penurunan mutu pangan berkaitan erat dengan
reaksi-reaksi yang dapat terjadi pada makanan seperti reaksi kimia, reaksi enzimatik,
dan reaksi mikrobiologi. Reaksi-reaksi tersebut dapat menyebabkan perubahan
warna, rasa, maupun tekstur.
Salah satu teknik untuk memperlambat bahkan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme adalah dengan penambahan bahan pengawet. Pengawet merupakan
bahan tambahan makanan dan minuman yang dapat mencegah atau menghambat
penguraian terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan
tambahan makanan dan minuman ini ditambahkan ke dalam makanan yang mudah
rusak, atau makanan dan minuman yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri
atau jamur (Saparinto & Diana, 2006). Bahan pengawet terdiri dari senyawa-senyawa
organik dan anorganik dalam bentuk asam atau garamnya. Zat pengawet organik
yang selama ini sering digunakan adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat,
asam asetat dan epoksida. Zat pengawet anorganik antara lain sulfit, nitrit, dan nitrat
(Winarno dan Rahayu, 1994).
Pengawet yang biasanya digunakan dalam pembuatan sari buah adalah natrium
benzoat (C6H5COONa). Karena kelarutan garamnya lebih besar, maka biasanya
digunakan dalam bentuk garam natrium benzoat. Dalam bahan pangan natrium
benzoat terurai menjadi bentuk yang lebih efektif, yaitu asam benzoat yang tidak
dapat terdisosiasi. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh asam benzoat
efektif pada pH 2,5 – 4,0. Aktivitas anti mikrobial yang paling efektif adalah terhadap
khamir dan bakteri dan kurang efektif terhadap jamur/kapang (Winarno, 1997).

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa itu natrium benzoat?
b. Bagaimana karakteristik Vitamin C?
c. Bagaimana tahapan proses pembuatan sari buah belimbing?
d. Bagaimana pengaruh penambahan natrium benzoat terhadap vitamin C pada
sari buah belimbing?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui apa itu natrium benzoat
b. Untuk mengetahui karakteristik Vitamin C
c. Untuk mengetahui tahapan proses pembuatan sari buah belimbing
d. Untuk mengetahui pengaruh pengaruh penambahan natrium benzoat
terhadap vitamin C pada sari buah belimbing.

1.4 Manfaat
manfaat penyusunan makalah ini sebagai berikut :

a. Dapat mengetahui apa itu natrium benzoat


b. Dapat mengetahui karakteristik dari Vitamin C
c. Dapat mengetahui tahapan proses pembuatan sari buah belimbing
d. Dapat mengetahui pengaruh penambahan natrium benzoat terhadap vitamin C
pada sari buah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bahan Aditif


Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau zat aditif adalah bahan kimia yang
terdapat dalam makanan yang ditambahkan secara sengaja atau yang secara alami
bukan merupakan bagian dari bahan baku, untuk mempengaruhi dan menambah cita
rasa, warna, tekstur, dan penampilan dari makanan. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, tambahan No.329/MENKES/PER/1976 yang
dimaksud zat aditif atau bahan tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan
dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu.
Tujuan penambahan BTM secara umum adalah untuk: (1) meningkatkan nilai
gizi makanan, (2) memperbaiki nilai sensori makanan, (3) memperpanjang umur
simpan (shelf life) makanan, (4) Selain tujuan-tujuan tersebut , BTM sering
digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok konsumen khusus, seperti
penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang
menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya.
Peraturan Tentang Penggunaan BTM Peraturan pemakaian BTM berbeda-
beda antara satu Negara dengan Negara lain. Di Indonesia pemerintah melalui
Departemen Kesehatan telah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan BTM yang
dapat dijadikan acuan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah dalam melakukan
pengawasan antara lain :
a. UU Republik Indonesia No.7 Tahun 1996, Bab II Keamanan Pangan
b. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, tentang persyaratan
bahan tambahan makanan yang diijinkan, dosis pemakaian, dan label kemasan
c. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 208/Menkes/Per/IV/85, tentang penggunaan
pemanis buatan
d. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85, tentang pemakaian zat
warna yang dilarang
Penggunaan BTM dibenarkan apabila : (1) dimaksudkan untuk mencapai
masing-masing tujuan penggunaan, (2) tidak digunakan untuk menyembunyikan
penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan, (3) tidak digunakan
untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik
untuk makanan dan (4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan
makanan.

2.2 Jenis-Jenis Bahan Aditif/Bahan Tambahan Makanan (BTM)

Zat aditif makanan dapat digolongkan menjadi dua yaitu : (a) aditif sengaja,
yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti
untuk meningkatkan nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan,
memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya, dan (b) aditif tidak sengaja,
yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat
dari proses pengolahan. Bila dilihat dari sumbernya, zat aditif dapat berasal dari
sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain-lain, dapat juga disintesis dari
bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik
susunan kimia, maupun sifat metabolismenya seperti karoten, asam askorbat, dan
lain-lain. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan, yaitu lebih pekat,
lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering
terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat berbahaya bagi
kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogen yang dapat merangsang terjadinya
kanker pada hewan dan manusia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 235/MEN.KES/
PER/VI/1979 tanggal 19 Juni 1979 mengelompokkan BTM berdasarkan fungsinya
yaitu :
a. Antioksidan
Antioksidan adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau
menghambat proses oksidasi. Antioksidan ditambahkan pada minyak untuk
mencegah tengik yang merupakan hasil perubahan oksidatif . Sebagian
ditambahkan pada buah – buahan dan sayur- sayuran untuk mencegah
pencokelatan enzimatik. Contoh : Asam askorbat (bentukan garam kalium,
natrium, dan kalium), digunakan pada daging olahan, kaldu, dan buah kalangan
(F. G. Winarno dan Titi Sulistyowati Rahayu, 1994).
b. Antikempal
Antikempal adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah
mengempalnya makanan yang berupa serbuk, tepung, dan bubuk. Bahan ini biasa
ditambahkan dalam garam meja, mrica bubuk, susu bubuk,. Contoh: aluminium
silikat untuk susu bubuk, dan kalsium aluminium silikat untuk garam meja (F. G.
Winarno dan Titi Sulistyowati Rahayu, 1994).
c. Pengatur Keasaman
Pengatur keasaman adalah bahan tambahan makanan yang dapat
mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajat keasaman makanan.
Pengatur keasaman menyesuaikan pH minuman dari buah kalengan dan sayur
kaleng. Contoh: asam asetat (CH3COOH), aluminium amonium sulfat
(Al(NH4)2(SO4), amonium bikarbonat (NH4HCO3), asam klorida (HCl), asam
laktat, asam sitrat, asam tatrat, dan natrium bikarbonat (NaHCO 3) (F. G. Winarno
dan Titi Sulistyowati Rahayu, 1994).
d. Pemanis

Zat Pemanis dibedakan (1) Pemanis nutritif (menghasilkan kalori), berasal


dari tanaman (sukrosa/ gula tebu, gula bit, xylitol dan fruktosa), dari hewan
(laktosa, madu), dan dari hasil penguraian karbohidrat (sirup glukosa, dekstrosa,
sorbitol) dan (2) pemanis non nutritif (tidak menghasilkan kalori), berasal dari
tanaman (steviosida), dari kelompok protein (miralin, monellin, thaumatin).
Pemanis buatan tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi, contohnya sakarin
(kemanisannya 500x gula), dulsin (kemanisannya 250x gula), dan natrium
siklamat (kemanisannya 50x gula) dan sorbitol (F. G. Winarno dan Titi
Sulistyowati Rahayu, 1994, 25)

e. Pemutih dan Pematang Tepung


Pemutih dan pematang tepung untuk mempercepat proses pemutihan dan atau
pemanggangan tepung sehingga memperbaiki mutu pemanggangan. Contoh:
asam askorbat, aseton peroksida, dan kalium bromat (F. G. Winarno dan Titi
Sulistyowati Rahayu, 1994).
f. Pengeras
Zat aditif ini dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan.
Contoh: aluminium amonium sulfat (pada acar ketimun botol), dan kalium
glukonat (pada buah kalangan) (F. G. Winarno dan Titi Sulistyowati Rahayu,
1994).
g. Penyedap Rasa dan Aroma (flavor)
Penyedap rasa dan aroma dapat memberikan, menambah, mempertegas rasa
dan aroma. Penyedap rasa dan aroma yang banyak digunakan berasal dari
golongan ester. Macam – macam penyedap dibedakan menjadi dua yaitu :
penyedap alami dan sintetis. Bahan sintetis ( terutama ester, aldehid,dan keton
dan lainya adalah dari sumber alami yaitu bumbu penyedap misalnya sedangkan
penyedap alami misalnya merica, kayumanis, jahe, cengkeh, dll), oleorisin,
ekstrak tumbuhan, dan minyak esensial, isolat penyedap, penyedap dari sari buah
ekstrak tanaman). Bumbu penyedap buatan / sintetis misalnya monosodium
glutamat (MSG ), untuk meningkatkan rasa makanan yang diberikan. Bentuk
penyedap ada 3 macam yaitu : cair, bubuk, pasta.
h. Sekuestran (Sequesteran)
Sequesteran adalah bahan yang mengikat ion logam merupakan bahan
penstabil yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan. Contoh:
polifosfat dan EDTA pada penglahan ikan kalengan, asam fosfat (pada lemak dan
minyak makan), kalium sitrat (dalam es krim), kalsium dinatrium EDTA dan
dinatrium EDTA (F.G Winarno, 1991).

i. Pengawet
Bahan pengawet ditambahkan untuk memperpanjang umur (shelf life)
makanan dengan mencegah atau menghambat pertumbuhan mikroba. Teknik
penambahan bahan pengawet dilakukan dengan cara: Pencampuran (untuk bahan
makanan yang berbentuk cairan atau setengah cair), Pencelupan (untuk bahan
makanan yang berbentuk padat), Penyemprotan (untuk bahan makanan padat dan
konsentrasi bahan pengawet yang diperlukan adalah tinggi) , pengasapan (untuk
bahan makanan yang dikeringkan, bahan yang sering digunakan adalah belerang
dioksida), dan pelapisan pada pembungkus (dengan penambahan /pelapisan bahan
pengawet pada bungkus makanan). Syarat penggunaan bahan pengawet yaitu :
memberikan nilai ekonomis, dimanfaatkan bila cara pengawetan lain tidak
tersedia, meningkatkan umur simpan, kualitas tidak berubah, mudah dilarutkan/
ditambahkan, cukup aman dalam dosis pemakaian, mudah ditentukan dengan
analisis kimia, aktivitasnya tidak menghambat enzim pencernaan, dll. Jenis – jenis
bahan pengawet adalah asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, dan belerang
dioksida dan turunan – turunannya.
Bahan pengawet yang terdapat pada makanan dan minuman kemasan
kerap kali dituding sebagai zat berbahaya bagi kesehatan. Jenis zat pengawet ada
dua, yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe), dan ADI. GRAS aman dan
tidak berefek toksik, misalnya garam, gula, lada, dan asam cuka. ADI
(Acceptable Daily Intake), jenis pengawet yang diizinkan dalam buah-buahan
olahan demi menjaga kesehatan konsumen. Cara kerja bahan pengawet terbagi
menjadi dua, yaitu sebagai antimikroba dan sebagai antioksidan. Sebagai
antimikroba artinya menghambat pertumbuhan kuman dan sebagai antioksidan
maksudnya mencegah terjadinya oksidasi terhadap makanan sehingga tidak
berubah sifat, contohnya mencegah makanan berbau tengik. Bahan pengawet
yang diizinkan digunakan dalam makanan dalam kadar tertentu adalah asam
benzoat, asam propionat, asam sorbat, belerang dioksida, etil phidroksi benzoat,
kalium benzoat, kalium bisulfit, kalium meta bisulfit, kalium nitrat, kalium nitrit,
kalium propionat, kalium sorbat, kalium sulfit, kalsium benzoit, kalsium
propionat, kalsium sorbat, natrium benzoat, metil-p-hidroksi benzoit, natrium
bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitrit, natrium propionat,
natrium sulfit, nisin dan propil-p-hidroksi-benzoit (Permenkes
No.722/Menkes/1988).
a) Asam Propionat : mempunyai struktur yang terdiri dari tiga taom karbon
tidak dapat dimetabolisis oleh mikroba. Hewan tingkat tinggi dan manusia
dapat memetabolisasi asam propionate ini seperti asam lemak biasa.
Propionat efektif terhadap kapang dan beberapa khamir pada pH diatas 5.
b) Asam Sitrat (citric acid) : Asam sitrat dipakai untuk meningkatkan rasa
asam (mengatur tingkat keasaman) pada berbagai pengolahan minum,
produk air susu, selai, jeli, dan lain-lain. Asam sitrat berfungsi sebagai
pengawet pada keju dan sirup, digunakan untuk mencegah proses
kristalisasi dalam madu, gula-gula (termasuk fondan), dan juga untuk
mencegah pemucatan berbagai makanan, misalnya buah-buahan kaleng
dan ikan. Larutan asam sitrat yang encer dapat digunakan untuk mencegah
pembentukan bintik-bintik hitam pada udang. Penggunaan maksimum
dalam minuman adalah sebesar 3 gram/liter sari buah.
c) Asam Benzoat : merupakan bahan pengawet yang luas penggunaanya dan
sering digunakan pada bahan makanan yang asam. Bahan ini digunakan
untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Benzoat efektif pada
pH 2,5-4,0. Karena kelarutan garamnya lebih besar, maka biasa digunkan
dalam bentuk garam Na-benzoat. Sedangkan dalam bahan, garam benzoat
terurai menjadi bentuk efektif, yaitu bentuk asam benzoat yang
terdisosiasi.
d) Bleng : merupakan larutan garam fosfat, berbentuk kristal, dan berwarna
kekuning-kuningan. Bleng banyak mengandung unsur boron dan beberapa
mineral lainnya. Penambahan bleng selain sebagai pengawet pada
pengolahan bahan pangan terutama kerupuk, juga untuk mengembangkan
dan mengenyalkan bahan, serta memberi aroma dan rasa yang khas.
Penggunaannya sebagai pengawet maksimal sebanyak 20 gram per 25 kg
bahan. Bleng dapat dicampur langsung dalam adonan setelah dilarutkan
dalam air atau diendapkan terlebih dahulu kemudian cairannya
dicampurkan dalam adonan.
e) Garam dapur (natrium klorida) : sebagai penghambat pertumbuhan
mikroba, sering digunakan untuk mengawetkan ikan dan juga bahanbahan
lain. Pengunaannya sebagai pengawet minimal sebanyak 20 % atau 2
ons/kg bahan.
f) Garam sulfat : digunakan dalam makanan untuk mencegah timbulnya
ragi, bakteri dan warna kecoklatan pada waktu pemasakan.
g) Gula pasir : digunakan sebagai pengawet dan lebih efektif bila dipakai
dengan tujuan menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai bahan
pengawet, pengunaan gula pasir minimal 3% atau 30 gram/kg bahan.
h) Kaporit (Calsium hypochlorit, hypochloris calsiucus, chlor kalk, kapur
klor) : digunakan untuk mensterilkan air minum dan kolam renang, serta
mencuci ikan.
i) Natrium Metabisulfit : diperdagangkan berbentuk kristal. Pemakaiannya
dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses
pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan rasa getir
terutama pada ubi kayu serta untuk mempertahankan warna agar tetap
menarik. Natrium metabisulfit dapat dilarutkan bersama-sama bahan atau
diasapkan. Prinsip pengasapan tersebut adalah mengalirkan gas SO2 ke
dalam bahan sebelum pengeringan. Pengasapan dilakukan selama ± 15
menit. Maksimum penggunaannya sebanyak 2 gram/kg bahan. Natrium
metabisulfit yang berlebihan akan hilang sewaktu pengeringan.
j) Nitrit dan Nitrat : Nitrit dan nitrat dapat menghambat pertumbuhan bakteri
pada daging dan ikan dalam waktu yang singkat. Sering digunakan pada
daging yang telah dilayukan untuk mempertahankan warna merah daging.
Jumlah nitrit yang ditambahkan biasanya 0,1 % atau 1 gram/kg bahan
yang diawetkan. Untuk nitrat 0,2 % atau 2 gram/kg bahan. Apabila lebih
dari jumlah tersebut akan menyebabkan keracunan.
k) Sendawa
Bahan ini berbentuk kristal putih atau tak berwarna, rasanya asin dan
sejuk. Dalam industri biasa digunakan untuk membuat korek api, bahan
peledak, pupuk, dan juga untuk pengawet bahan pangan. Penggunaannya
maksimum sebanyak 0,1 % atau 1 gram/kg bahan (Peraturan Menteri
Kesehatan RI No 722/Menkes/PER/XII/88).

2.3 bahaya bahan tambahan makanan bagi kesehatan


Zat tambahan yang penting ditinjau dari segi toksikologi sekitar 600 zat
tambahan makanan sengaja ditambahkan pada berbagai jenis makanan kita.
Toksisitas dari kebanyakan zat tambahan ini telah dievaluasi sesuai dengan prosedur
yang berlaku dan terbukti aman . Tetapi penggunaan beberapa zat tambahan telah
dibatasi dan dilarang, atau harus dibeli label deklarasi karena bahaya toksikologinya.
a. Karsinogenik Contohnya, keamanan sakarin telah diragukan karena ada laporan
mengenai karsinogenisitasnya . Sebenarnya penelitian pertama yang mengungkapkan
meningkatnya tumor kandung kemih pada tikus melibatkan pemberian dosis
kombinasi sakarin dan siklamat pada hewan itu dengan perbandingan 1 : 9 .

b. Siklamat dianggap tidak berbahaya dan digunakan secara luas dalam makanan dan
minuman selama bertahun- tahun. Penggunaanya sebagai zat tambahan makanan
dilarang pada tahun 1969 saat ditemukan bahwa campuran sakarin dan siklamat
meningkatkan insiden tumor kandung kemih pada tikus ( Price , 1970 ). Penelitian
berikutnya menunjukkan bahwa siklamat terbukti tidak bersifat karsinogen dan uji
mutagenitas jangka pendek tidak membuahkan hasil yang konsisten. Ini juga berlaku
untuk sikloheksilamin. Penggunaanya diizinkan kembali dibeberapa negara,
meskipun di Amerika Serikat masih tidak diijinkan untuk digunakan sebagai zat
tambahan makanan.

c. Nitrat dan nitrit adalah bahan pengawet yang berguna dan memberikan warna dan
rasa khusus pada daging , misalnya ham dan corned beef. Tetapi zat ini dapat
bergabung dengan amin tertentu membentuk berbagai jenis nitrosamin yang
kebanyakan bersifat karsinogen kuat. Meskipun demikian , nitrat dan nitrit berguna
untuk mengendalikan mikroorganisme pembentuk toksin misalnya Clostridium
botulinum. Karena berdasarkan penemuan bahwa DEPC dapat bergabung dengan ion
amonium dalam minuman untuk membentuk ureten, suatu karsinogen yang
berspektrum luas dalam semua spesies hewan yang diuji, dan berdasarkan fakta
bahwa penggunaanya tidak mutlak diperlukan.

d. BHA (butil hidroksianisol) dan BHT (butil hidroksitoluena) dipergunakan secara


luas sebagai antioksidan dan telah diselidiki dalam beberapa penelitian jangka
panjang tanpa menunjukkan efek merugikan yang berbahaya .

e. Tatrazin , zat pewarna kuning yang dipergunakan secara luas dalam berbagai
makanan olahan telah diketahui dapat menginduksi reaksi alergi , terutama bagi orang
yang alergi terhadap aspirin ( Juhlin , 1980 )

f. Sulfur dioksida , (SO2) dan zat kimia yang berhubungan , misalnya bisulfit dan
metabisulfit , digunakan sebagai bahan pengawet dalam makanan olahan selain salad.

g. Monosodium glutamat (MSG), berdasarkan ketentuan FAO/WHO konsumsi MSG


yang diperbolehkan adalah 120 mg/kg perhari . Peneliti lain yaitu John Onley pada
tahun 1969 menyatakan bahwa mengkonsumsi MSG dosis tinggi yaitu sekitar 0,5
g/kg BB/hari akan memberikan efek kerusakan sel hipotalamus ( otak ) pada mencit.
Pada binatang percobaan akan mengakibatkan gejala kerusakan sel syaraf otak,
kerusakan retina mata , memicu cacat lahir, menginduksi kanker . Secara
epidemiologis MSG dapat memicu terjadinya hipertensi, asma, diabetes militus,
kelematan otot dan tulang . Efek buruk lainnya adalah selain karsinogenesis dan
reaksi hipersensitivitas , penemuan efek buruk yang lain telah mendorong dibuatnya
keputusan keputusan pengaturan dan penyelidikan tambahan. Contohnya adalah lesi
(pucat) jantung pada hewan coba yang berhubungan dengan minyak nabati yang
berbrom ( brominated vegetable oil = BVO), zat pensuspensi dalam minuman tertentu
dan lesi (luka) hati yang berhubungan dengan RN jingga dan ponceau 2 R yang
menyebabkan dilarangnya penggunaan zat – zat itu. Efek lain misalnya, kerusakan
sel darah merah (RN jingga), penyimpangan dalam jaringan BVO dan atrofi testis
(sikloheksilamin dari siklamat) merupakan faktor – faktor yang ikut serta dalam
keputusan toksikologi mengenai zat tambahan makanan.

2.4 kandungan kimia buah belimbing

Kandungan Kimia Buah Belimbing


Belimbing merupakan salah satu sumber antioksidan alam yang sangat bagus,
seperti vitamin C, (-)-epikatekin dan asam galat dalam bentuk gallotanin. Dalam 100
g buah belimbing mengandung air, kalori, protein, lemak, karbohidrat, serat makanan,
gula, beberapa senyawa mineral, dan vitamin. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai
kandungan buah belimbing akan dijelaskan pada tabel-tabel di bawah ini (Dasgupta
et al., 2013).
Tabel 1. Kandungan Mineral Buah Belimbing dalam 100gr
Mineral Jumlah kandungan
Kalsium (Ca) 3 mg
Besi (Fe) 0,08 mg
Magnesium (Mg) 10 mg
Phosphorus (P) 12 mg
Kalium (K) 133 mg
Natrium (Na) 2 mg
Zinc (Zn) 0,12 mg
Copper (Cu) 0,137 mg
Mangan (Mn) 0,037 mg
(USDA National Nutrient Data Base, 2014)

Tabel 2. Kandungan Asam Amino Buah Belimbing Manis dalam 100g


Asam amino Jumlah kandungan
Tryptophan 8 mg
Methionine 21 mg
Lysine 77 mg
(USDA National Nutrient Data Base, 2014)

Tabel 3. Kandungan Vitamin Buah Belimbing Manis dalam 100g


Vitamin Jumlah kandungan
Vitamin C 34.4 mg
Thiamine 0.014 mg
Riboflavin 0.016mg
Niasin 0.367 mg
Folate, DFE 12 µg
Vitamin A 61 IU
Vitamin E 0,15 mg
(USDA National Nutrient Data Base, 2014)
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Natrium Benzoat


Natrium benzoat adalah salah satu jenis bahan pengawet organik pada
makanan, dimana natrium benzoat merupakan garam atau ester dari asam benzoat
(C6H5COOH) yang secara komersial dibuat dengan sintesis kimia. Penggunaan bahan
tambahan atau zat aditif pada makanan semakin meningkat, terutama setelah adanya
penemuan-penemuan termasuk keberhasilan dalam mensintesis bahan kimia baru
yang lebih praktis, lebih murah, dan lebih mudah diperoleh. Penambahan bahan
tambahan/zat aditif dalam makanan merupakan hal yang dipandang perlu untuk
meningkatkan mutu suatu produk sehingga mampu bersaing di pasaran (Siaka, 2009).
Menurut Tisnawati (2005) bahwa penambahan bahan kimia (natrium benzoat atau
sodium benzoat) dalam larutan cenderung dapat memperpanjang masa simpan dan
kesegaran bahan pangan dan tidak berpengaruh terhadap kesehatan manusia
Natrium benzoat merupakan salah satu contoh pengawet makanan atau
minuman yang lebih efektif digunakan dalam minuman yang asam sehingga banyak
digunakan sebagai pengawet di dalam sari buah-buahan. Natrium benzoat sangat
efektif digunakan pada makanan yang memiliki pH berkisar antara 2,5 sampai 4,0
dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pemakaian natrium benzoat
dalam bahan pangan sesuai dengan Surat keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 722/Menkes /Per/IX/88 tidak boleh melebihi dosis 1 g/kg adonan.
Natrium benzoat mempertahankan keasaman bahan dengan mempertahankan
kualitas bahan dengan meminimalisir perombakan pada bahan olahan pangan yang
ditambahkan zat pengawet (Cahyadi, 2008). Natrium benzoat dapat menghambat
pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme yang dapat merusak tekstur dari produk
yang dihasilkan. Jika mikroba tumbuh pada bahan pangan maka terjadi perubahan
pada penampakan maupun komposisi kimia, perubahan warna dan tekstur menjadi
lunak, pembentukan endapan, dan kekeruhan pada produk yang dihasilkan (Fardiaz,
1992).

3.2 Karakteristik Vitamin C


Vitamin C sangat sensitif terhadap pemanasan, bahkan pemanasan yang
tergolong ringan (sedikit diatas suhu kamar). Vitamin C juga sensitif terhadap sinar,
senyawa oksidator seperti: yodium, hidrogen peroksida, dll, dan logam (besi dll).
Vitamin C mudah teroksidasi, terutama bila terlarut dalam suatu pelarut (air
misalnya). Vitamin C teroksidasi dalam larutan oleh oksigen, dengan memberikan 2
elektron pada senyawa oksidator. Vitamin C atau asam askorbik merupakan vitamin
yang larut dalam air. Fungsi dasar vitamin C adalah meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap serangan penyakit dan sebagai antioksidan yang menetralkan racun dan
radikal bebas didalam darah maupun cairan sel tubuh. Asam askorbat (Vitamin C)
adalah suatu heksosa dan diklasifikasikan sebagai karbohidrat yang erat kaitannya
dengan monosakarida. Fungsi vitamin C di dalam tubuh bersangkutan dengan sifat
alamiahnya sebagai antioksidan.
Menurut Winarno (2004), dari semua vitamin yang ada, vitamin C merupakan
vitamin yang paling mudah rusak karena oksidasi terutama pada suhu tinggi dan
merupakan vitamin yang mudah hilang selama penyimpanan dan pengolahan
(Siregar, 2008). Kerusakan Vitamin C berhubungan dengan akitivitas enzim askorbat
oksidase. Menurut Winarno (2004), asam askorbat mudah sekali teroksidasi menjadi
asam L-dehidroaskorbat yang secara kimia sangat labil dan mengalami perubahan-
perubahan lebih lanjut menjadi asam L-ketogulonat dimana tidak memiliki keaktifan
vitamin C lagi.

3.3 Tahapan proses pembuatan sari buah belimbing


Sari buah adalah cairan yang dihasilkan dari pemerasan atau penghancuran
buah segar yang telah masak. Ada dua macam sari yaitu sari buah encer dan sari
buah pekat (konsetrat). Beberapa faktor yang harus diperhatikan adalah tingkat
kematangan dan kesegaran buah, mengandung kadar air yang tinggi (juicy), tidak
hambar, tidak rusak dan tidak busuk. Sari buah merupakan larutan inti daging buah
yang diencerkan sehingga memiliki cita rasa yang sama dengan buah aslinya. Tingkat
kematangan buah menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam
pembuatan sari buah. Dengan mengetahui tingkat kematangan buah yang tepat maka
akan diperoleh sari buah dengan tingkat kemanisan dan kesegaran yang disukai oleh
konsumen.
Buah belimbing yang digunakan untuk membuat sari buah adalah buah
belimbing yang lewat matang dan biasanya berwarna kekuningan. Buah belimbing
dengan kondisi tersebut dipilih, dikarenakan buah belimbing yang sudah lewat
matang akan memiliki aroma belimbing yang kuat dan harganya murah. Salah satu
syarat minuman sari buah adalah sari buah yang diproduksi memiliki aroma khas
buah yang digunakan. Selain aroma belimbing yang kuat, buah belimbing yang
dipilih adalah yang kondisinya baik, tidak cacat, tidak busuk, tidak memiliki spot-
spot coklat.
1. Pemilihan komoditas bahan
Tahapan pertama dalam membuat sari buah adalah memilih komoditas
bahan yang digunakan yaitu buah belimbing.
2. Penyortiran
Sortasi buah belimbing dilakukan untuk mendapatkan buah belimbing
yang bagus dengan memilih buah yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu
matang supaya sari buah yang dihasilkan banyak dan kualitasnya bagus.
3. Pemotongan dan trimming
Pemotongan buah dilakukan dengan memotong menjadi lima bagian
dan bagian- bagian pinggir buah belimbing dihilangkan.
4. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran-
kotoran fisik seperti kayu, tanah, daun, dan bahan pencemar lainnya.
5. Blansir (pencelupan dalam air)
Blansir atau pencelupan ke dalam air panas dilakukan pada suhu 80 oC
selama 3-5 menit untuk menginaktivasi mikroba dan supaya buah menjadi
lebih bersih.
6. Penghancuran dan Ekstraksi Buah
Penghancuran dan ekstraksi buah dilakukan dengan mesin ekstraktor
kemudian diambil sari buah atau ekstrak buah.
7. Penyaringan
Penyaringan dilakukan menggunakan alat saring untuk memisahkan
sari buah dengan serat buahnya.
8. Pengenceran Dengan Air Panas
Pengenceran sari buah dengan air panas suhu 80 oC dilakukan supaya
cairan sari buah belimbing tidak terlalu pekat dan mengurangi resiko
terkontaminasi oleh mikrobiologis.
9. Pemanasan (Pasteurisasi)
Pemanasan sari buah dilakukan pada suhu 75-80oC selama 15 menit
(pasteurisasi dengan tujuan untuk membunuh mikroba patogen dan
memperpanjang umur simpan.
10. Penyaringan kembali
Penyaringan sari buah dilakukan kembali dengan menggunakan alat
saring 10 mesh supaya sari buah belimbing benar- benar murni dan
terpisah dari serat buah.
11. Pembotolan
Pembotolan dilakukan setelah botol disterilisasi terlebih dahulu
supaya sari buah tidak terkontaminasi. Pembotolan dilakukan untuk
memudahkan penyimpanan sari buah dalam waktu yang cukup lama.
12. Penutupan Botol
Penutupan botol dilakukan secara hermetis (rapat) untuk mencegah
produk sari buah dari kerusakan terutama yang disebabkan oleh mikroba.
13. Sterilisasi
Sterilisasi dilakukan pada suhu 121oC selama beberapa detik untuk
membunuh semua jenis mikroba patogen dengan begitu dapat memperpanjang
masa simpan sari buah.
14. Pelabelan Dan Penyegelan
Pelabelan dan penyegelan bisa dilakukan secara manual atau dengan
menggunakan alat.
15. Sari Buah dalam Botol
Setelah pemberian label dan penyegelan, sari buah dalam botol siap
dipasarkan dan didistribusikan.

Diagram Alir Pembuatan Sari Buah Belimbing

Buah Belimbing

Penyortiran

Pemotongan dan trimming

Pencucian

Blansir/ pencelupan dalam air

Penghancuran dan ekstraksi buah


Pemanasan pada suhu 75-80oC selama 15
menit (pasteurisasi)

Penyaringan (10 mesh)

Pembotolan

Penutupan botol

Sterilisasi

Pelabelan dan penyegelan

Sari buah dalam botol


3.4 pengaruh penambahan natrium benzoat terhadap vitamin C pada sari buah
belimbing
Sari buah dengan keasaman tinggi dapat diawetkan dengan 0,1 % (1000 ppm)
Natrium benzoat, pemakaian dalam kadar yang cukup besar benzoat tidak
dikehendaki bahkan beracun. Natrium benzoat kurang efektif dalam suatu bahan
pangan yang mempunyai pH mendekati 3,0. PH optimum dari Natrium benzoat
sebagai penghambat pertumbuhan mikroba adalah sekitar 2,5-4,0 Mekanisme kerja
Natrium benzoat sebagai bahan pengawet adalah berdasarkan permeabilitas membran
sel mikroba terhadap molekul-molekul asam benzoat tidak terdisosiasi. Dalam
suasana pH 4,5 molekul-molekul asam benzoat tersebut dapat mencapai sel mikroba
yang membran selnya mempunyai sifat permeabel terhadap molekul-molekul asam
benzoat yang tidak terdisosiasi.
Natrium benzoat untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat
merusak vitamin C. karena natrium benzoat dapat mengganggu kerja enzim sehingga
oksidasi vitamin C dapat dihambat, sehingga kadar vitamin C dalam sari buah
belimbing dapat dipertahankan. Mekanisme antimikroba natrium benzoat dapat
menghamat pertumbuhan mikroba disebabkan molekul-molekul asam benzoat yang
tidak terdisosiasi akan menembus membran yang bersifat permeabel dari sel mikroba
yang mempunyai pH cairan sel netral, di dalam sel mikroba molekul asam benzoat
akan terdisosiasi dan menghasilkan ion-ion H + , sehingga akan menurunkan pH
mikroba tersebut. Akibatnya aktivitas metabolism mikroba akan menurun.
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah ini dapat disimpulkan bahwa


penambahan bahan tambahan pangan seperti natrium benzoate pada sari buah dapat
mempertahankan kandungan vitamin C nya, hal ini disebabkan karena natrium
benzoat dapat mengganggu kerja enzim sehingga oksidasi vitamin C dapat dihambat,
sehingga kadar vitamin C dalam sari buah dapat dipertahankan. Penambahan natrium
benzoate pada bahan pangan harus sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah,
berdasarkan Surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
722/Menkes /Per/IX/88 yang menyatakan bahwa tidak boleh melebihi dosis 1 g/kg
adonan serta tidak melebihi batas penggunaan agar tidak menimbulkan efek yang
negative serta membahayakan tubuh jika digunakan dalam jangka waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA

Arpah, 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program
Studi Ilmu Pangan, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ashurst. P.R. 1995. Production and packaging of non carbonated fruit Juice and fruit
beverages. Blackie Academic and Proffesioanl. London.
Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi
Aksara, Jakarta. Chau, Chi-Fai, Chien-Hung Chen, Ching-YI Lin, 2003.
Insoluble Fiber-Rich Fraction Derived From Averrhoa Carambola:
Hypoglycemic Effects Determined By In Vitro Methods. LWT-Food Science
and Technology. Vol. 37: 331-335.
Cruess, W.V. 1958. Commercial Fruit and Vegetable Products. Mc.Graw-Hill Co.
New York.
Dasgupta P, Chakraborty P, Bala NN, 2013, Averrhoa Carambola : An Update
Review, International Journal of Pharma Research & Review, Vol.2 No.7,
pp.54-63. Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
F. G. Winarno dan Titi Sulistyowati Rahayu, (1994). Bahan Tambahan untuk
Makanan dan Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Furia, A. Z. 1972. Hand Book of Food Additives. Chemical Inc Publisher, New York.
Kannan A, Gourisankar P.Ch., Sandaka 2008 . Heat Transfer Analysis of
canned food Sterilization in a Still Retort. Journal of Food Engineering. Vol
88 213-228.
Iralawati, A.D., D. Hermayanti, dan F. Syafitri, 2012. Jus Belimbing Manis
(Averrhoa Carambola L.,) Sebagai Hepatoprotektor Pada Tikus Putih (Rattus
novergicus strain wistar) Yang Diinduksi Antituberkulosis Rifampisin dan
Isoniazid. Jus Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.,) sebagai. 8(2) : 127-
134.
Ratnani. R. D., 2009. Bahaya Bahan Tambahan Makanan bagi Kesehatan. Jurnal
momentum. 5(1) : 16-22.

Ridha, A. 2013. Efek Jus Belimbing (Averrhoa Carambola L.) Terhadap Kadar
Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar yang Dibebani Glukosa.
Program studi pendidikan dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Tanjungpura, Pontianak.
Satuhu, S. 1994. Penanganan dan Pengolahan Buah. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, R. 2008. Pengaruh Natrium Benzoat Dan lama Penyimpanan Terhadap Mutu
Marmalade sirsak (Annona muricata L).
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, F. G. dan Rahayu. 1994. Bahan Tambahan Makanan untuk Makanan dan
Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai