PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Analisa gas darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi
pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basanya. Manfaat dari
pemeriksaan analisa gas darah tersebut bergantung pada kemampuan dokter untuk
menginterpretasi hasilnya secara tepat.
Di Indonesia hampir 50% penyakit dalam dilakukan AGD (Analisa Gas Darah) untuk
mendapatkan data penunjang. Pada tahun 2007 banyaknya penderita demam berdarah
menambah catatan penderita penyakit dalam yang dilakukan AGD (Analisa Gas Darah).
Dari keadaan di atas sangat dibutuhkan peran perawat dalam AGD yaitu observasi tempat
penusukan dari pendarahan, hematom, atau pucat pada bagian distal.
Pemahaman yang mendalam tentang fisiologi asam basa memiliki peran yang sama
pentingnya dengan pemahaman terhadap fisiologi jantung dan paru pada pasien-pasien
kritis. Telah banyak perkembangan dalam pemahaman fisiologi asam basa, baik dalam
suatu larutan maupun dalam tubuh manusia. Pendekatan tradisional dalam menganalisa
kelainan asam basa adalah dengan menitikberatkan pada rasio antara bikarbonat dan
karbondioksida, namun cara tersebut memiliki beberapa kelemahan. Saat ini terdapat
pendekatan yang sudah lebih diterima yaitu dengan pendekatan Stewart, dimana pH dapat
dipengaruhi secara independent oleh tiga faktor, yaitu strong ion difference (SID), tekanan
parsial CO2, dan total konsentrasi asam lemah yang terkandung dalam plasma.
Kelainan asam basa merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien-pasien kritis.
Namun, pendekatan dengan metode sederhana tidak dapat memberikan gambaran
mengenai prognosis pasien. Pendekatan dengan metode Stewart dapat menganalisa lebih
tepat dibandingkan dengan metode sederhana untuk membantu tenaga kesehatan dalam
menyimpulkan outcome pasien.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep analisa gas darah
1
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pengertian analisa gas darah.
b. Menjelaskan tujuan analisa gas darah.
c. Menyebutkan indikasi analisa gas darah.
d. Menyebutkan kontra indikasi analisa gas darah.
e. Menjelaskan keseimbangan asam basa.
f. Menjelaskan gangguan asam basa sederhana.
g. Menjelaskan gangguan asam basa pada pasien kritis.
h. Menunjukkan tabel gangguan asam basa.
i. Menyebutkan lokasi pungsi arteri.
j. Menjelaskan cara allen’s test.
k. Menjelaskan rentang nilai normal.
l. Menjelaskan langkah-langkah menilai gas darah.
m. Menyebutkan faktor yang mempengaruhi pemeriksaan analisa gas darah.
n. Menjelaskan klasifikasi gangguan asam basa primer dan terkompensasi.
o. Menyebutkan komplikasi dari pemeriksaan analisa gas darah.
p. Menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam analisa gas darah.
q. Menyebutkan manfaat pemeriksaan analisa gas darah.
r. Menjelaskan persiapan pasien
s. Menjelaskan persiapan alat
t. Menjelaskan persiapan kerja
u. Menjelaskan interpretasi hasil analisa gas darah
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gas darah arteri memungkinkan untuk pengukuran pH (dan juga keseimbangan asam
basa), oksigenasi, kadar karbondioksida, kadar bikarbonat, saturasi oksigen, dan
kelebihan atau kekurangan basa. Pemeriksaan gas darah arteri dan pH sudah secara luas
digunakan sebagai pegangan dalam penatalaksanaan pasien-pasien penyakit berat yang
akut dan menahun. Meskipun biasanya pemeriksaan ini menggunakan spesimen dari
darah arteri, jika sampel darah arteri tidak dapat diperoleh suatu sampel vena campuran
dapat juga digunakan.
Pemeriksaan gas darah juga dapat menggambarkan hasil berbagai tindakan penunjang
yang dilakukan, tetapi kita tidak dapat menegakkan suatu diagnosa hanya dari penilaian
analisa gas darah dan keseimbangan asam basa saja, kita harus menghubungkan dengan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan data-data laboratorium lainnya. Pada dasarnya
pH atau derajat keasaman darah tergantung pada konsentrasi ion H+ dan dapat
dipertahankan dalam batas normal melalui 3 faktor, yaitu:
1. Mekanisme dapar kimia
Terdapat 4 macam dapar kimia dalam tubuh, yaitu:
a. Sistem dapar bikarbonat-asam karbonat
b. Sistem dapar fosfat
c. Sistem dapar protei
d. Sistem dapar hemoglobin
2. Mekansime pernafasan.
3. Mekanisme ginjal
Mekanismenya terdiri dari:
a. Reabsorpsi ion HCO3-
b. Asidifikasi dari garam-garam dapar
c. Sekresi ammonia
3
Tabel gas-gas darah normal dari sample arteri dan vena campuran.
parameter Sampel arteri Sampel vena
Ph 7,35-7,45 7,32-7,38
PaCO2 35-45 mmHg 42-50 mmHg
PaO2 80-100mmHg 40 mmHg
Saturasi oksigen 95%-100% 75%
Kelebihan + atau -2 + atau -2
/kekurangan basa
HCO3 22-26 mEq/L 23-27 mEq/L
B. Tujuan Analisa Gas Darah
Analisa gas darah memiliki tiga tujuan sebagai berikut:
1. Menilai tingkat keseimbangan asam dan basa
2. Mengetahui kondisi fungsi pernafasan dan kardiovaskuler
3. Menilai kondisi fungsi metabolisme tubuh.
4
pH adalah derajat keasaman yang merupakan log negatif dari konsentrasi ion H+.
Konsentrasi ion H+ ini diatur dengan sangat ketat, karena perubahan pada konsentrasinya
akan mempengaruhi hampir semua proses biokimia, termasuk struktur dan fungsi protein,
dissosiasi dan pergerakan ion, serta reaksi kimia obat. Berbeda dengan ion-ion lain, kadar
ion H+ dijaga dalam nanomolar (36-43 nmol/l ~ pH 7,35-7,45).
Sebagian besar asam yang masuk dalam tubuh berasal dari proses respirasi, yaitu CO2
yang membentuk asam karbonat, sedangkan sisanya berasal dari metabolisme lemak dan
protein. Mekanisme tubuh untuk menjaga pH tetap dalam rentang normalnya diketahui
melalui tiga mekanisme,
1. Kontrol respirasi terhadap PaCO2 oleh pusat pernafasan yang mengatur ventilasi
alveolar. Semakin banyak ion H+ dalam darah, semakin banyak CO2 yang dibuang
melalui paru-paru. Mekanisme ini cepat dan sangat efektif untuk mengkompensasi
kelebihan ion H+.
2. Pengontrolan ginjal terhadap bikarbonat dan ekskresi asam-asam non-volatil.
Mekanisme ini relatif lebih lama (jam sampai hari) jika dibandingkan dengan kontrol
respirasi.
3. Sistem buffer oleh bikarbonat, sulfat, dan hemoglobin yang meminimalkan
perubahan asam-basa akut.
Metode Stewart
Pada tahun 1983, Stewart memperkenalkan metode pendekatan asam basa yang diakui
secara luas. Metode ini menggunakan pendekatan matematis dan menyimpulkan bahwa
jika hukum keseimbangan muatan terjadi pada suatu larutan, maka pH atau konsentrasi
ion H+ akan ditentukan terutama oleh derajat disosiasi air. Terdapat tiga variabel yang
masing-masing dapat mempengaruhi derajat disosiasi air, yaitu PCO2, strong ion
difference (SID), dan konsentrasi total asam lemah (Atot). Ion bikarbonat dan asam
lemah merupakan variabel yang terikat dan tidak mempengaruhi pH secara langsung.
6
Ion-ion kuat adalah ion yang dalam jumlah besar terdapat dalam bentuk terdisosiasi atau
ion bebas dalam plasma. Pada manusia, SID adalah selisih antara kation kuat (Na+, K+,
Mg2+, dan Ca2+) dengan anion kuat (Cl- dan laktat) yang nilai normalnya adalah 42
mmol/l. SID memiliki pengaruh kuat terhadap disosiasi air, peningkatan kation total akan
menurunkan konsentrasi H+ dan menurunkan pH. Begitu pula sebaliknya, peningkatan
jumlah anion total akan menurunkan pH. Pada dasarnya plasma tidak bisa bermuatan,
sehingga dibutuhkan muatan negatif untuk menetralkan kelebihan muatan (SIDe). SIDe
terutama dibentuk oleh ion yang sulit berdisosiasi seperti HCO3- dan asam lemah yang
terdisosiasi seperti albumin, fosfat, dan sulfat. Strong ion gap (SIG) adalah selisih antara
SID dan SIDe, menggambarkan ion-ion yang tidak terukur seperti keton, sulfat, atau
asam yang berasal dari luar. Perhitungan ini mirip dengan anion gap, namun memiliki
kelebihan karena memperhitungkan albumin dan fosfat. SIG juga dapat menjadi prediktor
yang sensitif bagi kegawatan pada pasien-pasien kritis. Atot adalah konsentrasi total
asam-asam lemah non-volatil dalam plasma, fosfat inorganik, protein serum dan albumin.
Pendekatan Stewart tidak merubah klasifikasi kelainan asam basa sebelumnya, begitu
pula dengan BE tetap dapat digunakan untuk menghitung jumlah perubahan SID yang
telah terjadi dibandingkan dengan nilai normal. Namun dengan pendekatan ini, kita dapat
7
melihat peran ion-ion dalam mengembalikan pH darah. Contoh kasus adalah, untuk
merubah BE dari -20 menjadi -10 mEq/l adalah dengan memberikan NaHCO3, dimana
terjadi peningkatan konsentrasi Na+ dalam serum sebesar 10 mEq/l.
Implikasi lain yang penting dari pendekatan Stewart adalah peran ion klorida dalam
homeostasis asam basa. Ion-ion yang terutama mempengaruhi SID adalah Na+ dan Cl-.
Peningkatan Cl- relatif terhadap Na+ akan menurunkan SID dan begitu pula pH. Peran
Cl- menjadi lebih penting dalam mengatur pH, karena Na+ dikontrol secara lebih ketat
untuk mengatur tonus plasma. Contoh kasus adalah pada muntah yang terus menerus
sering menyebabkan alkalosis. Pendekatan lama menganggap hal ini disebabkan karena
kehilangan ion H+ melalui HCl. Namun, hipotesis Stewart menganggap hal ini terjadi
akibat Cl- (anion kuat) berkurang tanpa diimbangi oleh berkurangnya kation kuat,
sehingga terjadi peningkatan SID. Pada akhirnya hal ini akan menghambat disosiasi air
dan ion H+ berkurang. Penatalaksanaan kasus ini adalah dengan pemberian normal saline
sehingga ion klorida tergantikan. Kasus lain adalah asidosis hiperkloremik yang juga
sering terjadi akibat pemberian infus normal saline berlebihan. Normal saline
mengandung ion sodium dan klorida sebanyak 150 mEq/l dibandingkan
dengan konsentrasi plasma 135 dan 100 mEq/l. Hal ini menyebabkan penurunan SID dan
pH.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kedua metode sebenarnya dapat digunakan.
Metode pendekatan Handerson-Hasselbach lebih mudah diterapkan, terutama untuk
mengklasifikasikan jenis kelainan asam basa yang terjadi. Sedangkan, pendekatan
Stewart lebih berguna dalam menghitung kelainan asam basa secara kualitatif dan juga
untuk menyusun hipotesis mekanisme yang menyebabkan timbulnya kelainan asam basa
pada pasien.
Gangguan asam basa primer dan kompensasinya dapat diperlihatkan dengan memakai
persamaan yang dikenal dengan persamaan Henderson-Hasselbach.
Persamaan ini menekankan bahwa perbandingan asam dan basa harus 20:1 agar pH dapat
dipertahankan dalam batas normal. Persamaan ini juga menekankan kemampuan ginjal
untuk mengubah bikarbonat basa melalui proses metabolik, dan kemampuan paru untuk
8
mengubah PaCO2 (tekanan parsial CO2 dalam darah arteri) melalui respirasi. Nilai normal
pH adalah 7, 35- 7,45.
Perubahan satu atau dua komponen tersebut menyebabkan gangguan asam dan basa.
Penilaian keadaan asam dan basa berdasarkan hasil analisa gas darah membutuhkan
pendekatan yang sistematis. Penurunan keasaman (pH) darah < 7,35 disebut asidosis,
sedangkan peningkatan keasaman (pH) > 7,45 disebut alkalosis. Jika gangguan asam
basa terutama disebabkan oleh komponen respirasi (pCO 2) maka disebut
asidosis/alkalosis respiratorik, sedangkan bila gangguannya disebabkan oleh komponen
HCO3 maka disebut asidosis/alkalosis metabolik. Disebut gangguan sederhana bila
gangguan tersebut hanya melibatkan satu komponen saja (respirasi atau metabolik),
sedangkan bila melibatkan keduanya (respirasi dan metabolik) disebut gangguan asam
basa campuran.
Sebagian besar pasien-pasien trauma menderita asidosis laktat akibat hipovolemia atau
hipoperfusi. Perbaikan asidosis laktat berkorelasi dengan survival pasien berdasarkan
hubungan waktu. Keadaan asidosis laktat yang persisten, meskipun telah terjadi perbaikan
tanda vital, berhubungan dengan resiko infeksi dan kematian.
Kadar BE yang tinggi dapat menjadi prognosis yang buruk bagi pasien-pasien, namun hal
tersebut tergantung pada jenis penyakit atau trauma pasien. BE lebih memiliki nilai
prognostik pada pasien-pasien dengan cedera kepala. Selain itu, jumlah SIG juga memiliki
nilai prognostik pada pasien-pasien kritis. Dikatakan nilai SIG >5 pada pasien yang
membutuhkan resusitasi atau >2 pada pasien asidosis metabolik adalah prediktif untuk
mortalitas.
Kondisi hiperkloremik diketahui dapat menyebabkan disfungsi renal dan gangguan
pembekuan darah. Asidosis diduga dapat menstimulasi sel T-protein kinase sehingga
memperparah reaksi peradangan pada pasien kritis.
9
H. Tabel gangguan asam basa
Jenis gangguan pH PCO2 HCO3
Asidosis respiratorik akut
N
Asidosis respiratorik terkompensasi sebagian
Asidosis respiratorik terkompensasi penuh N
Asidosis metabolik akut
N
Asidosis metabolik terkompensasi sebagian
Asidosis metabolik terkompensasi penuh N
Asidosis respiratorik dan metabolik
Alkalosis respiratorik akut N
Alkalosis respiratorik tekompensasi sebagian
Alkalosis respiratorik terkompensasi penuh N
Alkalosis metabolik akut N
Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian
Alkalosis metabolic terkompensasi penuh
N
Alkalosis metabolik dan respiratorik
Arteri femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih ada alternatif lain,
karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila terjadi
spasme atau trombosis. Sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak
digunakan karena adanya risiko emboli otak.
10
observasi warna jari-jari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15
detik, warna merah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan dilepas, tangan tetap
pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan
tersebut dan periksa tangan yang lain.
pH normal dapat menunjukan gas darah yang benar-benar normal atau pH yang
normal ini mungkin suatu indikasi ketidakseimbangan yang terkompensasi.
Ketidakseimbangan yang terkompensasi adalah suatu ketidakseimbangan di mana
tubuh sudah mampu memperbaiki pH, contohnya, seorang pasien dengan asidosis
metabolik primer dimulai dengan kadar bikarbonat yang rendah tetapi dengan kadar
karbondioksida yang normal. Segera sesudah itu paru-paru mencoba mengkompensasi
ketidakseimbangan dengan mengeluarkan sejumlah besar karbondioksida
(hiperventilasi).
11
2. Langkah berikut adalah untuk menentukan penyebab primer gangguan. Hal ini
dilakukan dengan mengevaluasi PaCO2 dan HCO3 dalam hubunganya dengan pH.
a. pH > 7.4 (alkolisis)
1) jika PaCO2 < 40 mmHg.gangguan primer adalah alkolisis
respiratorik(situasi ini timbul jika pasien mengalami hiperventilasi dan blow’s
off terlalu bnayak karbon dioksida.ingat kembali jika karbondioksida terlarut
dalam air menjadi asam karbonik bagian asam dari sistem buffer asam
karbonik bikarbonat).
2) jika HCO3 > 24 meq/L ,gangguan primer adalah alkolisis metabolik(situasi ini
timbul jika tubuh memperoleh terlalu banyak bikarbonat,subtansi alkali
bikarbonat dalah basa atau bagian alkali dari sisitem buffer asam karbonik-
bikarbonat).
4. Buat penafsiran tahap akhir (gangguan asam basa sederhana, gangguan asam basa
campuran)
12
Bagian yang pertama (1) menunjukkan asidosis respiratorik akut tanpa kompensasi
(PaCO2 tinggi HCO3 normal), bagian yang kedua (2) menunjukkan asidosis
respiratorik kronik perhatikan bahwa kompensasi sudah untuk menyeimbangkan
PaCO2 yang tinggi dan menghasilkan suatu pH yang normal.
13
Kesakitan dan kelelahan merupakan penyebab terbanyak terjadinya alkalosis
respiratorik pada anak sakit kritis.
3. Asidosis respiratorik. Peningkatan tekanan CO2 lebih dari normal akibat hipoventilasi
dan dikatakan akut bila peninggian tekanan CO2 disertai penurunan pH. Misalnya,
pada intoksikasi obat, blokade neuromuskuler, atau gangguan SSP. Dikatakan kronis
bila ventilasi yang tidak adekuat disertai dengan nilai pH dalam batas normal, seperti
pada bronkopulmonari displasia, penyakit neuromuskuler, dan gangguan elektrolit
berat.
4. Asidosis metabolik yang tak terkompensasi. Tekanan CO2 dalam batas normal dan
pH di bawah 7,30. Merupakan keadaan kritis yang memerlukan intervensi dengan
perbaikan ventilasi dan koreksi dengan bikarbonat.
5. Asidosis metabolik terkompensasi. Tekanan CO2 < 30 mmHg dan pH 7,30--7,40.
Asidosis metabolik telah terkompensasi dengan perbaikan ventilasi.
6. Alkalosis metabolik tak terkompensasi. Sistem ventilasi gagal melakukan kompensasi
terhadap alkalosis metabolik ditandai dengan tekanan CO2 dalam batas normal dan
pH lebih dari 7,50 misalnya pasien stenosis pilorik dengan muntah lama.
7. Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian. Ventilasi yang tidak adekuat serta pH
lebih dari 7,50.
8. Hipoksemia yang tidak terkoreksi. Tekanan oksigen kurang dari 60 mmHg walau
telah diberikan oksigen yang adekuat
9. Hipoksemia terkoreksi. Pemberian O2 dapat mengoreksi hipoksemia yang ada
sehingga normal.
10. Hipoksemia dengan koreksi berlebihan. Jika pemberian oksigen dapat meningkatkan
tekanan oksigen melebihi normal. Keadaan ini berbahaya pada bayi karena dapat
menimbulkan retinopati of prematurity, peningkatan aliran darah paru, atau
keracunan oksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan yang lain seperti
konsumsi dan distribusi oksigen.
O. Komplikasi
1. Apabila jarum sampai menebus periosteum tulang akan menimbulkan nyeri
2. Perdarahan.
3. Cidera saraf.
4. Spasme arteri.
14
P. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Analisa Gas Darah
1. Tindakan pungsi arteri harus dilakukan oleh perawat yang sudah terlatih
2. Spuit yang digunakan untuk mengambil darah sebelumnya diberi heparin untuk
mencegah darah membeku
3. Kaji ambang nyeri klien, apabila klien tidak mampu menoleransi nyeri, berikan
anestesi lokal
4. Bila menggunakan arteri radialis, lakukan test allent untuk mengetahui kepatenan
arteri
5. Untuk memastikan apakah yang keluar darah vena atau darah arteri, lihat darah yang
keluar, apabila keluar sendiri tanpa kita tarik berarti darah arteri
6. Apabila darah sudah berhasil diambil, goyangkan spuit sehingga darah tercampur rata
dan tidak membeku
7. Lakukan penekanan yang lama pada bekas area insersi (aliran arteri lebih deras
daripada vena)
8. Keluarkan udara dari spuit jika sudah berhasil mengambil darah dan tutup ujung
jarum dengan karet atau gabus
9. Ukur tanda vital (terutama suhu) sebelum darah diambil
10. Segera kirim ke laboratorium (sito)
Q. Manfaat Pemeriksaan
Mengevaluasi pertukaran gas oksigen dan karbondioksida, fungsi pernafasan (termasuk
hipoksia dan status asm-basa), dan beberapa penyakit pernafasan seperti asma dan
penyakit pulmonari obstrukstif kronik, serta emboli (termasuk emboli lipid) dan
pembedahan arteri koroner.
R. Persiapan Pasien
1. Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan yang dilakukan
2. Jelaskan bahwa dalam prosedur pengambilan akan menimbulkan rasa sakit
3. Jelaskan komplikasi yang mungkin timbul.
S. Persiapan Alat
1. Spuit 2 ml atau 3ml dengan jarum ukuran 22 atau 25 (untuk anak-anak) dan nomor
20 atau 21 untuk dewasa
2. Heparin
15
3. Yodium-pov
4. Penutup jarum (gabus atau karet)
5. Kasa steril
6. Kapas alcohol
7. Plester dan gunting
8. Pengalas
9. Handuk
10. Sarung tangan sekali
11. Obat anestesi lokal jika dibutuhka
12. Wadah berisi es
13. Kertas label untuk nama
14. Thermometer
15. Bengkok.
T. Prosedur Kerja
1. Baca status dan data klien untuk memastikan pengambilan AGD.
2. Cek alat-alat yang akan digunakan.
3. Cuci tangan.
4. Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya.
5. Perkenalkan nama perawat.
6. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien.
7. Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan.
8. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya.
9. Tanyakan keluhan klien saat ini.
10. Jaga privasi klien
11. Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
12. Posisikan klien dengan nyaman
13. Pakai sarung tangan sekali pakai
14. Palpasi arteri radialis
15. Hiperekstensikan pergelangan tangan klien di atas gulungan handuk
16. Raba kembali arteri radialis dan palpasi pulsasi yang paling keras dengan
menggunakan jari telunjuk dan jari tengah
17. Desinfeksi area yang akan dipungsi menggunakan yodium-povidin, kemudian diusap
dengan kapas alkohol.
16
18. Berikan anestesi lokal jika perlu.
19. Bilas spuit ukuran 3 ml dengan sedikit heparin 1000 U/ml dan kemudian kosongkan
spuit, biarkan heparin berada dalam jarum dan spuit
20. Sambil mempalpasi arteri, masukkan jarum dengan sudut 45 ° sambil menstabilkan
arteri klien dengan tangan yang lain
21. Observasi adanya pulsasi (denyutan) aliran darah masuk spuit (apabila darah tidak
bisa naik sendiri, kemungkinan pungsi mengenai vena). Ambil darah 1 sampai 2 ml.
22. Tarik spuit dari arteri, tekan bekas pungsi dengan menggunakan kasa 5-10 menit
23. Buang udara yang berada dalam spuit, sumbat spuit dengan gabus atau karet
24. Putar-putar spuit sehingga darah bercampur dengan heparin
25. Tempatkan spuit di antara es yang sudah dipecah
26. Ukur suhu dan pernafasan klien.
27. Beri label pada spesimen yang berisi nama, suhu, konsentrasi oksigen yang digunakan
klien jika kilen menggunakan terapi oksigen
28. Kirim segera darah ke laboratorium
29. Beri plester dan kasa jika area bekas tusukan sudah tidak mengeluarkan darah (untu
klien yang mendapat terapi antikoagulan, penekanan membutuhkan waktu yang lama)
30. Bereskan alat yang telah digunakan, lepas sarung tangan
31. Cuci tangan
32. Kaji respon klien setelah pengambilan AGD
33. Berikan reinforcement positif pada klien
34. Buat kontrak untuk pertemuan selanjutnya
35. Akhiri kegiatan dan ucapkan salam
36. Dokumentasikan di dalam catatan keperawatan waktu pemeriksaan AGD, dari sebelah
mana darah diambil dan respon klien.
2. Alkalosis respiratorik
Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat.
Kondisi ini sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang
dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk menentukan penyebab
hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan
18
memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas,
dan iatrogenik akibat ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan
ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses sudah kronik.
3. Asidosis Metabolik
Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya
disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam
darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi
respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun.
Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola
pernafasan justru akan berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh terhadap
kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab asidosis metabolik, dapat dilakukan
penghitungan anion gap melalui rumus
(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-)
Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang normal ini harus disesuaikan
pada pasien dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah terjadinya
asidosis dengan anion gap yang lebih. Koreksi tersebut dihitung dengan memodifikasi
rumus diatas menjadi
(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)
Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik
lain seperti laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat
berkurangnya suplai oksigen atau berkurangnya perfusi, sehingga terjadilah
metabolisme anaerob dengan hasil sampingan berupa laktat. Pada keadaan gagal
ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik sehingga terjadi asidosis
dengan peningkatan anion gap.
Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan
kehilangan bikarbonat atau retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis,
gangguan GIT (diare berat), fistula ureter, terapi acetazolamide, dan yang paling
sering adalah akibat pemberian infus NaCl berlebihan.
4. Alkalosis metabolik
19
Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula. Adanya
peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru. Penyebab
yang paling sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik (terutama furosemid),
hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium dan
mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan pemberian
HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat) secara berlebihan. Persisten metabolik
alkalosis biasanya berkaitan dengan gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat
mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.
20
BAB III
PENUTUP
Demikian pembahasan dari materi analisa gas darah yang dapat dismpulkan bahwa tujuan dari
analisa gas tersebut adalah mengetahui fungsi jantung dengan pemeriksaan dapat dilakukan
melalui pengambilan darah astrup dari arteri radialis,brakhialis,atau formalis,selain itu
Menilai tingkat keseimbangan asam dan basa dan terakhir Menilai kondisi fungsi
metabolisme tubuh.
Pemeriksaan AGD dengan prosuder-prosuder yang telah dijelaskan pada BAB II pembahsan
dan AGD juga dipengaruhi factor-faktor yang juga dijelaskan diatas.Sekian hasil makalah ini
semoga bermanfaat.
21
DAFTAR PUSTAKA
22