Anda di halaman 1dari 18

RESUME

PENDIDIKAN INKLUSI

“Hakikat Pendidikan Inklusif”

Oleh

Reska Sri Harida

18129135

18 BKT 13

Dosen Pengampu :  Iga Setia Utami, S.Pd, M.Pd.T

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
A. Sejarah Pendidikan Inklusif
Dalam jurnal Saputra (2016: 3) menyebutkan sejarah perkembangan
pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia).
Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy
mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata
cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam
Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif
dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989
dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini
mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali
(termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan
secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994
diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang
mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan
’The Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi
1. Semua anak sebaiknya belajar bersama
2. Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa
3. ABK diberi layanan khusus.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang
pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi
nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen
Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak
dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional
di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya

1
antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan
inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan
layak.Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut,
maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan
program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program
pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada
tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun
2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia,
menggunakan konsep pendidikan inklusif.
Abin Syamsudin (dalam Winarsih, 2017 : 122-125) mengemukanan
bahwa perubahan paradigma pendidikan di Indonesia mengacu kepada kedua
hal yang melatarbelakanginya yaitu :
1. Perubahan mengikuti perkembangan sosial politik.
Perubahan dimaksud adalah perubahan pandangan dari
memandang bahwa pendidikan anak didasarkan atas keadaan
karakteristik anak menjadi pandangan bahwa pendidikan anak
didasarkan pada perspektif kebutuhan anak.
Dengan visi adanya perbedaan antara normal dan tidak normal
(normal-abnormal). Normal dengan berkelainan (normal-abnormal),
mampu dengan tidak mampu (able- disable). Dengan jenis-jenis yang
meliputi : retardesi mental, gangguan mental, gifted, gangguan fisik,
buta, tuli, gangguan sosial, gangguan ganda, kesulitan belajar. Layanan
pendidikan kini berubah ke arah layanan pendidikan berdasarkan
kebutuhan, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
memperoleh pendidikan. Maka pendidikan diberikan untuk semua,
tidak lagi didasarkan atas karakteristik.
2. Perubahan paradigma sistem pendidikan
Perubahan dimaksud secara garis besar yaitu bahwa sampai
dengan tahun 1900 pendidikan khusus masih belum mendapat

2
perhatian. Anak berkebutuhan khusus terasing dari masyarakat dan
cenderung mendapat penolakan.
Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia
hakekatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai
dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung
masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah.
Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan
beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra. Selanjutnya,
pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap
pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International,
Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi.
Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat
Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan
Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu
berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan,
terutama di jenjang SD. Pada akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi
untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara
Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway
dan Direktorat PLB (Tarsidi, 2007 dalam Saputra,2016: 4).
Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengimpllementasikan
pendidikan inklusif bagi penyandang cacar, pada tahun 2002 pemerintah
secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang
memiliki pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan
telah bersekolah di sekolah reguler, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi
6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus.
Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang
tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP,
dan 56 SLTA.

3
B. Tujuan Pendidikan Inklusif

Tujuan pendidikan inklusif mengacu kepada UU. No. 2, tahun 2003,


Sisdiknas Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan Negara.(dalam Baharun, 2018: 61)

Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70


Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa,
disebutkan bahwa Pendidikan inklusif adalah Pendidikan inklusif bertujuan:

1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta


didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
2. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
(dalam Nissa, 2020: 52)

Tujuan pendidikan inklusif pada umumnya adalah untuk memberikan


layanan pendidikan bagi siswa yang berkesulitan belajar dan siswa yang
memerlukan layanan pendidikan khusus, agar potensi yang dimiliki (kognitif,
afektif, dan psikomotorik) dapat berkembang secara optimal dan mereka dapat

4
hidup mandiri bersama anak- anak normal sesuai dengan prinsip pendidikan
serta dapat berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tujuan pendidikan inklusi menurut Raschake dan Bronson (dalam


Rosliana, 2019: 35-36) terbagi menjadi 3 yakni bagi anak berkebutuhan
khusus, bagi pihak sekolah, bagi guru, dan bagi masyarakat, lebih jelasnya
adalah sebagai berikut :

1. Bagi anak berkebutuhan khusus, yaitu:


a. Anak akan merasa menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya.
b. Anak akan memperoleh bermacam-macam sumber untuk belajar
dan bertumbuh.
c. Meningkatkan harga diri anak.
d. Anak memperoleh kesempatan untuk belajar dan menjalin
persahabatan bersama teman yang sebaya.
2. Bagi pihak sekolah, yaitu:
a. Memperoleh pengalaman untuk mengelola berbagai perbedaan
dalam satu kelas.
b. Mengembangkan apresiasi bahwa setiap orang memiliki keunikan
dan kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya.
c. Meningkatkan kepekaan terhadap keterbatasan orang lain dan rasa
empati pada keterbatasan anak.
d. Meningkatkan kemampuan untuk menolong dan mengajar semua
anak dalam kelas.
3. Bagi guru, yaitu:
a. Membantu guru untuk menghargai perbedaan pada setiap anak dan
mengakui bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki
kemampuan.
b. Menciptakan kepedulian bagi setiap guru terhadap pentingnya
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

5
c. Guru akan merasa tertantang untuk menciptakan metode-metode
baru dalam pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam
memecahkan masalah.
d. Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.
4. Bagi masyarakat, yaitu:
1. Meningkatkan kesetaraan sosial dan kedamaian dalam masyarakat.
2. Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan mengajarkan setiap
anggota masyarakat tentang proses demokrasi.
3. Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan
antar anggota masyarakat.

Selain itu, tujuan pendidikan inklusif adalah memberikan intervensi


bagi anak berkebutuhan khusus sedini mungkin. Diantara tujuan pendidikan
inklusif menurut Yusraimi (dalam Baharun, 2018: 61) adalah sebagai berikut:

1. Untuk meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan dan


perkembangan anak dan untuk memaksimalkan kesempatan anak
terlibat dalam aktivitas yang normal.
2. Jika memungkinkan untuk mencengah terjadinya kondisi yang lebih
parah dalam ketidak teraturan perkembangan sehingga menjadi anak
yang tidak berkemampuan.
3. Untuk mencengah berkembangnya keterbatasan kemampuan lainnya
sebagai hasil yang diakibatkan oleh ketidak mampuan utamanya.

C. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

6
Florian (dalam Ita, 2019: 192) mengatakan prinsip dasar lahirnya
pendidikan inklusif adalah semua siswa dilayani secara baik dan adil dengan
tidak melihat keterbatasan dan kondisi anak, baik kondisi kebutuhan khusus,
perbedaan sosial, emosional, kultural maupun bahasa.

Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusif menurut Ilahi (dalam Ita,


2019: 192), antara lain:

1. Pendidikan inklusif memberi pelayanan kepada semua jenis siswa


Pendidikan inklusif tidak saja menjadi konsep pendidikan
yang menekankan pada kesetaraan, tetapi juga memberikan perhatian
penuh pada semua kalangan anak yang mengalami keterbatasan fisik
maupun mental.
2. Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling
Prinsip dasar yang menjadi karakter pendidikan inklusif
adalah menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan pelabelan.
Salah satu dampak buruk dari labeling adalah munculnya inferioritas
bagi pihak yang diberi label negatif. Perasaan inferioritas akan
mengganggu setiap aspek kehidupanmereka.
3. Pendidikan inklusif selalu melakukan checks dan balances
Kehadiran pendidikan inklusif tidak sekedar sebagai konsep
percobaan yang hanya muncul dalam wacana belaka, melainkan bisa
menjadi konsep ideal yang berperan penting dalam penyelenggaraan
pendidikan berbasis checks dan balances.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan pada beberapa prinsip


menurut Kemdikbud (dalam Jauhari, 2017: 26-27), sebagai berikut:

1. Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu

7
Pendidikan inklusif merupakan filosofi dan strategi dalam
upaya pemerataan kesempatan memperoleh layanan pendidikan dan
peningkatan mutu pendidikan yang memungkinkan dapat memberikan
akses pada semua anak dan menghargai perbedaan.
2. Prinsip keberagaman
Adanya perbedaan individual dari sisi kemampuan, bakat,
minat, serta kebutuhan perserta didik, sehingga pendidikan hendaknya
diupayakan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik
individual peserta didik.
3. Prinsip kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga
komunitas kelas yang ramah, menerima, keragaman dan menghargai
perbedaan, serta bermakna bagi kemandirian peserta didik.
4. Prinsip keberlanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan
pada semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
5. Prinsip keterlibatan
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh
komponen pendidikan terkait.

Adapun prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusif menurut


Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Di Provinsi DKI Jakarta Dinas
Pendidikan DKI Jakarta (dalam Murniati, 2016: 12-13) adalah sebagai
berikut:

1. Pendidikan yang Ramah


Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga
komunitas kelas yang ramah dan terbuka dalam menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan yang ada. Sekolah yang
“ramah” juga berate memberikan hak kepada anak untuk belajar dan

8
mengembangkan potensinya seoptimal mungkin di dalam lingkungan
yang aman dan terbuka. Selain itu, “ramah” juga berarti guru
menunjukkan sikap positif dan mendukung pada peserta didik tanpa
terkecuali dan tidak mengganggap ABK sebagai beban.
2. Pengembangan seoptimal mungkin
Pada dasarnya, setiap anak memiliki kemampuan dan
kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu pendidikan harus
diusahakan untuk menyesuaikan dengan kondisi anak.
3. Kerja sama
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan
seluruh komponen pendidikan terkait.
4. Perubahan Sistem
Sekolah harus berani fleksibel dalam implementasi
penyelenggaraan pendidikan. Perlu diperhatikan setting kelas yang
cocok, kemungkinan perlunya modifikasi program belajar, dan sistem
penilaian yang sesuai bagi masing-masing ABK.

D. Keutamaan Dan Sisi Positif Pendidikan Inklusif


Alasan pendidikan inklusi harus diimplementasikan menurut Lettu
(2018: 63) yaitu:
1. Semua anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
bermutu dan tidak diskriminatif.
2. Semua anak memiliki kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa
melihat kelainan dan kecacatannya.
3. Perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu
pembelajaran bagi semua anak.
4. Sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespons
kebutuhan pembelajaran yang berbeda.

9
Sisi positif implementasi pendidikan inklusif menurut Lettu (2018: 63)
antara lain:

1. Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya pendidikan inklusif


sekaligus menghilangkan
2. Nilai dan sikap diskriminatif, melibatkan dan memberdayakan
masyarakat untuk memberlakukan
3. Analisis situasi pendidikan setempat, memberikan kesmpatan kepada
anak dan mengidentifikasi
4. Alasan meraka tidak sekolah (bagi anak yang belum atau tidak
sekolah).

Ada beberapa alasan mengapa kita perlu menjalankan sistem


pendidikan inklusif menurut Murniati (2016: 13)diantarannya adalah:

1. Tidak semua ABK cocok atau harus belajar di sekolah khusus


(Sekolah Luar Biasa). Bagi ABK dengan gangguan tidak terlalu berat
atau memiliki potensi akademik (IQ) yang (cukup) baik/rata-rata ke
atas, situasi dan tuntutan belajar di sekolah khusus tidak dapat
menjawab kebutuhan ABK tersebut.
2. ABK perlu kelas reguler untuk belajar menggeneralisasikan
ketrampilan yang telah dipelajari dan dikuasainya dalam setting yang
lebih nyata.
3. ABK perlu belajar di kelas reguler secara langsung untuk dapat
mempelajari suatu ketrampilan tertentu.
4. Dilihat dari jumlah sekolah yang ada, jumlah sekolah khusus (SLB)
relatif jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sekolah reguler.
5. Dilihat dari tenaga kerja, guru kelas reguler/bidang studi lebih
menguasai ilmu yang ingin disampaikan. Sedangkan guru Pendidikan
Luar Biasa (PLB) atau guru pendamping khusus lebih mendalami tata

10
laksana penerapan disiplin atau perlakuan yang harus dijalani. Jadi
jelas butuh kolaborasi antara guru reguler dengan guru dengan latar
belakan pendidikan luar biasa.

Terdapat sepuluh alasan yang mendasari pendidikan inklusif menurut


Pusat Studi Pendidikan Inklusif di Inggris (dalam Ita, 2019: 193)antara lain:

1. Hak belajar bersama bagi semua anak


2. Anakanak harus diperlakukan sama tanpa harus dipisahkan oleh karena
keterbatasan fisik
3. Sistem segregasi merugikan penyandang cacat yang menjalankan atau
sudah mengakhiri pendidikan segregasi
4. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing
sehingga tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan pendidikan bagi
anak cacat dan anak normal
5. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa prestasi akademik
dan sosial anak cacat yang sekolah di sekolah integrasi lebih baik
daripada di sekolah umum
6. Semua pengajaran sama, baik di sekolah segregasi maupun di sekolah
umum
7. Pendidikan inklusi lebih efisien dalam penggunaan sumber belajar
dengan komitmen dan dukungan yang baik
8. Anak menjadi banyak prasangka dan rasa cemas (tidak nyaman)
sebagai hasil dari pendidikan segregasi
9. Pendidikan memiliki tujuan untuk membekali anak menjalani hidup
dan kehidupan dalam masyarakat yang normal
10. Dengan pendidikan inklusif dapat menumbuhkan rasa persahabatan,
saling mengasihi, saling menghargai dan saling memahami serta
mengurangi rasa kecemasan dan tidak nyaman.

11
E. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Karakteristrik terpenting dari sekolah pendidikan inklusif adalah suatu


komunitas yang kohesif. Menerima dan responsif terhadap kebutuhan
individual setiap murid.Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ita, 2019:
193) menyebutkan pendidikan inklusif didasari oleh empat karakteristik
makna antara lain:

1. Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara


merespons keragaman individu.
2. Mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak
dalam belajar.
3. Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan
hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.
4. Diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal,
eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar
model-model pendidikan inklusif.

Sapon-Shevin (dalam Budiyanto, 2017: 153-155) mengemukakan lima


profil pembelajaran di sekolah inklusif yaitu:

1. Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas


yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang
menampung semua anak secara penuh dengan menekan suasana dan
perilaku sosial yang menghargai perbedaan yang menyangkut
kemampuan, kondisi fisik, sosial-ekonomi, suku, agama, dan
sebagainya.

12
2. Pendidikan inklusif berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan
multimodalitas. Mengajar kelas yang memang dibuat heterogen
memerlukan perubahan kurikulum mendasar. Guru di kelas inklusif
secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku,
berdasarkan buku teks, atau materi basal ke pembelajaran yang banyak
melibatkan belajar kooperatif, tematik, berpikir kritis, pemecahan
masalah, dan asesmen secara autentik.
3. Pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk
mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat
dengan perubahan secara metode pembelajaran. Model kelas
tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat
memenuhi kebutuhan anak di kelas harus diganti dengan model murid-
murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi
dalam pendidikannya sendiri dan teman-temannya. Kaitan antara
pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas, semua anak
berada di satu kelas bukan untuk kompetisi, tetapi untuk saling belajar
dari yang lain.
4. Pendidikan inklusif berarti menyediakan dorongan bagi guru dan
kelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan yang
berkaitan dengan isolasi profesi. Meskipun guru selalu dikelilingi oleh
orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi.
Aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi pengajaran dengan
tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur
keterampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas
mendidik sekelompok anak. Kerja sama tim antara guru profesi lain
diperlukan, seperti para profesional, ahli bina bahasa dan wicara,
petugas bimbingan, dan sebagainya. Meskipun untuk dapat bekerja
sama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan
dorongan, kerja sama yang diinginkan ternyata dapat terwujud.

13
5. Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara Bermakna
dalam proses perencanaan. Pendidikan inklusif Sangat tergantung
kepada masukan orangtua pada Pendidikan anaknya, misalnya
keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran individual.

F. Model-model Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model menurut Henry


Clay Lindgren (dalam Rosliana. 2019:36) yaitu:

1. Model inklusif penuh (full inclusion)


Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk
menerima pembelajaran individual dalam kelas regular.
2. Model inklusif parsial (partial inclusion)
Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan
khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas
reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan
guru pendamping khusus.
Adapun model pelayanan pendidikan inklusi di Indonesia adalah
sebagai berikut :
1. Kelas reguler (inklusi penuh). Anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan
menggunakan kurikulum yang sama.
2. Kelas reguler dengan cluster Anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out Anak berkebutuhan khusus belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu
tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus.

14
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out anak berkebutuhan khusus
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok
khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian anak berkebutuhan
khusus belajar dalam kelas pada sekolah reguler, namun dalam bidang-
bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas
regular
6. Kelas khusus penuhan anak berkebutuhan khusus belajar di dalam
kelas khusus pada sekolah regular.

Model-model pendidikan inklusif menurut Nikmatuzahroh &


Nurhamida (dalam Ita, 2019: 193) antara lain:

1. Inklusif penuh
Dalam model ini anak yang memiliki keterbatasan di
sekolahkan dekat dengan rumahnya dan mengikuti pendidikan secara
normal dengan anak-anak lain.
2. Integrasi model umum

Dalam model ini anak berkebutuhan khusus (abk) dididik


dengan setting terpisah terlebih dahulu, barulah ketika anak tampak
siap anak digabung dalam kelas regular.

3. Integrasi model lanjutan


Dalam model ini individu dari kelas khusus mengunjungi kelas
regular untuk aktivitas bersama dalam mata pelajaran tertentu.
4. Model inklusif

15
Model inklusif memandang semua siswa sama dan memiliki
bakat masing-masing dalam bidangnya, jadi profesional guru sangat
diperlukan untuk menyukseskan pengajaran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto. 2017.Pengantar Pendidikan Inklusi Berbasis Budaya Lokal. Jakarta:


Prenedamedia Group.

Baharun, Hasan, Robiatul Awwaliyah. 2018. Pendidikan Inklusi Bagi Anak


Berkebutuhan Khusus Dalam Perspektif Epistemologi Islam. MODELING:
Jurnal Program Studi PGMI. Volume 5, Nomor 1, Maret 2018; p-ISSN: 2442
3661; e-ISSN: 2477-667X, 57-71. Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
(http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/article/view/209/191)
Ita, Efrida. 2019. Konsep Sistem Layanan Penyelenggaraan Pendidikan Melalui
Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Citra Bakti, Volume 6, Nomor 2 P-Issn 2355-5106,E -Issn 2620
6641.(Http://Jurnalilmiahcitrabakti.Ac.Id/Jil/Index.Php/Jil/Article/View/32/45

Jauhari, Muhammad Nurrohman. 2017. Pengembangan Sekolah Inklusif


DenganMenggunakan Instrumen Indeks For Inclusion. Jurnal Buana
Pendidikan Tahun XII, No. 23. Februari.
(http://jurnal.unipasby.ac.id/index.php/jurnal_buana_pendidikan/article/view
MNJ/pdf)

16
Lettu, Desja. 2018. Peran Guru Bimbingan dan Konseling pada Sekolah
PenyelenggaraPendidikan Inklusi. Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan
Volume 02 Number 01. Dinas Pendidikan Kota Ambon.
(file:///C:/Users/U_One/AppData/Local/Temp/236-475-1-SM.pdf)

Murniati, Erni, Noul Zahrah Anastasia. 2016. Pendidikan Inklusif Di Tingkat Sekolah
Dasar:Konsep, Implementasi, Dan Strategi. J D P, Volume 9, Nomor 1, April.
(http://ejournal.uki.ac.id/index.php/jdp/article/view/inclusive%20education
%3B%20the%20concept%20of%20inclusive%20education%3B%20the
%20implementation%20of%20inclusive%20education%3B%20inclusive
%20education%20strategy/91)

Nissa, Tarnoto. 2020. Permasalahan-Permasalahan Yang Dihadapi Sekolah


Penyelenggara Pendidikan Inklusi Pada Tingkat SD. HUMANITAS Vol. 13
Nomor.1(http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi
Artikel_626984286959.pdf)
Rosliana. Lia, Rina Hizriyani. 2019. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif
Pada Sekolah Paud. Motiva : Jurnal Psikologi2019, Vol 2, No 1, 32-39.
(http://ejurnal.untag-smd.ac.id/index.php/MV/article/view/4313/4155)

Saputra, Angga. 2016. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif.


GOLDEN AGE. Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. Volume. 1
Nomor.3.(file:///C:/Users/U_One/AppData/Local/Temp/1929Article%20Text-
4128-1-10-20180705.pdf)
Winarsih, Murni. 2017. Pendidikan Integrasi Dan Pendidikan Inklusi. Jurnal
HIKMAH,Vol.XIII,No.2 (file:///C:/Users/U_One/AppData/Local/Temp/156-
266-1-SM.pdf)

17

Anda mungkin juga menyukai