PENDIDIKAN INKLUSI
Oleh
18129135
18 BKT 13
2020
A. Sejarah Pendidikan Inklusif
Dalam jurnal Saputra (2016: 3) menyebutkan sejarah perkembangan
pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari
negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia).
Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy
mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata
cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam
Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif
dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989
dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini
mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali
(termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan
secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994
diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang
mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan
’The Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi
1. Semua anak sebaiknya belajar bersama
2. Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa
3. ABK diberi layanan khusus.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang
pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi
nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen
Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak
dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional
di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya
1
antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan
inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan
layak.Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut,
maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan
program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program
pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada
tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun
2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia,
menggunakan konsep pendidikan inklusif.
Abin Syamsudin (dalam Winarsih, 2017 : 122-125) mengemukanan
bahwa perubahan paradigma pendidikan di Indonesia mengacu kepada kedua
hal yang melatarbelakanginya yaitu :
1. Perubahan mengikuti perkembangan sosial politik.
Perubahan dimaksud adalah perubahan pandangan dari
memandang bahwa pendidikan anak didasarkan atas keadaan
karakteristik anak menjadi pandangan bahwa pendidikan anak
didasarkan pada perspektif kebutuhan anak.
Dengan visi adanya perbedaan antara normal dan tidak normal
(normal-abnormal). Normal dengan berkelainan (normal-abnormal),
mampu dengan tidak mampu (able- disable). Dengan jenis-jenis yang
meliputi : retardesi mental, gangguan mental, gifted, gangguan fisik,
buta, tuli, gangguan sosial, gangguan ganda, kesulitan belajar. Layanan
pendidikan kini berubah ke arah layanan pendidikan berdasarkan
kebutuhan, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
memperoleh pendidikan. Maka pendidikan diberikan untuk semua,
tidak lagi didasarkan atas karakteristik.
2. Perubahan paradigma sistem pendidikan
Perubahan dimaksud secara garis besar yaitu bahwa sampai
dengan tahun 1900 pendidikan khusus masih belum mendapat
2
perhatian. Anak berkebutuhan khusus terasing dari masyarakat dan
cenderung mendapat penolakan.
Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia
hakekatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai
dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung
masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah.
Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan
beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra. Selanjutnya,
pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap
pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International,
Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi.
Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat
Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan
Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu
berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan,
terutama di jenjang SD. Pada akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi
untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara
Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway
dan Direktorat PLB (Tarsidi, 2007 dalam Saputra,2016: 4).
Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengimpllementasikan
pendidikan inklusif bagi penyandang cacar, pada tahun 2002 pemerintah
secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang
memiliki pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan
telah bersekolah di sekolah reguler, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi
6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus.
Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang
tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP,
dan 56 SLTA.
3
B. Tujuan Pendidikan Inklusif
4
hidup mandiri bersama anak- anak normal sesuai dengan prinsip pendidikan
serta dapat berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
5
c. Guru akan merasa tertantang untuk menciptakan metode-metode
baru dalam pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam
memecahkan masalah.
d. Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.
4. Bagi masyarakat, yaitu:
1. Meningkatkan kesetaraan sosial dan kedamaian dalam masyarakat.
2. Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan mengajarkan setiap
anggota masyarakat tentang proses demokrasi.
3. Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan
antar anggota masyarakat.
6
Florian (dalam Ita, 2019: 192) mengatakan prinsip dasar lahirnya
pendidikan inklusif adalah semua siswa dilayani secara baik dan adil dengan
tidak melihat keterbatasan dan kondisi anak, baik kondisi kebutuhan khusus,
perbedaan sosial, emosional, kultural maupun bahasa.
7
Pendidikan inklusif merupakan filosofi dan strategi dalam
upaya pemerataan kesempatan memperoleh layanan pendidikan dan
peningkatan mutu pendidikan yang memungkinkan dapat memberikan
akses pada semua anak dan menghargai perbedaan.
2. Prinsip keberagaman
Adanya perbedaan individual dari sisi kemampuan, bakat,
minat, serta kebutuhan perserta didik, sehingga pendidikan hendaknya
diupayakan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik
individual peserta didik.
3. Prinsip kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga
komunitas kelas yang ramah, menerima, keragaman dan menghargai
perbedaan, serta bermakna bagi kemandirian peserta didik.
4. Prinsip keberlanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan
pada semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
5. Prinsip keterlibatan
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh
komponen pendidikan terkait.
8
mengembangkan potensinya seoptimal mungkin di dalam lingkungan
yang aman dan terbuka. Selain itu, “ramah” juga berarti guru
menunjukkan sikap positif dan mendukung pada peserta didik tanpa
terkecuali dan tidak mengganggap ABK sebagai beban.
2. Pengembangan seoptimal mungkin
Pada dasarnya, setiap anak memiliki kemampuan dan
kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu pendidikan harus
diusahakan untuk menyesuaikan dengan kondisi anak.
3. Kerja sama
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan
seluruh komponen pendidikan terkait.
4. Perubahan Sistem
Sekolah harus berani fleksibel dalam implementasi
penyelenggaraan pendidikan. Perlu diperhatikan setting kelas yang
cocok, kemungkinan perlunya modifikasi program belajar, dan sistem
penilaian yang sesuai bagi masing-masing ABK.
9
Sisi positif implementasi pendidikan inklusif menurut Lettu (2018: 63)
antara lain:
10
laksana penerapan disiplin atau perlakuan yang harus dijalani. Jadi
jelas butuh kolaborasi antara guru reguler dengan guru dengan latar
belakan pendidikan luar biasa.
11
E. Karakteristik Pendidikan Inklusi
12
2. Pendidikan inklusif berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan
multimodalitas. Mengajar kelas yang memang dibuat heterogen
memerlukan perubahan kurikulum mendasar. Guru di kelas inklusif
secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku,
berdasarkan buku teks, atau materi basal ke pembelajaran yang banyak
melibatkan belajar kooperatif, tematik, berpikir kritis, pemecahan
masalah, dan asesmen secara autentik.
3. Pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk
mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat
dengan perubahan secara metode pembelajaran. Model kelas
tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat
memenuhi kebutuhan anak di kelas harus diganti dengan model murid-
murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi
dalam pendidikannya sendiri dan teman-temannya. Kaitan antara
pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas, semua anak
berada di satu kelas bukan untuk kompetisi, tetapi untuk saling belajar
dari yang lain.
4. Pendidikan inklusif berarti menyediakan dorongan bagi guru dan
kelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan yang
berkaitan dengan isolasi profesi. Meskipun guru selalu dikelilingi oleh
orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi.
Aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi pengajaran dengan
tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur
keterampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas
mendidik sekelompok anak. Kerja sama tim antara guru profesi lain
diperlukan, seperti para profesional, ahli bina bahasa dan wicara,
petugas bimbingan, dan sebagainya. Meskipun untuk dapat bekerja
sama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan
dorongan, kerja sama yang diinginkan ternyata dapat terwujud.
13
5. Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara Bermakna
dalam proses perencanaan. Pendidikan inklusif Sangat tergantung
kepada masukan orangtua pada Pendidikan anaknya, misalnya
keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran individual.
14
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out anak berkebutuhan khusus
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok
khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian anak berkebutuhan
khusus belajar dalam kelas pada sekolah reguler, namun dalam bidang-
bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas
regular
6. Kelas khusus penuhan anak berkebutuhan khusus belajar di dalam
kelas khusus pada sekolah regular.
1. Inklusif penuh
Dalam model ini anak yang memiliki keterbatasan di
sekolahkan dekat dengan rumahnya dan mengikuti pendidikan secara
normal dengan anak-anak lain.
2. Integrasi model umum
15
Model inklusif memandang semua siswa sama dan memiliki
bakat masing-masing dalam bidangnya, jadi profesional guru sangat
diperlukan untuk menyukseskan pengajaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
16
Lettu, Desja. 2018. Peran Guru Bimbingan dan Konseling pada Sekolah
PenyelenggaraPendidikan Inklusi. Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan
Volume 02 Number 01. Dinas Pendidikan Kota Ambon.
(file:///C:/Users/U_One/AppData/Local/Temp/236-475-1-SM.pdf)
Murniati, Erni, Noul Zahrah Anastasia. 2016. Pendidikan Inklusif Di Tingkat Sekolah
Dasar:Konsep, Implementasi, Dan Strategi. J D P, Volume 9, Nomor 1, April.
(http://ejournal.uki.ac.id/index.php/jdp/article/view/inclusive%20education
%3B%20the%20concept%20of%20inclusive%20education%3B%20the
%20implementation%20of%20inclusive%20education%3B%20inclusive
%20education%20strategy/91)
17