Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FITOKIMIA
“SOKLETASI”

Dosen Pengampu : Nur Ermawati, M. Farm., Apt.

Nama : Nurul Azizah


NPM : 1118005621
Semester/Kelompok : 4/B

PRODI STUDI D-III FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2020
PRAKTIKUM 4
SOKLETASI
I. TUJUAN PERCOBAAN

Mahasiswa dapat melakukan penyarian senyawa metabolit sekunder dari simplisia


tanaman obat dengan metode sokletasi.
II. TUJUAN INSTRUKSIONAL

Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa dapat memahami dan dapat melakukan
penyarian senyawa metabolit sekunder dari simplisia tanaman obat dengan cara sederhana
namun terandalkan.
III. DASAR TEORI

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah
dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif  yang terdapat dalam berbagai
simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-
lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat ( Ditjen POM, 1995)
Ekstrak merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan cara mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai.
Kemudian, sebagian atau seluruh bagian pelarut diuapkan hingga menyisakan serbuk/kerak
(crude). Serbuk yang tersisa kemudian diperlakukan dngan beberapa perlakuan yang berbeda
untuk mendapatkan hasil atau memenuhi baku yang telah ditentukan. (Ditjen POM, 1995)
Ekstraksi memanfaatkan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak
dapat tercampur. Untuk mengambil zat terlarut dari suatu pelarut ke pelarut lainnya,
kesetimbangan heterogen yang penting melibatkan pembagian suatu spesies antara dua fase
pelarut yang tidak dapat tercampur. Kesetimbangan ini terdapat dalam banyak proses
pemisahan dalam penelitian kimia maupun di industri. (Oxtoby, 2001)
 Pemilihan pelarut

Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus diperhatikan sifat kandungan kimia
(metabolit sekunder) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah sifat kepolaran, dapat
dilihat dari gugus polar senyawa tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih
mudah larut dalam pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam
pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan dielektrik, makin besar
tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut (Ditjen POM, 1992).
Syarat-syarat pelarut adalah sebagai berikut (Ditjen POM, 1992):

1. Kapasitas besar
2. Selektif
3. Volabilitas cukup rendah (kemudahan menguap/titik didihnya cukup rendah) Cara
memperoleh penguapannya adalah dengan cara penguapan diatas penangas air dengan

wadah lebar pada temperature 60oC, destilasi, dan penyulingan vakum.


4. Harus dapat diregenerasi
5. Relative tidak mahal
6. Non toksik, non korosif, tidak memberikan kontaminasi serius dalam keadaan uap
7. Viskositas cukup rendah

 Pemilihan metode ekstraksi

Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang digunakan, bahan yang


mengandung mucilago dan bersifat mengembang kuat hanya boleh dengancara maserasi.
sedangkan kulit dan akar sebaiknya di perkolasi. untuk bahan yang tahan panas sebaiknya
diekstrasi dengan cara refluks sedangkan simplisia yang mudah rusak karna pemanasan dapat
diekstrasi dengan metode soxhlet (Agoes, 2007).

Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan metode ekstraksi (Agoes, 2007):

1. Bentuk/tekstur bahan yang digunakan

2. Kandungan air dari bahan yang diekstrasi

3. Jenis senyawa yang akan diekstraksi

4. Sifat senyawa yang akan diekstraksi

 Adapun faktor - faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ekstraksi yaitu :
a. Lama waktu ekstraksi.

Lama ekstraksi akan menentukan banyaknya senyawa-senyawa yang terambil. Ada waktu
saat pelarut/ ekstraktan jenuh. Sehingga tidak pasti, semakin lama ekstraksi semakin
bertambah banyak ekstrak yang didapatkan.
b. Metode ekstraksi, termasuk suhu yang digunakan.

Terdapat banyak metode ekstraksi, namun secara ringkas dapat dibagi berdasarkan suhu
yaitu metode ekstraksi dengan cara panas dan cara dingin. Metode panas digunakan jika
senyawa-senyawa yang terkandung sudah dipastikan tahan panas.( Ansel,Howard. 2008)
 Sokletasi

Sokletasi adalah suatu metode / proses pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam
zat padat dengan cara penyaringan berulang ulang dengan menggunakan pelarut tertentu,
sehingga semua komponen yang diinginkan akan terisolasi. (Sudjadi, 1986)
Adapun prinsip sokletasi ini yaitu : Penyaringan yang berulang ulang sehingga hasil yang
didapat sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Bila penyaringan ini telah
selesai, maka pelarutnya diuapkan kembali dan sisanya adalah zat yang tersari. Metode
sokletasi menggunakan suatu pelarut yang mudah menguap dan dapat melarutkan senyawa
organik yang terdapat pada bahan tersebut, tapi tidak melarutkan zat padat yang tidak
diinginkan. (Harbone,J.B . 1987)
 Syarat syarat pelarut yang digunakan dalam proses sokletasi :
1. Pelarut yang mudah menguap Ex : heksan, eter, petroleum eter, metil klorida dan
alkohol
2. Titik didih pelarut rendah.
3. Pelarut tidak melarutkan senyawa yang diinginkan.
4. Pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi.
5. Pelarut tersebut akan terpisah dengan cepat setelah pengocokan.
6. Sifat sesuai dengan senyawa yang akan diisolasi, polar atau nonpolar. (Sudjadi,
1986)
 Kelebihan metode sokletasi :
1. Sampel diekstraksi dengan sempurna karena dilakukan berulang ulang.
2. Jumlah pelarut yang digunakan sedikit.
3. Proses sokletasi berlangsung cepat.
4. Jumlah sampel yang diperlukan sedikit.
5. Pelarut organik dapat mengambil senyawa organik berulang kali.
 Kekurangan metode sokletasi :
1. Tidak baik dipakai untuk mengekstraksi bahan bahan tumbuhan yang mudah rusak
atau senyawa senyawa yang tidak tahan panas karena akan terjadi penguraian.
2. Harus dilakukan identifikasi setelah penyarian, dengan menggunakan pereaksi
meyer, Na, wagner, dan reagen reagen lainnya.
3. Pelarut yang digunakan mempunyai titik didih rendah, sehingga mudah menguap.
(Harbone, J.B . 1987)
 Alat Sokletasi

Fungsi dari masing-masing komponen dari instrumen alat sokletasi yaitu :


1. Kondensor berfungsi sebagai pendingin dan juga untuk
mempercepat proses pengembunan.
2. Timbal berfungsi sebagai wadah sampel yang ingin
diambil zatnya.
3. Pipa F berfungsi sebagai jalannya uap bagi pelarut yang
menguap dari proses penguapan.
4. Sifon berfungsi sebagai perhitungan siklus, bila pada
sifon larutannya penuh kemudian jatuh ke labu alas bulat maka hal ini dinamakan satu
siklus.
5. Labu alas bulat berfungsi sebagai wadah bagi sampel
dan pelarutnya.
6. Hot plate berfungsi sebagai pemanas larutan. (Kateren,
1986)
 Rimpang Kunyit
- Klasifikasi Kunyit :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliopsida
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa .L ( Sutrian, Y. 2011)

- Morfologi tanaman kunyit (Curcuma longa .L)

Tanaman kunyit tumbuh berumpun dengan tinggi 40-100 cm. Batang merupakan batang
semu, tegak berbentuk bulat, tersusun dari pelepah daun. Daun tunggal, bentuk bulat telur
memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm dan pertulangan menyirip dengan warna hijau
pucat. Ujung dan pangkal daun runcing tepi daun rata. Bunga majemuk berambut dan
bersisik panjang 10-15 cm dengan mahkota panjang sekitar 3 cm dan lebar 1,5 cm, berwarna
putih/kekuningan. Kulit luar rimpang berwarna jingga kecoklatan, daging buah merah jingga
kekuning- kuningan. ( Sutrian, Y. 2011)

- Kandungan kimia
Rimpang kunyit mengandung minyak menguap sebanyak 3-5% v/v. Terdiri atas
turmeron, zingiberen, ar-turmeron, sedikit mengandung fellandren, seskiterpen alkohol,
borneol, kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, pati, tanin dan damar
(Dalimartha, 2009).

- Manfaat dan kegunaan kunyit


Rimpang kunyit digunakan sebagai bumbu dapur dan sebagai obat yang berkhasiat
sebagai antikoagulan, menurunkan tekanan darah tinggi, sebagai obat malaria, obat cacing,
bakterisida, obat sakit perut, peluruh ASI, fungisida, stimulan, mengobati keseleo, memar,
rematik, obat asma, diabetes melitus, usus buntu, amandel, sariawan, tambah darah,
menghilangkan jerawat, penurun panas, menghilangkan rasa gatal, menyembuhkan kejang
dan mengobati luka-luka (Hidayat, 2003)

 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pertama kali dikembangkan oleh Izmailoff dan
Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar , yang fase diamnya
berupa lapisan seragam (uniform) pada permukaan bidng datar yang didukung oleh lempeng
kaca, plat aluminium, atau plat plastik (Gandjar dan Rohman, 2007).
- Kelebihan dan Kekurangan Kromatografi Lapis Tipis
a) Beberapa kelebihan KLT yaitu:
7. KLT lebih banyak digunakan untuk tujuan analisis.
8. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan
dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar
ultraviolet.
9. Dapat dilakukan elusi secara mekanik (ascending),
menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi.
10. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena
komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
11. Hanya membutuhkan sedikit pelarut. (Gandjar dan
Rohman, 2007).

b). Adapun kekurangan KLT yaitu :


1. Butuh ketekunan dan kesabaran yang ekstra untuk mendapatkan bercak/noda
yang diharapkan.
2. Butuh sistem trial and eror untuk menentukan sistem eluen yang cocok.
3. Memerlukan waktu yang cukup lama jika dilakukan secara tidak tekun.
(Gandjar dan Rohman, 2007).
- Prinsip Kerja Kromatografi Lapis Tipis

Pada dasarnya KLT digunakan untuk memisahkan komponen-komponen berdasarkan


perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang. KLT
sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara pelaksanaannya. Perbedaan
nyata terlihat pada fase diamnya atau media pemisahnya, yakni digunakan lapisan tipis
adsorben sebagai pengganti kertas.
Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis, terjadi hubungan kesetimbangan
antara fase diam dan fasa gerak, dimana ada interaksi antara permukaan fase diam dengan
gugus fungsi senyawa organik yang akan diidentifikasi yang telah berinteraksi dengan fasa
geraknya. Kesetimbangan ini dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : kepolaran fase diam,
kepolaran fase gerak, serta kepolaran dan ukuran molekul (Stahl, E. 1985)
- Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan media dalam KLT yang juga
mempengariuhi nilai Rf yaitu (Harbone, J.B. 1987) :
a. Struktur kimia dan senyawa yang sedang dipisahkan
b. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya
c. Suhu dan kesetimbangan
d. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase gerak.
e. Derajat kejenuhan.

IV. ALAT DAN BAHAN

No Alat Bahan
1. Labu alas bulat Serbuk rimpang kunyit
2. Seperangkat alat soklet Etanol 95%
3. Gelas ukur Kloroform
4. Beaker glass Etil asetat
5. Lap Aquadest
6. Corong Plat silika GF 254
7. Heating mentle
8. Rotavapor
9. Sendok tanduk
10. Pipet tetes
11. Batang pengaduk
12. Pipa kapiler
13. UV 254
14. Cawan penguap
15. Kertas saring
16. Alumunium foil

V. CARA KERJA

1. Tuangkan 250 mL pelarut etanol 95% ke dalam labu alas bulat atau
sampai kurang lebih ½ - 2/3 bagian volume labu dan ditambahkan batu didih.

2. Serbuk rimpang kunyit sebanyak 50 gram disiapkan dalam kertas saring whatman dan
dimasukkan ke dlam tabung soxchlet

3. Pasang alat soxchlet sesuai tempatnya


4. Tambahkan 50 ml pelarut dari bagian atas tabung soxchlet untuk pembasahan


simplisia

5. Nyalakan heating mentle sampai suhu mencapai titik didih pelarut


6. Ekstraksi simplisia sampai tetesan pelarut hampir tidak berwarna


7. Kemudian ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotavapor sehingga menjadi


ekstrak kental

Pemeriksaan Parameter Ekstrak :

a. Organoleptis Ekstrak

1. Disiapkan Ekstrak yang diperoleh


2.Diamati dan dideskripsikan mengenai bentuk, warna, bau, dan rasa dari ekstrak tersebut

3.Dicatat hasil pengamatan di lembar kerja

b. Rendemen Ekstrak

1.Disiapkan untuk ekstrak yang diperoleh


2.Dihitung rendemen ekstrak tersebut dengan menggunakan rumus

berat ekstrak total


Rendemen ( % )= x 100
berat simplisia

c. Pola Kromatografi Lapis Tipis

1.Larutan uji dibuat dengan melarutkan ekstrak sebanyak 10 mg dalm 10 mL etanol.


2. Pelat silika gel disiapkan dengan ukuran tertentu.


3.Sebelum dilakukan penotolan fase diam harus diaktifkan dengan cara dipanaskan
terlebih dahulu dalam oven pada suhu 1100 C selama 15 menit.

4.Selanjutnya larutan uji dan pembanding ditotolkan pada garis awal dengan
menggunakan pipa kapiler, biarkan beberapa saat hingga pelarutnya menguap.

5.Plat silika kemudian dimasukkan dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah
dijenuhkan dengan cairan pengembang.

6.Proses komatografi dihentikan sampai cairan pengembang sampai ke garis depan.

7.Amati pola kromatografi di bawah lampu UV 254 nm dan 366 nm dan hitung nilai Rf
setiap bercak yang teramati.
Jarak yang ditempuh senyawa
Rf =
Jarak yang ditempuh fase gerak .
VI. DATA DAN HASIL PERCOBAAN
1. Organoleptis Ekstrak

Organoleptis Keterangan
Bentuk Ekstrak kental
Warna Kuning keorangean
Rasa Pahit getir
Bau Bau khas rimpang kunyit

2. Rendemen Ekstrak

Percobaan Hasil
Bobot ekstrak 0,85 gram
Bobot simplisia 50 gram
Rendemen ekstrak 1,7 % b/b

3. Pola Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Sampel Jarak yang Jarak yang Rf HRf


ditempuh ditempuh eluent
sampel
Serbuk rimpang 4,1 cm 8 cm 0,51 51
kunyit

VII. DATA PERHITUNGAN


1. Perhitungan Rendemen Ekstrak

berat ekstrak total


Rendemen ( % )= × 100
berat simplisia
0,85
= ×100
50

= 1,7 % b/b
2. Perhitungan Rf

Jarak yang ditempuh senyawa


Rf =
Jarak yang ditempuh fase gerak .
4,1
=
8
= 0,51

HRf = 0,51 × 100


= 51
VIII. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, kami melakukan penyarian senyawa metabolit sekunder dari
simplisia rimpang kunyit dengan metode sokletasi. Sokletasi adalah suatu metode / proses
pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang
ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan
akan terisolasi. (Sudjadi, 1986).
Adapun prinsip sokletasi ini yaitu : Penyaringan yang berulang ulang sehingga hasil
yang didapat sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Bila penyaringan ini telah
selesai, maka pelarutnya diuapkan kembali dan sisanya adalah zat yang tersari. Metode
sokletasi menggunakan suatu pelarut yang mudah menguap dan dapat melarutkan senyawa
organik yang terdapat pada bahan tersebut, tapi tidak melarutkan zat padat yang tidak
diinginkan. (Harbone,J.B . 1987)
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu labu alas
bulat,seperangkat alat soklet, gelas ukur, beaker glass, corong, heating mentle, rotavapor,
sendok tanduk, pipet tetes, batang pengaduk, pipa kapiler, UV 254, cawan penguap, kertas
saring, alumunium foil. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan diantaranya serbuk rimpang
kunyit, etanol 95%, pereaksi semprof FeCl3 1% , kloroform, etil asetat, aquadest, plat silika
GF 254.
Kemudian, dilakukan pengekstraksian yang mana dilakukan dengan cara dituangkan
250 mL pelarut etanol 95% ke dalam labu alas bulat atau sampai kurang lebih ½ - 2/3
bagian volume labu dan ditambahkan batu didih. Penggunan pelarut etanol karena ethanol
mempunyai polaritas tinggi sehingga dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan
pelarut organik lainnya seperti heksan. Ethanol mudah melarutkan senyawa resin,
lemak,minyak,asam lemak seperti karbohidrat dan senyawa organik lainnya. Selain itu,
ethanol juga dapat melarutkan metabolit sekunder yang ada pada sampel rimpang kunyit.
Penambahan batu didih berfungsi untuk meratakan pemanasan agar tidak terjadi
peledakan ke dalam labu alas bulat. Serbuk rimpang kunyit sebanyak 50 gram disiapkan
dalam kertas saring whatman dan dimasukkan ke dalam tabung soxchlet.Tujuan sampel di
masukkan ke dalam kertas saring agar sampelnya tidak ikut ke dalam labu alas bulat ketika
diekstraksi.Pasang alat soxchlet sesuai tempatnya dan tambahkan 50 ml pelarut dari bagian
atas tabung soxchlet untuk pembasahan simplisia dan nyalakan heating mentle sampai suhu
mencapai titik didih pelarut. Dilakukan pemanasan pada pelarut dengan acuan titik didihnya
agar pelarut bisa menguap, uapnya akan menguap melalui pipa F dan akan menabrak
dinding-dinding kondensor hingga akan terjadi proses kondensasi (pengembunan). Dengan
kata lain terjadi perubahan dari fase gas ke fase cair. Kemudian pelarut akan bercampur
dengan sampel dan mengekstrak (memisahkan/mengambil) senyawa yang kita inginkan dari
suatu sampel. Setelah itu, maka pelarutnya akan memenuhi sifon,dan ketika pada sifon penuh
kemudan akan disalurkan kembali kepada labu alas bulat. Proses ini dinamakan 1 siklus.
Semakin banyak jumlah siklus maka bisa diasumsikan bahwa senywa yang larut dalam
pelarut juga akan semakin maksimal (Kateren, 1986). Ekstraksi simplisia dilakukan sampai
tetesan pelarut hampir tidak berwarna. Kemudian ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan
rotavapor sehingga menjadi ekstrak kental.
Tujuan dari evaporasi adalah memekatkan larutan yang mengandung zat yang sulit
menguap dengan pelarut yang mudah menguap dengan cara menguapkan sebagian
pelarutnya. Pada dasarnya prinsip evaporasi adalah penurunan tekanan (sistem) yang
menyebabkan turunnya titik didih cairan (pelarut) sehingga dapat diuapkan pada suhu rendah
(di bawah 600C). Kondisi ini dibuat untuk mencegah senyawa tidak tahan panas yang
terdapat pada sample rusak. Karena itu alat selalu dilengkapi dengan pompa vakum untuk
menurunkan tekanan tersebut. Selama proses berjalan tempat sample (labu) berputar dengan
kecepatan yang diatur dan disesuaikan dengan jumlah sampel. Proses pemutaran ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengeringan (kerak) pada labu. (Kateren, 1986)
Jumlah siklus ekstraksi dapat mempengaruhi hasil ekstral yang diperoleh. Semakin
lama waktu ekstraksi maka menghasilkan berat ekstrak yang semakin meningkat. Hal ini
disebabkan suhu semakin meningkat tegangan dari permukaan pelarut dan gaya tarik menarik
antara zat terlarut dan pelarut dapat diperkecil, serta titik didih pelarut menunjukkan
kemampuan untuk berubah menjadi uap yang menghasilkan jumlah ekstral yang meningkat. 
Penghentian ekstraksi dari sokletasi dilakukan apabila pelarut yang digunakan tidak
berwarna lagi, sampel yang diletakkan di atas kaca arloji tidak menimbulkan bercak lagi, dan
hasil sokletsi di uji dengan pelarut tidak mengalami perubahan yang spesifik.
Setelah terbentuk ekstrak, maka dilakukan pemeriksaan parameter ekstrak yang mana
bertujuan untuk mengetahui kualitas ekstrak dilihat dari sifat fisik dan kandungan kimianya.
Yang pertama dilakukan adalah pemeriksaan organoleptis ekstrak yang mana dilakukan
dengan menggunakan panca indera dengan mendeskripsikan bentuk,warna,bau,dan rasa dari
ekstrak yang diperoleh. Untuk ekstrak yang dihasilkan pada perobaan ini yaitu berbentuk
ekstrak kental,warna kuning keorangean, rasa pahit getir, dan bau khas rimpang kunyit.
Untuk selanjutnya dilakukan perhitungan rendemen ekstrak. Rendemen ekstrak
diperoleh berdasarkan perbandingan berat ekstrak yang diperoleh (total) dengan berat
simplisia yang digunakan dikalikan dengan 100, sesuai yang dicantumkan pada persamaan:
berat ekstrak total
Rendemen ( % )= × 100
berat simplisia
Pada percobaan ini diperoleh bobot ekstrak yaitu 0,85 gram, bobot simplisia 50 gram. Jadi
untuk rendemennya diperoleh sebesar 1,7 % b/b. Dari hasil tersebut menunjukkan nilai
rendemen yang tidak sesuai dengan literatur standart nilai rendemen yaitu 7,8% (Nurhayati,
et.al.2009) Dan juga tidak sesuai dengan literatur standart nilai rendemen rimpang kunyit
yaitu 7,8%. (Rochim,Armando. 2016).
Dari hasil rendemen tersebut, menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai rendemen
yang dihasilkan menandakan nilai minyak atsiri yang dihasilkan banyak. Kualitas ekstrak
yang dihasilkan biasanya berbanding terbalik dengan jumlah rendemen yang dihasilkan.
Semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan maka semakin rendah mutunya.
(Rochim,Armando. 2016)
Besar kecilnya nilai rendemen merupakan parameter yang menentukan keberhasilan
suatu proses ekstraksi. Besarnya rendemen yang diperoleh pada proses ekstraksi juga
meggambarkan jumlah penarikan senyawa zat aktif pada zat. Efektivitas proses ekstraksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis pelarut, ukuran partikel, metode ekstraksi,
dan lama proses ekstraksi.(Salamah,dkk. 2017)
Setelah itu, dilakukan pengujian dengan metode kromatografi lapis tipis. Yang
pertama dilakukan yaitu disiapkan terlebih dahulu fase gerak yang menggunakan
kloroform:ethanol: asam asetat glasial dengan perbandingan 94 : 5 : 1. Kloroform termasuk
senyawa non polar, sedangkan etanol termasuk senyawa polar, dan asam asetat glasial
termasuk senyawa protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam asetat memiliki
konstanta dielektrik yang ssedang yaitu 6,2 sehingga bisa melarutkan baik senyawa polar
maupun senyawa non polar. Tujuan digunakannya fase gerak dengan perbandingan yang
berbeda-beda ialah untuk memisahkan senyawa sesuai dengan kepolarannya. Melihat dari
fase gerak dan fase diam yang digunakan ini, diharapkan senyawa akan terpisah dengan baik
berdasarkan kepolarannya dimana senyawa yang lebih non polar akan lebih terikat dengan
fase gerak dan senyawa yang lebih polar akan terikat pada fase diam. Semakin tinggi
polaritas eluen, maka nilai Rf nya juga semakin tinggi. (Sastrohmidjojo,H. 1985)
Setelah itu, dimasukkan kertas saring ke dalam chamber lalu ditunggu fase gerak
jenuh hingga fase gerak membasahi kertas saring. Tujuan dilakukan penjenuhan pada fase
gerak adalah untuk `memastikan partikel fase gerak terdistribusi merata pada seluruh bagian
chamber sehingga proses pergerakan spot di atas fase diam oleh fase gerak berlangsung
optimal, dengan kata lain penjenuhan yang dilakukan berfungsi untuk mengoptimalkan
naiknya eluent dan untuk menghindari hasil tailing pada plat KLT. Selain itu penjenuhan yang
dilakukan berfungsi untuk memudahkan saat elusi.
Sambil menunggu fase gerak jenuh, dilakukan penyiapan fase diam yang dilakukan
dengan memotong plat silika gel GF 254 berikan garis tepi tipis (atas 0,5 cm dan bawah 1,5
cm). Fungsi dari plat silika tersebut sebagai fase diam yang merupakan tempat berjalannya
adsorbens, sehingga proses migrasi analit oleh solvent nya dapat berjalan.
Selanjutnya dilakukan penotolan sampel menggunakan pipa kapiler pada plat silika
GF 254 dengan jarak totolan 1,5 cm. Kemudian dimasukkan plat yang sudah ditotoli sampel
ke dalam chamber (bejana kromaografi), lalu diamati hingga batas eluent berada pada jarak
bagian atas yang sudah ditentukan. Setelah itu dikeluarkan plat silika GF 254 dan dikeringkan
di udara. Hal ini dilakukan untuk menguapkan sisa pelarut yang masih tedapat pada plat,
untuk menjamin penguapan telah sempurna dan agar spot jelas terlihat.
Setelah itu dideteksi bercak di bawah sinar UV 254 dan ditandai bercak noda dengan
pensil. Kemudian dihitung nilai Rf nya. Rf yaitu jarak yang ditempuh senyawa dibagi dengan
jarak yang ditempuh fase gerak. Adapun untuk jarak yang ditempuh sampel adalah 4,1 cm,
sedangkan jarak yang ditempuh eluent adalah 8 cm. Sehingga hasil untuk perhitungan nilai
Rf yaitu 0,51 dengan HRf dapat dihitung Rf × 100 dan hasilnya adalah 51.
Pereaksi semprot yang digunakan adalah FeCl3 1% yang mana pereaksi tersebut
merupakan cara klasik deteksi senyawa fenol sederhana yang menimbulkan warna
hijau,merah,ungu,biru,atau hitam yang kuat. Tetapi kebanyakan fenol (terutama flavonoid)
dapat dideteksi pada kromatogram berdasarkan warnanya atau fluoresensinya di bawah
lampu UV warnanya diperkuat atau berubah bila diuapi amonia. Senyawa fenol merupakan
senyawa aromatik sehingga menunjukkan serapan kuat di derah spektrum UV. ( Harbone,
1987)
Dari hasil nilai Rf sebesar 51 menunjukkan bahwa hasil tersebut sesuai dengan
literatur. Rf yang bagus berkisar antara 0,2 – 0,8. Jika Rf terlalu tinggi yang harus dilakukan
adalah mengurangi kepolaran eluen dan sebaliknya. (Gandjar dan Rohman. 2007)
Fase diam yang digunakan adalah silika gel yang bersifat polar,sedangkan kurkumin
(senyawa golongan fenolik yang terdapat dalam rimpang kunyit), merupakan senyawa non
polar sehingga ikatan antara kurkumin dengan fase diamnya lemah. Jika eluen yang
digunakan lebih polar dari pada suatu komponen sampel, molekul-molekul eluen akan
menggantikan molekul molekul sampel pada silika gel sehingga harga Rf tinggi.(Underwood.
1988)
Dari hasil percobaan Rf yang dihasilkan adalah 0,51 , yang mana berdasarkan literatur
nilai Rf standart kurkumin adalah 0,73 (Ohshiro M, dkk. 1990). Hasil percobaan ini nilai Rf
yang dihasilkan tidak sesuai literatur. Kesalahan tersebut dapat disebabkan kurang
sempurnanya proses penjenuhan chamber, penandan noda saat dibawah UV,ataupun
kemungkinan pelarut yang kurang homogen,serta kurang hati-hati saat memasukkan pelarut
ke dalam chamber sehingga sebelum chamber ditutup pelarut ada yang menguap terlebih
dahulu.
Faktor yang dapat mempengaruhi gerak dan harga Rf adalah sifat dari penyerap dan
derajat aktivitas,struktur kimia dari senyawa dipisahkan,serapan dari satu pasang
penyerap,pelarut(derajat kemurnian) fase gerak.(Underwood, 1988)
Prinsip dari Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah pemisahan senyawa berdasarkan
kepolaran dan interaksinya dengan fase diam dan fase gerak.
Adapun keuntungan dari metode KLT yaitu peralatan yang diperlukan
sederhana,waktu analisis cepat, hasil pemisahan lebih baik,daya pemisahan tinggi,
pengerjaannya sederhana dan mudah serta harganya terjangkau.(Gritten,RJ.dkk. 1991)
Sedangkan kerugiannya dari KLT yaitu harga Rf yang tidak tetap, pemilihan fase
diam terbatas, dan koefisien distribusi atau serapan seringkali tergantung pada kadar total
sehingga pemisahannya kurang sempurna. (Gritten,RJ.dkk. 1991)
IX. KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat dibuat kesimpulan bahwa :


1. Organoleptis dari ekstrak yang dihasilkan :
- Bentuk : Ekstrak kental.
- Warna : Kuning keorangean
- Rasa : Pahit getir
- Bau : Bau khas rimpang kunyit
2. Rendemen ekstrak diperoleh nilai : 1,7 % b/b
3. Pada Pola Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada UV 254
diperoleh :
- Nilai Rf yang dihasilkan : 0,51
- Nilai HRf yang dihasilkan : 51
X. DAFTAR PUSTAKA
1. Agoes Goeswin. 2007. Teknologi Bahan Alam. Bandung : ITB.
2. Ansel .2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press.
3. Dalimartha, S. 2006 . Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Jakarta : Pustaka
Buana.
4. Ditjen POM . 1992 . Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik . Jakarta :
Depkes RI.
5. Ditjen POM . 1995 . Farmakope Indonesia Edisi IV . Jakarta : Depkes RI.
6. Gandjar dan Rohman . 2007 . Kimia Farmasi Analisis . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
7. Gritten,J.R.dkk . 1991 . Pengantar Kromatografi . Bandung : ITB.
8. Harbone, J.B. 1978. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalis
Tumbuhan. Bandung: ITB.
9. Hidayat. 2003 . Manfaat dan Kegunaan Kunyit Cetakan 1. Jakarta : Balai Pustaka.
10. Kateren, 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas
Indonesia Press.
11. Nurhayati, et.al.2009. Kajian Awal Potensi Ekstrak Spons sebagai Antioksidan. Jurnal
Kelautan Nasional. 2(2):43-51
12. Ohshiro M, dkk. 1990. Structures of Sesquiterpenes from Curcuma longa. Phytochem.
29(7):2201-2206
13. Oxtoby . 2001. Kimia Modern. Jakarta : Erlangga .
14. Rochim Armando . 2016 . Memproduksi 15 Minyak Atsiri Berkualitas. Jakarta : EGC.
15. Salamah ,dkk . 2017. Pengaruh Metode Penyarian Terhadap Kadar Alkaloid Total
Daun Jembirit Dengan Metode Spektrofotometri Visibel. Pharmaciana Vol 7
No.1. 113-122.
16. Sastrohamidjojo, H. 1985 . Kromatografi Edisi 1 Cetakan 1. Yogyakarta : Liberty.
17. Stahl, E. 1985 . Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Jakarta : PT
Kalman Media Pustaka.
18. Sudjadi . 1986. Metode Pemisahan . Yogyakarta : UGM Press.
19. Sutrian, Y. 2011. Anatomi Tumbuh-Tumbuhan. Jakarta : Rineka Cipta.
20. Underwood . 1988 . Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keempat . Jakarta : Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai