Anda di halaman 1dari 6

Kasus I

“Raju masih kecil kok sudah dipenjara”. Raut ketakutan terpancar di wajah mungilnya.
Suara bocah kelas III SD itu pun terbata, jiwanya terguncang hebat. Ruang sidang, petugas
berseragam, dan rumah tahanan mungkin akan menjadi mimpi buruk bagi Muhammad Azwar (8)
sepanjang hidupnya. Bocah yang akrab dipanggil Raju oleh teman-temannya itu harus memikul
beban yang tak semestinya ditanggung anak seusianya. Tak terbayangkan, perkara kecil,
perkelahian antar teman, berbuntut masuk ruang tahanan dan sidang di pengadilan berhari-hari.
Sidang dijalaninya di Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara. Rabu siang, 31 Agustus 2005, yang menjadi awal semua peristiwa ini, mungkin
tak diingat Raju. Ia hanya tahu, hari itu sepulang sekolah ia diejek Armansyah, kakak kelasnya
yang berumur 14 tahun. Perkara saling ejek anak SD yang lumrah terjadi ini berbuntut
perkelahian. Raju tak terima dengan ejekan Armansyah, mereka berkelahi. Keduanya sama-sama
terluka, masih terlihat bekas cakaran di wajah dan robekan di bibir Raju. Demikian pula
Armansyah, dari visum dokter, iga dan pinggul kirinya mengalami memar.

Seharusnya perkara ini selesai saat kedua orang tua anak-anak ini bertemu. Sugiyanto, ayah Raju
sepakat membiayai pengobatan Armansyah. Namun, entah mengapa, orang tua Armansyah
mengadukan Raju ke polisi. Anak bungsu pasangan Sugiyanto dan Saedah itu disangka
melakukan penganiayaan. Maka, mulailah mimpi buruk dalam kehidupan Raju. Pada September
2005, tiga kali Sugiyanto harus membawa Raju ke Kantor Polisi Sektor Gebang, Kabupaten
Langkat untuk diselidik. Dalam pemeriksaan, Raju sama sekali tidak didampingi penasihat
hukum ataupun petugas dari Balai Permasyarakatan Anak (Bapas). Petugas Bapas terkait
sesungguhnya bisa memberikan rekomendasi apakah Raju layak ditahan atau tidak. Saat dalam
proses penyidikan, Raju memang belum ditahan. Berkas perkara Raju dilimpahkan ke Kejaksaan
Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan. Perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Stabat
Cabang Pangkalan Brandan pada 12 Desember 2005. Ruang sidang menjadi mimpi buruk kedua
Raju setelah kantor polisi. Hakim tunggal yang mengadili perkara Raju, Tiurmaida H Pardede,
dirasakan telah menyidangkan perkara ini demikian ”tegas”. Raju merasa diperlakukan sebagai
pesakitan yang pantas duduk di kursi terdakwa. Suara tegas ibu hakim menjadi seperti bentakan
yang menakutkannya. Raju akhirnya menangis di persidangan. ”Raju takut karena bu hakimnya
bentakbentak Raju,” ujar bocah yang lahir pada 9 Desember 1997 itu. Yang membuat
orangtuanya prihatin, perkataan sang hakim pada sidang pertama seperti sudah menyudutkan
Raju. Menurut Saedah, pada sidang pertama hakim langsung memvonis anaknya. ”Hakim bilang,
dari raut mukanya saja dia tahu bahwa anak saya memang anak nakal,” ujar Saedah. Di
persidangan kedua, 19 Januari 2006, Raju benar-benar menjadi pesakitan. Oleh sang hakim,
bocah yang hobi bermain sepak bola sepulang sekolah ini diharuskan menjalani penahanan di
Rumah Tahanan (Rutan) Pangkalan Brandan, terhitung sejak hari itu hingga 2 Februari. Raju
dianggap memberikan keterangan berbelit sehingga perlu ditahan. ”Raju takut kerangkeng
(penjara). Banyak orang jahat di sana,” ujar anak itu dengan mata berkaca-kaca. Tak tega melihat
penderitaan anaknya, Sugianto pun tiap malam harus rela mendampingi anaknya di rutan. ”Raju
diperbolehkan menginap di ruangan kantor, tidak di sel,” ujarnya. Ketakutan yang teramat sangat
dan rasa rindu dengan suasana rumah, teman-teman, dan sekolah membuat Raju stres. Hampir
setiap saat Raju menangis minta pulang agar bisa sekolah. Selama 14 hari Raju benar-benar
dikurung. Namun, Tiurmaida bersikukuh perkara Raju harus terus disidangkan karena pada saat
berkas masuk ke pengadilan usia Raju telah mencapai delapan tahun satu bulan.

Persidangan demi persidangan semakin merusak mental Raju. Apalagi hakim seperti tak
melihat sosok lugu Raju. Saedah menuturkan, pada hari persidangan, Raju harus menunggu
panggilan sidang di ruang tahanan yang memang biasa tersedia di pengadilan. Di ruangan itu
berkumpul banyak terdakwa lain yang menunggu untuk disidangkan. Tak ada satu pun anak-
anak. Saat itu waktu menunjukkan pukul 14.00 dan Raju tampak letih karena belum makan sejak
pagi. Saedah yang membawa bekal makanan dari rumah meminta izin kepada Ketua Pengadilan
Negeri Stabat Syamsul Basri agar anaknya bisa keluar sebentar untuk disuapi makanan.
Permintaan itu ternyata ditolak Syamsul dengan alasan izin mengeluarkan tahanan harus dari
hakim yang menyidangkan perkara.
Kasus II

Terdakwa kasus penganiyaaan di Tebet, Jaksel, MS (16) dinyatakan bebas bersyarat oleh
Majelis Hakim di PN Jaksel. MS dinilai masih di bawah umur sehingga tidak tepat diberikan
hukuman dan disidangkan di Pengadilan umum. Kuasa hukum MS, Bunga Siagian
mengatakatan, sidang vonis yang dilangsungkan di PN Jaksel, Senin, 25 April 2016 kemarin sore
ini, telah membebaskan kliennya itu tindakan tepat. Pasalnya, jika dinyatakan bersalah, peradilan
MS itu bisa disebut peradilan sesat.

Apalagi, kepolisian dan kejaksaan juga disebut tak memperhatikan asas sistem peradilan
anak. "Seharusnya, anak yang tersangkut kasus hukum, diupayakan melalui jalur diversi (di luar
sistem peradilan pidana). Selain itu, persidangan juga harus tertutup, bukan malah terbuka
begitu,'' ujarnya di PN Jakarta Selatan. Menurutnya, pihaknya telah menyampaikan pada hakim
agar MS tidak ditahan dan diperlakukan sebagaimana anak pada umumnya. Sebab, apa yang
menimpa MS disebut sebagai korban peradilan. ''Kami minta evaluasi dari kepolisian dan
Kejaksaan soal perlakuan mereka kepada MS. Karena dia sudah ditahan selama berbulan-bulan
yang tentu saja memberikan dampak pada hidupnya," tuturnya. Sementara itu, terdakwa MS
mengaku bahagia. Remaja yang masih duduk di bangku SMA itu menuturkan, kehidupannya
sangat hancur dan terpuruk selama di dalam tahanan. Dia kerap diintimidasi dan mengalami
tekanan fisik dan mentalnya selama berada di dalam tahanan. ''Saya berterimakasih kepada Pak
Hakim (Puji Tri Rahadi). Saya sudah tak ditahan di LP Cipinang lagi. Saya sering disuruh-suruh
sama senior. Enggak boleh makan dan tidur. Mungkin emang sudah begitu," paparnya.

Sekadar diketahui, MS merupakan seorang anak yang dituduh melakukan penganiayaan


karena menyiramkan air keras kepada HB (38) tepat pada saat malam pergantian tahun 2016
lalu. Dalam surat dakwaannya, JPU menyampaikan kalau kejadian berawal dari adanya kegiatan
acara perayaan awal tahun baru dengan melakukan bakar ikan yang dilakukan MS bersama
kawan-kawan sebayanya di sebuah gubuk di Kampung Flamboyan 7. Tiba-tiba, MS mendengar
adanya penyerangan. Dia juga melihat ada segerombolan orang menghampiri tempatnya duduk.
Massa yang menyerang kelompoknya membawa senjata tajam. Dia bahkan hendak dibacok
segerombolan tersebut, dia lantas menyiramkan air keras ke arah ke kawanan tersebut untuk
menyelamatkan diri. Saat itu, HB juga ternyata telah menghabisi nyawa temannya, yakni AR
(20) hingga tewas. Keluarga MS sudah berupaya menyampaikan kebenaran, MS masih berumur
16 tahun. Namun, karena MS belum memiliki akta kelahiran, keterangan keluarga pun tidak
digubris oleh pihak Kepolisian.

Analisis Kasus Peran Pekerja Sosial Sebagai Advokat

Permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum di atas membutuhkan peranan pekerja
sosial dalam mengadvokasi mereka. Pekerja sosial sebagai seorang advokat harus menempatkan
dirinya sebagai sahabat anak dan menempatkan anak sebagai manusia yang pantas untuk
dihormati serta memiliki hak-hak, bukan hanya perlindungan hukum tetapi juga perlindungan
sosial. Untuk memenuhi perlindungan tersebut Pekerja Sosial melalui kerjasama dengan
pengacara menuntut aparat penegak hukum untuk menghindarkan penyiksaan terhadap anak.
Pekerja Sosial harus melakukan kunjungan rutin kepada anak ketika anak berada dalam tahanan
atau penjara dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
mengemukakan pendapatnya dan mengekspresikan dirinya secara bebas (pasal 12, 13 KHA).
Mendengarkan pendapat anak tentang mengapa ia melakukan perbuatan yang dianggap
melanggar hukum. Pekerja Sosial harus menciptakan suasana diskusi yang tidak menjadikan
anak semakin terpojok, tetapi sebaiknya menciptakan suasana diskusi yang mana anak merasa,
bahwa dirinya siap membuka lembaran baru dalam kehidupannya di masa mendatang.

Tidak jarang terjadi kekerasan seksual terhadap anak di penjara. Sodomi adalah kejadian
kekerasan seksual yang tidak mustahil terjadi baik didalam tahanan polisi maupun di penjara.
Hal itu menunjukan bahwa situasi kehidupan anak didalam penjara ataupun tahanan jauh lebih
buruk dibandingkan dengan situasi sosial sebelumnya. Dengan demikian memperkuat anggapan
bahwa, kehidupan dalam tahanan dan penjara tidak menjamin anak menjadi lebih baik. Fakta
lain dalam hubungan sosial dalam tahanan dan penjara adalah pemerasan antar tahanan atau
pemerasan yang dilakukan oleh petugas terhadap tahanan anak. Sebagai contoh, dapat
dikemukakan berdasarkan fakta bahwa keluarga atau pekerja sosial yang mengunjungi anak
didalam tahanan atau penjara menyebabkan anak merasa tidak tentram dan tidak tenang jiwanya,
merasa takut jika setelah kunjungan itu anak tidak memiliki uang untuk setoran kepada ”RT
SEL” atau korves. Situasi itu mempersulit anak yang ditahan dan dipenjara dan pekerja sosial
yang melakukan pendampingan tersebut. Pada satu sisi anak membutuhkan sahabat yang dapat
mengerti dan memahami situasi yang sedang dihadapinya, anak membutuhkan kawan atau pihak
lain atau orang dewasa yang dapat mengurangi beban batinnya.

Sebagai advokat, Pekerja sosial dalam menangani anak yang berkonfllik dengan hukum,
perlu melakukan kolaborasi dengan profesi seperti pengacara. Pengacara adalah bagian dari
pihak yang memberikan perlindungan hukum kepada anak yang berkonflik dengan hukum.
Advokasi kepada aparat penegak hukum harus dilakukan oleh pekerja sosial, terutama
menekankan kepada perlunya pemenuhan perlindungan sosial terhadap anak yang sedang
ditahan atau dipenjara. Advokasi dilakukan kepada aparat penegak hukum disemua tingkatan,
baik ketika masih pada tingkat penyidikan di kantor polisi maupun tingkat penuntutan. Fokus
lain dari advokasi yaitu pekerja sosial mempengaruhi polisi pada tingkat penyidikan agar aparat
kepolisian melakukan diskresi (kewenangan yang dimiliki oleh pihak polisi untuk menghentikan
kasus) terutama untuk kasus-kasus dalam kategori “petty crime” (kejahatan sepele, remeh, kecil).
Dalam melakukan advokasi terhadap anak, Pekerja Sosial harus mendengarkan suara
anak dan tidak boleh mendominasi sehingga anak akan secara obyektif mengemukakan
permasalahan yang sebenarnya terjadi tanpa adanya paksaan. Selain dua contoh kasus masalah
ABH di atas, ada beberapa masalah sosial lainnya yang juga membutuhkan bantuan advokasi
Pekerja Sosial, seperti masalah korban pelecehan seksual, masalah bullying, masalah masyarakat
miskin yang tidak mendapatkan hak-nya, masalah korban kekerasan, masalah lansia terlantar,
masalah korban NAPZA, dan masalah-masalah sosial lainnya.

Peranan pekerja sosial sebagai seorang advokat adalah sebagai berikut :

1. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau


beberapa orang pendamping.
2. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan dengan membimbing korban untuk secara obyektif (lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya).

3. Mendengarkan secara empati segala penuntutan korban sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping
4. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

Anda mungkin juga menyukai