Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

OBJEK III

“EKSKRESI OBAT MELALUI URINE DAN SALIVA”

Disusun Oleh :

Kelompok :D

Shift : 4 / Empat

Hari, Tanggal : Rabu, 18 November 2020

Anggota : 1. Lira Prima Putri (1811012002)

2. Silvy Wahyudy (1811013003)

3. Khairatul Husnia (1811013020)

4. Zarima Qhothiah (1811013033)

5. Aqsha Mutia Qalbi (1811013037)

6. M. Dzaki Ali Amran (1811013041)

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2020
OBJEK III
“EKSKRESI OBAT MELALUI URINE DAN SALIVA”

I. TUJUAN
1. Agar mahasiswa memahami ekskresi obat melalui urine dan saliva.
2. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi ekskresi obat.
3. Mengetahui tahapan menganalisa data ekskresi KI dalam urine dan saliva.
4. Memahami reaksi iodium dengan amilum sebagai pereaksi uji dalam
menganalisa ekskresi obat melalui urine dan saliva.
5. Melakukan perbandingan hasil ekskresi urine dengan saliva yang
dibandingkan dengan literatur

II. PENDAHULUAN / TEORI


Ginjal merupakan suatu organ yang sangat penting untuk mengeluarkan hasil
metabolisme tubuh yang sudah tidak digunakan dan obat-obatan. Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) digunakan secara luas sebagai indeks fungsi ginjal yang dapat
diukur secara tidak langsung dengan perhitungan klirens ginjal. Klirens adalah
volume plasma yang mengandung semua zat yang larut melalui glomerulus serta
dibersihkan dari plasma dan diekskresikan ke dalam urin, karena itu nilai klirens
mewakili fungsi glomerulus.[1]
Pada sistem ekskresi manusia, ginjal berperan sangat penting untuk
membersihkan darah, menjaga jumlah dari mineral yang ada di dalamnya, serta
menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan
air dalam bentuk urin.[2]
Ekskresi obat adalah eliminasi terakhir obat atau metabolit dari sirkulasi
sistemik melalui ginjal bersama urine, melalui empedu dan air liur ke dalam usus
bersama tinja, melalui keringat, melalui kulit dan air susu ibu. Obat-obat yang
kurang larut dalam air, sulit untuk diekskresikan melalui jalur diatas, obat-obat
tersebut dimetabolisme lebih dahulu sehingga berubah menjadi bentuk polar dan
selanjutnya diekskresi. Ginjal adalah organ yang paling penting untuk ekskresi obat
dan metabolitnya. Mekanisme ekskresi ginjal ada tiga yaitu filtrasi glomerulus,
sekresi aktif tubuler, dan reabsorpsi tubuler.[3]
Ginjal merupakan dua organ utama eliminasi obat dalam tubuh, walau
eliminasi obat juga dapat terjadi di seluruh bagian tubuh. Ginjal merupakan obat
ekskresi utama untuk pembersihan sisa produk metabolik dan memegang peran
utama dalam mempertahankan kesetimbangan garam dan air, ginjal
mengekskresikan kelebihan elektrolit, cairan dan produk-produk sisa sambil
mempertahankan solute yang diperlukan untuk fungsi tubuh. Disamping itu, ginjal
mempunyai dua fungsi endokrin: (1) sekresi urin, yang mengatur tekanan darah,
dan (2) sekresi eritropetin, yang merangsang produksi sel darah merah.[8]
Ekskresi obat adalah eliminasi terakhir obat atau metabolit dari sirkulasi
sistemik melalui ginjal bersama urine, melalui empedu dan air liur ke dalam usus
bersama tinja, melalui keringat, melalui kulit dan air susu ibu. Obat-obat yang
kurang larut dalam air, sulit untuk diekskresikan melalui jalur diatas, obat-obat
tersebut dimetabolisme lebih dahulu sehingga berubah menjadi bentuk polar dan
selanjutnya diekskresi. Ginjal adalah organ yang paling penting untuk ekskresi obat
dan metabolitnya. Mekanisme ekskresi ginjal ada tiga yaitu filtrasi glomerulus,
sekresi aktif tubuler, dan reabsorpsi tubuler.[8]
Ekskresi obat kedalam saliva terutama ditentukan oleh sifat pH partisinya.
Kelenjer saliva merupakan membran lipoid, dan obat yang larut dalam lemak akan
berdifusi ke dalam kelenjar. pH saliva berkisar antara 5,5 dan 8,4, dengan demikian
atas dasar teori pH partisi, konsentrasi obat kedalam saliva mungkin lebih tinggi
atau lebih rendah dari kadar dalam plasma yang pH nya 7,4 . Kadang-kadang
penderita mendapat efek samping karena terjadinya ekskresi obat kedalam saliva
ini. Contoh: antibiotika dapat menyebabkan efek samping yang disebut black hairy
tongue, phenitoin dapat menyebabkan hiperplasi gingiva. Adanya obat yang
diekskresikan melalui saliva dapat dimanfaatkan untuk memantau kadar obat dalam
plasma, dengan catatan, kalau ratio kadar obat dalam plasma dan saliva tetap
konstan kadang-kadang penderita mendapat efek samping karena terjadinya
ekskresi obat kedalam saliva ini. Contoh: antibiotika dapat menyebabkan efek
samping yang disebut black hairy tongue, phenitoin dapat menyebabkan hiperplasi
gingiva. Adanya obat yang diekskresikan melalui saliva dapat dimanfaatkan untuk
memantau kadar obat dalam plasma, dengan catatan, kalau ratio kadar obat dalam
plasma dan saliva tetap konstan.[4]
Untuk obat yang terikat dalam plasma protein, konsentrasi total obat dalam
plasma umumnya tetap lebih tinggi dari konsentrasi dalam saliva. Beberapa obat
yang dinyatakan diekskresikan melalui saliva ialah preparat sulfa, phenobarbital,
clonidine, antipyrine, rifampicin, pherrytoin, theophyllin, preparat salisilat,
primidone, quinidine, acetaminophen, tolbutamide, procainamide, digoxin, kalii
jodidum, dan tetrasiklin.[4]
Klirens obat adalah istilah farmakokinetika untuk menggambarkan eliminasi
obat dari tubuh tanpa mengidentifikasi mekanisme prosesnya. Kliren obat (klirens
tubuh, klirens tubuh total atau Clt) menganggap seluruh tubuh sebagai sistem
pengeliminasi obat tunggal dimana beberapa proses eliminasi yang tidak di
identifikasi terjadi. Sebagai pengganti gambar laju eliminasi obat dalam jumlah
obat yang dibersihkan persatuan waktu (misal mg/menit) klirens obat digambarkan
dalam istilah volume cairan yang dibersihkan dari obat persatuan waktu (misal
mL/menit).[8]
Ginjal mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air dalam
darah.Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui
pertukaran ion hidronium dan hidroksil. Akibatnya, urine yang dihasilkan dapat
bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada pH 8. Kadar ion natrium dikendalikan
melalui sebuah proses homeostasis yang melibatkan aldosteron untuk
meningkatkan penyerapan ion natrium pada tubulus konvulasi. Kenaikan atau
penurunan tekanan osmotik darah karena kelebihan atau kekurangan air akan segera
dideteksi oleh hipotalamus yang akan memberi sinyal pada kelenjar pituitari dengan
umpan balik negatif. Kelenjar pituitari mensekresi hormon antidiuretik (vasopresin,
untuk menekan sekresi air) sehingga terjadi perubahan tingkat absorpsi air pada
tubulus ginjal. Akibatnya konsentrasi cairan jaringan akan kembali menjadi
98%.[5]
Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh
ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi.
Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang
disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Namun, ada juga
beberapa spesies yang menggunakan urin sebagai sarana komunikasi olfaktori. Urin
disaring di dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya
dibuang keluar tubuh melalui uretra Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut
berupa sisa metabolisme (seperti urea), garam terlarut, dan materi organik. Cairan
dan materi pembentuk urin berasal dari darah atau cairan interstisial. Komposisi
urin berubah sepanjang proses reabsorpsi ketika molekul yang penting bagi tubuh,
misal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui molekul pembawa. Cairan
yang tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai senyawa yang
berlebih atau berpotensi racun yang akan dibuang keluar tubuh. Materi yang
terkandung di dalam urin dapat diketahui melalui urinalisis. Urea yang dikandung
oleh urin dapat menjadi sumber nitrogen yang baik untuk tumbuhan dan dapat
digunakan untuk mempercepat pembentukan kompos. Diabetes adalah suatu
penyakit yang dapat dideteksi melalui urin. Urin seorang penderita diabetes akan
mengandung gula yang tidak akan ditemukan dalam urin orang yang sehat.[5]
Ginjal merupakan organ yang sangat penting bagi regulasi tekanan darah,
fungsi endokrin, transport zat terlarut, air, keseimbangan asam basa dan
pembuangan metabolit sisa. Gangguan pada ginjal menyebabkan gangguan
fisiologik yang kompleks berkaitan dengan regulasi tersebut. Penyakit Ginjal
Kronik (PGK) merupakan salah satu penyakit yang dapat merusak fungsi dari
ginjal. Gangguan ginjal yang terjadi berupa kelainan struktur dan penurunan faal
ginjal selama > tiga bulan dengan manifestasi kelainan patologis komposisi
darah,urine atau kelainan dalam tes pencitraan. Nilai penurunan faal ginjal adalah
jika Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2. Penyakit
ginjal kronik biasanya berakhir dengan gagal ginjal dengan terjadinya kerusakan
struktur dan fungsi yang ireversibel.[6]
Fungsi ginjal secara keseluruhan didasarkan oleh fungsi nefron dan gangguan
fungsinya disebabkan oleh menurunnya kerja nefron. Beberapa pemeriksaan
laboratorium telah dikembangkan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan identifi
kasi gangguannya sejak awal. Hal ini dapat membantu klinisi untuk melakukan
pencegahan dan penatalak- sanaan lebih awal agar mencegah progre- sivitas
gangguan ginjal menjadi gagal ginjal. Terdapat kurang lebih satu juta nefron yang
merupakan unit fungsional ginjal dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari
glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus
distalis dan tubulus kolektivus. Glomerulus merupakan unit kapiler yang disusun
dari tubulus membentuk kapsula Bowman. Setiap glomerulus mempunyai
pembuluh darah arteriola afferen yang membawa darah masuk glomerulus dan
pembuluh darah arteriola efferen yang membawa darah keluar glomerulus.
Pembuluh darah arteriola efferen bercabang menjadi kapiler peritubulus yang
memperdarahi tubulus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh
kapiler, yaitu arteriola yang membawa darah dari dan menuju glomerulus, serta
kapiler peritubulus yang memperdarahi jaringan ginjal.[7]
Proses pembentukan urin, yaitu :
Filtrasi (Penyaringan) : Kapsula bowman dari badan malphigi menyaring darah
dalam glomerulus yang mengandung air, garam, dula, urea, dan zat bermolekul
besar (protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (urin primer).
Di dalam filtrat ini terlarut zat sepertu glukosa, asam amino, dan garam-garam.[9]
Reabsorbsi (Penyerapan Kembali) : Dalam tubulus kontortus proksimal zat
dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan filtrat
tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.[9]
Sekresi (Pengeluaran) : Dalam tubulus kontortus distal, pembuluh dara
menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion NA+
dan Cl- dan sekresi H+ dan K+. Selanjutnya akan disalurkan ke tubulus kolektifus
ke pelvis renalis.[9]
Untuk obat-obat yang mengalami eliminasi dengan cara ekskresi melalui
ginjal, dengan mengukur nilai klirens ginjal kita mendapatkan gambaran
kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat tersebut. Klirens ginjal suatu obat
didefinisikan sebagai volume darah yang dapat dibersihkan dari obat tersebut oleh
ginjal per satuan waktu, sehingga sebenarnya nilai klirens ginjal ini merupakan
suatu ukuran yang menggambarkan kemampuan ginjal untuk membersihkan obat
dari tubuh. Klirens ginjal merupakan hasil dari proses-proses filtrasi glomeruler dan
sekresi maupun reabsorpsi di sepanjang tubuli renis.[10]
Klirens ginjal dapat diukur dengan menggunakan data urin. Banyak manfaat
yang dapat diambil dari pengukuran kadar obat dalam urin. Manfaat yang sangat
besar dalam hubungannya dengan terapi obat untuk mengetahui kemampuan tubuh
mengeliminasi obat yang diberikan, bila obat tersebut dieliminasi terutama dengan
ekskresi ginjal.[10]
Dalam menentukan dosis obat suatu individu, seringkali perlu diberikan
perhatian khusus sehubungan dengan kemampuan tubuh individu untuk
mengeliminasi obat yang diberikan. Hal ini dapat ditemukan pada individu dengan
usia lanjut, bayi, kelainan fungsi alat-alat eliminasi, atau karena terjadi interaksi
dengan obat lain sehingga eliminasinya terhambat. Untuk mengetahui kemampuan
tubuh mengeliminasi obat tertentu, pengukuran parameter-parameter kinetika
eliminasi dapat digunakan. Pengukuran parameterparameter ini meliputi kecepatan
eliminasi (ke), waktu paruh biologis (t1/2) dan klirens tubuh total (Cl) yang
memerlukan pengambilan sampel darah secara serial selama waktu tertentu.[10]
III. PROSEDUR KERJA
3.1. ALAT DAN BAHAN
Alat
 Tabung reaksi, pipet tetes, plat tetes
 Indikator universal/pH
 Masker

Bahan
 Larutan natrium nitrit 10%
 Larutan KI 10%
 Larutan H2SO4 encer
 Mucilago amili 1%
 Tablet KI

3.2. CARA KERJA


a. Masing-masing kelompok memilih 2 orang sukwan (laki-laki) yang
ditetapkan sehari sebelum percobaan
b. Pada hari praktikum, 2 jam sebelum praktikum sukwan meminum 2
gelas air
c. Sebelum obat diminum, kandung kencing dikosongkan dan urine
ditampung untuk kontrol sebagai berikut: 1 mL urine kontrol/saliva
kontrol ditambab 2 atau 3 tetes NaNO2 10% dan 2-3 tetes H2S04
encer dan 1 mL mucilago amili. Amati warna yang timbul
d. Tiap sukwan hanya meminum 1 macam obat dengan bantuan 250
mL air. Contoh urine diambil setiap 30 menit selama 3 jam dan
contoh saliva diambil setiap 15 menit selama 90 menit. Lakukan uji
kualitatif setiap contoh dengan cara yang sama seperti pada poin C.
Amati warna yang timbul.
e. Hasil uji kualitatif dinyatakan dengan - (negatif) dan tanda +
(positif)
f. Berdasarkan hasil di atas, buat tabel waktu pegambilan sampel dan
hasil uji kualitatif
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL
Urin
A. Kontrol
 1 mL urine kontrol ditambah 2 atau 3 tetes NaNO2 10% dan 2-3 tetes
H2SO4 encer dan 1 mL mucilago amili.
B. Sampel Uji
Waktu (menit) Hasil pengamatan (+/-)
30 -
60 +
90 +
120 +
150 +
180 +

Saliva
A. Kontrol
 1 mL saliva kontrol ditambah 2 atau 3 tetes NaNO2 10% dan 2-3 tetes
H2SO4 encer dan 1 mL mucilago amili.
B. Sampel Uji
Waktu (menit) Hasil pengamatan (+/-)
15 -
30 -
45 -
60 -
75 -
90 -

Rute KI dalam Tubuh


Obat yang mengandung Kalium Iodida akan diserap di saluran cerna
secara difusi pasif kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan pada
akhirnya diekskresikan melalui ginjal yang melalui proses lebih kompleks
seperti filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan
reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus, sehingga akan diekskresikan bersama
dengan urin.
Menurut studi literatur, Kalium Iodida dapat diekskresikan melalui
kelenjar susu, saliva, feses, keringat, dan urin.

Profil Farmakokinetika Kalium Iodida


Absorbsi
Ketersediaan hayati
Iodin yang berasal dari makanan terserap dengan baik (> 90%) dalam
kondisi normal

Onset
Efek pada fungsi tiroid biasanya diamati dalam 24 jam dan maksimal setelah
10-15 hari terapi terus menerus

Durasi
Jika diberikan selama keadaan darurat radiasi, efek perlindungan
berlangsung selama 24 jam

Distribusi
Kalium Iodida di distribusikan di tiroid. Lebih dari 75% blokade
penggabungan yodium I-125 di tiroid dicapai untuk dosis tunggal KI di atas
0,5 sampai 0,7 mg / kg. Kandungan yodium yang stabil di tiroid 24 jam
setelah pemberian KI menunjukkan respons bifasik, dengan tingkat
maksimum untuk dosis sekitar 1 mg / kg.

Metabolisme
Iodin merupakan komponen esensial dari hormon tiroid yaitu T3 dan T4,
obat oral yang digunakan merupakan bentuk aktif dalam hormon tiroid yaitu
tiroksin (T4). T4 bentuk aktif akan dibawa ke jaringan perifer, dan
mengalami degradasi. Iodin ini akan di reuptake oleh tiroid atau
diekskresikan oleh ginjal.
Ekskresi
Menurut studi literatur, Kalium Iodida dapat diekskresikan melalui
kelenjar susu, saliva, feses, keringat, dan urin.
Menurut studi literatur pada jurnal “Optimal KI Prophylactic Dose
Determination for Thyroid Radiation Protection After a Single
Administration in Adult Rats”, Total kandungan Iodium stabil di tiroid
(dinyatakan dalam mikrogram iodium per tiroid atau per gram organ) hewan
uji yang hanya diobati dengan peningkatan dosis KI dari 0,03 menjadi 8 mg
/ kg tampaknya menunjukkan respons bifasik sebagai fungsi dosis KI.
Memang, dalam kondisi percobaan kami, kandungan yodium dalam sampel
tiroid 24 jam setelah pemberian secara bertahap meningkat untuk
peningkatan dosis KI kecil untuk mencapai maksimum pada dosis sekitar 1
mg / kg dengan tingkat yodium (1163 + 184 mg / g) secara statistik berbeda
dengan kandungan tiroid pada tikus kontrol (830 + 260 mg / g; P <.05).
Kemudian untuk dosis KI yang lebih tinggi, kadar iodium total di
tiroid menurun ke nilai yang lebih rendah secara signifikan setelah 8 mg / kg
(746 + 149 mg / g) dibandingkan setelah 1 mg / kg (P <.05). Di sisi lain,
analisis jumlah kumulatif total yodium stabil yang diekskresikan dalam urin
24 jam setelah pengobatan hewan menunjukkan peningkatan ekskresi urin
iodium sebagai fungsi dari dosis KI yang diberikan.

Waktu Paruh
Menurut Jurnal “Radioactive Iodide (131I-) Excretion Profiles in Response to
Potassium Iodide (KI) and Ammonium Perchlorate (NH4ClO4)
Prophylaxis”, T1/2 dari Kalium Iodida adalah 6 jam.

Reaksi Iodium dengan Amilum


H2SO4 + 2NaNO2 → 2HNO2 + NaSO4
2HNO2 + KI → 2KNO2 + 2H+ +I2
I2 + amilum → biru kehitaman

Fungsi Reagen:
NaNO2 : Sebagai oksidator yang dapat merusak ikatan K+ dan I- sehingga
iodin terurai dari KI
H2SO4 encer : Sebagai pengion dan mengasamkan lingkungannya supaya
dicapai kerja NaNO2 yang optimum
KI 10% : Berfungsi sebagai kontrol
Mucilago amili : Indikator warna yang berikatan dengan iodin

1 ml KI 1 % + 1 ml amilum 1% = warna yang transparan atau tidak ada


perubahan warna (kontrol negatif)
1 ml KI 1%+ 2 tetes NaNO2 10% + 2 tetes H2SO4 cair + 1 tetes amilum 1%
= warna biru kecoklatan (kontrol positif)
1 ml urin + 2 tetes NaNO2 10% + 2 tetes H2SO4 cair + 1 tetes amilum 1%,
untuk semua sampel urin

Penjelasan:
Larutan yang mengandung KI dan iod mulanya berwarna coklat, bila
ditambahkan dengan amilum akan membentuk komplek berwarna biru tua.
Warna tersebut disebabkan oleh perpindahan muatan ion komplcks (charge
transfer complexes).
Didalam kompleks itu, cahaya dengan mudah mengeksatasi elektron ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Tiap kompleks menyerap cahaya dengan
panjang gelombang tertentu. Kompleks transfer yang terbentuk pada reaksi
ini diawali dengan lodine dan iodidad membentuk ion poliiodida.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekskresi Obat


A. Faktor yang Memengaruhi Waktu Ekskresi Obat
1. Sifat fisikokimia
 Berat Molekul (BM)
 pKa
 Kelarutan
 Tekanan uap
2. pH urin
3. Kondisi patologi
4. Aliran darah
5. Usia

 Filtrasi glomerulus, faktor yang memengaruhi :


- Laju Filtrasi
- Ukuran partikel → ikatan protein plasma
- Kelarutan
 Reabsorbsi tubulus, faktor yang memengaruhi :
- pH urin
- pKa
- Kelarutan obat, obat basa lemah mudah diekskresikan pada pH urin
yang lebih asam. Obat asam lemah lebih mudah diekskresikan pada
pH urin yang basa. Jika ingin cepat dieksresikan, pH urin harus lebih
besar daripada pKa.
 Sekresi tubulus, melibatkan transport aktif, ekskresi tergantung dari
mekanisme masing-masing bahan.

B. Analisa data pengamatan ekskresi KI yang terdapat dalam urin


dibandingkan dengan ekskresi obat dalam saliva.

1. Ekskresi KI dalam urin pada pengamatan pada 30 menit pertama dan


ekskresi KI dalam saliva pada 15 menit pertama belum terlihat adanya
perubahan yang ditunjukkan dengan nilai negatif yang diperkirakan
karena:
 Kemungkinan belum terjadi ekskresi pada cairan seperti urin dan
saliva.
 Jumlah iodium terlalu kecil yang diekskresikan, sehingga tidak
terbaca dan tidak terlalu terlihat pada pengamatan
 Tingkat kelarutan yang sangat kecil pada kompleks iodium amilum
dan faktor farmakokinetik yang lambat
 Sifat iodine yang mudah menguap sehingga membutuhkan kecepatan
mata untuk mengamati adanya perubahan warna.
2. Pada urin, ekskresi KI lebih cepat terjadi yaitu pada menit ke-60 sudah
menunjukkan hasil positif yaitu adanya perubahan warna menjadi biru
karena kompleks antara iodium dengan amilum. Lain halnya pada
saliva, sampai menit terakhir pengamatan belum juga menunjukkan
adanya perubahan warna yang dapat dikatakan ekskresi pada saliva
sangat lambat atau dapat dikatakan jumlah iodium yang diekskresika di
saliva sangat sedikit.
3. Pada percobaan ini, ekskresi KI dalam urin lebih cepat dibandingkan
dengan ekskresi KI dalam saliva.
4.2. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini membahas tentang ekskresi obat melalui urin dan
saliva. Sampel yang digunakan yaitu tablet KI. Obat yang mengandung Kalium
Iodida akan diserap di saluran cerna secara difusi pasif kemudian masuk ke dalam
pembuluh darah dan pada akhirnya diekskresikan melalui ginjal yang melalui
proses lebih kompleks seperti filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus
proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus, sehingga akan diekskresikan
bersama dengan urin. Menurut studi literatur, Kalium Iodida dapat diekskresikan
melalui kelenjar susu, saliva, feses, keringat, dan urin.
Absorpsi KI didalam tubuh yaitu Iodin yang berasal dari makanan terserap
dengan baik (> 90%) dalam kondisi normal. Efek pada fungsi tiroid biasanya
diamati dalam 24 jam dan maksimal setelah 10-15 hari terapi terus menerus. Jika
diberikan selama keadaan darurat radiasi, efek perlindungan berlangsung selama 24
jam.
Kalium Iodida di distribusikan di tiroid. Lebih dari 75% blokade
penggabungan yodium I-125 di tiroid dicapai untuk dosis tunggal KI di atas 0,5
sampai 0,7 mg / kg. Kandungan yodium yang stabil di tiroid 24 jam setelah
pemberian KI menunjukkan respons bifasik, dengan tingkat maksimum untuk dosis
sekitar 1 mg / kg.
Iodin merupakan komponen esensial dari hormon tiroid yaitu T3 dan T4,
obat oral yang digunakan merupakan bentuk aktif dalam hormon tiroid yaitu
tiroksin (T4). T4 bentuk aktif akan dibawa ke jaringan perifer, dan mengalami
degradasi. Iodin ini akan di reuptake oleh tiroid atau diekskresikan oleh ginjal.
Menurut studi literatur, Kalium Iodida dapat diekskresikan melalui kelenjar
susu, saliva, feses, keringat, dan urin. Menurut studi literatur pada jurnal “Optimal
KI Prophylactic Dose Determination for Thyroid Radiation Protection After a
Single Administration in Adult Rats”, Total kandungan Iodium stabil di tiroid
(dinyatakan dalam mikrogram iodium per tiroid atau per gram organ) hewan uji
yang hanya diobati dengan peningkatan dosis KI dari 0,03 menjadi 8 mg / kg
tampaknya menunjukkan respons bifasik sebagai fungsi dosis KI. Memang, dalam
kondisi percobaan kami, kandungan yodium dalam sampel tiroid 24 jam setelah
pemberian secara bertahap meningkat untuk peningkatan dosis KI kecil untuk
mencapai maksimum pada dosis sekitar 1 mg / kg dengan tingkat yodium (1163 +
184 mg / g) secara statistik berbeda dengan kandungan tiroid pada tikus kontrol
(830 + 260 mg / g; P <.05).
Kemudian untuk dosis KI yang lebih tinggi, kadar iodium total di tiroid
menurun ke nilai yang lebih rendah secara signifikan setelah 8 mg / kg (746 + 149
mg / g) dibandingkan setelah 1 mg / kg (P <.05). Di sisi lain, analisis jumlah
kumulatif total yodium stabil yang diekskresikan dalam urin 24 jam setelah
pengobatan hewan menunjukkan peningkatan ekskresi urin iodium sebagai fungsi
dari dosis KI yang diberikan.
Menurut Jurnal “Radioactive Iodide (131I-) Excretion Profiles in Response to
Potassium Iodide (KI) and Ammonium Perchlorate (NH4ClO4) Prophylaxis”, T1/2
dari Kalium Iodida adalah 6 jam.
Larutan yang mengandung KI dan iod mulanya berwarna coklat, bila
ditambahkan dengan amilum akan membentuk komplek berwarna biru tua. Warna
tersebut disebabkan oleh perpindahan muatan ion komplcks (charge transfer
complexes).
Di dalam kompleks itu, cahaya dengan mudah mengeksatasi elektron ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Tiap kompleks menyerap cahaya dengan panjang
gelombang tertentu. Kompleks transfer yang terbentuk pada reaksi ini diawali
dengan lodine dan iodidad membentuk ion poliiodida.
NaNO2 bersifat Sebagai oksidator yang dapat merusak ikatan K+ dan I-
sehingga iodin terurai dari KI. H2SO4 encer Sebagai pengion dan mengasamkan
lingkungannya supaya dicapai kerja NaNO2 yang optimum. KI 10% Berfungsi
sebagai control dan Mucilago amili merupakan Indikator warna yang berikatan
dengan iodin.
1 ml KI 1 % + 1 ml amilum 1% menghasilkan warna yang transparan atau
tidak ada perubahan warna (kontrol negatif). 1 ml KI 1%+ 2 tetes NaNO2 10% + 2
tetes H2SO4 cair + 1 tetes amilum 1% menghasilkan warna biru kecoklatan (kontrol
positif). 1 ml urin + 2 tetes NaNO2 10% + 2 tetes H2SO4 cair + 1 tetes amilum 1%,
untuk semua sampel urin.
Faktor yang mempengaruhi waktu ekskresi obat yaitu sifat fisikokimia, pH
urin, kondisi patologi, aliran darah, dan juga usia. Faktor yang mepengaruhi yaitu
laju Filtrasi, ukuran partikel → ikatan protein plasma, dan juga kelarutan. Faktor
yang mempengaruhi reabsorpsi tubulus adalah pH urin, pKa, dan juga kelarutan
obat.
Obat basa lemah mudah diekskresikan pada pH urin yang lebih asam,
sedangkan obat asam lemah lebih mudah diekskresikan pada pH urin yang basa.
Jika ingin cepat dieksresikan, pH urin harus lebih besar daripada pKa. Sekresi
tubulus, melibatkan transport aktif, ekskresi tergantung dari mekanisme masing-
masing bahan.
Ekskresi KI dalam urin pada pengamatan pada 30 menit pertama dan
ekskresi KI dalam saliva pada 15 menit pertama belum terlihat adanya perubahan
yang ditunjukkan dengan nilai negatif yang diperkirakan karena kemungkinan
belum terjadi ekskresi pada cairan seperti urin dan saliva, jumlah iodium terlalu
kecil yang diekskresikan, sehingga tidak terbaca dan tidak terlalu terlihat pada
pengamatan, tingkat kelarutan yang sangat kecil pada kompleks iodium amilum dan
faktor farmakokinetik yang lambat, sifat iodine yang mudah menguap sehingga
membutuhkan kecepatan mata untuk mengamati adanya perubahan warna.
Pada urin, ekskresi KI lebih cepat terjadi yaitu pada menit ke-60 sudah
menunjukkan hasil positif yaitu adanya perubahan warna menjadi biru karena
kompleks antara iodium dengan amilum.
Lain halnya pada saliva, sampai menit terakhir pengamatan belum juga
menunjukkan adanya perubahan warna yang dapat dikatakan ekskresi pada saliva
sangat lambat atau dapat dikatakan jumlah iodium yang diekskresika di saliva
sangat sedikit.
Pada percobaan ini, ekskresi KI dalam urin lebih cepat dibandingkan dengan
ekskresi KI dalam saliva. Ini menandakan bahwa ekskresi pada saliva pada sampel
sangat lambat atau dapat dikatakan jumlah iodium yang diekskresikan di saliva
sangat sedikit.
Ekskresi obat adalah proses pengeluaran zat-zat sisa oleh hasil metabolisme
obat yang sudah tidak digunakan oleh tubuh. Ekskresi Obat dikeluarkan dari tubuh
melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau
dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada
obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ
ekskresi yang terpenting.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
 Iodin merupakan komponen esensial dari hormon tiroid yaitu T3 dan
T4, obat oral yang digunakan merupakan bentuk aktif dalam hormon
tiroid yaitu tiroksin
 Larutan yang mengandung KI dan iod bila ditambahkan dengan amilum
akan membentuk komplek berwarna biru tua.
 1 ml KI 1 % + 1 ml amilum 1% menghasilkan warna yang transparan
atau tidak ada perubahan warna
 1 ml KI 1%+ 2 tetes NaNO2 10% + 2 tetes H2SO4 cair + 1 tetes amilum
1% menghasilkan warna biru kecoklatan
 Faktor yang mempengaruhi waktu ekskresi obat yaitu Sifat fisikokimia,
pH urin, Kondisi patologi, Aliran darah, Usia. Faktor yang mepengaruhi
yaitu Laju Filtrasi, Ukuran partikel → ikatan protein plasma, Kelarutan.
 Ekskresi KI lebih cepat terjadi yaitu pada menit ke-60 menunjukkan
hasil positif yaitu adanya perubahan warna menjadi biru karena
kompleks antara iodium dengan amilum.
 Pada saliva, sampai menit terakhir pengamatan belum menunjukkan
adanya perubahan warna yang dapat dikatakan ekskresi pada saliva
sangat lambat
 Ekskresi KI dalam urin lebih cepat dibandingkan dengan ekskresi KI
dalam saliva.

5.2. SARAN
 Berhati – hati saat melakukan prosedur pratikum agar tidak ada
kesalahan dalam prosedur (seperti ketidaktepatan pemberian larutan
penguji dengan sampel, tidak terlalu efektifnya reagent yg diberikan).
 harus teliti saat pengerjaan karena sifat iodine yang mudah menguap
sehingga dapat menghasilkan pembacaan negative palsu.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Fenty. Laju Filtrasi Glomerolus pada Lansia Berdasarkan Tes Klirens
Kreatinin dengan Formula Cockroft-Gault Standardisasi, dan Modification
Of Diet in Renal Disease. J Penelit. 2010;13(2):217–25.

[2]. Agushinta R. D, Satria A. Pembelajaran 3D Sistem Ekskresi Manusia


Berbasis Virtual Reality dan Android. J Teknol Inf dan Ilmu Komput.
2018;5(4):381. https://doi.org/10.25126/jtiik.201854665

[3]. Wulansari N. Fuji Rrc Terhadap Farmakokinetika Parasetamol Yang


Diberikan Bersama Secara Oral. 2009;

[4]. Zaman JN. ARS PRESCRIBENDI resep yang rasional. 3rd ed. Surabaya:
Airlangga University press; 2006. 239 p.

[5]. Putra W. Diktat Biokimia Ginjal dan urine. Diktat Biokimia. 2016;1–33.
Available from:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/bbaf9351825f250
35476868944b4f17f.pdf

[6]. Surya AM, Pertiwi D, Masrul M. Hubungan Protein Urine dengan Laju
Filtrasi Glomerulus pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik Dewasa di
RSUP Dr. M.Djamil Padang tahun 2015-2017. J Kesehat Andalas.
2018;7(4):469. https://doi.org/10.25077/jka.v7i4.903

[7]. Pendidikan P, Spesialis D, Klinik P, Sakit R, Sadikin H. Pemeriksaan


Fungsi Ginjal. 2016;43(2):148–54.

[8]. L. Shargel, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya:


Airlangga University Press, 2012.

[9]. S. Lauralee, Fisiologi Manusia, 6th ed. Jakarta: EGC, 2011.

[10]. M. Suardi, R. Raveinal, L. O. Sari, and L. Lailaturrahmi, Tinjauan


Akumulasi Seftriakson Dari Data Urin Menggunakan Elektroforesis
Kapiler Pada Pasien Gangguan Fungsi Ginjal Stadium Tiga, J. Ipteks
Terap., vol. 11, no. 2, p. 43, 2017, doi: 10.22216/jit.2017.v11i2.509.

Anda mungkin juga menyukai