Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

SEORANG WANITA USIA 33 TAHUN DENGAN G3P2A0 HAMIL 37+5 MINGGU


DENGAN KALA I LAMA, PREEKLAMPSIA, SEPSIS

Disusun oleh:
dr. Shinta Retno Wulandari

Pembimbing :
dr. Nufa Muslikhah

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RS PKU MUHAMMADIYAH SRUWENG
KEBUMEN
2019
LAPORAN KASUS
SEORANG WANITA USIA 33 TAHUN DENGAN G3P2A0 HAMIL 37+5 MINGGU
DENGAN KALA I LAMA, PREEKLAMPSIA, SEPSIS

Diajukan untuk memenuhi tugas


Program Internship Dokter Indonesia
Di RS PKU MUHAMMADIYAH SRUWENG

Telah disetujui
Pada tanggal: 4 September 2019

Disusun oleh:

dr. Shinta Retno Wulandari

Mengetahui,

Direktur Pembimbing
RS PKU Muhammadiyah Sruweng

dr. H. Hasan Bayuni dr. Nufa Muslikhah

BAB I
2
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS

Nama : Ny. N
Usia : 33 tahun
Pekerjaan : Ibu RT
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Pejagoan, Kebumen
No. RM : 78432
Tanggal masuk RS PKU Muhammadiyah Sruweng : 28/8/2019 pukul 09.10

ANAMNESIS

Keluhan Utama
Kenceng-kenceng

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan pasien rujukan dari bidan praktek mandiri dengan keterangan G3P2A0 hamil
37+5 minggu dengan inpartu fase aktif kala I lama. Pasien datang ke RS PKU Muhammadiyah
Sruweng dengan kenceng-kenceng sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan air ketuban
rembes sejak 5 jam SMRS. Lendir darah (+) sejak 1 hari SMRS. Gerakan janin dirasakan aktif.
Pusing (-), mual (-), muntah (-) nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

3
Riwayat alergi disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal

Riwayat Haid
Menarche : 13 tahun
Lama menstruasi : 7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari

Riwayat Obstetri
Hamil I : 2008, lahir anak pertama perempuan secara spontan, BB 3200 gr, PB 46 cm
Hamil II : 2014, lahir anak kedua perempuan secara spontan, BB 3300 gr, PB 46 cm
Hamil III : saat ini
HPMT : 7 Desember 2018
HPL : 14 September 2019
UK : 37+5 minggu

Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, telah menikah ketika berusia 21 tahun, usia pernikahan 12 tahun.

Riwayat KB
Pasien menggunakan KB suntik 3 bulan sebelumnya.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan


Pembiayaan RS dengan BPJS.

PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang


 Kesadaran : Compos mentis
 Nadi : 92x/menit, reguler, isi cukup

4
 Nafas : 16x/menit
 Suhu : 36,4oC (aksila)
 Tekanan Darah : 140/80 mmHg
 Kesan gizi baik
 Kepala : mesocephal
 Mata : deformitas (-), ptosis (-), eksoftalmus (-), pupil isokor, refleks pupil langsung
(+ /+ ), refleks pupil tidak langsung (+/+), konjungtiva anemis (-/-). sklera
ikterik (-/-).
 Hidung : deformitas (-), sekret (-), deviasi septum nasal (-), pernafasan cuping hidung
(-)
 Mulut : lidah basah, tidak hiperemis.
 Telinga : deformitas (-), serumen (-/-)
 Leher : Trakea di tengah. JVP 5-2 cmH2O, KGB leher tidak teraba
 KGB : KGB supraklavikula tidak teraba
KGB intraklavikula tidak teraba
KGB axila tidak teraba
KGB inguinal tidak diperiksa
 Kulit : kecoklatan.
 Toraks : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi
intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga melebar (-)
 Jantung :
 Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat,
 Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
- Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dekstra
- Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC V linea medioklavicularis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-).
 Pulmo : Simetris statis-dinamis, spider nevi (-), retraksi iga (-), sikatriks (-), massa
(-). Bunyi napas vesikuler, rhonki basah halus basal paru (-/-), wheezing (-/-)

5
 Abdomen :
Inspeksi : striae gravidarum (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intrauterin, memanjang,
punggung kiri, preskep, kepala masuk panggul 2/3 bagian, his (+)
2-3x/10’/15”, DJJ (+) 140x reguler, TFU 35 cm
Perkusi : timpani
 Alat Genitalia : VT: v/u tenang, dinding vagina dbn, portio tipis, Ø 8cm, eff 80%, preskep,
kepala turun di Hodge III, selaput ketuban (-), penunjuk sudah dapat dinilai, ubun-ubun kecil
pukul 11, STLD (+), uji lakmus (-)
 Anus : tidak diperiksa
 Ekstremitas atas : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis -/-, clubbing finger -/-, atrofi otot
(-/-), turgor baik.
 Ekstremitas bawah : Edema (+/+), akral dingin (-/-), sianosis -/-, clubbing finger -/-, atrofi
otot (-/-), turgor baik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab 28 Agustus 2019


HASIL NILAI RUJUKAN UNIT
Hematologi
Hemoglobin 14,7 11.7 – 15.5 gr/l
Leukosit 22.650 3.600-11.000 /mm3
Trombosit 153.000 150.000-440.000 /mm3
HCT 44 35.0-47.0 [%]
Eritrosit 5,02 3,8 – 5,2 Juta/mm3
Golongan darah A
Kimia Darah
GDS 133 70-120 mg/dL
Imunoserologi
HBsAg Non reaktif Non reaktif
Urin
Urin Protein Positif 1 Negatif

EKG 28 Agustus 2019

6
Kesan: sinus ritmis, nadi 85x/menit, normoaxis

Uji Lakmus

7
Kesan : uji lakmus negatif
NST

Kesan : Baseline : 133 x / menit


- Variabilitas: 5
- Aselerasi : +
- Deselerasi :-
- Kontraksi : +
- Fetal movement : +

RESUME

Pasien merupakan pasien rujukan dari bidan praktek mandiri. Pasien datang ke RS PKU
Muhammadiyah Sruweng dengan kenceng-kenceng sejak 1 hari SMRS. Pasien juga
mengeluhkan air ketuban rembes sejak 5 jam SMRS. Lendir darah (+) sejak 1 hari SMRS.
Gerakan janin dirasakan aktif. HPMT : 7/12/18. HPL : 14/9/19. UK : 37+5 minggu.
Pemeriksaan tanda – tanda vital didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg. Pemeriksaan fisik
ditemukan palpasi abdomen teraba janin tunggal intrauterin, memanjang, punggung kiri, preskep,

8
kepala masuk panggul <2/3 bagian, his (+) 2-3x/10’/15”, DJJ (+) 140x reguler, TFU 35 cm.
Pemeriksaan VT : v/u tenang, dinding vagina dbn, portio tipis, Ø 8cm, eff 80%, preskep, kepala
turun di Hodge III, selaput ketuban (-), penunjuk sudah dapat dinilai, ubun-ubun kecil pukul 11,
STLD (+), uji lakmus (-).
Hasil laboratorium leukosit 22.650/mm3, urin protein positif 1. Uji NST didapatkan; Baseline 133
x / menit, Variabilitas : 5, Aselerasi (+), Deselerasi (-), Kontraksi (+), Fetal movement (+).

DIAGNOSIS

G3P2A0 usia kehamilan 37+5 minggu dalam persalinan, Kala I fase aktif, Sepsis, PEB

TATALAKSANA

1. Rawat Inap ruang bersalin


2. O2 nasal kanul 3 lpm
3. Infus Ringer Laktat 20 tpm
4. Konsul Sp. OG, advis:
 Injeksi Ceftriaxon 1gr/12 jam
 Infus metronidazole 500mg/8jam
 Evaluasi tiap 2 jam
 Jika jam 14.00 bayi belum lahir, pro SC
 Protap PEB: Injeksi 4gr MgSO4 40% dilarutkan dalam100 ml NaCl 0,9% diberikan
secara drip selama 15 menit
 Nifedipin 3x10 mg (jika MAP ≥ 125 mmHg)

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

9
FOLLOW UP
Hari/
S O A P
Tanggal
28/8/19 Kenceng- Sens: CM G3P2A0 usia 1. Rawat Inap ruang
Pukul kenceng, TD: 140/80mmHg kehamilan 37+5 bersalin
10.45 pasien HR:92x/menit minggu dalam 2. O2 nasal kanul 3 lpm
mengaku RR: 16x/menit persalinan Kala 3. Protap PEB: Injeksi
o
kelelahan Suhu : 36,4 C I fase aktif, 4gr MgSO4 40% dalam
(aksila) sepsis, PEB 100 ml NaCl 0,9%
diberikan secara drip
Kepala: Mata: 30 tpm (diberikan
anemis (-/-) ikterik selama 15 menit)
(-/-) 4. Nifedipin 3x10 mg
Leher: TVJ (R+2 (jika MAP ≥ 125
cmH20) mmHg)
Thorax: 5. Injeksi Ceftriaxon
Cor : S1, S2 (+) 1gr/12 jam
regular, bising 6. Infus metronidazole
sistolik (-) 500mg/8jam
Pulmo: SD 7. Jika bayi belum lahir
vesikuler, jam 14.00, pro SC
ST (-/-) 8. Observasi KUVS,
Abdomen: striae His dan DJJ
gravidarum (-), 9. Evaluasi 2 jam
supel, nyeri tekan
(-), teraba janin
tunggal intrauterin,
memanjang,
punggung kiri,
preskep, kepala
masuk panggul <2/3

10
bagian, his (+) 2-
3x/10’/15”, DJJ (+)
140x reguler, TFU
35 cm, NST (+)
Alat Genitalia :
v/u tenang, dinding
vagina dbn, portio
tipis, Ø 8cm, eff
80%, preskep, kepala
turun di Hodge III,
selaput ketuban (-),
penunjuk sudah
dapat dinilai, ubun-
ubun kecil pukul 11,
STLD (+), uji
lakmus (-)
Ekstremitas: Edema
(+/+), akral dingin
(-/-), sianosis (-/-),
clubbing finger (-/-)

AL : 22.650
Urin protein :
positif 1
28/8/19 Kenceng- Sens: CM G3P2A0 usia 1. Rawat Inap ruang
Pukul kenceng, TD: 141/80mmHg kehamilan 37+5 bersalin
11.00 pasien HR:96x/menit minggu dalam 2. O2 nasal kanul 3 lpm
mengaku RR: 16x/menit persalinan, Kala 3. Protap PEB: Injeksi
o
kelelahan Suhu : 36,4 C I lama, sepsis, 6gr MgSO4 40%
(aksila) PEB dalam RL diberikan
secara drip 20 tpm
Kepala: Mata: (diberikan selama 6

11
anemis (-/-) ikterik jam dan diulang
(-/-) hingga 24 jam)
Leher: TVJ (R+2 4. Nifedipin 3x10 mg
cmH20) (jika MAP ≥ 125
Thorax: mmHg)
Cor : S1, S2 (+) 5. Injeksi Ceftriaxon
regular, bising 1gr/12 jam
sistolik (-) 6. Infus metronidazole
Pulmo: SD 500mg/8jam
vesikuler, 7. Jika bayi belum lahir
ST (-/-) jam 14.00, pro SC
Abdomen: striae 8. Observasi KUVS,
gravidarum (-), His dan DJJ
supel, nyeri tekan 9. Evaluasi 2 jam
(-), teraba janin 10. Cek Ur, Cr, SGOT,
tunggal intrauterin, SGPT
memanjang, 11. Pasang DC
punggung kiri,
preskep, kepala
masuk panggul <2/3
bagian, his (+) 2-
3x/10’/15”, DJJ (+)
150x reguler, TFU
35 cm, NST (+)
Alat Genitalia :
v/u tenang, dinding
vagina dbn, portio
tipis, Ø 8cm, eff
80%, preskep, kepala
turun di Hodge IV,
selaput ketuban (-),
caput teraba,

12
penunjuk sudah
dapat dinilai, ubun-
ubun kecil pukul 11,
STLD (+), uji
lakmus (-)
Ekstremitas: Edema
(+/+), akral dingin
(-/-), sianosis (-/-),
clubbing finger (-/-)

AL : 22.650
Urin protein :
positif 1
28/8/19 Kenceng- Sens: CM G3P2A0 usia 1. Pro SC
Pukul kenceng, TD: 135/80mmHg kehamilan 37+5 2. Konsul Sp. Anestesi
14.00 pasien HR:86x/menit minggu dalam Outcome:
mengaku RR: 16x/menit persalinan, Kala Pukul 15.10 : Lahir bayi
o
kelelahan Suhu : 36,4 C I lama, sepsis, laki-laki hidup secara SC
(aksila) PEB dari G3P2A0 dengan sepsis,
preeklampsia dan kala I
Kepala: Mata: lama. BB 3600 gr, PB 49
anemis (-/-) ikterik cm, Apgar score 7/8/9.
(-/-) 3. Konsul Sp. Anak
Leher: TVJ (R+2
cmH20)
Thorax:
Cor : S1, S2 (+)
regular, bising
sistolik (-)
Pulmo: SD
vesikuler,
ST (-/-)

13
Abdomen: striae
gravidarum (-),
supel, nyeri tekan
(-), teraba janin
tunggal intrauterin,
memanjang,
punggung kiri,
preskep, kepala
masuk panggul <2/3
bagian, his (+) 2-
3x/10’/15”, DJJ (+)
154x reguler, TFU
35 cm, NST (+)
Alat Genitalia :
v/u tenang, dinding
vagina dbn, portio
tipis, Ø 8cm, eff
80%, preskep, kepala
turun di Hodge IV,
selaput ketuban (-),
caput teraba,
penunjuk sudah
dapat dinilai, ubun-
ubun kecil pukul 11,
STLD (+), uji
lakmus (-)
Ekstremitas: Edema
(+/+), akral dingin
(-/-), sianosis (-/-),
clubbing finger (-/-)

AL : 22.650

14
Urin protein :
positif 1
Ur : 23,4
Cr : 1,74
SGOT : 19
SGPT : 7
28/8/19 Nyeri Sens: CM P3A0 post SC a/i 1. Rawat Inap bangsal
Pukul perut post TD: 130/80mmHg sepsis, PEB, 2. Tirah baring 24 jam
16.00 SC HR:85x/menit kala I lama 3. O2 nasal kanul 3 lpm
RR: 16x/menit 4. Observasi KUVS,
o
Suhu : 36,4 C dan PPV
(aksila) 5. IVFD D5% 20 tpm
6. Inj. Tradyl 2A/drip
Kepala: Mata: 7. Injeksi Ceftriaxon
anemis (-/-) ikterik 1gr/12 jam
(-/-) 8. Infus metronidazole
Leher: TVJ (R+2 500mg/8jam
cmH20) 9. Inj. Furamin 1A/
Thorax: 12jam
Cor : S1, S2 (+) 10. Inj. Vit C 1A/12jam
regular, bising 11. Nifedipin 3x10 mg
sistolik (-) (jika MAP ≥ 125
Pulmo: SD mmHg)
vesikuler, 12. Vit A 1x1
ST (-/-) 13. Cek DR
Abdomen: supel, 14. Monitoring balance
Tampak luka post cairan
SC tertutup perban,
rembes (-), nyeri (+),
TFU teraba 2 jari di
bawah pusat,
kontaksi (+)

15
Genitalia : darah (+),
lochia (+)
Ekstremitas: Edema
(+/+), akral dingin
(-/-), sianosis (-/-),
clubbing finger (-/-)

AL : 22.650
Urin protein :
positif 1
Ur : 23,4
Cr : 1,74
SGOT : 19
SGPT : 7
29/8/19 Nyeri Sens: CM P3A0 post SC a/i 1. Rawat Inap bangsal
Pukul perut post TD: 120/80mmHg sepsis, PEB, 2. Tirah baring 24 jam
08.00 SC ↓, HR:70x/menit kala I lama 3. Observasi KUVS,
mual (+), RR: 20x/menit (H+1) dan PPV
o
muntah Suhu : 36,4 C 4. IVFD RL 20 tpm
(-), (aksila) 5. Inj. Tradyl
pandangan BC : +222 ml 3x1A/drip
kabur (-), 6. Injeksi Ceftriaxon
nyeri Kepala: Mata: 1gr/12 jam
kepala (-), anemis (-/-) ikterik 7. Infus metronidazole
BAK tidak (-/-) 500mg/8jam 
ada Leher: TVJ (R+2 STOP
keluhan, cmH20) 8. Inj. Furamin 1A/
flatus (+) Thorax: 12jam
Cor : S1, S2 (+) 9. Inj. Vit C 1A/12jam
regular, bising 10. Nifedipin 3x10 mg
sistolik (-) (jika MAP ≥ 125
Pulmo: SD mmHg)

16
vesikuler, 11. Vit A 1x1
ST (-/-)
Abdomen: supel,
Tampak luka post
SC tertutup perban,
rembes (-), nyeri (+),
TFU teraba 2 jari di
bawah pusat,
kontaksi (+), BU(+)
Genitalia : darah (+),
lochia (+)
Ekstremitas: Edema
(+/+), akral dingin
(-/-), sianosis (-/-),
clubbing finger (-/-)

Darah Rutin:
Hb : 12,7
AL: 15.700
AT : 153.000
Ht : 38
AE : 4,37
30/8/19 Nyeri Sens: CM P3A0 post SC a/i 1. Rawat Inap bangsal
Pukul perut post TD: 114/80mmHg sepsis, PEB, 2. Observasi KUVS,
08.00 SC ↓, HR:86x/menit kala I lama dan PPV
mual (-), RR: 16x/menit (H+2) 3. IVFD D5% 20 tpm
o
muntah Suhu : 36,4 C 4. Inj. Tradyl 2A/drip
(-), (aksila) 5. Injeksi Ceftriaxon
pandangan BC : +200 ml 1gr/12 jam
kabur (-), Kepala: Mata: 6. Inj. Furamin 1A/
nyeri anemis (-/-) ikterik 12jam
kepala (-), (-/-) 7. Inj. Vit C 1A/12jam

17
BAK tidak Leher: TVJ (R+2 8. Nifedipin 3x10 mg
ada cmH20) (jika MAP ≥ 125
keluhan Thorax: mmHg)
Cor : S1, S2 (+) 9. Motivasi duduk,
regular, bising Bladder training
sistolik (-)
Pulmo: SD
vesikuler,
ST (-/-)
Abdomen: supel,
Tampak luka post
SC tertutup perban,
rembes (-), nyeri (+),
TFU teraba 2 jari di
bawah pusat,
kontaksi (+), BU(+)
Genitalia : darah (+),
lochia (+)
Ekstremitas: Edema
(+/+), akral dingin
(-/-), sianosis (-/-),
clubbing finger (-/-)
31/8/19 Nyeri Sens: CM P3A0 post SC a/i 1. Aff DC
Pukul perut post TD: 110/74mmHg sepsis, PEB, 2. BLPL
16.00 SC ↓, HR:84x/menit kala I lama  Cefadroxil
mual (-), RR: 16x/menit 2x1
o
muntah Suhu : 36,4 C  Asam
(-), (aksila) mefenamat
pandangan BC: +180 ml 3x1
kabur (-), Kepala: Mata:  Etabion 2x1
nyeri anemis (-/-) ikterik
kepala (-), (-/-)

18
BAK tidak Leher: TVJ (R+2
ada cmH20)
keluhan, Thorax:
flatus (+) Cor : S1, S2 (+)
regular, bising
sistolik (-)
Pulmo: SD
vesikuler,
ST (-/-)
Abdomen: supel,
Tampak luka post
SC tertutup perban,
rembes (-), nyeri (+),
TFU teraba 2 jari di
bawah pusat,
kontaksi (+)
Genitalia : darah (+),
lochia (+)
Ekstremitas: Edema
(+/+), akral dingin
(-/-), sianosis (-/-),
clubbing finger (-/-)

Follow Up Partograf

Follow Up Laboratorium

19
28 Agustus 2019 pukul 13.22
HASIL NILAI UNIT
RUJUKAN
Kimia Darah
Urea 23,4 10-50 mg/dL
Creatinin 1,74 0,8-1,4 mg/dL
SGOT 19 0 – 35 U/I
SGPT 7 0 – 35 U/I

29 Agustus 2019 pukul 07.30


HASIL NILAI UNIT
RUJUKAN
Hematologi
Hemoglobin 12,7 11.7 – 15.5 gr/l
Leukosit 15.700 3.600-11.000 /mm3
Trombosit 153.000 150.000-440.000 /mm3
HCT 38 35.0-47.0 [%]
Eritrosit 4,37 3,8 – 5,2 Juta/mm3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Preeklampsia
a. Definisi

20
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi kehamilan tertentu yang dapat disebabkan
oleh kegagalan fungsi endotel vaskuler dan vasospasme pembuluh darah dengan keterlibatan
multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu. Preeklampsia dapat berlangsung
hingga 4-6 minggu post-partum. Penyakit ini ditentukan oleh kejadian hipertensi onset baru
ditambah onset baru proteinuria dengan atau tanpa edema patologis. Tanda dan gejala lain
yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan, sakit kepala, nyeri epigastrik, dan
adanya edema (American College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al., 2008).
Insidensi preeklampsia sekitar 5% sampai 10% dari seluruh kehamilan, dengan
insidensi yang lebih tinggi pada kehamilan pertama, kehamilan kembar, dan wanita dengan
riwayat preeklampsia sebelumnya (Karumanchi et al., 2009; Suppo et al., 2011).

b. Faktor Risiko
1) Primigravida
2) Riwayat keluarga dengan preeklampsia
3) Riwayat preeklampsia pada kehamilan
Risiko preeklampsia meningkat tujuh kali lipat pada kehamilan dengan riwayat
preeklampsia sebelumnya.
4) Adanya hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya
5) Usia Kehamilan
Preeklampsia pada kehamilan pertama dengan persalinan dengan usia kehamilan
32 minggu sampai 36 minggu akan meningkatkan risiko preeklampsia pada kehamilan
kedua sebesar 25,3 %.
6) Obesitas
Wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) < 20 kg/m 2 memiliki risiko sebesar
4,3% dan mereka dengan BMI > 35 kg/m2 memiliki risiko sebesar 13,3%
7) Donor oosit atau inseminasi donor dan riwayat trombofilia
8) Infeksi saluran kemih, diabetes melitus, penyakit vaskular kolagen, mola hidatidosa,
dan penyakit periodontal
9) Usia Ibu
Wanita yang hamil pada usia 35 tahun atau lebih memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami preeklampsia.
10) Ras

21
Di Amerika Serikat, preeklampsia pada wanita berkulit putih 1.8 % dan 3 % pada
wanita berkulit hitam.
11) Faktor tambahan yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia adalah kehamilan
multipel, plasentasi yang buruk dan beberapa hal lain yang meningkatkan massa
plasenta dan perfusi plasenta yang buruk (American College of Obstetrics and
Gynecology, 2013; Lim et al., 2008).

c. Patogenesis dan Patofisiologi


1) Disfungsi Endotel
Gangguan sel endotel pembuluh darah akan menimbulkan kebocoran khususnya
pada sistem mikrovaskular yang akan direspon tubuh dengan manifestasi agregasi
tombosit. Dalam keadaan normal, sel endotel akan memproduksi prostasiklin (PGI2) dan
trombosit akan memproduksi tromboksan 2 (TXA2) (Birawa et al., 2009).
Prostasiklin (PGI2) merupakan vasodilator kuat otot polos yang bekerja pada
reseptor spesifik sel otot polos dan merangsang pembentukan cyclic
adenosinmonophosphate (cAMP) melalui siklus adenylate serta faktor relaksasi yang
kuat. Tromboxan (TXA) merupakan vasokonstriktor kuat. Akibat rasio PGI2 : TXA
meningkat maka efek vasokonstriksi meningkat juga dan menyebabkan terjadinya
hipertensi. Disfungsi endotel akan menyebabkan keluarnya mediator inflamasi seperti
TNF-α, Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8 (IL-8), Interleukin-10
(IL-10) dan fibronektin serta mikropartikel endotel yang terbukti meningkat pada
preeklampsia (Birawa et al., 2009).
2) Stres Oksidatif dan Nitrat Oksida
Disfungsi Nitrat Oksida (NO) merupakan salah satu jalur yang terlibat dalam
patogenesis preeklampsia. NO adalah vasodilator utama dan radikal bebas yang sangat
reaktif, disintesis oleh sel endotel dari L-arginine. Penurunan konsentrasi NO dalam
plasma dan plasenta dapat menyebabkan kurangnya efek vasodilatasi parakrin pada
aliran darah uteroplasenta (Suppo et al., 2011).
Penurunan bioavailabilitas NO terjadi melalui pengurangan produksi atau
peningkatan konsumsi NO oleh stres oksidatif. Stres oksidatif pada tahap berikutnya
bersama dengan zat toksin akan merangsang kerusakan sel endotel pembuluh darah yang
nantinya akan menimbulkan disfungsi endotel (Roeshadi, 2006; Suppo et al., 2011).

22
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan antara produksi zat-zat
vasodilator (misalnya prostasiklin dan nitrat oksida) dengan vasokonstriktor (misalnya
endotelium I, tromboksan, dan angiotensin II) sehingga terjadi vasokontriksi dan
menyebabkan hipertensi (Roeshadi, 2006).
3) Implantasi Abnormal
Salah satu mekanisme yang berperan pada proses abormalitas invasi trofoblas dan
remodeling pembuluh darah adalah jalur Notch signaling (American College of
Obstetrics and Gynecology, 2013). Jalur Notch signaling mengatur diferensiasi dan
fungsi sel selama sel kontak di dalam jaringan. Komponen ini adalah komponen penting
di mana sel-sel trofoblas janin menginvasi dan merubah pembuluh darah ibu
(Hunkapiller et al., 2008).
Notch signaling yang gagal merubah pembuluh darah ibu secara adekuat akan
menyebabkan penurunan perfusi plasenta. Kegagalan transformasi fisiologis ini
dikaitkan dengan tidak adanya Notch2 karena berkurangnya diameter pembuluh darah
dan perfusi plasenta. Trofoblas mengkoordinasi peningkatan pasokan pembuluh darah
ibu melalui invasi progresif dan pelebaran pembuluh darah ibu. Perivaskular dan
endovaskular sitotrofoblas sering gagal untuk mengekspresikan JAG1 yang merupakan
ligan Notch di preeklampsia memberikan bukti lebih lanjut bahwa kelainan pada Notch
signaling memiliki peran penting dalam patogenesis preeklampsia (Hunkapiller et al.,
2008).
4) Faktor Angiogenik
Pada plasenta ibu terdapat dua protein yang dapat mencapai jumlah abnormal di
sirkulasi ibu. Pertama adalah solubleFms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) yang merupakan
reseptor placental growth factor (PIGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF).
Peningkatan kadar sFlt-1 ibu akan menurunkan konsentrasi sirkulasi PIGF dan VEGF
sehingga terjadi disfungsi endotel. Inaktivasi VEGF bebas menyebabkan endoteliosis
gromular sehingga terjadi proteinuria. Kedua, protein antiangiogenik, soluble endoglin
(sEng) yang dapat mengganggu pengubahan ikatan growth factor β1 menjadi reseptor
endotelial sehingga mengurangi nitrat oksida endotel dan menyebabkan terjadinya
preeklampsia (Karumanchi et al., 2009; American College of Obstetrics and
Gynecology, 2013).
5) Renin - Angiotensin System (RAS)

23
Angiotensin II type-1 receptor autoantibody (AT1–AA) ikut berperan dalam
peningkatan sel endotel dan sensitivitas tekanan darah serta sensitivitas angiotensin II
(ANGII) (Corren et al., 2013). Sel endotel meningkatkan sekresi endhotelin-1 (ET-1)
dalam merespon ANGII atau AT1-AA. Ketika AT1-AA dan ANGII bergabung, sekresi
sel endotel ET-1 meningkat 200 kali lipat dibandingkan jika hanya merespon ANGII
atau AT1-AA saja. Sementara itu, baik ANGII atau AT1-AA akan meningkatkan
tekanan darah selama kehamilan. AT1-AA memiliki peran penting untuk meningkatkan
sensitivitas sel endotel ataupun tekanan darah terhadap ANGII selama kehamilan
(Amaral et al, 2015).
6) Sistem Imun
Respon inflamasi memiliki peran penting selama plasentasi, natural cell killer
mensekresi sitokin yang akan meningkatkaninfiltrasi trofoblas ke arteri spiral sehingga
menyebabkan respon inflamasi desidua. Plasentasi yang buruk dan berkurangnya suplai
darah uteroplasenta menyebabkan hipoksia plasenta yang diikuti pelepasan beberapa
mediator seperti faktor pertumbuhan dan reseptor terlarutnya, sitokin inflamasi, debris
plasenta, dan produk stres oksidatif plasenta. Hal ini menyebabkan respon inflamasi
sistemik yang berhubungan erat dengan disfungsi sel endotel dan aktivasi leukosit
(Suppo, 2011).
Genbacev dalam Uzan et al. (2011) menyatakan preeklampsia dapat terjadi akibat
penurunan sistem kekebalan ibu yang mencegah pengenalan unit fetoplasenta. Produksi
berlebihan sel imun menyebabkan sekresi tumor necrosis factor α (TNFα) yang akan
menginduksi apoptosis sititrofoblas ekstravili. Colbern et al. dalam Uzan et al. (2011)
juga menyatakan bahwa sistem Human Leukocyte Antigen (HLA) juga memainkan
peran dalam invasi arteri spiral, dan wanita dengan pre-eklampsia menunjukkan
penurunan kadar HLA-G dan HLA-E.

24
Gambar 2.1 Patogenesis Preeklampsia (Suppo et al., 2011)

d. Diagnosis dan Klasifikasi Preeklampsia


1) Menurut Onset
Magee et al. dalam Hypertesive Disease in Pregnancy menggolongkan
preeklampsia menjadi dua jenis yaitu preeklampsia onset awal dan preeklampsia onset
lambat (Magee et al, 2015). Preeklampsia onset awal cenderung berkembang sebelum
usia kehamilan 34 minggu, preeklampsia onset lambat muncul pada atau setelah usia
kehamilan 34 minggu. Preeklampsia onset awal biasanya dikaitkan dengan disfungsi
plasenta, penurunan volume plasenta, IUGR, abnormalitas uterus dan evaluasi Doppler
arteri umbilikus, disfungsi multiorgan, kematian perinatal dan luaran maternal dan
neonatal yang kurang baik. Preeklampsia onset lambat diperkirakan muncul dari
gangguan konstitusional ibu, hal itu lebih terkait dengan plasenta yang normal dan hasil
evaluasi Doppler yang baik, berat lahir normal dan luaran ibu dan janin yang baik
(Vikram et al., 2015).
2) Menurut Derajat
a) Preeklampsia ringan
Preeklampsia ringan didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90
mm Hg) tanpa bukti kerusakan organ. Pasien yang sebelumnya sudah memiliki
hipertensi esensial, preeklampsia didiagnosis jika tekanan darah sistolik telah
meningkat sebesar 30 mmHg atau jika tekanan darah diastolik telah meningkat
sebesar 15 mmHg (Lim et al., 2008).

25
b) Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat dikaitkan dengan tingkat mortalitas dan morbiditas
perinatal yang tinggi dan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ibu ≥ 160
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg atau lebih tinggi dua kali lipat
pada pemeriksaan setidaknya 6 jam terpisah; gangguan neurologis maternal seperti
sakit kepala terus-menerus, tinitus yang menyebar, refleks tendon polikinetik,
eklampsia, edema paru akut, proteinuria ≥ 5 g/hari atau lebih dari 3+ pada dua
sampel urin yang dikumpulkan secara acak minimal 4 jam terpisah, oliguria < 500
cc/hari, kreatinin > 120 µmol/L, sindrom HELLP, trombositopenia < 100.000/mm3,
edema paru atau sianosis, nyeri epigastrium dan atau gangguan fungsi hati, dan
kriteria pada janin terutama pertumbuhan janin terhambat (PJT), oligohidramnion,
kematian janin dalam rahim, atau abrupsio plasenta (Sibai dan Barton, 2007; Lim et
al., 2008).
Kriteria diagnosis preeklampsia berat menurut POGI tahun 2010 adalah
preeklampsia dengan salah satu atau lebih gejala dan tanda dibawah berikut :
(1) Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat tekanan sistolik ≥ 160
mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg
(2) Proteinuria, yaitu protein ≥ 5 gr/jumlah urin selama 24 jam atau dipstick
4+
(3) Oliguria, adalah produksi urin < 400-500 cc/ 24 jam
(4) Kenaikan kreatinin serum
(5) Edema paru dan sianosis
(6) Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen.
(7) Gangguan otak dan visus antara lain perubahan kesadaran, nyeri kepala,
skotomata, dan pandangan kabur.
(8) Gangguan fungsi hepar
(9) Hemolisis mikroangiopatik
(10) Trombositopenia; yaitu trombosit< 100.000 sel/ mm3
(11) Sindroma HELLP
POGI (2010) membagi preeklampsia berat dalam beberapa kategori :
(1) Preeklampsia berat tanpa impending eklampsi

26
(2) Preeklampsia berat dengan impending eklampsi, dengan gejala
impending: nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri
epigastrium, dan nyeri kuadran kanan atas abdomen.
Penatalaksanaan preeklampsia berat bertujuan mengendalikan tekanan darah
dan mencegah terjadinya eklampsia, persalinan pervaginam pada pasien dengan
kehamilan cukup bulan dan operasi caesar pada kasus mendesak atau ketika induksi
persalinan gagal, dengan pengaturan waktu yang seimbang antara keselamatan ibu
dengan risiko kelahiran janin yang berpotensi prematur. Manajemen kehamilan
hanya untuk beberapa pasien yang jauh dari usia kehamilan cukup bulan tetapi
stabil pada pemberian terapi obat antihipertensi, dengan hasil pemeriksaan
laboratorium stabil dan profil biofisik janin yang meyakinkan (Turner, 2010).
Norwitz dan Funai (2008) memberikan pedoman untuk mengidentifikasi
kondisi di mana manajemen kehamilan dapat digunakan untuk pasien dengan
preeklampsia berat:
(1) Tidak ada istilah preeklampsia sedang – hanya ada ringan atau berat.
(2) Ketika janin dapat dilahirkan dengan aman, segera melakukan proses
persalinan, dengan catatan ada perawatan neonatal yang baik.
(3) Tidak ada manfaat bagi ibu untuk melanjutkan kehamilan ketika sudah
terdiagnosis preeklampsia berat.
(4) Tidak ada pengelolaan konservatif untuk keadaan: terdapat gejala utama
eklamsia, edema paru, gangguan serebrovaskular, oliguria atau gagal ginjal,
kerusakan hati atau gangguan hemopoetik, dan ditandai dengan adanya growth
restriction (hambatan pertumbuhan).
(5) Pengobatan anemia hemolitik, peningkatan enzim hati, dan jumlah trombosit
yang rendah (sindrom HELLP) dengan steroid terbukti meningkatkan
beberapa marker atau tanda dari preeklampsia berat tetapi tidak dapat
memperbaiki keluaran ibu atau janin, sehingga tetap diindikasikan untuk
melakukan persalinan.
(6) Kontrol tekanan darah, tekanan darah sistolik harus kurang dari 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik harus kurang dari 105-110 mmHg.
(7) Mempertahankan kehamilan ketika sudah didiagnosis preeklampsia berat
hanya boleh dilakukan di rumah sakit pusat ketiga dengan memberikan

27
informed consent yang lengkap setelah konseling dengan spesialis
fetomaternal dan neonatologis.
Komplikasi preeklampsia berat pada ibu meliputi edema pulmo, infark
miokardial, acute respiratory distress syndrome, koagulopati, gagal ginjal berat, dan
retinal injury. Komplikasi pada janin dan bayi baru lahir berasal dari insufisiensi
uteroplasenta atau kelahiran prematur, atau bisa dari keduanya (American College
of Obstetrics and Gynecology, 2013).
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara
kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin
masif ( > 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia
berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan,
dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam
waktu singkat (POGI, 2016).

e. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan proteinuria. Diagnosis
eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan gejala
preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak
diragukan.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-gejala oedema,
protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif, antara lain:
nyeri kepala frontal, gangguan visual dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif,
antara lain: hiperreflexia, eksitasi motorik, dan sianosis (Artikasari, 2009).
Diagnosis banding untuk preeklampsia berat antara lain: hipertensi menahun,
penyakit ginjal, dan epilepsi.

f. Penanganan
Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah mencegah kejang, perdarahan
intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat.
1. Preeklampsia Tanpa Gejala Berat
a) Rawat jalan:

28
 Tirah baring (miring) tidak total
Tirah baring posisi miring: menghilangkan tekanan uterus pada vena kava
inferior  meningkatkan aliran darah balik meningkatkan curah jantung 
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital  ginjal: filtrasi glomerolus
meningkat  diuresis meningkat  ekskresi Na meningkat  menurunkan
reaktivitas kardiovaskular  mengurangi vasospasme  menurunkan tekanan darah.
Selain itu, peningkatan curah jantung juga menambah oksigenasi plasenta
sehingga memperbaiki kondisi janin.
 Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia
prenatal.
 Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif.
 Dilakukan pemeriksaan lab: Hb, hematokrit, fungsi hati, fungsi ginjal, dan urin
lengkap.
 Evaluasi ibu dan kesejahteraan janin 2 kali dalam seminggu
b) Rawat inap:
 Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan proteinuria selama 2 minggu.
 Ada satu/ lebih gejala dan tanda preeklampsia berat.
Selama di RS, lakukan:
- Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab.
- Pemeriksaan kesejahteraan janin: USG, Doppler, dan NST.
- Konsultasi ke bagian mata, jantung, dll (Cunningham, 2005; Saifuddin, 2006;
Manuaba, 2007).
- Pada kehamilan preterm (< 37 minggu): bila tekanan darah mencapai normal,
persalinan ditunggu sampai aterm. Pada kehamilan aterm (> 37 minggu):
persalinan ditunggu sampai muncul tanda-tanda persalinan alami. Persalinan
dapat dilakukan secara spontan dengan induksi, bila perlu memperpendek kala
II (Cunningham, 2005; Saifuddin, 2006; Manuaba, 2007).
2. Preeklampsia Berat
Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan pengelolaan
dasar sebagai berikut :
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya : yaitu terapi medikamentosa
dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
29
b. Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya : yang
tergantung pada umur kehamilan.
Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2, yaitu :
1) Ekspektatif ; konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya :
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi
medikamentosa
2) Aktif, agresif ; bila umur kehamilan ≥ 37 minggu, artinya kehamilan
diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Pemberian terapi medikamentosa
1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
3) Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
4) Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.
5) Pemberian MgSO4 dibagi :
- Loading dose (initial dose) : Guideline RCOG
merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g selama 5 – 10
menit
- Maintenance dose : Magnesium sulfat 1-2
g/jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali
terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat.

30
Gambar 2.2 Cara Pemberian MgSO4 (Kemenkes RI, 2013).

6) Anti hipertensi
Diberikan : bila tensi ≥ 160/110
Jenis obat: Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum
120 mg dalam 24 jam.
 Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual)
karena absorbsi yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.
Desakan darah diturunkan secara bertahap :
1. Penurunan awal 25% dari desakan sistolik
2. Desakan darah diturunkan mencapai :
3. - < 160/105
- MAP < 125
 Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara
IV selama 5 menit, bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5
mg selama 5 menit. Bila masih gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi
dengan dosis 15 mg selama 5 menit.
7) Diuretikum
Diuretikum yang diberikan hanya atas indikasi :
a. Edema paru

31
b. Payah jantung kongestif
c. Edema anasarka
8) Diet
Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang
berlebih, batasi cairan yang masuk ke dalam tubuh (POGI, 2010).

g. Komplikasi
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam bentuk
kemungkinan:
1) Perdarahan subkapsular
2) Perdarahan periportal sistem dan infark liver
3) Edema parenkim liver
4) Peningkatan pengeluaran enzim liver (Manuaba, 2007).
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari kemampuan
sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk
kelainan patologis sebagai berikut:
 Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
 Iskemia yang menimbulkan infark serebal
 Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
 Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
 Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula Oblongata
(Manuaba, 2007).
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utamaialah melahirkan
bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia.

h. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,8 – 20,5%,
sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2–48,9%. Kematian ini disebabkan
karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, di samping itu penderita eklampsia
biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan
otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal, dan aspirasi cairan lambung. Sebab
kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intrauterin (Artikasari, 2009).

32
2. Sepsis
a. Definisi
Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk dan pertama
kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM). Kemudian pada
tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan “septicaemia” sebagai
penyakit yang disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam aliran darah. Walaupun dengan
adanya penjelasan tersebut, istilah seperti “septicaemia:, sepsis, toksemia dan bakteremia
sering digunakan saling tumpang tindih (Mehta dan Kochar, 2017). Oleh karena itu
dibutuhkan suatu standar untuk istilah tersebut dan pada tahun 1991, American College of
Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critical Care Medicine (SCCM) mengeluarkan
suatu konsensus mengenai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, dan
sepsis berat. Sindrom ini merupakan suatu kelanjutan dari inflamasi yang memburuk
dimulai dari SIRS menjadi sepsis, sepsis berat dan septik syok (Mayr, Yende, Angus.,
2013).
Dan pada bulan Oktober tahun 1994 European Society of Intensive Care Medicine
mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis-related organ failure assessment
(SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan seobjektif mungkin tingkat
dari disfungsi organ. 2 hal penting dari aplikasi dari skor SOFA ini adalah: (Vincent et al.,
1996)
1. Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ dan
hubungan antara kegagalan berbagai organ.
2. Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ.
Sepsis adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat
berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik. Kriteria untuk diagnosis sepsis dan
sepsis berat pertama kali dibentuk pada tahun 1991 oleh American College of Chest
Physician and Society of Critical Care Medicine Consensus (gambar 2.3). (Mayr, Yende,
Angus., 2013)

33
Gambar 2.3. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasarkan
Konsensus Konfrensi ACCP/SCCM 1991.

Salah satu kriteria SIRS yang ditemukan pada pasien adalah leukositosis.
Leukositosis adalah peningkatan jumlah sel darah putih (leukosit) melebihi kadar normal
di dalam darah yaitu 11.000/mm³ (Gandasoebrata, 2007). Leukositosis pada wanita hamil
adalah peningkatan jumlah leukosit yang melebihi kadar normal di dalam darah pada
masa kehamilan. Ross (2011) mengatakan bahwa jumlah sel darah putih yang lebih dari
15.000/mm³ merupakan indikasi adanya infeksi pada wanita hamil. Pada wanita hamil,
sebagai kompensasi mengandung janin terjadi peningkatan fisiologis dari leukosit. Efek
ini terjadi akibat toleransi ibu terhadap antigen jaringan asing dari janin yang bersifat
semialogenik (Cunnningham, 2005). Penyebab leukositosis pada wanita hamil antara lain
infeksi virus, infeksi bakteri, dan infeksi protozoa.

b. Patofisiologi Sepsis
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon
pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh (Singer et al., 2016). Bersamaan dengan kondisi
ini, abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh
darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang
akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok (Rivers et al., 2001). Presentasi
pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran,
anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat

34
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi
tanda awal syok dan memulai penanganan awal (Dries, 2014).
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi,
dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan
sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil
dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti
tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen
species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid (Nguyen
et al., 2006). Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan
interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis.
Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai
koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses
trombosis dan inflamasi (Bernard et al., 2001).
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai
hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal
ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang
peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global (Nguyen et al.,
2006). (Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini).

35
Gambar 2.4. Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis, dan
fibrinolisis terhadap infeksi (Bernard et al., 2001).

c. Hubungan leukositosis dengan kehamilan


Peningkatan kadar leukosit pada wanita hamil sering terjadi akibat adanya infeksi
selama kehamilan sebagai respon terhadap agen infeksius (Sutedjo, 2008). Proses
inflamasi akibat agen infeksius ini akan mencetuskan mediator-mediator inflamasi seperti
histamin, sitokin, leukotrien, dan prostaglandin. Hal ini menyebabkan terjadinya reaksi
peradangan dengan perantara sel darah putih untuk melakukan proses fagositosis pada
bakteri. Molekul aktif seperti prostalglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin F2 (PGF2)
terlibat dalam proses kelahiran normal. Dengan adanya proses infeksi, level sitokin dan
PGE2 menjadi meningkat yang dapat menstimulasi terjadinya kelahiran prematur
(Cunningham, 2005).

d. Penanganan
Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama kali
dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada bulan Januari
2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines dipresentasikan pada pertemuan
36
tahunan SCCM dan dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care
Medicine dimana didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru (Backer
dan Dorman, 2017). Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah
resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik
awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana
suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi (Mehta dan Kochar, 2017).
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan komponen
penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya
penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan
antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur dan
identifikasi sumber penularan kuman (Howell dan Davis, 2017). Dan hal ini dilakukan
sesegera mungkin. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik
harus diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai
penelitian yang meunjukkan bahwa penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan
dengan peningkatan resiko kematian (Backer dan Dorman, 2017). Penggunaan
vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin untuk mencapai target MAP ≥
65 mmHg. Penggunaan cairan yang direkomendasikan adalah cairan kristaloid dengan
dosis 30 ml/kgBB dan diberikan dengan melakukan fluid challenge selama didapatkan
peningkatan status hemodinamik berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi,
variasi volum sekuncup) atau statik (tekanan nadi, laju nadi). Pada suatu penelitian yang
dilakukan oleh Bernard et al , penggunaan drotrecogin α (Human Activated Protein C)
menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan sepsis. Protein C yang teraktivasi akan
menghambat pembentukan thrombin dengan menginaktifasi factor Va, VIIIa dan akan
menurunkan respon inflamasi (Bernard et al., 2001).

3. Kala I Fase Aktif Memanjang


Persalinan laten didefinisikan ialah saat ketika ibu mulai merasakan kontraksi yang
teratur. Selama fase ini orientasi kontraksi uterus berlansung bersama perlunakan dan
pendataran serviks. Mekanisme klasik persalinan dapat melibatkan gerakan-gerakan pokok
janin pada presentasi kepala, masuknya janin ke panggul, fleksi, penurunan, rotasi internal,
ekstensi dan rotasi eksternal yang berlangsung terutama selama tahap panggul. Namun,

37
dalam praktek sehari-hari tahap panggul jarang diketahui dengan jelas (Prawirohardjo,
2010).
Kriteria minimum menurut Friedman untuk fase laten ke dalam fase aktif adalah
kecepatan pembukaan serviks 1,2 cm/jam bagi nulipara dan 1,5 cm/jam untuk nulipara.
Ambang ini secara klinis dapat bermanfaat karena mendefinisikan batasa-batas pembukaan
serviks bila telah terlewati dapat diharapkan terjadi persalinan aktif, sehingga jika tidak
terjadi pembukaan yang progresif, dapat dipertimbangkan untuk melakukan intervensi
(Prawirohardjo, 2010).
Kemajuan persalinan pada nulipara memiliki makna khusus karena kurva-kurva
memeperlihatkan perubahan cepat dalam kecuraman pembukaan serviks antara 3-4 cm.
Dalam hal ini, fase aktif persalinan dari segi kecepaan pembukaan serviks, secara konsistensi
berawal saat serviks mengalami pembukaan 3-4 cm. Kemiripana yang agak luar biasa ini
digunakan untuk menentukan fase aktif dan memberi petunjuk bagi penatalaksanaan. Dengan
demikian pembukaan serviks 3-4 cm atau lebih, dengan adanya kontraksi uterus, disebut
sebagai batas awal persalinan aktif, sehingga dapat diketahui berapa lama fase aktif
berlangsung (Prawirohardjo, 2010).
Secara spesifik ibu nulipara yang masuk fase aktif dengan pembukaan 3-4 cm dapat
diharapkan mencapai pembukaan 8-10 cm dalam 3-4 jam, sehingga dapat diperkirakan
bahwa pembukaan lengkap dapat terjadi setelah 4 jam fase aktif (Prawirohardjo, 2010).
Pada fase aktif menurut Friedman, kecepatan penurunan janin diperhitungkan selain
kecepatan pembukaan serviks, dan keduanya berlangsung bersamaan. Penurunan dimulai
pada tahap akhir dilatasi aktif, dimulai pada 7-8 cm pada nulipara dan paling cepat setelah 8
cm. Friedman membagi fase aktif menjadi :
1. Protraksi : kecepatan pembukaan atau penurunan yang lambat.
Pada nulipara : pembukaan serviks < 1,2 cm/jam atau penuruanan < 1cm/jam.
Pada multipara : pembukaan serviks < 1,5 cm/jam atau penurunan < 2cm/jam.
2. Arrest (Partus macet) : tidak adanya perubahan serviks dalam 2 jam dan tidak adanya
penurunan janin dalam 1 jam (Prawirohardjo, 2010).
Faktor yang berperan dalam persalinan yang berkepanjangan atau macet adalah sedasi
berlebihan, anastesi regional, malposisi janin, misalnya oksiput posterior persisten. Pada
persalinan berkepanjangan dan macet, Friedman menganjurkan pemeriksaan fetopelvik
untuk mendiagnosis disproporsi sefalopelvik. Terapi yang dianjurkan pada persalinan yang

38
berkepanjangan adalah menunggu, sedangkan pada persalinan macet ialah pemberian
oksitosin jika tidak ada sefalopelvik disproporsion. Sefalopelvik disproporsion
mengharuskan dilakukan sectio cesaria (Prawirohardjo, 2010).
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists. Kegagalan kemajuan
atau disproporsi sefalopelvik adalah istilah yang kurang tepat, mereka menyimpulkan bahwa
klasifikasi yang lebih praktis dalam membagi kelainan persalinan adalah partus lama dan
partus macet. WHO mengajukan suatu partograf pentalaksanaan persalinan saat partus lama
didefinikan sebagai pembukaan serviks < 1 cm/jam selama minimal 4 jam. American
College of Obtetricians and Gynecologists untuk mendiagnosis partus lama dan partus
macet ialah sebagai berikut :
Pola Persalinan Nulipara Multipara

Persalinan Lama :

- Pembukaan < 1,2 cm/jam < 1,5 cm/jam

- Penurunan < 2cm/jam


< 1 cm/jam
Persalinan Macet ;

- Tidak ada Pembukaan >2 jam >2 jam

- Tidak ada Penurunan > 1 jam > 1 jam

(Prawirohardjo, 2010).

American College of Obstetrician and Gynecologists menyerankan bahwa sebelum ditegakkan


diagnosis kemacetan pada persalianan kala 1, kedua kriteria berikut ini harus terpenuhi :

1. Fase laten telah selesai, serviks membuka 4 cm atau lebih.


2. Sudah terjadi kontraksi uterus sebesar 200 satuan Montevideo atau lebih dalam periode
10 menit selama 2 jam tanpa ada perubahan pada serviks (Prawirohardjo, 2010).

39
BAB III

ANALISIS KASUS

Seorang G3P2A0 usia 33 tahun usia kehamilan 37+5 minggu datang rujukan dari bidan praktek
mandiri ke RS PKU Sruweng dengan keterangan inpartu. Pasien merasa hamil 9 bulan lebih,
gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng sudah dirasakan, gerakan janin masih dirasakan,
air ketuban sudah dirasakan keluar, lendir darah (+). BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat peyakit lain seperti asma, alergi, dan penyakit jantung dan darah tinggi disangkal.
Riwayat obstetri dan fertilitas pasien baik.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama pasien kenceng-kenceng. Kenceng-kenceng
pada perut (his) yang teratur 2x dalam 10 menit merupakan tanda dalam persalinan. Pada pasien
ini his terjadi secara teratur, 2-3 x dalam 10 menit selama 15 detik sehingga dapat dikatakan
pasien ini dalam persalinan. Dari anamnesis juga diketahui terdapat pengeluaran pervaginam
berupa lendir darah. Dari HMPT pasien pada tanggal 7 Desember 2018, dapat diketahui usia
kehamilan pasien 37+5 minggu yang berarti pasien hamil aterm. Seseorang dikatakan hamil aterm
jika usia kehamilannya ≥ 37minggu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg. Tekanan darah pasien
yang tinggi masuk ke kriteria diagnosa Preeklampsia ≥ 140 sistolik atau ≥ 90 mmHg diastolik
dan protein urin > 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstick > positif 1. Sebelumnya pasien
mengaku tekanan darahnya tidak pernah tinggi. Dalam preeklampsia berat menurut onsetnya
dibedakan menjadi 2 yaitu early onset dan late onset. PEB early onset biasanya terjadi pada usia
kehamilan sebelum 34 minggu sedangkan late onset biasanya terjadi pasa usia kehamilan setelah
34 minggu. Pada kasus ini, pasien diduga mengalami PEB late onset karena tekanan darahnya ≥
140/80 mmHg, baru terjadi pada usia kehamilan saat ini. Untuk memastikan diagnosis PEB perlu
dilakukan pemeriksaan uji urinalisa Ewitz. Keluhan pusing, mual muntah, nyeri ulu hati dan
pandangan kabur disangkal pasien, sehingga pasien ini tidak mengalami impending eklampsia.
Pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan palpasi abdomen teraba supel, nyeri tekan (-),teraba
janin tunggal intrauterin, memanjang, punggung kiri, preskep, kepala masuk panggul 2/3 bagian,
his (+) 2-3x/10’/15”, DJJ (+) 140x reguler, TFU 35 cm, TBJ: 3100 gram. Pemeriksaan vaginal
toucher didapatkan v/u tenang, dinding vagina dbn, portio tipis, Ø 8cm, eff 80%, preskep, kepala
turun di Hodge III, selaput ketuban (-), penunjuk sudah dapat dinilai, ubun-ubun kecil pukul 11,
STLD (+), uji lakmus (-). Dari hasil pemeriksaan abdomen dan genital diketahui bahwa pasien
40
dalam persalinan. Dari pemeriksaan abdomen diketahui kepala bayi masuk panggul < 2/3 bagian
kemudian dari pemeriksaan genital ditemukan ada pembukaan pada serviks 8 cm, pendataran
serviks masih 80% dan ada pengeluaran pervaginam yang menandakan bahwa pasien sudah
dalam persalinan kala I fase aktif. Partograf pasien menunjukkan setelah observasi > 2 jam belum
ada kemajuan pembukaan dari pemeriksaan awal sehingga pasien kemungkinan mengalami kala I
lama.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb (14,7 g/dl), hematokrit (44%),
eritrosit (5,02 x106/mm3), leukosit (22.650/mm3) dan trombosit (153.000/mm3). Tingginya angka
leukosit dan nadi pasien didapatkan >90x/menit menunjukkan kondisi pasien kemungkinan
mengalami SIRS dengan sumber infeksi yang dapat disebabkan oleh persalinan lama dan
pecahnya ketuban dalam waktu lama sehingga pasien diduga menderita sepsis. Pemeriksaan
protein urin didapatkan hasil +1. Pemeriksaan USG didapatkan janin tunggal, intrauterurine,
presentasi kepala, DJJ (+), FB: BPD: 9,13, AC: 34,42, FL: 6,58, EFW: 3119 gram, air ketuban
kesan cukup, dan tidak tampak jelas kelainan kongenital mayor, kesan janin dalam keadaan baik.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah diketahui Urea 23,4 dan creatiinin 1,74 (creatinin >1,1
merupakan salah satu kriteria preeklampsia berat), hasil urinalis Ewitz pada pasien ini +1.
Sehingga diagnosis preeklampsia berat dapat digunakan pada pasien ini mengingat bahwa
klasifikasi preeklampsia ringan saat ini sudah tidak digunakan lagi.
Sebelumnya pada pasien ini diberikan terapi protap PEB untuk mencegah pasien jatuh ke
kondisi eklampsia atau impending eklampsia. Adapun protap PEB adalah oksigenasi dengan
nasal kanul 3 liter per menit, infus ringer laktat 12 tetes per menit, injeksi MgSO4 40% 4 gr dalam
15 menit (initial dose) dan injeksi MgSO4 40% 1 gr/jam selama 24 jam (maintenance dose), serta
pemberian nifedipin jika tekanan darah pasien ≥ 160/110 mmHg. Syarat pemberian MgSO4
adalah refleks patella (+), respiration rate 16-20x per menit, jumlah urin minimal 30 cc dalam 4
jam. Selama pemberian MgSO4 urine output pasien harus dikontrol dengan cara pemasangan
kateter dan dihitung balance cairannya. Hal ini dimaksudkan agar pada pasien ini keseimbangan
elektrolit tetap terjaga dan tidak terjadi hipermagnesia. MgSO 4 yang diberikan berfungsi sebagai
profilaksis kejang, tokolitik, antihipertensi dan diuretik. Apabila pasien mengalami keracunan
MgSO4 maka dapat diberikan antidotum kalsium glukonas.
Tindakan dan penanganan dini pada pasien ini adalah:

41
1. Rawat Inap ruang bersalin untuk memudahkan observasi kebidanan. Oleh karena usia
kehamilan pasien ≥ 37 minggu dan didapatkan tanda-tanda persalinan maka pasien harus
dirawat inapkan untuk dilakukan tindakan aktif berupa terminasi kehamilan.
2. O2 nasal kanul 3 lpm sebagai bagian dari protap PEB, untuk menambah supply oksigen ke
ibu dan janin.
3. Protap PEB: Injeksi 4gr MgSO4 40% dilarutkan dalam100 ml NaCl 0,9% diberikan secara
drip selama 15 menit (loading dose). Selanjutnya injeksi MgSO4 40% 1 gr/jam selama 24
jam (maintenance dose). MgSO4 yang diberikan berfungsi sebagai profilaksis kejang,
tokolitik, antihipertensi dan diuretik.
4. Injeksi Ceftriaxon 1gr/12 jam diberikan sebagai antibiotik profilaksis pada sectio
caesarea. Terminasi kehamilan secara SC memiliki risiko kejadian infeksi lebih besar
dibandingkan dengan persalinan pervaginam.
5. Infus metronidazol 500mg/8jam merupakan antibiotik broad spectrum yang jika
dikombinasikan dengan ceftriaxone merupakan salah satu terapi empiris untuk kasus
infeksi intraabdomen.
6. Nifedipin diberikan dengan dosis 3x10 mg (jika MAP ≥ 125 mmHg). Nifedipine tidak
dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual) karena absorbsi yang terbaik
adalah melalui saluran pencernaan makanan.
7. Evaluasi tiap 2 jam. Pemeriksaan abdomen dan vaginal touche pasien didapatkan bahwa
pasien hamil aterm dalam Kala I fase aktif. Pada multipara diharapkan pembukaan serviks
>1,5 cm/jam atau penurunan >2cm/jam. Hal-hal yang dievaluasi meliputi KUVS, His, dan
kemajuan persalinan pasien dengan partograf.
8. Jika jam 14.00 bayi belum lahir, pro SC. Setelah evaluasi hingga pukul 14.00 dan bayi
belum juga lahir, maka pasien kemungkinan mengalami partus macet. Faktor yang
berperan dalam persalinan yang berkepanjangan atau macet adalah sedasi berlebihan,
anastesi regional, malposisi janin, misalnya oksiput posterior persisten. Pada pasien ini
kemungkinan terjadinya partus berkepanjangan atau macet adalah kurang adekuatnya his
dan malposisi janin dengan penunjuk oksiput posterior.
Pada pasien ini kemudian dilakukan terminasi kehamilan dengan SC dan didapatkan
outcome lahir bayi laki-laki secara SC dari G 3P2A0 dengan sepsis, preeklampsia dan kala I
lama. BB 3600 gr, PB 49 cm, Apgar score 7/8/9. Tatalaksana pasien post SC adalah
sebagai berikut;

42
1. Tirah baring 24 jam. Pasien masih dalam pengaruh anestesi sehingga perlu tirah baring
selama 24 jam dan untuk menghindari terbukanya hecting post insisi.
2. IVFD D5% 20 tpm. Infus D5% direkomendasikan untuk profilaksis mual dan muntah
yang disebabkan oleh pengaruh anestesia terutama general anestesi.
3. Inj. Tradyl 2A/drip. 1 ampul mengandung 100mg tramadol HCl dalam 2 ml. Tramadol
memberikan efek analgesik dengan menunjukkan aktivitas agonistik pada μ opioid
receptor (MOR) dan GABA katekolamin pusat dan reseptor serotonergik.
4. Inj. Furamin 1A/ 12jam. Mengandung Fursultiamine HCl yang merupakan turunan tiamin
yang disetujui FDA untuk mengobati kekurangan vitamin B1 dan sangat cepat
dimetabolisme menjadi tiamin. Pemberian furamin ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
vitamin B1 pasien yang menyusui dan membantu kontraksi pasien sehingga perdarahan
pervaginam dapat segera teratasi.
5. Inj. Vit C 1A/12jam. Vitamin C diberikan untuk terapi pasien pasca bedah SC karena
tubuh akan membutuhkan vitamin C lebih banyak pada pasca bedah, dimana vitamin C
sangat penting untuk pembentukan kolagen dan bahan interseluler lain dalam jaringan,
sehingga dapat mempercepat penyembuhan dan untuk masa laktasi.
6. Vit A 1x1. Suplementasi vitamin A dosis tinggi (warna merah) dengan dosis 200 000 IU
harus diberikan kepada ibu nifas karena dapat mencegah infeksi pada ibu nifas, kesehatan
ibu cepat pulih setelah melahirkan, pemberian 1 kapsul vitamin A merah cukup untuk
meningkatkan kandungan vitamin A dalam ASI selama 60 hari dan pemberian 2 kapsul
vitamin A merah diharapkan cukup menambah kandungan vitamin A dalam ASI sampai
bayi berusia 6 bulan (Depkes, 2009).
7. Observasi KUVS dan PPV. Pasien post SC a/i sepsis dan preeklampsia perlu di observasi
kuvs dan jumlah perdarahan pervaginam. Gejala seperti pandangan kabur, nyeri kepala,
mual muntah merupakan salah satu tanda impending eklampsia yang dapat berkembang
menjadi kejang (eklampsia). Perdarahan pervaginam juga perlu di observasi untuk
menghitung balance cairan pasien sehingga kondisi syok hipovolemi akibat perdarahan
post partum dapat dicegah.
8. Cek DR. Monitoring angka leukosit pasien sebagai tindak lanjut dari terapi antibiotik
yang diberikan.

43
DAFTAR PUSTAKA

Amaral L, Cunningham MW, Cornelius DC, LaMarca B. 2015. Preeclampsia: long-term


consequences for vascular health. Dove Press: Vascular Health and Risk Management.11(7):
403–415.

American College of Obstetricians and Gynecologists, 2013, Task Force on Hypertension in


Pregnancy. Hypertension in pregnancy. Report of the American College of Obstetricians and
Gynecologists’ Task Force on Hypertension in Pregnancy. Obstet Gynecol.

Artikasari K. Hubungan antara Primigravida dengan Angka Kejadian Preeklampsia/Eklampsia


di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode 1 Januari–31 Desember 2008; 2009 (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward better care of
patients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8): 807-8.

Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al. Efficacy and
safety of recombinant human activated protein c for severe sepsis. N Eng J Med. 2001; 344
(10): 699-709.

Birawa, A. D., Hadisaputro, H., Hadijono, S., 2009. Kadar D-Dimer Pada Ibu Hamil dengan
Preeklamsia Berat dan Normotensi di RSUP Dr. Kariadi. Semarang.

Corren J, Busse W, Meltzer EO, Mansfield L, Bensch G, Fahrenholz J, Wenzel SE, Chon Y,
Dunn M, Weng HH and Lin SL. 2013. A randomized, controlled, phase 2 study of AMG
317, an IL4Ralpha antagonist, in patients with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2013;
181:788-796.

Cunningham FG. Chapter 34. Hypertensive Disorders In Pregnancy. In Williams Obstetri. 22nd
Ed. New York :Medical Publishing Division, pp: 762-764; 2005.

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Panduan Suplementasi Vitamin A.


Jakarta (ID): Depkes RI

Dries JD, editors. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount Prospect: Third Printing;
2014.

44
Gandasoebrata. 2007. Penuntun Laboratorium. Jakarta : Dian Rakyat.

Howell MD, Davis AM. Management of sepsis and septic shock. JAMA. 2017; 317(8): 847-8.

Hunkapiller, NM and Fisher, SJ. 2008. Chapter 12. Placental Remodelling of The Uterine
Vasculature. Methods Enzymol. 445, 281-302

Karumanchi SA, Stillman IE, Lindheimer MD. 2009. Angiogenesis and Preeclampsia. Semin
Nephrol, 31(1): 33-46

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan Pedoman Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Lim, J.H., et al., 2008. Intercellular Adhesion Molecule-1 Gene Polymorphism (K469E) in Korea
Preeclamptic Women. J Genetics Med 5(2):105-110.

Magee LA, von Dadelszen P, Rey E, Ross S, Asztalos E, Murphy KE, Menzies J, Sanchez J,
Singer J, Gafni A, Gruslin A, Helewa M, Hutton E, Lee SK, Lee T, Logan AG, Ganzevoort
W, Welch R, Thornton JG, Moutquin JM. Less‐tight versus tight control of hypertension in
pregnancy. N Engl J Med. 2015;372:407–417

Manuaba IBG. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31; 2007

Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis. Virulence. 2013; 5(1): 4-11

Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical Care TSS. 2017; 1(1): 3-
5.

Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al. Severe sepsis
and septic shock: review of the literature and emergeny department management guidelines.
Annals of Emergency Medicine. 2006; 48(1): 28-50.

Norwitz ER, Funai EF Expectant Management of Severe preecampsia at less than 27


weeks`Gestation : maternal and perinatal outcomes according to gestational age by weeks at
Onset of Expectant Management, Am J obstet Gynecol 2008; 199:209-212.

45
POGI (2010). Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.
http://www.pogi.or.id/pogi/app/webroot/upload/downloadfile/a2a69f846d41c0a7e9a1a2757d
6b8ba8_hipertensidalamkehamilanhkfmpogiprotaphipertensidalamkehamilan.docx

POGI., 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Preeklampsia. Himpunan Kedokteran


Fetomaternal.

Prawirohardjo, S., 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Rivers, E, Nguyent B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al. Early goal directed
therapy in the treatmenr of severe sepsis and septic shock. N Eng J Med. 2001; 345 (19):
1368-77.

Roeshadi, R, H., 2006. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu Pada
Penderita Preeklamsia dan Eklamsia. USU repository. Medan: USU. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/721/1/Haryono.pdf

Ross MG, Monsano RZ, Smith CV, Talavera F, Gaupp FB. 2013. Fetal growth restriction.
http://emedicine.medscape.com/article/261226overview#showall

Saifuddin AB, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta
: YBPSP, pp: M37-9; 2006.

Sibai BM, Barton JR: Expectant management of severe preeklampsia remote from term: Patient
selection, treatment, and delivery indications. Am J Obstet Gynecol, 2007: 196:514.e1-
514.e9.

Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et al. The third
international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA. 2016: 315
(8): 801-10.

Suppo LM, Rugolo DS, Bentlin MR, Petean C E, & Trindade. 2011. Preeclampsia : Effect on the
Fetus and Newborn, 12. hal. 199.

Turner, J.A., 2010, Diagnosis and Management of Preeclampsia: An Update, International


Journal of Women’s health, 2, 327-337

46
Uzan, J., et al, 2011. Pre-eclampsia: pathophysiology, diagnosis, and management.International
Journal of Women’s Health. 7:467- 474

Vikram, Talaulikar, & Arulkumaran, Sabaratnam. (2015). Vaginal Birth After Caesarean Section.
Obstetrics, Gynaecology and Reproductive Medicine.

Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willatts S, De Mendonca A, Bruining H, et al.The SOFA


(sepsis-related organ failure assessment) score to describe organ dysfunction/ failure.
Intensive Care Med. 1996; 22: 707-10.

47

Anda mungkin juga menyukai