Anda di halaman 1dari 135

CLINICAL PSYCHOLOGY PATHWAY

DALAM PEMERIKSAAN
PSIKOLOGI KLINIS
(Barbara L. Ingram)
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 1


1.1 DEFINISI PSIKOLOGI
KLINIS
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin.
DEFINISI PSIKOLOGI KLINIS
• American Psychology Association, divisi klinis (APA, 1935)
menjabarkan definisi psikologi klinis sebagai berikut:
“Psikologi Klinis adalah bentuk aplikasi psikologi yang bertujuan
untuk mendefinisikan kapasitas dan karakteristik perilaku individu
melalui metoda pengukuran, analisa dan observasi; yang berdasar
pada integrasi penemuan – penemuan dari data yang diterima dari
pemeriksaan fisik, dan riwayat hidup, serta memberikan saran dan
rekomendasi untuk penyesuaian yang sewajarnya dari individu”
Lanjutan…
• Definisi tersebut menggarisbawahi pendekatan ilmiah untuk
psikolog klinis berperan sebagai konselor professional.

• Atribusi umum dari psikolog klinis adalah psikolog telah dilatih


menggunakan pedoman dan dibekali pengetahuan tentang
psikologi dalam pekerjaan profesionalnya untuk memahami
individu dengan kompleksitas bawaannya dan kemampuan
menyesuaikan diri dengan beradaptasi secara berkelanjutan.
Lanjutan…
• APA, menyatakan makna Psikologi Klinis dalam ungkapan
perkembangan dari definisi tersebut di atas adalah:
“Psikologi klinis memusatkan perhatian pada aspek intelektual,
aspek emosional, aspek biologis, aspek psikologis, aspek sosial,
dan aspek perilaku dari fungsi kemanusiaan, sepanjang masa
kehidupan manusia dalam berbagai budaya dan berbagai taraf
sosio-ekonomi (APA Divisi 12, 1992)”
1.2 PERANAN PSIKOLOGI
KLINIS
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin.
PERANAN PSIKOLOGI KLINIS
• Psikolog klinis berperan sebagai ilmuan dan
profesional.
• Garfield dan Kurtz (1976a) menerangkan peran
psikolog klinis terbagi menjadi enam peran, yakni:
1. Terapis;
2. Asessor;
3. Pengajar;
4. Konselor;
5. Administrator, dan;
6. Peneliti.
Pengantar Penggunaan
Hipotesis Klinis Inti dalam
Membuat Formulasi Kasus Klinis
(Barbara L. Ingram, Ph.D)
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 8


• Hipotesis Klinis Inti merupakan “ide eksplanasi tunggal
yang membantu terapis untuk membuat struktur data
mengenai klien, sehingga dapat membantu pemahaman
yang lebih baik, pengambilan keputusan, dan pemilihan
treatment”

• Setiap orientasi teoritis dapat diturunkan menjadi hipotesis


inti.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 9


• Formulasi kasus integratif merupakan hasil dari
kombinasi hipotesis dari berbagai model teoritis dan
level of functioning (biologis, psikologis, sosial)

• Rencana treatment harus secara logis sesuai dengan


hipotesis yang dipilih, dan berfokus pada penyelesaian
dari masalah yang diidentifikasi, serta mencapai
tujuan yang spesifik.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 10
7 KATEGORI REFERENSI HIPOTESIS KLINIS
DINAMIKA PSIKOLOGIS
Haruskah kita fokus pada
Apakah Darurat? TIDAK TIDAK Lingkungan (SC7)
aspek-aspek manusia?
IYA

IYA
Darurat (CS1) Individual Fokusnya apa? Sosial

Krisis, Sosial,
Perilaku & Eksistensi &
Stresor, Tubuh & Psikodinamik Budaya &
Kognitif (C) Perasaan Keagamaan
Transisi, & Emosi (BE) (P) Lingkungan
(BL) (ES)
Trauma (CS) (SC)

Stresor Perspektif Anteseden & Sistem


Penyebab Isu Eksistensi Bagian Dalam
Situasional Metakognitif Konsekuensi Keluarga (SC1)
Biologis (BE1) (ES1) Diri (P1)
(CS2) (C1) (BL1)
Isu Budaya
Transisi Terbatasnya Respon Emosi Kebebasan & (SC2)
Intervensi Pola Berulang
Perkembangan Peta Kognitif Yang Tanggung
Medis (BE2) (P2) Dukungan
(CS3) (C2) Terkondisikan Jawab (ES2)
Sosial (SC3)
(BL2)
Kehilangan & Hubungan Penurunan Dimensi Penurunan
Peran & Sistem
Berkabung antara Pikiran- dalam Penurunan Keagamaan dalam Kapasitas
Sosial (SC4)
(CS4) Tubuh (BE3) Pemrosesan Kemampuan (ES3) Diri & Relasi (P3)
Kognitif (C3) Diri (BL3) Masalah Sosial adalah
Fokus penyebabnya (SC5)
Trauma (CS5) Dinamika Tak
Emosional Disfungsional
Sadar (P4) Peran Sosial dari
(BE4) Self-talk (C4) Pasien (SC6)
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 11
Tujuh Kategori Hipotesis
I. Hipotesis Biologis (BE)
II. Krisis, Situasi Stres, dan Transisi (CS)
III. Model Pembelajaran dan Perilaku (BL)
IV. Model Kognitif (C)
V. Model Eksistensial dan Spiritual (ES)
VI. Model Psikodinamik (P)
VII. Faktor Sosial, Kebudayaan, dan Lingkungan (SC)

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 12


KETERAMPILAN DALAM MENGGUNAKAN
HIPOTESIS

Dalam Membuat Formulasi Kasus Klinis:

• Pengetahuan Mengenai Hipotesis

• Brainstorming

• Memilih Hipotesis yang Tepat


Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 13
PENGETAHUAN MENGENAI HIPOTESIS
Terapis perlu mengetahui data yang konsisten maupun yang tidak
konsisten dengan setiap hipotesis. Dibutuhkan waktu untuk dapat
memahami seluruh (28) hipotesis. Formulasi awal harus menggunakan
hipotesis yang telah familiar dengan terapis. Kapanpun terapis
mendapatkan materi kasus, buatlah daftar hipotesis dan review
kembali arti dari setiap hipotesis dan kecocokannya dengan kasus.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 14


BRAINSTORMING
Dengan melakukan review terhadap seluruh daftar hipotesis
dan mengeluarkan hipotesis yang tidak cocok, terapis akan
menghadapi daftar yang berisi berbagai kemungkinan, lebih
dari yang akan digunakan dalam formulasi. Formulasi awal
sebaiknya bersifat inklusif. Proses brainstorming membantu
terapis untuk menghadapi kecenderungan untuk melihat
apa yang ingin dilihat.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 15
MEMILIH HIPOTESIS YANG TEPAT
Terapis telah siap untuk memilih dan hanya menggunakan
hipotesis yang akan mengarah pada perencanaan treatment
yang paling efektif. Terapis perlu menuliskan satu atau dua
kalimat untuk menjelaskan bagaimana hipotesis dapat
dijelaskan. Kemudian, terapis perlu menuliskan beberapa ide
treatment yang berfokus pada penyelesaian masalah dan
pencapaian tujuan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 16
Keterampilan dalam Menggunakan Hipotesis

Dalam Membuat Stuktur Interview Awal dengan Klien Baru:

• Persiapan interview

Pertama, terapis harus mampu mendengarkan klien,


memberi perhatian pada proses, dan menentukan
hipotesis awal yang tepat.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 17


• Kedua, terapis perlu mengetahui bagaimana cara untuk
memformulasikan pertanyaan, atau menenggunakan strategi
lain untk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk
mendukung atau menyanggah hipotesis.
• Keterampilan ini dapat dipelajari dengan mengamati sesi
konseling orang lain, baik secara langsung atau video,
menggunakan sketsa klinis, atau melakukan latihan dengan
transkrip.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 18
Pelaksanaan Interview
• Interview dimulai dengan pertanyaan terbuka, sehingga data bisa
didapatkan tanpa keterlibatan hipotesis yang dimiliki oleh terapis.
Ketika terapis telah menemukan hipotesis awal yang tepat, terapis
dapat mengumpulkan data dengan cara yang objektif untuk menguji
ketepatan hipotesis. Terapis dapat terus melakukan hal ini, dengan
melibatkan empati dan ketekunan, hingga mereka dapat menentukan
hipotesis mana yang tepat sesuai dengan data, atau yang
membutuhkan pemeriksaan lanjutan.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 19


Kesabaran dan Kemampuan Memilih
Kesalahan umum yang biasa terjadi adalah ketika terapis
langsung mengikuti ide yang terpikirkan saat itu juga.
Terapis harus mampu menyimpan data dalam pikirian, dan
menyaring hipotesis yang tepat, tanpa menunjukkan setiap
ide secara verbal kepada klien. Sering kali, informasi yang
dibutuhkan oleh terapis datang secara spontan ketika
terapis menunda pemberian direct question.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 20
BE1 Biological Cause

• Klien membutuhkan inervensi medis untuk


melindungi nyawanya dan mencegah kemunduran
atau kebutuhan bantuan psikososial dalam
menghadapi penyakit, disabilitas atau keterbatasan
biologis.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 21


• Hipotesis ini berlaku pada berbagai masalah fisik yang
menghasilkan gejala dan pelemahan psikologis, termasuk stroke,
tumor otak, cidera tulang belakang, sindroma Alzheimer,
keracunan, pengaruh alkohol dan obat-obatan, AIDS, kekurangan
vitamin, dan gangguan endokrin. Hipotesis ini digunakan ketika
klien membutuhkan bantuan coping untuk menghadapi kondisi
medis atau disabilitas fisik, atau dalam menghadapi keterbatasan
sumber biologis, seperti genetik atau penuaan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 22
BE2 Medical Interventions
• Klien menggunakan intervensi medis seperti obat-obatan,
operasi, dan prostetik yang perlu dipertimbangkan.

• Penggunaan utama dari hipotesis ini adalah ketika klien


terindikasi menggunakan obat-obatan psikotropika untuk
gangguan psikiatrik. Intervensi medis lain (operasi, penggunaan
peralatan atau prostetik) dan intervensi dari obat alternatif dapat
digunakan untuk mengurangi gejala psikologis.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 23


BE3 Mind-Body Connections
• Pemahaman holistik terhadap koneksi pikiran dan tubuh
mengarah pada treatment masalah psikologis yang
berfokus pada tubuh, dan treatment masalah fisiologis
yang berfokus pada pikiran.

• Hipotesis ini tepat digunakan pada klien yang terklasifikasi


sebagai somatizer, berbagai jenis stres dan keluhan
ketegangan, serta gangguan seksual.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 24
• Klien sering kali membutuhkan peningkatan kesadaran dan
kontrol terhadap tubuh, dan mengembangkan kesadaran
somatis terhadap perasaan. Banyak terapis body-centered
yang dapat membantu masalah psikologis. Keadaan
psikologis dapat mempengaruhi otak, sistem saraf otonom,
dan sistem imun. Masalah kesehatan, seperti kanker dan
AIDS, dapat terbantu dengan keadaan mental yang positif.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 25


BE4 Emotional Focus
• Permasalahan melibatkan emotional focus untuk
membantuk klien meningkatkan kesadaran, penerimaan,
pemahaman, ekspresi, dan regulasi perasaan.

• Pengalaman subjektif yang berkaitan dengan emosi


melibatkan integrasi antara sensasi pada tubuh dan label
kognitif.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 26


• Tanpa melibatkan faktor budaya, balita mengalami emosi
dasar yang sama. Anak-anak membutuhkan orang dewasa
untuk mengajari mereka bagaimana cara memberi label
pada perasaan, dan pengalaman kelekatan positif di awal
kehidupan menyediakan fondasi dari regulasi emosi.
Pengalaman sosialisasi dapat mengarah pada supresi
perasaan, termasuk “affect phobia”.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 27


CS1 Emergency
• Gejala klien termasuk dalam keadaan darurat jika ia
membutuhkan penanganan segera.

• Hipotesis ini harus selalu dipertimbangkan dalam sesi


pertama karena dapat memunculkan konsekuensi
negatif yang parah jika tidak ada tindakan yang
dilakukan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 28
• Hipotesis ini juga dapat diterapkan ketika pasien perlu
dirawat di rumah sakit, dan ketika dibutuhkan
tindakan hukum seperti pelaporan terhadap
kekerasan. Selain itu, hipotesis ini juga tepat untuk
klien yang akan melakukan tindakan impulsif yang
tidak dapat dibatalkan.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 29


CS2 Situational Stresor
• Gejala yang dialami klien merupakan hasil dari stresor
situasional yang baru terjadi, atau berasal dari
kejadian traumatik di masa lalu.
• Penting untuk melakukan evaluasi apakah gejala dan
gangguan pada klien proporsional dengan tingkat
stres.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 30
• Terapis harus melakukan spesifikasi terhadal stressor eksternal,
mulai dari trauma yang mengancam nyawa hingga akumulasi
dari ketidaknyamanan sehari-hari, serta mengukur seberapa
parah tingkat stres tersebut secara objektif. Teknik intervensi
krisis dapat mencegah reaksi krisis berkembang menjadi
gangguan jangka panjang. Penyintas dewasa dari kekerasan
dan trauma pada masa kecil, serta individu dengan PTSD,
membutuhkan modalitas penanganan khusus.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 31
CS3 Developmental Transition
• Klien yang sedang dalam masa transisi perkembangan,
menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan
perpindahan menuju tahap kehidupan yang selanjutnya.
• Setiap 5 hingga 10 tahun, transisi perkembangan tidak dapat
dihindari karena adanya interaksi antara kematangan biologis,
perkembangan kepribadian, dan ekspektasi peran dari
lingkungan sosial untuk usia yang berbeda-beda.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 32


• Hipotesis ini menormalisasi gangguan dramatis dan
mengarah pada intervensi yang mencegah krisis
maturasi berkembang menjadi gangguan jangka
panjang. Individu membutuhkan dukungan untuk
membuat pilihan personal dan memenuhi tugas
perkembangan sesuai dengan jangka waktu mereka.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 33


CS4 Loss & Bereavement
• Klien mengalami kehilangan dan membutuhkan bantuan selama

masa berduka, atau masalah yang berkaitan dengan kehilangan.

• Kehilangan dapat terjadi secara eksternal (kematian, perceraian,

bencana alam), internal (kehilangan kemampan karena penyakit

atau penuaan), atau kombinasi (kehilangan pekerjaan memicu

kehilangan identitas sebagai pencari nafkah).

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 34


• Pengetahuan mengenai tahapan berduka akan
berguna selama perbedaan individual dan budaya
dalam berduka telah diketahui. Terkadang
kehilangan merupakan penyebab yang
mempercepat gejala emosional, namun terkadang
klin tidak menyadari hubungan antara keduanya.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 35


CS5 Trauma
• Klien telah mengalami trauma.

• Terapis menghadapi penyintas trauma dalam beberapa


kategori: trauma terjadi baru-baru ini, atau masih berlangsung
(bencana alam, kriminal, pertempuran); klien mendeskripsikan
trauma masa lalu dan dampak yang masih dirasakan (individu
dengan PTSD atau fobia); atau trauma terjadi pada masa keil
dan mengakibatkan distres atau gangguan pada saat ini.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 36
BL1 Antecedents & Consequences

• Analisis perilaku terhadap perilaku bermasalah


dan perilaku yang diharapkan harus
mengandung informasi mengenai anteseden dan
konsekuensi yang dapat membantu perancangan
intervensi.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 37
• Analisis perilaku yang komprehensif perlu mengungkapkan anteseden
dan konsekuensi dari perilaku. Hipotesis spesifik mengenai hubungan
antara variabel akan mengarah pada strategi perubahan perilaku.
Aplikasi dari prinsip-prinsip teori belajar akan mengarahkan pada
eliminasi perilaku bermasalah, dan pembentukan serta pemeliharaan
perilaku yang diharapkan. Dalam melakukan analisis perilaku, terapis
perlu melakukan asesmen mengenai skill yang diharapkan dalam
repertoar, atau, jika tidak, perlu melibatkan BL3.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 38


BL2 Conditioned Emotional Responses

• Respon emosional terkondisi (cemas, takut, marah,


atau depresi), merupakan akar dari emosi yang
meluap-luap, perilaku menghindar, atau mekanisme
maladaptif dalam menghindari emosi yang
menyakitkan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 39
• Respon emosional yang intens tidak hanya melibatkan
stimulusi dari lingkungan saat ini, namun juga melibatkan
pembelajaran yang melibatkan classical conditioning.
Treatment yang dilakukan membutuhkan proses belajar yang
baru: extinction dari emosi yang bermasalah, serta
counterconditioning respon emosi yang lebih adaptif.
Individu mungkin saja menghindari situasi dan pengalaman
yang menggugah perasaan yang tidak menyenangkan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 40
BL3 Skill Deficits

• Masalah yang terjadi berakar dari kurangnya keterampilan,


baik dalam bentuk ketiadaan keterampilan yang
dibutuhkan, atau kurangnya kompetensi dalam
menerapkan keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan
untuk mencapai tujuan.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 41


• Hasil yang diharapkan berupa adanya peningkatan atau
penambahan keterampilan atau kompetensi. Treatment yang
dilakukan melibatkan pembuatan kesempatan untuk proses
belajar yang baru, terapis dapat berfungsi sebagai guru, coach,
dan role-model. Banyak permasalahan yang pada awalnya
dipandang sebagai patologi, kini dapat dipandang sebagai
kurangnya keterampilan. Terapis sebaiknya tidak menetapkan
tujuan untuk melakukan stabilisasi atau pemeliharaan, namun
lebih bertujuan untuk perbaikan atau pemulihan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 42
C1 Metacognitive Perspective

• Klien dapat memanfaatkan perspektif metakognitif.

• Metakoginitif berarti “berpikir tentang berpikir”. Pada

tingkat pemikiran ini, individu memiliki kesadaran terhadap

pengalaman internal (perasaan, pikiran, sensasi) tanpa

harus bereaksi terhadap hal-hal tersebut.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 43


•Bertolak belakang dengan hipotesis lain yang
berkaitan dengan metakognisi dalam kategori
ini, hipotesis ini meminimalisir perhatian
terhadap isi dari pemikiran, dan berfokus pada
kesadaran dan kontrol seseorang terhadap
strategi kognitifnya.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 44
C2 Limitation of Cognitive Map
• Membatasi dan mengabaikan elemen dalam
kesalahan peta kognitif (skema maladaptif,
asumsi, aturan, belief, dan narasi) dapat
menimbulkan masalah atau mencegah
pembentukan solusi.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 45
• Terapis perlu membantu klien untuk memodifikasi aspek
pemikiran mereka, bukan karena standar benar atau salah,
namun karena kesalahan peta kognitif membatasi pilihan,
menimbulkan rasa sakit, dan mempengaruhi proses memenuhi
kebutuhan, mencapai tujuan, dan menikmati hidup. Skema
maladaptif, asumsi, aturan, beliefs, self-fulfilling prophecies,
dan naratif personal perlu diidentifikasi, dievaluasi, ditantang,
dan direvisi.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 46


C3 Deficiencies in Cognitive Processing

• Klien menunjukkan kesalahan pemrosesan


informasi (overgeneralisasi, pemikiran all-or-
nothing, dan membaca pikiran), aatau terbatas
karena gaya kognitif yang tidak fleksibel.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 47


• Menjalani hidup yang efektif membutuhkan kemampuan untuk
mempersepsikan data pengalaman secara akurat, dan perubahan
skema yang bertujuan untuk mengakomodasi pengalaman baru.
Pemrosesan informasi yang adaptif melibatkan aplikasi dari
penggunaan logika, penerapan metode saintifik, dan kesediaan untuk
mencari validasi dari pikiran, dari percobaan atau realita konsensual
dari orang lain. Permasalahan dapat disebabkan oleh kurangnya
kemampuan kognitif, atau gaya kognitif yang tidak sesuai dengan
konteks dan tujuan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 48
C4 Dysfunctional Self-Talk

• Permasalahan digugah atau dipertahankan oleh


dysfunctional self-talk dan dialog internal.
• Terdapat berbagai bentuk self-talk (self-messages,
internal speech, internal voices, pemikiran otomatis,
atau monolog interior).
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 49
• Self-talk yang disfungsional dapat menyebabkan
perasaan menyakitkan dan perilaku maladaptif.
Terkadang, individu sangat menyadari self-talk
yang ia lakukan, namun terkadang, terapis perlu
melakukan probing untuk menemukan inner
speech.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 50
ES1 Existential Issues
• Klien berjuang menghadapi isu eksistensial, termasuk
pencarian filosofis fundamental mengenai tujuan dan arti
kehidupan.
• Contoh dari isu eksistensial meliputi tujuan dan arti
kehidupan, kehidupan dan kematian, dan basic human
isolation.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 51
• Dalam menggunakan hipotesis ES1, terapis menyadari bahwa
setiap individu perlu menemukan jawaban mereka sendrii.
Kecemasan merupakan bagian normal dari kehidupan, dan
rasa sakit dalam menghadapi isu-isu ini tidak dapat dieliminasi.
Terapis harus menghindari peran guru atau ahli, daripada itu,
terapis merupakan teman yang juga menghadapi isu yang
sama. (Pengambilan keputusan, yang melibatkan kebebasan,
tanggung jawab, pilihan, keberanian, dan komitmen, tergolong
pada ES2)
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 52
ES2 Freedom & Responsibility
• Klien menghindari kebebasan dan kemandirian yang menyertai
masa kedewasaan, dan tidak menerima tanggung jawab atas
pilihannya pada saat ini maupun di masa lalu.
• Klien membutuhkan bantuan untuk membuat pilihan yang baik,
untk dapat maju menuju tujuan yang positif, dan membuat
komitmen. Mereka perlu membedakan antara keterbatasan yang
nyata, dan keterbatasan yang berasal dari diri mereka sendiri.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 53


• Beberapa individu menolak untuk bertanggung jawab terhadap perilaku
mereka di masa lalu, dan menyalahkan diri mereka terhadap kejadian yang
berada diluar tanggung jawab mereka. Perilaku menghindari kebebasan
dapat tampak dalam berbagai bentuk: ilusi masa kecil yang menetap,
menyalahkan orang lain, dan bergantung pada orang lain yang
menyediakan bantuan. Ketika klien siap untuk bertanggung jawab terhadap
perilakuanya, mereka mungkin membutuhkan bantuan dalam menilai
klarifikasi, pengambilan keputusan, perencanaan, dan penerapan dari
rencana yang mereka buat.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 54


ES3 Spiritual Dimension
• Inti dari permasalahan dan/atau sumber daya yang
dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan berada pada
dimensi spiritual dari kehidupan, yang mungkin melibatkan
agama.
• Penerapan penting dari hipotesis ES3 adalah ketika klien
menghadapi isu religiusitas, termasuk dalam hubungan
mereka dengan Tuhan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 55
• Istilah “spiritual” dapat diterapkan dalam berbagai
pengalaman, beliefs, dan aktifitas. Klien yang menghadapi
kematian, dilema moral dan keterbatasan kreatifitas sering
kali dapat terbantu melalui fokus spiritual. Aktifitas dari
agama Ketimuran (meditasi, mindfullness) dan agama
Kebaratan (berdoa, membaca Bible), dapat dilibatkan
dalam terapi. Rujukan atau kolaborasi dengan pemuka
agama dapat menjadi hal yang tepat.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 56
P1 Internal Parts

• Permasalahan dapat dijelaskan melalui bagian-bagian


internal dan subkepribadian yang perlu didengar,
dipahami, dan dikoordinasikan.
• Menyadari adanya bagian-bagian internal dan
subkepribadian dalam diri merupakan hal yang wajar dan
bukan merupakan patologi.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 57
• Permasalahan bersumber dari kurangnya kesadaran dan
komunikasi antar bagian internal, konflik antar bagian,
supresi terhadap salah satu bagian, dan dominansi dari salah
satu bagian tertentu. Permasalahan dapat diselesaikan
dengan meningkatkan kesadaran antar bagian serta
dinamikanya, mendorong proses kelompok internal yang
sehat, dan menetukan tujuan spesifik untuk setiap bagian.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 58


P2 Recurrent Pattern

• Permasalahan merupakan kembalinya pengalaman masa


kecil: Perasaan dan kebutuhan dari masa kecil teraktivasi
kembali dan pola dari keluarga asal terulang kembali.

• Pengalaman masa kecil dapat mempengaruhi


keberfungsian orang dewasa secara mendalam.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 59


• Banyak permasalahan orang dewasa dapat dipahami sebagai usaha
untuk menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan yang belum
terpenuhi di masa kecil. Hubungan dengan orang tua dan orang
signifikan lain dalam keluarga dapat menjadi template dari relasi yang
dibangun ketika dewasa. Insight mengenai pola yang berulang
mungkin kurang disadari, klien mungkin perlu mengalami dan belajar
untuk menoleransi emosi yang menyakitkan dan mengubah gaya
relasi yang bertujuan untuk melindungi dirinya.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 60


P3 Immature Sense of Self and Conception of
Others
• Kesulitan berasal dari kegagalan klien dalam melampaui
ketidakdewasaan diri dan gambaran mengenai orang lain, yang
wajar terjadi pada anak kecil.
• Orang lain tidak diapresiasi sebagai individu unik yang memiliki
kebutuhan, perasaan, dan perspektif yang berbeda, namun
dipandang sebagai perpanjangan diri dan dinilai berdasarkan
fungsi yang mereka berikan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 61
• Klien membutuhkan orang lain untuk menopang
self-esteem dan meredakan emosi yang
menyakitkan. Ia kurang mampu untuk mengatasi
hal-hal tersebut dengan dirinya sendiri. Berdasarkan
asesmen mengenai kapasitas dan ketidakmampuan
dari orang dewasa, terapis dapat menemukan pada
tahap kanak-kanak mana maturasi terhambat.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 62
P4 Unconscious Dynamics

• Gejala dari permasalahan dapat dijelaskan


melalui dinamika bawah sadar. Adanya pikiran
atau emosi yang tidak muncul ke kesadaran
karena adanya mekanisme pertahanan.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 63


• Penderitaan klien berasal dari perilaku irasional dan self-
defeating, atau gejala distres yang tidak dapat dibantu oleh
intervensi biasa. Permasalahan ini dapat berasal dari
konflik bawah sadar atau respon perlindungan diri
terhadap kejadian traumatis. Mekanisme pertahanan
berfungsi untuk menjaga konflik dan afek tidak
menyenangkan tidak muncul ke kesadaran.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 64


SC1 Family System
• Permasalahan perlu dipahami dalam konteks sistem
keluarga secara keseluruhan.
• Gejala dari pasien yang teridentifikasi dapat
diakibatkan dari keluarga atau kekurangan dalam
struktur keluarga, peraturan, tingkat diferensiasi
emosi, atau pola komunikasi.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 65
• Ketika gejala bertujuan untuk mencapai homeostasi
dalam keluarga, perbaikan dari klien dapat
menghasilkan gejala pada anggota keluarga yang lain.
Oleh karena itu, seluruh anggota keluarga perlu
ditangani bersama, sehingga perubahan dapat terjadi
pada sistem secara keseluruhan.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 66


SC2 Cultural Issues

• Pengetahuan terhadap konteks kebudayaan


diperlukan unk memahami permasalahan
dan/atau membuat rencana treatment yang
sensitif terhadap norma, aturan, dan nilai dari
kelompok kebudayaan klien.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 67
• Identitas kebudayaan klien dan pengalaman hidup
dalam kebudayaan tertentu perlu diberi perhatian.
Tahapan akulturasi dari individu, serta anggota
keluarga, akan menjadi faktor penting. Terapis perlu
memahami bias dalam diri mereka dan memahami
bagaimana pengaruh budaya mempengaruhi relasi
terapeutik.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 68
SC3 Social Support

• Permasalahan disebabkan atau didukung oleh


kurangnya dukungan sosial.
• Dukungan sosial memiliki peran penting dalam
mencegah permasalahan kesehatan mental, seperti
depresi.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 69
• Kualitas dari relasi sosial individu dapat sangat
mempengaruhi cara mereka coping dengan stres dan
resiliensi dalam menghadapi trauma. Isolasi sosial
dapat menjadi penyebab maupun dampak dari
permasalahan. Individu memiliki kebutuhan dukungan
sosial dan kebutuhan menyendiri yang berbeda-beda.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 70


SC4 Social Roles & Systems
• Kesulitan dalam memenuhi performa peran sosial
berkontribusi dalam distress dan disfungsi pada klien.

• Konsep peran sosial membutuhkan perhatian diluar


bidang psikologi klinis (sosiologi, psikologi sosial,
psikologi organisasi, dan antropologi).
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 71
• Pemahaman mengenai bagaimana individu
menyesuaikan diri dalam sistem sosial diluar keluarga
merupakan hal yang penting. Peran dengan beban
berlebih, ketegangan peran, dan konflik peran, dapat
menjadi stresor. Role-model dan mentor bisa jadi
lebih dibutuhkan daripada terapis.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 72


SC5 Social Problem Is a Cause

• Permasalahan sosial (kemiskinan, diskriminasi,


penindasan sosial), merupakan penyebab dari
permasalahan klien. Permasalahan sosial juga dapat
memperburuk masalah yang bersumber dari
penyebab lain. Terapis harus mengindari perilaku
menyalahkan korban.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 73
• Diskriminasi, ketidakadilan ekonomi, dan penindasan sosial-
politik telah menjadi bagian dari pengalaman klien.
Permasalahan perilaku tertentu dapat dipandang sebagai
respon adaptif terhadap permasalahan sosial. Salah satu
dampak dari hipotesis ini adalah aktivisme sosial lebih
dibutuhkan daripada terapi. Bagaimanapun parahnya
permasalahan dan realita dari viktimisasi, klien perlu membuat
keputusan yang dapat meningkatkan kontrol yang ia miliki,
serta tingkat pencapaiannya.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 74


SC6 Social Role of Patient

• Permasalahan disebabkan oleh faktor yang berkaitan


dengan keuntungan ataupun kerugian dari peran
sosial yang dimiliki mental pasien.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 75


• Stigma dari label diagnosa dapat menyebabkan
permasalahan yang tidak berkaitan dengan gangguan yang
sebenarnya. Klien dapat memalsukan gejala gangguan
mental untuk mendapat keuntungan tertentu (malingering),
atau untuk alasan psikologis yang tidak diketahui (factitious
disorder). Selain itu, anggota keluarga dapat mendapatkan
keuntungan maupun kerugian dari anggota keluarga lain
yang didiagnosa, dirawat atau dianggap tidak kompeten.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 76
SC7 Environment

• Permasalahan dapat dijelaskan melalui faktor-faktor


lingkungan. Solusi yang dihasilkan dapat melibatkan
modifikasi lingkungan, meninggalkan lingkungan,
mencari sumber daya materi, atau menerima apa
yang tidak dapat diubah.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 77
• Solusi dapat ditemukan diluar bidang intervensi
kesehatan mental. Bidang kesehatan masyarakat
menawarkan contoh dari faktor resiko yang dapat
hadir di lingkungan. Konsep “environmental riche”
berguna dalam menyadarkan individu bahwa mereka
tidak perlu mengubah diri mereka untuk menjadi
bahagia.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 78
II. KERANGKA KERJA FORMULASI KASUS
PSIKOLOGI KLINIS
• Ingram, B. L. 2012. Clinical Case Formulations. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 79


III. BAGAIMANA MENYUSUN SOHP SUATU MASALAH

1. Identifikasi Data:
Dapat berisikan usia, jenis kelamin, suku bangsa atau
etnik, status perkawinan, pekerjaan atau status di
sekolah, situasi kehidupan, dan rincian demografis
serta deskripsi lainnya.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 80


2. Alasan Mecari Terapi
Menyajikan keluhan-keluhan, sumber rujukan, dan
informasi tentang apakah terapi itu sukarela atau
diamanatkan. Untuk tugas siswa dalam kepentingan
pendidikan, ketika itu bukan klien "nyata", bagian ini
menjelaskan mengapa orang tersebut setuju untuk
menjadi sukarelawan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 81
3.Informasi Latar Belakang:
Narasi terorganisir dari riwayat kehidupan, merangkum
data yang tidak sesuai secara khusus di bawah judul
masalah. Data yang relevan dengan judul masalah spesifik
paling baik ditempatkan di bagian S setelah judul
masalah. Namun, ketika beberapa masalah menggunakan
data yang sama, alih-alih mengulang informasi, Anda
dapat meletakkannya di bagian ini.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 82
4. Judul Permasalahan:

Pernyataan tentang kesulitan, disfungsi, atau gangguan


yang klien butuhkan untuk ditolong. Judul masalah
harus jelas, spesifik, dan bebas dari jargon teoritis.
Anda dapat mengikuti judul dengan beberapa kalimat
yang memberikan rincian konkret tentang masalah
tersebut.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 83
5. Tujuan Akhir

Pernyataan keadaan yang diinginkan pada akhir


terapi. Tujuan hasil secara langsung berkaitan
dengan judul masalah dan tidak mengandung
deskripsi tentang bagaimana tujuan akan tercapai

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 84


S - Data Subjektif (Cerita)
Bagian ini berisi data yang dilaporkan oleh klien atau keluarga
klien, yang relevan dengan judul masalah. Pastikan untuk
memberikan kutipan langsung dari klien dan sertakan
informasi tentang kekuatan serta masalah. Hati-hati bahwa
konseptualisasi dan konstruksi teoretis tidak muncul di bagian
ini.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 85
O-Data Objektif (Observasi)
Sumber utama data dalam bagian ini adalah
pengamatan terapis. Terapis menggunakan terminologi
teknis untuk menggambarkan status mental klien dan
proses antara klien dan terapis. Contoh lain dari data
obyektif adalah hasil tes, laporan dari para profesional,
dan catatan tertulis.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 86
H - Bagian Hipotesis (Formulasi)
Bagian ini berisi skema konseptual psikolog untuk
memahami masalah. Ide-ide di bagian ini harus konsisten
dengan data dan harus mengarah pada rencana yang akan
dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Data baru mungkin
tidak diperkenalkan di bagian ini. Namun, data yang
sebelumnya disajikan dapat diulang untuk membuat titik
spesifik
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 87
P—Rencana
Bagian ini menjelaskan bagaimana terapis akan bekerja
dengan klien untuk mencapai tujuan pengobatan. Ini berisi
tujuan proses dan strategi pengobatan yang mengikuti
secara logis dari konseptualisasi sebelumnya, dan juga
membahas hubungan klien-terapis, termasuk faktor budaya.
Rencana tersebut mencakup evaluasi kemajuan klien
menuju sasaran.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 88
IV. Dinamika interrelasi antar taraf
stabilitas kepribadian dengan stressor
kehidupan
( Marmor, cs) :

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 89


Tidak Stabil Psikotik
Skizofrenia
Kronis

Psikotik
Skizoafek
Gangguan
Kepribadian PS
Kepribadian IK
Neurotik Obsesif O
TI
Kompulsif K
Histeria
Fobia Psikotik
NEUROTIK Afeksi
Depresi
Reaktif Kondisi
SEHAT Kecemasan Akut
Stabil Psikotik
MENTAL Neurotik Traumatik Akut Traumatik Akut

Ringan Stressors Ekstreem


Keterangan : Marmor cs, mengatakan bahwa terdapat dinamika interrelasi
antara kadar stabilitas Personality dan intensitas stressor dari lingkungan yang
manifest dalam perilaku
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi.Klin. 90
Contoh Kasus

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 91


Contoh Kasus
Keluhan: Kebutuhan kuat untuk mengendalikan kecenderungan berselingkuh.

Identitas:
Nama: P
Tempat dan Thn. Kelahiran: J, 1981
Anak ke 3 dari 5 bersaudara. Ayah pelayar, rute LN, ibu, adalah ibu rumah tangga.
Nama Lengkap : Tn. P Kakak Pekerjaan / Sekolah

TTL : Jakarta, 7 Januari 1981 1 Laki-laki Wiraswasta


Suku Bangsa : Ternate / Maluku . Perempuan Ibu Rumah Tangga
Agama : Kristen 2
Pendidikan Terakhir : S1 .
Pekerjaan Saat Ini : Karyawan Adik Pekerjaan / Sekolah
1 Perempuan Wiraswasta
Kegemaran (Hobi) : Olahraga & Membaca
Saya anak ke : 3 (Tiga) . Perempuan Karyawati
2
.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 92
Riwayat Hidup Klien
• 0-5 Tahun
Saya tumbuh besar banyak di bawah asuhan ibu saya karena ayah saya berlayar. Saya
tumbuh di lingkungan/daerah pelabuhan. Saya sangat dekat dengan ibu saya dan bisa
dikatakan cukup mendapatkan perhatian dan kasih sayang, tetapi ibu saya bukanlah sosok
yang mendidik saya dengan memanjakan, dia cukup keras juga dan sangat mengajarkan
prinsip dasar kesopansantunan kepada saya dari semasa kecil.
Saya bermain dan beraktifitas dengan anak-anak lain, kawan-kawan saya cukup baik.
Seingat saya pada usia ini teman-teman di lingkungan saya cukup keras-keras, lumayan
nakal sehingga saya juga mungkin terbawa dan mengikuti dan sering mendapat hukuman
fisik dari ibu dan juga ayah saat ayah di rumah, terkait dengan apa yang tidak baik yang
sudah saya lakukan.
Masih dalam kurun waktu 0-5 tahun.
Ibu saya mengajarkan saya di rumah untuk bisa membaca, menulis untuk saya bisa
langsung bersekolah di sekolah dasar, saya masuk sekolah dasar usia 6 tahun setengah,
tanpa melalui TK.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 93
• 6-10 tahun
Dalam rentang usia ini saya sudah mulai bersekolah.
Saya bersekolah di salah satu sekolah Kristen. Setiap hari hingga usia 9 tahun, ibu saya selalu mengantar saya ke
sekolah dengan memboncengkan sepeda motor. Selanjutnya saya ke sekolah dengan becak langganan.
Sempat kami juga mencoba layanan antar jemput menggunakan mobil (jemputan sekolah), tetapi tidak bertahan lama
karena faktor biayanya tidak lebih ekonomis. Pada masa itu, saya mulai mengerti ternyata ibu saya sedikit kesulitan
dalam mengelola keuangan, sehingga kami juga pernah terkendala membayar SPP dan uang becak kami, yang
terkadang membuat saya dan adik merasa malu jika mengetahui hal itu. Ibu saya terus berjuang agar kami bisa terus
bersekolah walaupun terkadang harus meminjam. Pada periode ini, hal yang paling saya ingat dimana jika ibu dan
ayah saya berada dalam konflik, maka ibu saya sering dipukuli oleh ayah saya dan saya sering melihatnya.
Saya juga pernah melihat perselingkuhan yang dilakukan oleh ibu saya dengan orang yang kami kenal sebagai om
kami, pada saat itu saya tidak langsung mengerti.
Saya pernah mengalami tidak naik kelas, dan harus mengulang di SD kelas 4. Bukan karena bodoh tapi ketinggalan
pelajaran karena sering bolos. Pada saat ayah saya mengetahui kondisi saya yang tinggal kelas, dia sangat kecewa dan
marah dan ibu saya pun mendapat lampiasan amarah ayah. Di usia ini saya diikutkan olah raga bela diri “Taekwondo”
dan seingat saya pelatih saya sempat menawarkan untuk bisa mempersiapkan saya buat jenjang yang lebih tinggi
tetapi saya berpikir ini hanya bentuk olah raga saja dan bukan lebih dari itu.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 94


• 11-15 Tahun
Saat berlayar ke Jepang ayah membelikan sepeda. Saya sangat senang dan bangga setiap hari
pergi ke sekolah dengan sepeda itu karena sepeda seperti itu masih tergolong jarang dimiliki
oleh anak seusia saya. Saya dan teman-teman saya sering menghabiskan waktu bermain
sepeda, berkeliling setelah pulang sekolah dan tak jarang saya dimarahi ibu karena saya
pulang terlalu sore sampai rumah. Di bangku sekolah SMP saya berteman dengan anak-anak
yang suka berkelahi/tawuran antar sekolah, dan saya sering diajak dan harus mau ikutan jika
tidak akan diintimidasi dan akan dicap pengecut atau bahkan bisa jadi dikata-katain dengan
sebutan-sebutan yang tidak pantas, seperti yang saya lihat terjadi kepada teman-teman saya
yang tidak ikutan. Saya dan teman-teman sering menumpang trailer container di daerah Tj.
Priok untuk berpindah tempat (agar terkesan keren) karena terlihat berandalan. Di bangku
SMP saya pertama kali mengenal olahraga bola basket dan langsung menyukai olahraga
tersebut, sampai harus daftar ke salah satu klub basket ternama di Senayan yang memiliki
sekolah basket buat pemula. Di masa ini saya meninggalkan taekwondo dan beralih ke
olahraga basket.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 95


Dua-tiga kali dalam seminggu saya harus pergi dari Tj. Priok ke Senayan untuk berlatih. Saya punya
teman/sahabat saya dalam menjalankan latihan namanya Ju (UN). Kami daftar di klub yang sama
“Indonesia Muda Jakarta”, kami berangkat pulang sama-sama karena daerah tempat kami tinggal tidak
jauh. Saya mulai ikut kompetisi-kompetisi bersama dengan klub saya, terus berlatih dan semakin baik
dalam olahraga bola basket, sehingga pada saat musim liburan saya bekerja paruh waktu (atas seijin ibu
saya) menjadi loper katalog sebuah departemen store dan bisa kasih tambahan uang jajan/ untuk beli
sepatu/ barang basket lainnya. Di usia SMP saya mulai tertarik kepada lawan jenis dan mulai mengerti
hal-hal terkait dengan romantisme dan hal lain yang lebih jauh. Di masa kelas 3 SMP kalau saya tidak
salah saya mulai mengerti hal-hal tentang seksualitas dan apa itu aktifitas seksual, dan memiliki
gambaran dalam pikiran tentang aktifitas tersebut. Saya bukan orang/anak yang mengerti dengan mudah
untuk hal-hal tersebut, tetapi apa yang memicu saya, saya lupa pada saat pertama kali saya mencoba
melakukan masturbasi, yang saya bayangkan hal tersebut adalah seperti yang dilakukan orang dewasa
dalam menjalankan aktifitas seksual, padahal saya sendiri belum pernah melakukan hal tersebut. Pernah
diajak teman menonton film-film seperti itu tetapi tidak sering, dan pernah diperlihatkan dalam bentuk
visual, majalah, media cetak, dengan gambar-gambar yang tidak pantas, yang saya tahu itu adalah
majalah dewasa.
Masa SMP saya isi dengan banyak aktifitas olahraga, tetapi hal di atas terjadi saya pun masih coba terus
mengingat-ingat apa pemicu awalnya. Apakah teman dan lingkungan atau ada hal lain yang mendorong.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 96


• 16-20 tahun
Masa dimana saya sedang sangat gemar olahraga basket, tapi sekaligus jadi masa dimana saya
melakukan banyak hal yang bisa dibilang “pertama kali”, mulai dari hal-hal yang sifatnya biasa
sampai luar biasa (terlalu nakal). Pada masa ini saya terlibat tawuran antar sekolah jadi lebih sering,
karena saya mengincar sekolah SMU yang bisa memfasilitasi olahraga bola basket saya, yang
ternyata lokasi geografis sekolah tersebut, bisa dibilang seperti jalur gaza saat ini,buat para pelajar
sekolah tingkat menengah, karena tawuran terjadi hampir setiap hari. Mulai dari hanya survival
mode saya, sampai rasanya kok jadi asik dan menikmati.

Hal di atas bikin ibu saya kecewa dan marah sekali, karena pernah tertangkap basah sedang terlibat
tawuran, di usia 19 tahun menjelang 20 tahun, saya pernah menjalani pekerjaan serupa dengan “gay
striper/dancer” karena ketidaktahuan dan ajakan teman.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 97


21-25 tahun
Bekerja sendiri dan bisa lebih mandiri, mendapat kesempatan menjadi manager di
usia muda, menjadi kepala cabang tetapi juga mengalami tantangan sulit karena jauh
dari orangtua dan bebas melakukan banyak hal, termasuk hal-hal yang sangat tidak
baik. Sebelum kerja permanen, sempat bekerja di sebuah toko yang banyak
terekspose dengan dunia malam. Sempat juga memiliki hubungan dengan atasan
wanita yang usianya lebih tua 8 tahun, dan mengalami hal-hal terkait dengan
kehidupan seksualitas yang tidak seharusnya. Beruntung mendapat jalan/kesempatan
untuk lepas dari lingkungan pekerjaan tersebut dan mendapatkan pekerjaan di bidang
logistic yang saya tekuni sanpai saat ini.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 98


• 26-30 tahun
Masih bekerja di luar kota, sudah berhubungan dengan K (istri) tetapi long distance. Saya terlibat
hubungan lain dengan wanita di daerah tempat saya bekerja. Sangat susah buat saya karena saat itu
saya seorang diri, sehingga hubungan kami kelewat batas terutama di area seksualitas yang
mengakibatkan teman wanita saya tersebut hamil. Keuntungan yang dimiliki, tidak mau diteruskan
dan oleh sebab itu digugurkan.

Saya kembali ke Jakarta untuk memulihkan hubungan saya dengan K dan mencoba untuk menjadi
orang yang lebih baik. Dalam perjalanannya, ternyata saya masih beberapa kali mengecewakan K
karena saya tidak bisa menjaga hubungan, dan kedekatan–kedekatan saya dengan teman terutama
lawan jenis.
Ada beberapa perilaku yang tidak seharusnya saya lakukan, karena itu menyakiti pasangan saya.
Terlebih lagi, pada saat usia 29 tahun setelah saya menikahi K, masih ada habit-habit seperti itu yang
belum bisa saya hilangkan. Satu hal yang paling berkesan selain pernikahan saya dengan K, pada
periode ini saya mengenal sebuah institusi gereja yang tepatnya kami bernaung sampai saat ini, dan
menjadi bagian jemaatnya dan banyak belajar mengenai value hidup yang baik.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 99


• 30-35 tahun
Paling berkesan 11-5-2011, the birth of L (anak pertama saya).
Pekerjaan bagus tetapi di sisi lain saya masih harus membenahi diri.
Saya sudah menjadi ayah seorang putri, hal yang berat bagi saya di
masa tuanya tidak dalam keadaan sehat dan tidak lagi saling mencintai.

Saya jatuh ke dalam hal seksualitas dan perselingkuhan lagi untuk yang
kedua. Yang saya rasakan adalah kelelahan, saya mau bebas dari beban
ini, saya ingin menjadi pria yang baik, suami yang baik, ayah yang bisa
dibanggakan. Apapun yang di belakang saya tidak akan saya ulangi lagi.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 100


Riwayat Hidup Perkawinan
Pernikahan
Tempat dan Tanggal : Jakarta, 31 Oktober 2009
Lama pernikahan : 5 Tahun
Lama Berkenalan sebelum menikah : 4 Tahun
Lama Berpacaran sebelum menikah : 4 Tahun
Keterangan Istri
Nama Istri :K
Usia Istri : 33
Suku Bangsa Istri : Manado
Agama Istri : Kristen
Pendidikan Istri : D3
Pekerjaan Istri : Ibu Rumah Tangga
Jumlah Anak : 1 (Satu)

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 101


Keluhan utama dalam pernikahan
Satu hal yang sangat membuat saya menjadi terbebani berat adalah
manakala saya dan K berargumentasi, dia sering dan tidak segan-segan
melukai saya dengan mengangkat kesalahan masa lalu dan perselingkuhan
yang baru-baru ini terjadi. Saya mengerti dia terluka oleh apa yang saya
lakukan. Saya mengerti dia mencoba dan sudah memaafkan saya tetapi
sangat berat dan lelah jika hal itu terus terjadi.
Trust dan respect istri terhadap saya hancur karena perselingkuhan terkhir
yang saya lakukan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 102
Harapan pernikahan
• Bisa kembali mendapatkan trust dari istri dan membangun ulang
pernikahan dengan kualitas yang lebih baik, lebih kuat, dan bisa untuk
dinikmati sepanjang hidup.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 103


• Kemungkinan perbaikan pernikahan:
Menjaga trust yang akan diberikan sepenuh hati dan tidak merusak,
mencoba untuk menjadi suami dan ayah yang lebih baik lagi.

• Kelebihan-kelebihan dalam peran sebagai suami:


Pekerja keras, ulet, tidak pantang menyerah

• Kekurangan-kekurangan dalam peran sebagai suami:


-Sering Lupa
-Dilihat tidak bisa menjaga jarak dengan lawan jenis
-Terlalu ramah

• Hal lain yang perlu disampaikan mengenai pernikahan:


Saya ingin tetap memiliki pernikahan saya dengan istri saya,
membangunnya dengan lebih baik, lebih kuat.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 104


Riwayat Hidup dan Perkawinan
Terbagi atas 5 waktu perkembangan sebagai berikut:
a. Masa Lalu (Masa Anak-anak) : ditandai kedua orang tua sering bertengkar dan P sering melihat ibunya
dipukul ayahnya. Ibu selingkuh dengan om, pergaulan P liar di lingkungan pelabuhan, sering berkelahi,
dan dipukul ibu karena perbuatan-perbuatan nakal, walaupun P merasa ibunya menyayanginya. Dipukul
ayah bila nakal.
b. Masa Remaja : bergaul liar dengan teman pergaulan dari kalangan Tanjung Priok, tawuran dan
pengetahuan seks diperoleh dari kawan-kawan melalui gambr porno, media masa, video dll, melakukan
masturbasi sambil membayangkan relasi seksual.
c. Masa dewasa sebelum perkawinan : hubungan berpacaran dengan perempuan 8 tahun lebih tua, sering
berganti pacar, relasi dengan K saat masa pacaran selingkuh dengan seseorang di tempat kerja di pulau B,
hingga perempuan itu hamil, yang kemudian digugurkan.
d. Perkawinan dan permasalahannya : kembali selingkuh dan berhubungan 3x dengan selingkuhannya,
namun ketahuan K, melalui BB yang ada foto 2 kacamata, satu kaca mata perempuan dan satu kacamat
laki-laki yang dikenali K sebagai kaca mata P. Menjadi masalah yang besar dan pertengkaran berlanjut
bahkan K minta bercerai.
e. Menyadari kesalahan amat sangat dan merasa berdosa selalu selingkuh, sehingga minta pertolongan
untuk bisa menghilangkan kebiasaan selingkuhnya demi kelanggengan perkawinan yang sebetulnya
membuat P nyaman, bahagia dan utuh.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 105


Hasil Analisa Berdasarkan
Pendekatan Ingram

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 106


Hasil Analisa Berdasarkan Pendekatan Ingram
• BE1 Biological cause: Tidak ada

• BE2 Medical Intervention: Tidak ada

• BE3 Mind-Body Connection:


Latar belakang masa lalu yang ditandai oleh berbagai perilaku antisosial,
seperti berkelahi, tawuran, hubungan seksual di luar nikah dengan wanita
yang berusia lebih tua 8 tahun, dan wanita tersebut terpaksa
menggugurkan kandungan. Kemudian di antara usia 30-35 tahun
melakukan perselingkuhan yang mengakibatkan perasaan penyesalan
berlanjut dan membuat dirinya memiliki motivasi untuk menjadi pria yang
baik, suami yang baik, ayah yang bisa dibanggakan, sehubungan dengan
kelahiran anak pertama bernama L pada tahun 2011.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 107
Hipotesa: Klien Membutuhkan Kesempatan untuk Perbaikan Perilaku
Sesuai dengan Harapannya Melalui Psikoterapi

• CS1 Emergency:
Selama ini klien merasakan keberadaan penilaian diri yang negatif yang
intens, dan ia membutuhkan bantuan psikologis segera.
• CS2 Situational Stressor :
Negative self evaluation tersebut di atas merupakan simtom yang
muncul sebagai stresor situasional saat ini, yang berangkat dari
pengalaman traumatik masa lalu. Untuk itu, dibutuhkan teknik
intervensi krisis yang menghindarkan dirinya dari reaksi krisis oleh
sebab perkembangan gangguan yang jangka panjang.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 108


• CS3 Transition Developmental
Klien dihadapkan pada kondisi perkembangan masa transisi yang terkait dengan isu-isu
yang berhubungan dengan dinamika menuju tahap lanjut kehidupan psikologisnya. Ada
motivasi klien untuk mengembangkan minat olahraga basket dan untuk itu klien terdaftar
di salah satu klub basket di Senayan. Pada usia SMP, informasi mengenai masalah seksual
memicu klien untuk melakukan masturbasi. Pada saat itu pula banyak teman yang
mengajaknya menonton film orang dewasa yang mengungkap masalah kegiatan seksual
orang dewasa. Pada usia 16 tahun, klien terlibat tawuran dalam perjalanan menuju
Senayan untuk berlatih basket. Hal lain, menjelang usia 20 tahun, menjadi “gay
striper/dancer”. Usia 26-30 tahun, saat bekerja di luar kota, terjadi perselingkuhan yang
membuat wanita selingkuhannya hamil, yang kemudian digugurkan. Pada usia 29 tahun,
istrinya mengenalkan klien dengan kehidupan gereja. Di sana, klien mendapatkan
kesempatan belajar mengenai value hidup yang baik.

• CS4 Loss & Bereavement


Keluhan dalam pernikahan:
Istri sering mengungkit kesalahan perselingkuhan masa lalu. Dari situ klien berpendapat
bahwa trust dan respect istrinya hancur karena perselingkuhan terakhir yang klien lakukan.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 109


• BL1 Antecendents and Consequences
Klien membutuhkan pertolongan untuk menghentikan perilaku
perselingkuhan karena melihat istri kehilangan kepercayaan pada dirinya.

• BL2 Conditioned Emotional Responses


Rasa bersalah, marah terhadap diri sendiri yang menyebabkan muncul rasa
takut dan cemas serta mengembangkan depresi pada dirinya merupakan
emosi negatif yang eksesif, pengelakan perilaku, atau mekanisme maladaptif
terhadap upaya menghindar dari emosi yang menyakitkan.
Setiap individu memiliki kesempatan untuk mempelajari cara mengabaikan
emosi problematic dan melakukan counterconditioning sehingga tercapai
respon adaptif yang lebih baik. Karena, setiap orang mampu mengabaikan
situasi dan pengalaman yang menstimulasi perasaan yang tidak
menyenangkan.
Klien membutuhkan perubahan perilaku agar tidak secara berlanjut
melakukan perilaku perselingkuhan yang selalu menyakitkan hati istrinya.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 110


• BL3 Skill Deficits
Dorongan untuk mencapai harapan sering tidak didukung oleh
peningkatan keterampilan atau kompetensi. Dalam hal ini, terapis bisa
berfungsi sebagai guru, coach, dan role model. Banyak persoalan
psikologis yang menstimulasi pendapat seseorang tentang peluang
berkembangnya perilaku patologi yang disebabkan oleh karena
kekurang terampilan dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Terapis
harus menetapkan goal setting untuk proses perbaikan dan
peningkatan kompetensi klien.

Dengan pendekatan psikodinamik, klien disadarkan bahwa perilaku


perselingkuhan yang dilakukan antara lain disebabkan oleh karena
pengalaman mengetahui perselingkuhan yang dilakukan ibu dan
ayahnya, sehingga tanpa disadari klien melakukan hal yang sama
sebagai imitative adultery behaviour.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 111
• C1 Metacognitive Perspective (Utopian Expectations)
Klien menginginkan penurunan rasa kecewa, perjuangan, untuk
mengatasi emosi yang tidak menyenangkan dari masa lalu yang tidak
terhindarkan. Terapis membutuhkan kemampuan intervensi yang
membuat klien bisa mencari jalan untuk meraih tujuan yang tampak
sulit dicapai. Namun, terapis juga harus menempatkan tujuan dari
proses terapi yang membuat klien mampu mencapai perasaan bebas
dari persoalan tanpa harus selalu berpikir untuk mengungkapkan
perilaku yang sempurna.
Dalam artian, perubahan perilaku yang diperoleh klien tidak membuat
klien menjadi seorang yang diliputi oleh ketegangan berlanjut, saat
proses perbaikan perilaku perselingkuhan tersebut.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 112


• C2 Limitations of cognitive map
Terapis hendaknya membatasi peta kognitif yang terlampau sempurna
yang dikhawatirkan akan menjadi skema maladaptif, kesimpulan,
aturan-aturan, keyakinan-keyakinan, yang menyebabkan masalah
semakin besar, dan justru menghambat perolehan solusi.
Peta kognitif yang disampaikan oleh terapis adalah memodifikasi aspek
pola pikir klien tanpa menyertakan standar benar atau salah, tetapi
oleh karena klien memilih peta perilaku salahnya sebagai pilihan. Hal
tersebut merupakan skema maladaptif, asumsi, aturan, yang harus
mendapatkan proses evaluasi, serta arahan perbaikan. Dengan
demikian, terapis menyadarkan klien akan harapan-harapan kehidupan
berkeluarga yang sangat ideal, untuk menjadi lebih realistis. Sehingga,
proses pencapaian tujuan yang ditentukan dapat dicapai.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 113


• C3 Deficiencies in cognitive processing
Gaya kognitif yang tidak fleksibel dari klien mendapatkan masukan-masukan tertentu yang akhirnya
membuat klien melakukan generalisasi yang berlebihan oleh sebab proses berpikir yang salah.
Hendaknya klien lebih mengamati dan mencermati pengalaman masa lalu tentang kebiasan
berselingkuh yang saat ini disadari merupakan perilaku yang kurang baik. Untuk itu, hendaknya klien
mengadaptasi proses informasi yang diberikan oleh terapis agar klien mampu mengaplikasikan
tatanan norma yang logis dan punya keinginan untuk mencari validasi proses berpikirnya, baik
melalui eksperimen-eksperimen yang dilakukan pada dirinya, atau melihat kenyataan perilaku yang
biasa dilakukan oleh orang lain. Sehingga, kekurangan keterampilan kognitif dan gaya penerapan
kognitif dalam kehidupan keseharian, wajar sesuai aturan sosial yang berlaku.

• C4 Dysfunctional Self-Talk
Terdapat dialog internal seperti tanggapan terhadap info-info dari lingkungan, percakapan internal,
suara-suara internal, pola pikir yang otomatis, atau monolog interior. Self-talk yang disfungsional
menyebabkan sakit hati dan perilaku maladaptif. Terkadang, orang tertentu sangat menyadari hasil
self-talknya, sementara pada waktu yang lain, seseorang membutuhkan untuk menggali perolehan
inner speechnya tersebut. Contohnya, seorang supir yang mengalami kecelakaan yang selalu berpikir
bahwa supir mobil lain lah yang menyebabkan ia celaka, dan cenderung menyalahkan lingkungan
daripada melakukan introspeksi.
Upaya untuk pindah dari dysfunctional self-talk menuju functional self-talk hendaknya dilakukan
dengan mencoba melawannya dengan fakta-fakta perilaku baik yang dicermati dari lingkungan
dimana ia berada.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 114


• ES1 Existential Issues
Di sini klien bergejolak dengan isu-isu eksistensial yang menyertakan
pencarian dasar filosofis dari tujuan dan makna hidupnya. Orang yang
menggunakan ES1 sebagai hipotesis menyatakan bahwa setiap orang
harus menemukan sendiri makna hidupnya. Terapis dalam hal ini harus
memegang peran sebagai guru atau ahli yang mengambil keputusan
bahwa klien harus bebas dari isu eksistensial, namun tetap
bertanggung jawab dalam memilih serta berkomitmen dengan
pilihannya tersebut.
Klien merasa bahwa pencapaian makna hidupnya kurang menunjukkan
eksistensi makna hidup yang menurut klien baik, karena
kecenderungan klien untuk tidak mampu mengendalikan dorongan
berselingkuh.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 115


• ES2 Freedom & Responsibility
Klien mengabaikan freedom dan otonomi yang menyertai masuknya
klien dalam usia dewasa, tidak menerima rasa tanggung jawab yang
berkaitan dengan freedom dan otonomi yang maksimal. Sehingga,
perilaku berselingkuh tetap bertahan.

• ES3 Spiritual Dimension


Kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan gereja yang disarankan oleh
istri dan kedua mertua rupanya tidak berpengaruh terhadap
manifestasi perilaku selingkuh yang selalu terulang kembali. Terkesan
bahwa pemahaman spiritual ternyata tidak sejalan dengan upaya
pengendalian perilaku selingkuh yang pada dasarnya sangat
berlawanan dengan tatanan norma agama.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 116


• P1 Internal Parts
Ada konflik spiritual yang terkait dengan satu sisi tuntutan peran spiritual seyogyanya
mendominasi perilaku yang kurang baik dan bertentangan dengan tatanan spiritual, namun
perilaku menyimpang tersebut tetap berjalan walaupun peningkatan klien dalam aspek
spiritual bertambah.

• P2 Reccurent Pattern
Perasaan dan kebutuhan dari masa kanak-kanak dini terkesan mengalami proses reaktivasi
dan bentuk pola perilaku yang berasal dari keluarga batih. Pengalaman masa anak dini
memang bisa berpengaruh pada fungsi perilaku dewasa. Banyak orang dewasa yang dapat
memahami dan memiliki kekuatan untuk mengatasi konflik dan merasa puas dengan
kondisi dimana kenyamanan masa kanak-kanak tidak terungkap kembali. Hubungan dengan
orang tua dan anggota keluarga yang signifikan berfungsi sebagai acuan pada hubungan
antar orang dewasa. Perolehan insight dalam pola relasi dewasa masih belum cukup; klien
tetap masih membutuhkan pengalaman dan belajar untuk bisa bertoleransi terhadap
emosi-emosi yang menyakitkan, serta merubah gaya pertahanan diri dalam menjalin relasi
dengan lingkungan dimana ia berada.
P punya penyakit gastrointestinal yang disebabkan oleh karena ia tidak bisa
mengekspresikan kemarahan pada istri. Padahal, istrinya adalah seorang perempuan yang
sangat perhatian dan sangat selalu mempertimbangkan situasi sosial dimana ia berada.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 117


• P3 Immature Sense of Self and Conception of Others
Kesulitan dalam mengatasi kegagalan terkait dengan penghayatan diri yang
belum matang dan konsepsi penghayatan diri dari orang lain, yang
sebetulnya normal pada anak-anak yang masih berusia muda.

• P4 Unconscious Dynamics
Dalam pada itu, mekanisme defens masih mempertahankan cara berpikir
dan penghayatan emosi yang berada di luar kesadaran. Anak-anak menderita
gejala bersikap irasional, menempatkan diri dalam perilaku yang buruk, atau
kondisi penuh tekanan dari gejala sehingga tidak bisa memberikan respon
wajar terhadap intervensi, yang bisa saja terkait dengan konflik tak sadar
atau respon-respon pertahanan diri terhadap kejadian-kejadian traumatik.
Fungsi defense mechanism tetap mempertahankan konflik dan afek yang
tidak nyaman di luar kesadarannya. Sehingga, seseorang bisa saja merasa
depresi, karena menolak kontak sosial, serta memiliki berbagai simtom
anxiety. Simtom-simtom tersebut bisa berkembang andai ia mengingat
kembali kejadian traumatik di masa kecil dan mengalami kembali emosi-
emosi yang telah mengalami proses represi.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 118


• SCE1 Family System
Permasalahan yang dihadapi baru dapat dipahami apabila diletakkan
dalam konteks keutuhan sistem keluarga. Dalam hal ini, gejala
psikopatologi dari pasien bisa melayani fungsi untuk keluarga atau
struktur keluarga, aturan-aturan keluarga, tingkat diferensiasi emosional,
serta pola komunikasi. Bila simtom memberikan dukungan untuk
menstabilisasikan homeostasis keluarga, meningkatkan klien dalam
memahami simtom pada anggota keluarga lain. Sehingga, sangat
berguna untuk memberikan perawatan pada anggota keluarga secara
bersama dan perubahan-perubahan yang terjadi berpengaruh kepada
seluruh sistem keluarga.
Contohnya, seorang istri yang terlalu gemuk merasa depresi, dan secara
sosial terisolasi, kemudian menjalani terapi sehingga menjadi langsing
dan merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Sebagai istri, ia merasa
nyaman untuk melakukan aktivitas sosial dan memperoleh tema,
suaminya memperoleh panic attack.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 119
• SCE2 Cultural Context
Pengetahuan tentang konteks kultural penting untuk dipahami sehingga
mampu menciptakan perencanaan treatment yang menyertakan kadar
sensitifitas terhadap norma, aturan-aturan, dan nilai-nilai dari kelompok
kultural klien. Seorang klien yang berasal dari lingkungan kultur spesifik
memberi peluang bagi kemungkinan akulturasi pada individu, dan seluruh
anggota keluarga menjadi faktor yang penting. Sehingga, terapis harus
benar-benar memahami biasnya sendiri dan memahami bagaimana kultur
mereka berpengaruh dalam relasi terapeutik.
Klien usia 25 tahun sudah bisa mandiri dan menjadi manajer di usia muda,
dan manajer sebagai kepala cabang, tetapi juga tantangan sulit karena jauh
dari orang tua, dan bebas melakukan banyak hal, termasuk hal-hal yang
sangat tidak baik. Hal yang spesifik yang dialami saat ia menjadi manajer, ia
berpacaran dengan wanita yang berusia lebih tua 8 tahun, serta diakhiri
dengan penguguran kandungan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 120
• SCE3 Social Support
Ada niat untuk memperbaiki dan membenahi perilaku diri sesudah
anak pertama, L, lahir pada tahun 2011. Yang membuat klien
mengendalikan diri adalah keinginian untuk hidup sehat di masa tua,
serta saling mencintai dengan pasangannya. Namun, ternyata klien
tidak bisa melepaskan diri dari perilaku seksualitas dengan orang lain
sambil melakukan perselingkuhan berlanjut untuk yang kedua. Terjalin
suatu konflik psikologis yang ditandai oleh, satu sisi ia ingin menjadi
ayah/suami yang baik, tapi pada sisi lain, tidak mampu mengendalikan
kebutuhan untuk berselingkuh.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 121


• SCE4 Social Role & Systems
Pada usia 25 tahun, klien mampu menjalankan tugas sebagai kepala
cabang dari satu perusahaan.

• SCE5 Social Problem Is a Cause


Hal yang hingga saat ini dirasakan klien adalah kesulitannya
mengendalikan diri dalam pergaulan dengan lawan jenis dan selalu
terlibat dalam aktifitas seksual/perselingkuhan. Walaupun demikian ia
tetap bisa berperan sebagai manajer di perusahaan tersebut. Klien
kemudian kembali ke Jakarta dan bermaksud untuk memulihkan
kembali hubungan dengan istri, menjadi suami yang lebih baik.
Walaupun klien beberapa kali mengecewakan istri karena tidak bisa
mengendalikan dorongan kedekatan dengan teman lawan jenis, serta
berselingkuh dengan teman tersebut.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 122
• SCE6 Social Role of Mental Patients
Usia 30-35, klien terkesan sangat mendalam oleh kelahiran anak
pertamanya, walaupun di sisi lain, klien merasa harus masih
membenahi diri terkait dengan peran sebagai ayah dari putri
pertamanya. Namun, tetap seksualitas dan perselingkuhan terjadi lagi,
sampai akhirnya klien merasa sangat kelelahan, ingin bebas dari
kebiasaan tersebut, ingin menjadi pria baik, suami baik, dan ayah yang
dibanggakan oleh anaknya. Klien berupaya keras untuk tidak
mengulangi perilaku seksualitasnya tersebut.

• SCE7 Environmental Factors


Dukungan mertua untuk ikut kegiatan keagamaan di gereja cukup
memicu peningkatan upaya melepaskan diri dari perilaku
perselingkuhan. Aktivitas keagamaan ternyata membuat klien merasa
cukup nyaman secara spiritual.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 123
Treatment Psikologis bagi Klien
I. Hipotesa Biologis (B)
Klien tidak membutuhkan penanganan medis dalam intervensinya.

II. Krisis, Situasi Stres, dan Transisi (CS)


• CS2 Stresor Situasi: diberikan treatment dengan mengajarkan perangkat psikologis guna
mengelola emosi negatif dan memecahkan permasalahan yang ia hadapi.
• CS3 Transisi Perkembangan: dilakukan psiko-edukasi dan normalisasi terkait dengan perilaku yang
sesuai dengan tatanan norma susila dan norma sosial yang berlaku di tempat klien hidup.
Intervensi keluarga dibutuhkan dengan menyertakan peran istri dalam proses pemulihan perilaku
seksual yang negatif. Kecuali itu, diberi bacaan-bacaan yang memberikan pengaruh bagi
pemahaman norma susila dan etika perilaku seks yang sesuai dengan tatanan norma yang berlaku
di lingkungan klien. Kecuali itu, menyertakan klien dalam kelompok pergaulan yang membuka
peluang pemberian support bagi klien, agar klien, pelan tapi pasti, mengarahkan perilaku
psikoseksual negatif ke arah perilaku psikoseksual sesuai tatanan norma sosial yang berlaku.
• CS4 Kehilangan dan Rasa Sedih Berlanjut: menyertakan family support apa bila klien mengalami
state of depression terkait dengan masa transisi perubahan perilaku seksual yang disarankan.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 124


III. Model Perilaku dan Model Proses Belajar
• BL1 Antecedents and Consequences:
• melakukan analisa perilaku untuk menetapkan dasar strategi bagi perubahan perilaku.
• Meningkatkan penguatan positif terhadap keinginan perubahan perilaku.
• Menerapkan contingency contracting: terapi yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku
yang diharapkan, dan menurunkan perilaku yang tidak diinginkan
Untuk itu terhadap klien, dilaksanakan analisa perilaku perselingkuhan yang terkait
dengan luka batin istrinya. Kecuali itu, diberikan support terhadap harapannya
untuk bisa merubah perilaku kebiasaan berselingkuh dengan cara
mengasosiasikannya dengan penderitaan emosi istri yang ia cintai. Menerapkan
dalam kehidupan nyata perilaku sesuai dengan tatanan norma agama Kristen.
• BL2 Conditioned Emotional Response:
Diberikan pelatihan progressive relaxation training dengan harapan transisi
perubahan perilaku yang menimbulkan ketegangan emosi diatasi melalui aplikasi
relaksasi progresif tersebut.
• BL3 Lack of Competences:
Diberikan contoh kongkrit dari kedua orang tua istri yang memiliki kebersamaan
penuh kasih di dalam keluarga sebagai pekerjaan rumahnya.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 125


IV. Cognitive Model (C):
• C1 Harapan Utopian: melalui psikoedukasi, dan identifikasi serta modifikasi
dari harapan-harapan yang salah (kurang baik)
• C2 Peta Kognitif yang Salah: Identifikasi elemen kognitif yang salah dengan
memberikan pekerjaan rumah tentang self-monitoring, ditambah dengan
penggunaan teknik CBT.
• C3 Proses Informasi yang Salah: Menjelaskan daftar kesalahan-kesalahan
dalam proses berpikir, seperti kecenderungan untuk mengeneralisasikan
segala hal dan memberikan pekerjaan rumah yang terkait dengan self-
monitoring. Dengan harapan terjadi modifikasi pola pikir yang membawa
klien pada perilaku yang diharapkan.
• C4 Dysfunctional Self-Talk: menciptakan dan mempraktekan alternatif cara
bicara terhadap diri yang salah menuju ke functional positive self-talk
untuk meningkatkan kemampuan mengeluarkan suara negatif terhadap diri
sendiri. Contohnya: “Saya tidak ingin istri saya merasa sakit hati oleh ulah
saya.”

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 126


V. Existential and Spiritual Model (ES)
• ES1 Isu-isu Eksistensial: Kebijaksanaan sebenarnya berasal dari diri sendiri. Saat
menjabarkan kalimat tersebut, terapis memusatkan perhatian pada aspek
fenomenologis kemudian juga mendiskusikan aspek filosofis disamping
menerapkan logo terapi untuk menciptakan cerita yang mengungkapkan makna
baru bagi klien. Untuk itu manifestasi narasi dikaitkan dengan masalah “here and
now”.
• ES2 Avoding Freedom and Responsibility: Menjelaskan domain kebebasan dan
keterbatasan bahwa perilaku seksual memang mengandung unsur aspek
kebebasan yang bersifat individual namun seharusnya tetap menyertakan
keterbatasan. Diberikan juga keterampilan untuk menetapkan tujuan,
perencanaan, dan dukungan selama fase penerapannya. Kemudian, diajarkan
sarana-sarana untuk mampu melakukan pengendalian diri, terutama dalam
dorongan seksual yang intens pada diri klien.
• ES3 Spiritual Dimensions: Dalam hal ini terapis membawa klien untuk melakukan
perubahan perilaku berselingkuh dengan menyertakan aspek-aspek negatifnya
demi terciptanya pemaknaan kehidupan psikoseksual yang sehat dan mengikuti
tatanan sesuai dengan apa yang klien fahami dalam menerapkan makna spiritual
dari perilaku psikoseksual yang diperoleh dari gereja.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 127


VI. Model Psikodinamis
P1 Bagian Internal dari Subkepribadian: diberikan aktivitas eksperiensial untuk mengikuti
bagian lain saat mengungkapkan pikiran. Dialog dengan metode Gestalt melalui aktivitas
bicara face to face. Eksplorasi aspek-aspek yang terkait dengan awal aktivitas dan
penetapan tujuan yang spesifik. Diberikan kesempatan untuk mampu mengungkapkan isi
pikiran dengan cara tertulis yang bersifat kreatif dan mengandung unsur seni.
Untuk kasus ini, misalnya membahas masalah pentingnya makna “trust” dalam ikatan
perkawinan dengan istrinya. Tanpa “trust”, interaksi dan interlasi antar pasangan suami istri
tidak akan terungkap secara tulus dari nurani yang paling dalam, dalam iklim relasi klien
dengan pasangannya.

P2 Mengulang Kembali Pengalaman Masa Kecil Dini: dengan harapan mendapatkan insight,
melalui aktivitas eksperiensial untuk menyelesaikan unfinished business, dilakukan
pemusatan terapi emotional focused. Dalam pada itu, dilakukan pemanfaatan transference.
Terapis mengupayakan klien untuk mendapatkan insight dari unfinished “business” guna
membuka peluang bagi klien mendapatkan kesempatan mengalami terapi emotional
focused. Masa kanak-kanak yang dilalui di pelabuhan Tj. Priok yang interaksi dan
interleasinya banyak diwarnai oleh kekerasan. Sementara ibu berselingkuh.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 128


• P3 Immature Sense of Self and Conception of Others: Dalam hal ini
diatasi melalui metode psikoanalisis yang menggunakan transference
self object (empati dan peningkatan sensitifitas dalam mengatasi
kegagalan-kegagalan empatik) disertai oleh couple therapy untuk
secara aktif membangun kapasitas dalam berempati serta bisa
mengambil perspektif ganda dari persoalan yang dihadapi.
Pada klien, dilakukan terapi empati.
• P4 Unconscious dynamic: Metode psikoanalisis digunakan dengan
melakukan neurotic transference untuk pengalaman emosional
kembali. Interpretasi mimpi, terapi art, serta hipnoterapi.
Untuk itu, klien mendapatkan salah satu diantara metode terapi
tersebut di atas.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 129


VII. Social Cultural and Environment
• SCE1 Family System: Bagi klien dilakukan conjoint therapy dengan
berbagai klien, dengan harapan terapis bisa menggunakan lingkungan
yang fleksibel untuk melihat relasi individual atau berdua. Bahkan
sebagai whole system. Bisa juga menggunakan teknik dari berbagai
model, seperti structural, strategic, atau Bowenian.

• SCE2 Cultural Issues: Bagi klien dilakukan modifikasi metode


tradisional sesuai dengan latar belakang kebudayaan klien. Budaya
dilibatkan dalam metode penyembuhan.Intervensi melibatkan
anggota keluarga dan komunitas yang lebih luas.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 130


• SCE3 Social Support: Klien dibantuk untuk mengakses support atau
mengembangkan jaringan support yang baru. Komunitas dilibatkan
dalam treatment yang dilakukan. Klien diminta membuat rencana
individual, berdasarkan preferensi klien dalam berafiliasi atau
menyendiri. Selain itu, dilakukan pengamatan apakah klien kurang
memiliki keterampilan dalan menjalin hubungan pertemanan

• SC4 Social Role Performance: Kepada klien dilakukan psikoedukasi


untuk embantu klien menemukan mentor atau role model. Klien
dilibatkan dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 131


• SCE5 Social Problem is a Cause: Terapis perlu menghindari
menyalahkan korban. Terapis juga perlu menghindari masalah sosial
dianggap sebagai kondisi permanen. Eksplorasi kemungkinan untuk
melakukan aktivisme disertai dengan metode penyelesaian masalah.

• SCE6 Social Role of Mental Patient: Terapis dapat memanfaatan


lingkungan yang tidak terlalu mengekang. Klien perlu dilindungi dari
stigma. Perlu melibatkan isu hukum dan etika dalam melakukan
terapi.

• SCE7 Environmental Factors: Bagi klien dilakukan eksplorasi solusi


“pengubahan lingkungan” tanpa bias “pro-psikologi”. Klien dilibatkan
dalam proses penyelesaian masalah dan perencanaan.
Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 132
Tahapan Intervensi untuk Kasus P
(oleh Ibu Sawitri)

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 133


Tahapan Intervensi untuk Kasus P (oleh Ibu Sawitri)
1. Pendekatan psychodynamic bertujuan untuk menyadarkan klien bahwa
pengalaman masa lalu (dari pola asuh yang diterapkan keluarga,
perselingkuhan yang dilakukan ayah dan ibu, dan pergaulan bebas yang
berlangsung saat masa remajanya) menyisakan dorongan-dorongan dasar yang
terkait dengan hubungan dengna lawan jenis menjadi tatanan perilaku yang
diadopsi hingga saat ini.
2. Menyadarkan pada klien akan harapan ideal dalam kehidupan berkeluarga.
3. Menyertakan peran istri untuk menunjang kemungkinan tercapainya harapan
kehidupan keluarga yang ideal secara bersama.
4. Penekanan pada persyaratan yang diajukan oleh istri demi keberlangsungan
kehidupan berkeluarga seperti apa yang diharapkan oleh klien dengan tuntutan
rangkaian perilaku positif tertentu secara berlanjut.
5. Menekankan pada hal-hal positif yang ada dalam benak klien, yang tercover
dalam ungkapan P yang terltulis bertinta warna biru, agar masuk dalam mental
dictionary klien sebagai kendali perilaku klien dikemudian hari.

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 134


SEKIAN

Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi. Klin. 135

Anda mungkin juga menyukai