Anda di halaman 1dari 48

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan Sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar
5. Fitnah Akhir Zaman

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam


Dosen Pengampuh:
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Lalu Hasan Ghoffari


NIM : G1D020033
Fakultas&Prodi : MIPA/Matematika
Semester :1

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas ini.
Berkat rahmat dan inayah-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas artikel ini
dengan tepat waktu.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas
perjuangannya membimbing umat dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang
seperti saat ini. Pembawa agama rahmatan Lil Al-Amin, agama yang sempurna, petunjuk
bagi kita di dunia ini.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramadani, S.Th.I., M.Sos,
sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah memberikan
arahan mengenai tugas ini. Tanpanya penulis tidak dapat menyelesaikan tugas ini dengan
baik

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi kita semua, dapat menambah
wawasan keislaman kita, serta menjadikan kita pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Penulis sadari artikel ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran
penulis harapkan dari pembaca agar artikel yang penulis buat lebih baik lagi kedepannya.

Penyusun, Mataram, 17 Desember 2020

Lalu Hasan Ghoffari

G1D020033

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
I. Iman, Islam, Ihsan 1
II. Islam dan Sains 9
III. Islam dan Penegakan Hukum 12
IV. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar 27
V. Fitnah Akhir Zaman 36
DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN

iii
BAB 1
IMAN, ISLAM DAN IHSAN
1. IMAN
a) Pengertian Iman
Definisi dari iman secara etimologi berasal dari bahasa arab amana-yukminu-imanan yang
artinya percaya. Sedangkan secara terminologi menurut jumhur ulama’ iman adalah at-
tasdiqu bil qolbi, al-qoulu bil lisan, Wa al a’malu bil arkaan artinya membenarkan atau dalam
hati, mengucapkan atau mengikrarkan dengan lisan, mengamalkan dengan perbuatan. Iman
sendiri sebenarnya adalah sebuah pembuktian terhadap penyerahan diri kepada Tuhan yang
maha esa (Allah) sebagai pencipta sekaligus penguasa mutlak semesta alam.
Dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat potongan ayat 14, Allah SWT berfirman yang artinya :
“Sesungguhnya orang yang sebenarnya beriman ialah orang yang percaya kepada Allah dan
Rasulnya.”

b) Penjelasan Definisi Iman


Membenarkan dengan hati
“Membenarkan dengan hati” maksudnya adalah menerima kebenaran atas segala sesuatu
yang di sampaikan dan di ajarkan oleh rasulullah salallahu alaihi wasalam serta rasul
sebelumnya. Allah Subhanallahu ta’ala berfirman :

‫ب َويَ ْزدَا َد ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا إِي ٰ َم ۭنًا‬َ َ‫وا ْٱل ِك ٰت‬ ۟ ‫ب ٱلنَّار إاَّل م ٰلَٓئِ َك ۭةً ۙ َوما َج َع ْلنَا ِع َّدتَهُ ْم إاَّل فِ ْتنَ ۭةً لِّلَّ ِذينَ َكفَر‬
۟ ُ‫ُوا لِيَ ْستَ ْيقِنَ ٱلَّ ِذينَ أُوت‬ َ ‫َو َما َج َع ْلنَٓا أَصْ ٰ َح‬
ِ َ َ ِ ِ
ُ ‫ُضلُّ ٱهَّلل‬ ِ ‫ضٌ َو ْٱل ٰ َكفِرُونَ َما َذٓا أَ َرا َد ٱهَّلل ُ بِ ٰهَ َذا َمثَاًۭل ۚ َك ٰ َذلِكَ ي‬ ُ
ۭ ‫ول ٱل ِذينَ فِى قُلوبِ ِهم َّم َر‬
َّ َ ُ‫ب َو ْٱل ُم ْؤ ِمنُونَ ۙ َولِيَق‬ ۟ ُ‫َاب ٱلَّ ِذينَ أُوت‬
َ َ‫وا ْٱل ِك ٰت‬ َ ‫ۙ َواَل يَرْ ت‬
‫ك إِاَّل هُ َو ۚ َو َما ِه َى إِاَّل ِذ ْك َر ٰى لِ ْلبَ َش ِر‬ َ ِّ‫َمن يَ َشٓا ُء َويَ ْه ِدى َمن يَ َشٓا ُء ۚ َو َما يَ ْعلَ ُم ُجنُو َد َرب‬

Artinya : “Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah
Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir,
supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman
bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin
itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-
orang kafir (mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai
suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya
dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui
tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi
manusia.” ( QS.AL-Mudatsir : 31 )

1
Mengucapkan dengan lisan
“mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan” maksudnya adalah menyatakan dengan lisan
bahwa dirinya beriman kepada allah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yaitu
“Asyhaduallah Ilaha Illallah Wa Asyhaduanna Muhammad Rasulullah” yang artinya ( Tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah ).
Di riwayatkan Imam Muslim dari abu hurairah Radhiallaahu anhu,ia berkata bahwasanya
Rasulullah salallahu alaihi wasalam bersabda :”Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam
puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan “LA ILAHA ILLALLAHU” dan yang
paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu
(juga) salah satu cabang dari iman.”(HR.Muslim)

Mengamalkan dengan perbuatan


“Mengamalkan dengan perbuatan” maksudnya adalah sesuatu yang di yakininya dalam hati
dan yang di ikrarkannya dengan lisan di implementasikan dengan perbuatan sebagai bukti
bahwa dirinya benar-benar beriman kepada Allah. Mengamalkannya dengan ibadah-ibadah
yang di perintahkan Allah kepadanya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Allah subhanallahu ta’ala berfirman :

ً ‫َّر ْز‬
‫ق َك ِر ْي ٌٌِ•ِم‬ َ ِ‫أُوْ لَئ‬, ‫صاَل ةَ َو ِم َّما َر َز ْقنَا هُ ْم يُ ْنفِقُوْ َ• َِِن‬
ِ ‫ك هُ ُم ْال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ َحقا‌ ً لَهُ ْم د ََر َجاة ِع ْن ِد َربِّ ِه ْم َو َم ْعفِ َرةٌ و‬ َّ ‫اَلَّ ِد ْينَ يُقِ ْي ُموْ نَ ال‬

Artinya : “Orang-orang yang mendirikan sholat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki
yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.
Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta
rezeki (nikmat) yang mulia.
Ulama’ terdahulu yang biasa di kenal saat ini dengan sebutan Ulama’ salaf menggolongkan
amal termasuk dalam kategori pengertian Iman. Oleh sebab itu Ulama’ salaf menganggap dan
meyakini bahwa iman dapat bertambah dan berkurang atas sesuatu yang di lakukannya.

c) Bertambah dan Berkurangnya Iman


Dalam masalah bertambah dan berkurangnya iman dapat diketahui dari segi amal perbuatan
meskipun hanya terkadang sedikit salah menilainya, kita dapat mengetahui bertambahnya
iman bila seseorang mengerjakan hal-hal yang baik atau menjauhi perbuatan yang buruk, dan

2
sebaiknya apabila seseorang melakukan perbuatan yang menentang syari’at atau perbuatan
yang dilarang oleh allah maka imannya telah meredup dan berkurang.
Ulama’ salaf membenarkan tentang adanya bertambah dan berkurangnya iman. Dan mereka
menguatkannya dengan dalil-dalil yang telah di sebutkan di atas.

Rukun-rukun iman
Sehingga rukun iman berarti pilar yang wajib dipercaya. Kepercayaan itu diwujudkan dengan
cara membenarkan dan diyakini dari dalam diri atau hati, mengakui secara lisan atau kata-
kata, dan mengamalkannya dalam bentuk tindakan sehari-hari.
Rukun iman juga menjadi landasan perbuatan seorang Islam bagaimanapun keadaannya, baik
dalam susah dan senang,
Dalam Hadist Riwayat Imam Muslim terdapat enam rukun iman yang wajib dipercaya.
“Maka kabarkan padaku tentang iman, Rasulullah bersabda: Iman adalah bahwa kamu
beriman kepada Allah dan malaikat-Nya, segala kitab-Nya, dan Rasul-Nya dan hari akhirat
serta kamu beriman dengan qadar baik dan buruk,” hadis riwayat Imam Muslim. Berikut
penjelasan mengenai rukun iman dalam Islam.

Iman kepada Allah SWT


Rukun iman pertama yang wajib diyakini adalah percaya kepada Allah SWT. Setiap orang
yang beragama Islam harus percaya bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan tiada
Tuhan selain Allah. Percaya kepada Allah SWT juga berarti percaya bahwa Allah Maha
Kuasa terhadap segala sesuatu, percaya kepada ketetapan Allah, dan sifat-sifat Allah yang
terdapat dalam Asmaul Husna. Percaya kepada Allah SWT diwujudkan dalam perilaku yang
selalu menjalani perintah Allah SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya

Iman kepada malaikat


Yang kedua, setiap Muslim mesti percaya bahwa Allah juga menciptakan malaikat dengan
berbagai macam tugas. Jumlah malaikat sangat banyak dan ada 10 malaikat yang wajib
diketahui. Dengan mempercayai keberadaan malaikat beserta tugasnya, manusia mesti
mengamalkannya dan berperilaku yang baik. Misalnya percaya kepada malaikat berarti
percaya ada yang mengawasi dan mencatat setiap perbuatan baik dan buruk yang dilakukan.

Iman kepada kitab-kitab Allah SWT

3
Setiap umat Islam juga mesti mengimani kitab-kitab yang diturunkan Allah SWT yakni kitab
Zabur kepada Nabi Daud AS, kitab Taurat kepada Nabi Musa AS, kitab Injil kepada Nabi Isa
AS, dan Alquran kepada Nabi Muhammad SAW. Percaya kepada kitab berarti mengamalkan
apa yang terdapat dalam kitab suci tersebut. Umat Islam mesti berpegangan pada Alquran
dalam menjalankan kehidupan.

Iman kepada nabi dan rasul


Setiap Muslim juga harus meyakini Allah mengutus nabi dan rasul untuk menyampaikan
wahyu. Terdapat 25 nabi dan rasul yang wajib diimani yakni dari nabi pertama Nabi Adam
AS hingga nabi terakhir Nabi Muhammad SAW. Percaya pada nabi dan rasul diwujudkan
dengan meyakini serta meneladani setiap kisahnya. Umat Islam juga mesti mengikuti ajaran
Nabi Muhammad SAW.

Iman kepada hari akhir


Umat islam harus percaya bahwa hari akhir atau hari kiamat pasti akan terjadi. Terdapat dua
kiamat yang diyakini yakni kiamat sugro atau kiamat kecil dan kiamat kubro atau kiamat
besar. Kiamat sugro berupa bencana alam dan juga kematian. Sedangkan kiamat kubro berarti
hancurnya semua alam semesta dan tanda dimulainya kehidupan akhirat. Iman kepada hari
kiamat ditandai dengan berperilaku dan beribadah dengan baik bahwa setiap amal dan
perbuatan bakal diperhitungkan dan dibalas Allah di hari kiamat.

Iman kepada qada dan qadar


Terakhir, umat Islam mesti mengimani terdapat qada dan qadar yang baik maupun yang
buruk. Allah sudah menetapkan baik dan buruknya takdir untuk umat-Nya. Dengan beriman
pada qada dan qadar, setiap orang yang beragama Islam harus berusaha dan juga berserah diri
pada ketetapan Allah, apapun yang terjadi. Setiap orang juga harus berprasangka baik pada
ketetapan Allah, baik dan buruknya, merupakan sesuatu yang baik untuk umatnya yang
beriman dan bertakwa.

2. ISLAM
a) Pengertian Islam
Defenisi dari secara etimologi berasal dari bahasa arab aslama-yuslimu-islaman yang artinya
pasrah, atau tunduk. Sedangkan secara terminologi

4
Yaitu agama yang berisi ajaran tauhid menyerah diri serta tunduk kepada Tuhan Allah maha
Esa yang di bawa nabi Muhammad Salallahu alaihi wasalam untuk menunjukkan jalan yang
lurus kepada umatnya.
KH Endang Saifuddin Anshari. Mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan
tentang agama Islam, lalu menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan pengertian
Islam, bahwa agama Islam adalah:
1. Wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada
segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.
2. Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala perikehidupan dan
penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan, sesama manusia, dan
alam lainnya.
3. Bertujuan: keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
4. Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariat dan akhlak.
5. Bersumberkan Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu Allah SWT
sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah
Saw. Wallahu a’lam.
Orang-orang yang telah islam atau orang yang telah memeluk agama islam di sebut muslim.
Orang-orang yang telah memeluk agama islam berarti dia telah memasrahkan dirinya kepada
allah dan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan orang tersebut telah
terbebani hukum (mukallaf).
Nama “Islam” bagi agama ini diberikan oleh Allah Subhanallahu ta’ala sendiri. Dia juga
menyatakan hanya Islam agama yang diridhai-Nya dan siapa yang memeluk agama selain
Islam kehidupannya akan merugi di akhirat nanti. Islam juga dinyatakan telah sempurna
sebagai ajaran-Nya yang merupakan rahmat dan karunia-Nya bagi umat manusia, sehingga
mereka tidak memerlukan lagi ajaran-ajaran selain Islam.Ini membuktikan bahwa islam
adalah agama yang peling benar, dan hal ini telah di jelaskan dalam Al-qur’an surat Al-imran
ayat 19.
Allah Subhanallahu ta’ala berfirman :
‫إِ َّن الَّ ِد ْينَ ِع ْندَهللا آإْل ِ ْسلَم‬
Artinya : “Sesungguhnya agama di sisi allah ialah islam”.(QS. 3 : 19)
Dan Allah berfirman dalam ayat lain :
َ‫َو َم ْن يَّ ْبت َِغ ِغيْر ا ِإل ْسلَ ِم ِد ْينَا فَلَ ْن ي ْقبَل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اأْل َ ِخ َرة ِمنَ ْال َخ ِس ِر ْين‬
Artinya : “Dan siapa saja yang memeluk agama selain islam, tidak akan di terima (oleh
Allah) dan dia termasuk orang-orang yang merugi di akhirat nanti.” (QS. Al-imran : 85)

5
Di tambah lagi dalam surat lain Allah subhanallahu ta’ala berfirman :
‫ْت لَ ُك ْم آ ِإل ْسلَ ِم ِد ْينَا‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِى َو َر‬
ُ ‫ضي‬ ُ ‫اليَو َم أَ ْك َم ْل‬
Artinya : “Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu (islam) dan Aku telah limpahkan
nikmat-Ku kepada mu dan Aku ridha islam sebagai agamamu.” (QS. 5:3)
Bahkan menurut Al-Quran, semua agama yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul
sebelum Muhammad pun pada hakikatnya adalah agama Islam dan pemeluknya disebut
Muslim (Q.S. 2:136), (Q.S. 10:72) dan banyak lagi ayat-ayat lainnya. Bahkan, Hawariyun,
yakni sebutan bagi pengikut Nabi Isa a.s., menyebut diri mereka Muslim (Q.S. 3:52).

b) Rukun-rukun Islam
1) Mengucapkan Syahadat
Mengucapkan syahadat ( ‫ ) اَ ْشهَ ُد اَ ْن إَل اِلَهَ اِاَّل هللا َواَ ْشهَ ُد اَ َّن محمد ال َّرسُوْ ُل هللا‬adalah sesuatu yang harus
dilakukan oleh orang Islam maupun orang yang menghendaki masuk Islam. Karena syahadat
adalah sebuah kesaksian diri bahwa tiada tuhan yang berhak di sembah kecuali Tuhan (Allah)
yang maha Esa, dan Nabi Muhammad Salallahu alaihi wasalam adalah utusan-Nya.
2) Mendirikan Sholat
Mendirikan sholat adalah salah satu bentuk cara berhubungan vertikal secara langsug dari
seorang hamba kepada Allah subhanallahu Ta’ala.
3) Menunaikan Zakat
Menunaikan zakat adalah salah satu perintah Allah kepada hambanya untuk membagi
hartanya kepada orang-orang yang tidak mampu. Sehingga rasa kepedulian antara sesama
manusia terwujud. Kesolidaritasan da saling tolong menolong akan semakin kuat ikatannya.
4) Melaksanakan Puasa
Puasa adalah salah satu perintah tuhan yang sebagia besar manusia mampu melaksanakannya.
Rasa lapar dan haus, menahan hawa nafsu adalah bentuk kepedulian atau kesetaraan semua
manusia. Puasa mengajarkan kita bagaiman rasannya lapar dan haus, agar kita peduli kepada
manusia yang kelaparan dan tidak mampu.
5) Menunaikan Haji
Haji adalah perintah Allah yang dimana keharusan pelaksananya adalah bagi orang-orang
yang mampu saja untuk menunaikannya. Haji adalah ajang tempat memper erat ukhuwah
atau persaudaraan antara ummat muslim se dunia.

3. IHSAN
a) Pengertian Ihsan

6
Secara bahasa ihsan berarti berbuat baik. Ihsan adalah kebalikan dari Isa’ah yang berarti
berbuat buruk. Sedangkan pengertian ihsan secara istilah itu terdiri dari dua jenis yaitu Ihsan
dalam Ibadah kepada Allah dan Ihsan Kepada Sesama Makhluk. Ihsan dalam ibadah kepada
Allah adalah seorang hamba yang beribadah kepada Allah seakan-akan ia melihat Allah,
apabila ia tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatnya.
Ihsan sendiri merupakan usaha untuk selalu melakukan yang lebih baik, yang lebih afdhal,
dan bernilai lebih sehingga seseorang tidak hanya berorientasi untuk menggugurkan
kewajiban adalah beribadah, melainkan justru berusaha bagaimana amal ibadahnya diterima
dengan sebaik-baiknya oleh Allah. SWT. Karena dia akan merasa diawasi oleh Allah, maka
akan terus timbul dihatinya tuntutan untuk selalu meng upgrade amal perbuatannya dari yang
kurang baik menjadi yang baik, dari yang sudah baik, terus berusaha untuk yang lebih baik
demi diterimanya amal perbuatan mereka.
Sebagai contoh, seseorang yang melakukan sholat, cukup dengan melakukan syarat dan
rukun sholat saja, tanpa harus khusu’ maupun khudu’. Orang itu sudah tidak dituntut lagi
kelak karena dia sudah melakukan kewajibannya walaupun hanya sebatas menggugurkan
kewajiban belaka. Beda dengan orang yang muhsin (ihsan), maka dia akan melakukan sholat
tersebut dengan sesempurna mungkin, dia tidak hanya memperhatikan syarat dan rukun saja,
melainkan adab dalam sholat, kekhusyu’an, khudu’, dan hal-hal yang dapat menghalangi
sampainya ibadah tersebut sampai kepada hadroh sang kholiq.
Ihsan memiliki potensi untuk menjuhkan kita dari sifat buruk di hati atau bisa di sebut
penyakit hati seperti; sombong, riya’, hasud, dengki dan lain sebagainya. Ihsan juga salah
satu cara agar bagaimana Allah menerima ibadah-ibadah kita.

4. HUBUNGAN ANTARA ISLAM, IMAN DAN IHSAN


Islam, iman dan ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan, ketiganya saling
berhubungan atau terdapat sangkut paut yang perlu di terapkan untuk menuju keridhoa-
Nya.Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah, keyakinan tersebut di
implementasikan melalui islam yang di dalamnya terdapat rukun-rukun yang wajib di
kerjakan, kemudian pelaksanaannya di lakukan dengan ikhlas setulus hati karena Allah
Subhanallahu ta’ala merasa seakan-akan kita melihat Allah, atau setidaknya merasa Allah
melihat dan mengawasi kita.

7
Iman dan islam memang satu padu di mana yang satu menjadi tumpuan dari yang lainnya.
Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari amaliah kebaikan seorang muslim cukup
menjadi indikator akan keberhasilannya menegakkan agama ini. Allah SWT berfirman, :

ٓ ‫هّٰلل‬
ِ ‫ب َو ٰلـ ِك َّن ۡالبِ َّر َم ۡن ٰا َمنَ بِا ِ َو ۡاليَ ۡو ِم ااۡل ٰ ِخ ِر َو ۡال َم ٰل ِٕٕٮِ• َک ِة َو ۡال ِك ٰت‬
‫ب َوالنَّبِ ٖيّ ۚ•نَ‌ َو ٰاتَى‬ ِ ‫ق َو ۡال َم ۡغ ِر‬ ۡ ۡ َ ‫لَ ۡي‬
ِ ‫س البِ َّر اَ ۡن تُ َولُّ ۡوا ُوج ُۡوهَ ُكمۡ قِبَ َل ال َم ۡش ِر‬
َ‫ب َواَقَا َم الص َّٰلوةَ َو ٰاتَى ال َّز ٰکوةَ ‌ ۚ َو ۡال ُم ۡوفُ ۡون‬ ‌ِۚ ‫ۡال َما َل ع َٰلى ُحب ِّٖه َذ ِوى ۡالقُ ۡر ٰبى َو ۡاليَ ٰتمٰ ى َو ۡال َم ٰس ِك ۡينَ َو ۡابنَ ال َّسبِ ۡي ۙ ِل َوالسَّٓا ِٕٕٮِ•لِ ۡينَ َوفِى الرِّ قَا‬
َ‫ولٓ ِٕٕٮِ•كَ هُ ُم ۡال ُمتَّقُ ۡون‬
ٰ ُ‫ص َدقُ ۡوا ؕ َوا‬ َ •ِ‫ولٓ ِٕٕٮ‬
َ َ‫ك الَّ ِذ ۡين‬ ٰ ُ‫سؕ ا‬ ۡ ۡ َّ ‫صبِ ِر ۡينَ فِى ۡالبَ ۡا َسٓا ِء َوال‬
ِ ‫ضرَّٓا ِء َو ِح ۡينَ البَا‬ ّ ٰ ‫بِ َع ۡه ِد ِهمۡ اِ َذا ٰعهَد ُۡوا ۚ َوال‬

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi
sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat – malaikat,
kitab – kitab, nabi – nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang- orang miskin, musafir ( yang memerlukan pertolongan ), dan orang-orang
yang meminta – minta ; dan (memerdekakan ) hamba sahaya, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat ; dan orang – orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang –
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang
– orang yang benar (imannya) ; dan mereka itulah orang – orang yang bertakwa. ( QS. 2 :
177)

Dalam ayat tadi, Allah menjelaskan bahwa kebaktian tadi ternyata dalam Islam menjadi
simbol akan tercakupnya seluruh elemen dasar dari agama ini ( yaitu iman dan islam ). Di
mana, Allah menyebut mereka orang- orang yang bisa merefleksikan Islamnya diatas
imannya dalam bentuk al- bir, sebagai orang-orang yang shidiqin. Dalam ayat ini juga , Allah
SWT seolah – olah menyiratkan kepada kita tentang keadaan orang – orang munafik
( termasuk kaum muslimin yang lengah sehingga terhinggapi perbuatan kemunafikan ) bahwa
mereka itu menumbuhkan keislamannya di atas kekufuran. Mereka menyandarkan
keislamannnya pada kedustaan. Oleh karena itulah, dengan ayat ini, Allah menegaskan
kepada kita untuk semampu mungkin membangun keislamannya di atas keimanan yang
sebenar – benarnya sehingga dengan demikian mereka bisa membangun keislaman beserta
pengejewantahannya dalam nilai – nilai shidiq.

8
BAB II
ISLAM DAN SAINS

Penghargaan Al-Qur’an Terhadap Ilmu Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan
yang lainnya adalah penekanannya terhadap ilmu (sains). Al-Qur’an dan Al-Sunnah
mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta
menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Di dalam Al-
Qur’an kata ilmu dan kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali. Beberapa ayat
Al-Qur’an yang diwahyukan pertama kepada Nabi Muhammad SAW., menyebutkan
pentingnya membaca bagi manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Alaq ayat 1-5
yang berbunyi

َ ۚ َ‫ك الَّ ِذيْ خَ ل‬


١–‫ق‬ َ ِّ‫اِ ْق َر ْأ بِاس ِْم َرب‬
٢–‫ق‬ ٍ ۚ َ‫ق ااْل ِ ْن َسانَ ِم ْن َعل‬
َ َ‫خَ ل‬
٣ – ‫اِ ْق َر ْأ َو َربُّكَ ااْل َ ْك َر ۙ ُم‬
٤ – ‫الَّ ِذيْ َعلَّ َم بِ ْالقَلَ ۙ ِم‬
٥ – ‫عَلَّ َم ااْل ِ ْن َسانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ۗ ْم‬

Terjemahnya:
1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
5.Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dalam hadis-hadis Nabi juga terdapat pernyataan-pernyataan yang memuji orang yang
berilmu dan mewajibkan menuntut ilmu antara lain: Mencari ilmu wajib bagi setiap
muslimin. Carilah ilmu walaupun di negeri Cina. Carilah ilmu sejak dari buaian
hingga ke liang lahad. Para ulama itu adalah pewaris Nabi. Pada hari kiamat ditimbanglah
tinta ulama dengan darah syuhada, maka tinta ulama dilebihkan dari darah syuhada.

Menurut Ali Ashrap dalam bukunya “New Horizon in Muslim Education”


sebagaimana yang dikutip oleh Noeng Muhajir bahwa: Orientasi IPTEK harus
diberangkatkan dari moral Al-Qur’an. Juga ia menganjurkan agar konsep IPTEK didasarkan

9
pada ketentuan mutlak yang ditetapkan dalam al-Qur’an. Masalah ilmu-ilmu apa saja yang
dianjurkan Islam, telah merupakan persoalan mendasar sejak hari-hari pertama Islam. Apakah
ada ilmu-ilmu khusus yang harus dicari. Pertanyaan ini telah dijawab oleh para ulama
Islam. Sebagian ulama besar Islam seperti al-Ghazali, mengatakan bahwa ilmu yang
wajib dicari adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban
pelaksanaan syari’at Islam. Sedang yang wajib kifayah adalah ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan.

Al-Ghazali juga mengklasifikasikan ilmu kepada ilmu agama dan ilmu non-agama.
Ilmu agama (‘Ulum syar’), adalah kelompok ilmu yang diajarkan lewat ajaran-ajaran
Nabi dan wahyu. Sedang ilmu non-agama diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji,
dibolehkan dan tercela. Sejarah misalnya masuk dalam ilmu yang dibolehkan. Sihir masuk
dalam ilmu yang tercela. Adapun ilmu yang terpuji yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari dan termasuk wajib kifayah dalam menuntutnya. Seperti ilmu
tentang obat-obatan, matematika dan keterampilan-keterampilan. Selanjutnya Noeng
Muhajir menambahkan bahwa al-Qur’an dan Hadis menurut telaah metodologis,
bukan hanya menampilkan ayat (bukti kebenaran), tetapi juga Hudan (petunjuk) dan
rahmah (anugerah) Allah. Karena itu IPTEK Islam bukan hanya mencari kebenaran,
melainkan juga mencari kebijakan dan ridha Allah. Di sinilah Noeng Muhajir
menghendaki agar pendekatan dominan dalam IPTEK sesuai semangat al-Qur’an adalah
axiologi (tujuan/manfaat) bukan sekedar ontologi atau epistemologi.

Mencermati pendapat al-Ghazali di atas tentang pengklasifikasian ilmu kepada ilmu yang
wajib, wajib kifayah, mubah dan tercela, adalah kurang tepat bila merujuk pada hadis
yang menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Ilmu apa pun
asalkan dapat memberikan manfaat bagi diri dan orang lain maka itu adalah wajib,
sebaiknya ilmu yang tidak bermanfaat adalah haram atau dilarang. Bukankah wahyu
ataupun hadis sebagai sumber ilmu adalah berasal dari Allah, demikian pula alam
ciptaannya juga berasal dari Allah, sehingga menuntut ilmu-ilmu kealaman (sains), juga
termasuk wajib bagi setiap muslim asalkan diarahkan untuk kemanfaatan masyarakat.
Klasifikasi ilmu seperti itu bisa menimbulkan miskonsepsi bahwa ilmu non-agama
terpisah dari Islam. Padahal ilmu yang digolongkan non-agama itu dapat memberikan
manfaat besar bagi kesejahteraan umat manusia. Katakan penemuan ilmu pengetahuan dalam
bidang kedokteran, transportasi, komunikasi dan pertanian dan lain-lain. Murtadha

10
Muthahhari sebagaimana yang dikutip dalam buku filsafat sains menurut al-Qur’an,
menjelaskan bahwa kesempurnaan Islam sebagai suatu agama menuntut agar setiap
lapangan ilmu yang berguna bagi masyarakat Islam dianggap sebagai bagian dari
kelompok ilmu agama. Agama yang memandang dirinya serba lengkap tidak bisa
memisahkan dirinya dari masalah-masalah yang memainkan peranan vital dalam
memberikan kesejahteraan dan kemerdekaan bagi masyarakat Islam.

Dalam sebagian besar al-Qur’an dan hadis konsep ilmu secara mutlak muncul dalam
maknanya yang umum. Tidak membedakan antara ilmu agama dan non-agama, hadis
nabi yang memerintahkan untuk menuntut ilmu walaupun ke negeri Cina, menunjukkan
bahwa menuntut ilmu tidak terbatas pada ilmu agama saja karena Cina pada saat itu
bukan pusat studi-studi teologi, fiqh ataupun tasawuf, tetapi terkenal dengan
industrinya. Lagi pula hukum atau ajaran-ajaran agama seperti yang dimaksud oleh al-
Ghazali tidak dapat dipelajari dari orang-orang musyrik. Selama beberapa abad ulama-
ulama Islam merupakan pembawa obor pengetahuan, bahkan karya-karya mereka dijadikan
buku teks di Eropa selama beberapa abad. Para ulama yang terkenal dalam sejarah Islam
sebagai filosof mengintegrasikan ilmu-ilmu yang berasal dari beberapa budaya lalu
diformulasikan dalam suatu pemikiran yang utuh dan menjadi milik Islam yang menjadikan
Islam pada saat itu memimpin peradaban dunia. Memilah-milah ilmu dengan alasan bahwa
ilmu agama dan non-agama tidak mempunyai nilai yang sama adalah kurang tepat, bukankah
kenyataannya ilmu yang dikatakan non-agama dewasa ini jauh lebih memberikan manfaat
yang besar kepada kehidupan umat manusia. Katakanlah dengan teknologi
komputerisasi, komunikasi, transportasi, perbankan dan lain-lain. Sedangkan ilmu yang
dimasukkan dalam kelompok ilmu agama malah menimbulkan pertentangan dalam
masyarakat seperti ilmu kalam / teologi, ilmu fiqh, dan lain-lain. Dalam Islam batasan
untuk ilmu adalah bahwa orang-orang Islam haruslah menuntut ilmu yang berguna dan
melarang menuntut ilmu yang tidak bermanfaat.

11
BAB III
ISLAM DAN PENEGAKKAN HUKUM

Di dalam al-Qur’an, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan erat dengan penegakan
hukum, di antaranya adalah adl, hukm, dan qist. Kata ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata
kerja ً‫ َعد ََل – يَ ْع ِد ُل – َع ْدالً – َو ُع ُدوْ الً – َوعَداَلَة‬. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain (‫) َعيْن‬, dâl
(‫)دَال‬, dan lâm (‫)الَم‬, yang makna pokoknya adalah ‫( اَاْل ِ ْس •تِ َواء‬keadaan lurus) dan ‫اَاْل ِ ْع ِو َج• اج‬
(keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang ber-
tolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama,
kata ‘adl berarti menetapkan hukum dengan benar. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan
lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’
itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”
kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak
kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem-
peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-
wenang.

Al-Ashfahâniy menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’.
Sementara itu, di dalam al-Mu’jam al-Washit kata ‘adl diartikan dengan memberikan apa
yang menjadi hak seseorang dan menagih apa yang menjadi kewajibannya. Sedangkan
menurut al-Maraghiy yang memberikan makna kata ‘adl dengan ‘menyampaikan hak kepada
pemiliknya secara efektif’/dengan jalan yang paling dekat.

Kata ‫ َع ْدل‬di dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Qur’an. Kata ini
di dalam al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya.
Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M.
Quraish Shihab bahwa —paling tidak— ada empat makna keadilan. Dan Salah satu di
antaranya bermakna persamaan. Maka Inilah makna yang berkaitan dengan pembahasan
penegakan hukum.[5] Di antara ayat tersebut adalah: QS. Al-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS.
Al-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. Al-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât
[49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud
adalah persamaan di dalam hak.

12
Kata hukm berasal dari kata ‫ حكما‬-‫ حكم – يحكم‬yang pada dasarnya berarti mencegah. Seperti
pada kata ‫ حكم••ة الدابة‬yang berarti mencegahnya dengan cara mengikat. Adapun kata ‫الحكم‬
‫ بالشيء‬berarti menilai dan menetapkan sesuatu/]6[.....‫ان تقضى بأنه كذا‬
Kata ‫ حكم‬dengan berbagai derivasinya di dalam al-Qur’an memiliki banyak arti diantaranya:
bermakna sesuatu yang berkesan di dalam hati seperti pada QS. Al-Haj: 52, bermakna
sesuatu yang tegas dan jelas seperti pada QS. Muhammad: 20 dan ali ‘Imran: 7, bermakna
hikmah seperti pada QS. Al-Baqarah: 129, atau bermakna sifat Allah seperti pada QS. Al-
Baqarah: 32 serta bermakna memberi keputusan hukum (yang menjadi objek kajian di dalam
makalah ini).
Adapun kata ‫ قسط‬pada dasarnya berarti ‫( نصيب بالعدل‬pembagian yang adil). Dalam berbagai
bentuk derivasinya kata ini memiliki arti yang bermacam-macam, bahkan arti yang saling
bertolak belakang. Di Samping bermakna adil kata ini juga bisa berarti mengambil bagian
atau hak orang lain, seperti pada QS. Jin: 15.

KEADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN


1. Dorongan Berlaku Adil Dalam Hukum
Keadilan merupakan sebuah asas pokok di dalam hukum.
Sehingga Allah menuntut kepada para penegak hukum untuk senantiasa menghukum secara
adil, sebagaimana pada firman-Nya berikut
:
‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل إِ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه إِ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا‬ ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن تُؤَ ُّدوا اأْل َ َمانَا‬
ِ َّ‫ت إِلَى أَ ْهلِهَا َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
‫صيرًا‬
ِ َ‫ب‬
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS.
Al-Nisa’: 58).

Lewat ayat ini Allah menyuruh kepada manusia untuk melaksanakan amanah-amanah yang
telah dibebankan kepada mereka. Baik amanah tersebut berkaitan dengan sesama manusia,
maupun amanah terhadap Allah, serta menyeru kepada penegak hukum untuk berlaku adil di
dalam menghukum.

13
Jika diperhatikan di antara kedua perintah di atas, yaitu antara perintah menunaikan amanah
dan perintah berlaku adil di dalam menghukum, terdapat perbedaan redaksi. Perintah untuk
menunaikan amanah bersifat umum, sedangkan perintah berlaku adil di dalam hukum
ِ َّ‫” َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬. Ini mengisyaratkan bahwa seluruh manusia
menggunakan lafaz syartiyah “‫اس‬
memikul amanah bagi masing-masing indifidunya, sedangkan menetapkan hukum bukanlah
wewenang setiap indifidu, melainkan ia adalah tanggung jawab kepada orang-orang tertentu
yang telah memenuhi syarat sebagai penegak hukum.

Dari kata ‫ اهلها‬dan ‫ َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ النَّاس‬menunjukkan bahwa objek penunaian amanah dan
berlaku adil di dalam hukum, berlaku terhadap siapapun juga, tidak terbatas hanya sesama
muslim. Dengan demikian, baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan
tanpa membedakan agama, keturunan atau ras. Ayat al-Qur’an yang menegaskan hal ini
cukup banyak. Salah satunya di antaranya adalah teguran Allah terhadap Nabi saw yang
hampir saja terpedaya oleh dalih seorang muslim yang munafik yang bermaksud
menyalahkan seorang Yahudi. Dalam konteks inilah turun firman Allah al-Nisa’: 105

ِ ‫ك هَّللا ُ َواَل تَ ُك ْن لِ ْلخَائِنِينَ َخ‬


‫صي ًما‬ َ ‫اس بِ َما أَ َرا‬ ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬ َ ‫إِنَّا أَ ْن َز ْلنَا إِلَ ْيكَ ْال ِكت‬

Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-
orang yang khianat[ (al-Nisa’: 105).

Mayoritas ahli tafsir mengemukakan satu peristiwa yang mereka nilai berhubungan dengan
turunnya ayat ini. Kesimpulannya adalah bahwa ada seorang yang bernama Thu’mah ibn
‘Ubairiq yang mencuri perisai milik tetangganya yang bernama Qatadah ibn Nu’man. Perisai
itu berada di dalam sebua kantong berisi tepung. Thu’mah menyembunyikan perisai tersebut
di rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid ibn Sâmin. Rupanya kantong tempat perisai itu
bocor. Ketika pemilik perisai tersebut mengetahui kehilangan perisainya, ia bertanya kepada
Thu’mah tetapi ia bersumpah bahwa ia tidak mengetahuinya. Melalui teteskan tepung mereka
menemukan perisai tersebut di rumah Zaid ibn Sâmin, Yahudi itu. Tentu saja ia menolak
tuduhan dan mengatakan bahwa Thu’mahlah yang menitipkan perisai tersebut kepadanya.
Beberapa orang Yahudi ikut menjadi saksi kebenaran Zaid ibn Sâmin. Namun keluarga

14
Thu’mah mengadu kepada Nabi saw dan membela Thu’mah. Rasul hampir saja terpengaruh
oleh dalih-dalih yang dikemukakan pihak Thu’mah, dan terlintas dipikiran beliau hendak
menghukum Zaid ibn Sâmin, sehingga turunlah ayat di atas.

Adapun Makna Kata ‘adl di dalam ayat di atas diartikan ‘sama’, yang mencakup sikap dan
perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, menuntut hakim untuk
menetapkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat
duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah,
kesungguhan mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang termasuk di
dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhâwiy bahwa kata ‘adl bermakna
‘berada di pertengahan dan mempersamakan’. Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar
persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa
manusia mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu,
keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini
menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
Makna keadilan di dalam proses hukum, seperti yang dipahami oleh tokoh-tokoh tafsir di atas
sesuai dengan sikap Rasul di dalam melaksanakan proses hukum,. Ini seperti yang terdapat di
dalam hadîts beliau berikut ini:

‫ إذا جلس إليك الخصمان فال تكلم حتى تسمع من اآلخر‬: ‫عن على رضي هللا عنه قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬
4‫]كما سمعت من األول‬

Dari Ali Radhiya Allâh ‘anhu bahwa Rasul Allâh Shala Allâh ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila ada dua orang yang berselisih duduk menghadapmu (untuk meminta keputusan
hukum), maka janganlah engkau berkata (memutuskan) sebelum engkau mendengar
(keterangan) yang lain sebagaimana mendengarkan yang pertama.
Sehingga dipahami –berdasarkan hadîts ini- bahwa antara kedua pihak yang berperkara
memiliki hak yang sama di dalam proses hukum tersebut.

Di dalam ayat lain ditegaskan bahwa perlakuan adil tersebut tidak memandang faktor
kedekatan, faktor keluarga maupun harta. Seperti pada ayat berikut:

‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ بِ ْالقِ ْس ِط ُشهَدَا َء هَّلِل ِ َولَوْ َعلَى أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ِو ْال َوالِ َدي ِْن َواأْل َ ْق َربِينَ إِ ْن يَ ُك ْن َغنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاهَّلل ُ أَوْ لَى‬
‫ْرضُوا فَإ ِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِيرًا‬ ِ ‫بِ ِه َما فَاَل تَتَّبِعُوا ْالهَ َوى أَ ْن تَ ْع ِدلُوا َوإِ ْن ت َْل ُووا أَوْ تُع‬

15
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (al-Nisa’: 135)

Di dalam ayat ini Allah menuntut orang-orang yang beriman untuk dapat menjadi penegak
keadilan. Perintah berlaku adil di dalam bahasa Arab diungkapkan dengan berbagai lafaz
diantara ‫ كونوا ق••ائمين بالقسط‬,‫ كونوا مقسطين‬,‫ اعدلوا‬dan ‫ ُكونُ••وا قَ•وَّا ِمينَ بِ ْالقِ ْس• ِط‬. Masing-masing kata ini
memiliki tingkat ketegasan yang berbeda-beda. Kata ‫ اع••دلوا‬berarti “berlaku adillah”, ini
biasanya dipakai dalam keadaan normal. Adapun kata yang lebih tegas dari kata ‫ اعدلوا‬adalah
‫ كون••وا مقس••طين‬yang berarti “jadilah orang-orang yang adil”, dan kata yang lebih tegas lagi
adalah ‫ كونوا قائمين بالقسط‬yang berarti “jadilah-penegak-penegak keadilan”. Adapun ungkapan
yang paling tegas adalah seperti di dalam Qs. Al-Nisa’; 135 di atas yaitu dengan kata ‫ُكونُوا‬
‫ قَ•وَّا ِمينَ بِ ْالقِ ْس• ِط‬yang berarti “jadilah penegak-penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-
benarnya”
Bersikap adil tersebut berlaku terhadap diri sendiri, orang tua, keluarga terdekat, yaitu tanpa
memandang kedekatan-kedekatan tersebut dan tidak terpengaruh oleh kekayaan masing-
masing yang berperkara. Peringatan Allah di dalam ayat ini tidak lain adalah karena pada
kenyataannya menunjukkan bahwa faktor keluarga dan harta sangat dapat mempengaruhi
keobjektifan seseorang di dalam menghukum.

Dengan faktor kedekatan, seorang hakim bisa saja menzalimi pihak lain, dan karena
kekayaan seorang hakim pun dapat berlaku aniaya terhadap orang yang miskin. Atau
sebaliknya karena merasa kasihan terhadap kondisi orang yang miskin seorang hakim bisa
saja tidak lagi berlaku adil. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Nabi, ketika beliau ditemui
oleh dua pihak yang berperkara, salah satunya adalah orang kaya, sedangkan yang lain adalah
miskin. Sehingga Nabi merasa tersentuh dengan yang miskin, dan beliau meyakini bahwa
yang miskin tersebut tidak akan mungkin berbuat zhalim terhadap yang kaya, Sehingga
Allah menurunkan ayat ini: ]16[.‫إِ ْن يَ ُك ْن َغنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاهَّلل ُ أَوْ لَى بهما‬
Di sini Allah menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan kondisi-kondisi pribadi, di luar
perkara tersebut tidak patut untuk menyebabkan seorang hakim menyimpang dari kebenaran.

16
Dan Allah-lah yang lebih tahu akan kemaslahatan, maka seorang hakim tersebut dituntut
untuk menegakkan keadilan sebagaimana mestinya. Demikian juga bagi mereka yang
mengetahui permasalahan tersebut, mereka dituntut untuk dapat menjadi saksi secara adil,
sehingga hukum dapat berlaku secara benar dan tepat.
Perintah Allah untuk berlaku adil di dalam hukum terhadap siapapun juga, termasuk non-
muslim, juga digambarkan di dalam QS. Al-Maidah: 42 berikut:
ِ ‫ك فَاحْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم أَوْ أَ ْع ِرضْ َع ْنهُ ْم َوإِ ْن تُع‬
َ ‫ْرضْ َع ْنهُ ْم فَلَ ْن يَضُرُّو‬
َ‫ك َش ْيئًا َوإِ ْن َح َك ْمت‬ َ ‫ت فَإ ِ ْن َجا ُءو‬ ِ ْ‫ب أَ َّكالُونَ ِللسُّح‬ ِ ‫َس َّما ُعونَ لِ ْل َك ِذ‬
َ‫فَاحْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم بِ ْالقِ ْس ِط إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬

Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka
putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan
jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka
dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maidah: 42).

Ayat ini sebenarnya adalah lanjutan dari ayat ke 41 yang menceritakan sikap-sikap orang
Yahudi yang suka mendengarkan kebohongan. Maka di dalam ayat ini Allah mengingatkan
kepada Rasul bahwa jika mereka mendatangi Rasul untuk meminta putusan terhadap perkara
yang timbul sesama mereka, maka Allah memberi dua pilihan. Pilihan yang pertama yaitu
memberi putusan dan yang kedua berpaling dari mereka, dengan tidak memberikan putusan
apa-apa.

Menurut Quraish Shihab penggunaan kata ‫إِ ْن‬/ jika atau seandainya ketika memberi pilihan
kepada Rasul untuk memberi putusan atau tidak, adalah untuk menunjukkan bahwa Rasul
tidak antusias untuk memberi putusan, karena Rasul yakin bahwa mereka sebenarnya tidaklah
menuntut keadilan , tetapi menuntut sesuatu putusan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Alternatif yang diberikan oleh ayat ini disebabkan oleh adanya dua hal yang bertentangan.
Dari satu sisi, keharusan menegakkan keadilan menuntut Nabi untuk memberikan putusan,
tetapi di sisi lain, karena mereka bukanlah menuntut keadilan, maka jika Nabi memutuskan
dengan adil, mereka akan menolaknya, dan ini berarti pelecehan terhadap Nabi.

17
Walau bagaimanapun rahasia dari dua buah alternatif yang diberikan Allah terhadap Rasul,
-menurut penulis- satu hal yang mesti dilakukan oleh Nabi dan penegak hukum lainnya
adalah jika mereka memberi putusan kepada siapapun harus berlaku adil dan tidak zalim.
Apalagi dari ayat-ayat yang menuntut untuk penegakan keadilan di atas, beberapa di
antaranya ditutup dengan sifat Allah yang menunjukkan bahwa Ia Maha Mengetahui, seperti َ‫ف‬
‫ إ ِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِيرًا‬dan ‫صيرًا‬
ِ َ‫إِ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب‬.
Lafaz-lafaz ini, selain sebagai kabar gembira bagi mereka yang menghukum dengan adil,
juga merupakan ancaman bagi para penegak hukum, ia mengisyaratkan bahwa jika seorang
hakim berlaku curang di dalam menghukum, maka Allah melihat, mendengar, bahkan
mengetahui dengan sedetil-detilnya akan semua itu. Sebagaimana hadîts Nabi berikut:

]18[‫أن تعبد هللا كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك‬

Artinya:
Engkau menyembah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak
melihatnya, niscaya Ia tetap melihatmu
Dan tuntutan untuk berlaku adil di dalam menghukum tidak hanya terhadap Nabi Muhammad
Saw, Namun juga terhadap Nabi terdahulu. Salah satunya adalah sebagaimana yang dialami
oleh Dawud as, di mana beliau didatangi oleh dua pihak yang berperkara, mereka meminta
nabi Dawud untuk memberi putusan yang adil terhadap perkara mereka tersebut. Seperti pada
QS. Shad: 22

ْ ‫ق َواَل تُ ْش ِط‬
‫ط َوا ْه ِدنَا إِلَى َس َوا ِء‬ ِّ ‫ْض فَاحْ ُك ْم بَ ْينَنَا بِ ْال َح‬
ٍ ‫ضنَا َعلَى بَع‬ ْ ‫إِ ْذ َد َخلُوا َعلَى دَا ُو َد فَفَ ِز َع ِم ْنهُ ْم قَالُوا اَل تَ َخ‬
ُ ‫ف خَ صْ َما ِن بَغَى بَ ْع‬
‫ص َرا ِط‬
ِّ ‫ال‬

Artinya:
Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka
berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah
seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami
dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan
yang lurus. (Shad: 22)

2. Etika Peradilan

18
Supaya penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan nilai keadilan,
maka di dalam al-Qur’an telah diisyaratkan berbagai etika peradilan di antaranya adalah:
1) Berlaku adil dan objektif di dalam proses hukum
Di dalam proses hukum, seorang hakim harus bersikap objektif dan memperlakukan orang
yang berperkara secara sama. Yaitu tanpa membedakan apakah mereka keluarga dekat
ataupun jauh, miskin atau kaya, seakidah ataupun tidak. Karena ketika seseorang memandang
kedekatan, kekayaan dan akidah, maka pada waktu itu ia akan melihat sebuah masalah
dengan subjektif dan bisa berlaku curang di dalam menghukum. Sehingga Allah menyuruh
orang yang beriman untuk tetap dan senantiasa berlaku adil terhadap siapapun juga,
termasuk kepada keluarga terdekat, orang kaya ataupun miskin, bahkan terhadap seseorang
yang tidak disenangi. Hal ini seperti pada firman Allah QS. Al-Nisa’: 135 di atas dan QS. Al-
Maidah: 8 berikut:

ْ ُ‫وا ه َُو أَ ْق َربُ لِلتَّ ْق َوى َواتَّق‬


َ ‫وا هَّللا‬ ْ ُ‫وا ا ْع ِدل‬
ْ ُ‫وا قَوَّا ِمينَ هَّلل ِ ُشهَدَآ َء بِ ْالقِ ْس ِط َوالَ يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَآنُ قَوْ ٍم َعلَى أَالَّ تَ ْع ِدل‬
ْ ُ‫وا ُكون‬ ْ ُ‫يَا أَيُّهَآ الَّ ِذينَ آ َمن‬
َ‫إِ َّن هَّللا َ خَ بِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, Karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Di dalam Qs. Al-Nisa’: 135 Allah menyuruh orang yang beriman untuk berlaku adil kepada
siapapun juga, meskipun salah satu di antara yang berperkara tersebut adalah orang tua dan
keluarga terdekat. Penyebutan lafaz َ‫ َولَوْ َعلَى أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ِو ْال َوالِ َدي ِْن َواأْل َ ْق َربِين‬, menunjukkan bahwa faktor
kedekatan keluarga ini biasanya dapat mempengaruhi objektifitas seorang hakim. Sehingga
Allah memperingatkan agar jangan sampai berlaku curang karena hal ini. Rasul Saw, sebagai
seorang yang menjadi hakim, juga menegaskan keteguhan sikap beliau bahwa faktor keluarga
tidak akan melunturkan objektifitasnya, meskipun terhadap anaknya sendiri seperti pada
hadîts berikut:

‫إنما أهلك الذين قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد وايم هللا لو أن‬
]19[‫فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها‬

19
Artinya:
Sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelummu itu hanyalah karena mereka tidak mau
menghukum terhadap kasus pencurian yang dilakukan oleh golongan terhormat, sedangkan
kalau yang mencuri itu golongan rendah mereka laksanakannya Demi Allah, seandainya
Fathimah bint Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya”
Dari lafaz ‫ إِ ْن يَ ُك ْن َغنِيًّ••ا أَوْ فَقِ••يرًا فَاهَّلل ُ أَوْ لَى بِ ِه َما‬, ini menunjukkan bahwa faktor ekonomipun bisa
menghilangkan objektifitas 0seorang hakim. Boleh jadi karena ingin mengharapkan imbalan
dari salah seorang yang berperkara, atau karena merasa kasihan terhadap pihak yang miskin.
Maka melalui ayat ini Allah mengatakan bahwa penegakan hukum Allah (keadilan) lebih
utama dibandingkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi tersebut.
Adapun dari lafaz ‫ َوالَ يَجْ• ِر َمنَّ ُك ْم َش•نَآنُ قَ••وْ ٍم َعلَى أَالَّ تَ ْع• ِدلُو‬, dipahami bahwa terlarang bagi seorang
hakim untuk berbuat curang karena kemarahannnya terhadap seseorang. Jadi di dalam
menghukum ia harus mengabaikan faktor emosionalnya. Ini sesuai dengan hadîts berikut:

[) ُ‫ َوه َُو غَضْ بَان‬,‫ ( اَل يَحْ ُك ُم أَ َح ٌد بَ ْينَ اِ ْثنَ ْي ِن‬:ُ‫ُول هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم يَقُول‬ ُ ‫ َس ِمع‬:‫َوع َْن أَبِي بَ ْك َرةَ رضي هللا عنه قَا َل‬
َ ‫ْت َرس‬
]20
2) Menjauhi Suap dan Hadiah
Agar proses peradilan dapat berjalan sebagaimana mestinya, Allah dan Rasul-Nya melarang
untuk melakukan sogok/suap. Sebagaimana pada Ayat berikut:

َ‫اس بِاإْل ِ ْث ِم َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ِ ‫َواَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا إِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن أَ ْم َو‬
ِ َّ‫ال الن‬

Artinya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui. (al-Baqarah).

Di dalam ayat ini Allah melarang untuk memakan harta sesama manusia dengan cara yang
bathil, yaitu mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan
tidak sejalan dengan tuntutan Ilahi. Salah satu dari bentuk mengambil hak dengan cara bathil
adalah dengan cara menyogok. Dalam ayat ini diibaratkan dengan kata ‫تُ ْدلُوا بِهَا‬, yang pada
dasarnya berarti menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh air. Timba tersebut

20
tidak tampak oleh orang lain, khususnya yang tidak berada di dekat sumur. Penyogok
menurunkan keinginannya kepada yang berwenang memutuskan sesuatu, tetapi secara
sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah.[21] Sehingga
ayat di atas dapat diartikan sebagai berikut: “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu
dengan jalan yang batil, dan menurunkan timbamu kepada hakim, yakni yang berwenang
memutuskan, dengan tujuan supaya kamu dapat memakan sebagian harta dari pada harta
orang lain dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu telah mengetahui.[22]
Meski yang dilarang di dalam ayat ini adalah perilaku menyogok, maka secara tersirat juga
larangan bagi penerima sogok. Karena hal tersebut dapat mempengaruhi putusan hukum, dan
menzhalimi pihak lain, dan tidak tegaknya hukum Allah. Larangan suap ini juga terdapat di
dalam hadîts Nabi, yang mengungkapkan bahwa Allah melaknat orang yang menyogok dan
yang disogok, seperti berikut ini:
]23[‫ لعن هللا الراشي و المرتشي‬: ‫عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال‬
Artinya:
Dari Rasul Allâh saw, beliau bersabda: Allah melaknat yang memberikan sogok dan yang
diberi sogok.
Di samping larangan menerima sogok, hal lain yang mesti dihindarkan oleh seorang hakim
adalah menerima hadiah karena ditakutkan hadiah tersebut mempengaruhi putusan beliau di
dalam menghukum. Sikap untuk tidak mau menerima hadiah, agar ini tidak menghalangi
seseorang di dalam mengambil sebuah putusan. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh
Sulaiman ketika beliau menerima hadiah melalui utusan ratu Saba’, sebagaimana pada ayat
berikut:
َ‫فَلَ َّما َجا َء ُسلَ ْي َمانَ قَا َل أَتُ ِم ُّدونَ ِن بِ َما ٍل فَ َما َءاتَانِ َي هَّللا ُ َخ ْي ٌر ِم َّما َءاتَا ُك ْم بَلْ أَ ْنتُ ْم بِهَ ِديَّتِ ُك ْم تَ ْف َرحُون‬
Artinya:
Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: “Apakah (patut) kamu
menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada
apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. (QS. Al-
Naml: 36)
Ungkapan Sulaiman ‫أَتُ ِم ُّدونَ ِن بِ َما ٍل‬, beliau tujukan kepada pimpinan delegasi ratu Saba’ agar
disampaikan kepada ratunya. Maksudnya adalah beliau menolak hadiah tersebut. Ini, karena
Nabi Sulaiman merasa bahwa hadiah tersebut bagaikan sogokan yang bertujuan menghalangi
beliau melaksanakan suatu kewajiban.[24]
3) Keburukan tergesa-gesa di dalam menjatuhkan hukuman

21
Salah satu etika di dalam peradilan bagi seorang hakim, adalah tidak tegesa-gesa di dalam
mengambil sebuah keputusan. Karena ketergesa-gesaan di dalam menetapkan sebuah
putusan, bisa menzhalimi suatu kelompok atau satu pihak. Prinsip ini sesuai dengan Qs. Al-
Hujurat: 6
َ‫صيبُوا قَوْ ًما بِ َجهَالَ ٍة فَتُصْ بِحُوا َعلَى َما فَ َع ْلتُ ْم نَا ِد ِمين‬
ِ ُ‫ق بِنَبَأ ٍ فَتَبَيَّنُوا أَ ْن ت‬
ٌ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا إِ ْن َجا َء ُك ْم فَا ِس‬
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu. (al-Hujurat)
Meskipun ayat ini bercerita tentang orang fasik. Namun di sini dapat diambil pelajaran bahwa
di dalam hal apapun juga, seseorang tidak boleh tergesa-gesa mengambil sebuah keputusan,
hingga mereka mengetahui sebuah urusan tersebut dengan jelas dan terang. Karena
ketergesaan di dalam memutuskan sesuatu bisa mengakibatkan terzaliminya suatu pihak, dan
ini akan mengakibatkan penyesalan bagi penetap keputusan di kemudian waktu.
Sebagaimana Nabi saw, yang hampir saja melakukan kesalahan karena mendengarkan
perkataan bohong dari al-Walid ibn ‘Uqbah mengenai al-Harits yang ditugaskan Nabi untuk
mengumpulkan zakat hingga akhirnya Allah menurunkan ayat ini.[25]
4) Keputusan hukum berdasarkan apa yang tampak
Di dalam menghukum, yang dijadikan patokan adalah apa yang tampak, bukan berdasarkan
perilaku atau kebiasaan pihak yang berperkara ketika berada di luar masalah ini. Sehingga
faktor pribadi dari yang berperkara bukanlah termasuk bahan pertimbangan di dalam
penetapan hukum. Hal ini tergambar di dalam kisah Yusuf beserta para saudaranya berikut:
َ‫قَا َل َم َعا َذ هَّللا ِ أَ ْن نَأْ ُخ َذ ِإاَّل َم ْن َو َج ْدنَا َمتَا َعنَا ِع ْن َدهُ ِإنَّا إِ ًذا لَظَالِ ُمون‬

Artinya:
Berkata Yusuf: “Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali
orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat demikian, maka
benar-benarlah kami orang-orang yang zalim.” (QS. Yusuf: 79)
Meskipun di dalam kisah ini merupakan rekayasa Yusuf untuk dapat bertemu dengan
saudaranya Benyamin, namun dari lafaz ُ‫ قَا َل َم َعا َذ هَّللا ِ أَ ْن نَأْ ُخ َذ إِاَّل َم ْن َو َج ْدنَا َمتَا َعنَا ِع ْن َده‬dapat diambil
pelajaran bahwa dari nabi-nabi terdahulupun, di dalam menetapkan putusan mereka
berpedoman kepada apa yang mereka dapati, bukan hanya berdasarkan persangkaan yang
lemah.

22
Di samping ke empat etika peradilan di atas, al-Maraghiy juga menyebutkan beberapa syarat,
sehingga seorang hakim dapat menghukum secara adil, di antaranya yaitu:
a. hakim harus memahami da’wah dan jawaban dari masing-masing pihak, sehingga ia
betul-betul memahami duduk permasalahan
b. Tidak berpihak kepada salah satu pihak yang bertikai
c. Memahami hukum yang berlaku[26]
3. Ancaman bagi yang tidak Menegakkan Hukum Sesuai dengan Ketentuan Allah.
Salah satu tujuan Allah menurunkan kitab-Nya –baik kepada Nabi Muhammad Maupun
kepada nabi-nabi terdahulu- adalah agar dapat dijadikan sebagai panduan di dalam
menghukum. Sebagaimana firman Allah:
‫اختَلَفُوا فِي ِه َو َما‬ ْ ‫اس فِي َما‬ ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِيَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬ َ ‫ِّين ُمبَ ِّش ِرينَ َو ُم ْن ِذ ِرينَ َوأَ ْن َز َل َم َعهُ ُم ْال ِكت‬ َ ‫َكانَ النَّاسُ أُ َّمةً َوا ِح َدةً فَبَ َع‬
•َ ‫ث هَّللا ُ النَّبِي‬
ُ ‫ق بِإ ِ ْذنِ ِه َوهَّللا‬
ِّ ‫اختَلَفُوا فِي ِه ِمنَ ْال َح‬ ُ ‫اختَلَفَ فِي ِه إِاَّل الَّ ِذينَ أُوتُوهُ ِم ْن بَ ْع ِد َما َجا َء ْتهُ ُم ْالبَيِّن‬
ْ ‫َات بَ ْغيًا بَ ْينَهُ ْم فَهَدَى هَّللا ُ الَّ ِذينَ َءا َمنُوا لِ َما‬ ْ
ِ ‫يَ ْه ِدي َم ْن يَ َشا ُء إِلَى‬
‫ص َرا ٍط ُم ْستَقِ ٍيم‬
Artinya:
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para
nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki
antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (al-Baqarah: 213)
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa pada awalnya manusia adalah satu, namun
kemudian diantara manusia tersebut saling berselisih. Sehingga untuk menghindari dan
menyelesaikan perselisihan-perselisihan tersebut Allah mengutus para rasul dan
menganugrahkan kepada mereka kitab-Nya. Dengan kitab-kitab inilah para nabi memberikan
keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Jadi tujuan utama penurunan Kitab ini adalah sebagai sumber dan panduan, baik bagi Nabi
maupun bagi para penegak hukum, di dalam menetapkan hukuman.
Tetapi setelah diturunkannya kitab, pada kenyataannya manusia masih tetap berselisih.
Perselisihan di antara manusia bukan karena keterangan dari kitab tersebut tidak jelas,
melainkan karena kedengkian di antara mereka sendiri. Kedengkian ini lahir dari keinginan
untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya

23
Maka sebuah kewajiban bagi penegak hukum untuk menegakkan hukum sesuai dengan apa
yang telah ditentukan oleh Allah di dalam kitab-Nya.
Di samping ayat yang menegaskan bahwa tujuan kitab itu adalah sebagai sumber hukum, di
dalam ayat lain juga dijelaskan bagaimana Allah mencela mereka yang telah menerima kitab,
namun tidak menghukum sesuai dengan kitab tersebut. Seperti kaum Yahudi dan Nasrani,
mereka disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai orang yang kafir, zhalim, dan fasiq. Seperti
pada Firman-Nya di dalam QS. Al-Maidah: 44, 45 dan 47
ِ ‫ب هَّللا‬ِ ‫إِنَّا أَ ْن َز ْلنَا التَّوْ َراةَ فِيهَا هُدًى َونُو ٌر يَحْ ُك ُم بِهَا النَّبِيُّونَ الَّ ِذينَ أَ ْسلَ ُموا لِلَّ ِذينَ هَادُوا َوال َّربَّانِيُّونَ َواأْل َحْ بَا ُر بِ َما ا ْستُحْ فِظُوا ِم ْن ِكتَا‬
َ‫اخ َشوْ ِن َواَل تَ ْشتَرُوا بِآَيَاتِي ثَ َمنًا قَلِياًل َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ فَأُولَئِكَ هُ ُم ْال َكافِرُون‬
ْ ‫اس َو‬
َ َّ‫َو َكانُوا َعلَ ْي ِه ُشهَدَا َء فَاَل ت َْخ َش ُوا الن‬
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya
(yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-
nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta
mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi
saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.
‫ق‬ َ ‫صاصٌ فَ َم ْن ت‬
َ ‫َص َّد‬ َ ‫ف َواأْل ُ ُذنَ بِاأْل ُ ُذ ِن َوالس َِّّن بِال ِّسنِّ َو ْال ُجر‬
َ ِ‫ُوح ق‬ ِ ‫س َو ْال َع ْينَ بِ ْال َع ْي ِن َواأْل َ ْنفَ بِاأْل َ ْن‬ َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِيهَا أَ َّن النَّ ْف‬
ِ ‫س بِالنَّ ْف‬
َ‫بِ ِه فَهُ َو َكفَّا َرةٌ لَهُ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ فَأُولَئِكَ هُ ُم الظَّالِ ُمون‬
Artinya:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)
nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.

َ ِ‫َو ْليَحْ ُك ْم أَ ْه ُل اإْل ِ ْن ِجي ِل بِ َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ فِي ِه َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ فَأُولَئ‬
ِ َ‫ك هُ ُم ْالف‬
َ‫اسقُون‬
Artinya:
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik

24
Para ulama berbeda mengenai penyebutan kata al-kâfirûn, al-zhâlimûn dan al-fâsiqûn di
ujung masing-masing ayat, apakah ia ditujukan kepada umat Islam atau kepada yang bukan
Islam (Yahudi dan Nasrani). Menurut abiy Shalih ayat ini semuanya ditujukan bagi orang-
orang kafir, bukan terhadap umat Islam, sedangkan menurut al-Dhahak dan ibn Juraij ayat ini
ditujukan bagi ahli al-Kitab. Sedangkan menurut al-Sya’biy penyebutan al-kâfirûn ditujukan
kepada orang yang Islam sedangkan fâsiqûn ditujukan bagi orang Nasrani. Menurut ibn
‘Abbas kâfirûn ditujukan kepada mereka yang tidak menghukum dengan hukum Allah yang
dikarenakan pengingkaran mereka terhadap hukum tersebut, sedangkan zhâlimûn dan fâsiqûn
ditujukan bagi mereka yang tidak menghukum dengan hukum Allah, tetapi masih mengakui
keberadaannya. Adapun menurut abiy Ja’far, mereka yang menyembunyikan hukum Allah
dan kemudian berhukum dengan hukum yang lain, sebagaimana orang-orang Yahudi, berarti
mereka adalah orang-orang yang kafir.
Dari pendapat-pendapat di atas, serta memperhatikan hubungan antara konteks ayat, dapat
disimpulkan beberapa poin yaitu:
d. Bagi mereka yang tidak menghukum sesuai dengan hukum Allah, sementara mereka
menyembunyikan kebenaran hukum tersebut, sebagaimana orang Yahudi Maka berarti
mereka adalah orang yang kafir.
e. Bagi mereka yang menghukum dengan hukuman yang tidak sesuai dengan yang
ditentukan, yaitu tidak menegakkan pembalasan yang seimbang, maka mereka adalah orang
yang zhalim.
f. Dan terakhir, bagi mereka yang tidak menghukum sesuai dengan hukum Allah,
sementara mereka mengetahui kebenaran hukum tersebut, sebagaimana orang Nasrani berarti
mereka adalah orang yang fasiq.

Hukum dan Keadilan dalam Islam


Hal ini bisa dilihat dari praktik Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam hadis: Ketika
Uzamah binti Zaid meminta maaf atas kesalahan Fatimah binti al-Aswad karena telah
mencuri, maka Rasulullah berkata, “Apakah kamu meminta syafaat mengenai sesuatu dari
hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Bahwasanya
yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu ialah mereka menegakkan hak terhadap
kaum lemah dan meninggalkan had terhadap kaum bangsawan. Saya bersumpah demi Allah
seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya akan kupotong tangannya”
Prinsip keadilan dalam menegakkan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah semata-

25
mata menjalankan keadilan Ilahi. Rasulullah sebagai hakim pada saat itu hanya mengemban
hukum Allah sehingga setiap keputusannya selalu berpegang kepada hukum Allah yaitu al-
Qur’an. Sedang al-Qur’an sendiri memberi petunjuk bahwa kita disuruh berlaku adil, baik
untuk diri sendiri maupun keluarga dan jangan mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Di sini Nabi bersikap sebagai seorang penguasa atau eksekutif
sekaligus sebagai yudikatif. Namun bila dihadapkan dengan tugasnya sebagai yudikatif, maka
kekuasaan eksekutif tidak akan mempengaruhi setiap keputusannya.Apabila prinsip keadilan
dihubungkan dengan hukum, maka harus ada intervensi kekuasan yang dapat mengantarkan
ke arah tegaknya hukum. Ada beberapa tugas pokok bagi penyelenggara negara dalam rangka
menegakkan supremasi hukum

26
BAB IV
KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR

Pengertian
Menurut kamus al-Munawir Arab-Indonesia terlengkap bahwa arti Amar adalah
memerintahkan. Ma‟ruf artinya adalah kebajikan. Nahi artinya melarang atau mencegah.
Munkar artinya adalah keji atau munkar. Selain itu ma‟ruf juga diartikan melaksanakan apa
yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam kitabnya atau melalui lisan rasulnya Muhammad
SAW. Sedangkan yang munkar diartikan apa yang dilarang oleh Allah dalam kitabnya atau
melalui lisannya Muhammad SAW. Dinamakan ma‟ruf karena jiwa yang sehat akan
mengenalinya dan mengetahui kebaikannya serta menerimanya dan akan terus melakukan
perbuatan yang ma‟ruf dan dinamakan munkar karena jiwa dan fitrah yang sehat akan
mengingkari dan menjauhi serta menjelekkan perbuatan tersebut. Arti amar ma‟ruf nahi
munkar secara terminologi ialah megajak kepada perbuatan yang baik dan mencegah kepada
perbuatan yang munkar. Secara etimologi amar berarti adalah perintah, ajakan, anjuran,
himbauan bahkan juga berarti permohonan. Ma‟ruf artinya baik, layak, patut. Nahi Munkar
berarti melarang, mencegah dan munkar berarti durhaka.

Dasar Hukum
‫ من رأى منكم منكرا فليغيره‬:‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬:‫ قال‬-‫رضي هللا عنه‬- ‫عن أبي سعيد الخدري‬
‫ وذلك أضعف اإليمان‬،‫ فإن لم يستطع فبقلبه‬،‫ فإن لم يستطع فبلسانه‬،‫بيده‬
‫ ليس وراء ذلك من اإليمان حبة خردل‬: ‫وفي رواية‬

Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak

27
mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia
merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam yang akan
mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan penyebutannya dari iman
dalam firman-Nya,

ِ ‫اس تَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬


ِ ‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُمن َك ِر َوتُ ْؤ ِمنُونَ بِاهللِ َولَوْ َءا َمنَ أَ ْه ُل ْال ِكتَا‬
‫ب َل َكانَ خَ ْيرًا لَّهُ ْم‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ ْ ‫ُكنتُ ْم َخ ْي َر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
َ‫ِّم ْنهُ ُم ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َوأَ ْكثَ َرهُ ُم ْالفَا ِسقُون‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik“. [Ali Imron :110] Demikian pula, Allah
membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan hal ini. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,

َ‫صالَةَ َوي ُْؤتُونَ ال َّز َكاة‬ ِ ‫ْض يَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
َّ ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُمن َك ِر َويُقِي ُمونَ ال‬ ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لِيَآ ُء بَع‬ُ ‫َات بَ ْع‬ُ ‫َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫َزي ٌز َح ِكي ُُم‬ َ ِ‫َويُ ِطيعُونَ هللاَ َو َرسُولَهُ أُوْ الَئ‬
ِ ‫ك َسيَرْ َح ُمهُ ُم هللاُ إِ َّن هللاَ ع‬

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana“.[At-Taubah:71] Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata,”Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, umat Islam
adalah umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan
baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan
kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di
jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia.
Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma’ruf (kebaikan)
dan melarang semua kemungkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian
mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan
jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan

28
dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk
amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa

ِ ‫َاس ِرينَ قَالُوا يَا ُمو َسى إِ َّن فِيهَا قَوْ ًما َجب‬
‫َّارينَ َوإِنَّا لَن‬ ِ َ‫َب هللاُ لَ ُك ْم َوالَ تَرْ تَ ُّدوا َعلَى أَ ْدب‬
ِ ‫ار ُك ْم فَتَنقَلِبُوا خ‬ َ ‫ض ْال ُمقَ َّد َسةَ الَّتِي َكت‬
َ ْ‫ُخلُوا ْاألَر‬
َ َ‫نَّ ْد ُخلَهَا َحتَّى يَ ْخ ُرجُوا ِم ْنهَا فَإِن يَ ْخ ُرجُوا ِم ْنهَا فَإِنَّا دَا ِخلُونَ قَا َل َر ُجالَ ِن ِمنَ الَّ ِذينَ يَخَافُونَ أَ ْن َع َم هللاُ َعلَ ْي ِه َما ا ْد ُخلُوا َعلَ ْي ِه ُم ْالب‬
‫اب‬
َ‫فَإِذاَ َد َخ ْلتُ ُموهُ فَإِنَّ ُك ْم غَالِبُونَ َو َعلَى هللاِ فَتَ َو َّكلُوا إِن ُكنتُم ُّم ْؤ ِمنِينَ قَالُوا يَا ُمو َسى ِإنَّا لَن نَّ ْد ُخلَهَآ أَبَدًا َما دَا ُموا فِيهَا فَ ْاذهَبْ أَنت‬
َ‫ك فَقَاتِآلَ إِنَّا هَاهُنَا قَا ِع ُدون‬ َ ُّ‫َو َرب‬

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan
janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi
orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada
orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya
sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan
memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang
Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang
(kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada
Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka
berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka
ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua,
sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. [Al-Maidah : 21-24] Demikian pula
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

.‫ب‬ َ ِ‫ث لَنَا َملِ ًكا ُّنقَاتِلْ فِي َسبِي ِل هللاِ قَا َل هَلْ َع َس ْيتُ ْم إِن ُكت‬ ْ ‫إل ِمن بَنِى إِ ْس َرا ِءي َل ِمن بَ ْع ِد ُمو َسى إِ ْذ قَالُوا لِنَبِ ٍّي لَّهُ ُم ا ْب َع‬ ِ ‫أَلَ ْم تَ َر إِلَى ْال َم‬
ً‫ب َعلَ ْي ِه ُم ْالقِتَا ُل ت ََولَّوْ ا إِالَّ قَلِيال‬
َ ِ‫ارنَا َوأَ ْبنَآئِنَا فَلَ َّما ُكت‬ ُ
ِ َ‫َعلَ ْي ُك ُم ْالقِتَا ُل أَالَّ تُقَاتِلُوا قَالُوا َو َمالَنَآ أَالَّ نُقَاتِ َل فِي َسبِي ِل هللاِ َوقَ ْد أ ْخ ِرجْ نَا ِمن ِدي‬
َ‫ِّم ْنهُ ْم َوهللاُ َعلِي ُُم بِالظَّالِ ِمين‬

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat)
ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja
supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka
menjawab,”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan
berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal
sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”.
Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa
orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim“. [Al-

29
Baqarah:246] Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka.
Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan begi
mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan
perang. [1] Demikianlah anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam. Dia
menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

ِ ْ‫ي األُ ِّمي ال ِذيْ يَ ِج ُدوْ نَهُ َم ْكتُوْ بًا ِع ْن َدهُ ْم فِ ْي التَّوْ َرا ِة َو ْا ِإل ْن ِج ْي ِل يَأْ ُم ُرهُ ْم بِ ْال َم ْعرُو‬
‫ف َويَ ْنهَاهُ ْم ع َِن ْال ُم ْن َك ِر‬ َّ ِ‫ال ِذ ْينَ يَتَّبِعُوْ َ•ن ال َّرسُوْ َل النَّب‬
ُ‫َصرُوْ ه‬ َ ‫َت َعلَ ْي ِه ْم فَالَّ ِذ ْينَ َءا َمنُوْ ا َو َعزَ رُوْ هُ َون‬ْ ‫ض ُع َع ْنهُ ْم إِصْ َرهُ ْم َو ْاألَ ْغالَ َل الَّتِي َكان‬ َ َ‫ث َوي‬ َ ِ‫ت َويُ َح ِّر ُم َعلَ ْي ِه ُم ْال َخبَائ‬ِ ‫َويُ ِحلُّ لَهُ ُم الطَّيِّبَا‬
َ ِ‫َواتَّبَعُوْ ا النُّوْ َر الَّ ِذيْ أَ ْن َز َل َم َعهُ أُوْ لَئ‬
َ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن‬

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-
orang yang beruntung“. [Al- A’raaf : 157). Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini, bahkan memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya

ِ ‫َو ْلتَ ُكن ِّمن ُك ْم أُ َّمةُُ يَ ْد ُعونَ إِلَى ْال َخي ِْر َويَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
َ ِ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُمن َك ِر َوأُوْ الَئ‬
. َ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون‬

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang
yang beruntung“. [Al-Imron:104] Baca Juga Batasan Mengingkari Kemungkaran Tugas
penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi seluruh umat dan
bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini
telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
sekarang hingga hari kiamat nanti.

BENTUK BENTUK AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR

30
1. Dengan senjata
Islam juga menyerukan untuk mengangkat senjata jika hal tersebut benar benar
memungkinkan sebagaimana firman Allah dalam suratan-Nisa Ayat 75 yang
berbunyi:

‫َان الَّ ِذينَ يَقُولُونَ َربَّنَا أَ ْخ ِرجْ نَا ِم ْن ٰهَ ِذ ِه‬


ِ ‫يل هَّللا ِ َو ْال ُم ْستَضْ َعفِينَ ِمنَ ال ِّر َجا ِل َوالنِّ َسا ِء َو ْال ِو ْلد‬ ِ ِ‫َو َما لَ ُك ْم اَل تُقَاتِلُونَ فِي َسب‬
‫صيرًا‬ ِ َ‫ك ن‬ َ ‫ْالقَرْ يَ ِة الظَّالِ ِم أَ ْهلُهَا َواجْ َعلْ لَنَا ِم ْن لَ ُد ْن‬
َ ‫ك َولِيًّا َواجْ َعلْ لَنَا ِم ْن لَ ُد ْن‬

Artinya:“mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah membela kaum yang
lemah baik laki-laki maupun wanita dan anak-anak yang semuanya berdo‟a: “Ya robb
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini(makkah) yang zhalim penduduknnyadan
berilah kami pelindung dari sisi engkau dan berikanlah kami penolong dari sisi
Allah.”(QS.an-Nisa:75).
Apabila masyarakat tidak mampu melawan tirani dan kezhaliman serta kediktatoran
maka tidak ada alasan baginya untuk mengangkat senjata atau paling tidak hijrah dari
kampung mereka dan tidak ada alasan bagi merekauntuk mereka kebinasaan. Kalau
darah manusia sudah tidak berharga dan ummat Islam diperangi, maka tidak ada
kedamaian dalam kehidupan. Oleh karena itu Islam mewajibkan umatnya untuk
bangkit demi membela diri dan haram hukumnya bagi ummat Islam untuk berdiam
diri menerima kehinaan dan penindasan. Islam ssangat mencintai kedamaian namun,
kemerdekaan dan kehormatan umat Islam jauh lebih berharga dari perdamaian itu
sendiri.
2. Dengan politik
Perjuangan dengan menggunakan kekuatan politik dalam suatu negara dikemas
berbagai bentuk diantaranya adalah dalam bentuk wadah atau membentuk kelompok
atau kekuatan politik yang disebut dengan partai. Yusuf Qordhawi mengatakan
“bahwa partai suatu wadah bagi umat untuk mengatakan “tidak” atau “kenapa”. Partai
yang dimaksud oleh Yusuf Qordhawi harus memenuhi 2 syarat
yaitu:
a. Partai-partai tersebut harus mengakui Islam sebagai akidah dan Syari‟ah, tidak
boleh melanggar ajaran-ajarannya dan tidak boleh pula menjadikan partai sebagai
kedik, walaupun berbagai partai tersebut mempunyai ijtihad sendiri memahaminya
berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang sudah ditetapkan.

31
b. Partai-partai tersebut tidak boleh bekerja demi kepintingan pihak-pihak yang
memusuhi Islam dan umatnya, apapun nama dan bentuknya.
2. Dengan dakwah
Secara bahasa, dakwah berarti memanggil, mengundang, minta tolong kepada,
berdo‟a, memohon, mengajak kepada sesuatu, mengubah dengan perkataan dan
perbuatan , dan amal. Dan secara istilah para ahli piqh berbeda pendapat tentang
dakwah di antaranya;
a. M. Abu al-Fath al-Bayanuni, dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan
Islam kepada manusia serta menerapkannya dalam kehidupan manusia.
b. Taufik al-Wa‟i, dakwah adalah mengajak kepada pengesaan Allah dengan
menyatakan dua kalimat sahadat dan mengikuti manhaj Allah dimuka bumi baik
perkataan dan perbuuatan, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur‟an dan
Assunnah, agar memperoleh agama yang diridha‟inya dan manusia memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
c. Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah mendorong (memotivasi) Manusia untuk
melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat ma‟ruf
dan mencegah dari perbuatan yang munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan
di dunia dan akhirat.

Dalam menegakkan amar ma‟ruf nahi mukar dalam rangka merealisasikan negara
yang berwibawa dan bermartabat. Hal tersebut berpedoman kepada tindakan yang
dilakukan Abu Bakar sewaktu beliau diangkat jadi khalifah. Oleh karena itu, setiap
umat Islam dalam suatu negara dituntut untuk selalu aktif dalam menegakkan amar
ma‟ruf nahi munkar sekalipun terhadap seorang pemimpin karena hal tersebut sebagai
salah satu bentuk yang harus dilakukan secara bijaksana dan bersifat konstruktif serta
tidak dengan jalan inkonstitusional. Umat ini akan kehilangan keistimewaan dan
kelebihannya jika mereka meniggalkan perjuangan amar ma‟ruf nahi munkar-nya,
maka mereka akan ditimpa musibah dan dilaknat Allah SWT.

RUKUN DAN SYARAT AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR


Amar ma‟ruf nahi munkar disyariatkan semata untuk kemaslahatan manusia. Kemaslahatan
yang berbuat kemunkaran (untuk berhenti dari kemunkarannya) kemaslahatan bagi pelaku
amar ma‟ruf nahi munkar dan kemaslahatan bagi yang belum melakukannya. Untuk itulah
para ulama mengerahkan kemapuannya untuk menggariskan kaedah amar ma‟ruf nahi

32
munkar. Garis besar penerapan yang dapat di gunakan oleh kaum muslimin di setiap tempat
dan waktu, sehingga Amar ma‟ruf nahi munkar menjadi rahmat bagi manusia.

1. Rukun amar ma‟ruf nahi munkar


Rukun amar ma‟ruf nahi munkar terdiri empat
Muhtasib : orang yang melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar
Muh tasab‟alaih : orang yang di suruh mengerjakan yang baik dan dilarang
mengerjakan yang jahat
Muhtasab fih :perbuatan yang disuruh atau dilarang
Nafsul-ihtisab : perbuatan dari si muhtasib (pelaksana amar ma‟ruf nahi munkar

2. Syarat-syarat al-Muhtasib
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa setiap muslim berhak melakukan amar ma‟ruf
nahi munkar (al-Hisbah) akan tetapi terdapat perbedaan yang sangat signifikan
dengan petugas al-Hisbah (al-Muhtasib). Hal ini telah di jelaskan al-Ahkam ash-
Sultaniyyah, diantaranya yaitu:
a. Kewajiban al-Hisbah bagi al-Muhtasib adalah fardu „ain, sedang untuk orang
lain fardu kifayah.
b. Sesungguhnya al-Muhtasib harus mencari kemunkaran-kemunkaran yang
terlihat untuk ia dilarang, dan memeriksa kebaikan yang ditinggalkan untuk di
perintahkan.
c. Sesungguhnya al-Muhtasib berhak mengangkat staff untuk melarang
kemunkaran, agar dengan pengangkatan staff pelaksanaan tugasnya jadi lebih
efektif.
d. Sesungguhnya al-Muhtasib berhak mendapat gaji dari Baitul Mal (Khas
Negara) karena tugas al-Hisbah dijalankannya.

Jika permasalahnya demikian, maka syarat-syarat yang harus dimiliki Al-Muhtasib


dapat berjalan dengan baik ialah harus orang yang merdeka, adil, mampu
berpendapat, tajam berpikir, kuat agamanya, dan mempunyai pengetahuan tentang
kemunkaran-kemunkaran yang terlihat.

Pendapat berbeda dilakukan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwa al-Muhtasib adalah seorang
muslim, merdeka, laki-laki, dengan tingkat integritas, wawasan, pandangan dan status

33
sosial yang tinggi. Dari sekian kualitas al-Muhtasib, ilmu pengetahuan, kelembutan
dan kesabaran dianggap sebagai kualitas-kualitas yang terpenting.37Ada beberapa
syarat bagi al-Muhtasib yang dikemukakan para ahli fiqh, yaitu sebagai berikut:
1. Muslim, merdeka, aqil baligh, berakal, dan adil orang kafir, hamba sahaya,
anak kecil (mumayyiz), orang gila, dan orang yang kerhilangan kecakapan
melakukan tindakan hukum tidak boleh diangkat sebagai al-Muhtasib.
2. Berpegang teguh pada ajaran Islam dan memahami hukum syara‟ yang
berkaitan dengan tugasnya sehingga al-Muhtasib tidak salah menetapkan
hukuman kepada pelaku pelanggaran al-Hisbah.
3. Berpengetahuan memadai tentang bentuk kemunkaran serta hukum-
hukumnya, seperti yang telah diletakkan dalam nash atau hasil ijtihad ulama
fiqh.

Di samping syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama fiqh di atas, ada pula syarat
yang diperselisihkan, al-Muhtasib harus laki-laki, sebagaimana yang dikemukakan sebagian
ulama fiqh madzhab Syafi‟i dan Hambali akan tetapi, syarat ini tidak diterima oleh jumhur
ulama‟ karena larangan menjabat bagi wanita dalam syari‟at Islam hanya terkait dengan
jabatan kepala Negara, bukan kekuasaan peradilan. Di samping itu, mengacu pada pembuatan
Umar bin Khattab yang menunjuk Umm asy-Syifa‟ (seorang wanita) sebagai petugas al-
Muhtasib untuk mengamati tingkah laku para pedagang di pasar Madinah

HUKUM AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR


Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang memiliki
kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya terwakili. Dengan
kata lain, hukumnya fardhu kifayah.

Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada lagi
yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Amar ma’ruf nahi
mungkar menjadi wajib ‘ain bagi seseorang, terutama jika ia berada di suatu tempat yang
tidak ada seorang pun yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak
ada yang dapat mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak, istri,
atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.” (Syarh Shahih
Muslim)

34
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah
fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada
pihak lain yang menjalankannya.”

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal yang sama,
“Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan
mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada kebaikan
dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan
kemampuannya.”

Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian, setiap orang
wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah dan
infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran,
mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)

Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat dengan proses
amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih mampu dibanding
yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang selainnya.

Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib bagi tiap-tiap
individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah pendapat yang
dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-Jashash, Ibnul
Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

35
‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َما ِن‬
َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tangannya.
Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan hatinya, dan
pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 70 dan lain-lain)

BAB V
FITNAH AKHIR ZAMAN
Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam kerapkali
memperingati kepada umatnya akan terjadinya berbagai bentuk kekacauan, fitnah, dan
bencana sampai terjadinya hari kiamat. Beliau telah menceritakan bahwa salah satu tanda
dekatnya kiamat adalah banyaknya fitnah besar yang menyebabkan tercampurnya antara
kebenaran dan kebatilan.

Di saat itu iman manusia mudah tergoncang. Bahkan karena beratnya fitnah yang dihadapi
manusia, ada di antara mereka yang di waktu pagi dalam keadaan beriman, di sore hari
telah menjadi kufur. Di sore hari mereka beriman, ketika masuk waktu pagi mereka telah
kufur. Dalam riwayat yang sahih disebutkan bahwa setiap kali muncul sebuah fitnah,
seorang mukmin berkomentar, “Inilah yang membawa kehancuranku.” Ternyata fitnah itu
berlalu dan digantikan dengan fitnah lain, dan setiap saat seseorang mengira fitnah yang
tengah berlangsung tersebut adalah fitnah yang membawa kebinasaan dirinya. Dari
Abdullah bin Amru bin ‘Ash bahwa Rasulullah bersabda,

“Tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali pasti menerangkan seluruh kebaikan
kepada umatnya dan memperingatkan umatnya dari seluruh keburukan. Sesungguhnya
umat kalian ini, kesempatannya dijadikan berada pada generasi awal. Ada pun generasi-
generasi di akhir zaman akan menghadapi ujian besar dan perkara-perkara yang kalian
ingkari.

36
Akan datang sebuah fitnah, sebagiannya lebih ringan dari sebagian lainnya (maksudnya:
beratnya fitnah yang tengah menimpa akan dianggap lebih ringan bila dibandingkan
beratnya fitnah yang akan terjadi sesudahnya). Setelah itu datang fitnah yang lain, maka
seorang mukmin akan mengatakan, “Inilah yang membawa kebinasaanku.” Namun
ternyata fitnah itu akhirnya berlalu dan datanglah fitnah yang lain, sehingga seorang
mukmin berkata, ”Barangkali fitnah inilah yang akan membawa kehancuranku…
barangkali fitnah inilah yang akan membawa kehancuranku.”(HR.Muslim Kitab Al-
Imarah no.3431, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya, menjelang terjadinya Kiamat ada
fitnah-fitnah seperti penggalan-penggalan malam yang gelap gulita, pada pagi hari
seseorang dalam keadaan beriman, tetapi pada sore hari ia menjadi kafir. Sebaliknya pada
sore hari seseorang dalam keadaan beriman, namun di pagi hari ia dalam keadaan kafir.
Orang yang duduk pada masa itu lebih baik daripada yang berdiri, orang yang berdiri lebih
baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang
berjalan cepat. Maka, patahkan busur kalian, putus-putuslah tali kalian, dan pukullah
pedang kalian dengan batu. Jika salah seorang dari kalian kedatangan fitnah-fitnah ini,
hendaklah ia bersikap seperti anak terbaik di antara dua anak Adam (yakni sikap seperti
Habil, jangan seperti Qabil).” (HR.Abu Daud no.4259).

Abu Hurairah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda, “Bersegeralah kalian


melakukan amal saleh sebelum datangnya fitnah yang seperti potongan-potongan malam
yang gelap gulita. Pagi-pagi seseorang masih beriman, tetapi di sore hari sudah menjadi
kafir; dan sore hari seseorang masih beriman, kemudian di pagi harinya sudah menjadi
kafir.” (HR. Muslim: Kitab Al-Iman no.169).

Ini merupakan peringatan penting bagi setiap manusia, bahwa banyaknya fitnah yang
menyebabkan seseorang murtad, merupakan tanda dekatnya akhir zaman. Untuk skala
lokal, barangkali yang paling nyata adalah fenomena fitnah kesulitan hidup, kemiskinan,
dan kesengsaraan yang menyebabkan seseorang dengan mudah menukar agamanya. Juga
godaan dunia yang dikemas sedemikian menggiurkan bagi siapa pun untuk mencicipinya,
sehingga siapa pun yang tidak memiliki ketahanan iman, sangat mungkin mengubah
imannya dalam bilangan hari.

37
Namun di antara berbagai fitnah yang dinubuatkan oleh beliau Shalallaahu ‘Alahi
Wasallam, tidak ada satu pun fitnah yang lebih berbahaya, lebih dahsyat, dan lebih keras
efek yang ditimbulkannya melebihi fitnah Dajjal. Hal ini sebagaimana yang disabdakan
oleh Rasulullah,

“Semenjak Allah menciptakan keturunan Adam hingga hari kiamat nanti, tidak ada fitnah
yang lebih besar di muka bumi ini dibandingkan fitnah Dajjal.” (HR.Muslim: Kitab Al-
Fitan wa Asyrath As-Sa’ah no. 5239).

Demikian fitnah Dajjal, sehingga setiap rasul yang diutus kepada umat manusia senantiasa
memperingatkan bahaya fitnah tersebut kepada umatnya, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits sahih berikut ini,

“Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang nabi, melainkan nabi tersebut telah
memperingatkan kaumnya dari fitnah Dajjal. Nabi Nuh telah memperingatkan umatnya
akan fitnah Dajjal, demikian pula para nabi sesudahnya. Ketahuilah, sesungguhnya Dajjal
akan muncul di antara kalian (maksudnya pada masa umat ini yang merupakan umat
terakhir) dan perkara Dajjal itu tidak lagi samar bagi kalian. Demikian pula perkara Rabb
kalian tidak samar lagi bagi kalian (beliau bersabda demikian sebanyak tiga kali).
Sesungghnya Rabb kalian tidak buta sebelah, sedangkan Dajjal adalah makhluk yang buta
mata sebelah kanannya, seakan-akan matanya adalah buah anggur yang terapung.”
(HR.Muslim)

Wacana seputar akhir zaman menjadi salah satu isu hangat yang mewarnai perbincangan
masyarakat Indonesia saat ini. Ada beberapa konteks yang melatarbelakangi naiknya
wacana fitnah akhir zaman itu. Di antaranya pengaruh dari situasi politik nasional serta
didukung kondisi global yang penuh kompleksitas dan membuat banyak orang frustasi.

Penjelasan dengan bahasa agama menjadi hal paling mudah dicerna masyarakat untuk
memahami kondisi macam itu. Termasuk penjelasan bahwa kompleksitas masalah yang
mereka hadapi adalah tanda-tanda akhir zaman. Orang harus segera menyelamatkan diri
dengan menjadi pribadi yang saleh.

38
Sayangnya, tawaran menjadi orang saleh adalah dengan cara menciptakan kecurigaan dan
membenci pada kelompok lain yang berbeda pandangan dan pilihan politik. Tawaran
lainnya, adalah pergi ke negeri terberkahi di Timur Tengah yang punya jaminan keamanan
Tuhan.

Tawaran lain adalah terlibat konflik di Timur Tengah sebagai militan, di mana mereka
percaya bahwa ia adalah bagian dari tanda-tanda kemunculan Dajjal. Apapun tawarannya,
seluruhnya adalah pelibatan diri dalam kekacauan. Sementara jika enggan mendukung
pilihan yang diyakini ini, maka akan dikaitkan dengan sifat kemunafikan.

Seorang “ustadz akhir zaman”, dalam sebuah wawancara tv nasional setelah dirinya
diperiksa pihak kepolisian karena tuduhan ujaran kebencian, mengatakan bahwa di antara
tanda-tanda kemunculan Dajjal adalah terbelahnya umat Nabi Muhammad Saw. Ke dalam
dua golongan, mukmin dan munafik.

Menurutnya, golongan munafik akan menjadi pengikut dan pendukung Dajjal. Dengan
sangat fasih sang ustadz mengutip kata-kata yang konon hadis, manusia akan terbagi ke
dalam dua golongan (fusthathain). Golongan iman tanpa kemunafikan di dalamnya
(fusthath imanin la nifaqa fih) dan golongan munafik tanpa iman di dalamnya (fusthath
nifaq la imana fih).

Benarkah umat Muhammad Saw. Akan terbelah menjadi mukmin dan munafik, lalu
golongan munafik akan menjadi pendukung Dajjal? Mari kita ulas.

Kutipan ustadz tersebut adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad. Redaksi
lengkap hadis tersebut sebagai berikut:

‫ فقا َل‬،‫الس‬ ِ ْ‫ فأَكثَ َر حتَّى َذ َك َر فِ ْتنَةَ األَح‬، َ‫ ُكنَّا قُعُوداً عن َد النَّب ِّي – صلى هللا عليه وسلم – فَ َذ َك َر الفِتَن‬:‫عن عب ِد هللا بن ُع َم َر قال‬
ُ‫ يَ ْز ُع ُم أنَّه‬،‫ت قَ َد َم ْي َر ُج ٍل ِم ْن أَ ْه ِل بيتي‬ ِ ‫من تح‬ ْ ‫ ث َّم فِ ْتنَةُ ال َّسرَّا ِء َد َخنُها‬، ٌ‫وحرْ ب‬
َ ٌ‫ “ه َي هَ َرب‬:‫الس؟ قال‬
ِ ْ‫ وما فِ ْتنَةُ األَح‬:ٌ‫قائِل‬
‫ ث َّم فِ ْتنَةُ ال ُّدهَيْما ِء ال تَدَع أَ َحدًا ِم ْن‬،‫ك على ضلَ ٍع‬
ٍ ‫ ث َّم يَصْ طَلِ ُح النَّاسُ على َر ُج ٍل ك َو ِر‬، َ‫ إنَّما أَوْ ليائي ال ُمتَّقُون‬،‫وليس منِّي‬
َ ‫منِّي‬
‫ حتَّى يَصي َر النَّاسُ إلى‬،ً‫ يُصْ ب ُح ال َّر ُج ُل فيها ُم ْؤ ِمنا ً ويُ ْم ِسي كافِرا‬،‫َت‬ ْ ‫ت تماد‬ َ ‫ انق‬:‫ فإذا قي َل‬،ً‫طمة‬
ْ ‫ض‬ ْ َ‫هذ ِه األُ َّم ِة إال لطَ َم ْتهُ ل‬
‫فانتظرُوا ال َّدجَّا َل ِم ْن يَوْ ِم ِه أوْ ِم ْن َغ ِده‬
ِ ٍ ‫ وفُسْطا ِط نِفا‬،‫ق في ِه‬
‫ فإذا كانَ ذل ُك ْم‬،‫ق ال إِ ْيمانَ في ِه‬ ٍ ‫ فُسطا ِط إِي‬:‫”فُسْطاطَ ْي ِن‬.
َ ‫ْمان ال نِفا‬

39
Dari Abdullah bin Umar yang berkata, “kami duduk di samping Nabi Saw. Beliau
menceritakan tentang banyak kekacauan sampai pada cerita tentang kekacauan Al-Ahlas.
Seorang sahabat bertanya, ‘apa maksud kekacauan Al-Ahlas?’

Rasulullah Saw. Bersabda, ‘pengungsian dan perampasan. Lalu fitnah kebencian yang
sumbernya dari seorang laki-laki dari keluargaku yang mengira dirinya dari golonganku
padahal bukan. Kekasihku hanya orang-orang yang bisa menahan diri. Lalu orang-orang
mengangkat seorang pemimpin yang tidak layak. Lalu kekacauan duhaima’ (samar) yang
tak meninggalkan seorang pun kecuali akan ditampar oleh kekacauan tersebut. Ketika
dikatakan, ‘kekacauan itu telah selesai’, sebenarnya kekacauan itu masih terjadi. Seorang
laki-laki mukmin pada pagi hari, tetapi menjadi kafir di sore hari, sampai umat manusia
menjadi dua golongan; golongan iman tanpa kemunafikan di dalamnya dan golongan
munafik tanpa keimanan di dalamnya. Ketika tanda-tanda itu terjadi, tunggulah Dajjal
pada hari itu atau esok harinya.’” [HR. Ahmad]

Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Al-Fitan, Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Musnad
Al-Syamiyyin, Al-Mustadrak, Hilyatul Auliya’, dan Syarh Al-Sunnah. Semua kitab
tersebut meriwayatkan dari Ala’ bin Utbah dari Umair bin Hani’ Al-Ansi dari Abdullah
bin Umar.

Para ulama pada umumnya menilai sahih. Al-Hakim, Al-Dzahabi, Ahmad Syakir, dan Al-
Albani. Sedangkan Abu Nu’aim memberikan catatan bahwa hadis tersebut tergolong
gharib (aneh). Al-Arna’uth menilai hadis ini tidak sahih, bahkan cenderung maudhu’
(palsu).

Hadis ini unik karena menyebar di lingkungan Syam, wilayah yang menjadi basis
pendukung utama keluarga Umayyah yang resisten terhadap Bani Hasyim. Sebagian
perawinya bahkan dikenal sebagai nashibi atau pembenci Ahli Bait termasuk Ali bin Abi
Thalib di dalamnya.

Dalam matan hadis tersebut juga terdapat konten yang cenderung pada sikap resisten
terhadap ahli bait sebagaimana ditunjukkan redaksi “fitnah kebencian yang sumbernya dari

40
seorang laki-laki dari keluargaku yang mengira dirinya dari golonganku padahal bukan.
Kekasihku hanya orang-orang yang bisa menahan diri.”

Pertimbangan aspek dalam sanad dan matan inilah yang mungkin menyebabkan Abu
Nu’aim dan Al-Arna’uth mencurigai riwayat tersebut sebagai palsu sekalipun diriwayatkan
dalam sebuah sanad yang dipenuhi perawi-perawi terpercaya.

Terlepas dari perdebatan soal kesahihan, hadis-hadis tentang kekacauan akhir zaman selalu
memuat anjuran menahan diri dari melibatkan diri dalam konflik. Dalam hadis tersebut
misalnya, dikatakan “kekasihku hanya orang-orang yang menahan diri (tidak terlibat
konflik).” Perkataan ini jelas dukungan Nabi kepada orang-orang yang menjauhkan diri
dari konflik. Orang-orang yang mengobarkan konflik, sekalipun mengaku keturunan Nabi
Saw., sebenarnya ia bukan golongan beliau.

Al-Karmani (w. 854 H.) menjelaskan bahwa orang yang benar-benar keturunan Nabi Saw.
Tidak akan mengobarkan kekacauan (Syarah Mashabih Al-Sunnah Li Al-Baghawi, jilid 5,
hlm. 507). Syekh Al-Azhim Abadi (w. 1329 H.) mengutip Al-Ardibili yang mengatakan
bahwa standar kebenaran pada masa kekacauan adalah orang yang bertakwa yang dapat
menahan diri sekalipun tidak ada hubungan dengan Nabi Saw., serta tidak dianggap benar
seorang penyebar kekacauan sekalipun punya hubungan nasab dengan beliau (Aun Al-
Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud, jilid 11, hlm. 208).

Ada catatan menarik dari hadis Syamiyyin ini. Fitnah lebih banyak berarti kekacauan
sosial-politik. Dengan tegas, hadis di atas menjelaskan tiga macam fitnah akhir zaman; al-
Ahlas, al-Sarra’, dan al-Duhaima’.

Fitnah Al-Ahlas berarti pengungsian dan perampasan harta serta nyawa. Fitnah Al-Sarra’
punya tiga pengertian, yaitu kekacauan karena perebutan sumber kekayaan duniawi,
kekacauan yang membuat senang musuh, atau kekacauan karena kebencian dan sakit hati.
Sedangkan fitnah Al-Duhaima’ berarti kesimpangsiuran kebenaran yang akan menimpa
seluruh orang yang terlibat dalam konflik. Ketiga macam fitnah ini berkaitan dengan
masalah sosial dan politik.

41
Di sini kita bisa mengambil pelajaran penting bahwa sumber fitnah, kekacauan dan konflik
adalah masalah duniawiah. Sekalipun dibungkus dengan bahasa agama, hal itu tidak
menafikan bahwa sumbernya adalah duniawi. Karenanya, tidak heran para ulama lebih
menganjurkan agar umat menjauhi terlibat dalam konflik. Bahkan pergi ke gunung, hidup
menjadi penggembala kambing.

42
DAFTAR PUSTAKA

Akademisi12.blogspot.com. (2016, 21 Juni). Makalah Iman, Islam dan Ihsan. Diakses


pada 13 Desember 2020, dari https://akademisi12.blogspot.com/2016/06/makalah-
imanislam-dan-ihsan.html?m=1

Asysyariah.com. (2017, 15 September). Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Diakses


pada 15 Desember 2020, dari https://www.google.com/amp/s/asysyariah.com/
kewajiban-amar-maruf-nahi-mungkar-2/%3famp

cnnindonesia.com. (2020, 20 Juli). Mengenal 6 Rukun Iman dalam Islam. Diakses pada 13
Desember 2020, dari
https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200720194222-284
526850/mengenal-6-rukun-iman-dalam-islam

Harakah.id. (2020, 2 Juli). 3 Fitnah Akhir Zaman, Muncul Kaum Munafik Pendukung
Dajjal?. Diakses pada 14 Desember 2020, dari
https://harakah.id/3-fitnah-akhir
zaman-muncul-kaum-munafik-pendukung-dajjal/

Hasyim, Baso. 2013. ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN (PENGARUH TEMUAN


SAINS TERHADAP PERUBAHAN ISLAM). Jurnal Dakwah Tabligh 14(1) : 130
132

Hidayatullah.com. (2017, 1 Januari). Fitnah Besar, Tercampurnya Antara Kebenaran dan


Kebatilan di
https://m.hidayatullah.com/kolom/akhirzaman/read/2017/01/26/110489/fitnah-besar-
tercampurnya-antara-kebenaran-dan-kebatilan.html

Ihsan, Muhammad Nur. 2009. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Bag 1). Diakses pada 15
Desember 2020, dari https://muslim.or.id/135-amar-maruf-nahi-mungkar-1.html

Mustianda, Lusiana. (2020, 8 September). Surat Al Alaq Ayat 1-5, Lengkap dengan Arab,
Latin dan Terjemahannya di

43
https://news.detik.com/berita/d-5164607/surat-al-alaq
ayat-1-5-lengkap-dengan-arab-latin-dan-terjemahannya

Pancasilawati, Abnan. 2013. PENEGAKAN HUKUM DALAM SYARI’AT ISLAM.


Jurnal Pemikiran Hukum Islam. 11(1) : 39

Pradiansyah, Ade. (2020, 14 Februari). Tafsir Surah An-Nisa’ Ayat 75: Kewajiban Jihad
adalah Membela yang Tertindas di https://islami.co/tafsir-surah-an-nisa-ayat-75-
kewajiban-jihad-adalah-membela-yang-tertindas/

Repository.uin-suska.ac.id. Konsep Amar Makruf nahi mungkar. Diakses pada 14


Desember2020, dari https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.uin-suska.ac.id/16222/8/8.%2520BAB
%2520III__2018301JS.pdf&ved=2ahUKEwj978_6q87tAhU34nMBHVxUBJ8QFjA
MegQIBRAF&usg=AOvVaw02r2iBN01hTGzzl4C4HoHC

Rho-mieth.blogspot.com. (2011, 2 November). KEADILAN DAN PENEGAKAN


HUKUM. Diakses pada 13 Desember 2020, dari http://rho-
mieth.blogspot.com/2011/11/keadilan-dan-penegakan-hukum.html?m=1

Rizkala, Adam. (2020, 26 Juni). Pengertian Ihsan dalam Islam Beserta Dalil dan
Contohnya dalam Kehidupan di https://www.nasehatquran.com/2020/06/pengertian-
ihsan-dalam-islam.html?m=1

Suaramuhammadiyah.id. (2016, 7 Januari). Hakikat Kebajikan (1) ; Surat Al-Baqarah Ayat


177. Diakses pada 13 Desember 2020, dari
https://www.google.com/amp/s/www.suaramuhammadiyah.id/2016/01/07/hakikat-
kebajikan-1-surat-al-baqarah-ayat-177/%3famp

Sumarnaa, Elan. 2016. Kaitan antara Iman, Islam dan Ihsan.

Syamhudi, Kholid. 2002. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Menurut Hukum Islam di
https://almanhaj.or.id/2708-amar-maruf-nahi-mungkar-menurut-hukum-islam.html

44
45

Anda mungkin juga menyukai