Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“PENGEMBANGAN SUMBER DAYA


MANUSIA”

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH :


MEY ELISA SYAFITRI, SKM

DISUSUN OLEH :
FETRY HUSNAYATY
NIM : 1901032092

PROGRAM STUDI D4 KEBIDANAN


FAKULTAS FARMASI DAN KESEHATAN UMUM
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
2019/2020
i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat dan karunia-Nyalah saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan
makalah yang berjudul Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Penulisan makalah ini bertujuan guna memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Manajemen Kontrol Dan Kualitas Pelayanan Kebidanan.
Disamping itu makalah ini diharapkan dapat menjadikan sarana
pembelajaran serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan.
Disamping itu saya juga menyadari akan segala kekurangan dan
ketidaksempurnaan, baik dari segi penulisan maupun dari cara
penyajiannya. Oleh karena itu saya dengan senang hati menerima kritik dan
saran demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.
Saya berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Medan, Agustus
2020

Penulis

ii
DAFATAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFATAR ISI................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................iii

A. Latar belakang.....................................................................................................................iii

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................iii

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................1

A. Metode Peningkatan Mutu Pelayanan Kebidanan................................................................1

B. Pengertian, Tujuan, Manfaat.................................................................................................9

C. Upaya Peningkatan Mutu...................................................................................................14

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................22

A. Kesimpulan.........................................................................................................................22

B. Saran...................................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat sentral dalam
organisasi, apapun bentuk dan tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan
berbagai visi untuk kepentingan manusia. Pentingnya sumber daya manusia
dalam suatu organisasi, menuntut setiap organisasi mendapatkan pegawai
yang berkualitas dan produktif untuk menjalankan organisasi. Manajemen
sumber daya manusia pada era informasi ini, menurut Dessler (2003:36)
yaitu: “Strategic Human Resource Management is the linking of Human
Resource Management with strategic role and objectives in order to
improve business performance and develop organizational cultures and
foster innovation and flexibility”. Terlihat bahwa para pimpinan organisasi
harus mengaitkan pelaksanaan manajemen sumber daya manusia dengan
strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja serta mengembangkan
budaya organisasi yang akan mendukung penerapan inovasi dan
fleksibilitas.
Di era persaingan global yang ketat, sumber daya manusia dianggap
sebagai salah satu faktor yang paling penting memainkan peran utama
dalam menjaga keberlanjutan organisasi, kredibilitas serta penciptaan
kepercayaan publik. Penekanan pada sumber daya manusia sebagai modal
berharga dalam organisasi mencerminkan pekanan lebih pada sumber daya
tak berwujud daripada yang nyata. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
(Becker, 1964) bahwa investasi sumber daya manusia bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan bagi organisasi baik dalam jangka panjang atau
pendek. Melalui keterampilan dan kemampuan yang dimiliki karyawan akan
termotivasi untuk terus belajar membangun lingkungan bisnis yang unggul.

iv
Sumber daya manusia digunakan secara signifikan sebagai penggerak
sumber daya lain dan memiliki posisi strategis yang berkontribusi untuk
mewujudkan kinerja organisasi perusahaan dengan keunggulan kompetitif
(Wright: 2005). Paulus dan Anantharaman (2003) menegaskan
pengembangan sumber daya manusia memiliki hubungan langsung dengan
profitabilitas organisasi. Oleh karena itu, setiap organisasi disarankan untuk
mengoptimalkan kinerja karyawan dalam memberikan kontribusi yang
optimal, antara lain dengan cara melakukan program pelatihan dan
pengembangan. Hal ini juga berhubungan dengan produktivitas organisasi
dan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan.
Pengembangan sumber daya manusia berkaitan erat dengan kuantitas
dan kualitas pengetahuan yang dimiliki. Keadaan ini menjadi sangat penting
karena dari pengetahuanlah manusia mempunyai dasar untuk bertindak, dan
dari pengetahuanlah manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya.

B. Rumusan Masalah
Rumusan dari makalah ini adalah langkah-langkah apa saja yang
diperlukan dalam pengembangan sumber daya manusia.

v
vi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Metode Peningkatan Mutu Pelayanan Kebidanan

1. Sejarah Perkembangan Pelayanan Kebidanan di Indonesia


Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat
tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807, di masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Hendrik William Daendles, para dukun dilatih untuk
melakukan pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena
tidak tersedianya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan pada saat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda
yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di
Batavia, tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang dikenal dengan
RSPAD Gatot Subroto. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut, pada
tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter
militer Belanda bernama dr. W. Bosch. Lulusan sekolah ini kemudian bekerja di rumah
sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan
oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat
meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para dukun masih
berlangsung sampai sekarang. Pelatihan ini diberikan oleh bidan. Perubahan
pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara
menyeluruh di masyarakat di lakukan melalui kursus tambahan yang dikenal dengan
istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta, yang akhirnya
dilakukan pula di kota-kota besar lainnya di nusantara ini. Seiring dengan pelatihan
tersebut, didirikan pula Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai
penanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup
pelayanan antenatal, postnatal, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk imunisasi serta
penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA, bidan memberi pertolongan persalinan di

1
rumah keluarga dan melakukan kunjungan rumah sebgai upaya tindak lanjut
pascapersalinan.
Bermula dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan terintegrasi bagi
masyarakat yang dinamakan Pusat Kesahatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1957.
Puskesmas memberi pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi
pada wilayah kerja. Bidan yang bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan pelayanan
kesehatan bagi ibu dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar
gedung maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar gedung
adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan terpadu
(Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan yaitu pemeriksaan
kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990, pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres)
yang disampaikan secara lisan pada Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini
mengenai perlunya mendidik bidan untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di
desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan
ibu hamil, bersalin, dan nifas, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk
pembinaan dukun bayi (paraji). Sehubungan dengan itu, bidan desa juga menjadi
pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang dilakukan sejalan
dengan tugas utamanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan
tugas pokoknya, bidan desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang
memerlukannya, mengadakan pembinaan Posyandu di wilayah kerjanya, serta
mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah bentuk pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa.
Pelayanan bidan di desa berorientasi pada kesehatan masyarakat, sedangkan bidan yang
bekerja di rumah sakit berorientasi pada individu. Tugas bidan di rumah sakit mencakup
pelayanan di poliklinik antenatal, poliklinik keluarga berencana, ruang perinatal, kamar
bersalin, kamar operasi kebidanan, dan ruang nifas. Bidan di rumah sakit juga memberi
pelayanan bagi klien yang mengalami gangguan kesehatan reproduksi, mengajarkan
senam hamil, serta memberi pendidikan perinatal.

2
Titik tolak Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun 1994 yang
menekankan pada kesehatan reproduksi (reproductive health), memperluas area garapan
pelayanan bidan, area tersebut meliputi :
a. Safe motherhood; termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus.
b. Keluarga berencana
c. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
d. Kesehatan reproduksi remaja
e. Kesehatan reproduksi orang tua

Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada kemampuan
serta kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat serta
kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes
tersebut terdiri atas :

a. Permenkes No. 5380/IX/1963 yang menyatakan bahwa wewenang bidan terbatas


pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.
b. Permenkes No. 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi Permenkes 623/1989,
menyatakan bahwa wewenang bidan dibagi menjadi dua, yaitu wewenang umum dan
khusus. Dalam wewenang khusus ditetapkan bahwa bidan melaksananan tindakan
khusus di bawah pengawasan dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam
melaksanakan tugasnya tidak bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas
tindakan yang dilakukan. Berdasarkan Permenkes ini, bidan melaksanakan praktik
perorangan di bawah pengawasan dokter.
c. Permenkes No. 572/VI/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan.
Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang mandiri.
Kewenangan tersebut disertai kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam
wewenang tersebut mencakup :
1) Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak
2) Pelayanan keluarga berencana
3) Pelayanan kesehatan masyarakat

3
d. Permenkes No. 900.Menkes/SK/VII/2002 yang mengatur tentang registrasi dan
praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan untuk
memberikan pelayanan yang meliputi :
1) Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan pranikah, antenatal, intaranatal,
postnatal, bayi baru lahir, dan balita.
2) Pelayanan keluarga berencana yang meliputi pemberian obat dan alat
kontrasepsi melalui oral, suntikan, pemasangan dan pencabutan AKDR dan
AKBK tanpa penyulit.

Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan rujukan


sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan, serta kemampuannya. Wewenang bidan
dalam pelayanan kebidanan di bidang keluarga berencana mencakup penyediaan alat
kontrasepsi : oral (pil KB), suntik, kondom, tisu vaginal, alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR), alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK), baik pemasangan maupun pencabutan.
Pada keadaan darurat, bidan juga diberi wewenang untuk memberikan pelayanan
kebidanan yang ditujukan untuk menyelamatkan jiwa (misalnya: kuretasi digital untuk
mengangkat sisa jaringan pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dan hipotermia).

Permenkes tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam menjalankan praktiknya


harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman, serta
berdasarkan standar profesi. Di samping itu, bidan diwajibkan merujuk kasus-kasus
yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia, meminta persetujuan untuk tindakan
yang akan dilaksanakan, memberi informasi, serta membuat rekam medis dengan baik.
Petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan terdapat pada
petunjuk pelaksanaan (jutlak) yang dituangkan dalam Lampiran Keputusan Dirjen
Binkesmas No. 1506/tahun 1997.

Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidak mudah,


karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan mengandung tuntutan
bahwa bidan sebagai tenaga profesional harus memiliki kemampuan profesi yang
mandiri. Pencapaian kemampuan tersebut diperoleh melalui institusi pelayanan yang
meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

4
Perkembangan pelayanan kebidanan menuntut kualitas bidan yang handal dan
profesional serta upaya pemantauan (monitoring) pelayanan. Oleh karena itu, adanya
Konsil Kebidanan adalah suatu keharusan. Pendidikan bidan yang berorientasi pada
profesioanl dan akademik serta memiliki kemampuan melakukan penelitian adalah
suatu terobosan dan syarat utama untuk percepatan penigkatan kualitas pelayanan
kebidanan.

2. Perkembangan Pendidikan Kebidanan di Dalam Negeri


Pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan.
Keduanya berjalan beriringan untuk memenuhi kebutuhan/tuntutan masyarakat terhadap
pelayanan kebidanan. Pendidikan bidan mencakup pendidikan formal dan nonformal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851,
seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita
pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta
didik akibat adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
Pendidikan bidan bagi wanita pribumi dibuka kembali di Rumah Sakit Militer di
Batavia pada tahun 1902. Pada tahun 1904, pendidikan bidan bagi wanita Indonesia juga
dibuka di Makassar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia ditempatkan di mana pun
tenaga mereka dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu
secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25
Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911-1912 dimulai program pendidikan tenaga keperawatan secara terencana
di Rumah Sakit Umum Pusat Semarang dan Rumah Sakit Umum Pusat Cipto
Mangunkusumo di Batavia dengan lama pendidikan selam empat tahun. Calon murid
berasal dari lulusan Holandia Indische School (setingkat SD selama 7 tahun) dan pada
awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun 1914, peserta didik wanita mulai
diterima untuk mengikuti program pendidikan tersebut. Setelah menyelesaikan
pendidikan tersebut, perawat wanita dapat meneruskan ke pendidikan kebidanan selama

5
dua tahun, sedangkan perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan
lanjutan juga selama dua tahun.
Pada tahun 1935-1938, pemerintah colonial Belanda mulai membuka pendidkan
bidan lulusan Mulo (Setingkat SMP) dan pada waktu yang hampir bersamaan dibuka
sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain di Jakarta (RSB Budi Kemuliaan) serta
di Semarang (RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo). Di tahun yang sama
dikeluarkan sebuah peraturan yang mengklasifikasikan lulusan bidan berdasarkan latar
belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikan Mulo dan pendidikan kebidanan
selama tiga tahun disebut Bidan Kelas Satu (Vroedvrouw tweede klas). Perbedaan ini
menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan. Pada zaman penjajahan
Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan
dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan
Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka
mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953, dibuka sekolah bidan untuk lulusan SMP dengan batasan usia
minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk
menolong persalinan cukup banyak maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang
disebut Penjenjang Kesehatan E (PK/E) atau pembantu bidan. Pendidikan ini dilanjutkan
sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP
ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan
pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus
antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960, KTB dipindahkan ke Jakarta.
Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai
perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat sebelum lulusan
memulai tugasnya sebagai bidan, terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967,
KTB ditutup.
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru
perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada awalnya, pendidikan ini
berlangsung satu tahun kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi
tiga tahun. Pada awal tahun 1972, institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru

6
Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah
bidan.
Pada tahun 1970, dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari
Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut
Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak
dilaksanakan secara merata di seluruh provinsi.
Pada tahun 1974, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat
banyak (24 kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan
tenaga kesehatan nonsarjana. Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat
Kesehatan (SPK) dengan tujuan menciptakan tenaga multitujuan di lapangan yang salah
satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Akan tetapi, karena adanya perbedaan
falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka
tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak
berhasil. Pada tahun 1975 sampai 1984, institusi pendidikan bidan ditutup sehingga
selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap
ada dan hidup dengan wajar.
Tahun 1981 dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan anak untuk
meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan
anak termasuk kebidanan. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak
dilakukan oleh semua institusi. Pada tahun 1985, dibuka lagi program pendidikan bidan
(PPB) yang menerima lulusan dari PR dan SPK. Pada saat itu, dibutuhkan bidan yang
memiliki kewenangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak setta
keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya
dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989 dibuka program pendidikan bidan secara nasional yang membolehkan
lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal
sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A) dengan lama pendidkan satu tahun.
Lulusannya ditempatkan di desa-desa dengan tujuan memberi pelayanan kesehatan
terutama pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak.
Untuk itu, pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai tidak

7
tetap (Bidan PTT)-kontrak dengan pemerintah selama tiga tahun yang kemudian dapat
diperpanjang sampai 2-3 tahun lagi.
Penempatan bidan di desa (BDD) ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga
kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya tidak hanya
kemampuan klinis sebagai bidan tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi,
konseling, dan kemapuan untuk mengerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf
kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan A diselenggarakan dengan peserta
didik yang cukup banyak. Diharapkan pada tahu 1996, sebagian besar desa sudah
memiliki inimal seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagi seorang bidan profesional,
karena lama pendidikan yang terlalu singkat (hanya satu tahun) dan jumlah peserta didik
yang terlalu besar. Kesempatan peserta didik untuk praktik di klinik kebidanan sangat
kurang sehingga tingkat kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh seorang bidan
profesional tidak dapat tercapai.
Pada tahun 1993, dibuka Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari
lulusan akademi perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini
adalah menyiapkan tenaga pengajar Pendidikan Program Bidan A. hasil penelitian
terhadap kemampuan klinis kebidanan lulusan ini menunjukkan bahwa kompetensi bidan
yang diharapkan tidak tercapai karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya
satu tahun. Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua angkatan (1995-1996)
kemudian ditutup. Pada tahun 1993, juga dibuka Pendidikan Bidan Program C yang
menerima murid dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi yaitu Aceh,
Bengkulu, Lampung, dan Riau (wilayah Sumatera); Kalimanta Barat, Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan (wilayah Kalimantan); Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur,
Maluku, dan Irian Jaya. Pendidikan ini memiliki kurikulum 3700 jam dan dapat
diselesaikan dalam waktu enam semester.
Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995 pemerintah juga
menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning) di tiga
provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilaksanakan
untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan. Pengaturan
penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/VII/1994.

8
Diklat Jarak Jauh (DJJ) bidan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya serta diharapkan dapat memebri
dampak pada penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. DJJ Bidan
dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah.
Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh
Bapelkes di Provinsi. DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 provinsi. Pada Tahap
II (1996-1997), DJJ dilaksanakan di 16 provinsi dan pada tahap III (1997-1998), DJJ
dilaksanakan di 26 provinsi. Secara kumulatif pada tahap I-III, DJJ telah diikuti oleh
6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-
1999), DJJ dilaksanakan fi 26 provinsi dengan jumlah tiap provinsinya adalah 60 orang,
kecuali Provinsi Maluku, Irian Jaya, dan Sulawesi Tengah masing-masing hany 40 orang,
dan Provinsi Jambi 50 orang.
Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan
kegawatdaruratan maternal dan neonatal (Life Saving Skill, LSS) dengan materi
pembelajaran berbentuk 10 modul. Pelatihan ini dikoordinasikan oleh Direktorat
Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas., sedangkan pelaksananya dilakukan di rumah
sakit provinsi/kabupaten.Ditinjau dari prosesnya, penyelenggaraan ini dinilai tidak
efektif. Pada tahun 1996, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) bekerja sama dengan Departemen
Kesehatan dan American College of Nurse Midwife (ACNM) serta rumah sakit swasta
mengadakan training of trainer (TOT) LSS yang pesertanya adalah anggota IBI
berjumlah 8 orang, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di Pengurus Pusat IBI.
Tim pelatih LSS ini mengadakan acara TOT dan pelatihan untuk para bidan desa. (yang
dilaksanakan di 14 provinsi) dan bidan praktik swasta (yang dilaksanakan secara
swadaya) serta kepada guru/dosen dari diploma kebidanan.
Pada tahun 1995-1998, IBI bekerja sama dengan Mother Care melakukan pelatihan
dan peer review bagi bidan rumah sakit., bidan puskesmas, serta bidan desa di Provinsi
Kalimantan Selatan. Pada tahun 2000, telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal
(APN) yang dikoordinasikan oleh Materna Neonatal Health (MNH) yang sampai saat ini
telah memberi pelatihan APN di beberapa provinsi/ kabupaten. Pelatihan LSS dan APN
tidak hanya dijukan untuk bidan di pelayanan tetapi juga bidan yang menjadi guru atau
dosen di sekolah/akademi kebidanan. Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan,

9
untuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi
dengan materi pengembangan organisasi (Organization Development, OD) dilaksanakan
setiap tahun sebanyak dua kali mulai tahun 1996 sampai tahun 2000 dengan biaya dari
UNICEF.

B. Pengertian, Tujuan, Manfaat

1. Falsafah Mutu
Mutu (quality) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan karakteristik barang atau
jasa yang menunjukkan kemampuan dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik
kebutuhan yang dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat. Perbaikan mutu
merupakan upaya transformasi budaya kerja organisasi melalui pengalaman belajar
sehingga merubah cara berpikir setiap orang yang terlibat dalam organisasi dan cara
organisasi dikelola, sehingga berubah ke arah yang lebih baik.

2. Pengertian Jaminan Mutu (Quality Assurance (QA))


Jaminan Mutu (QA) adalah suatu proses yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, sistematis, obyektif dan terpadu untuk; Menetapkan masalah dan
penyebabnya berdasarkan standar yang telah ditetapkan, menetapkan upaya penyelesaian
masalah dan melaksanakan sesuai kemampuan menilai pencapaian hasil dengan
menggunakan indikator yang ditetapkan, menetapkan dan menyusun tindak lanjut untuk
meningkatkan mutu pelayanan. Walaupun mutu tidak selalu dapat dijamin tetapi dapat
diukur. Jika bisa diukur, berarti bisa ditingkatkan dan dapat disempurnakan. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi indikator kunci mutu dalam pelayanan, memonitor
indikator tersebut dan mengukur mutu hasilnya. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan
adalah mengidentifikasi proses – proses kunci yang mengarah pada hasil tersebut
(outcome). Dengan berfokus pada upaya peningkatan proses, tingkat mutu dari hasil yang
dicapai akan meningkat. Jadi, upaya pendekatan yang dilakukan diawali dari jaminan
mutu (QA), mengarah pada peningkatan mutu yang proaktif (QI).
3. Tujuan dan Manfaat ( Kegunaan QA )
a. Dapat lebih meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan.

10
Peningkatan efektifitas yang dimaksud di sini erat hubungannya dengan dapat
diselesaikannya masalah yang tepat dengan cara penyelesaian masalah yang benar.
Karena dengan diselenggarakannya program menjaga mutu dapat diharapkan
pemilihan masalah telah dilakukan secara tepat serta pemilihan dan pelaksanaan cara
penyelesaian masalah telah dilakukan secara benar.
b. Dapat lebih meningkatkan efesiensi pelayanan kesehatan.
Peningkatan efesiensi yang dimaksudkan disini erat hubungannya dengan dapat
dicegahnya penyelenggaraan pelayanan yang berlebihan atau yang dibawah standar.
Biaya tambahan karena pelayanan yang berlebihan atau karena harus mengatasi
berbagai efek samping karena pelayanan yang dibawah standar akan dapat dicegah.
c. Dapat lebih meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Peningkatan penerimaan ini erat hubungannya dengan telah sesuainya pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sebagai
pemakai jasa pelayanan. Apabila peningkatan penerimaan ini dapat diwujudkan,
pada gilirannya pasti akan berperan besar dalam turut meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
d. Dapat melindungi pelaksana pelayanan kesehatan dari kemungkinan munculnya
gugatan hukum.
Pada saat ini sebagai akibat makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial
ekonomi masyarakat serta diberlakukannya berbagai kebijakan perlindungan publik,
tampak kesadaran hukum masyarakat makin meningkat pula. Untuk melindungi
kemungkinan munculnya gugatan hukum dari masyarakat yang tidak puas terhadap
pelayanan kesehatan, tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan kecuali berupaya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang terjamin mutunya. Dalam kaitan itu
peranan program menjaga mutu jelas amat penting, karena apabila program menjaga
mutu dapat dilaksanakan dapatlah diharapkan terselenggaranya pelayanan kesehatan
yang bermutu, yang akan berdampak pada peningkatan kepuasan para pemakai jasa
pelayanan kesehatan.
4. Jenis QA (Jaminan Mutu)
Program menjaga mutu prospektif (Yang diselenggarakan sebelum pelayanan
kesehatan) Adalah program menjaga mutu yang diselenggarakan sebelum pelayanan

11
kesehatan. Pada bentuk ini perhatian utama lebih ditunjukkan pada standar masukan dan
standar lingkungan yaitu pemantauan dan penilaian terhadap tenaga pelaksana, dana,
sarana, di samping terhadap kebijakan, organisasi, dan manajemen institusi kesehatan.
Prinsip pokok program menjaga mutu prospektif sering dimanfaatkan dan tercantum
dalam banyak peraturan perundang-undangan, di antaranya : Standardisasi
(Standardization),perizinan (Licensure), Sertifikasi (Certification), akreditasi
(Accreditation). Prinsip-prinsip pokok program menjaga mutu
a. Standarisasi
Standar adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang
dipergunakan sebagai batas penerimaan minimal, atau disebut pula sebagai kisaran
variasi yang masih dapat diterima (Clinical Practice Guideline, 1990).

b. Lisensi (Perizinan)
1) Standarisasi perlu diikuti dengan perizinan untuk mencegah pelayanan yang
tidak bermutu
2) Izin menyelenggarakan pelayanan kesehatan hanya diberikan kepada institusi
kesehatan yang telah memenuhi standar yang telah ditetapka
c. Sertifikasi
1) Sertifikasi adalah tindak lanjut dari perizinan, yakni memberikan sertifikat
(pengakuan) kepada institusi kesehatan yang benar-benar telah dan atau tetap
memenuhi persyaratan
2) Ditinjau serta diberikan secara berkala
d. Akreditasi
1) Akreditasi adalah bentuk lain dari sertifikasi yang nilainya dipandang lebih
tinggi
2) Dilakukan secara bertingkat, yakni sesuai dengan kemampuan institusi
kesehatan.
3) Ditinjau serta diberikan secara berkala.
5. Program menjaga mutu konkruen

12
Yang dimaksud dengan Program menjaga mutu konkuren adalah yang
diselenggarakan bersamaan dengan pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini perhatian
utama lebih ditujukan pada standar proses, yakni memantau dan menilai tindakan medis,
keperawatan dan non medis yang dilakukan.
a. Diselenggarakan bersamaan dengan pelayanan kesehatan
b. Perhatian utama pada standar proses, memantau dan menilai tindakan medis dan non
medis yg dilakukan. Apabila kedua tindakan tersebut tidak sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan, maka berarti pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
kurang bermutu.
c. Proram menjaga mutu ini paling sulit dilaksanakan, hal ini antara lain disebabkan
karena ada faktor tenggang rasa antara sesama teman sejawat yang dinilai.
6. Program menjaga mutu retrospektif
Yang dimaksud dengan program menjaga mutu restrospektif adalah yang
diselenggarakan setelah pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini perhatian utama lebih
ditujukan pada standar keluaran, yakni memantau dan menilai penampilan pelayanan
kesehatan, maka obyek yang dipantau dan dinilai bersifat tidak langsung, dapat berupa
hasil kerja pelaksana pelayanan .atau berupa pandangan pemakai jasa kesehatan. Contoh
program menjaga mutu retrospektif adalah : Record review, tissue review, survei klien
dan lain-lain.
a. Review Rekam Media
Penampilan pelayanan dinilai dari rekam medis yang digunakan pada pelayanan
kesehatan. Semua catatan yang ada dalam rekam medis dibandingkan dengan standar
yang telah ditetapkan.
b. Review Jaringan
Penampilan pelayanan kesehatan yang dinilai adalah dari jaringan yang diangkat
pada tindakan pembedahan. Misalnya tindakan apendiktomi, jika gambaran patologi
anatomi dari jaringan yang diangkat sesuai degan diagnosa yang ditegakkan, maka
mutu pelayanannya baik.
c. Survei Klien
Penampilan pelayanan dinilai dari pandangan pemakai jasa.
7. Program menjaga mutu Internal

13
a. Program Menjaga Mutu dilaksanakan oleh suatu organisasi yang dibentuk di dalam
institusi kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan.Sebaiknya
keanggotaan organisasi pelaksana program menjaga mutu adalah mereka yang
meyelenggarakan pelayanan kesehatan (dapat semuanya atau hanya perwakilan).
b. Pembentukan organisasi sebaiknya pada setiap unit organisasi yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
8. Program menjaga mutu Eksternal
a. Dilaksanakan oleh suatu organisasi khusus yang dibentuk di luar institusi pelayanan
kesehatan
Merupakan pelengkap program menjaga mutu internal, yang perannya lebih
banyak bersifat lembaga pembanding. (Apabila terdapat perselisihan pendapat
tentang hasil penilaian mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh program
menjaga mutu internal) Jika dibandingkan antara program menjaga mutu internal
dengan program menjaga mutu eksternal maka program menjaga mutu internal yang
lebih baik, karena program menjaga mutu akan lebih mudah tercapai
(penyelenggaranya terlibat langsung). Juga untuk dapat menyelenggarakan program
menjaga mutu eksternal dibutuhkan sumber daya yg tidak sedikit (dalam banyak hal
sulit dipenuhi)
C. Upaya Peningkatan Mutu

1. Siklus Deming
Siklus PDCA atau Plan – Do – Check – Action dipopulerkan oleh W Edwards
Deming (14 Oktober 1900 – 20 Desember 1993) seorang Professor, Pengarang Buku,
Pengajar dan Konsultan. Ia dianggap sebagai bapak pengendalian kualitas modern
sehingga siklus ini sering disebut juga dengan siklus Deming. Siklus PDCA atau Siklus
‘Rencanakan – Kerjakan – Cek – Tindaklanjuti adalah suatu proses pemecahan masalah
empat langkah yang umum digunakan dalam pengendalian kualitas.
Deming yang merupakan pencetus dari siklus PDCA ini mengatakan bahwa jika
organisasi ingin menghasilkan mutu dari produk atau jasa yang akan dihasilkan, maka
roda siklus PDCA harus berputar. Artinya, proses Plan Do Check Action harus
dijalankan. Pekerjaan harus direncanakan. Rencana yang telah dibuat harus dijalankan.

14
Pelaksanaan pekerjaan dimonitoring, diukur atau dinilai. Hasil penilaian dilakukan
analisis, hasil analisis digunakan untuk merencanakan pengembangan berikutnya.
Demikian seterusnya sehingga siklus PDCA berjalan dan organisasi akan selalu mampu
memenuhi standar mutu dan berkembang secara berkelanjutan.
Siklus PDCA dapat diibaratkan seperti sebuah bola yang harus di dorong naik
menuju ke arah tujuan yang telah ditetapkan yang letaknya di atas. Untuk itu diperlukan
upaya dan tenaga yang tidak sedikit untuk mencapai tujuan tersebut. Tanpa upaya,
mustahil bola siklus PDCA tersebut akan mencapai tujuannya. Hal ini menunjukkan
bahwa untuk mencapai mutu tertentu itu harus diupayakan, diusahakan dan di dukung
oleh semua pihak yang berkepentingan. Mutu yang baik tidak mungkin datang dengan
sendirinya. Namun dalam upaya mendorong bola siklus PDCA tersebut ke atas, selain
diperlukan upaya dan tekad untuk mendorongnya sampai di atas juga diperlukan alat
untuk mengganjal agar bola siklus PDCA ini tidak turun ke bawah tetapi bisa di tahan
pada level tertentu. Alat untuk mengganjal hal tersebut adalah standar. Jika target pada
level tertentu sudah tercapai maka bola siklus PDCA ini bisa di dorong lagi lebih ke atas.
Demikian seterusnya sampai bola siklus PDCA ini mencapai tujuan :

a. Siklus PDCA
1) Plan (Perencanaan)
Dalam tahapan siklus PDCA ini tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
dan menganalisa masalah. Tentukanlah masalahnya. Identifikasi dengan tepat.
Beberapa management tools yang bisa digunakan dalam tahap ini antara lain
Drill Down, Cause & Effect Diagrams dan The 5 Whys
2) Do (Kerjakan)
Mengembangkan dan menguji beberapa solusi yang potensial. Fase ini
melibatkan beberapa kegiatan:
a) Menghasilkan solusi yang mungkin.
b) Memilih yang terbaik dari solusi tersebut, bisa dengan menggunakan Impact
Analysis

15
c) Menerapkan atau menguji solusi yang di dapat pada skala kecil atau group
kecil atau pada area yang terbatas. Dalam siklus PDCA, Do bukanlah
menjalankan proses tetapi melakukan uji coba atau test. Proses dijalankan
pada tahap Act.
3) Check (Cek)
Mengukur tingkat efektifitas hasil uji test solusi yang dikerjakan dan
menganalisa apakah hal itu bisa diterapkan dengan cara lain. Pada tahap ini kita
mengukur seberapa efektif percobaan yang telah dilakukan pada tahap siklus
PDCA sebelumnya yaitu: Do. Selain itu, tahapan ini juga menarik pembelajaran
sebanyak mungkin sehingga nantinya bisa dihasilkan hasil yang lebih baik.
Dalam tahapan siklus PDCA Do dan Check – dengan melihat skala dan area
perbaikan yang akan dilakukan – kita dapat mengulangi tahapan ini sebelum ke
tahapan berikutnya jika dirasa perlu. Jika hasilnya sudah memuaskan barulah
kita dapat menuju ke tahap siklus PDCA berikutnya yaitu: Act
4) Act (Tindak lanjuti)
Menindaklanjuti hasil untuk membuat perbaikan yang diperlukan. Ini
berarti juga meninjau seluruh langkah dan memodifikasi proses untuk
memperbaikinya sebelum implementasi berikutnya. Jika tahapan ini sudah
selesai dan kita sudah sampai di tahapan berikutnya yang lebih baik, kita bisa
mengulang proses ini dari awal kembali untuk mencapai tahapan yang lebih
tinggi. Siklus PDCA memberikan kita tahapan proses pemecahan masalah yang
terukur dan akurat. Siklus PDCA ini efektif untuk:
a) Membantu penerapan Kaizen atau Proses Perbaikan Terus Menerus. Ketika
siklus PDCA ini diulangi kembali ia akan membuka kemungkinan untuk
menemukan area baru yang perlu ditingkatkan.
b) Mengindentifikasi solusi solusi baru untuk meningkatkan proses berulang
secara signifikan.
c) Membuka cakrawala yang lebih luas akan solusi masalah yang ada,
mengujinya dan
d) meningkatkan hasilnya dalam proses yang terkontrol sebelum
diimplementasikan secara luas.

16
e) Menghindari pemborosan sumber daya secara luas.
2. Penerapan TQM (Total Quality Manajemen)
TQM adalah pendekatan manajemen pada suatu organisasi, berfokus pada
kualitas dan didasarkan atas partisipasi dari keseluruhan sumber daya manusia dan
ditujukan pada kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan dan memberikan
manfaat pada anggota organisasi (sumber daya manusianya) dan masyarakat TQM juga
diterjemahkan sebagai pendekatan berorientasi pelanggan yang memperkenalkan
perubahan manajemen yang sistematik dan perbaikan terus menerus terhadap proses,
produk, dan pelayanan suatu organisasi. Proses TQM memiliki input yang spesifik
(keinginan, kebutuhan, dan harapan pelanggan), mentransformasi (memproses) input
dalam organisasi untuk memproduksi barang atau jasa yang pada gilirannya memberikan
kepuasan kepada pelanggan (output). Tujuan utama Total Quality Management adalah
perbaikan mutu pelayanan secara terus-menerus. Dengan demikian, juga Quality
Management sendiri yang harus dilaksanakan secara terus-menerus. Delapan alat TQM
yang diuraikan adalah sebagai berikut:
a. Curah Pendapat (Sumbang Saran) – Brainstorming
Curah pendapat adalah alat perencanaan yang dapat digunakan untuk
mengembangkan kreativitas kelompok. Curah pendapat dipakai, antara lain untuk
menentukan sebab-sebab yang mungkin dari suatu masalah atau merencanakan
langkah-langkah suatu proyek.
b. Diagram Alur (Bagan Arus Proses)
Bagan arus proses adalah satu alat perencanaan dan analisis yang digunakan,
antara lain untuk menyusun gambar proses tahap demi tahap untuk tujuan analisis,
diskusi, atau komunikasi dan menemukan wilayah-wilayah perbaikan dalam proses.
c. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis
masalah masalah dengan
kerangka Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang),
dan Threats (ancaman).
d. Ranking Preferensi

17
Alat ini merupakan suatu alat interpretasi yang dapat digunakan untuk memilih
gagasan dan pemecahan masalah di antara beberapa alternatif.
e. Analisis Tulang Ikan
Analisis tulang ikan (juga dikenal sebagai diagram sebab-akibat) merupakan alat
analisis, antara lain untuk mengkategorikan berbagai sebab potensial dari suatu
masalah dan menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu proses.
f. Penilaian Kritis
Penilaian kritis adalah alat bantu analisis yang dapat digunakan untuk memeriksa
setiap proses manufaktur, perakitan, atau jasa. Alat ini membantu kita untuk
memikirkan apakah proses itu memang dibutuhkan, tepat, dan apakah ada alternatif
yang lebih baik.
g. Benchmarking
Benchmarking adalah proses pengumpulan dan analisis data dari organisasi kita
dan dibandingkan dengan keadaan di dalam organisasi lain. Hasil dari proses ini akan
menjadi patokan untuk memperbaiki organisasi kita secara terus menerus.
Tujuan benchmarking adalah bagaimana organisasi kita bisa dikembangkan sehingga
menjadi yang terbaik.
h. Diagram Analisa Medan Daya (Bidang Kekuatan)
Diagram medan daya merupakan suatu alat analisis yang dapat digunakan, antara
lain untuk mengidentifikasi berbagai kendala dalam mencapai suatu sasaran dan
mengidentifikasi berbagai sebab yang mungkin serta pemecahan dari suatu masalah
atau peluang.
3. Penerapan ISO
ISO 9001:2000 merupakan salah satu standar persyaratan sistem manajamen mutu
(SMM). ISO 9001:2000 adalah nomor acuan pada seri standar internasional yang
menjabarkan kriteria tentang SMM. Pada standar tersebut terdapat persyaratan yang
mendasar bagi organisasi apapun yang berminat untuk menerapkan standar ini. Standar
ini merupakan seri ISO yang menjadi best seller dan diadopsi secara luas oleh organisasi
di seluruh dunia. Keberhasilan seri ISO 9001:2000 disebabkan pada sistem yang
diterapkan dilandasi oleh suatu sistem yang konsisten, system pengedalian dan
pencegahan serta upaya peningkatan secara berkelanjutan (Indranata, 2006). Manajemen

18
ISO 9001:2000 dapat meningkatkan mutu karena diterapkan prinsip PDCA (Plan Do
Check Action), visi, misi, dan kebijakan jelas serta adanya sasaran mutu sebagai bentuk
keinginan untuk meningkatkan mutu. Orientasi pelayanan mutu dan target adalah
kepuasan pelanggan, masalah menjadi lebih jelas, persepsi dan pelayanan yang efektif
dan efisien (Suardi, 2003).
Secara umum adanya pendekatan SMM memberikan manfaat yang sangat besar
bagi setiap organisasi yang menerapkannya. Manfaat tersebut terlihat antara lain :
a. Adanya konsistensi pelaksanaan/aktifitas di organisasi dan mampu telusur. Apabila
SMM dilaksanakan dengan benar manfaat yang dirasakan adalah :
1) Memberikan pendekatan praktik yang terbaik (best practice) yang sistematis
untuk pencapaian manajemen mutu.
2) Memastikan konsistensi operasi untuk memelihara mutu produk (barang dan
jasa).
3) Menetapkan kerangka kerja untuk proses peningkatan mutu lebih lanjut dengan
membakukan proses guna memastikan konsistensi dan mampu telusur serta
meningkatakan hubungan antar fungsi unit kerja/departemen pada organisasi
yang mempengaruhi mutu.
b. Adanya aspek pengendalian dan pencegahan Kunci pokok untuk menjaga mutu
adalah pengendalian produk yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
dan mencegah produk yang jelek sampai di tangan pelanggan. Oleh karena itu sistem
tersebut diperlukan untuk :

1) Menentukan secara jelas tanggung jawab dan wewenang dari personel kunci
yang mempengaruhi mutu.
2) Mendokumentasikan prosedur secara baik dalam rangka menjalankan operasi
proses bisnis pada aktifitas proses menghasilkan produk (product operation).
3) Menerapkan sistem dokumentasi yang effektif melalui mekanisme dengan
sistem audit internal dan tinjauan manajemen secara berkelanjutan.
c. Dilihat dari aspek pembelajaran dan tumbuh kembang organisasi. Manfaat penerapan
SMM dari perpektif tersebut adalah :

19
1) Sebagai sarana pemasaran yang efekfif.
2) Dapat meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui pendekatan
secara sistematik dan terorganisir pada pemastian mutu.
3) Dapat meningkatkan citra dan daya saing organisasi/organisasi.
4) Dapat meningkatkan produktifitas dan mutu produk dengan memenuhi
persyaratan pelanggan melalui kerjasama dan atau komunikasi yang lebih baik,
pengendalian proses bisnis yang lebih sistematis, penurunan produk yang gagal,
pencegahan pemborosan karena adanya pengendalian proses/aktifitas yang tidak
effektif dan effisien.
5) Dapat memberikan proses pembelajaran kepada staf atau seluruh personel
dengan metode pelatihan yang sistematis melalui prosedur dan instruksi yang
lebih baik.
6) Dapat menjadi pemicu motivasi pimpinan puncak untuk menilai kinerja
organisasinya karena adanya sasaran mutu yang secara berkelanjutan dipantau
dan diukur serta dibandingkan dengan kinerja pesaingnya.
d. Adanya pemastian mutu
Organisasi/perusahan memiliki sistem pemastian mutu yang terstruktur dan
sistematis yang dapat digunakan untuk :
1) Alat bantu untuk mengukur produktifitas dan kinerja SDM.
2) Biaya yang effektif dan effisien karena adanya konsistensi dan keandalan
pelaksanaannya.
3) Sarana bekerja dengan benar dan terkendali disetiap waktu.
4) Sistem Manajemen dengan kinerja optimal karena adanya sistem PDCA (Plan,
Do, Check dan Action) yang mengendalikan mutu produk secara sistematis.
Setiap personel memiliki tanggung jawab ,wewenang dan kompetensi
yang jelas di bidang tugasnya dalam melaksanakan aktifitas di
organisasi/organisasi.
4. Prinsip Jaminan Mutu
a. Berorientasi kedepan untuk mempertemukan kebutuhan dan harapan pasien dan
masyarakat
b. Memfokuskan pada sistem dan proses

20
c. Menggunakan data untuk menganalisis proses penyampaian pelayanan
d. Mendorong suatu pendekatan diri dalam pemecahan masalah dan peningkatan mutu
e. Dimensi Mutu
Fedoroff dan Irawan (2006) merumuskan lima dimensi mutu yang menjadi dasar
untuk mengukur kepuasan, yaitu :
1) Tangible (bukti langsung)
Yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, personil, dan media komunikasi yang
dapat dirasakan langsung oleh pelanggan. Dan untuk mengukur dimensi mutu ini
perlu menggunakan indera penglihatan.
2) Reliability (keandalan)
Yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang tepat dan terpercaya.
Pelayanan yang terpercaya artinya adalah konsisten. Sehingga Reliability
mempunyai dua aspek penting yaitu kemampuan memberikan pelayanan seperti
yang dijanjikan dan seberapa jauh mampu memberikan pelayanan yang tepat atau
akurat.
3) Responsiveness (ketanggapan)
Yaitu kesediaan/kemauan untuk membantupelanggan dan memberikan
pelayanan yang cepat. Dengan kata lain bahwa pemberi pelayanan harus responsif
terhadap kebutuhan pelanggan. Responsiveness juga didasarkan pada persepsi
pelanggan sehingga faktor komunikasi dan situasi fisik disekitar pelanggan
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.
4) Assurance (jaminan kepastian)
Yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan dankemampuannya untuk
memberikan rasa percaya dan keyakinan atas pelayanan yangdiberikan kepada
pelanggan. Dan komponen dari dimensi ini yaitu keramahan,kompetensi, dan
keamanan.
5) Emphaty (empati)
Yaitu membina hubungan dan memberikan pelayanan sertaperhatian secara
individual pada pelanggannya.

21
22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan


kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Berkaitan dengan kualitas
pelayanan jasa, metode peningkatan mutu pelayanan jasa kebidanan dan organisasi kesehatan
dapat dilakukan dengan pendekatan Total Quality Management (TQM). Total Quality
Manegemen (TQM) merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba
untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa,
manusia, proses dan lingkungannya.

B. Saran

Untuk lebih memberikan kepuasan kepada konsumen maka mutu pelayanan kesehatan di
indonesia harus lebih ditingkatkn, untuk mencapai masyarakat yang sehat dan terbebas dari
berbagai macam penyakit. Sebagai seorang Bidan sangat ditekankan akan mutu pelayanan yang
maksimal. Tuntutan seorang bidan sangatlah berat dan berisiko tinggi terutama pada ibu dan
anak. Maka dari itu seorang bidan wajib menjalankan tugas sesuai prosedur yang sudah
ditentukan baik itu, penyuluhan dan lainnya sesuai profesi kebidanan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Atik Purwandari, A.Md.Keb., SKM. 2008. Konsep Kebidanan Sejarah & Profesionalisme.
Jakarta : EGC

Th. Endang Purwoastuti, S.pd, APP. Elisabeth Siwi Walyani, Amd, Keb. 2008. Mutu Pelayanan
Ksehatan & Kebidanan. Jakarta Pusat : PB

Jenny J.S Sondakh, Marjati, Tatarini Ika Pipitcahyani. 2013. Mutu Pelayanan Kesehatan dan
Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika

Naomy Marie Taudo. 2013. Mutu Pelayanan Kebidanan dan Kebijakan Kesehatan. Jakarta : In
Media

Prof. dr. A.A. Gde Muniojaya, MPH. 2012. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta :
EGC

Sallis E. 2008. Total Quality Management, Jakarta: Gramedia. Cheap Offers:

Syafrudin, SKM, M.Kep. Siti Masitoh, SKp, M.Kes. Taty Rosyanawaty, App. 2003. Manajemen
Mutu Pelayanan Kesehatan Untuk Bidan. Jakarta Timur : TIM

Tjiptono, F. dan Diana,A. 1998. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset.

Vincent G. 2005. Total Quality Management, Jakarta : PT Gramedia Pustaka             Utama.

24
Wijono Djoko. 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Surabaya : Airlangga University
Press.

25

Anda mungkin juga menyukai