Anda di halaman 1dari 32

FITOKROM DAN MEKANISME PEMBUNGAAN

Oleh :

Ir. Utami, MS

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Fitokrom dan Mekanisme
Pembungaan”. Karya Ilmiah ini diambil dari beberapa buku fisiologi tumbuhan
dan sejenisnya yang sudah terbit.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna,
sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan petunjuk yang mengarah pada
penyempurnaan karya ilmiah ini. Selanjutnya besar harapan penulis semoga karya
ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Denpasar, 22 Desember 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 5
Fotomorgenesis .............................................................................................................. 5
BAB II PEMECAHAN MASALAH ......................................................................................... 10
2.1. Pengertian Fitokrom .............................................................................................. 10
2.2.Peranan Fitokrom ................................................................................................... 13
2.3. Fungsi Fitokrom...................................................................................................... 15
2.4. Mekanisme Penyerapan Cahaya oleh Fitokrom .................................................... 15
2.5. Fotoperiodisme ...................................................................................................... 17
2.5.1. Induksi Fotoperiodisme ...................................................................................... 19
2.6. Mekanisme Perbungaan ........................................................................................ 20
2.6.1. Efek Cahaya ......................................................................................................... 20
2.6.2. Intensitas Cahaya ................................................................................................ 20
2.6.3. Kualitas Cahaya ................................................................................................... 21
2.6.4. Panjangnya Penyinaran....................................................................................... 21
2.7. Vernalisasi .............................................................................................................. 22
2.7.1 Letak Vernalisasi .................................................................................................. 22
2.7.2. Hilangnya Vernalisasi .......................................................................................... 22
2.7.3 Interaksi Vernalisasi dengan factor lain ............................................................... 23
2.7.4. Organ Penerima Rangsangan Vernalisasi ........................................................... 23
2.8. Konsep Florigen...................................................................................................... 24
2.9. Pengaruh Cahaya Red dan Infra Red...................................................................... 24
2.10. Translokasi Hormon Bunga .................................................................................. 28
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 29
3.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 31

3
DAFTAR GAMBAR
NO Halaman

1 Efek cahaya pada perkembangan kecambah monokotil (jagung) dan dikotil


(kacang). Tanaman yang disebelah kiri dari setiap kelompok dikecambahkan
dan ditumbuhkan di rumah kaca, sedangkan yang lainnya ditumbuhkan terus
di tempat gelap selama 8 hari (Foto oleh Frank & Salisbury) ......................... 7

2 Perkecambahan biji slada yang diberi perlakuan cahaya merah (R) dan merah
jauh (Fr). Perlakuan cahaya merah diberikan selama 1 menit, dan cahaya
merah jauh selama 4 menit. Jika pemajanan terakhir dilakukan pada cahaya
merah, biji akan berkecambah, jika pada cahaya merah jauh, biji tetap
dorman. Suhu 7 0 C selama setengah jam dibutuhkan untuk menyelesaikan
perlkuan tersebut, selebihnya pada 19 0 C. ...................................................... 8

3 Perubahan bentuk fitokrom dst ....................................................................... 10


4 Gambar daun Albizzia Julibrissin ................................................................... 12

4
BAB I PENDAHULUAN
Fotomorgenesis
Cahaya adalah factor lingkungan yang diperlukan untuk mengendalikan
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Alasan utamany adalah karena
cahaya menyebabkan fotosintesis. Terdapat efek lain dari cahaya yang taka da
hubungannya dengan fotosintesis, dan sebagian besar efek ini mengendalikan
wujud tumbuhan, artinya perkembangan struktur atau morfogenesisnya (awal dari
pembentukan wujudnya). Selanjutnya pengendalian morfogenesis oleh cahaya
disebut fotomorfogenesis.

Agar cahaya mampu mengendalikan perkembangan tumbuhan, maka


tumbuhan harus menyerap cahaya. Terdapat 4 macam penerimaan cahaya yang
dikenal dalam memoengaruhi fotomorfogenesis pada tumbuhan antara lain adalah
sebagai berikut :

1. Fitikrom, yang dikenal paling kuat menyerap cahaya merah dan merah-
jauh, juga cahaya biru. Terdapat 2 jenis fitokrom yaitu fitokrom-red (Pr)
dan fitokrom far-red (Pfr)
2. Kriptokrom, yaitu kelompok sejumlah pigmen yang serupa dan belum
begitu dikenal; menyerap cahaya biru dan panjang gelombang ultraviolet-
gelombang panjang daerah UV-A sekitar 320 sampai 400nm. Dinamakan
kriptokrom karena peran pentingnya kusus pada kriptogram (tumbuhan tak
berbunga)
3. Penerima cahaya UV-B, yaitu satu atau beberapa senyawa tak dikenal
(secara teknis bukan pigmen) yang menyerap radiasi ultraviolet antara 280
dan 420nm.
4. Protoklorofilida a, yaitu pigmen yang menyerap cahaya merah dan biru,
bisa tereduksi menjadi klorofl a.

Dari beberapa penerima cahaya tersebut diatas maka penekanan yang lebih
pada fitikrom karena senyawa fitokrom yang paling banyak dikenal dan
nampaknya merupakan penerima cahaya terpenting pada tumbuhan berpembuluh.
Fitokrom dan penerima cahaya lainnya mengatur berbagai proses morfogenik,
yang bermula dari perkecambahan biji dan perkembangan kecambah, serta
mencapai puncaknya pada pembentukkan bunga dan biji yang baru.

Seorang peneliti ternama dibidang fotomorfogenesis tumbuhan bernama


Hans Mohr menekankan bahwa fotomorfogenesis mempunyai 2 tahapan penting
yaitu a) kekhasan pola, yaitu sel dan jaringan berkembang dan menjadi mampu
breaksi terhadap cahaya dan perwujudan pola, yang dalam masa tersebut
berlangsung proses yang tergantung pada cahaya (Mohr, 1983); b) Aspek penting
lainnya dalam fotomorfogenesis ialah perlunya system penguatan (seperti yang
ditegaskan pada kerja hormone). Jumlah molekul dalam tumbuhan yang menjadi

5
terpengaruh oleh cahaya barangkali beberapa ribu atau beberapa juta kali lebih
banyak daripada jumlah foton yang menyebabkan terjadinya respon. Pada banyak
kasus (tapi tidak semuanya), pengaktifan gen merupakan bagian dari proses
penguatan tersebut.

Beberapa efek fotomorfogenetik cahaya dapat dengan mudah dikenali


dengan cara membandingkan kecambah yang tumbuh di tempat terang dengan
kecambah yang tumbuh ditempat gelap. Biji yang besar, yang mengandung
banyak cadangan makanan, mampu menghilangkan kebutuhan akan fotosintesis
selama beberapa hari. Kecambah yang tumbuh dalam gelap akan teretiolasi (pucat
atau lemah).

Beberapa perbedaan yang jelas terlihat akibat cahaya ialah :

1. Produksi klorofil terpacu oleh cahaya


2. Pembukaan daun terpacu oleh cahaya, tetapi tidak terlalu nyata pada
tumbuhan monokotil (jagung) dibandingkan dengan pada tumbuhan dikotil
(kacang-kacangan)
3. Pemanjangan batang terhambat oleh cahaya (pada kedua species)
4. Perkembangan akar terpacu oleh cahaya (pada kedua species)

Penemuan dan pemisahan fitokrom, serta bukti kepentingannya sebagai


pigmen yang mengendalikan berbagai respon fotomorfogenik merupakan prestasi
yang paling penting dibidang fisiologi. Sebagian besar penelitian yang mengarah
kepada pelacakan dan pemisahan fitokrom dilakukan di pusat penelitian
departemen pertanian di Amerika Serikat antara tahun 1945 – 1960. Sejarah
penemuan fitokrom dirangkum oleh beberapa peneliti antara lain Harry
Aborthwich (1972); Briggs (1976), dan Furuya (1987). Sterling B Henndrikcks
menguraikan beberapa aspek tentang penemuan fitokrom yang dalam ulasannya
sebagai berikut :

Pada tahun 1920, W. W. Garner dan H. A. Allard mendapatkan bahwa


perbandingan lamanya masa penyinaran dan masa gelap dapat mengendalikan
pembungaan pada tumbuhan tertentu. Kemudian pada tahun 1938, seorang
peneliti menemukan bahwa pada cocklebur, membutuhkan waktu malam yang
lebih panjang daripada panjang minimum krieisnya untuk berbunga (artinya,
tumbuhan hari pendek), akan terhambat pembungaannya apabila masa gelap itu
diselingi dengan cahaya dalam waktu singkat. Cahaya merah-jauh lebih efektif
dibandingkan dengan panjang gelombang lainnya.

6
Gambar 1 Efek cahaya pada perkembangan kecambah monokotil (jagung) dan dikotil (kacang).
Tanaman yang disebelah kiri dari setiap kelompok dikecambahkan dan ditumbuhkan
di rumah kaca, sedangkan yang lainnya ditumbuhkan terus di tempat gelap selama 8
hari (Foto oleh Frank & Salisbury)

Cahaya merah yang menginterupsi masa gelap juga merupakan warna


cahaya yang paling efektif untuk memacu pembungaan pada jelai wintex dan
tumbuhan hari panjang lainnya, yang membutuhkan waktu malam yang lebih
pendek dan waktu siang yang lebih panjang waktu kritisnya. Borthwick dan
Hendriks selanjutnya mempelajari dormansi biji banyak species. Mereka membuat
spektograf besar, yang dengan sumber cahaya yang terang dapat memisahkan
berbagai warna cahaya dalam luasan daerah yang sangat besar, sehingga tanaman
pot yang dijajarkan dapat menerima panjang gelombang yang berbeda-beda.
Mereka memperoleh spectrum kerja dengan puncak pada panjang gelombang
merah untuk memacu perkecambahan biji selada Grand Rapids, yang biasanya
hanya berkecambah 5 sampai 20% keadaan gelap. Telah diketahui sejak tahun
1930-an bahwa cahaya merah memacu perkecambahan biji-bijian tersebut, tetapi
cahaya biru atau merah-jauh menghambat.

7
Gambar 2 Perkecambahan biji slada yang diberi perlakuan cahaya merah (R) dan merah jauh
(Fr). Perlakuan cahaya merah diberikan selama 1 menit, dan cahaya merah jauh
selama 4 menit. Jika pemajanan terakhir dilakukan pada cahaya merah, biji akan
berkecambah, jika pada cahaya merah jauh, biji tetap dorman. Suhu 7 0 C selama
setengah jam dibutuhkan untuk menyelesaikan perlkuan tersebut, selebihnya pada
19 0 C.

Produksi biji sering kali merupakan tujuan utama prosuksi tanaman


budidaya. Produksi biji merupakan bermacam-macam peristiwa fisiologi dan
morfologis yang mengarah pada pembungaan dan pembuahan sebagai respons
terhadap fotoperiode (panjang hari) dan temperature. Respons pembungaan dan
pembuahan terhadap factor-faktor lingkungan tersebut telah menjadi subjek
penyelidikan yang intensif selama kurang lebih 50 tahun.

Studi ditahun 1920-an memberikan arah ke identifikasi fotoperiode


sebagai factor lingkungan yang mengendalikan pembungaan. Studi berikutnya
menunjukkan bahwa niktoperiode (panjang malam), dan bukan panjangnya hari
yang merupakan factor yang menentukan pengendalian respons tanaman. Apabila
periode gelap diselingi oleh pencahayaan singkat dengan energy rendah hasilnya
adalah pengaruh hari panjang.

Walaupun demikian, interupsi periode terang dengan suatu penggelapan


tidak memberikan pengaruh terhadap pembungaan. Studi berikutnya oleh ilmuan
USDA lainnya menunjukkan bahwa fitokrom merupakan pigmen penerima
cahaya (fotoreseptor) dalam pengendalian proses-proses perkembangan seperti
pembungaan dan menunjukkan bagaimana fitokrom bereaksi dalam hubungannya
dengan kualitas cahaya dibagian merah spectrum. Peranan daun dewasa sebagai
tempat produksi perangsang pembungaan (hormone) dan transport hormone ke

8
meristem dan pengaktifan telah menjadi bahan penelitian yang menarik sejak awal
penyelidikan.

Produksi biji seringkali menjadi tujuan produksi tanaman budidaya.


Produksi biji merupakan bermacam-macam peristiwa fisiologis dan morfologis
yang mengarah kepadake pembungaan dan pembuahan sebagai respon terhadap
fotoperiodisma (panjang hari) dan temperature, Respon pembungaan dan
pembuahan terhadap factor-faktor lingkungan tersebut telah menjadi subyek
penyelidikan yang intensif selama kurang lebih 50 tahun,

Studi ditahun 1920-an memberikan arah ke identifikasi fotoperiode


sebagai factor lingkungan yang mengendalikan pembungaan. Studi berikutnya
menunjukkan bahwa niktoperiode (panjang malam), dan bukan panjangnya hari
yang merupakan factor yang menentukan pengendalian respon tanaman. Apabila
periode gelap diselingi oleh pencahayaan singkat dengan energy rendah hasilnya
adalah pengaruh hari panjang. Walaupun demikian interupsi periode terang
dengan suatu penggelapan tidak memberikan pengaruh terhadap pembungaan.
Studi berikutnya oleh ilmuwan lainnya menunjukkan bahwa fitokrom merupakan
pigmen penerima cahaya (fotoreseptor) dalam pengendalian proses-proses
perkembangan seperti pembungaan, dan menunjukkan bagaimana fitokrom
bereaksi dalam hubungannya dengan kualitas cahaya dibagian merah spectrum.
Peranan daun dewasa sebagai tempat produksi perangsang pembungaan
(hormone) dan transport hormone ke meristem dan pengaktifan meristem telah
menjadi bahan penelitian yang menarik sejak awal penyelidikan.

Dengan penyusunan makalah ini dapatlah diketahui masalah-masalah yang


berhubungan dengan aktifitas fitokrom didalam mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman seperti : pengertian tentang fitokrom, transformasi
fitokrom, pengertian fotoperiodisma, mekanisme pembungaan, pengertian
vernalisasi, translokasi hormone bunga, cara pembungaan Arabidopsis, serta
mengetahui peranan fitokrom.

9
BAB II PEMECAHAN MASALAH
2.1. Pengertian Fitokrom
Fitokrom adalah reseptor cahaya, suatu pigmen yang digunakan oleh
tumbuhan untuk menyerap atau mendeteksi cahaya. Sebagai sensor, fitokrom
terangsang oleh cahaya merah dan infra merah, cahaya infra merah memiliki
panjang gelombang yang lebih besar daripada cahaya merah. Fitokrom
detemukan pada semua tumbuhan. Molekul yang serupa juga ditemukan pada
bakteri. Tumbuhan menggunakan fitokrom untuk mengatur beberapa aspek
Adapun bentuk fitokrom dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini :

Gambar 3 Perubahan bentuk fitokrom dst

fisiologi adaptasi terhadap lingkungan seperti fotoperiodisme (pengaturan


saat berbunga pada tumbuhan ), perkecambahan, pemanjangan dan pertumbuhan
kecambah (khususnya pada tanaman dikotil), morfologi daun, pemanjangan ruas
batang, serta pembuatan (sintesis ) klorofil. Secara struktur kimia bagian sensor
fitokrom adalah suatu kromofor dari kelompok bilin (jadi disebut fitokromobilin),
yang masih sekeluarga dengan klorofil atau hemoglobin (kesemuanya memiliki
kerangka heme). Kromofor ini dilindungi atau diikat oleh apoprotein, yang juga
berpengaruh terhadap kinerja bagian sensor. Kromofor dan apoprotein inilah
yang secara bersama-sama disebut sebagai fitokrom. Penelitian rintisan terhadap
pengaruh cahaya merah dan merah jauh terhadap pertumbuhan tumbuhan antara
1940 – 1960 dilakukan oleh Sterling Hendricks dan Harry Borthwick dari pusat
Penelitian Pertanian Beltsville di Maryland, dengan menggunakan spektogaraf
dari bahan-bahan sisa perang dunia ke dua. Dari hasilnya diketahui bahwa cahaya
merah memacu perkecambahan dan memicu tanggap untuk pembungaan. Lebih
lanjut, cahaya merah jauh berpengaruh sebaliknya terhadap pengaruh cahaya
merah. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa bagian yang peka terhadap
rangsang cahaya ini berada di daun.

Bagaimana penerima cahaya menimbulkan fotomorfogenesis? Yang jelas


belum difahami benar bgaimana cara penerima cahaya bisa menyebabkan
fotomorfogenesis. Walau demikin, tampaknya terdapat dua efek utama yang
berbeda`kecepatannya. 1) Salah satu aspek dapat dianggap sebagai efek yang

10
berlangsung cepat pada permeabilitas membrane. 2) Yang lainnya dapat dianggap
sebagai aspek yang lebih lambat pada ekspresi gen.

Penelitian tentang pengendalian ekspresi gen telah banyak dilakukan ,


meskipun pengendalian seperti itu mungkin sering bergantung pada efek
sebelumnya yang diinduksi cahaya, yaitu efek sebelumnya yang diinduksi cahaya,
yaitu efek perubahan permeabilitas membrane yang berpengaruh pada aliran ion
(terutama ion Ca2+) yang melintasi membrane plasma dan tonoplas.

Penelitian awal oleh para penemu Fitokrom dan peneliti-peneliti lain


menunjukkan bahwa : Pfr khususnya bekerja dengan cara mengubah permeabilitas
membrane, dan bahwa respon fotomorfogenetik adalah akibat perubahan tersebut
(dikeluarkan oleh Roux 1986; Kendrich dan Bossen, 1987)

Penelitian selanjutnya menegaskan bahwa: pada beberapa sel dari


beberapa spesies terjadi respon yang cepat (beberapa detik sampai dengan
beberapa menit), bukan hanya terhadap Pfr, tetaoi juga terhadap kriptokrom yang
diaktifkan cahaya biru. Salah satu efek Pfr yang paling cepat ternyata terjadi pada
potongan ujung akar jelai dan kacang hijau, oleh karena itu fenomena ini
dinamakan efek Tanada (Tanada 1968)

Efek Tanada adalah sebagai berikut, apabila potongan ujung akar jelai
dicampur dalam gelas piala dengan IAA/ATP dan beberapa garam mineral +++,
maka perlakuan singkat dengan cahaya merah akan menyebabkan potongan akar
tersebut menempel pada dinding gelas dalam waktu beberapa detik. Dalam hal ini
dinding gelas mempunyai muatan yang agak negative (sebab gelas tersebut telah
dicuci dengan larutan fosfat encer) yang berarti ujung akar yang diberi perlakuan
cahaya merah menjadi bermuatan sedikit positif (barangkali karena adanya
perpindahan H+ dari sitosol ke dinding sel oleh ATP ase di membrane plasma.

Selanjutnya perlakuan singkat dengan cahaya merah jauh dengan cepat


menurunkan muatan positif pada ujung akar dan menyebabkan terlepas dari
dinding gelas. Fitokrom yang menyebabkan respon ini terletak di tudung akar.

Efek cepat lain dari Pfr yaitu pemacuan gerak “Niktinasti” (gerak tidur)
pada jenis kacang-kacanngan tertentu. Dalam kasus ini Pfr juga berkgerak pada
membrane sebab : elektropotensial pada kedua sisi membrane plasma menjadi
terganggu dan kemudian ion Kalium (K+) diangkut dengan cepat dari sel peregang
menuju sel penekuk pada pulvinus sel (gerakan ini terdapat pada pohon
sutra(albizzia julibrissin) pada malam menutup dan terangkat ke atas, putri malu
(Mimosa Pudica), pohon hujan (Samanea Saman) pada malam menutup dan
terangkat ke bawah.

11
Banyak tumbuh-tumbuhan yang umum, gerakan daun, dari hamper
mendatar (pada siang hari) dan hamper tegak (pada malam hari). Sedangkan gerak
miktinastik yang khas merupakan proses berirama yang dikendalikan oleh
interaksi antara lingkungan dan waktu biologis (disini tekanan diarahkan kepada
“respon motor” yang berperan dalam pergerakan). Pada kedua kasus tersebut,
sejumlah sel di pulvinus yang mengembang saat membuka disebut ekstensor,
sedangkan sel yang mengkerut disebut fleksor.

Apa yang mendorong air mengalir dari satu sisi pulvinus ke sisi lainnya?
Pada tahun 1955 Hideo Toriyama dan Tariyama, 1962 mengamati polvinus pada
putri malu (Mimosa Pudica) dan menemukan bahwa ion K+ bergerak keluar dari
sel yang kehilangan air. Kemudian penelitian lain menemukan bahwa konsentrasi
K+ pada pulvinus Albizzia sangat tinggi dan menutupnya anak daun disertai
kehilangan ion K+. Perubahan serupa pernah terlihat pada Sammanea. Jadi pada
Mimosa, Albizzia, dan Sammanea pergerakan air terjadi sebagai responnya
terhadapa gaya penggerak osmotic pengangkutan ion, persis seperti pada
pembukaan dan penutupan stomata.

Gambar 4 Daun Albizzia Julibrissin

12
2.2.Peranan Fitokrom
Fitokrom pada Perkecambahan dalam Gelap dan Pertumbuhan Kecambah

Akumulasi fitokrom dalam bentuk Pr pada perkecambahan dalam kondisi


gelap adalah stabil. Sekali dipaparkan pada cahaya dan dikonfersikan pada Pfr,
fitokrom mengalami transformasi yang menyebabkan hilangnya Pfr dan fitokrom
total.

Seperti yang telah diperkirakan, fitokrom disintesis dalam bentuk Pr yang


meyerap warna merah, yang stabil dan terakumulasi pada biji dan kecambah
dalam kondisi gelap. Kecambah yang mengalami etiolasi, telah menjadi sumber
yang disukai dalam penelitian fitokrom sejak awal karena dua alasan. Pertama ,
kecambah yang mengalami etiolasi mengakumulasi sejumlah besar pigmen.
Kedua, ketidakadaan klorofil menyebabkan kemungkinan yang lebih besar dalam
mengukur fitokrom secara langsung pada jaringan dengan spektrofotometer yang
diadaptasi untuk digunakan dengan optic rapat, bahan yang menghamburkan
cahaya. Dengan cara ini, perubahan jumlah total fotokrom dan proporsi Pr dan
Pfr dapat diamati bersamaan dengan control penyinaran. Penelitian secara in vivo
ini telah mengkonfirmasi banyak prediksi awal.

Pada perkecambahan dalam kondisi gelap, paparan gelombang cahaya


merah yang singkat mengubah Pr menjadi Pfr. Gelombang cahaya Far-red
meniadakan efek cahaya merah dan membatalkan respon fisiologis. Hal ini
menunjukkan bahwa Pfr, setidaknya pada kondisi perkecambahan kondisi gelap,
relative tidak stabil dan jika tidak dihilangkan se4cara fitokimia, konsentrasinya
akan berkurang dalam keadaan gelap selama kurang lebih 1 – 1,5 jam.
Kehilangan Pfr bersamaan dengn penurunan jumlah total fitokrom. Kejadian
kinetic ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa kedua bentuk pigmen merupakan
subyek degradasi kimia yang irrevelsibel. Pr Terakumulasi pada keadaan gelap
hingga tingkat sintesisnya sesuai dengan tingkat degradasi Pr. Berdasarkan
perlakuan cahaya merah yang mengubah Pr menjadi Pfr kandungan total fotokrom
menurun karena tingkat degradasi Pfr mencapai 100 kali lebih besar dibandingkan
dengan tingkat degradasi Pr.

Sebagaimana diketahui anak-anak secara virtual, tumbuhan yang tumbuh


di tempat gelap memiliki penampakan yang berbeda, detilnya dapat bervariasi
antara spesies satu dan lainnya, tetapi umumnya perkecambahan batang fikotil
lebih panjang dan lermah, biasanya membentuk kurva yang jelas di bawah daun.
Daunnya mengalami keterlambatan perkembangan, tetap kecil dan menutup,
hamper sama seperti keadaan embrio. Tidak tampak klorofil dan warnanya
tampak putih atau kuning. Daun rumput-rumputan tetap memanjang tetapi masih
dalam keadaan menggulung. Internodus pertama atau mesokotil, pada
perkecambahan rumput memanjang berlebihandalam gelap dan koleoptil, yang

13
merupakan modifikasi daun, tumbuh dengan lambat. Kondisi umum ini
disebabkan tumbuhan tersebut tumbuh pada kondisi gelap dan disebut etiolasi.
Ciri lain etiolasi adalah terhambatnya perkembangan kloroplas dan rendahnya
aktifitas banyak enzim.

Pada perkecambahn dikotil, pemanjangan hipokotil , pembukaan kait


plumula, dan pelebaran daun mendapat perhatian lebih. Dengan radiasi cahaya
putih, tingkat pertumbuhan hipokotil lambat, kail hipokotil lurus, dan
pemanjangan epikotil semakin cepat. Cahaya juga menstimulasi daun untuk
membuka, melebar, dan melengkapi perkembangannya. Perkembangan kloroplas
berjalan dan daun hijau karena akumulasi klorofil

Signifikansi ekologis respon tersebut tidak sulit untuk disusun. Ingatlah


bahwa tumbuhan merupakan organisme fotosintetik secara fundamental. Sebuah
biji memiliki jaringan nutritive yang terbatas sehingga setidaknya harus
mencukupi dalam mendukung perkecambahan hingga tumbuhan tersebut
berkecambah dan mampu untuk melakukan fotosintesisdan mensuplai energy dan
karbon. Dalam kondisi gelap, cadangan makanan biji digunakan untuk
pemanjangan sumbu agar memaksimalkan kemungkinan plumula, daun muda,
mencapai cahaya dan dapat melakukan fotosintesis sebelum cadangan
makanannya habis. Sekali terpapar cahaya, sisa cadangan makanan mungkin
digunakan untuk pembentukan jaringan fotosintetik, dan lainnya. Karena itu
peran fitokrom dalam perkembangan perkecambahan muncul sebagai penyampai
informasi pada kecambah terkait posisinya terhadap permukaan tanah.

Peran Antagonis antara Pr dan Pfr

Mekanisme kerja fitokrom banyak hipotesis diketemukan tentang


mekanisme kerja dari fitokrom. Salah satunya menyatakan kerja biologi pada
mekanisme kerja fitokrom ini terjadi setelah terbentuknya Pfr (fitokrom infra red

Pr<==========>Pfr -----------------> kerja biologis (merah jauh)

Sumber fitokrom dapat diperoleh dari biji-biji yang etiolasi, sedangkan


pada jaringan normal hanya sedikit. Pada beberapa jaringan, perubahan Pr dan
tidak selalu diikuti dengn terjadinya respon morfogenetik. Perubahan Pr <--------
------------>Pfr prosesnya tidak sederhana seperti ditunjukkan di atas. Pengukuran
dengan spektrofotometer menunjukkan bahwa Pfr mungkin dipecah oleh cahaya
merah jauh, tidak menunjukkan hubungan secara kuantitatif dengan hilangmya
Pfr. Diduga mungkin Pfr berubah menjadi suatu derivate yang secara fotokimia
tidak aktif.

14
Pr < ===== >Pfr -------------->Pfr x ------------> kerja biologi (merah
jauh) dirombak

Selain mengatur pembungaan, siklis pertukaran Pr Pfr kini juga diketahui


mengatur fungsi pertumbuhan yang lain. Siklus ini misalnya merangsang
perkecambahan biji benih dan memperlambat pemanjangan batang. Keadaan Pfr
dengan jelas menunjukkan kepada biji bahwa terdapat cahaya matahari dan
keadaannya sesuai bagi perkecambahan. Setelah perkecambahan, keadaan Pr
menandakan bahwa pemanjangan batang perlu terjadi untuk memungkinkan
tumbuhan menerima cahaya matahari. Anah benih yang ditanam dalam keadaan
gelap akan mengetiolat, yaitu batangnya bertambah panjang dan daunnya juga
tetap kecil. Sebaiknya anak banih dibukakan terhadap cahaya matahari dan Pr
ditukarkan kepada Pfr. Anak benih mulai tumbuh secara normal daunnya
bertambah besar dan batangnya berkecambah. Untuk itulah peran Pr dan Pfr harus
seimbang pada tanaman.

2.3. Fungsi Fitokrom

Fitokrom berfungsi sebagai fotodetektor yang memberitahukan tumbuhan


apakah ada cahaya atau tidak. Selain itu fitokrom juga berfungsi memberikan
informasi pada tumbuhan mengenai kualitas cahaya. Saat proses perkecambahan,
fitokrom memiliki sangat membantu memacu perkembangan akar. Cahaya merah
yang ditangkap oleh fitokrom memiliki banyak fungsi. Cahaya merah yang
memacu perkembangan perkecambahan biji, biru atau merah jauh dapat
menghambat perkecambahan. Beberpa percobaan tentang perkecambahan biji
telah dilakukan. Pemberian perlakuan cahaya merah jauh setelah perlakuan
cahaya merah, tidak terjadi perkembangan atau perkcambahan. Namun pemberian
cahaya merah (Pr) setelah cahaya merah jauh (Prf) akan membentuk kecambah.
Dengan kata lain, pemberian cahaya akhirlah yang mempengaruhi terhadap
perkecambahan biji.

2.4. Mekanisme Penyerapan Cahaya oleh Fitokrom

Dalam control fotoperiodik perbungaan dan banyak respon tumbuhan


terhadap pencahayaan, fitokrom (phytochrome) berfungsi sebagai fotodetektor
yang memberitahukan tumbuhan apakah ada cahaya atau tidak. Secara kimia,
fitoktom (Phytochrome) mempunyai dua bentuk yaitu merah (Pr) dan merah jauh
(Prf). Fitokrom (phytochrome) merah (Pr) dan merah jauh (Pfr) pada daun turut
berperan pada proses fisiologis pembungaan tanaman. Pada percobaan mengenai
control fotoperiode pada perbungaan, sinar merah dengan panjang gelombang 660
nm adalah sinar yang paling efektif untuk mengintrupsi panjang malam.

Suatu tumbuhan hari pendek yang dipelihara pada panjang malam kritis
akan gagal berbunga jika suatu pemaparan singkat pada sinar merah (Pr) menyela

15
periode gelap tersebut. Pemendekan panjang malam oleh sinar merah dapat
dihambat dengan pemberian seberkas sinar yang memiliki panjang gelombang
sekitar 730 nm. Panjang gelombang ini berada pada bagian merah jauh (Pfr) dari
spectrum cahaya dan hampir tidak terlihat oleh mata manusia. Jika sinar merah
(Pr) selama periode gelap diikuti oleh sinar merah jauh (Pfr), tumbuhan tersebut
akan mempersepsikan tidak ada interupsi pada malam panjang.

Masing-masing gelombang sinar akan meniadakan pengaruh panjang


gelombang sinar yang mendahuluinya, jumlah berkas sinar yang diberikan tidak
akan mempengaruhi, hanya panjang gelombang sinar yang terakhir saja yang akan
memperngaruhi pengukurang panjang malam oleh tumbuhan. Kedua bentuk
photoreceptor (Pr dan Pfr) bisa berkonvesi satu sama lain, tergantung jenis sinar
yang diterimanya. Bila tanaman menerima lebih banyak sinar merah, maka Pr
akan terkonversi menjadi Pfr dan menyebabkan jumlah Pfr bertambah, begitu pula
sebaliknya. Bila jumlah Pfr lebih banyak dari Pr maka selang waktu tertentu,
pertumbuhan apical (apical dominance) akan terhenti dan tanaman teinduksi ke
fase generative.

Pr dan Pfr dapat menyerap cahaya namun pada tingkat dan radiasi yang
rendah tidak mampu membentuk respon fisiologis. Secara kimiawi fitokrom
merupakan homodimer dan suatu polipeptida yang masing-masing memiliki
gugus prostetik yang disebut kromofor. Kromofor yang menyerap cahaya dan
memberikan efek fisiologis pada fitokrom. Pr yang diubah menjadi Pfr terjadi
perubahan struktur Cis-Tran pada kromofor yang menjadikan efek fisiologis.
Fitokrom terdapat 2 macam yaitu fitokrom 1 dan fitokrom 2. Fitokrom 1 banyak
terdapat pada kecambah yang teretiolasi, dan fitokrom 2 terdapat pada tumbuhan
hijau dan biji yang berkembang ditempat yang bercahaya. Pada semua tumbuhan
fitokrom ada dan disintesis dalam bentuk Pr dan Pfr tak tersintesis dalam keadaan
gelap. Fitokrom tersebar didalam sel di nucleus dan seluruh sitosol. Fitokrom tipe
1 berkembang dan jumlahnya meningkat 100 kali dalam keadaan gelap dan akan
hilang jika terkena cahaya. Hilangnya fitokrom tipe 1 disebabkan karena
tumbuhan berhenti mentraskripsikan mRNA (mudah terhidrolisis) dan protein
penyusunnya mudah rusak karena cahaya. Fitokrom tipe 1 dapat tidak aktif karena
cahaya merah yang diserap oleh fitokrom tersebut. Pr akan mengurangi
pembentukan Pfr.

Sistem fitokrom juga me<mberikan informasi pada tumbuhan mengenai


kualitas cahaya. Cahaya matahari meliputi radiasi cahaya merah dan merah jauh.
Dengan demikian selama siang hari fotoreverso Pr dan Pfr mencapai suatu
keseimbangan dinamis dengan rasio kedua fitokrom tersebut menunjukkan jumlah
relatif cahaya merah dan cahaya merah jauh. Mekanisme pengindraan ini
memungkinkan tumbuhan menyesuaikan diri dengan perubahan cahaya.

16
2.5. Fotoperiodisme

Foto periodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran


(panjang pendeknya hari) yang dapat merangsang pembungaan. Istilah
fotoperiodisme digunakan untuk fenomena dimana fase perkembangan tumbuhan
dipengaruhi oleh lama penyinaran yang diterima oleh tumbuhan tersebut.
Beberapa jenis tumbuhan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh lamanya
penyinaran, terutama dengan kapan tumbuhan tersebut memasuki fase
generatifnya, misalnya pembungaan. Menurut Lakitan (1994) beberapa tumbuhan
akan memasuki fase generative (membentuk organ reproduktif) hanya jika
tumbuhan tersebut menerima penyinaran yang panjang > 14 jam dalam setiap
periode sehari semalam, sebaliknya ada pula tumbuhan yang hanya akan
memasuki fase generative jika menerima penyinaran singkat < 10 jam (Mader,
1995).

Berdasarkan panjang hari, tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat


macam, yaitu : Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena
penyinaran kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan,
jagung, kedelai, anggrek, dan bunga matahari. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan
yang berbunga jika terkena penyinaran lebih dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari.
Tumbuhan hari panjang, contohnya kembang sepatu, bit gula, selada, dan
tembakau. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena
penyinaran kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan
tebu. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsive terhadap panjang
hari untuk pembungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi,
wortel liar, dan kapas. Tumbuhan hari netral percobaan yang dilakukan Garner
dan Alard pada tahun 1920 di Amerika Serikat menemukan bahwa tembakau
varietas Martland Mammoth adalah tumbuhan hari pendek (short day plant),
karena tumbuhan ini nyatanya memerlukan suatu periode terang yang lebih
pendek dibandingkan panjang siang hari yang kritis untuk pembungaan,
pembungaan terjadi pada musim dingin. Krisan, poinsettia, dan beberapa varietas
kacang kedelai merupakan contoh tumbuhan hari pendek yang pada umumnya
berbunga pada akhir musim panas, musim gugur, atau musim dingin.

Kelompok lain yang bergantung pada fotoperiode hanya akan berbunga


ketika periode terang lebih lama beberapa jam. Tumbuhan hari panjang (long day
plant) ini umumnya berbunga pada akhir musim semi atau awal musim panas.
Bayam misalnya, memerlukan panjang siang hari 14 jam atau lebih lama. Lobak,
selada, iris, dan banyak varietas sereal lain merupakan tumbuhan hari panjang.
Perbungaan pada kelompok ke tiga, yaitu tumbuhan hari netral, tidak dipengaruhi
oleh fotoperiode. Tomat, padi, dan dandelion adalah contoh tumbuhan hari netral
(day neutral plant) yang berbunga ketika mereka mencapai tahapan pematangan
tertentu, tanpa memperdulikan panjang siang hari pada waktu itu (Haryanto,

17
2010). Yang dimaksud dengan panjang hari disini bukan panjang hari secara
mutlak, tetapi panjang hari kritis. Tumbuhan hari panjang (LDP) mungkin
memiliki panjang hari kritis lebih panjang lebih pendek daripada tumbuhan hari
pendek (SDP). Dinyatakan bahwa tumbuhan hari panjang akan berbunga apabila
memperoleh induksi penyinaran yang sama atau lebih dari panjang hari kritisnya
dan sebaliknya tumbuhan hari pendek akan berbunga apabila memperoleh
penyinaran sama atau lebih pendek dari panjang hari kritisnya (Sasmitamihardja,
1996). Sebelumnya diduga bahwa tumbuhan dirangsang pembungaannya oleh
lamanya panjang hari (day length). Pada tahun 1940-an peneliti menemukan
bahwa sesungguhnya panjang malam atau panjang kegelapan tanpa selingan
cahaya atau niktoperiode, dan bukan panjang siang hari yang mengonteol
perbungaan dan respons lainnya terhadapa fotoperiode (Franklin, dkk, 1991).
Banyak peneliti bekerja dengan cocklebur, yaitu suatu tumbuhan hari pendek yang
berbunga hanya kerika panjang siang hari 16 jam atau lebih pendek (dan panjang
malam paling tidak 8 jam). Jika siang hari fotoperiode diselang dengan pemberian
kegelapan singkat, tidak ada pengaruh pada perbungaan. Namun, jika bagian
malam atau periode gelap dari fotoperiode disela dengan beberapa menit
penerangan cahaya redup, tumbuhan tersebut tidak akan berbunga. Cocklebur
memerlukan paling tidak 8 jam kegelapan secara terus menerus supaya dapat
berbunga.

Tumbuhan hari pendek sesungguhnya adalah tumbuhan malam panjang,


tetapi istilah yang lebih kuno tersebut tertanam kuat dalam jargon fisiologi
tumbuhan. Tumbuhan hari panjang sesungguhnya tumbuhan malam pendek,
apabila ditanam pada fotoperiode malam panjang yang biasanya tidak
menginduksi perbungaan, tumbuhan hari panjang akan berbunga jika periode
kegelapan terus menerus diperpendek selama beberapa menit dengan pemberian
cahaya. Dengan demikian, respon foroperiode tergantung pada suatu panjang
malam kritis. Tumbuhan hari pendek akan berbunga jika durasi malah hari lebih
lama dibanding dengan panjang kritis (8 jam untuk cocklebur), tumbuhan hari
panjang akan berbunga ketika malam hari lebih pendek dibanding dengan panjang
malam kritis. Industri penanaman bunga telah menerapkan pengetahuan ini untuk
menghsilkan bunga diluar musimnya. Chrythemum misalnya adalah tumbuhan
hari pendek yang biasanya berbunga pada musim gugur, tetapi pembungaannya
dapat ditunda sampai hari ibu (America serikat, red) pada bulan Mei dengan cara
menyela setiap malam panjang dengan seberkas cahaya, yang merubah satu
malam panjang menjadi malam pendek. Pada banyak spesies tumbuhan hari
pendek atau tumbuhan hari panjang, perbungaan cukut diinduksi dengan
memaparkan sebuah daun tunggal terhadap fotoperiode yang tepat. Meskipun
hanya satu daun dibiarkan bertaut pada tumbuhan, fotoperiode akan tetap
terdeteksi dan tunas bunga akan diinduksi. Namun, jika semua daun dibuang,
tumbuhan akan buta terhadap fotoperiode. Transmisi meristem dari pertumbuhan

18
vegetative sampai ke perbungaan. Apapun kombinasi petunjuk lingkungan
(seperti fotoperiode) dan sinyal internal (seperti hormone) yang diperlukan untuk
perbungaan, hasilnya adalah transmisi meristem tunas dari keadaan vegetative
menjadi suatu keadaan perbungaan. Transmisi ini memerlukan perubahan ekspresi
gen-gen yang mengatir pembentukan pola. Gen identitas meristem yang
menentukan bahwa tunas akan membentuk bunga terlebih dahulu dan bukan
membentuk tunas vegetative, harus diaktifkan (di-on-kan) terlebih dahulu.
Kemudian gen identitas organ-organ bunga kelopak bunga, mahkota bunga,
benang sari dan putik diaktifkan pada daerah meristem yang tepat. Penelitian
mengenai perkembangan bunga sedang berkembang pesat, yang bertujuan untuk
mengindentifikasi jalur transduksi sinyal yang menghubungkan petunjuk-petunjuk
seperti fotoperiode dan perubahan hormonal dengan ekspresi gen yang diperlukan
untuk perbungaan.

2.5.1. Induksi Fotoperiodisme

Induksi fotoperidisme sanga penting dalam perbungaan atau lebih tepatnya


disebut induksi panjang malam kritisnya. Respon tumbuhan terhadap induksi
fotoperioda satu kali saja, tetapi tumbuhan lain memrlukan induksi lebih dari satu
kali. Xanthium strumarium untuk perbungaan memerlukan 8x induksi fotoperioda
yang harus berjalan terus menerus. Apabila tanaman ini sebelum memperoleh
induksi lengkap, mendapat gangguan atau terputus induksi fotoperiodanya, maka
tanaman itu tidak akan berbunga. Kekurangan induksi fotoperioda tidaj dapat
ditambahkan demikia saja, karena efek fotoperioda yang telah diterima
sebelumnya akan menjadi hilang. Untuk memperolah induksi lengkap, tanaman
tersebuh harus mengulangnya dari awal kembali. Di dalam menerima rangsang
fotoperioda ini, organ daun diketahui sebagai organ peneriman rangsangan. Ada 4
tahap yang terjadi dalam resepon perbungaan terhadap rangsangan fotoperioda,
pertama menerima rangsangan, kedua transformasi dari organ penerima
rangsangan menjadi beberapa polametabolisme baru yang berkaitan dengan
penyediaan bahan untuk perbungaan, ketiga pengangkutan hasil metabolism dan
keempat terjadi respon pada titik tumbuh untuk menghasilkan perbungaan.
Beberapa percobaan dalam hubungan dengan rangsangan ini, menunjukan bahwa
apabila daun dibuang segera setelah induksi selesai, tidak akan terjadi
perbungaan, sedangkan apabila daun dibuang setelah beberapa jam sehabis selesai
induksi, tumbuhan tersebut dapat berbunga. Rangsangan yang diterima oleh satu
tumbuhan dapat diteruskan pada tumbuhan lain yang tidak memperoleh induksi,
melalui cara tempelan (grafting) sehingga tumbuhan tersebut dapat berbunga.
Hormon yang berperan dalam perbungaan ini adalah florigen, yang masih
merupakan hormone hipotesis.

19
2.6. Mekanisme Perbungaan

2.6.1. Efek Cahaya

Mengingat ketergantungan tumbuhan hijau terhadap cahaya, tidaklah


mengherankan jika cahaya merupakan perangsang luar yang paling utama dalam
hidup tumbuhan. Beberapa respin tumbuhan terhadap cahaya telah disebutkan.
Misalnya respin phototropic yang edeknya itimbul melalui auksin. Respon ini
akan membawa organ-organ fofsintetik dalam posisi optimum relative terhadap
datangny acahaya. Respon terhadap cahaya yang lain, misalnya membuka dan
menutupnya sel pelindung dan respon cahaya adalam sintesa klorofil dari
tumbuhan berbunga. Kebanyakan respon tumbuhan terhadap cahaya adalah
merupakan respon perkembangan dan tidak mempunyai arti penting dalam
metabolism. Intesnsitas cahaya, kualitas cahaya, dan panjangnya penyinaran juga
dapat menimbulkan respon perkembangan pada tumbuhan.

2.6.2. Intensitas Cahaya

Beberapa respon tumbuhan terhadap intensitas cahaya yang berbeda-beda


adalah dilakukan melaui auksi dan efeknya timbul karena berkutangnya efekticitas
auksin pada keadaan cahaya yang terik. Sebagai contoh, tumbuhan yang tumbuh
dalam gelap atau cahaya yang lemah akan mempunyai batah yang panjang dengan
ruas yang lebih panjang dan lebih besar daripada tumbuhan yang mendapat
cahaya terang. Demikia juga dalam suatu tanaman daun yang terluar yang
mendapat cahaya matahari penuh tinggal lebih kecil daripada daun sebelah dalam
yang terlindung. Tumbuhan tembakau kadang-kadang dilindungi dari cahaya terik
dengan jaring untuk mendapatkan daun yang lebar.

Bila tumbuhan berada lama dalam cahaya yang lemah, tumbuhna akan
mengalami etiolasi, yakni batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan
serabut penyokong yang cukup. Jika intensitas cahaya tidak naik kematian akan
terjadi. Sebaliknya, pneyinaran yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan
yang kerdil dengan perkembanga yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan
kematian.

Tumbuhan memerlukan intensitas Chaya yang tertuntu yang berbeda dari


satu spesies dengan sepsis tumbuhan yang lain untuk tumbuh dengan baik.
Tumbuhan tertentu seperti tomat dan rumput-rumputan memerlukan cahaya
matahari langsung dan terang untuk perkembangan yang optimal. Pada tumbuhan
itu, sintesa zat-zat hidup meningkatnya berbanding lurus dengan meningkarnya
intensitas cahaya (sampai suatu batas tertentu). Sebaliknya tumbuhan lain seperti
bangsa perdu tumbuh secara optimal pada intesitas cahay yang lebih rendah dan
tumbuh kerdil jika terkena cahaya matahari langsung terus menerus. Sedang
tumbuhan lain seperti mawar tumbuh baik, baik pada cahaya terik maupun cahaya

20
dengan intersitas yang lebih rendah walaupun pertumbuhan dan berbunganya bisa
dihambat atau berhenti jika intersitas cahaya terlalu rendah.

2.6.3. Kualitas Cahaya

Pada intensitas cahaya yang tertentu, panjang gelombang cahaya yang


berbeda menimbulkan efek yang besar pada perkembangan tumbuhan. Sebagai
contoh telah ditunjukkan bahwa penyinaran pendek dengan cahaya merah sering
menghambat perpanjangan batang pada tumbuhan seperti kacang dan padi-padian.
Tetapi penghambatan ini bisa dikembalikan ke normal dengan pertumbuhan
batang bisa dipacu dengan penyinaran “Farred” dari spectrum cahaya. Pada daun,
penyinaran dengan cahaya merah dan cahaya merah jauh menghasilkna efek yang
berlawanan; cahaya infra merah menghambat perkembangan daun, sinar merah
memperbaiki penghambatan itu.

2.6.4. Panjangnya Penyinaran

Respon perkembangan tumbuhan terhadap bermacam-macam penyinaran


disebut phtoperidositas. Perkembangan bunga terutama sangant dipengaruhi oleh
panjang hari yang berbeda atau photoperiode. Berdasarkan photoperiode yang
diperlukan untuk berbunga dapat dibedakan menjadi 3 jenis tumbuhan.

Dalam tumbuhan hari pendek (short day plant) bunga berkembang jika
tumbuhan mendapatkan penyinaran kurang dari 12 jam. Aster, strawberry, krisan,
padi adalah diantara tumbuhan yang termasuk dalam jenis ini.

Pada tumbuhan hari panjang berkembang hanya jika photoperiode tiap hari
adalah lebih dari 12 jam. Sebagai contohnya, termasuk gandum, clover, wortel,
dan selada.

Group yang ketiga tidak dipengaruhi oleh lama penyinaran. Grup yang
termasuk dalam tumbuhan de minate menghasilkan bunga tanpa memandang lama
penyinaran matahari setiap hari. Tumbuhan yang termasuk adalah tomat,
mentimun, kapas, dan bunga matahari.

Tumbuhan hari pendek gagal berbunga atau berbunganya dihambat dan


sangat berkurang jika mendapat lama penyinaran matahari yang panjang.
Sebaliknya tumbuhan hari panjang lambat berbungan atau tidak berbunga sama
sekali jika mendpat penyinaean yang pendek. Seringkali penyinaran yang singkat
pada panjang penyinaran yang sesuai diperlukan untuk mendorong tumbuhan itu
berbunga. Dalah hal ini spesies yang berbeda menunjukka kebutuhan yang
berbeda.

21
2.7. Vernalisasi

Vernalisasi merupaka induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan


sebelum mulai perbungaan. Vernalisasi sebenarnya tidak khusus untuk
perbungaan, tetapi diperlukan pula oleh biji-biji tumbuha tertentu sebelum
perkecambahan. Respon terhadap suhu dingin ini bersifat kualitatif (mutlak), yaitu
pembungaan akan terjadi atau pembungaan tidak akan terjadi. Lamanya periode
dingin haruslah beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung spesiesnya.
Spesies semusim pada musim dingin, dua tahunan, dan banya spesies tahuna dari
daerah beriklim sedang yang membutuhkan vernalisasi semacam itu agar
berbunga. Biji, umbi, dan kuncup banyak spesies tanaman di daerah beriklim
sedang membutuhkan stratifikasi (beberapa minggu diletakkan dalam
penyimpanan yang dingin dan lembab) untuk mematahkan dormansi. Jadi,
vernalisasi secara harfiah berarti membuat suatu keadaan tumbuhan seperti musim
semi, yaitu menggalakkan pembungaan sebagai respon terhadap hari-hari yang
panjang selama musim semi (Gardner, dkk, 1991)

2.7.1 Letak Vernalisasi

Bukti-bukti bahwa rangsangan dingin dihasilkan di dalam meristem atau


kuncup dan bukan didalam daun diperoleh dari empat fenomena:

 Biji yang telah mengalami imbibisi mudah divernalasi


 Pengenaan suhu dingin hanya pada daun, akar atau batang tidak
efektif
 Biji yang sedang berkembang pada tanaman induk dan seingkali
sudar tervernalisasi apabila tepat pada waktu suhu dingin
berlangsung sebelum biji menjadi kering.
 Tanaman yang ditanam dari kumcup liar suatu daun yang sudah
tervernalisasi telah tergalakkan untuk berbunga (Gardner, dkk,
1991).

2.7.2. Hilangnya Vernalisasi

Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan kondisi yang


parah, seperti kekeringan aria temperature tinggi (30-35 C) selama periode
beberapa hari. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lysenko di Uni Soviet,
mengenai biji serealia musim dingin yang divernalisasi dan dipertahankan biji
dalam keadaan kering menyebabkan proses devernalisasi (penghilangan
vernalisasi). Percobaan yang dilakukan Lysenko itu tidak berlaku dimana saja,
mungkin karena telah tersedia kultivar tipe musim semi yang teradaptasi.

Vernalisasi pada rumput-rumputan tahuna tertentu, tenyata lebih


kompleks, selain dingin, juga diperlukan beberapa fotoperiode pendek. Contohnya

22
pada rumput orchard, penggalakan pembungaan terjadi secara alamiahm dan
diperlukan suhu dingin untuk menggalakkan pembungaan pada spesies-spesies
tersebut (Gardner, dkk, 1991).

2.7.3 Interaksi Vernalisasi dengan factor lain

Chailakhyan menyatakan bahwa hanya tumbuhan di daerah temperature


yang mengalami musim dingin, dapat kita harapkan memerlukan vernalisasi, dan
ini adalah tumbuhan hari panjang (LDP). Tumbuhan hari pendek biasanya berada
di daerah subtropics.

Ada sebuah interaksi yang ganjil pada Petkus rye (secale cereal),
kebutuhan akan vernalisasi dapat digantikan dengan perlakuan hari pendek (short
day), tetapi apabila tanaman ini telah memperoleh vernalisasi, dia memerlukan
induksi hari panjang untuk pembungaannya. Sama halnya dengan Hyoscyamus
niger memerlukan vernalisasi apabila dalam tahap roset dan perbungaan akan
terjadi hanya pada hari panjang.

2.7.4. Organ Penerima Rangsangan Vernalisasi

Organ tumbuhan yang dapat menerima rangsangan vernalisasi sangat


bervariasi yaitu biji, akar, embrio, pucuk batang. Apabila daun tumbuhan yang
memerlukan vernalisasi mendapat perlakuan dingin, sedangkan bagian pucuk
batangnya dihangatkan, maka tumbuhan tidak akan berbunga (tidak terjadi
vernalisasi).

Vernalisasi merupakan suatu proses yang kompleks yang terdiri dari


beberapa proses. Pada Secale cereal, vernalisasi pada tanaman ini terjadi di dalam
biji dan semua jaringan yang dihasilkannya berasal dari meristem yang
tervernalisasi. Pada Chrysantheum, vernalisasi hanya dapat terjadi pada
meristemnya.

Zat yang bertanggun jawab dalam meneruskan rangsangan vernalisasi


disebut vernalin, yaitu suatu hormone hipotesis karena sampai saat ini belum
pernah diisolasi. Di dalam hal perbungaan GA dapat mengantikan fungsi vernalin,
meskipun GA tidak sama dengan vernalin. Pada H. Niger, pemberian GA dapat
menggantikan vernalisasi :

Tumbuhan roset GA vegetative berbunga

Tumbuhan roset vernalisasi berbunga

23
2.8. Konsep Florigen

Florigen adalah nama yang Mikhail Chailakhyan diciptakan pada tahun


1937 untuk mengatur hormone diduga berbunga. Pada konsep ini, fisiologi
tanaman tiba setelah penelitian awal mengenai pengaruh suhu dan panjang hari di
transisi dari vegetative ke tahap reproduksi tanaman. Keberadaan Florigen yang
dipostulatkan pada latar belakang percobaan yang melibatkan i) respon tanaman
terhadap kondisi induktif; ii) transmisi stimulus berbunga dengan mencangkok;
iii) ekstraksi ini stimulus dari tanaman diinduksi. Ini hasil eksperimen
menunjukka adanya Florigen setidaknya sebagai konsep Karen amereka selalu
gagal untuk menawarkan bikti eksperimental keberadaan kimianya. Mitos
Florigen bertahan selama akhir tahun tujuh puluhan, ketika fisiologi mulai
mempertimbangkan bunga sebagai proses yang kompleks di mana berbagai kelas
hormone berbagai interaksi mungkin.

2.9. Pengaruh Cahaya Red dan Infra Red

Pembungaan, pembuahan, dan set biji merupakan peristiwa-peristiwa


penting dalam produksi tanaman. Proses-proses ini dikendalikan baik oleh
lingkungan terutama fotoperiode dan temperature, maupun oleh factor-faktor
genetic atau internal. Salah satu proses perkembangan yang harus tepat waktu
adalah proses pembungaan. Tumbuhan tidak bisa berbunga terlalu cepat sebelum
organ-organ penunjang lainnya siap, misalnya akan dan daun lengkap. Sebaliknya
tumbuhan tidak dapat berbunga dengan lambat, sehingga buahnya tidak sempurna
misalnya datangnya musim dingin.

Pengaruh Cahaya Red dan FarRed pada perkecambahan biji Selada

Pigmen yang memegang peranan dalam perkecambahan biji adalah


phytochrome yang sulit ditentukan karena hanya terdapat dalam jumlah yang
dangat sedikit dalam biji. Fitokrom adalah protein dengan kromatofora yang mirip
fikosianin. Fitokrom mempunyai dua macam struktur yang reversible yaitu yang
dapat mengabsopsi cahaya merah (600nm) disingkat Pr dan yang dapat
mengabsorpsi cahaya merah jauh, far red (730 nm) disingkat Pfr. Biji light
sensitive yang telah mengadakan imbibisi bila disinari dengan sinar merah (660
mu) mengakibatkan phytochrome merah berubah bentuk menjadi bentuk
phytochrome infra merah yang aktif sehingga dapat menyebabkan perkecambahan
biji. Sedangkan pencahayaan dengan sinar infra merah (730 mu) mengakibatkan
perubahan brntuk ke bentuk phytochrome merah yang inaktif sehingga
mengahmbat perkecambahan biji.

Van der Veen (1973) menyatakan bahwa phytochrome infra merah


menginduksi emvrio dalam biji untuk menghasilkan hormone giberelin. Giberelin
ini menginduksi terbentuknya enzim amilase dalam biji. Amilase akan memecah

24
pati menjadi gula sehingga akan meningkatkan tekana osmose dalam biji. Hal ini
akan mengakibatkan pecahnya kulit biji. Dengan rusaknya kulit biji maka biji-biji
yang doman akan berkecambah. Sinar matahari yang sampai di bumi dikuasai
oleh sinar merah sehingga phytochrome diubah menjadi bentuk phytochrome
infra merah aktif. Penetrasi cahaya kedalam tanah tergantung oleh panjang
gelombang. Cahaya merah penetrasinya mencapai kira-kira 2,5 cm dalam tanah
berpasir. Di kedalaman yang lebih besar keadaannya menjadi gelap sempurna dan
hanya sinar infra merah yang masih sanggup menembusnya, sehingga dalam hal
ini biji-biji akan tetap doeman sampai tanah tersebut diolah.

Benih mempunyai sifat yang bercariasi terhadap kebutuhan cahay untuk


perkecambahannya. Berdasarkan pengaruh cahaya terhadap perkecambahan,
benih diklasifikasikan menjadi 3 golongan, yaitu :

- Benih yang bersidaf positively photoblastic (perkecambahannya


membutuhkan cahaya atau dipercepat oleh cahaya), misalnya benih
selada dan tembakau
- Benih yang bersifat negatively photoblastic (perkecambahannya tidak
membutuhkan cahaya atau perkecambahannya dihambat oleh adanya
cahaya.
- Benih dapat berkecambah sama baik di tempat gelap atau ada cahaya,
misalnya kubis dan kacang-kacangan. Pengaruh cahaya dan
perkecambahan benih dikontrol oleh suatu pigmen penyerap cahaya,
yang dikenal dengan phytochrome. Phytochrome adalah sejenis protein
yang memiliki komponen yang dapat menyerap cahaya.

Cahaya mempengaruhi perkecambahan dengan tiga cara, yaitu :

Kuantitas Cahaya

Cahaya dengan intensitasi tinggi dapat meningkatkan perkecambahan pada


biji-biji yang positively photoblastic (perkecambahannya dipercepat oleh cahaya);
jika penyinaran intensitas tinggi ini diberikan dalam durasi waktu yang pendek.
Hal ini tidak berlaku pada biji yang bersifat negatively photoblastic
(perkecambahannya dihambat oleh cahaya) (Elisa, 2011).

Biji positively photoblastic yang disimpan dalam kondisi imbibisi dalam


gelap untuk jangka waktu lama akan berubah menjadi tidak responsive terhadap
cahaya, dan hal ini disebut skotodormat. Sebaliknya, biji yang bersifat negatively
photoblastic menjadi photodormat jika dikenai cahaya. Kedua dormansi ini dapat
dipatahkan dengan temperature rendah (Elisa, 2011).

25
Kualitas Cahaya

Yang menyebabkan terjadinya perkecambahan adalah daerah merah pada


spectrum (red; 650 nm), sedangkan sinar infra merah (far red; 730 nm)
menghambat perkecambahan. Efek dari kedua daerah di spectrum ini adalah
mutually antagonistic (sama sekali bertentangan): jika diberikan bergantian,
makaa efek yang terjadi kemudia dipengaruhi oleh spectrum yang terakhir kali
diberikan. Dalam hal ini, biji mempunyai 2 pigmen yang photoreversible (dapat
berada dalam 2 kondisi alternative) (Elisa, 2011):

P650 : mengabsorbsir di daerah merah

P730 : mengabsorbsir di daerah infra merah

Jika biji dikenai sinar merah (red; 650 nm), maka pigmen P650 diubah menjadi
P730. P730 inilah yang menghasilkan sederetan aksi-aksi yang menyebabkan
terjadinya perkecambahan. Sebaliknya jika P730 dikenai sinar infra merah (far-
red; 730 nm), maka pigmen berubah kembali menjadi P650 dan terhambatlah
proses perkecambahan (Elisa, 2011).

Photoperiodisitas

Respon dari biji photoblastic dipengaruhi oleh temperature (Elisa, 2011):

- Pemberian temperature 10-200C : biji berkecambah dalam


gelap
- Pemberian temperature 20-300C : biji menghendaki cahaya
untuk berkecambah
- Pemberian temperature >350C : perkecambahan biji
dihambat dalam gelap atau terang

Yang menyebabkan terjadinya perkecambahan adalah daerah merah pada


spectrum (red; 650 nm), sedangkan sinar infra merah (far red; 730 nm)
menghambat perkecambahan. Efek dari kedua daerah di spectrum ini adalah
mutually antagonistic (sama sekali bertentangan): jika diberikan bergantian,
makaa efek yang terjadi kemudia dipengaruhi oleh spectrum yang terakhir kali
diberikan. Dalam hal ini, biji mempunyai 2 pigmen yang photoreversible (dapat
berada dalam 2 kondisi alternative). P650 : mengabsorbsir di daerah merah, P730
: mengabsorbsir di daerah infra merahJika biji dikenai sinar merah (red; 650 nm),
maka pigmen P650 diubah menjadi P730. P730 inilah yang menghasilkan
sederetan aksi-aksi yang menyebabkan terjadinya perkecambahan. Sebaliknya jika
P730 dikenai sinar infra merah (far-red; 730 nm), maka pigmen berubah kembali
menjadi P650 dan terhambatlah proses perkecambahan. Cathey (1976)
mengemukakan bahwa fitokrom terbagi dalam 2 tipe yaitu fitokrom merah (Pr)

26
dan fitokrom merah panjang (Pfr). Fitokrom dapat berubah dari fitokrom merah
(Pr) ke fitokrom merah panjang (Pfr) atau sebaliknya tergantung dari cahaya yang
diterimanya. Kedua bentuk fitokrom tersebut menyerap energy di daerah cahaya
tampak, yaitu daerah spectrum merah pada 660 nm dan daerah spectrum merah
panjang 730 nm (Salisbury dan Ross, 1991).

Apabila cahaya merah (660 nm) yang diterima oleh tanaman maka fitokrom
merah (Pr) akan berubah menjadi fitokrom merah panjang (Pfr) dan merangsang
pertumbuhan vegetative pada tanaman hari pendek (short day plant), sedangkan
apabila cahaya merah panjang (730 nm) yang diterima oleh tanaman, maka
fitokrom merah panjang (Pfr) akan berubah ke bentuk fitokrom merah (Pr) dan
merangsang perkembangan generative pada tanaman hari pendek (short day
plant), demikian pula bila dalam keadaan periode gelap tertentu maka fitokrom
merah panjang (Pfr) akan berubah menjadi fitokrom merah (Pr) dan merangsang
perkembangan generative seperti terlihat pada gambar dibawah ini :

Kebutuhan akan cahaya untuk perkecambahan dapat diganti oleh temperature


yang diubah-ubah. Kebutuhan akan cahaya untuk pematahan dormansi juga dapat
digantikan oleh zat kimia seperti KNO3, thiourea, dan asam giberelin. Cahaya
juga merangsang pembungaan tumbuhan tertentu. Ada tumbuhan yang dapat
berbunga pada hari pendek (lamanya penyinaran matahari lebih pendek daripada
waktu gelapnya). Ada pula tumbuhan yang berbunga pada hari panjang (lamanya
penyinaran lebih panjang daripada waktu gelapnya). Hal tersebut berhubungan
dengan aktifitas hormone fitokrom dalam tumbuhan. Selain mempengaruhi
pembungaan, fitokrom berpengaruh terhadap etiolasi, pemanjangan batang,
pelebaran daun, dan perkecambahan.

27
2.10. Translokasi Hormon Bunga

Hormon tumbuhan, atau pernah dikenal juga dengan fitohormon, adalah


sekumpulan senyawa organic bukan hara (nutrient), baik yang terbentuk secara
alami maupun dibuat oleh manusia, yang dalam kadar sangat kecil.

Namun demikian, berbeda dari hewa, hormone tumbuhan dapat berdifat endogen,
dihasilkan sendiri oleh individu yang bersangkutan, maupun eksogen, diberikan
dari luar sistem individu. Hormon eksogen dapat jufa merupakan bahan dari
perbedaan ini dipakai pula istilah zat pengetur tumbuh.

Hormon tumbuhan merupakan bagian dari sistem pengaturan perumbuhan dan


perkembangan tumbuhan. Kehadiarannya di dalam sel pada kadar yang sangat
rendah menjadi precursor (pemicu) proses transkripsi RNA. Hormon tumbuhan
sendiri dirangsang pembentukannya melalui sinyal berupa aktivitas senyawa-
senyawa reseptor sebagi tanggapan atas perubahan lingkungan yang terjadi di luar
sel. Kehadiran reseptor akan mendoeong reaksi pemebentukan hormone tertentu.

Apabila konsentrasi suatu hormone di dalam sel telah mencapai tingkatan tertentu
atau mencapai suatu nisbah tertentu dengan hormone lainnya, sejumlah gen yang
semula tidak aktif akan mulai berekspresi. Dari sudut pandang evolusi, hormone
tumbuhan merupakan bagian dair proses adapatasi dan pertahanan diri tumbuh-
tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup jenisnya. Hormon
tumbuhan tidak dihasilkan oleh suatu kelenjar sebagimana pada hewan, melainkan
dibentuk oleh sel-sel yang terletak di titik-titik tertentu pada tumbuhan, terutama
titik tumbuh di bagian pucuk tunas Maupin ujung akar. Selnajutnya, hormone
akan bekerja pada jaringa di sekitarnya atau lebih umum, ditranslokasi ke bagian
tumbuhan yang lain untuk aktif bekerja disana. Pergerakan hormone dapat terjadi
melalui pembuluh tapis, pembuluh kayu, maupun ruang-ruang antar sel.

Dalam menjalankan perannya, hormone dapat berperan secara tunggal maupun


dalam koordinasi dengan kelompok hormone lainnya. Contoh koordinasi antar
hormone ditunjukkan oleh proses perkecambahan. Embrio biji tidak tumbuh
karena salah satunya dihambat oleh produksi ABA dalam jaringan embrio biji.
Pada saat biji berada pada kondisi yang sesuai bagi proses perkecambahan,
giberelin dihasilkan. Apabila nisbah giberelin: ABA tidak mecapai titik tertentu,
perkecambahan gagal. Apabila nisbah ini melebihi nilai tertentu, terjadi
perkecambahan. Apabila nisbah giberelin: ABA masih berada disekitar ambang,
konsentrasi sitokinin menjadi penentu perkecambahan.

Induksi fotoperiodisme sangat penting dalam perbungaan atau lebih tepat disebut
induksi panjang malam kritisnya. Respon tumbuhan terhadap induksi fotoperioda
sangat bervariasi, ada tumbuhan untuk perbungaannya cukup memperoleh induksi

28
dari fotoperioda satu kali saja, tetapi tumbuhan lainnya memerlukan induksi lebih
dari satu kali. Xanthium strumarium untu perbungaannya memerlukan 8 x induksi
fotoperioda yang harus berjalan terus menerus. Apabila tanaman ini sebelumnya
memperoleh induksi lengkap, mendapat ganguan atau terputus induksi
fotoperiodanya, maka tanaman itu tidak akan berbunga. Kekurangan induksi
fotoperioda tidak dapat ditambahkan demikian saja, karena efek fotoperioda yang
telah diterima sebelumnya akan menjadi hilang. Rangsangan yang diterima oleh
satu tumbuhan dapat diteruskan pada tumbuhan lain yang tidak memperoleh
induksi, melalui cara tempelan (grafting) sehingga tumbuhan tersebut dapat
berbunga.

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Fotoperiodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran
atau panjang pendeknya hari yang dapat merangsang pembungaan. Berdasarkan
panjang hari, tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat maca, yaitu :

1. Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran


kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagunug,
kedelai, anggrek, dan bunga matahari.
2. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran
lebih dari 12 jam (14 – 16 jam sehari). Tumbuhan hari oanjang contohnya
kembang sepatu, bit gula, selada dan tambakau.
3. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran
kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
4. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsive terhadap panjang hari
untuk pembungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi,
wortel, dan kapas.

Penelitian sebenarnya telah nmenunjukkan bahwa panjang gelaplah yang


penting, mengganggu waktu gelap dengan adanya cahaya dapat menghalangi
pembungaan pada tumbuhan hari pendek. Fitokrom merupakan reseptor cahaya,
suatu pigmen yang digunakan oleh tumbuhan untuk menyerap atau mendeteksi
cahaya. Tumbuhan menggunakan fitokrom untuk mengatur beberapa aspek
fisiologi, adaptasi terhadap lingkungan seperti fotoperiodisme (pengaturan saat
berbunga pada tumbuhan), perkecambahan, pemanjangan dan pertumbuhan
kecambah (khususnya pada dikotil), morfologi daun,pemanjangan ruas batang,
serta pembuatan (sintesi) klorofil. Secara struktur kimia, bagian sensor fitokrom
adalah suatu kromofol dan kelompok bilin (jadi disebut fitokromobilin), yang
masih sekeluarga dengan klorofil atau hemoglobin (kesemuanya memiliki
kerangka heme).

29
Vernalisasi merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan
sebelum mulai pembungaan. Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan
pengenaan kondisi yang parah, seperti kekeringan atau temperature tinggi (30-35
C). Apabila daun tumbuhan yang memerlukan vernalisasi mendapatkan
perlakuan dingin, sedangkan pucuk batangnya dihangatkan, maka tumbuhan
tidak akan berbunga (tidak terjadi vernalisasi). Zat yang bertanggung jawab
dalam meneruskan rangsangan vernalisai disebut vernalin, yaitu suatu hormone
hipotesi karena sampai saat ini belum pernah diisolasi. Disamping itu vernalisasi
merupakan proses kimia yang tidak biasa, karena terjadi reaksi yang cepat pada
suhu yang dingin.

30
DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro, D., 1992, Pengantar Fisiologi Tumbuhan, Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta.

Elisa, 2011, Dormansi dan Perkecambahan Biji, http://elisa.ugm.ac.id, diakses


pada tanggal 30 November 2011, pukul 20.53 WITA.

Gardner, F.P., R.Brent Pearce., Roger L. Mitchell, 1991, Fisiologi Tanaman


Budidaya, Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta.

Latunra, A. Ilham, 2011, Penuntun Praktikum Fisiologi Tumbuhan, Jurusan


Biologi FMIPA UNHAS, Makassar.

Salisbury, F.B., Cleon W Ross., Fisiologi Tumbuhan Jilid Tiga Perkembangan


Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan, ITB Bandung, Bandung.

31

Anda mungkin juga menyukai