Anda di halaman 1dari 27

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Resistensi Perempuan dalam Film Aladdin versi Live Action
a. Resistensi

Film Aladdin merupakan salah satu film yang diadaptasi dari sebuah

cerita yang berkembang di masyarakat. Muncul banyak dugaan tentang lokasi

tempat dikisahkannnya Aladdin. Mulai dari Tiongkok, Afghanistan, Mesir

hingga Yaman. Film Aladdin sendiri juga tidak dijelaskan lebih mendalam

tentang lokasi dari cerita tersebut. Namun latar serta kostum dari film Aladdin

lebih menunjukkan ornamen khas dari negara-negara di Timur Tengah.

Film Aladdin selain menceritakan tentang seorang laki-laki miskin yang

ingin menjadi bangsawan yang ingin menikahi putri Sultan, juga mengkisahkan

seorang putri Sultan yaitu Jasmine yang melakukan perlawanan dan penolakkan

karena mendapatkan ketidakadilan akibat budaya patriarki di dalam kerajaan.

Perlawanan dan penolakkan merupakan arti dari kata resistensi yang

berasal dari bahasa Inggris resist. Menurut Micheal Hardt (dalam Syamsul,

2017: 1), “Resistensi adalah situasi sosial dimana pihak-pihak yang dirugikan

melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang merugikannya”.

Jadi, resistensi merupakan sebuah perlawanan yang dilakukan oleh

masyarakat yang berada di posisi bawah pada pemimpinya. Resistensi

14
15

bertujuan untuk mendapatkan keinginan ataupun hak yang dimiliki

masyarakat yang berada di posisi bawah. Bentuk resistensi sendiri sangat

dipengaruhi oleh keadaan sosial, akses memperoleh informasi, budaya dan

tingkat pendidikan. Karena, setiap tempat atau wilayah memiliki cara yang

berbeda dalam melakukan perlawanan.

Menurut James C. Scott perlawanan diwujudkan dalam dua bentuk

yaitu, perlawanan terbuka (public transcript) dan perlawanan tertutup (hidden

transcript).

a. Jenis Resistensi

1. Perlawanan Terbuka (public transcript)

Scott menjelaskan terdapat empat karekteristik perlawanan

terbuka tersebut.

Pertama, Perlawanan yang berwujud sesuai sistem yang berlaku,


terorganisir antara satu pihak dengan pihak lain dan saling bekerja
sama. Kedua, terdapat perubahan dalam pergerakan yang dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup banyak orang. Ketiga,
bersifat rasional dengan berfokus pada kepentingan banyak orang.
Empat, bertujuan menghapuskan tindakan dominasi dan
penindasan dari kaum penguasa (Susilowati & Indarti, 2018: 5).
Bentuk perlawanan terbuka juga dapat melalui, komunikasi

ataupun musyawarah antara pihak yang menuntut ketidakadilan dengan

pemimpin. Contoh perlawanan terbuka adalah demo yang dilakukan

masyarakat Hongkong dalam menolak RUU ekstradisi. Unjuk rasa ini

berlangsung hingga lebih dari 3 bulan dengan jumlah massa mencapai


16

puluhan ribu orang dan dilakukan secara terorganisir. Unjuk rasa yang

dilakukan sejak Juni 2019 tersebut akhirnya berhasil.

2. Perlawanan Tertutup (hidden transcript)

Scott menjelaskan terdapat empat ciri perlawanan tertutup,

diantaranya. “Pertama, terjadi secara teratur. Kedua, tidak terorganisir.

Ketiga, bersifat individual (untuk mencari keuntungan dengan berfokus

pada kepentingan individu). Empat, tidak ada dampak perubahan”

(Susilowati & Indarti, 2018: 5).

Contoh kasus perlawanan tertutup, perlawanan yang dilakukan

oleh murid sekolah. Siswa yang tidak menyukai guru, pelajaran ataupun

aturan tersebut sehingga melakukan perlawanan dengan cara

mendengarkan musik, membolos, makan dan lain sebaginya.

b. Resistensi Perempuan

Perempuan hingga saat ini masih berada di bawah stereotip bahwa laki-

laki harus memegang kendali sedangkan perempuan sebagai pelengkap, diajari

untuk melayani, harus tunduk pada perasaan dan harus memiliki sikap lemah

lembut. Hal ini memicu berbagai perlawananan. Bentuk-bentuk resistensi yang

dilakukan perempuan dipengaruhi oleh berbagai hal seperti, pendidikan, budaya,

agama dan sosial masyarakat. Resistensi yang dilakukan perempuan mengarah

pada eksistensi perempuan dalam mempertahankan jati dirinya meski terkekang

berbagai norma. Perempuan yang sadar tentang haknya sebagai manusia, dan
17

melakukan protes karena haknya tidak terpenuhi bisa membuat lawannya, baik

laki-laki ataupun perempuan akan menjadi takut kehilangan otoritasnya karena

protes dari perempuan.

Teori feminisme psikoanalisis milik Karen Horney menjelaskan bahwa,

perlawanan perempuan secara psikoanalisis dibagai dalam tiga bentuk perlawanan

antara lain, pergerakkan mendekati orang lain, melawan orang lain dan menjauhi

orang lain. Namun, karena melakukan bentuk perlawanan tersebut mengakibatkan

perempuan mengalami berbagai macam mekanisme pertahanan diri seperti,

pemindahan, sublimasi, identifikasi, represisi dan proyeksi (Nugroho, 2019: 155).

Meskipun, melakukan perlawanan tetap ada kemungkinan untuk gagal sehingga

menyebabkan perempuan akan mendapatkan perlakukan yang lebih buruk dari

sebelumnya.

c. Film

Film Aladdin pertama kali dingkat menjadi bentuk film animasi pada tahun

1992 oleh Walt Disney Animation Studios. Kemudian, dibuat ulang menggunakan

aksi langsung akting dari manusia atau live action oleh studio yang sama pada

2019 lalu. Perbedaan dari animasi dan live action terletak pada jalan cerita yang

tidak sama persis, penambahan tokoh baru seperti Dalia dan Hakim, pakaian

Jasmine yang lebih tertutup, penambahan musik tema atau soundtrack dan

meminimalisir adegan yang menunjukkan perilaku seksual.


18

Bentuk animasi maupun live action merupakan salah satu bagian dari film.

Film sendiri merupakan “selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat

gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif”’ (Pusat

Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002: 316). Sedangkan berdasarkan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 1992 Bab 1 pasal 1 nomer 1,

film adalah

karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi masa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan
direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil
penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui
proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa
suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan proyeksi
mekanik, elektronik dan lainnya (JDIH BPK, 2020c).
Menurut, Uchjana Onong Effendi media massa yang dimana film termasuk

didalamnya memiliki enam fungsi. Memberikan informasi (to inform), mendidik

(to educate), menghibur (to entertain), mempengaruhi (to influence), membimbing

(to guide), mengkritik (to criticise) (Al-Ma’ruf, 2003: 3).

Film Aladdin termasuk dalam jenis film fiksi atau fiction films. Himawan

Pratista sendiri membagi film dalam 3 jenis (Pratista, 2008: 4), yaitu:

1. Film Dokumenter (Documentary Films)

Film dokumentar berhubungan dengan orang-orang, tokoh,

peristiwa dan lokasi nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu

peristiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sunguh-

sungguh terjadi atau otentik.


19

2. Film Fiksi (Fiction Films)

Film fiksi dapat disebut sebagai sebuah karya sastra yang berisi

imajinasi dan belum tentu fakta. Berdasarkan sisi cerita, film fiksi

sering menggunakan cerita rekaan diluar kejadian nyata serta memiliki

konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Proses

produksinya lebih kompleks dari film lainnya karena menggunakann

banyak kru, teknologi dan pengerjaan yang lama.

3. Film Eksperimental

Film eksperimental tidak memiliki plot tetapi memiliki struktur.

Struktur tersebut dipengaruhi oleh insting subjektif pembuat film.

Seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman-pengalaman batin

mereka. Film eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak

mudah dipahami. Hal ini disebabkan penggunaan simbol-simbol

personal yang diciptakan sendiri.

Film Aladdin juga memiliki genre musikal dan fantasi. Genre sendiri

merupakan tema yang diangkat dalam film, genre dibagi dalam 8 genre atau

tema film (Oktavianus, 2015: 4), yaitu:


20

1. Drama, film drama mengangkat kehidupan sehari-hari sehingga genre

film ini sering membangkitkan emosi, serta konflik yang diangkat

berasal dari lingkungan sekitar.

2. Epik Sejarah, film genre ini sering ditampilkan dengan kolosal serta

tentang periode masa silam atau kerajaan.

3. Horor, genre film ini biasanya memiliki tujuan membangkitkan rasa

takut, kejutan serta perasaan was-was yang membekas. Pada

umumnya, film horor menggunkan karakter antagonis yang bukan

manusia dan berwujud menakutkan.

4. Komedi, genre film ini memeiliki tujuan memancing tawa penontonya.

Pada umumnya, film komedi berisi drama ringan dengan berisikan

aksi, situasi, bahasa maupun karakter.

5. Kriminal dan Gengster, genre film ini berkaitan dengan tindak

kriminal, kekerasan, perkelahian, judi dan lain sebaginya.

6. Musikal, genre ini lebih banyak memunculkan musik, lagu, maupun

tarian.

7. Petualangan, genre film ini menggambarkan tentang petualangan,

ekspedisi ke suatu tempat yang belum pernah didatangi.

8. Fantasi, genre ini merupakan ide dari pihak pembuat film dengan

menambahkan unsur magis, mitos ataupun hal tidak nyata lainnya.

9. Fiksi Ilmiah, suatu bentuk fiksi spekulatif yang membahas tentang

pengaruh sains dan teknologi. Genre ini merupakan perpaduan anatara


21

sains teknologi dan hal fantasi yang yang dibuat oleh penulis dan

sutradara film.

2. Wacana Menurut Sara Mills

Wacana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mencakup tiga hal,

pertama: ucapan, percakapan, dan tutur kata. Kedua, keseluruhan tutur atau

cakap yang merupakan satu kesatuan. Ketiga: satuan bahasa terbesar, terlengkap

dan terealisasi pada bentuk atau karangan utuh seperti novel, buku dan artikel

(Salim & Salim, 2002: 1709).

Micheal Stubs (dalam Eriyanto, 2011: 3) berpendapat bahwa,

Analisis wacana bukan hanya kajian untuk menganalisis teks, tapi juga
untuk menganalisis penggunaan bahasa baik lisan maupun tertulis.
Analisis wacana sendiri menekankan pada kajian penggunaan dalam
konteks sosial, khususnya dalam interaksi dan penutur.
Konteks tersebut merupakan bahasa yang digunakan untuk tujan dan

praktik tertentu, termasuk didalamnya praktik kekuasaan.

Praktik wacana bisa menampilkan efek ideologi, dapat memproduksi dan


mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial,
laki-laki wanita, kelompok mayoritas dan minoritas dengan menampilkan
perbedaan posisi sosial tersebut (Eriyanto, 2011: 7).
Diantara pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam analisis wacana

kritis, terdapat lima unsur utama dalam analisis wacana kritis (Jorgensen &

Phillips J, 2010: 115-120) , yaitu:

1. Sifat struktur dan proses kultural dan sosial merupakan sebagian

lingustik kewacanaan.

2. Wacana tersusun dan bersifat konstutif.

3. Teks dianlasis secara empiris dalam konteks sosialnya


22

4. Tujuan analisis wacana adalah memberi kontribusi pada perubahan

sosial

5. Pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok sosial

yang tertindas.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, analisis wacana

kritis merupakan kajian yang menganalis pengunaan bahasa yang digunakan

dalam keseharian baik lisan maupun tulisan. Analisis wacana juga berisi, ide

dan konsep.

Sara Mills merupakan salah satu tokoh yang memiliki pendapat tentang

analisis wacana kritis. “Sara Mills lebih menitik beratkan teorinya mengenai

feminisme, bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam novel,

gambar, foto ataupun berita” (Eriyanto, 2011: 1999).

Mills juga melihat bagaimana posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi

ini akan melihat aktor yang berada di posisi subjek penceritaan dan posisi objek

penceritaaan sehingga akan menentukan akan mempengaruhi bagaimana

struktur teks dan bagaimana makna diperlukan dalam teks secara keseluruhan.

Selain itu, Sara Mills juga memberikan perhatian pada posisi penempatan

penulis dan pembaca. Sehingga pembaca bisa mengidentifikasi dirinya dalam

teks (Darma, 2009: 86). Seperti analisis wacana lainnya, Sara Mills

menempatkan representasi sebagai bagaian terpenting dalam analisisnya.

Bagaimana suatu pihak, kelompok, ataupun gagasan tersebut disampaikan


23

dalam teks sehingga bisa mempengaruhi pembaca. Melalui prespektif ini, Sara

Mills menunjukkan pada khalayak bagiamana wanita ditampilkan dalam media

massa.

Tabel 1
Analisis Wacana Sara Mills
TINGKAT YANG INGIN DILIHAT

Bagaimana peristiwa dilihat dan dari kacamata


siapa peristiwa itu dilihat. Posisi ini melihat aktor
yang berada di posisi penceritaan (subjek) dan
Posisi Subjek aktor yang berada di posisi sebagai oarang yang
-Objek diceritakan (objek). Posisi juga melihat
kesempatam yang dimiliki masing-masing aktor
dalam menyampaikan keadaan maupun ide dari
setiap aktor.
Penulis berusaha menampilkan pembaca dalam
teks. Pembaca akan mengidentifikasi dirinya
Posisi Penulis-
pada pihak-pihak tertentuBagaimana pembaca
Pembaca
memposisikan dirinya dalam teks yang
ditampilkan.
Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana, 2001. Halaman 211.

a. Posisi Subjek-Objek
24

Sara Mills menempatkan satu pihak, kelompok, orang, gagasan,

atau peristiwa yang ditampilkan dengan cara tertentu dalam berita,

foto maupun film yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima

oleh khalayak. Posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur

teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk

mendefinisikan realitas sehingga akan menampilkan peristiwa atau

kelompok lain kedalam bentuk struktur wacana tertentu yang akan

hadir kepada khalayak (Eriyanto, 2011: 200-201) .

b. Posisi Penulis-Pembaca

Sara Mills berpendapat teks merupakan hasil negoisasi antara

penulis dan pembaca, sehingga penempatan posisi pembaca sangat

penting untuk menganalisis teks. Posisi pembaca pada kajian ini

ditempatkan dalam posisi penting, karena teks teks secara langsung

maupun tidak langsung ditujukan untuk berkomunikasi dengan

khalayak (Eriyanto, 2011: 203-204).

Penelitian ini menggunakan analisis wacana Sara Mills. Analisis ini bisa

lebih memperlihatkan bagaimana perempuan dipinggirkan derajatnya dalam

sebuah teks ataupun media lain seperti film. Serta bagaimana bentuk dan pola

yang menunjukan perlawanana ataupun merendahkan perempuan.

Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk mengenai perempuan dalam film


25

bisa dianalisis dengan mendalam menggunakan wacana milik Sara Mills,

karena Mills lebih menitik beratkan wacananya dalam prespektif feminis.

3. Ketimpangan Gender dalam Budaya Patriarki


Film Aladdin selain mengangkat tentang perjuangan Aladdin menjadi

seorang bangasawan, film ini juga mengangkat perbedaan pandangan, aturan serta

sikap yang diterima laki-laki dan perempuan. Adanya perbedaan pandangan, sikap

serta aturan tersebut merupakan pengertian dari gender. Monsour Fakih,

mengartikan gender sebagai,

pandangan tentang sifat, fungsi, peran dan tanggung jawab yang


melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial dan kultural (kebiasaan yang tumbuh dan disepakati dalam
masyarakat). Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lembut, cantik,
emosional atau keibuan sementara laki-laki dianggap, kuat, jantan,
perkasa (Fakih, 2013: 8).
Masyarakat sendiri masih sering mengartikan gender sama dengan sex

atau jenis kelamin. Sex atau dalam bahasa indonesia memiliki padanan kata seks,

pengertiannya ialah jenis kelamin yang merupakan pensifatan atau pembagian dua

jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis

kelamin tertentu. Seperti laki-laki memiliki jakun dan penis serta perempuan

memiliki vagina dan payudara. Bagian-bagian tersebut secara biologis melekat

pada manusia jenis laki-laki dan perempuan selamanya (Fakih, 2013: 8).

Jadi, gender merupakan perbedaan sifat dan peran yang melekat pada laki-laki

serta perempuan, yang dibentuk melalui proses sosial dan kultural. Selain itu,

adanya perbedaan gender juga dibentuk oleh aturan baik peraturan dari
26

pemerintahan, masyarat, dan agama. Sehingga, gender dianggap sebagai hal yang

mutlak dan tidak bisa diubah.

Ada dua teori yang menyinggung mengenai peran laki-laki dan perempuan

dan keduanya berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature yang

mengungkapkan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan

disebabkan perbedaan biologis. Teori ini mengandaikan bahwa peran laki-laki dan

perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Sedangkan, teori

nuture, yang mengibaratkan bahwa perempuan bukan merupakan konsekuensi dari

perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia,

yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang

melingkupinya (Hiplunudin, 2017: 23).

Adanya pandangan tentang perbedaan gender, tidak selalu menimbulkan

masalah asalkan tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi

persoalan ketidakadilan gender telah menyebakan baik laki-laki maupun

perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut. Laki-laki dan perempuan yang

mengalami ketidakadilan akibat jenis kelamin, berarti sudah menjadi korban dari

ketidakadilan gender.

Ketidakadilan gender terjadi jika orang bertindak tidak adil karena

prasangkan buruk dalam hal ini terhadap perempuan dan berakibat perempuan

menjadi korban. Dominasi patriarki yang tidak seimbang cenderung menimbulkan

ketidakadilan gender, yang bermuara pada kasus kekerasan gender (You et al.,

2019: 67).
27

Adanya sistem patriarki dalam sebuah hubungan akan menyebabkan

perempuan berada di posisi yang tertindas. Menurut Habiba (dalam You et al.,

2019: 67), bahwa “patriarki adalah kekuasaan dan kontrol yang kompleks dalam

masyarakat yang didominasi oleh laki-laki”. Sistem patriarki sendiri bisa terjadi di

lingkungan keluarga, kerja maupun sosial masyarakat. Patriarki juga

mengakibatkan perempuan mengalami kekerasan fisik, verbal, ekonomi,

intimidasi hingga pelecehan. Jadi, patriarki adalah sebuah sitem yang membuat

laki-laki mengontrol serta mendominasi perempuan dalam sebuah hubungan

keluarga, masyarakat, kerja dan lainnya.

a. Ketimpangan Gender di Indoneisa

Gender sangat dipengaruhi oleh budaya setempat, seperti halnya di

Indonesia. Sementara itu, gender di Indonesia masih dipengaruhi oleh

budaya patriarki.

Beberapa daerah di Indonesia, masih menganggap pekerjaan rumah


tangga merupakan kodrat yang harus dijalankan oleh perempuan.
Merawat anak, mengurusi anak, mengurusi suami, memasak dan
berbelanja adalah kewajiban perempuan. Pandangan ini sejak dulu
dianggap sesuatu yang sudah semestinya atau given (Omara, 2004:
151).
Hal inilah yang membuat partisipasi perempuan dalam ranah

pendidikan, politik dan ekonomi masih berada jauh di bawah posisi laki-

laki. Apabila melihat sejarahnya, partisipasi perempuan di publik sangat

rendah, karena perempuan yang hanya mengurus ranah domestik.


28

Sejumlah daerah di Indonesia hingga saat ini masih menerapkan

budaya patriarki yang sangat kental, seperti contoh di Suku Dani, Papua.

Peran publik laki-laki Suku Dani, menangani acara adat dan perang

sedangkan peran domestik seperti mengurus rumah tangga, kebun, ternak

dan mengasuh anak diserahkan pada perempuan. Pembagian peran ini

berbasis adat, membentuk struktur sosial fungsional dan melindungi

perempuan. Namun, kini perang tidak terjadi, adat memudar, dan laki-laki

tidak berperan sebagai pencari nafkah. Dominasi patriarki kian menindas,

menimbulkan ketidakadilan gender, dan bermuara pada kekerasan pada

perempuan dan menjadi hal lumrah di banyak keluarga Hubula Suku Dani

(You et al., 2019: 65).

Indonesia sendiri sudah memiliki undang-undang yang berkaitan

tentang hak dan kewajiban perempuan. Pada ranah domestik sendiri

perempuan memiliki hak individu sejak masih berada di usia anak-anak

yang telah diatur dalam perundang-undangan yaitu pada undang-undang

nomer 35 tahun 2014.

Anak mempunyai hak untuk bermain, berpartisipasi, berhubungan


dengan orang tua, bebas melakukan kegiatan agamanya, bebas
berkumpul berserikat, hidup dengan orang tua, kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang. Anak layak untuk mendapatkan nama,
identitas, kewarganegaraan, pendidikan, informasi, standar
kesehatan paling tinggi dan standar hidup layak (JDIH BPK, 2020a).
Berdasarkan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 Bab III pasal 49

nomor 1 menyatakan bahwa “wanita berhak untuk memilih, dipilih

diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan


29

dan peraturan perundangan” (JDIH BPK, 2020b). Hal tersebut

menunjukkan bahwa hukum Indonesia melindungi dan menghargai hak

perempuan. Namun, peraturan tersebut belum terlaksana dengan baik serta

belum ada hukuman yang dapat membuat jera pelaku yang mengambil

hak-hak perempuan. Sehingga, ketidakadilan yang diterima perempuan

masiah sering terjadi.

b. Ketimpangan Gender di Timur Tengah

Kawasan Timur tengah yang juga menjadi lokasi cerita film Aladdin,

memandang laki-laki menjadi pusat sementar perempuan berada jauh

terbelakang. Partisipasi perempuan Timur Tengah dalam bidang industri,

pendidikan, hingga politik masih menempati posisi terendah berdasarkan

beberapa survei.

Budaya dan agama di negara-negara Timur Tengah berperan penting

dalam terjadinya kesetaraan gender, yang mana di kawasan tersebut masih

menganggap laki-laki menjadi sentral kehidupan dan perempuan selalu

menjadi yang terbelakang. Hal ini menunjukkan tidak adanya kesetaraan

antara laki-laki dan perempuan.

Menurut Jayachandra, ada dua faktor yang menyebabkan

ketidaksetaraan gender di kawasan Timur Tengah. Pertama, keadaan

ekonomi yang masih didominasi oleh sektor-sektor yang berbasis kekuatan

fisik yaitu pertambangan, manufaktur dan perkebunan. Kedua, faktor

kebudayaan, nilai-nilai patrilokalitas dalam pernikahan serta pandangan


30

bahwa anak laki-laki lebih bisa diandalkan dalam menjamin kehidupan

keluarga dibanding anak perempuan yang kelak akan ikut keluarga

suaminya (Jamilah, 2017: 161).

Berdasarkan beberapa survei, negara-negara di kawasan Timur

Tengah masih menempati posisi terendah dalam hal kesetaraan gender.

Partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan

masih sangat terbatas. Tetapi seiring kesadaran perempuan akan kesetaraan

gender, mereka mulai memperjuangkan hak-hak yang seharusnya mereka

dapatkan baik dalam hal pendidikan maupun pekerjaan. Sehingga

partisipasi perempuan dalam kedua bidang tersebut mengalami

peningkatan. Saat ini perempuan bisa menempuh pendidikan hingga

perguruan tinggi dan berpartisipasi dalam berbagai macam pekerajaan,

baik swasta maupun negeri (Hagk & Kholilah, 2018: 395).

c. Gender Dalam Perspektif Islam

Sebelum masuknya Islam, perempuan dianggap barang yang dimiliki

oleh ayahnya dan akan berpindah pada suaminya setelah menikah.

Akibatnya, banyak terjadi kekerasan, perdagangan hingga pembunuhan

pada perempuan.

Hingga pada masa Rasulullah, prinsip persamaan derajat antara lelaki

dan perempuan pun sudah ditanamkan, bahwa dalam hal ketaatan kepada

Allah SWT, tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan


31

mulai dipandang sebagai individu yang memiliki hak dan kewajiban yang

setara dengan laki-laki. Namun, berdasarkan Al-Qur’an dan hadist ada juga

batasan-batasan yang dimiliki perempuan.

Salah satu hal yang dibatasi adalah berpergian seorang diri. Pandangan

ulama terkait riwayat Al- Qur’an maupun hadist tentang larangan bagi

perempuan keluar tanpa mahram terbagi dalam tiga tipologi pandangan.

Pertama, membolehkan dan baik buruknya ditanggung perempuan itu

sendiri. Kedua, membolehkan dengan sejumlah catatan dan kehati-hatian.

Ketiga, melarang dengan alasan dalil tersebut serta kekhawatiran akan

bahaya dan timbulnya fitnah (Muhibuddin, 2018: 131). Meskipun banyak

ulama yang tidak terlalu mempermasalahkan perempuan yang keluar

rumah tanpa mahram, ada juga ulama yang melarang keras perempuan

keluar tanpa mahram.

Kemudian, adanya pernikahan tanpa diketahui oleh mempelai

perempuan, hal ini dinamakan hak ijbar. Sementara itu, “hak ijbar ialah

hak seorang wali untuk dapat menikahkan perempuan yang berada di

bawah perwaliannya tanpa persetujuan dari bersangkutan atas dasar

tanggung jawab” (Haq, 2015: 199).

Pemikiran dari Imam Mazhab, yaitu Imam Maliki, Imam Hambali

dan Imam Syafi’i berdendapat hak ijbar merupakan hak dari wali dan boleh

dilakukan dengan berbagai syarat dan ketuntuan bahkan meskipun tidak

ada persetujuan dari mempelai perempuan. Imam Hanafi berpendapat


32

berebeda dengan tiga Imam Mazhad lainnya, pernikahan haruslah disertai

persetujuan dari kedua belah pihak yaitu mempelai dan wali (Izzati, 2011:

243-253).

Perempuan pada masa Rasulullah tidak memiliki akses yang sepandan

dengan laki-laki terhadap pendidikan. Meskipun, terdapat riwayat yang

menyatakan tentang kewajiban mencari ilmu bagi perempuan dan laki-laki.

Keterlibatkan perempuan dalam bidang penafsiran Alqur’an dan

penetapan hukum Islam (fiqh), serta dominasi daripada sahabat laki-laki di

bidang penafsiran ayat-ayat Alqur’an dan penetapan hukum Islam. Tidak

jarang dalam kitab tersebut memuat suatu pendapat, fikiran atau wacana

yang melihat perbedaan kelamin sebagai cara pandang terhadap ayat-ayat

Alqur’an yang berakibat terjadinya diskriminasi gender dalam berbagai

literatur tafsir yang ada (Adinugraha et al., 2018: 50-51).

Sementara itu, terdapat ayat dalam Al Qur’an yang hingga kini masih

menjadi polekmik dalam kepemimpinan perempuan yaitu ayat 34 dalam

surat An-Nisa, yang berisi tentang kepemimpinan laki-laki terhadap

perempuan.

‫َا‬‫ِّم‬ ‫ء ب‬ ِّٓ ‫َى ٱلن‬


‫ِّسَا‬ ‫َ عَل‬ ‫مون‬َُّٰ
‫َو‬ ‫ُ ق‬ ‫َال‬ ‫ٱلرِّج‬
ٓ
‫َا‬‫ِّم‬‫َب‬‫ض و‬ ٍْ‫بع‬ ‫َى‬
َ َّٰ ‫ْ عَل‬ ‫َه‬
‫ُم‬ ‫ْض‬
‫بع‬ َ ُ‫َ ٱَّلل‬‫َضل‬ ‫ف‬
ُ
‫َّٰت‬
َ‫ِّح‬‫َٱلصَّٰل‬‫ْ ف‬ ِّۚ
‫م‬ ‫َّٰل‬
‫ِّه‬َ
‫مو‬ َْ
‫ْ أ‬‫۟ مِّن‬ ‫ُوا‬ ‫َق‬‫َنف‬ ‫أ‬
ۚ َ‫ِّظ‬
ُ‫ٱَّلل‬ ‫َا حَف‬ ‫ْبِّ ب‬
‫ِّم‬ ‫ْغ‬
‫َي‬ ‫ٌ ل‬
‫ِّل‬ ‫َّٰت‬
َ‫ِّظ‬َ‫ٌ ح‬
‫َّٰف‬ ‫َّٰت‬
َ‫ِّت‬‫َّٰن‬
َ
‫ق‬
33

ُ‫ِّظُو‬
‫هن‬ ‫َع‬‫ُن ف‬ ‫َه‬ ُ َ
‫نشُوز‬ ‫ُون‬ ‫تخَاف‬
َ ‫ِّى‬ َّٰ َ
‫ٱلت‬ ‫و‬
‫ُن‬
ۖ ُِّ‫َٱضْر‬
‫بوه‬ ‫َاجِّع‬
‫ِّ و‬ ‫َض‬ ْ ‫ِّى‬
‫ٱلم‬ ‫هن ف‬ُ‫ُو‬‫ُر‬‫ْج‬‫َٱه‬ ‫و‬
‫ْه‬
‫ِّن‬ ََ‫۟ ع‬
‫لي‬ ‫ُوا‬ ‫ْغ‬
‫تب‬َ ‫َََل‬
‫ْ ف‬ ‫ُم‬
‫َك‬ ‫َطَع‬
‫ْن‬ ‫ْ أ‬ ‫إن‬َِّ‫ف‬
‫َبِّير‬
‫اا‬ ‫ًّا ك‬
‫ِّي‬‫َ عَل‬‫َان‬
‫ِّن ٱَّللَ ك‬
‫يَل إ‬ۗ‫سَبِّ ا‬
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas

sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang

saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya

tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita

yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan

pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka.

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari

jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha

Besar.”

Kepemimpinan dalam surat An-Nisa ayat 34 tersebut ialah

kepemimpinan laki-laki (suami) terhadap seluruh keluarganya dalam

bidang kehidupan rumah tangganya. Kepemimpinan ini pun tidak

mencabut hak-hak isteri dalam berbagai segi termasuk dalam hal

kepemilikan harta pribadi dan hak pengelolannya walaupun tanpa

persetujuan suami (Shihab, 1996: 234).


34

Ditemukan pula dalil yang dapat mendasari keikutsertaan perempuan

dalam kepemimpinan. Salah satu ayat tersebut ialah surat At-Taubah ayat

71:

ُٓ
‫ء‬ ‫َا‬ ‫لي‬ ‫َو‬
ِّْ ‫ْ أ‬ ‫ُه‬
‫ُم‬ ‫ْض‬‫بع‬َ ُ ‫َّٰت‬
َ
‫ِّن‬ ‫ْم‬
‫ُؤ‬ ْ َ
‫ٱلم‬ ‫َ و‬ ‫ُون‬‫ْمِّن‬
‫ُؤ‬ ْ َ
‫ٱلم‬ ‫و‬
ِّ‫َ عَن‬ ‫ْن‬ َْ
‫هو‬ ‫ين‬ََ
‫ُوفِّ و‬ ‫ْر‬‫َع‬ ْ ‫َ ب‬
‫ِّٱلم‬ ‫ُون‬ ‫مر‬ُْ
‫يأ‬َ ‫ض‬ ٍْ
ۚ ‫بع‬َ
َ‫تو‬
‫ن‬ ُْ
‫يؤ‬ ‫َ و‬
َُ ‫َّٰة‬
‫لو‬ َ‫َ ٱلص‬ ‫ُون‬‫ِّيم‬
‫يق‬ ‫َرِّ و‬
َُ ‫ُنك‬ ْ
‫ٱلم‬
َ‫ِّك‬
‫لئ‬ ٓ
َّٰ
َ۟ ‫ُو‬‫ُ أ‬ ۚ
‫ه‬ َ ُ‫َس‬
ٓ‫ول‬
‫ۥ‬ ‫َر‬ ‫َ ٱَّللَ و‬‫ُون‬‫ِّيع‬
‫يط‬ ‫َ و‬
َُ ‫َو‬
‫َّٰة‬ ‫ٱلزك‬
ٌ ‫ٌ حَك‬
‫ِّيم‬ ‫َزِّيز‬ ‫ِّن ٱَّللَ ع‬ ۗ ُ
‫ٱَّللُ إ‬ ‫ُم‬‫ُه‬‫َم‬ ‫َر‬
‫ْح‬ ‫سَي‬
Artinya: “Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian

mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang

makruf, mencegah yang mungkar, mereka taat kepada Allah dan Rasul-

Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah, sesungguhnya Allah Mahaperkasa

lagi Mahanijaksana.”

Menurut Quraisy Shihab, pengertian kata auliya di sini, mencakup kerja

sama, bantuan, dan penguasaan, sedangkan pengertian menyuruh yang

makruf mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan,

termasuk memberi nasihat atau kritik kepada penguasa. Dengan demikian,

setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti

perkembangan masyarakatnya agar masing-masing mampu melihat dan

memberi saran atau nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan

politik (Shihab, 2011: 381-382).


35

Ada juga ulama yang melarang kepemimpinan perempuan atas dasar

hadist, “Tidak akan berjaya satu kaum yang menyerahkan urusan mereka

kepada perempuan” (HR. Ahmad, Bukhari, an-Nasa’I dan At-Tirmidzi

melalui Abu Bakrah). Asbabul wurud, dari hadist tersebut ialah

pengangkatan putri penguasa tertinggi Persia sebagai pewaris kekuasaan

ayahnya yang mangkat. Hal ini tidak selaras dengan surat An-Naml ayat

44 yang menceritakan Ratu Saba’, sebagai pemimpin Yaman yang

bijaksana. Menjadikan perempuan sebagai pemimpin hingga kini masih

menuai perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ulama masa lalu tidak

membenarkan perempuan menjadi kepala negara, hal ini disebabkan oleh

kondisi masa itu. Antara lain kondisi perempuan yang belum siap

menerima jabatan. Perubahana fatwa dan pandangan, terjadi akibat

perubahan kondisi dan situasi. Sehingga, saat ini tidak relevan lagi

melarang perempuan dalam politik praktis maupun berada di kursi

kepemimpinan (Shihab, 2011: 383-385).

Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa kedudukan perempuan pasca

Nabi semakin jauh dari kondisi ideal. Sepeninggal Nabi, perempuan

mukmin kembali mengalami mengalami pembatasan dari ruang publik.

Hal itu mengindikasikan bahwa umat Islam pasca Nabi kembali

membentuk sistem patriarki.

4. Interpretasi Simbolik
36

Interpretasi merupakan pemberian ataupun penilaian pesan atau pendapat

terhadap suatu objek atau dikenal dengan tafsir (Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, 2019). Penafsiran (interpretasi) merupakan merupakan inti dari

persepsi.

Tahap persepsi yang paling penting adalah informasi yang diperoleh dari

indra manusia. Pengetahuan yang kita peroleh melalui persepsi bukan pengetahuan

mengenai objek yang sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana

tampaknya objek tersebut. Persepsi meliputi penginderaan (sensasai) melalui atat-

alat indra kita, atensi dan interpretasi (Mulyana, 2016: 180-181). Persepsi sendiri

menurut Brian Fellows (dalam Mulyana, 2016: 180) sebagai “proses yang

memungkinkan suatu organisme dalam menerima dan menganalisis informasi”.

Jadi, presepsi merupakan kemampuan setiap orang dalam menilai suatu simbol.

Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda. “Lambang

digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya, berdasarkan kesepakatan

sekelompok orang. Lambang meliputi pesan verbal, perilaku non-verbal dan objek

yang maknanya sudah disepakati” (Mulyana, 2016: 92). Setiap, orang memiliki

penafsiran yang berbeda terhadap lambang, sehingga makna tersebuut merupakan

hasil dari pemikiran setiap individu.

Jadi, interpretasi simbolik merupakan penafsiran yang diterima individu

berdasarkan verbal (ucapan) maupun non verbal (perilaku), setiap individu memiliki

penafsiran yang berbada karena faktor pengalaman, perilaku, sosial dan budaya.
37

B. Kajian Pustaka

1. Skripsi oleh Niken Prahastiwi dengan judul “Wacana Perlawanan

Perempuan Pada Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak”

Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2019.

Penelitian yang dilakukan oleh Niken Prahastiwi, penelitian tersebut

membahas mengenai perlawanan perempuan dengan menggunakan analisis

wacana Sara Mills pada sebuah film Marlina Si Pembunuh dalam Empat

Babak. Persamaan penelitian di atas dengan penelitian ini yaitu membahas

tentang analisis wacana terhadap sebuah film dengan menggunakan metode

penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisis wacana Sara

Mills serta pada penelitian ini membahas mengenai perlawanan perempuan

tehadap patriarki. Sedangkan perbedaanya yaitu terletak pada objek

penelitian terdahulu mengangkat film Marlina Si Pembunuh dalam Empat

Babak sebagai objek penelitiannya, sementara peneliti ini berfokus pada

film live action Aladdin sebagai objek penelitian.

2. Skripsi oleh Anita Kusnul Khotimah dengan judul “Perlawanan Kaum

Perempuan Terhadap Patriarki dalam Film (Analisis Wacana

Perlawanan Kaum Perempuan Terhadap Patriarki Dalam Film

Perempuan Berakalung Sorban)”. Fakultas Imu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010.

Penelitian yang dilakukan oleh Anita Kusnul Khotimah, penelitian

tersebut membahas mengenai perlawanan perempuan terhadpa patriarki


38

dengan menggunakan analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk pada sebuah

film Perempuan Berkalung Sorban. Persamaan penelitian ini ialah

menggunakan deskriptif kualitataif untuk menguraikan wacana perlawanan

perempuan. Perbedaan penelitian ini terletak pada teori analisis wacananya,

penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk untuk

menguraikan wacana perlawanan perempuan, sedengkan peneliti

menggunakan analisis wacana kritis Sara Mills untuk menguraikan wacana

perlawanan perempuan. Serta objek penelitian terdahulu menggunakan film

Perempuan Berkalung Sorban, sedangkan objek penelitian ini

menggunakan film Aladdin versi live action.

3. Jurnal oleh Naurissa Biasini dengan judul “Pergeseran Representasi

Feminitas Dalam Film Animasi Disney Princess” Jurnal Widyakala

Volume 5 Nomer 2, Universitas Pembangunan Jaya Tanggerang, 2018.

Penelitian yang dilakukan oleh Naurissa Biasini, membahas

mengenai representasi feminitas yang terdapat dalam fim kartun disney

khususnya tokoh putri disney. Penenlitian ini membahas bagaimana

perusahaan produksi Walt Disney Pictures tersebut menggambarkan tokoh

utama yang merupakan perempuan. Persamaan penelitian ini

menggunakan deskriptif kualitataf serta analisis wacana model Sara Mills

untuk menguraikan pergeseran tentang tokoh perempuan pada film kartun

putri disney. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada objek


39

penelitian. Penelitian milik Naurissa Biasani membahas semua tokoh

kartun putri disney mulai dari Snow White, Cinderella, Arora, Ariel, Belle,

Jasmine, Pocahontas, Mulan, Tiana, Rapunzel dan Merida. Sedengkan

penelitian ini membahas mengenai perlawanana yang dilakukan Jasmine

dalam film Aladdin versi live action.

4. Jurnal oleh Kamila Adnani, Wening Udasmoro dan Ratna Noviana,

“Resistensi Perempuan Terhadap Tradisi-Tradisi Di Pesantren

Analisis Wacana Kritis Terhadap Novel Perempuan Berkalung

Sorban” Jurnal Kawistara, Volume 7 Nomer 2, 2017.

Jurnal ini membahas mengenai perlawanan perempuan yang

digambarkan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya

Habiburrahman El Shirazi. Persamaan penelitian ini ialah menggunakan

deskriptif kualitataif untuk menguraikan wacana perlawanan perempuan.

Perbedaan penelitian ini terletak pada teori analisis wacananya, penelitian

ini menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough untuk

menguraikan wacana perlawanan perempuan, sedengkan peneliti

menggunakan analisis wacana kritis Sara Mills untuk menguraikan wacana

perlawanan perempuan. Serta objek penelitian terdahulu menggunakan

novel Perempuan Berkalung Sorban, sedangkan objek penelitian ini

menggunakan film Aladdin versi live action.

C. Kerangka Berpikir
40

Input Proses Output

Film Analisis Bentuk Wacana


Aladdin Wacana Resistensi Perempuan
Live Sara Mills dalam Film Aladdin
Action versi Live Action.
2019

1. Posisi Subjek dan


Objek
Gambar 1
2. Posisi Penulis dan
Skema Kerangka Berpikir
pembaca
Melalui kerangka berpikir di atas, peneliti akan memperoleh data mengenai

resistensi perempuan pada film Aladdin versi live action. Input dalam penelitian ini

adalah film Aladdin versi live action yang tayang pada 2019. Sedangkan prosesnya

adalah analisis wacana kritis model Sara Mills yang dalam analisis ini akan

menganalisis posisi objek, serta bagaimana posisi pembaca atau penonton. Dari input

tersebut akan menghasilkan output, yaitu analisis wacana resistensi perempuan dalam

film live action Aladdin.

Anda mungkin juga menyukai