Anda di halaman 1dari 45

HUBUNGAN EFIKASI DIRI DA N DUKUNGAN KELUARGA PADA

PENDERITA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH PRINGSEWU TAHUN 2020.

Disusun Oleh

SILVIA FITRI

142012017038

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATANFAKULTAS


KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU (UMPRI)

LAMPUNG

2020
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal Skripsi

Telah diperiksa dan disetujui untuk uji proposal Tim penguji proposal

Judul Proposal : Hubungan Efikasi Diri Dan Dukungan Keluarga Pada


Penderita Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Umum
Daerah Pringsewu Tahun 2020.

Nama Mahasiswa : Silvia Fitri


NIM : 142012017038

MENYETUJUI

Pembimbing I

Ns. Apri Budianto, M.Kep


NBM : 1017460

PERSEMBAHAN
Karya tulis ini penulis persembahkan kepada :
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu menyayangi, membimbing, dan
mendoakan untuk keberhasilan dalam studi anaknya.
2. Adik serta keluarga penulis yang selalu menanti dan siap
menerima keberhasilan studiku.
3. Ns. Apri Budianto, M.Kep yang tanpa lelah memberikan motivasi dan
masukanya, yang telah ikhlas memberikan ilmunya sehingga mini
proposal ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Seluruh dosen, staf dan karyawan serta pihak-pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan skripsi.
5. Sahabat-sahabat penulis Diska Ayomi, Nurwulandari, Nurbaiti, Yosi
Ermasari, mba eoni wiwit yang selalu memberikan dukungan dan
membantu dalam penyusunan proposal.
6. Rekan-rekan seperjuangan prodi S1 Ilmu Keperawatan Reguler angkatan
tahun 2017 Universitas Muhammadiyah Pringsewu semoga kita selalu
diberikan kesuksesan dan menjadi perawat professional.
7. Almamater tercinta Universitas Muhammadiyah Pringsewu yang penulis
sayangi.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan karunia-Nya,
sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan judul: “Hubungan
efikasi diri dan dukungan keluarga pada penderita Diabetes Mellitus di Rumah Sakit
Umum Daerah Pringsewu Tahun 2020”.

. Dalam penulisan proposal penelitian ini, peneliti mengucapkan banyak terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Drs. H. Wanawir Am, M.m, M.Pd, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah


Pringsewu Lampung.
2. Elmi Nuryanti, M.Epid, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Muhammadiyah
Pringsewu Lampung.
3. Ns. Desi Ari Madi Yati, M.Kep, SP. Kep.Mat, selaku Ketua Program Studi S1
Ilmu Keperawatan.
4. Ns. Apri Budianto, M.Kep selaku Pembimbing I dalam pembuatan mini
proposal.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Kesehatan yang telah
memberikan ilmu selama kuliah di Fakultas Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Pringsewu.
6. Kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan baik doa, semangat
serta dukungan materi, sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian.
7. Teman-teman seperjuangan Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung
Program Studi SI Ilmu Keperawatan yang senantiasa memberikan semangat
dan masukan dalam proposal penelitian.
8. Almamater Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
Lampung yang sangat dicintai.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya waktu, penyakit yang diderita oleh
masyarakat terus berkembang dari penyakit infeksi dan kekurangan gizi ke
arah penyakit yang berhubungan dengan kondisi kesehatan saat tubuh
penderitanya mengalami penurunan fungsi jaringan dan organ yang salah
satunya adalah Diabetes Mellitus(DM) ( (Suryono, 2011 ).Penyakit diabetes
mellitus atau sering disebut sebagai penyakit kencing manis maupun penyakit
gula merupakan penyakit yang disebabkan oleh kelainan yaang berhubungan
dengan hormon insulin ( Helmawati, 2014). Penyakit Diabetes Mellitus
merupakan ancaman serius bagi pembangunan kesehatan dan pertumbuhan
ekonomi nasional, karena itu pengendaliannya perlu dilakukan dengan
sungguh-sungguh, secara komprehensif dan terintegrasi dengan memberikan
perhatian melalui pengendalian penyakit tidak menular yaitu healthy dietand
healthy activity yang dimulai sejak janin sampai dewasa tua (Aditama, 2012).

Komplikasi DM jangka panjang misalnya, penyakit kardiovaskuler, kegagalan


kronis ginjal, kegagalan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta
kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan
resiko amputasi yang akan terjadi apabila kontrol gula darah yang buruk
(Hasdianah, 2012). Ancaman komplikasi DM terus membayangi kehidupan
masyarakat, sekitar 12-20% penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit
ini dan setiap 10 detik orang di dunia meninggal akibat komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit tersebut (Kurniadi dan Nurrahmi, 2015). Penderita
DM yang mengalami perubahan kurang baik pada tubuhnya, mereka
cenderung memiliki konsep diri yang negatif. Biasanya seseorang dengan
yang memiliki citra tubuh yang negatif kepercayaan dirinya (efikasi diri )
akan menurun oleh karena itu perlu adanya dukungan keluarga agar
terciptanya efikasi diri.

Efikasi diri (Self efficacy) merupakan keyakinan seseorang dalam


kemampuan individu untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap fungsi
orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan, efikasi diri dapat terbentuk
dan berkembang melalui empat proses yaitu kognitif, motivasional, afektif,
dan seleksi. (Bandura dalam Jess Feist & Feist, 2010) .Keyakinan diri atau
Efikasi diri menjadi penting untuk mengendalikan dan mengelola penyakit
diabetes mellitus (Yaqin, Niken, & Dharmana, 2017).
Efikasi diri sebagai keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur
dan melakukan tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil
sesuai yang diharapkan. Efikasi diri membantu seseorang dalam menentukan
pilihan, usaha untuk maju, serta kegigihan dan ketekunan dalam
mempertahankan tugas-tugas yang mencakup kehidupan mereka. Efikasi diri
dapat mempengaruhi dan memberikan dampak bagaimana seseorang berpikir,
merasa, memotivasi diri sendiri dan bertindak. (Kusuma and Hidayati 2013).
Sumber dari efikasi diri adalah pengalaman menguasai sesuatu, persuasi
sosial, serta kondisi fisik dan emosional seseorang (Feist, Feist & Roberts
2017). Seseorang dengan tingkat efikasi diri yang tinggi akan lebih mudah
sukses dalam pencapaian tujuan, sedangkan seseorang dengan tingkat efikasi
diri yang rendah akan 2017 Seseorang meragukan kemampuannya untuk
mencapai tujuan (Hunt et al., 2012).

Sedangkan dukungan keluarga sangat diperlukan untuk keberhasilan terapi


agar mempertahankan status kesehatan keluarga dengan memberi dukungan
berupa perhatian, emosi, informasi, nasehat, motivasi maupun pemahaman
yang diberikan oleh keluarga terhadap anggota keluarga yang lain (Friedman,
2014).Dengan dukungan dari keluarga serta upaya dari diri sendiri untuk
menerima keadaan dengan lapang hati, maka akan terwujudlah kehidupan
yang tetap baik bagi penderita diabetes. Penderita yang sudah mulai bisa
menerima keadaan yang menimpa dirinya akan mempermudah kelancaran
terapi karena pasien bersikap kooperatif (Kurniadi dan Nurrahmi, 2015).

Menurut World Health Organization (WHO) prevalensi penduduk global


menderita diabetes melitus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2015
mencapai 415 juta orang dewasa berusia di atas 20 tahun menderita diabetes,
mengalami peningkatan pada tahun 2017 menjadi 424 juta,Indonesia juga
menghadapi situasi ancaman diabetes serupa dengan dunia. Diabetes di
Indonesia masih menunjukkan kecenderungan meningkat, Indonesia adalah
negara peringkat keenam di dunia setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat,
Brazil dan Meksiko dengan jumlah penyandang Diabetes usia 20-79 tahun
sekitar 10,3 juta orang (IDF, 2017 ).

Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi diabetes di Indonesia


yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI
Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%).
Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di
Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan
Nusa Tenggara Timur (3,3%) sedangkan di Provinsi Kalimantan Selatan
tahun 2013 prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,4%, ini berarti sekitar
269.158 orang (Kemenkes RI, 2013).Sementara di provinsi Lampung
prevalensi diabetes militus mencapai 0,99% (Riskesdas, 2018). Di Kabupaten
Pringsewu sendiri DM mencapai1.494 penderita (Riskesdas, 2018).

Penatalaksanaan saat ini arahnya masih pada penyembuhan secara fisik masih
mengabaikan penyembuhan secara psikologi dan belum secara komperhensif
membantu mengatasi masalah psikologi dan khususnya efikasi diri dengan
dukungan keluarga yang dilakukan oleh pelayanan kesehatan. Oleh karena itu
penyakit diabetes mellitus dapat menyebabkan seseorang mengalami
kurangnya efikasi diri pada penderita diabetes mellitus.
.
Penelitian yang dilakukan (Nisa) didapatkan bahwa, sebagian besar
responden mengalami kurang efikasi diri dengan dukungan keluarga kurang
pada penderita diabetes mellitus. Dalam penelitiannya ada hubungan efikasi
diri dan dukungan keluarga pada penderita pasien diabetes mellitus di Klinik
Penyakit Dalam RSUD Dr. Soedarso Pontianak.
Dalam penelitian (Alisa, Despitasari et al. 2020) didapatkan bahwa, responden
memiliki efikasi diri kurang baik Lebih dari setengah (53.4% ) dan responden
memiliki dukungan keluarga kurang baik terdapat (69.9%).Terdapat hubungan
efikasi diri dan dukungan keluarga pada pasien diabetes melitus tipe II di
Puskesmas Andalas.

Dan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”Hubungan Efikasi


Diri Dan Dukungan Keluarga pada Penderita pasien Diabetes Mellitus di
Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Tahun 2020 ”

B. Rumusan Masalah

Suatu perubahan yang terjadi pada individu dapat menimbulkan gangguan


fisik maupun psikologis bagi penderita. Pasien diabetes melitus harus
tergantung pada terapi pengolahan diabetes dan perlu adanya dukungan dari
keluarga. Hal tersebut dapat menimbulkan suatu permasalahan misalnya
pasien merasa tidak yakin akan kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan
latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk merumuskan penelitian
“Apakah ada hubungan efikasi diri dan dukungan keluarga pada penderita
pasien DM di RSUD Pringsewu tahun 2020”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan efikasi diri dan dukungan keluarga pada
pasien DM di rumah sakit umum daerah pringsewu.

2. Tujuan khusus
a) Mengetahui distribusi frekuensi karakteristik responden penderita
pasien diabetes melitus di RSUD Pringsewu tahun 2020.
b) Mengetahui distribusi frekuensi responden berdasarkan efikasi diri
penderita pasien diabetes mellitus di RSUD Pringsewu.
c) Mengetahuui distribusi frekuensi dukungan keluarga pada penderita
pasien diabetes mellitus di RSUD pringsewu.

D. Ruang Ligkup
Penelitian ini dilakukan pada pasien diruangan bedah di rumah sakit umum
daerah Pringsewu, dengan objek penelitian ini sebagai variabel independen
yaitu dukungan keluarga dan veriabel dependen efikasi diri pada penderita
pasien diabetes mellitus. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2020 di
RSUD Pringsewu.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Aplikatif
Bagi responden dapat memberikan informasi tentang hubungan efikasi diri
dan dukungan keluarga pada penderita pasien diabetes mellitus ataupun
keluarganya mengenai pentingnya dukungan keluarga, bagi petugas
kesehatan dapat melakukan pencegahan dan penekanan jumlah yang ada
untuk mewujudkan kesehatan masyarakat.
2. Bagi Institusi
Penelitin ini memberikan tambahan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan. Dapat juga digunakan sebagai dasar
penyuluhan, sumber data,bahan bacaan, dan perbandingan bagi peneliti
lain untuk mengembangkan penelitian yang lebih luas.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dan
bahan masukan sebagai acuan dan data awal dalam melakukan penelitian
selanjutnya yang sifatnya lebih besar dan bermanfaat bagi kemajuan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus

1. Definisi Diabetes Mellitus


Diabetus Mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang
disebabkan defisiensi insulin atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat
(Smeltzer, Bare et al., 2010).
Diabetes mellitus adalah suatu gangguan metabolisme dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya (ADA,2011).

Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas


tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah),
atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
dihasilkan. Diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan
serius pada jantung, pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf (WHO,
2016).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa diabetes


melitus adalah kelainan metabolik berkaitan dengan gangguan insulin
tubuh yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah.

2. Klasifikasi Diabetes Mellitus


Diabetes melitus dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori klinis,
yaitu
a. Diabetes melitus tipe 1 (karena kerusakan sel-, biasanya
menyebabkan kekurangan insulin absolut)
b. diabetes melitus tipe 2 (karena kerusakan progresif sekretorik insulin
akibat resistensi insulin),
c. diabetes mellitus gestasional (diabetes ini didiagnosis pada
kehamilan trimester 2 dan 3 dan belum menjadipenyakit diabetes
secara pasti), dan tipe diabetes melitus tertentu karena penyebab
lain, misalnya efek 11 genetik pada fungsi sel-, defek genetik pada
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik),
sertayang disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam
pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ) (ADA,
2015)

3. Patofisiologi
Hiperglikemia terjadi kerusakan akibat sel β pankreas yang menimbulkan
peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati. Pengeluaran glukosa oleh hati
meningkat karena proses-proses yang menghasilkan glukosa yaitu
glikogenelisis atau glukoneogenesis berlangsung tanpa hambatan karena
insulin tidak ada. Ketika kadar glukosa darah meningkat sampai jumlah
glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas, sehingga sel-sel tubulus
melakukan reabsorbsi maka glukosa akan timbul di urin. Glukosa di urin
menimbulkan efek osmotik yang menarik air bersaamanya menimbulkan
dieresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering berkemih) cairan
yang berlebihan mengakibatkan dehidrasi. Gejala lain adalah rasa haus
yang berlebihan merupakan komponen tubuh untuk mengatasi dehidrasi
akibat poliuria karena terjadi difisiensi glukosa intra sel, maka
kompensasi tubuh merangsang saraf sehingga nafsu makan akan
meningkat dan timbul pemasukan makanan berlebihan (polipagia). Akan
tetapi terjadi peningkatan pemasukan makanan, berat badan menurun
secara progresif akibat defisiensi insulin pada metabolisme lemak dan
protein (Nugroho, 2011).
4. Etiologi
Faktor risiko terjadinya DM tipe 2,meliputi:
a. Riwayat keluarga. Individu yang memiliki keluarga dengan diabetes
berpeluang menderita diabetes sebesar 15% jika salah satu dari orang
tuanya menderita diabetes. Apabila kedua orang tua menderita
diabetes maka berisiko 75%. Risiko untuk mendapatkan diabetes dari
ibu lebih besar 10-30% dari pada ayah. Jika saudara kandung
menderita diabetes maka berisiko 10% dan 90% jika yang menderita
adalah saudara kembar identik (Diabetes UK, 2010). Faktor risiko lain,
riwayat gestasional atau melahirkan bayi >4 kg (Ndraha, 2014).
b. Usia. Peningkatan risiko diabetes terjadi seiring bertambahnya usia,
teruma usia diatas 45 tahun. Hal ini karena pada usia tersebut mulai
terjadi intoleransi glukosa dan adanya proses penuaan menyebabkan
berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin
(Sunjaya, 2009)
c. Obesitas. Individu yang memiliki obesitas lebih berisiko 7,14 kali
untuk menderita diabetes dibandingkan dengan individu yang tidak
obesitas (Trisnawati & Setyorogo, 2013). Obesitasditandai dengan
body mass index (BMI) ≥25 kg/m2 (WHO, 2016). Adanya pengaruh
BMI terhadap diabetes disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta
tingginya konsumsi karbohidrat, protein,dan lemak yang merupakan
faktor risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya
asam lemak atau free fatty acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini
akan menurunkan translokasi transporter glukosa ke membran plasma,
dan menyebabkan terjadinya resistensi insulinpada jaringan otot dan
adipose (Teixeria-Lemos dkk,2011)

5. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus


Manifestasi klinis tergantung pada tingkat hiperglikemia pasien.
Manifestasi klinis klasik dari semua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu
poliuria, polidipsia, dan polifagia. Poliuria (peningkatan urinasi) dan
polidipsia (peningkatan rasa haus) terjadi sebagai akibat dari hilangnya
cairan yang berlebihan berhubungan dengan diuresis osmotik. Polifagia
(peningkatan nafsu makan) akibat dari keadaan katabolik yang disebabkan
oleh defisiensi insulin dan pemecahan protein dan lemak (Smeltzer &
Bare, 2008). Gejala lainnya yaitu kelemahan dan kelelahan, perubahan
fungsi penglihatan secara mendadak, kesemutan atau mati rasa pada
tangan atau kaki, kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuh,
dan infeksi berulang (Lemone, et al.,2014).

6. Komplikasi Diabetes Melitus


Diabetes mellitus merupakan penyakit yang sangat berpotensi terhadap
terjadinya berbagai komplikasi berat. Berikut ini diuraikan komplikasi
yang terkait dengan diabetes mellitus:
a. Komplikasi akut Terdapat tiga komplikasi utama diabetes melitus akut
yang berhubungan dengan ketidakseimbangan kadar glukosa darah
dalam jangka pendek yaitu, ketoasidosis diabetik (KAD), status
hiperglikemik hiperosmolar (SHH), dan hipoglikemia (PERKENI,
2011).
b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik pada diabetes melitus merupakan komplikasi
jangka panjang yang mempengaruhi hampir semua sistem tubuh dan
menjadi penyebab utama ketidakmampuan pasien. Kategori umum
komplikasi kronik yaitu komplikasi mikrovaskular, komplikasi
makrovaskular, dan komplikasi neuropati diabetik (Smeltzer & Bare,
2008). Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada
pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari retinopati
diabetik dan nefropati diabetik. Komplikasi makrovaskular pada
diabetes terjadi akibat aterosklerosis dari pembuluh-pembuluh darah
besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma (Permana,
2008).

7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Langkah pertama dalam mengelola DM selalu dimulai dengan pendekatan
non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi
medik, kegiatan jasmani, dan penurunan berat badan jika didapat obesitas.
Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, diabetes dengan
infeksi, stres, maka insulin dapat segera diberikan (Soegondo, 2006).
Terdapat empat pilar penatalaksanaan pada penderita diabetes melitus tipe
2 yaitu edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi
farmakologis (PERKENI, 2011).
a. Pengaturan pola makan (diet) atau terapi nutrisi medis (TNM).
Terapi ini merupakan bagian dari penatalaksanaan DM tipe 2secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lain, serta pasien
dan keluarganya). Setiap penyandang DM tipe 2 sebaiknya mendapat
TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
b. Aktifitas fisik.
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan fisik secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan diabetes melitustipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti
senam, jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk penderita yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani
bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi
diabetes mellitus, maka intensitas latihan jasmani dapat dikurangi
(PERKENI, 2011).
c. Terapi obat
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat-obatan
yang digunakan untuk penderita diabetes melitus tipe 2 yaitu obat
hipoglikemik oral (OHO), insulin, dan terapi kombinasi. Berdasarkan
cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan, antara lain pemicu
sekresi insulin (insulin secretagogue), seperti sulfonilurea dan glinid,
peningkat sensitivitas terhadap insulin, seperti metformin dan
tiazolidindion, penghambat glukoneogenesis (metformin), penghambat
absorsi glukosa, seperti penghambat glikosidase alfa (PERKENI,
2011).
d. Pemantauan glukosa darah mandiri.
Pemantauan glukosa darah secara mandiri bertujuan untuk mencapai
penurunan HbA1c dengan tujuan utama mengurangi risiko komplikasi,
mengidentifikasi adanya hipoglikemia (IDF, 2013). Target glukosa
darah pra prandial adalah 80-130 mg/dl (4,1-7,2 mmol/L) dan post
prandial adalah <180mg/dl (<10,0 mmol/L). Monitoring glukosa darah
pra dan post prandial dapat dilakukan 2 sampai 3 kali dalam seminggu
(ADA, 2015)

8. Self-management
Berdasarkan penelitian dari Nida Ui Hasanat (2015), terdapat faktor
psikososial yang mempunyai hubungan langsung dengan self-
management pada penderita diabetes melitus tipe 2, yaitu:
a. Efikasi diri
Penelitian Wagner, Tenner, & Osborn (2010) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan self-
management. Menurut Hunt, et al. (2012) efikasi diri tinggi lebih
mungkin untuk melakukan diet, olahraga, monitoring glukosa
darah mandiri, terapi obat, dan perawatan kaki secara optimal.
b. Dukungan sosial
Penelitian Skarbek (2006) menunjukkan terdapat hubungan positif
antara dukungan sosial dengan self-management. Dukungan sosial
pada penderita diabetes selama melakukan self-management
didapatkan dari pasangan, keluarga inti, dan tenaga kesehatan
(Hasanat, 2008).
c. Expressed-emotion. Diketahui apabila epressed-emotionnegatif,
keluarga dipandang sebagai stresor bagi pasien. Keluarga
cenderung akan mengontrol perilaku pasien sehingga
mengakibatkan pasien merasa tidak kompeten dalam melakukan
self-management, atau dengan kata lain expressed-emotionnegatif
akan menimbulkan self-management yang rendah (Hasanat, 2015).

B. Efikasi Diri.
1. Definisi Efikasi Diri
Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori
sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura(1997) dalam Lange et al. (2012)
mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan individu akan
kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.

Ghufron, et al. (2010) menjelaskan efikasi diri mengacu pada keyakinan


akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, berfikir, dan
berperilaku yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi. Efikasi diri
merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengelola
penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang untuk
memulai atau tidak dalam melakukan perawatan (Nyunt, et al., 2010).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri


adalah keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya dalam mengatur dan
melaksanakan kegiatan yang mendukung kesehatannya berdasarkan pada
tujuan dan harapan yang diinginkan.

2. Sumber-sumber Efikasi Diri


Menurut Lunenburg (2011) efikasi diri seseorang berkembang melalui
empat sumber utama yaitu:
a. Mastery experiences (pengalaman keberhasilan). Sumber informasi ini
memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena
didasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadi individu secara nyata
yang berupa keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman keberhasilan
akan menaikkan efikasi diri individu, sedangkan pengalaman
kegagalan akan menurunkannya. Pengalaman keberhasilan individu ini
meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi
kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.
b. Vicarious experience (pengalaman orang lain) yaitu mengamati
perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu.
Melalui model ini efikasi diri individu dapat meningkat, terutama jika
ia merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih
baik dari pada orang yang menjadi subyek belajarnya. Ia akan
mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama.
Meningkatnya efikasi diri individu ini dapat meningkatkan motivasi
untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan efikasi diri ini akan
menjadi efektif jika subjek yang menjadi model tersebut mempunyai
banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model,
kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta
keanekaragaman yang dicapai oleh model.
c. Verbal persuasion (persuasi verbal). Pada persuasi verbal, individu
diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat
meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang
dimiliki yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan.
Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih
keras untuk mencapai suatu keberhasilan. Dalam kondisi yang
menekan dan kegagalan terus-menerus, pengaruh sugesti akan cepat
hilang jika mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.
d. Physiological &emotional state (keadaan fisiologis dan psikologis),
yaitu situasi yang menekan kondisi emosional. Gejolak emosi,
kegelisahan yang mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang
dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi
peristiwa yang tidak diinginkan. Individu akan mendasarkan informasi
mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya.
Karena itu, efikasi diri tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat
stres dan kecemasan. Sebaliknya, efikasi diri yang rendah ditandai oleh
tingkat stres dan kecemasan yang tinggi

3. Dimensi Efikasi Diri


Menurut Bandura (1997) dalam Lunenburg (2011) terdapat tiga dimensi
dalam efikasi diri yaitu:
a. Magnitude (tingkat kesulitan tugas). Aspek ini berkaitan dengan
tingkat kesulitan individu. Individu akan berupaya melakukan tugas
tertentu yang dipersepsikan dapat dilaksanakannya dan akan
menghindari situasi dan perilakuyang dipersepsikan diluar batas
kemampuannya.
b. Strength (kekuatan keyakinan). Aspek ini berkaitan dengan tingkat
kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Tingkat
efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyahkan oleh pengalaman-
pengalaman yang memperlemahnya, sedangkan seseorang yang
memiliki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan
usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahnya.
c. Generality (generalitas). Aspek ini berkaitan luas pada bidang tugas
atau tingkah laku. Keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya
tergantung pada pemahaman kemampuan dirinya, baik yang terbatas
pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun pada serangkaian
aktivitas dan situasi yang lebih luas atau bervariasi

4. Proses Pembentukkan Efikasi Diri


Menurut Ariani (2011) proses psikologis dalam efikasi diri yang turut
berperan dalam diri manusia ada 4, yaitu:
a. Proses kognitif
Proses ini merupakan proses berfikir, termasuk cara memperoleh,
pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan
manusia bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu.
Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi lebih senang
membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya individu dengan
efikasi dirinya rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-
hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan. Bentuk tujuan
personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri.
Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu
akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan
semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya.

b. Proses motivasi
Tingginya motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu
memberi motivasi atau dorongan bagi diri mereka sendiri dan
mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran
sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi
motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah
ditentukan individu, usaha besar yang dilakukan mereka dalam
menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam
menghadapi kegagalan. Ada tiga teori yang menjelaskan tentang
proses motivasi. Teori pertama yaitu causal attributions (atribusi
penyebab). Teori ini fokus pada sebab-sebab yang mempengaruhi
motivasi, usaha, dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki
efikasi diri tinggi bila mengahadapi kegagalan cenderung menganggap
kegagalan tersebut diakibatkan usaha yang tidak cukup memadai.
Sebaliknya, individu yang efikasi dirinya rendah, cenderung
menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang
terbatas. Teori kedua, outcomes experience (harapan akan hasil) yang
menyatakan bahwa motivasi dibentuk melalui harapan-harapan.
Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka
tentang hal yang dapat mereka lakukan.

c. Proses afektif. Proses ini merupakan proses pengaturan kondisi emosi


dan reaksi emosional. Keyakinan individu akan koping mereka turut
mempengaruhi tingkat stres dan depresi seseorang saat mereka
menghadapi situasi yang sulit. Persepsi efikasi diri tentang
kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting
dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan
kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan
hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol
situasi cenderung mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, selalu
memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar
penuh dengan ancaman, membesarkan masalah kecil, dan terlalu
cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi.

d. Proses seleksi. Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan


situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu
cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas
kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka
mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak
menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat,
individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan
hubungan sosial mereka

5. Faktor yang Berhubungan dengan Efikasi Diri


Berikut faktor-faktor yang berhubungan dengan efikasi diripada pasien
diabetes melitus, yaitu:

a. Usia Menurut Potter & Perry (2005) pada usia 40-65 tahun disebut
juga sebagai tahap keberhasilan, yaitu waktu yang berpengaruh
maksimal, membimbing diri sendiri, dan menilai diri sendiri, sehingga
pada usia tersebut pasien memiliki efikasi diri yang baik.
b. Jenis kelamin Menurut penelitian Ngurah (2014), perempuan memiliki
efikasi diri yang lebih baik dari laki-laki, perempuan dianggap lebih
yakin dalam menjalani pengobatan dan perawatan dri, serta memiliki
mekanisme koping yang baik dalam menghadapi sebuah masalah.
c. Tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan umumnya akan berpengaruh
terhadap kemampuan dalam mengolah informasi. Pendidikan
merupakan faktor yang penting pada pasien DM untuk dapat
memahami dan mengatur dirinya sendiri serta dalam mengontrol gula
darah. Pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dilaporkan
memiliki efikasi diri dan prilaku perawatan diri yang baik (Wu, et al.,
2006 dalam Ariani, 2011).
d. Status pernikahan Menurut penelitian Delamater (2000), seseorang
yang menikah atau tinggal bersama pasangannya akan mempunyai
penyesuaian psikologis yang baik. Penelitian Kott (2008) menjelaskan
bahwa responden yang menikah mempunyai kontrol DM yang baik
dan mempunyai status kesehatan yang lebih positif.
e. Status sosial ekonomi Pasiendengan penghasilan yang baik
berpengaruh positif terhadap kesehatan dan kontrol glikemik.
Pekerjaan secara signifikan sebagai prediktor efikasi diri secara umum,
atau dengan kata lain seseorang yang bekerja memiliki kepercayaan
diri yang lebih tinggi untuk mengatasi masalahnya (Rubin & Peyrot,
2000).
f. Lama menderita
Pada penelitian Funnell & Anderson (2004) responden yang baru
menderita DM selama 4 bulan sudah menunjukkan efikasi diri yang
baik. Penelitian Wu, et al., (2006) dalam Ariani (2011) menemukan
bahwa pasien yang telah menderita DM ≥11 tahun memiliki efikasi
diri yang baik dari pada pasien yang menderita DM <10 tahun. Hal ini
disebabkan karena pasien telah berpengalaman mengelola penyakitnya
dan memiliki koping yang baik. Menurut Bernal, et al. (2000) pasien
yang telah lama menderita DM namun disertai komplikasi memiliki
efikasi diri yang rendah. Dengan adanya komplikasi akan
mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengelola perawatan diri
dan penyakitnya.

6. Efikasi Diri pada Pasien Penderita Diabetes Mellitus

Menurut Al-Khawaldeh, et al.(2012) DM merupakan penyakit seumur


hidup yang membutuhkan perubahan perilaku, hal tersebut dapat
dilakukan melalui pendidikan, konseling, membangun keterampilan, dan
dukungan yang ditawarkan oleh penyedia layanan kesehatan untuk
memungkinkan pasien DM melakukan aktivitas perawatan diri. Perubahan
perilaku merupakan proses kompleks yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti pengetahuan, kepercayaan, sikap, keterampilan, motivasi, dan
dukungan sosial. Salah satu faktor kunci dalam mencapai tujuan perilaku
adalah efikasi diri. Efikasi diri pada pasien DM dalam pendekatan
intervensi keperawatan difokuskan pada keyakinan individu akan
kemampuannya untuk mengolah, merencanakan, memodifikasi perilaku
sehingga mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Dalam hal diabetes self-management (DSM), efikasi diri adalah keyakinan
pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai perilaku
manajemen diri(Al-Khawaldeh, et al., 2012). Efikasi diri adalah prediktor
kuat terhadap perilaku manajemen diri diabetes, seseorang hidup dengan
diabetesyang memiliki tingkat efikasi diri yang lebih tinggi akan
berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri diabetes lebih baik (Hunt,et
al., 2012).Strategi meningkatkan efikasi diri pada pasien DM adalah
dengan pendidikan kesehatan melalui pendekatan diabetes self
management education (DSME), empowerment, dan motivational
interviewing, serta support group (Ariani, 2011)

C. Dukungan Keluarga

1. Pengertian Dukungan keluarga Keluarga


Menurut Friedman (2014) keluarga adalah sekumpulan orang yang
bersama-sama bersatu dengan melakukan pendekatan emosional dan
mengidentifikasi dirinya sebagian dari keluarga. Dukungan keluarga
adalah suatu proses yang terjadi sepanjang kehidupan, sifat dan jenis
dukungan keluarga berbeda dalam tahap siklus kehidupan. Dukungan
keluarga dapat berupa dukungan sosial internal mauapun dukungan sosial
eksternal. Dukungan keluarga berfungsi dengan berbagai kepandaian dan
akal (Friedman, 2014).

2. Tipe Keluarga
Menurut Friedman (2014), setiap keluarga memerlukan layanan kesehatan
yang mana pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan perkembangan
sosial masyarakat sehingga keluarga memiliki tipe-tipe agar dapat
mengembangkan derajat kesehatannya antara lain :
a. Keluarga inti
Keluarga inti merupakan transformasi demografi dan sosial yang
paling signifikan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah bekerja
untuk mencari nafkah dan ibu yang sebagai pengurus rumah tangga.
b. Keluarga adopsi
Keluarga adopsi adalah suatu cara untuk membentuk keluarga dengan
cara menyerahkan tanggung jawab orang tua kandung kepada orang
tua adopsi secara sah dan saling menguntungkan satu sama lain.
Keluarga adopsi ini dilakukan karena berbagai alasan seperti pasangan
yang tidak dapat memiliki keturunan tapi ingin menjadi orang tua
sehingga mereka mengadopsi anak dari pasangan lain.
c. Keluarga asuh
Keluarga asuh adalah suatu layanan yang diberikan untuk mengasuh
anaknya ketika keluarga kandung sedang sibuk dan keluarga asuh akan
memberikan keamanan dan kenyamanan pada anak. Anak yang diasuh
oleh keluarga asuh umumnya memiliki hubungan kekerabatan seperti
kakek atau neneknya.
d. Keluarga orang tua tiri
Keluarga orang tua tiri terjadi bila pasangan yang mengalami
perceraian dan menikah lagi. Anggota keluarga termasuk anak harus
melakukan penyesuaian diri ladi dengan keluarga barunya. Kekuatan
positif dari keluarga tiri adalah menikah lagi merupakan bentuk yang
positif dan suportif karena meningkatkan kesejahteraan anak-anak,
memberikan anak-anak perhatian dan kasih sayang, serta sebagai jalan
keluar dari perbaikan kondisi keuangan.
3. Tugas keluarga
Terdapat tujuh tugas pokok keluarga menurut (Friedman, 2014) antara
lain:

1. Pemeliharaan fisik keluarga dan anggota keluarga.


2. Pemeliharaan berbagai sumber daya yang ada dalam keluarga.
3. Pembagian tugas anggota keluarga sesuai dengan kedudukan
masing-masing.
4. Sosialisasi antar anggota keluarga baik dari segi pengetahuan
maupun dari segi kesehatan.
5. Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7. Membangkitkan dorongan dan motivasi pada anggota keluarga.

4. Jenis-jenis Dukungan Keluarga


Menurut Friedman (2014), Terdapat tiga dimensi utama dari dukungan
keluarga yaitu; dukungan informasional; dukungan instrumental; serta
dukungan emosional dan harga diri.
a. Dukungan informasional Dukungan ini merupakan dukungan yang
diberikan keluarga kepada anggota keluarganya melalui
penyebaran informasi. Seseorang yang tidak dapat menyelesaikan
masalahnya maka dukungan ini diberikan dengan cara memberikan
informasi, nasehat dan petunjuk tentang cara penyelesaian
masalah. Keluarga sebagai tempat dalam memberi semangat serta
pengawasan terhadap kegiatan harian misalnya klien DM yang
harus melakukan kontrol rutin sehingga keluarga harus senantiasa
mengingatkan klien untuk kontrol.
b. Dukungan instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber
pertolongan praktis dan konkrit. Tujuan dari jenis dukungan ini
adalah meringankan beban bagi anggota keluarga yang mengalami
masalah kesehatan melalui bantuan fasilitas.
c. Dukungan emosional dan harga diri Dukungan ini mencakup
ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian dari orang yang
bersangkutan kepada anggota keluarga yang mengalami masalah
kesehatan. Keluarga merupakan tempat yang aman untuk istirahat
dan pemulihan dari penguasaan emosi (Smet Bart, 1999). Keluarga
bertindak sebagai pembimbing atau umpan balik serta validator
identitas keluarga yang ditunjukkan melalui penghargaan positif
misalnya penghargaan untuk klien DM, persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif pada
klien DM dengan klien lainnya seperti orang lain dengan kondisi
yang lebih buruk darinya. Hal tersebut dapat menambah harga
dirinya. Dukungan emosional dan harga diri juga dapat
memberikan semangat dalam berperilaku kesehatan, sebagai
contohnya adalah dukungan ini dapat diberikan pada klien DM
dalam menjalani pengobatan.

5. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kesehatan


Tiga aspek yang mempengaruhi dukungan keluarga terhadap kesehatan
secara langsung maupun tidak langsung, antara lain :
a. Aspek Perilaku (behavioral mediators). Dukungan keluarga dapat
mempengaruhi perubahan perilaku seseorang.
b. Aspek Psikologis (psychological mediators). Dukungan keluarga
dapat meningkatkan dan membangun harga diri seseorang dan
menyediakan hubungan yang saling memuaskan.
c. Aspek Fisiologis (physiological mediators) Dukungan keluarga
dapat membantu mengatasi respon fight or flightdan dapat
memperkuat system imun seseorang.

6. Peran dukungan keluarga dalam perawatan penderita DM

Peran keluarga dalam perawatan DM sangatlah penting untuk


meminimalkan terjadinya komplikasi yang mungkin muncul,
memperbaiki kadar gula darah serta meningkatkan kualitas hidup
penderita (T. A. Miller & DiMatteo,2013). Peran keluarga dibagi dalam
berbagai aspek yaitu penyuluhan, perencanaan makan, latihan jasmani,
terapi farmakologi, monitoring kadar gula darah serta perawatan kaki DM.
hal tersebut sangatlah penting sehingga tenaga kesehatan menganjurkan
kepala anggota keluarga penderita DM untuk mempertahankan,
memotivasi dan meningkatkan perannya dalam perawatan penderita DM
(Setyawati, 2006)

D. Kerangka teori
Bagan 1.1

Diabetes militus Dicegah dengan 4 pilar


penatalaksanaan DM: edukasi, terapi
nutrisi medis, latihan jasmani, intervensi
farmakologi dan nonfamakologi
Sumber : Nida Ui Hasanat (2015), PERKENI (2011)

E. Kerangka konsep

- Efikasi diri Penderita diabetes


- Dukungan keluarga militus

F. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari pertanyaan penelitian (Dharma,
2017). Hasil dalam penelitian ini hipotesis yang didapatkan adalah :
Ha : ada hubungan antara efikasi diri dan dukungan keluarga terhadap pasien
Diabetes militus
Ho : tidak ada hubungan antara efikasi diri dan dukungan keluarga terhadap
pasien Diabetes militus

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian
rupa sehingga peneliti mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan penelitian.
Desain mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk
mencapai tujuan penelitian dan berperan sebagai alat juga pedoman guna
mencapai tujuan (Setiadi, 2013).

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik korelasi dengan variabel


independen dukungan keluarga , dengan variabel dependen efikasi diri. Dalam
desain ini menggunkan pendekatan cross sectional yaitu sesuatu penelitian
untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor, resiko dengan efek
dengan cara pendeketan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada
suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2012). Tujuan menggunakan
penelitian ini untuk menganalisis hubungan efikasi diri dan dukungan
keluarga pada penderita DM dan data yang digunakan data kasus lama dan
kasus baru (pravalensi).

B. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah karakteristik yang melekat pada populasi,
bervariasi antara suatu orang dengan yang lainnya dan diteliti dalam suatu
penelitian jenis kelamin, berat badan dan pekerjaan (Kusuma, 2015). Variabel
penelitian dikembangkan dari konsep/teori dan hasil penelitian terdahulu
sesuai dengan fenomena atau masalah. Variabel dalam penelitian ini terdiri
variabel independen yaitu dukungan keluarga, dan yang menjadi variabel
dependen adalah efikasi diri pada penderita diabetes mellitus.

C. Definisi Oprasional
Definisi operasional merupakan variabel yang dapat diukur atau bahkan dapat
diuji baik secara peneliti maupun penelitian lainya (Ketut, 2015).

Tabel 3.2 Definisi Operasioal


Variabel Definisi Alat Cara Hasil Skala Ukur
Operasional Ukur Ukur Ukur
Efikasi Keyakinan kuesioner Mengisi 20 = Nilai Likert
diri individu kuesioner terendah
tentang 100 = Nilai
kemampuan tertinggi
untuk
menghadapi
tugas-tugas
individu
Dukunga tindakan yang Kuesioner Mengisi 76 - 100% Likert
n telah dilakukan kuesioner = Baik
keluarga keluarga dalam < 76% =
bentuk Kurang
dukungan baik
berupa
dukungan
emosional
seperti
perhatian,
kasih sayang,
empati,
dukungan
penghargaan
seperti apresiasi
positif,
dukungan
informasi
seperti saran,
nasehat,
informasi, dan
dukungan
instrumental
seperti bantuan
tenaga, dana
dan waktu.

D. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisai yang terdiri atas objek atau subyek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya
(Sugiyono, 2012). Dalam penelitian yang menjadi populasi penelitian
adalah penderita diabetes mellitus di Rumah Sakit Umum Pringsewu
yang memiliki riwayat penyakit DM ditetapkan peneliti dengan jumlah
populasi 53 orang.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang diteliti atau sebagian jumlah
dari karekteristik yang dimiliki olah populasi (Sugiyono, 2012).
Penelitian ini menggunakan tehnik Purposive Sampling yaitu
pengambilan sampel ini didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu
yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2012). Sampel yang
digunakan pada penelitian ini berjumlah 35 responden. Adapun rumus
pengambilan sampel menurut (Nursalam, 2013) adalah :
N
n= 2
1+( N +d )
Keterangan :
N = Besar Populasi
n = Besar Sampel
d = tingkat kesalahan yang diinginkan 5% atau (0,05)
53
n=
1+ 53(0,12)
53
n=
1+ 0.53
53
n= =34.5 responden (jika dibulatkan maka menjadi 35 responden).
1.53
Besar sampel dalam penelitian ini adalah 35 responden.

Berdasarkan keterangan di atas untuk menentukan sampel terdapat dua


kriteria yaitu:
a. Kriteria inklusi adalah karateristik umum subyek penelitian dari suatu
populasi target dan terjangkau yang akan diteliti (Kusuma, 2015). Yang
menjadi kriteria inklusi dalam penelitian adalah :
1) Penderita DM yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah
Pringsewu.
2) Penderita DM dengan maksimal usia 60 tahun
3) Penderita DM yang mengalami efikasi diri
4) Penderita DM yang bersedia menjadi responden
5) Keluarga yang tinggal satu rumah dngan penderita DM
6) Keluarga penderita DM yang bersedia menjadi responden
b. Penderita DM yang memiliki Kriteria eksklusi adalah menghilangkan
atau mengeluarkan subyek yang tidak memenuhi kriteria inklusi
(Kusuma, 2015). Yang menjadi kriteria eksklusi dalam penelitian ini
adalah :
1) Penderita DM yang tidak bisa membaca.

E. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pringsewu.
2. Waktu
Penelitian dilaksanakan mulai di bulan Desember 2020.

F. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi
dari pihak lain dengan mengajukan permohonan izin terlebih dahulu ke
instansi tempat dilakukannya penelitian dalam hal ini di Rumah Sakit Umum
Pringsewu setelah mendapatkan persetujuan barulah kemudian kuesioner
dibagikan kepada responden dengan menekankan pada masalah etika yang
meliputi:

1. Lembar persetujuan (informed consent)


Dalam penelitian ini subjek yang harus mendapatkan informasi secara
lengkap tentang tujuan penelitian akan dilaksanakan, mempunyai hak
bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Jika subjek bersedia
diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan, jika subjek
menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghormati haknya.
2. Kerahasian (confidentiality)
Dalam penelitian ini peneliti melindungi privasi dan kerahasiaan identitas
serta jawaban yang diberikan. Subjek berhak untuk tidak mencantumkan
identitasnya dan berhak mengetahui kepada siapa saja data tersebut
disebarluaskan. Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang
diberikan harus dirahasiakan atau tidak disebarluaskan, untuk itu perlu
tanpa nama (anonimty) dan rahasia (confidentiality) (Nursalam,2013).
Peneliti akan melindungi kerahasiaan subyek dengan cara memberi atau
menggunakan kode dalam lembar kuesioner.
3. Keadilan dan Keterbukaan (Respect for Justice on Inclusiveness)
Dalam penelitian ini prinsip keadilan menjamin bahwa semua subyek
penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa
membedakan jenis kelamin, pekerjaan, agama, etnis dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini, penelitian memerlukan
responden secara adil dan tanpa membeda-bedakan. Peneliti harus
bersikap adil terhadap responden selama melakukan penelitian.
4. Memperhitungkan Manfaat dan Kerugian (Balancing Harm and Benefits )
Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin
bagi masyarakat pada umumnya dan subyek penelitian pada khususnya
(Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini, peneliti memilih responden
yang memenuhi syarat kriteria inklusi supaya tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, peneliti
bertanggung jawab. Peneliti mempertimbangakan resiko antara manfaat
dan kerugian/resiko dari penelitian.
5. Keadilan dan Keterbukaan (Respect for Justice and Inclusiveness)
Prinsip keadilan ini menjamin bahwa semua subyek penelitian
memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa membedakan
jenis kelamin, pekerjaan, agama, atnis dan sebagainya (Notoadhmojo,
2012). Dalam penelitian ini, prinsip keterbukaan dan keadilan perlu
dijelaskan peneliti dengan kejujuran , keterbukaan dan kehati-hatian.
Untuk itu, lingkungan penelitian ini dikondisikan sehingga memenuhi
prinsip keterbukaan, yaitu dengan menjelaskan prosedur penelitian kepada
responden.
6. Menghormati harkat dan Martabat manusia (respect tor human dignity)
Dalam penelitian ini, peneliti akan menghargai hak-hak masing-masing
responden dan menjunjung tinggi martabat responden. Peneliti
mempertimbangkan hak-hak subyek penelitian untuk mendapatkan
informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian . Peneliti juga
membarikan kebenaran kepada subyek untuk memberikan informasi atau
tidak memberikan informasi (berpartisipasi) (Notoadhmojo, 2012). Serta
menepati janji yang telah dibuat dan menjunjung tinggi kotmitmen yang
telah disepakati bersama antara peneliti dengan responden.

G. Instrument dan Metode Pengumpulan Data


1. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang akan digunakan peneliti untuk
pengumpulan data berupa kuesioner (daftar pertanyaan), formulir
observasi dan formulir-formulir lainya (Notoatmodjo, 2012). Lembar
instrumen yang akan digunakan untuk mengambil informasi berupa
kuesioner (daftar pernyaan) dan lembar persetujuan observasi responden.

Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam


pengumpulan data maka diharapkan hasil penelitian ini akan menjadi valid
dan reliabel yang menjadi syarat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan
tetapi akan di pengaruhi oleh kondisi obyek yang kan diteliti, dan
kemampuan orang menggunakan instrumen (Sugiyono, 2012).
a) Uji Validitas dan Uji Reabilitas
Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu
benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012).
Realibilitas adalah tingkat konsistensi dari suatu pengukuran yang
menunjukan apakah penggukuran mengahasilkan data yang konsisten
jika instrumen digunakan kembali secara berulang (Dharma, 2011).
Dalam penelitian ini kuesioner efikasi diri yang digunakan adalah
kuesioner Diabetes Management Self-scale ( DMSES) UK dengan
total 20 pertanyaan tidak perlu uji validitas dan reabilitas karena
sudah teruji validitas dan reabilitasnya. Dan kuesioner dukungan
keluarga berjumlah 17 yang terdiri dari 15 pertanyaan positif sudah
dilakukan uji validitas dan reabilitas (Vitta Chusmewati 2016).
Sehingga dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan uji validitas.

2. Alat Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini peneliti menggunkan alat pengumpulan data yang
berupa kuesioner atau pertanyaan serta observasi dengan tujuan untuk
mengetahui sebarapa jauh responden paham tentang pertanyaan yang
akan diajukan dan observasi untuk menvalidkan data yang telah dijawab
oleh responden (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian lembar instrumen
yang digunakan untuk mengambil informasi berupa kuesioner dan lembar
persetujuan observasi responden.

H. Metode Pengolahan dan Analisa Data


1. Metode pengolahan
a. Editing
Merupakan kegiatan yang dilakukan setelah data terkumpul baik dari
kuesioner ataupun hasil dari pengamatan secara langsung. Editing
dilakukan untuk memeriksa ulang kelengkapan pengisian, kesalahan
dan kelengkapan jawaban dari responden. Peneliti memeriksa
jawaban responden apakah sudah dilengkap terisi semua sesuai
dengan instruksi yang diberikan, selanjutnya apakah jawaban yang
telah diberikan responden jelas dan relevan serta konsisten. Apabila
terdapat kesalahan dalam pengisian yang dilakukan oleh responde,
maka menginstruksikan kepada responden untuk kembali mengisi
kuesioner.
b. Coding
Dilakukan dengan merubah data dalam bentuk huruf keadalam
bentuk angka atau bilangan. Kode pada setiap responden untuk
mempermudah penelitian dalam melakukan pengolahan data dan
analisa data.

c. Processing
Setelah semua data sampai pengkodingan, selanjutnya dilakukan
entry data untuk dianalisis. Seluruhnya data kuisioner di- entry dalam
computer munggunkan program computer.
d. Cleaning
Pengecekan ulang dan pembersihan dat-data sebelumnya pengolahan
lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan dalam
memberikan kode, membaca kode maupun kesalahan pada saat entry
sehingga data dianalisis.

2. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisa data dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2012). Bentuk
analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik
digunakan nilai mean atau rata-rata, median dan standar deviasi.
Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi hubungan
efikasi diri dan dukungan keluarga pada penderita diabetes mellitus
di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu tahun 2020 dengan p value
0.05 %.
b. Analisa Bivariat
Dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini analisa yang
akan digunakan untuk menganalisa yaitu menggunakan Kai Kuadrat
(chi square) dengan komputerisasi.

I. Jalanya Penelitian
Penelitian merupakan urutan karya atau langkah – langkah yang dilakukan
selama penelitiandari awal hingga penelitian berakhir. Jalanya penelitian yang
dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Tahap persiapan
Persiapan meruapakan rencangan yang berfungsi sebagai karengka awal
dalam penelitian ini. Langkah- langkah yang dilakukan dalam tahap
persiapan yaitu :
a. Melakukan perizinan kepada pimpinan institusi dan tempat penelitian
b. Melakukan Pra survey
c. Pemiihan masalah dan membuat rumusan masalah
d. Penyusunan dan pengumpulan proposal penelitian
e. Proses bimbingan
f. Penyusunan skala dan instrumen penelitian
g. Presentasi proposal penelitian

2. Tahap pelaksanaan
Proses dimana pengambilan dan dan pengolahan data dengan
menggunakan langkah-langkah
a. Meminta surat izin penelitian dari institusi
b. Menbuat surat persetujuan responden
c. Menyerahakan suarat ke tempat penelitian
d. Membuat kuesioner
e. Pengambilan data kuesioner
f. Pengolahan data melalui :
1) Penyuntingan data (Editing)
2) Member kode (Coding)
3) Memasukan data (Entry)
4) Mengecek kembali data (Clening)
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y. (2012). Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Pengendalian Diabetes


Mellitus di Indonesia. Pusat Komunikasi Publik Sekjen Kemenkes RI.

Alisa, F., et al. (2020). "HUBUNGAN EFIKASI DIRI DAN DUKUNGAN KELUARGA
DENGAN MANAJEMEN DIRI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II DI
PUSKESMAS ANDALAS KOTA PADANG." Menara Ilmu 14(2).

Friedman, M. M., Bowden, V. R., dan Jones, E.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan
Keluarga:Riset, Teori, dan Praktik, alih bahasa, Akhir Yani, S. Hamid et al., Edisi 5.
Jakarta: EGC

Hasdianah. 2012. Mengenal Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa dan Anak – Anak Dengan
Solusi Herbal. Yogyakarta : Nuha Medika

Helmawati, T. 2014. Hidup Sehat Tanpa Diabetes. Yogjakarta: Notebook

Kusuma, H. and W. Hidayati (2013). "Hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pada
pasien diabetes mellitus tipe 2 di Persadia Salatiga." Jurnal Keperawatan Medikal
Bedah 1(2).

Kurniadi, H & Nurrahmani, U. (2015). Stop! Gejala penyakit jantung koroner, kolesterol
tinggi, diabetes melitus, hipertensi. Yogyakarta: Istana Medis.

Nisa, K. "HUBUNGAN EFIKASI DIRI DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN


KUALITAS HIDUP PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI KLINIK
PENYAKIT DALAM RSUD Dr. SOEDA lam kesehatan. Yogyakarta:Nuha medika

Astuti N. EFIKASI DIRI DAN MANAJEMEN DIRI PADA PASIEN DENGAN DIABETES
TIPE 2: SEBUAH REVIEW SISTEMATIK Jurnal Photon.2020.

Feist, Jess, Feist, J G, Roberts, Tomi-Ann. Teori Kepribadian. Salemba Humanika. 2017.
Pramesthi IR, Purwanti OS. HUBUNGAN PENGETAHUAN PENGELOLAAN DIABETES
MELITUS DENGAN EFIKASI DIRI PADA PENYANDANG DIABETES MELITUS TIPE II 2020.

Setyoningrum1 R, Winahyu KM, Badawi A. HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI


DENGAN EFIKASI DIRI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS
BATUCEPER KOTA TANGERANG 2016.

American Diabetes Association (ADA), (2011).Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. care.diabetesjournals.org. 34(1)Retrieved From
https://care.diabetesjournals.org/content/diacare/34/Supplement_1/S62.full.pdf

World Health Organization (WHO).(2016).Global Report on Diabetes. Retrieved from


https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/204871/9789241565257_eng;jsess
ionid=AEE305AAE88C6EB5F0D7DAC0AF48391E?sequence=1

Ndraha, S. 2014. Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Depertemen


Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univeritas Krida Wacana Jakarta. Vol
(27). No (2). Retrieved from https://nanopdf.com/download/diabetes-melitus-tipe-
2-dan-tatalaksana-terkini_pdf

Trisnawati, KS., Setyorogo, Soedijono. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe
2 Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah
Kesehatan. Vol 5 No. 1 : 6-11

LeMone, Burke, & Bauldoff, (2016). Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa.Jakarta: EGC

PERKENI.(2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PERKENI.

IDF. 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International Diabetes Federation
2013.retrieved from file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/english-6th.pdf
Hasanat, N. (2015). Manajemen Diri DiabetesAnalisis Kuantitatif Faktor-
FaktorPsikososialPada Pasien Diabetes Melitus Tipe II.Yogyakarta. retrieved from
file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/596-2413-1-PB.pdf

Ariani, Y. (2011). Hubungan Antara Motivasi dengan Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2 Dalam
Konteks Asuhan Keperawatan Di RSUP.H.Adam Malik Medan. Retrieved from
file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/digital_20282755-T%20Yesi
%20Ariani.pdf

Friedman. (2014). Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, & Praktik : ECG

Ketut, S. I. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta, Perpusatakaan Nasional


: Katalog.

Kozier, e. a. (2010). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, & Praktik. Jakarta, EGC.

Kusuma, D. K. (2015). Metodologi Penelitian Keperawatan Jakarta, Trans Info Media.

Kusuma, D. K. (2015). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta, Trans Info Media.


Notoatmodjo (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.

rsalam. (2013). Metode Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Klinis (3 𝑡ℎ ed.).


Jakarta: Salemba Medika.

Chusmeywati, V. (2016). Hubungan dukungan keluarga terhadap kualitas hidup penderita


Diabetes Melitus Di RS PKU muhammadiyah Yogyakarta unit II.
Ratnawati, N. (2016). HUBUNGAN EFIKASI DIRI TERHADAP KUALITAS HIDUP
PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RS PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA.

Anda mungkin juga menyukai