Disusun oleh :
Ahmad Naharuddin Ramadhan
12304241032
Pendidikan Biologi Subsidi
Disusun oleh :
Ahmad Naharuddin Ramadhan
12304241032
Pendidikan Biologi Subsidi
II. TUJUAN
II.1. Tujuan Kegiatan
a) Mengamati struktur anatomi makroskopi jantung mamalia.
b) Mengukur denyut nadi (pulsus) pada arteri radialis.
c) Mengukur cardiac output (CO)
II.2. Kompetensi Khusus
a) Mahasiswa dapat melakukan pengamatan struktur anatomi
makroskopi jantung mamalia (kambing).
b) Mahasiswa dapat menerangkan bagian-bagian jantung mamalia.
c) Mahasiswa dapat melakukan pengukuran denyut nadi (pulsus).
d) Mahasiswa dapat menerangkan bagaimana mekanisme terjadinya
denyut nadi (pulsus).
e) Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
cardiac output (CO).
2. Katup Jantung
V. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Secara umum, anatomi jantung dapat dipaparkan sebagai berikut : Jantung
memiliki 4 ruang yaitu serambi (atrium) kiri dan kanan serta ventrikel kiri
dan kanan. Adapun katup jantung terdiri atas katup tricuspidalis,
bicuspidalis, pulmonal, dan aorta. Jantung juga terdiri atas beberapa lapis
yaitu epikardium, miokardium, dan endokardium. Bagian-bagian jantung
mamalia yang lain ialah corda tendenae, apecordis, musculus papilaris, dan
serat antar ventrikel.
2. CO atau cardiac output bisa dihitung dengan rumus :
CO = HR × SV
Keterangan :
HR = heart rate/denyut jantung
CO = cardiac output/volume darah semenit
SV = stroke volume/voume sekuncup
3. Meningkatnya aktivitas dapat mengakibatkan naiknya cardiac output. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam hukum straling, yaitu bahwa dalam batas-batas
normal, otot jantung akan berkontraksi lebih kuat bila serabutnya
direnggangkan. Sewaktu olahraga sejumlah darah vena akan kembali ke dalam
atrium kanan terus ke ventrikel kanan dengan cepat dan banyak. Hal ini akan
meregangkan serabut-serabut otot ventrikel kanan, dengan demikian kekuatan
kontraksi dan cardiac output ventrikel kanan akan bertambah kemudian pada
gilirannya ventrikel kiri juga akan berkontraksi lebih kuat.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi cardiac output adalah frekuensi denyut
jantung dan volume troke (volume denyutan), yaitu volume darah yang
dipompakan oleh ventrikel kiri setiap sistol.
Morgan, Edward G., Mikhail, Maged S., and Murray, Michael J. 2002. Clinical
Anesthesiology. (3rded). New York: McGraw-Hill Companies Inc.
Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, PP, 529, 549, 587.
Guyton AC, Hall JE.2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, PP: 137,147.
Situs Internet
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31637/4/Chapter%20II.pdf
2
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
Disusun oleh :
Ahmad Naharuddin Ramadhan
12304241032
Pendidikan Biologi Subsidi
VIII. TUJUAN
VIII.1. Tujuan Kegiatan
Mengukur tekanan darah sistole dan diastole.
VIII.2. Kompetensi Khusus
A. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran tekanan darah sistple dan
diastole.
B. Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
tekanan darah sistole dan diastole.
X.2. Pembahasan
Jantung adalah pompa otot beruang empat yang mendorong darah
mengelilingi sirkulasi. Jantung terutama tersusun dari jaringan otot jantung.
Kedua atria mempunyai dinding yang relatif tipis dan berfungsi sebagai ruangan
penampungan bagi darah yang kembali ke jantung, dan hanya memompa darah
dalam jarak yang sangat dekat menuju ventrikel. Ventrikel mempunyai dinding
yang lebih tebal dan jauh lebih kuat dibandingkan dengan atrium -khususnya
ventrikel kiri, yang harus memompa darah keluar ke seluruh organ tubuh melalui
sirkuit sistemik. Empat katub dalam jantung berfungsi untuk mencegah aliran
balik darah (Campbell dkk, 2000:47).
Jantung secara bergantian berkontraksi dan berelaksasi dalam siklus
berirama. Ketika berkontraksi, jantung memompa darah; ketika berelaksasi, bilik-
bilik akan terisi dengan darah. Satu urutan lengkap pemompaan dan pengisian
disebut siklus jantung (cardiac cycle). Fase kontraksi siklus disebut sistole, dan
fase relaksasi disebut diastole (Campbell dkk, 2000:47).
Darah yang dipompa ke luar jantung memiliki kekuatan dan kecepatan
mengalir tertentu. Kekuatan ini dilanjutkan oleh pembuluh nadi. Oleh karena otot
pembuluh nadi elastis, maka nadi ikut berdenyut. Berdasar hal tersebut, tekanan
darah selanjutnya dapat diukur menggunakan sfignomanometer.
Sphygmomanometer terdiri dari sebuah pompa, sumbat udara yang dapat
diputar, kantong karet yang terbungkus kain, dan pembaca tekanan, yang bisa
berupa jarum mirip jarum stopwatch atau air raksa.
Cara menggunakan tensimeter air raksa adalah :
1. Pemeriksa memasang kantong karet terbungkus kain (cuff) pada lengan atas.
2. Stetoskop ditempatkan pada lipatan siku bagian dalam.
3. Kantong karet kemudian dikembangkan dengan cara memompakan udara ke
dalamnya. Kantong karet yang membesar akan menekan pembuluh darah
lengan (brachial artery) sehingga aliran darah terhenti sementara.
4. Udara kemudian dikeluarkan secara perlahan dengan memutar sumbat udara.
5. Saat tekanan udara dalam kantong karet diturunkan, ada dua hal yang harus
diperhatikan pemeriksa. Pertama, jarum penunjuk tekanan, kedua bunyi denyut
pembuluh darah lengan yang dihantarkan lewat stetoskop. Saat terdengat
denyut untuk pertama kalinya, nilai yang ditunjukkan jarum penunjuk tekanan
adalah nilai tekanan sistolik.
6. Seiring dengan terus turunnya tekanan udara, bunyi denyut yang terdengar
lewat stetoskop akan menghilang. Nilai yang ditunjukkan oleh jarum
penunjuk tekanan saat bunyi denyut menghilang disebut tekanan diastolic
Tekanan darah sistol adalah tekanan darah yang direkam selama kontraksi
ventrikuler. Tekanan darah diastole adalah tekanan darah yang direkam selama
relaksasi ventricular. Tekanan darah normal pada orang dewasa yang sehat
pada umumnya adalah 120/80 mmHg. Tekanan denyutan adalah perbedaan
antara tekanan sistolik dan diastolik. Tekanan denyutan normal kira-kira 40
mmHg yang memberikan informasi tentang kondisi arteri (Soewolo dkk, 2005:
265-261).
Dari praktikum yang telah dilakukan, praktikan mengamati tekanan darah
dari probandus dalam keadaan normal dan setelah melakukan aktivitas selama 15
menit, dan didapati hasilnya bahwa rerata tekanan darah (sistole/diastole) seluruh
mahasiswa saat dalam kondisi normal adalah 109/73 mmHg. Sedangkan rerata
tekanan darah (sistole/diastole) seluruh mahasiswa dalam kondisi setelah
beraktivitas adalah 123/79 mmHg. Dapat dikatakan tekanan darah dari seluruh
praktikan masih dalam kadar yang normal. Hal ini dapat dilihat dalam tabel
berikut :
TEKANAN DARAH
KATEGORI
SISTOLE DIASTOLE
Normal < 130 mmHg < 80 mmHg
Normal Tinggi 130-39 mmHg 85-89 mmHg
Hipertensi
- Ringan 140-159 mmHg 90-99 mmHg
- Sedang 160-179 mmHg 100-109 mmHg
- Berat 180-209 mmHg 110-109 mmHg
- Sangat berat >210 mmHg >120 mmHg
(Soewolo dkk, 2005: 265-261).
Selain itu, dapat terlihat bahwa ada perbedaan tekanan darah antara sebelum
dan sesudah melakukan aktivitas. Setelah melakukan aktivitas, tekanan darah
(baik sistole maupun diastole) cenderung mengalami kenaikan. Hal ini
dikarenakan denyut nadi merupakan cermin respon jantung terhadap kebutuhan
oksigen tubuh. Kecepatan denyut nadi dapat digunakan sebagai patokan respon
tubuh terhadap kebutuhan oksigen pada keadaan basal. Pada perubahan posisi
tubuh dari berbaring telentan, duduk, dan berdiri, tekanan darah mengadakan
penyusaian untuk dapat tetap menunjang kegiatan tubuh. Pengukuran tekanan
sistolik dan diastolic mengalami fluktasi, seharusnya tekanan sistolik dan
diastolic menunjukkan peningkatan seiring dengan meningkatnya aktivitas.
Naiknya tekanan sistolik dan diastolik dipengaruhi oleh :
1. Tonus Otot
Tonus otot ketika berbaring telentang lebih kecil dibandingkan dengan
tonus pada saat duduk atau berdiri. Ketika duduk atau berdiri tonus otot
meningkat sehingga oksigen yang dibutuhkan menjadi lebih besar dan curah
jantung (cardiac output) menjadi lebih besar. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan sistolik dan tekanan diastolic serta denyut jantung.
(Mohrman D and Jane H,2006)
2. Efek Gravitasi dan baroreseptor
Pada perubahan posisi tubuh, tekanan darah bagian atas tubuh akan
menurun karena pengaruh gravitasi. Darah akan mengumpul pada pembuluh
kapasitans vena ekstermitas inferior sehingga pengisian atrium kanan jantung
berkurang dengan sendirinya curah jantung juga berkurang. Penurunan curah
jnatung akibat pengumpulan darah pada anggota tubuh bagian bawah cenderung
mengurangi darah ke otak. Secara reflektoris, hal ini akan merangsang
baroreseptor. Baroreseptor banyak terdapat pada arcus aorta dan sinus caroticus.
Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan tekanan pembuluh
darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen,
peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung serta sekresi
zat-zat vasoaktif. Kedua efek ini (gravitasi dan baroreseptor) dapat meningkatkan
tekanan darah sistolik dan diastolic serta denyut nadi. (Mohrman D. and Jane H.,
2006)
Secara umum, Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor, yaitu faktor
fisiologis dan faktor patologis. Faktor fisiologis ialah faktor yang berkaitan
langsung terhadap kondisi jantung. Sedangkan faktor patologis adalah faktor
yang berhubungan dengan kondisi tubuh secara fisik.
Faktor fisiologis dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu, :
a. Kelenturan dinding arteri
b. Volume darah, semakin besar volume darah maka semakin tinggi tekanan
darah
c. Kekuatan gerak jantung
d. Viscositas darah, semakin besar viskositas maka semakin besar pula
resistensi terhadap aliran
e. Curah jantung, semakin tinggi curah jantung maka tekanan darah
meningkat
f. Kapasitas pembuluh darah, semakin besar kapasitas pembuluh darah maka
semakin tinggi tekanan darah.
Faktor patologis dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu, :
a. Posisi tubuh, baroresepsor akan merespon saat tekanan darah turun dan akan
berusaha menstabilkan tekanan darah.
b. Aktifitas fisik, aktifitas fisik membutuhkan energy sehingga butuh aliran
yang lebih cepat untuk suplai O2 dan nutrisi (tekanan darah naik)
c. Temperature, menggunakan system rennin-angiotensin vasokonstriksi
perifer. Temperature pun dapat berkaitan dengan aktifitas, suhu yang tinggi
diakibatkan karena aktifitas yang banyak ssedangkan suhu yang rendah
dikarenakan aktifitas yang cenderung ringan.
d. Usia, semakin bertambah usia, semakin bertambah pula tekanan darah hal ini
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas pembuluh darah
e. Jenis kelamin, wanita cenderung memiliki tekanan darah rendah karena
komposisi tubuhnya yang lebih banyak lemak sehingga butuh O2 lebih untuk
pembakaran. Sedangkan pria yang memiliki banyak aktifitas pun cenderung
memiliki tekanan darah yg lebih tinggi
f. Emosi, emosi akan menaikkan tekanan darah karena pusat pengatur emosi
akan menset baroresepsor untuk menaikkan tekanan darah. Emosi akan
memicu kerja hormone adrenalin, adrenalin pria lebih tinggi karena
dipengaruhi oleh syaraf parasimpatis (Soewolo dkk, 2005: 265-261)..
XI. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Tekanan sistole dan diastole dapat diukur dengan menggunakan
sphygmomanometer yang ditempatkan di siku dan stetoskop yang ditempatkan
di atas arteri brakhialis di sisi dalam siku tepat di bawah manset.
2. Tekanan darah dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor fisiologis yang terdiri
atas : kelenturan dinding arteri; volume darah; kekuatan gerak jantung;
viskositas darah; curah jantung; dan kapasitas pembuluh darah serta faktor
patologis yang terdiri atas : posisi tubuh; aktivitas fisik; temperatur; usia; jenis
kelamin; dan emosi. Berkaitan dengan praktikum yang telah dilakukan
tekanan adarah akan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya
aktivitas tubuh yang dilakukan.
XII. DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2000. Biologi, Edisi Kelima-
Jilid 3. (Terjemahan Wasmen Manalu). Jakarta: Erlangga. (Buku asli
diterbitkan tahun 1999).
Mohrman D. and Jane H. 2006. Cardiovascular physiology. Sixth edition. New
York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
Soewolo, Soedjono Basoeki, & Titi Yudani. 2005. Fisiologi Manusia. Malang:
Universitas Negeri Malang.
3
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
Disusun oleh :
Ahmad Naharuddin Ramadhan
12304241032
Pendidikan Biologi Subsidi
XIV. TUJUAN
XIV.1. Tujuan Kegiatan
Mengukur kadar hemoglobin darah.
XIV.2. Kompetensi Khusus
f) Mahasiswa dapat melakukan pengukuran kadar hemoglobin darah.
g) Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kadar hemoglobin darah.
Kadar Hb (gram/100
NAMA Jenis Kelamin Umur
ml)
Ahmad Saiful Abid L 19 10
Failasuf Aulia Nugroho L 20 11
Ikhsanudin L 19 11
Adimas Pandu Pribadi L 19 9
Ahmad Naharuddin
Ramadhan L 19 12
Maulana Malik Irsyad L 20 12
Sudhira Winaswan Gusti L 20 13
Rata-rata 11,14
Simpangan baku 1,35
Kisaran umur 19-20 tahun
XVI.2. Pembahasan
Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk bulat yang terdiri
dari 4 subunit. Setiap subunit mengandung satu bagian heme yang
berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin
yang mengandung besi. Polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian
globin dari molekul hemoglobin. Ada dua pasang polipeptida didalam setiap
molekul hemoglobin (Ganong,2003).
Hemoglobin (Hb) adalah molekul fungsional yang terdapat di dalam
sitoplasma eritrosit (sel darah merah) dan hampir mengisi 34% ruang dalam
sel darah merah. Fungsi utama Hb adalah untuk mengangkut oksigen dari
paru-paru ke jaringan dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru.
Komponen utama sel darah merah adalah protein hemoglobin yang
mengangkut O2 dan CO2 dan mempertahankan pH normal melalui
serangkaian dapar intraselular. Molekul-molekul hemoglobin terdiri dari dua
pasang rantai polipeptida dan empat gugus hem,masing-masing mengandung
sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sangat
sempurna (Supriasa,2001).
Hemoglobin merupakan senyawa pembawa O2 pada sel darah merah.
Hemogloboin dapat diukur secara kimia dan jumlah. Hemoglobin/100 ml
dalam darah dapat digunakan sebagai indek kapasitas sebagai O2 pada darah.
Kandungan hemoglobulin yang rendah dengan demikian mengindikasikan
anemia (Supriasa, 2001).
Pengertian lain hemoglobin adalah pigmen merah pembawa O2 pada
eritrosit dan di bentuk oleh eritrosit yang berkembang dalam sum-sum
tulang. Pembentukan berlangsung dari setaium perkembangan eritroblas
sampai retukulosit. Molekul-molekul Hemoglobin terdiri atas dua pasang
rantai polipeptida (Globin) dan empat kelompok heme (Price & Wilson,
2004). Globulin merupakan satu protein yang terbentukdari empat polipetida
yang sangat berlipatlipat. Sedangkan heme merupakan gugus nitrogenosa
non protein yang mengandung besi (Sherwood, 2001).
Sel-sel darah merah mampu mengkonsentrasikan hemoglobin dalam
cairan sel sampai sekitar 34 gm/dl sel. Konsentrasi ini tidak pernah
meningkat lebih dari nilai tersebut, karena ini merupakan batas metabolik
dari mekanisme pembentukan hemoglobin sel. Selanjutnya pada orang
normal, persentase hemoglobin hampir selalu mendekati maksimum dalam
setiap sel, namun bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang
berkurang, maka persentase hemoglobin dalam darah merah juga menurun
karena hemoglobin untuk mengisi sel kurang.
Bila hematokrit (persentase sel dalam darah normalnya 40 sampai 45
persen) dan jumlah hemoglobin dalam masing-masing sel nilainya normal,
maka seluruh darah seorang pria rata-rata mengandung 16 gram/dl
hemoglobin, dan pada wanita rata-rata 14 gram/dl (Guyton & Hall,
1997).Kadar hemoglobin (Hb) darah pada kondisi normal bervariasi pada
manusia sekitar 15,5 gr/dL (pada laki-laki) dan 14,4 gr/dL (pada perempuan).
Pada kondisi tertentu jumlah SDM mengalami penurunan atau sebaliknya
peningkatan.
Hemoglobin dibentuk dalam sitoplasma sel sampai stadium retikulosit.
Setelah inti sel dikeluarkan, hilang juga RNA dari dalam sitoplasma,
sehingga dalam sel darah merah tersebut tidak dapat dibentuk protein lagi,
begitu juga berbagai enzim yan sebelumnya terdapat dalam sel darah merah
dan protein membran sel (Suyono,2001).
Pembentukan hemoglobin dimulai dalam proeritroblas dan kemudian
dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit, karena ketika retikulosit
meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah, maka
retikulosit tetap membentuk sedikit hemoglobin selama beberapa hari
berikutnya (Guyton & Hall, 1997).
Hemoglobin tersusun atas protein globin dan feroprotoporfirin (heme)
yang berikatan secara non kovalen. Protein globin Hb A (dewasa) terdiriatas
80 lebihasam amino dansetiap subunit terdiriatas 7 segmen helik yang
ditandai A-H. Heme pada molekul Hb merupakan atom Fe, dan setiap
molekul Hb memiliki 4 atom Fe dalambentuk Fe+2 (ferro) yang berperan
mengikat oksigen secara reversibel. Dengan demikian, setiap molekul Hb
teroksigenasi atau disebut HbO2 (oksiHb) mengandung 4
moloksigen.Molekul pembawa oksigen pada vertebrata ialah hemoglobin dan
mioglobin. Hemoglobin berasal dari kata ”hemo/heme” dan “globin” dalam
bahasa Yunani, dimana hemo sendiri berarti “darah” sedangkan globin
adalah protein yang terdiri atas 4 unit polipeptida atau 4 subunit protein yang
mencakup keluarga dari hemoglobin dan myoglobin.
Dalam praktikum ini, praktikan menggunakan metode Sahli untuk
mengukur kadar hemoglobin dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, praktikan mensterilkan kulit ujung jari tengah atau jari manis
naracoba dengan kapas alkohol dan membiarkan hingga mengering,
kemudian menusuk ujung jari tengah atau jari manis naracoba dengan
menggunakan blood lancet steril (disposable) sehingga darah keluar dan
menghisap darah tersebut dengan pipet khusus yang telah disediakan sampai
tanda garis pada pipet, kemudian mengsi tabung berskala dari hemometer
Sahli dengan larutan HCl 0,1 N, kemudian meniup darah yang terdapat
dalam pipet ke dalam tabung hemometer yang telagh berisi NaCl 0,1 N,
kemudian diaduk dan ditambahkan sedikit demi sedikit aquades hingga
warnanya sesuai dengan warna standar dari tabung hemometer Sahli,
kemudian membaca dan mencatat angka pada tabung berskala yang
menunjukkan kadar Hb dalam gr/100 mL darah atau dr % atau gr/dL.
Metode sahli merupakan satu cara penetapan hemoglobin secara
visual. Darah diencerkan dengan larutan HCl sehingga hemoglobin berubah
menjadi hematin asam. Untuk dapat menentukan kadar hemoglobin
dilakukan dengan mengencerkan larutan campuran tersebut dengan aquadest
sampai warnanya sama dengan warna batang gelas standar.
Dari percobaan tersebut, didapati hasil sebagai berikut :
Untuk probandus perempuan, nilai tertinggi kadar hemoglobin adalah
15,5 dan terendahnya adalah 7, dengan rata-rata sebesar 10,23. Adapun untuk
probandus laki-laki nilai tertingginya adalah 13 dan terendahnya adalah 9.
Dari hasil tersebut kita dapat interpretasikan sebagai berikut :
1) Hemoglobin >10 gram % : Gejala terjadi jika system transpor O2
mengalami stres karena meningkatnya permintaan O2 (misalnya :
latihan, demam) atau karena berkurangnya oksigenasi darah
(misalnya : gangguan paru-paru, tempat tinggi, merokok, pajanan
terhadap karbon monoksida).
2) Hemoglobin 8 – 10 gram % : Gejala meningkatnya curah jantung
pada saat istirahat dapat diperhatikan (misalnya : berdebar-debar)
terutama dalam pasien tua, tetapi sebagai aturan umum gejala tidak
berat.
3) Hemoglobin < 8 gram % : Meningkatnya gejala-gejala pada saat
istirahat, tergantung pada cadangan kardiorespiratorius (Isbister dkk.,
1999).
Dari hasil tersebut kita belum dapat membandingkan apakah jenis
kelamin mempengaruhi kadar hemoglobin dikarenmakan sampel yang tidak
representatif, karena jumlah perempuan sebanyak 38 orang dan laki-laki
hanya 7 orang saja. Tetapi kita dapat melihat dalam pustaka. Berikut ini
beberapa faktor yang mempengaruhi kadar Hemoglobin antara lain:
1) Usia
Anak-anak, orang tua, ibu yang sedang hamil akan lebih mudah
mengalami penurunan kadar Hemoglobin. Pada anak-anak dapat
disebabkan karena pertumbuhan anak-anak yang cukup pesat dan tidak
di imbangi dengan asupan zat besi sehingga dapat menurunkan kadar
Hemoglobin (National Anemia Action Council,2009).
2) Jenis Kelamin
Perempuan lebih mudah mengalami penurunan daripada laki-laki,
terutama pada saat menstruasi (Curtale et al., 2000).
3) Penyakit Sistemik
Beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi kadar Hemoglobin
yaitu Leukimia, thalasemia, tuberkulosi. Penyakit tersebut dapat
mempengaruhi produksi sel darah merah yang disebabkan karenan
terdapat gangguan pada sum-sum tulang (Hoffbrand et al., 2005).
4) Pola Makan
Pola makan adalah menu makanan yang dalam keseharian oleh
seseorang. Pola makan yang sehat tercantum dalm pemilihan menu
makanan yang seimbang (Prasetyono, 2009). Sumber zat besi terdapat
dimakanan bersumber dari hewani dimana hati merupakan sumber yang
paling banyak mengandung Fe (antara 6,0 mg sampai dengan 14,0 mg).
Sumber lain juga berasal dari tumbuh-tumbuhan tetapi kecil kandunganya
sehingga bisa diabaikan (Gibson, 2005). Zat besi didalam makanan
berbentuk hem yaitu berikatan dengan protein atau dalam bentuk nonhem
yang berbentuk senyawa besi inorganik yang komplek.
Kadar hemoglobin dalam tubuh harus pada nilai yang normal.
Apabila kadar hemoglobin di bawah normal akan terjadi hal-halsebagai
berikut :
1) Sering pusing. Hal ini disebabkan otak sering mengalami periode
kekurangan pasokan O2 yang di bawa hemoglobin terutama saat tubuh
memerlukan tenaga yang banyak.
2) Mata berkunang-kunang. Kurangnya O2 otak akan mengganggu
pengaturan saraf-saraf pusat mata.
3) Pingsan. Kekurangan O2 dalam otak yang bersifat ekstrim/mendadak
dalam jumlah besar akan menyebabkan pingsan.
4) Nafas cepat. Jika Hemoglobin kurang, untuk memenuhi kebutuhan O2
maka kompensasinya menaikkan frekwensi nafas. Orang awam
menggambarkan ini dengan sesak nafas.
5) Jantung berdebar. Untuk menculupi kebutuhan O2 maka jantung harus
memompa lebih sering agar darah yang mengalir di paruparu lebih cepat
mengikat O2.
6) Pucat. Hemoglobin adalah zat yang zat yang mewarnai darah menjadi
merah maka kekurangan yang ekstrim akan menyebabkan pucat pada
tubuh. Untuk mengetahui secara pasti tentunya harus dengan
pemeriksaan kadar Hemoglobin secara laboratorik. Kadar hemoglobin
adalah salah satu pengukuran tertua dalam laboratorium kedokteran dan
tes darah yang paling sering dilakukan (Isbister dkk., 1999).
XVII. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengukuran kadar hemoglobin darah dapat dilakukan dengan berbagai cara, di
antaranya adalah dengan metode Sahli. Praktikan melakukannya dengan cara
Pertama, praktikan mensterilkan kulit ujung jari tengah atau jari manis
naracoba dengan kapas alkohol dan membiarkan hingga mengering, kemudian
menusuk ujung jari tengah atau jari manis naracoba dengan menggunakan
blood lancet steril (disposable) sehingga darah keluar dan menghisap darah
tersebut dengan pipet khusus yang telah disediakan sampai tanda garis pada
pipet, kemudian mengsi tabung berskala dari hemometer Sahli dengan larutan
HCl 0,1 N, kemudian meniup darah yang terdapat dalam pipet ke dalam
tabung hemometer yang telagh berisi NaCl 0,1 N, kemudian diaduk dan
ditambahkan sedikit demi sedikit aquades hingga warnanya sesuai dengan
warna standar dari tabung hemometer Sahli, kemudian membaca dan mencatat
angka pada tabung berskala yang menunjukkan kadar Hb dalam gr/100 mL
darah atau dr % atau gr/dL.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin darah adalah di
antaranya : usia, jenis kelamin, penyakit sistemik, dan pola makan.
Slamet Suyono,dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Suheimi, Hk. Anemia dalam Kehamilan.
4
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
UJI GOLONGAN DARAH DENGAN SISTEM “ABO” DAN
MENENTUKAN WAKTU KOAGULASI DARAH
Disusun oleh :
Ahmad Naharuddin Ramadhan
12304241032
Pendidikan Biologi Subsidi
XX. TUJUAN
XX.1. Tujuan Kegiatan
a) Menentukan golongan darah dengan sistem “ABO”
b) Menentukan waktu koagulasi darah.
XX.2. Kompetensi Khusus
C. Mahasiswa dapat melakukan uji penentuan golongan darah dengan
sistem “ABO”
D. Mahasiswa dapat menerangkan dasar-dasar dan alasan penentuan
golongan darah dengan sistem “ABO”
E. Mahasiswa dapat melakukan cara menentukan waktu koagulasi
darah.
F. Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang menentukan
waktu koagulasi darah.
0A atau AA A A Anti-B
0B atau BB B B Anti-A
AB AB A dan B -
XXIII. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Uji golongan darah sistem “ABO” dilakukan sebagai berikut : Jika darah
seseorang yang diuji dicampur dengan serum aglutinin A menggumpal, maka
kemungkinan golongan darah orang tersebut adalah A atau AB. Jika darah
tidak menggumpal, kemungkinan adalah golongan darah B atau O. Apabila
diuji dengan serum aglutinin B menggumpal, kemungkinan adalah golongan
darah B atau AB. Akan tetapi bila tidak menggumpal, kemungkinannya adalah
golongan darah A atau O.
2. Golongan darah yang berbeda yaitu A, B, AB dan O ditentukan oleh sepasang
gen, yang diwarisi dari kedua orang tua. Setiap golongan darah dapat dikenal
dari zat kimia yang disebut antigen (aglutinogen), yang terletak di permukaan
sel darah merah. Golongan darah A jika mempunyai antigen (aglutinogen) A
dan aglutinin β (Anti-B). Golongan darah B jika mempunyai antigen
(aglutinogen) B dan aglutinin α (Anti-A). Golongan darah AB jika mempunyai
antigen (aglutinogen) A dan B dan tidak mempunyai aglutinin α maupun β
(Anti-A dan Anti-B). Golongan darah O jika tidak mempunyai antigen
(aglutinogen) A dan B serta tidak pula mempunyai aglutinin α maupun β
(Anti-A dan Anti-B).
3. Penghitungan waktu pembekuan darah ini dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut : Mensterilkan ujung jari tengah atau jari manis dengan kapas
alkohol, dan membiarkan hingga mengering, kemudian menusuk ujung jari
tengah atau jari manis naracoba dengan menggunakan blood lancelet steril
(disposible) sehingga darah keluar, kemudian meneteskan satu tetes darah
pada kaca obyek yang telah dipersiapkan di atas, kemudian setiap 30 detik
melakukan tusukan menggunakan jarum pentul pada tetes darah tersebut, lalu
mengamati adanya benang-benang fibrin, jika ada kemudian mencatat
waktunya. Dan waktu tersebut merupakan waktu koagulasi darah.
4. Pembekuan darah dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti : Fibrinogen,
Prothrombin, Jaringan Tromboplastin, Kalsium, Proaccelerin, Proconvertin,
dll.
Azmielvita dkk. (2009). Genetika Dasar. FK UNRI 7 April 2010. Dibaca pada
http://yayanakhyar.wordpress.com
Fitri. (2007). Manfaat Mengetahui Golongan Darah. 8 April 2010. Dibaca pada
http://www.wikimu.com
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Edisi Keenam.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suryo. 1996. Genetika Untuk Strata I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
5
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
XXV. JUDUL
Menghitung Sel Darah Merah (Erythrocyte)
XXVI. TUJUAN
XXVI.1. Tujuan Kegiatan
Menghitung jumlah SDM
XXVI.2. Kompetensi Khusus
h) Mahasiswa dapat melakukan penghitungan jumlah SDM.
i) Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah SDM.
XXVIII.2. Pembahasan
Darah merupakan medium transport tubuh, volume darah manusia
sekitar 7% - 10% berat badan normal dan berjumlah sekitar 5 liter. Keadaan
jumlah darah pada tiap – tiap orang tidak sama, bergantung pada usia,
pekerjaan, serta keadaan jantung atau pembuluh darah. (Handayani dan
Haribowo, 2008)
Konsentrasi sel-sel darah merah dalam darah pada pria normal 4,6-6,2
juta/mm3, pada perempuan 4,2-5,4 juta/mm3, pada anak-anak 4,5-5,1
juta/mm3. Dan konsentrasi hemoglobin pada pria normal 13-18 g/dL, pada
perempuan 12-16 g/dL, pada anak-anak 11,2-16,5 g/dL (Kamus Kedokteran
Dorland,1998)
Pematangan eritrosit dalam sumsum tulang berlangsung sekitar 7
hari. Dalam peredaran darah perifer inti umumnya sudah hilang. Retikulosit
adalah sel termuda dalam darah perifer. Kira – kira 10% dari eritrosit dalam
darah perifer adalah retikulosit. Hal ini berarti hanya 1% dari jumlah jangka
hidup eritrosit adalah retikulosit. Sedangkan panjang masa hidup eritrosit
setelah pelepasan dari sumsum tulang kurang lebih 120 hari sampai
mengalami penuaan dan destruksi. (Kosasih E.N dan Kosasih A.S.,2008)
: tidak dihitung
: dihitung
XXIX. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
3. Jumlah SDM dalam darah pada pria normal berkisar antara 4,6-6,2 juta/mm3,
dan pada perempuan berkisar antara 4,2-5,4 juta/mm3.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah SDM di antaranya ialah : Pertama :
Faktor fisiologis karena adaptasi terhadap lingkungan lokal, misalnya adaptasi
pada tempat tinggi (pegunungan), maka jumlah sel darah merah dapat
mencapai 8 juta sel/mm3, hal ini disebut physicological polycythemia. Kedua :
faktor patologis karena adanya tumor pada sum-sum tulang, maka jumlah sel
darah merah dapat mencapai 10-11 juta sel/mm3 hal ini disebut polycythemia
vera.
Hartadi, Diaz dkk. 2008. ” Simulasi Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah.”
Transmisi. Volume 8, Nomor 2, Desember 2004, halaman 1 – 6
Harjana, Tri dan Heru Norcahyo. 2014. Petunjuk Praktikum Fisisologi Hewan.
FMIPA UNY: Yogyakarta.
6
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
XXXI. JUDUL
Menghitung Sel Darah Putih (Leukocyte)
XXXII. TUJUAN
XXXII.1. Tujuan Kegiatan
Menghitung jumlah sel darah putih (SDP).
XXXII.2. Kompetensi Khusus
j) Mahasiswa dapat melakukan penghitungan jumlah sel darah putih
(SDP).
k) Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah sel darah putih (SDP).
XXXIV.2. Pembahasan
Darah merupakan medium transport tubuh, volume darah manusia
sekitar 7% - 10% berat badan normal dan berjumlah sekitar 5 liter. Keadaan
jumlah darah pada tiap – tiap orang tidak sama, bergantung pada usia,
pekerjaan, serta keadaan jantung atau pembuluh darah. (Handayani dan
Haribowo, 2008)
Darah terdiri atas 2 komponen utama:
c. Plasma darah : bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,
elektrolit, dan protein darah.
d. Butir – butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas:
4) Eritrosit : sel darah merah (SDM)- red blood cell (RBC)
5) Leukosit : sel darah putih (SDP)-white blood cell (WBC)
6) Trombosit : butir pembeku- platelet
(Bakta I Made, 2006)
Darah dalam sirkulasi mengandungsekitar 4000 sampai 11.000 sel
darah putih per liter. Sel darah putih darah perifer normal terbagi secara
morfologi dan fungsional menjadi 3 jenis sel darah putih, yakni: granulosit,
limfosit, dan monosit. Sel-sel tersebut membentuk populasi leukosit normal,
tetapi terdapat juga sejumlah kecil sel darah putih yang mungkin berada
dalam stadium kedua pada fase pematangan. (Ronald A. Sacher dan Richard
A. McPherson. 2000)
Sel darah putih terbentuk dari sumsum tulang merah. Dalam sumsum
tulang merah terdapat stem sel yang mampu berkembang lebih lanjut menjadi
sel darah, seperti gambar di bawah:
(Mader, Sylvia S. 2010: 117)
Sel darah putih berbeda dengan sel darah merah. Selain jumlahnya
yang lebih sedikit daripada sel darah merah, sel darah putih memiliki ukuran
yang lebih besar, memiliki inti sel (nucleus), tidak memiliki hemoglobin, dan
tidak berwarna (bening) kecuali pada bagian granul. Sel darah putih terbagi
menjadi dua yakni granulosit dan agranulosit. Kedua sel darah putih tersebut
sebenarnya memiliki butiran pada kedua sitoplasma yang mengelilingi
nucleus. Namun granula pada granulosit lebih Nampak ketimbang
agranulosit. (Mader, Sylvia S. 2010: 122)
Jenis Sel darah Putih Persentase dalam Sel Darah Fungsi dan deskripsi
Putih
Granulosit
Berdiameter 10-14 um
Berdiameter 10-14 um
Berdiameter 10-12 um
Agranulosit
Berdiameter 5-17 um
Berdiameter 10-24 um
XXXV. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
5. Jumlah SDM dalam darah pada pria normal berkisar antara 4,6-6,2 juta/mm3,
dan pada perempuan berkisar antara 4,2-5,4 juta/mm3.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah SDM di antaranya ialah : Pertama :
Faktor fisiologis karena adaptasi terhadap lingkungan lokal, misalnya adaptasi
pada tempat tinggi (pegunungan), maka jumlah sel darah merah dapat
mencapai 8 juta sel/mm3, hal ini disebut physicological polycythemia. Kedua :
faktor patologis karena adanya tumor pada sum-sum tulang, maka jumlah sel
darah merah dapat mencapai 10-11 juta sel/mm3 hal ini disebut polycythemia
vera.
Nurcahya, Heru dan Tri Harjana. Petunjuk Praktikum Fisisologi Hewan. FMIPA
UNY: Yogyakarta.
Thienes, Hobart Clinton dan Thomas J. Haley. 1972. Clinical Toxicology. Lea &
Febiger
Nurcahya, Heru dan Tri Harjana. Petunjuk Praktikum Fisisologi Hewan. FMIPA
UNY: Yogyakarta.
7
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
XXXVII. JUDUL
Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Eritrosit
XXXVIII. TUJUAN
XXXVIII.1. Tujuan Kegiatan
d) Mengetahui kecepatan hemolisis dan krenasi eritrosit pada berbagai
konsentrasi larutan
e) Mengetahui persentase hemolisis eritrosit pada berbagai
konsentrasi larutan.
XXXVIII.2. Kompetensi Khusus
l) Mahasiswa dapat melakukan cara penentuan kecepatan hemolisis
dan krenasi eritrosit pada berbagai konsentrasi larutan.
m) Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
peresentase hemolisis eritrosit pada berbagai konsentrasi larutan.
XL.2. Pembahasan
Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Sel
darah merah berbentuk cakram bikonkaf dan dibentuk dalam sumsum tulang.
Pada mamalia sel darah merah kehilangan intinya sebelum masuk sirkulasi.
Pada manusia, sel darah merah hidup dalam sirkulasi 120 hari (Ganong,
1983).
Darah merupakan cairan viskus yang mengalami perubahan pada
fisiknya yang dapat ditemukan pada beberapa penyakit. Komposisi darah
yang unik suatu suspensi sel yang dapat berubah didalam larutan yang kaya
protein menghasilkan sifat fisik yang kompleks. Sebagian besar pembuluh
darah, shear rates (misalnya perbedaan velositas antara lapisan cairan) sangat
tinggi yang bersebelahan dengan dinding arteri besar sebaliknya shear rates
yang rendah terdapat pada vena kecil (Underwood,1999).
Darah merupakan cairan yangterdapat pada hewan tingkat tinggi
yangsangat vital bagi makhluk hidup. Peranandarah dalam tubuh sangat
besar. Fungsidarah antara lain sebagai alat transportasizat seperti oksigen,
bahan hasil metabolisme tubuh, pertahanan tubuh dari serangan kuman, dan
lain sebagainya.Darah terdiri dari bagian cair (plasma)dan bahan bahan intra
seluler. Volumedarah sekitar 5-8% dari total bobot badan (Sonjaya, 2012).
Peristiwa hemolisis dankrenasi merupakan hal yang sangatpenting
untuk diketahui dalammempelajari darah. Hemolisis adalahpecahnya
membran eritrosit, sehinggahemoglobin bebas ke dalam
mediumsekelilingnya (plasma). Sedangkan Krenasi adalah
prosespengkerutan sel darah merah apabilabenda dalam larutan
hipertonik(Ramdhini, 2013 dalam Jihadulhaq(Sonjaya, 2012).
Fisiologi cairan tubuh dan darah menjaga agar volume cairan tubuh
tetap relatif konstan dan komposisinya tetap stabil karena penting untuk
homeostasis yaitu sistem pengaturan yang mempertahankan konstannya
cairan tubuh dan membahas mengenai keseimbangan asam basa serta
pertukaran kompartemen cairan ekstraseluler dan intraseluler (Syaifuddin,
2009: 1).
Darah merupakan cairan ekstrasel yang menyuplai sel-sel dengan
nutrisi dan zat-zat lain yang diperlukan untuk fungsi selular, tetapi sebelum
digunakan zat-zat ini harus ditransfort melalui membran sel dengan dua
proses utama yaitu difusi dan osmosis serta transpor aktif.
Nutrisi dan zat-zat lain akan sampai tujuan jika dalam kondisi
homeostasis (keseimbangan osmosis tercapai). Bagaimana jika kondisi
lingkungan interstisial tidak homeostatis (hipertonis dan hipotonis)?
Penambahan larutan NaCl pekat dapat menyebabkan krenasi pada eritrosit
hewan, misalnya untuk eritrosit hewan homoioterm adalah larutan NaCl yang
lebih pekat dari 0,9 % NaCl, sedangkan untuk eritrosit hewan poikiloterm
adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,7 % (Wiwid, 2011).
Darah merupakan suatu jenis sel yang tersuspensi dalam suatu matriks
cairan yang disebut plasma. Tubuh manusia pada umumnya mengandung
kurang lebih 4 sampai 6 L darah (Campbell dkk, 2000: 53).
Cairan darah merupakan sarana untuk transport makanan maupun sisa-
sisa metabolisme, membawa nutrisi (komponen makanan) mulai dari proses
absorbsi dan mendistribusikannya sampai tingkat intraseluler di mana nutrisi
akan mengalami proses metabolisme. Hasil proses metabolismenya akan
didistribusikan ke seluruh tubuh dan ekskresinya akan dikeluarkan dari
tubuh. Distribusi cairan tubuh dibedakan menjadi cairan intrasel dan cairan
ekstrasel. Cairan intrasel adalah cairan yang berada dalam sel yang
merupakan jumlah cairan terbanyak, ± 70 % dari jumlah total air dalam
tubuh. Sedangkan cairan ekstrasel adalah cairan yang berada di luar sel,
jumlahnya ± 30 % dari cairan seluruh tubuh (Syaifuddin, 2009: 3).
Cairan ekstrasel pada sel hidup terutama interstisial (cairan yang berada
di antara sel jaringan) dan plasma merupakan tempat pengambilan O2, zat
nutrisi, dan pembuangan sisa metabolit serta merupakan lingkungan hidup
yang harus dijaga kelestariannya dengan cara homeostasis agar sel tetap
hidup secara baik dan letaknya dalam tubuh (Syaifuddin, 2009: 4).
Pada vertebrata eritrositnya ada yang berinti dan berbentuk ellipsoid.
Darah manusia dan darah hewan lain terdiri atas suatu komponen cair, yaitu
plasma, dan berbagai bentuk unsur yang dibawa dalam plasma, antara lain sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah.
Plasma terdiri atas 90% air, 7 sampai 8% protein yang dapat larut, 1%
elektrolit dan sisanya 1-2% berbagai zat makanan dan mineral yang lain
(Ville, 1989).
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tekanan osmotik
terhadap eritrosit. Tekanan osmotik sendiri adalah daya dorong air yang
dihasilkan oleh partikel-partikel zat terlarut di dalamnya. Molekul air
mempunyai sifat umum yaitu bergerak secara difusi sesuai dengan gradient
(laju pertambahan) konsentrasi. Air cenderung berdifusi dari daerah zat
terlarut yang sedikit (konsentrasi pelarut tinggi) ke tempat jumlahzat yang
terlarut banyak (konsentrasi pelarut rendah) (Syaifuddin, 2009: 9).
Sedangkan keseimbangan osmotik merupakan kekuatan yang besar untuk
memindahkan air agar dapat melintasi membran sel. Bila cairan interseluler
dan ekstraseluler dalam keseimbangan osmotic, maka perubahan yang
relative kecil pada konsentrasi zat terlarut impermeable dalam cairan
ekstraseluler dapat menyebabkan perubahan luar biasa dalam volume sel.
Berdasarkan konsentrasinya di bandingkan dengan konsentrasi larutan
intraseluler, cairan dibagi menjadi 3 macam :
1. Cairan isotonic. Jika suatu sel diletakkan pada suatu larutan dengan zat
terlarut impermeabel (tidak dapat dilewati) maka sel tidak akan mengerut
atau membengkak karena konsentrasi air dalam cairan intraseluler tidak
dapat masuk atau keluar dari sel sehingga terdapat keseimbangan antara
cairan intraseluler dan ekstraseluler.
2. Cairan hipotonik. Jika suatu sel diletakkan dalam larutan yang mempunyai
konsentrasi zat terlarut impermeabel lebih rendah, air akan berdifusi ke
dalam sel menyebabkan sel membengkak karena mengencerkan cairan
intraseluler sampai kedua larutan mempunyai osmolaritas yang sama.
3. Cairan hipertonik. Jika suatu sel diletakkan dalam larutan yang mempunyai
konsentrasi zat terlarut impermeable lebih tinggi, air akan mengalir keluar
dari sel ke dalam cairan ekstraseluler. Pada keadaan ini sel akan mengerut
sampai kedua konsentrasi menjadi sama (Syaifuddin, 2009: 9-10).
Dalam praktikum ini, praktikan memakai larutan NaCl dengan
konsentrasi yang berbeda-beda untuk melihat terjadinya peristiwa hemolisis
atau krenasi, serta mengetahui kecepatan hemolisis dan krenasi pada masing-
masing konsentrasi larutan. Konsentrasi larutan NaCl yang dipersiapkan
adalah 3%, 1%, 0,9%, 0,7%, 0,5%, dan 0,1%.
Osmosis akan memainkan peranan yang sangat penting salah satunya
pada membran eritrosit saat mengalami peristiwa hemolisis dan krenasi.
Membran eritrosit akan rusakbila dilakukan penambahan larutan hipotonis
atau hipertonis ke dalam darah. Apabila medium di sekitar eritrosit menjadi
hipotonis (karena penambahan larutan NaCl hipotonis), medium tersebut
(plasma dan larutan) akan masuk ke dalam eritrosit melalui membran yang
bersifat semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit menggembung. Bila
membran tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada di dalam sel eritrosit itu
sendiri, maka sel akan pecah.
Menurut teori, isi sel eritrosit hewan homoitherm isotonis terhadap
larutan 0,9% NaCl, oleh karena itu hemolisis akan terjadi apabila eritrosit
hewan Homoitherm dimasukkan kedalam larutan NaCl dengan konsentrasi
dibawah 0,9%. Namun, perlu diketahui bahwa membrane eritrosit memiliki
toleransi osmotic, artinya sampai batas konsentrasi medium tertentu sel
belum mengalami lisis. Kadang-kadang pada suatu konsentrasi larutan
tertentu tidak semua eritrosit mengalami hemolisis. Hal ini menunjukkan
bahwa toleransi osmotis membrane eritrosit berbeda-beda. Pada eritrosit tua
membrane selnya memiliki toleransi rendah (mudah pecah) sedangkan
membrane eritrosit muda memiliki toleransi osmotik osmotic yang lebih
besar (tidak mudah pecah). Pada dasarnya eritrosit sudah mengalami
hemolisis sempurna pada air suling. Hasil hemolisis sempurna eritrosit pada
air suling biasa dianggap larutan standard untuk menentukan tingkat
kerapuhan eritrosit (Soewolo, 1999).
Lisis merupakan istilah umum untuk peristiwa menggelembung dan
pecahnya sel akibat masuknya air ke dalam sel. Lisis pada eritrosit disebut
hemolisis, yang berarti peristiwa pecahnya eritrosit akibat masuknya air ke
dalam eritrosit sehingga hemoglobin keluar dari dalam eritrosit menuju ke
cairan sekelilingnya. Membran eritrosit bersifat permeabel selektif, yang
berarti dapat ditembus oleh air dan zat-zat tertentu, tetapi tidak dapat
ditembus oleh zat-zat tertentu yang lain. Hemolisis ini akan terjadi apabila
eritrosit dimasukkan ke dalam medium yang hipotonis terhadap isi sel
eritrosit. Peristiwa sebaliknya dari hemolisis adalah krenasi, yaitu peristiwa
mengkerutnya membran sel akibat keluarnya air dari dalam eritrosit. Krenasi
dapat terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam medium yang hipertonis
terhadap isi eritrosit (Wiwid, 2011).
Darah dapat mengalami lisis yang merupakan istilah umum untuk
untuk peristiwa menggelembung dan pecahnya sel akibat masuknya air ke
dalam sel. Lisis pada eritrosit disebut hemolisis, yang berarti peristiwa
pecahnya eritrosit akibat masuknya air kedalam eritrosit sehingga
hemoglobin keluar dari dalam eritrosit menuju ke cairan sekelilingnya.
Membrane eritrosit bersifat permeable selektif yang berarti dapat ditembus
oleh air dan zat-zat tertentu, tetapi tidak dapat ditembus oleh zat-zat tertentu
yang lain (Soewolo, 1999).
Hemolisis yang disebabkan oleh perbedaan tekanan osmotic isi sel
dengan mediumnya (cairan di sekitarnya) disebut hemolisis osmotik.
Hemolisis yang lain adalah hemolisis kimiawi dimana medium eritrosit rusak
akibat subtansi kimia. Zat-zat yang dapat merusak membran eritrosit
(termasuk membran sel yang lain) antara lain kloroform, aseton, alcohol,
benzena, dan eter (Soewolo, 2000).
Peristiwa sebaliknya ialah krenasi, yang dapat terjadi apabila eritrosit
dimasukkan ke dalam medium yang hipertonis terhadap isi eritrosit.
Misalnya, untuk eritrosit hewan homoitherm adalah larutan NaCl yang lebih
pekat dari 0,9% sedangkan untuk eritrosit hewan poikilotherm adalah larutan
NaCl yang lebih pekat dari 0,7% (Soewolo, 1999).
Dari hasil praktikum yang dilakukan didapati data kecepatan hemolisis
dan krenasi sebagai berikut :
a. Pada NaCl 0,1 % kecepatan hemolisis tertinggi adalah 1 menit 30
detik.
b. Pada NaCl 0,5 % kecepatan hemolisis tertinggi adalah 35 detik.
c. Pada NaCl 0,7 % kecepatan hemolisis tertinggi adalah 20 detik.
d. Pada NaCl 0,9 % kecepatan rusaknya eritrosit tertinggi adalah 17
detik.
e. Pada NaCl 1% kecepatan krenasi tertinggi adalah 17 detik.
f. Pada NaCl 3% kecepatan krenasi tertinggi adalah 10 detik.
Data yang didapat, sesungguhnya menyelisihi teori bahwa larutan NaCl
yang bersifat isotonis terhadap cairan intraselular eritrosit adalah 0,9%,
dibawah itu bersifat hipotonis sehingga menyebabkan hemolisis eritrosit dan
di atas itu bersifat hipertonis sehingga menyebabkan krenasi eritrosit. Namun
dari data yang ada, peristiwa yang nampak adalah krenasi seluruhnya yang
terus meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi larutan NaCl. Ini dapat
dibilang benar bila di atas konsentrasi 0,9%. Akan tetapi bila di bawah
konsentrasi 0,9% terjadi krenasi, mungkin bisa terjadi karena dua sebab :
Pertama, sebagaimana dijelaskan dalam teori bahwa membrane eritrosit
memiliki toleransi osmotic, artinya sampai batas konsentrasi medium tertentu
sel belum mengalami lisis. Kadang-kadang pada suatu konsentrasi larutan
tertentu tidak semua eritrosit mengalami hemolisis. Hal ini menunjukkan
bahwa toleransi osmotis membrane eritrosit berbeda-beda. Pada eritrosit tua
membrane selnya memiliki toleransi rendah (mudah pecah) sedangkan
membrane eritrosit muda memiliki toleransi osmotik osmotic yang lebih
besar (tidak mudah pecah). Kedua, terjadi kesalahan teknik, yaitu eritrosit
sudah banyak yang mengalami kerusakan sebelum preparat darah dipasang di
mikroskop karena membutuhkan waktu yang lama. Akan tetapi yang nampak
di sini, bahwa kecepatan krenasi bertambah seiring dengan meningkatnya
konsentrasi larutan hipertonis.
Kerusakan membran eritrosit dapat disebabkan oleh antara lain
penambahan larutan hipotonis, hipertonis kedalam darah, penurunan tekanan
permukaan membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan
pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah dll. Apabila
medium di sekitar eritrosit menjadi hipotonis (karena penambahan larutan
NaCl hipotonis) medium tersebut (plasma dan lrt. NaCl) akan masuk ke
dalam eritrosit melalui membran yang bersifat semipermiabel dan
menyebabkan sel eritrosit menggembung. Bila membran tidak kuat lagi
menahan tekanan yang ada di dalam sel eritrosit itu sendiri, maka sel akan
pecah, akibatnya hemoglobin akan bebas ke dalam medium sekelilingnya.
Sebaliknya bila eritrosit berada pada medium yang hipertonis, maka cairan
eritrosit akan keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma), akibatnya
eritrosit akan keriput (krenasi). Keriput ini dapat dikembalikan dengan cara
menambahkan cairan isotonis ke dalam medium luar eritrosit (plasma)
(Soewolo, 1999).
Hemolisis seperti yang dijelaskan diatas disebut hemolisis osmotic,
yaitu hemolisis yang disebabkan oleh perbedaan tekanan osmotic isi sel
dengan mediumnya (cairan disekitarnya). Hemolisis yang lain adalah
hemolisis kimiawi, dimana membrane eritrosit rusak akibat substansi kimia.
Zat-zat yang dapat merusak membrane eritrosit (termasuk membrane sel
yang lain) antara lain adalah: kloroform, asseton, alcohol, benzene dan eter.
Apabila eritrosit mengalami hemolisis maka hemoglobin akan larut
dalam mediumnya. Akibat dari terlarutnya hemoglobin tersebut medium
akan berwarna merah. Makin banyak eritrosit yang mengalami hemolisis,
maka makin merah warna mediumnya. Dengan membandingkan warna
mediumnya. Dengan membandingkan warna mediumnya dengan larutan
standar (eritrosit dalam air suling) maka dapat ditentukan tingkat kerapuhan
membrane eritrosit (tingkat toleransi osmotic membran eritrosit) (Soewolo,
1999).
Bila eritrosit mengalami hemolisis maka hemoglobin akan larut dalam
mediumnya. Akibat dari terlarutnya hemoglobin tersebut, medium akan
berwarna merah. Makin banyak eritrosit yang mengalami hemolisis maka
makin merah warna mediumnya. Dengan dibandingkan warna medium
dengan larutan standar (eritrosit dalam air suling), maka dapat ditentukan
tingkat kerapuhan membran eritrosit (tingkat toleransi osmotik membran
eritrosit) (Soewolo, 2000).
XLI. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sel akan mengalami krenasi jika berada di lingkungan yang hipertonis,
sebaliknya akan mengalami lisis jika berada di lingkungan hipotonis.
Sedangkan bila berada di lingkungan isotonis sel akan berada dalam
kondisi normal.
2. Pada umumnya, eritrosit (sel darah merah) akan mengalami krenasi bila
berada di larutan NaCl dengan konsentrasi > 0,9% dan akan mengalami
hemolisis bila berada di larutan NaCl dengan konsentrasi < 0,9 %. Namun,
kondisi ini tidak mesti berlaku pada semua jenis eritrosit, karena eritrosit
yang muda mempunyai daya dahan terhadap perbedaan konsentrasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan eritrosit yang tua.
3. Kecepatan krenasi akan meningkat seiring dengan mengingkatnya
konsentrasi larutan di sekelilingnya (dalam hal ini NaCl).
8
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
XLIII. JUDUL
Struktur Morfologi Ginjal dan Sifat Fisik Urine
XLIV. TUJUAN
XLIV.1. Tujuan Kegiatan
f) Mengamati struktur anatomi makroskopis ginjal mamalia
(kambing).
g) Mengamati warna, kejernihan, dan pH urine.
XLIV.2. Kompetensi Khusus
n) Mahasiswa dapat melakukan pengamatan struktur anatomi
makrosopis ginjal mamalia (kambing).
o) Mahasiswa dapat menerangkan bagian-bagian ginjal mamalia.
p) Mahasiswa dapat melakukan dan menerangkan pemeriksaan warna
urine.
q) Mahasiswa dapat melakukan dan menerangkan kejernihan urine.
r) Mahasiswa dapat melakukan dan menerangkan pH urine.
http://biologiumum.com
Pengasaman urine
pH darah dipertahankan dalam batas-batas normal meskipun terjadi
penambahan asam dan alkali ke dalam darah dari makanan maupun sebagai
akibat reaksi-reaksi metabolisme. Ruangan ekstrasel dan intrasel keduanya
banyak mengandung sistem buffer yaitu sistem asam karbonat (H2CO3)-
bikarbonat, yang konjugat asamnya yaitu CO2 diatur oleh pusat pernapasan
dan paru-paru., dan HCO-3 plasma diatur oleh ginjal.
Ginjal mengatur konsentrasi bikarbonat plasma dengan dua proses, yaitu
(1) bikarbonat yang difiltrasi semuanya diserap kembali oleh tubulus, (2)
bikarbonat dibentuk lagi dalam tubulus distalis untuk menggantikan
bikarbonat yang digunakan oleh adanya asam-asam yang tidak menguap
(HCl, H3PO4, H2SO4 dan asam-asam organik) dalam cairan ekstrasel sebagai
akibat proses metabolisme (Soewolo.2005:330).
Dalam praktikum kali ini, didapati bahwa warna urine dari 45 probandus
berbeda-beda, ada yang kuning muda; kuning tua; kuning kemerahan; kuning
pekat (+), dan kuning sangat pekat (++).
Pada umumnya, warna urine ditentukan oleh besarnya diuresis; makin
besar diuresis, makin muda warna urine tersebut. Biasanya warna normal
urine berkisar antara warna kuning muda dan kuning tua. Warna itu
disebabkan oleh beberapa macam zat warna, terutama urokom dan urobilin.
Berikut ini adalah beberapa sebab yang dapat mempengaruhi warna
urine
Kuning:
1. Zat warna normal dalam jumlah yang besar; urobilin, urokom
2. Zat warna abnormal ; bilirubin
3. Obat-obatan ; riboflavin (dengan fluoresensi hijau), cascara, santonin,
senna. Zat-zat tersebut berwarna kuning dalam suasana asam.
Hijau:
1. Zat warna normal dalam jumlah besar; indikan
2. Obat-obatan ; evan’s blue, metilen blue
3. Mikroorganisme/kuman; B pyocyaneus
Merah:
1. Zat warna normal dalam jumlah besar; uroeritrin
2. Zat warna abnormal; hemoglobin, porfirin, porfobilin
3. Obat-obatan; senna, cascara, santonin, amidopirin, congo red. Zat-zat
tersebut berwarna merah dalam suasana basa.
4. Mikroorganisme / kuman ; B. Prodigiosus
Coklat:
1. Zat warna normal dalam jumlah besar; indikan
2. Zat warna abnormal; bilirubin, hematin, porfobilin
Coklat tua:
1. Zat warna normal dalam jumlah besar; indikan
2. Zat warna abnormal; darah tua, alkapton, melanin
3. Obat-obatan; derivat fenol, arginol
Serupa susu:
1. Zat normal dalam jumlah besar: fosfat,urat
2. Zat abnormal; getah prostat, zat-zat lemak,chylus, bakteri-bakteri dan
protein yang membeku
Tingkat kejernihan urine probandus juga beragam. Ada yang jernih, agak
keruh, atau sangat keruh. Perlu diperhatikan apakah urine yang dianalisis itu
keruh pada saat dikeluarkan atau setelah dibiarkan beberapa lama. Tidak
semua macam kekeruhan menunjukan sifat abnormal. Urine yang normalpun
akan keruh jika dibiarkan atau didinginkan, kekeruhan ringan itu disebut
nubecula dan terjadi dari lendir, sel-sel epitel dan leukosit yang lambat laun
mengendap. Ada sebab-sebab urine menjadi keruh di antaranya :
1. Bila urine keruh sejak awal ditampung, kemungkinan adanya fosfat yang
cukup banyak (dari konsumsi makanan), adanya bakteri, sel-sel epitel
atau sel eritrosit dan leukosit, chylus yang berasal dari adanya butir-butir
lemak atau adanya zat-zat koloidal lain.
2. Bila urine menjadi keruh setelah didiamkan, kemungkinan adanya
nubecula, urat-urat amorf, fosfat-fosfat amorf, adanya bakteri yang
bukan berasal dari dalam badan namun terdapat pada botol penampung.
Adapun pH urine dari 45 probandus berkisar antara 5-8. Reratanya
sebesar 6,5. Hal ini menunjukkan nilai yang masih normal, karena filtrat
glomerular plasma darah biasanya diasamkan oleh tubulus ginjal dan saluran
pengumpul dari pH 7,4 menjadi sekitar 6 di final urin. Namun, tergantung
pada status asam-basa, pH kemih dapat berkisar dari 4,5 – 8,0. pH bervariasi
sepanjang hari, dipengaruhi oleh konsumsi makanan; bersifat basa setelah
makan, lalu menurun dan menjadi kurang basa menjelang makan berikutnya.
Urine pagi hari (bangun tidur) adalah yang lebih asam. Obat-obatan tertentu
dan penyakit gangguan keseimbangan asam-basa jug adapt mempengaruhi
pH urine.
Berikut ini adalah keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi pH
urine :
pH basa : setelah makan, vegetarian, alkalosis sistemik, infeksi
saluran kemih (Proteus atau Pseudomonas menguraikan urea menjadi
CO2 dan ammonia), terapi alkalinisasi, asidosis tubulus ginjal,
spesimen basi.
pH asam : ketosis (diabetes, kelaparan, penyakit demam pada anak),
asidosis sistemik (kecuali pada gangguan fungsi tubulus, asidosis
respiratorik atau metabolic memicu pengasaman urine dan
meningkatkan ekskresi NH4+), terapi pengasaman.
Tetapi menurut Pearce (2002), urine yang normal tetaplah bisa dikenali ciri-
cirinya yaitu :
1. Jumlah rata-ratanya 1-2 liter per hari, tetapi berbeda-beda sesuai
dengan jumlah cairan yang dimasukkan.
2. Warnanya bening orange pucat tanpa endapan, tetapi adakala jonjot
lendir tipis nampak terapung di dalamnya.
3. Baunya tajam.
4. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
5. Berat jenis berkisar dari 1010 sampai 1025.
XLVII. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Struktur anatomi mikroskopi ginjal dapat dibagi menjadi 3 secara garis besar :
a) Bagian korteks yang tampak granular dan b) Bagian medula yang tampak
bergaris-garis dan c) Pelvis di inti bagian dalam medial ginjal.
2. Dari ginjal mamalia (kambing) yang diamati didapati bagian-bagian sebagai
berikut : a) Hilus, b) Kapsula, c) Korteks Renalis, d) Kaliks Mayor, e) Medula
Renalis, f) Pelvis Renalis, g) Piramid, dan h) Kaliks Minor
3. Urine merupakan hasil metabolisme, sehingga warna; kejernihan; dan pH
urine berbeda-beda tergantung dari kandungannya sebagai hasil dari
metabolisme tubuh yang didapat dari makanan atau faktor patogen yang ada.
XLVIII. DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2012. Urinalisis (analisis kemih).
http://iqbalali.com/2008/02/10/urinalisis- analisis-kemih/. Diakses
pada tanggal 16 Mei 2014.
Roberts, M. 1993. Biology Princeple and Processes, 1 sted. Thomas Nelson and
Sons Ltd. London.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia.
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia.
9
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
XLIX. JUDUL
Pemeriksaan Protein dan Glukosa Urine
L. TUJUAN
L.1. Tujuan Kegiatan
h) Melakukan pemeriksaan adanya kandungan protein dalam urine.
i) Melakukan pemeriksaan adanya kandungan glukosa dalam urine.
L.2. Kompetensi Khusus
s) Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan kandungan protein
dalam urine dan dapat menerangkan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya proteinuria.
t) Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan kandungan glukosa
dalam urine dan dapat menerangkan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya glukosuria.
Pemeriksaan
glukosa dalam Pemeriksaan protein dalam urin
No Nama urin
1 Milatus Sa'diyah _ _ _
2 Turasih _ _ _
4 Puji Lestari _ _ _
5 Ratih Sukmaresi _ _ _
7 Susan Pramitasari _ _ _
8 Sulistyaningsih _ _ _
14 Rosita Justainies C H _ _ _
15 Ambar Dwijayanti _ _ _
16 Nurul Aslina _ _ _
17 Nurul Amalia _ _ _
20 Kurniawati Oktaviana + _ _
22 Wilda Khafida _ _ +
24 Rulis Hidayatussaadah + _ _
25 Dwi Zunitasari _
26 Ikhsanudin _ _ _
31 Ahmad Naharudin R _ _ _
33 Nurul Ayuningtyas I _ _ _
39 Rizky Purnawati _ _ _
41 Opi Mawarsari _ _ _
43 Dewi Susanti _ _ _
LII.2. Pembahasan
Sistem Urinaria
Sistema urinaria (ginjal) terdiri dari organ - organ yang memproduksi
urine dan mengeluarkannya dari tubuh. Sistem ini merupakan salah satu
sitem utama untuk mempertahankan homeostatis (kekonstanan lingkungan
internal) (Sloane, 2003: 318).
Ginjal membantu mempertahankan komposisi cairan ekstraseluler
tubuh, dan meregulasi ion (misalnya Na+, K+, Ca2+, Mg2+) status asam basa,
dan cairan tubuh. Ginjal juga memiliki fungsi endokrin. Plasma difiltrasi oleh
kapiler di glomerulus, dan komposisi filtrat akan dimodifikasi melalui
reabsorpsi dan sekresi di nefron. Rata - rata keluaran urin adalah ~1,5 L per
hari, walaupun bisa berkurang hingga <1 L per harinya dan meningkat
hingga mendekati 20 L per hari (Ward, 2009: 63).
Ginjal terletak pada kedua sisi kolumna vertebralis, di belakang
peritoneum. Arteri dan vena renalis, limfatik, dan saraf memasuki ginjal
melalui hilus, tempat munculnya pelvis renalis yang akan menjadi ureter.
Ginjal dikelilingi oleh jaringan fibrosa kapsul ginjal. Di bagian dalam, ginjal
memiliki korteks bagian luar berwarna gelap yang mengelilingi medula yang
berwarna lebiih terang, yang berisi lobus - lobus triangular atau piramid.
Korteks berisi glomerulus dan tubulus proksimal dan tubulus distal dari
nefron, sedangkan ansa Henle dan duktus kolektivus turun ke dalam medula.
Setiap ginjal mengandung ~800.000 nefron. Duktus kolektivus menjadi satu
di papila pada apeks setiap piramid, dan mengosongkan isinya ke dalam
kaliks dan kemudian ke pelvis renalis. Urine akan didorong melalui ureter ke
kandung kemih oleh peristalsis (Ward, 2009: 63).
Pembentukan Urine
Ginjal memproduksi urine yang mengandung zat sisa metabolik dan
mengatur komposisi cairan tubuh melalui tiga proses utama: filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus.
A. Filtrasi glomerular
Filtrasi glomeruler adalah perpindahan cairan dan zat terlarut dari
kapiler glomeruler, dalam gradien tekanan tertentu ke dalam kapsula
Bowman (Sloane, 2003: 321).
Plasma difiltrasi di dalam glomerulus secara ultrafiltrasi (yaitu
bekerja pada tingkat molekuler), dan filtrat masuk ke dalam tubulus
proksimal. Laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah ~125 mL/menit pada
manusia. Aliran plasma ginjal adalah ~600 mL/menit, sehingga jumlah
plasma yang difiltrasi ke nefron (fraksi filtrasi) adalah ~20 %. Cairan dan
solut (zat terlarut) harus melalui tiga sawar filtrasi:
1. Endotel kapiler glomerulus, yang kira - kira 50 kali lebih
permeabel daripada sebagian besar jaringan lain karena memiliki
pori - pori (fenestra) berukuran kecil (70 nm).
2. Mambran basal kapiler terspesialisasi yang mengandung
glikoprotein yang bermuatan negatif, yang diperkirakan sebagai
tempat utama ultrafiltrasi.
Sel epitel termodifikasi (podosit) dengan penonjolan panjang
(prosesus primer) yang meliputi kapiler dan memiliki banyak tonjolan/
prosesus seperti kaki (pedikel) yang berhubungan langsung dengan
membran basal. Celah regular diantara pedikel - pedikel disebut celah
filtrasi, dan celah ini membatasi molekul - molekul besar. Podosit
mempertahankan membran basal dan, seperti sel mesangial, dapat bersifat
fagositik dan sedikit kontraktil (Ward, 2009: 65).
Permeabilitas sawar filtrasi bergantung pada ukuran molekul. Zat
dengan berat molekul <7000 Da dapat lewat dengan bebas, tetapi molekul
yang lebih besar hingga berukuran 70.000-100.000 Da semakin terbatas,
dan bila molekul lebih besar lagi maka filtrasi menjadi tidak signifikan.
Molekul bermuatan negatif semakin terbatas karena ditolak oleh muatan
negatif membran basal. Jadi, albumin (~69.000 Da), yang juga bermuatan
negatif, hanya terfiltrasi dalam jumlah yang sangat sedikit, sedangkan
molekul kecil seperti ion, glukosa, asam amino, dan ureum melewati filter
tanpa hambatan. Hal ini berarti bahwa filtrat (hasil filtrasi) glomerulus
hampir tidak mengandung protein, tetapi sebaliknya, memiliki komposisi
yang identik dengan plasma (Ward, 2009: 65).
Sejumlah kecil albumin plasma dapat terfiltrasi, tetapi sebagian
besar diabsorpsi kembali dan secara normal tidak tampak pada urine. Sel
darah merah dan protein tidak difiltrasi. Penampakannya dalam urine
menandakan suatu abnormalitas (Sloane, 2003: 323).
B. Reabsorpsi tubulus
Sebagian besar filtrat (99%) secara selektif direabsorpsi dalam
tubulus ginjal melalui difusi pasif gradien kimia atau listrik, transpor aktif
terhadap gradien tersebut, atau difusi terfasilitasi. Sekitar 85 % natrium
klorida dan air serta semua glukosa dan asam amino pada filtrat
glomerulus diabsorpsi dalam tubulus kontortus proksimal, walaupun
reabsorpsi berlangsung pada semua bagian nefron (Sloane, 2003: 323).
Sebagian besar glukosa, asam amino, fosfat, dan bikarbonat
direabsorpsi di tubulus proksimal, bersama dengan 60-70% Na+, K+, Ca2+,
ureum, dan air (Ward, 2009: 67).
Glukosa direabsorpsi secara kotranspor dengan Na+ melintasi
membran apikal sel epitel, dan kemudian berdifusi keluar sel ke
interstisium peritubulus. Adanya glukosa di urin menunjukkan
hiperglikemia (tingginya glukosa plasma), suatu tanda diabetes mellitus
(Ward, 2009: 67).
Asam amino direabsorpsi oleh beberapa simporter terkait Na+ ,
yang spesifik untuk asam, basa, dan asam amino netral (Ward, 2009: 67).
C. Sekresi tubulus
Sekresi tubuler adalah proses aktif yang memindahkan zat keluar
dari darah dalam kapiler peritubuler melewati sel - sel tubuler menuju
cairan tubuler untuk dikeluarkan dalam urine (Sloane, 2003: 323).
LIII. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan kandungan glukosa dalam urine dapat dilakukan dengan cara
uji Fehling.
2. Pemeriksaan kandungan protein dalam urine dapat dilakukan dengan cara
uji Robert dan uji Asam Sulfosalisilat.
3. Adanya protein dalam urine mengindikasikan kelainan proteinuria
(albuminuria). Penyebab penyakit ini di antaranya : gangguan pada
glomerolus, terlalu banyak kandungan protein darah, dan rendahnya
tingkat reabsorbsi di tubulus proximal.
4. Adanya glukosa dalam urine mengindikasikan kelainan glukosuria. Di
antara penyebab kelainan ini adalah terlalu banyak mengkonsumsi
makanan yang mengandung banyak gula dan kurang mengkonsumsi
garam.
Sloane, Ethel. 2003. Anatoni dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit EGC.
Ward, Jeremy, Robert Clarke dan Roger Linden. 2009. At a Glance Fisiologi.
Jakarta: Erlangga.
1
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN 0
PENGARUH SUHU LINGKUNGAN TERHADAP SUHU TUBUH
Disusun oleh :
Ahmad Naharuddin Ramadhan
12304241032
Pendidikan Biologi Subsidi
LV. JUDUL
Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Suhu Tubuh
LVI. TUJUAN
LVI.1. Tujuan Kegiatan
Mahasiswa dapat melakukan pengukuran suhu tubuh homoioterm dan
mengamati pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh manusia.
LVI.2. Kompetensi Khusus
Mahasiswa dapat melakukan pengukuran suhu tubuh homoioterm dan
mengamati pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh manusia.
SUHU PRAKTIKAN
suhu
no Nama Praktikan suhu tubuh
lingkungan
1 Milatus Sa'diyyah 4 36,8
2 Turasih 4 36
3 Desita Alif Utami 4 36,3
4 Puji Lestari 4 37,1
5 Ratih Sukmaresi 4 37
6 Ahmad Saiful Abid 4 37,5
7 Susan Pramitasari 4 36,6
8 Sulistyaningsih 4 37,1
9 Adika Hermawati Pratama 4 36
10 Lailul Hidayah Nursarah 4 37,3
11 Azusnita Rachma Putri 4 37
12 Velia Dinan Qhalifta 4 36,2
13 Tri Ayunda Wijiningsih 4 36,4
14 Rosita Justianis Khusnul Khotimah 4 36,5
15 Ambar Dwi Jayanti 4 36,9
16 Nurul Aslina 4 37,5
17 Nurul Amalia 4 37,2
18 Ika Feby Putriana 4 36,3
19 Tri Suranti 4 36,7
20 Kurniawati Ocktaviana 4 37
21 Fika Nur Khasanah 4 37,1
22 Wilda Khafida 4 37
23 Failasuf Aulia Nugroho 4 36,5
24 Rulis Hidayatussaadah 4 36,3
25 Dwi Zunitasari 4 37,1
26 Ikhsanudin 4 36,4
27 Adimas Pandu Pribadi 4 37,5
28 Mega Utami Kusumawati 4 36,5
29 Dionisia Dwi Prasetyawati 4 37
30 Aprilia Dwi Anggani 4 36,3
31 Ahmad Naharuddin Ramadhan 4 37
32 Maulita Wulan Nugraheni 4 37,1
33 Nurul Ayuningtyas Islamiyati 4 37
34 Febrina Suci Wulandari 4 36,4
35 Hilda Nureni Makrufah 4 36,4
36 Renosari Prineta Putri 4 36,8
37 Maulana Malik Irsyad 4 36,9
38 Fitria Eka Cahya Astuti 4 36,8
39 Rizky Purnawati 4 37,1
40 Permata Ihda Fuadina 4 37,6
41 Opi Mawarsari 4 36,2
42 Dewi Sang Arifti 4 36,8
43 Dewi Susanti 4 36,7
44 Amelda Nurbaiti 4 36,2
45 Sudhira Winaswan Gusti 4 36,1
rata-rata 4 36,76
suhu
no Nama Praktikan lingkunga suhu tubuh
n
1 Milatus Sa'diyyah 40 37
2 Turasih 40 36,2
3 Desita Alif Utami 40 37,1
4 Puji Lestari 40 37,3
5 Ratih Sukmaresi 40 37,2
6 Ahmad Saiful Abid 40 37,5
7 Susan Pramitasari 40 36,7
8 Sulistyaningsih 40 37,2
9 Adika Hermawati Pratama 40 36,8
10 Lailul Hidayah Nursarah 40 37
11 Azusnita Rachma Putri 40 36,9
12 Velia Dinan Qhalifta 40 36,4
13 Tri Ayunda Wijiningsih 40 36,5
14 Rosita Justianis Khusnul Khotimah 40 36,7
15 Ambar Dwi Jayanti 40 37,3
16 Nurul Aslina 40 37,5
17 Nurul Amalia 40 37,3
18 Ika Feby Putriana 40 36,5
19 Tri Suranti 40 36,7
20 Kurniawati Ocktaviana 40 37
21 Fika Nur Khasanah 40 37,1
22 Wilda Khafida 40 37
23 Failasuf Aulia Nugroho 40 37
24 Rulis Hidayatussaadah 40 36,3
25 Dwi Zunitasari 40 36,9
26 Ikhsanudin 40 36,7
27 Adimas Pandu Pribadi 40 47,5
28 Mega Utami Kusumawati 40 36,7
29 Dionisia Dwi Prasetyawati 40 36,9
30 Aprilia Dwi Anggani 40 36,3
31 Ahmad Naharuddin Ramadhan 40 37
32 Maulita Wulan Nugraheni 40 37,2
33 Nurul Ayuningtyas Islamiyati 40 37,1
34 Febrina Suci Wulandari 40 36,5
35 Hilda Nureni Makrufah 40 36,5
36 Renosari Prineta Putri 40 36,9
37 Maulana Malik Irsyad 40 36,8
38 Fitria Eka Cahya Astuti 40 36,8
39 Rizky Purnawati 40 37,1
40 Permata Ihda Fuadina 40 37,6
41 Opi Mawarsari 40 37
42 Dewi Sang Arifti 40 38
43 Dewi Susanti 40 36,7
44 Amelda Nurbaiti 40 36,4
45 Sudhira Winaswan Gusti 40 36,5
rata-rata 40 37,14
LVIII.2. Pembahasan
Berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu poikiloterm yaitu hewan yang suhu
tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Sementara,
hewan homeoterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak berubah
sekalipun suhu lingkungannya berubah.
Contoh hewan poikiloterm adalah reptil, sedangkan hewan homoioterm
adalah aves dan mamalia. Suhu tubuh hewan poikiloterm biasanya lebih rendah
daripada suhu tubuh hewan homoioterm. Akan tetapi, pada saat tertentu ketika
suhu lingkungan di gurun mencapai 50o C suhu tubuh reptile, misalnya kadal
dapat menjadi lebih tinggi (misalnya 42o C) daripada suhu tubuh mamalia gurun,
yang suhunya tetap sekitar 37o C atau 38o C.
Hewan poikiloterm juga dapat disebut sebagai ektoterm karena suhu
tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternalnya.
Sementara, homoioterm dapat disebut endoterm karena suhu tubuhnya diatur oleh
produksi panas yang terjadi dalam tubuh. (Isnaeni, 2010:209-210)
Salah satu cara untuk mengelompokkan karakteristik termal hewan adalah
dengan menekankan pada sumber utama panas tubuhnya. Seekor hewan
ektotermik memanaskan tubuhnya terutama dengan menyerap panas dari
sekelilingnya. Jumlah panas yang ia peroleh dari metabolismenya sendiri
umumnya dapat diabaikan. Sebagian besar invertebrate, ikan, amfibi, dan
reptilian adalah ektotermik. Sebaliknya, seekor hewan endotermik mendapatkan
sebagian besar atau semua panas tubuhnya dari metabolismenya sendiri.
Mamalia, burung, beberapa ikan, dan sejumlah besar serangga adalah endotermik.
Banyak diantara hewan endotermik mempertahankan suhu lingkungan internal
hamper konstan meskipun suhu sekelilingnya berfluktuasi.
Baik hewan ektotermik maupun endotermik mengatur suhu tubuhnya
denagn menggunakan beberapa kombinasi dari empat kategori umum adaptasi
LIX. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pengukuran suhu tubuh manusia dapat dilakukan dengan menempatkan
termometer suhu tubuh di ketiak, selama 5 menit, kemudian melihat suhu
yang ditunjukkan oleh termometer tersebut.
2. Manusia termasuk organisme homoiotermik disamping aves dan mamalia,
yang cenderung mempertahankan suhu internal dalam tubuhnya meskipun
suhu lingkungan mengalami perubahan. Suhu tubuh normal manusia
kurang lebih sebesar 36-37 oC. Tatkala diberi perlakuan suhu panas di
lingkungannya dan juga diberi perlakuan suhu dingin, suhu tubuh manusia
tetap stabil dalam rentang tersebut.
3. Pengukuran suhu katak dapat dilakukan dengan meletakkan termometer
batang ke dalam mulut katak selama 5 menit.
4. Katak termasuk hewan poikilotermik disamping reptilia, amphibia, dan
hewan lainnya, yang suhu tubuhnya cenderung mengalami fluktuasi
seiring dengan perubahan suhu lingkungannya. Tatkala diberi perlakuan
panas, suhu tubuh katak ikut memanas, dan tatkala diberi perlakuan suhu
dingin suhu tubuh katak ikut mendingin.
1
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN 1
MEREKAM GERAKAN MATA SAAT MEMBACA
Disusun oleh :
Ahmad Naharuddin Ramadhan
12304241032
Pendidikan Biologi Subsidi
LXI. JUDUL
Merekam Kegiatan Mata Saat Membaca
LXII. TUJUAN
LXII.1. Tujuan Kegiatan
Merekam refleks gerakan mata saat membaca dengan menggunakan
alat perekam elektro-okulograf (EOG).
LXII.2. Kompetensi Khusus
u) Mahasiswa dapat merekam gerak refleks gerakan mata saat
membaca dengan menggunakan alat perekam elektro-okulograf
(EOG).
v) Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
refleks gerakan mata saat membaca.
w) Mahasiswa dapat menerangkan kecepatan membaca seseorang.
x) Mahasiswa dapat menganalisis hasil rekaman mata saat membaca.
LXIV.2. Pembahasan
Mata adalah salah satu indera manusia yang memiliki fungsi penting
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Kehadiran indera ini pada manusia
merupakan salah satu pintu masuk informasi terbesar karena sebagian sumber
informasi disampaikan melalui teks baik berupa buku maupun bahan baca
yang terdapat dalam layar komputer. Mata juga membuat manusia mampu
menilai sebuah karya seni secara keseluruhan berdasarkan bentuk dan warna.
Oleh karena itu, ketidakhadiran salah satu indera manusia ini tentu akan
membatasi menusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari.
Mata mengandung fotoreseptor. Mata terletak dalam rongga mata yang
dibatasi oleh tulang-tulang kepala. Bola mata dibagi menjadi dua ruang, yaitu
ruang anterior danruang posterior. Ruang anterior terletak antara kornea dan
lensa, berisi cairan bening yang disebut aqueus humor. Sedangkan ruang
posterior adalah ruang yang terletak di belakang lensa, dan ruang ini berisi
cairan kental bening yang disebut vitreus humor, berfungsi menyumbang pada
tekanan dalam bola mata (Soewolo dkk, 2005: 137-138).
Mata merupakan suatu bola yang terisi cairan dengan diameter kira-kira
24 mm. Struktur dasarnya adalah kamera, dengan sistem pemfokusan,
mekanisme untuk mengontrol masuknya cahaya, lapisan sensitif cahaya dan
pembungkus bagian dalam yang gelap untuk membatasi penyebaran cahaya
(Cambridge, 2012)
Menurut Cambridge (2012) mata terdiri dari tiga lapisan:
1. Lapisan dalam yaitu saraf yang sensitif cahaya : retina
2. Lapiran tengah bervaskuler dan berpigmen : lapisan koroid
3. Lapisan pembungkus luar : sklera
Mata sebagai indra penglihatan dapat bergerak ke segala arah dalam
orbitnya untuk memperluas medan penglihatannya. Gerakan mata tersebut
sering dikenal dengan gerakan mata berputar. Namun dalam prkateknya
gerakan mata tersebut dibagi dalam gerakan mata horizontal dan vertikal.
Dalam keadaaan normal kedua bola mata selalu bergerak searah atau disebut
dengan gerakan konyugatif. Oleh karena itu, untuk merekam gerakan bola
mata cukup dilakukan perekaman satu bola mata saja. Penempatan elektroda
pada perekam untuk merekam gerakan bola mata horizontal, pada kedua
canthus tempora, sedagkan gerakan vertikal di atas dan di bawah mata
( Abdul, 2012: 42)
Bola mata diikat dan digerakkan oleh enam otot mata ekstrinsik, yaitu otot
lurus atas dan otot lurus bawah, otot lurus samping dan otot lurus tengah, otot
serong atas dan otot serong bawah. Dinding bola mata terdiri dari tiga lapis
jaringan, yaitu sklera, koroid, dan retina. Sklera, lapisan dinding bola mata
yang paling luar, tersusun dari suatu jaringan fibrosa yang kuat. Koroid,
lapisan tengan dari dinding bola mata., lapisan berpigmen dan merupakan
lapisan yang penuh dengan pembuluh darah. Dan retina, lapisan paling dalam
dari bola mata, yang tersusun atas (dari luar ke dalam): suatu lapisan
berpigmen, lapisan fotoreseptor, lapisan bipolar, dan lapisan ganglion
(Soewolo dkk, 2005: 138-139).
Pengaturan otot pergerakan mata diatur oleh tiga pasang (enam otot mata
ekstrinsik), yaitu:
1. M. Rectus lateralis dan medialis: berkontraksi timbale balik untuk
menggerakkan mata dari sisi ke sisi
2. M. Rectus superior dan inferior: berkontraksi menggerakkan mata ke
atas dan ke bawah.
3. M. Obligus superior dan inferior: memutar bola mata dalam
mempertahankan lapang penglihatan dan posisi berdiri (Syaifuddin,
2009: 233).
LXV. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Merekam refelks gerakan mata saat membaca dapat dilakukan dengan
menggunakan alat EOG (Elektro-Okulograph) dengan langkah-
langkah sebagai berikut : mengatur kecepatan rekam EOG 0,15
mV/cm, kemudian mengatur kecepatan rekam 25 mm/detik, kemudian
mengatur frekuensi rekam sebesar 0-30 Hz, kemudian membersihkan
kulit di canthus lateralis mata dengan kapas alkohol untuk
menghilangkan kotoran yang dapat mengganggu sensifitas rekam
sebelum elektroda perekam dipasang, kemudian mengoleskan pasta
perekam untuk mempermudah hantaran listrik, kemudian memasang
elektrode perekam pada canthus lateralis mata kanan, mata kiri, dan
tengah dahi, kemudian probandus dipersiapkan membaca, kemudian
dipersilakan membaca, dan terakhir menganalisis hasil rekaman mata
saat membaca.
2. Tingkat pemahaman, ketertarikan, dan fokus mahasiswa Pendidikan
Biologi Subsidi 2012 terhadap teks berbahasa Indonesia lebih tinggi
dibandingan terhadap teks berbahasa Inggris.
Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2000. Biologi, edisi kelima-jilid
3. (Terjemahan Wasmen Manalu). Jakarta: Erlangga. (Buku asli diterbitkan
tahun 1999).
Djukri & Heru Nurcahyo. 2009. Petunjuk Praktikum Biologi. Yogyakarta: Prodi
PSn PPs UNY.
Soewolo, Soedjono Basoeki, & Titi Yudani. 2005. Fisiologi Manusia. Malang:
Universitas Negeri Malang.
LXVII. JUDUL
Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Eritrosit
LXVIII. TUJUAN
LXVIII.1. Tujuan Kegiatan
j) Mengetahui pengaruh ukuran tubuh terhadap laju respirasi hewan.
k) Mengetahui pengaruh luas permukaan tubuh terhadap laju respirasi
hewan.
LXVIII.2. Kompetensi Khusus
y) Mahasiswa dapat melakukan pengukuran laju respirasi hewan.
z) Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
laju respirasi hewan.
Laju respirasi
No Nama Hewan Berat (gr) Deskripsi (ml/detik)
1 Capung besar 0,012
2 Belalang (coklat) Besar 0,003
3 Kupu-kupu besar 0,017
Capung (merah)
4 dika 0,4 besar 0,003
Kupu-kupu
5 (kuning) 0,2 Besar 0,009
Kupu-kupu
6 (coklat) 0,1 Besar 0,003
7 Belalang (coklat) besar 0,003
8 Kupu-kupu besar 0,005
9 Capung besar 0,012
10 Capung 0,28 besar 0,006
11 Belalang 0,68 besar 0,003
12 Belalang 0,2 besar 0,009
13 Jangkrik besar 0,23
14 Belalang (Ortoptera) besar 0,008
JUMLAH 0,323
RATA-RATA 0,023071429
STANDAR DEVIASI 0,059715304
LXX.2. Pembahasan
Respirasi merupakan proses penguraian bahan makanan yang
menghasilkan energi. Respirasi dilakukan oleh semua makhluk hidup dengan
semua penyusun tubuh, baik sel tumbuhan maupun sel hewan, dan manusia.
Respirasi ini dilakukan baik siang maupun malam (Syamsuri, 1980).
Serangga mempunyai alat pernapasan khusus berupa sistem trakea,
yang terbuat dari pipa yang becabang di seluruh tubuh, merupakan salah satu
variasi dari permukaan respirasi internal yang melipat-lipat dan pipa yang
terbesar itulah yang disebut trakea. Bagi seekor serangga kecil, proses difusi
saja dapat membawa cukup O2 dari udara ke sistem trakea dan membuang
cukup CO2 untuk mendukung sistem respirasi seluler. Serangga yang lebih
besar dengan kebutuhan energi yang lebih tinggi memventilasi sistem
trakeanya dengan pergerakan tubuh berirama (ritmik) yang memampatkan
dan mengembungkan pipa udara seperti alat penghembus (Campbell, 2005).
Kandungan katalis disebut juga enzim, sangat penting untuk siklus
reaksi respirasi (sebaik-baiknya proses respirasi). Beberapa reaksi kimia
membolehkan mencampur dengan fungsi dari enzim dengan mengkombinasi
dengan sisi aktifnya (mertens, 1966).
Sebagaimana kita ketahui dalam semua aktivitas makhluk hidup
memerlukan energi. Pada respirasi pembakaran glukosa oleh oksigen kan
menghasilkan energi. Karena semua bagian tersusun atas jaringan dan
jaringan tersusun atas sel, maka respirasi terjadi pada sel (Juanegshi, 2008).
Istilah pernafasan sering di sama artikan dengan istilah respirasi,
walau sebenarnya kedua istilah tersebut secara harfiah berbeda. Pernafasan
(breathing) berarti menghirup dan menghembuskan nafas. Bernafas berarti
memasukkan udara dari lingkungan luar ke dalam tubuh dan mengeluarkan
udara sisa dari dalam tubuh ke lingkungan luar. Sedangkan respirasi
(respiration) berarti suatu proses pembakaran (oksidasi) senyawa organik
(bahan makanan) di dalam sel guna memperoleh energi. Pada hewan – hewan
tingkat tinggi terdapat alat untuk proses pernafasan, yakni berupa paru –
paru, insang atau trakea, sementara pada hewan – hewan tingkat rendah dan
tumbuhan proses pertukaran udara tersebut dilakukan secara langsung
dengan difusi melalui permukaan sel–sel tubuhnya. Dari alat pernafasan,
oksigen masih harus di angkut oleh darah atau cairan tubuh ke seluruh sel
tubuh yang membutuhkan. Selanjutnya oksigen tersebut akan dimanfaatkan
untuk oksidasi di dalam sel guna menghasilkan energi.Respirasi bertujuan
untuk menghasilkan energi. Energi hasil respirasi tersebut sangat diperlukan
untuk aktivitas hidup, seperti mengatur suhu tubuh, pergerakan, pertumbuhan
dan reproduksi. Jadi kegiatan pernafasan dan respirasi tersebut saling
berhubungan karena pada proses pernafasan dimasukkan udara dari luar
(oksigen) dan oksigen tersebut digunakan untuk proses respirasi guna
memperoleh energi dan selanjutnya sisa respirasi berupa gas karbon dioksida
(CO2) dikelurkan melalui proses pernafasan.
Karena hewan-hewan tingkat rendah dan tumbuhan tidak memiliki
alat pernafasan khusus sehingga oksigen dapat langsung masuk dengan cara
difusi, maka sering kali istilah pernafasan disamakan dengan istilah respirasi.
Dengan demikian perbedaan kedua istilah itu tidak mutlak (Tobin, 2005).
Reaksi kimia yang terjadi di dalam sel hewan sangat tergantung pada
adanya oksigen, sehingga diperlukan adanya suplai O2 secara terus menerus.
Hal ini berarti O2 merupakn substitusi yang penting dan sangat dibutuhkan
bagi semua hewan. Salah satu substitusi yang penting dan dihasilkan oleh
reaksi kimia yang terjadi didalam tubuh hewan adalah gas karbohidrat
(Hartono, 1992: 281).
Menurut (Hala, 2007: 94) respirasi pada hewan dapat dibagi menjadi
3 tahap yaitu :
1. Respirasi luar. Respirasi luar merupakan proses pertukaran gas (O2)
dan CO2) antara atmosfer dengan paru-paru pada hewan yang hidup
didarat atau pertukaran gas antara medium air dengan insang pada
hewan yang hidup di air.
2. Pengangkutan gas O2 dan CO2. Pengakutan gas ini meliputi
pengankutan O2 dari kapiler paru-paru dan kapiler insang keseruruh
sel-sel hewan dan pengankutan CO2 dari sel-sel hewam ke kapiler
paru-paru atau kapiler insang.
3. Respirasi dalam. Respirasi dalam (respirasi internal) merupakan
reaksi oksidasireduksi di mana O2 dikonsumsi dan CO2 diproduksi.
Alat pernafasan hewan pada dasarnya berupa alat pemasukan dan
pengangkutan udara. Apabila alat pemasukan ke dalam tubuh tidak ada,
maka pemasukan oksigen dilakukan dengan cara difusi. Pada cacing tanah,
oksigen masuk secara difusi melalui permukaan tubuh, kemudian masuk ke
pembuluh darah. Di dalam darah, oksigen di ikat oleh pigmen–pigmen darah,
yaitu hemoglobin yang larut dalam plasma darah. Pada hewan lain,
hemoglobin terkandung di dalam sel darah merah (eritrosit) (Soeranto, 2012).
Sistem trakea adalah alat pertukaran gas yang paling lazim ditemukan
pada arropoda darat. Sebagian besar segmen tubuh insekta mempunyai
lubang lateral, spirakel (Latin, spiraculum, lubang udara) yang menuju ke
dalam suatu sistem tubulus trakea (Latin, trachia, pipa angin). Suatu sistem
filter mencegah benda-benda kecil menyumbat sistem ini. Terdapat katub-
katub yang membuka dan menutup sesuai dengan kebutuhan hewan. Trakea
ini mempunyai bentuk seperti tangga dengan pipa utama transversal dan
longitudinal yang saling berhubungan. Trakea ini berakhir pada tubulus-
tubulus kecil, yaitu trakeol yang umumnya berdiameter kurang dari 1 µm.
trakeol terdiri atas sel trakeol khusus yang mempunyai membran pernafasan
dan masuk ke dalam semua jaringan tubuh. Pada ujung trakeol terdapat
sedikit cairan, dan gas-gas larut di dalamnya. Jika metabolit di dalam
jaringan yang aktif meningkat, maka tekanan osmotis dalam jaringan
meningkat pula, sejumlah cairan keluar dari trakeol dan udara akan lebih
dekat dengan jaringan. Pada otot terbang insekta dimana kebutuhan oksigen
sangat tinggi, trakeol menembus dinding sel otot dan berjarak hanya 0,07 µm
dari mitokondrion. Suatu kutikula melapisi seluruh sistem, tetapi pada
pergantian kulit hanya kutikula pada trakea yang dilepaskan (Villee, 1984:
169).
Pada insekta kecil, difusi adalah satu-satunya gaya yang diperlukan
dalam pertukaran gas karena terjadinya sangat cepat melalui pipa yang berisi
udara tersebut. Insekta yang lebih besar dan aktif mempunyai suatu sistem
ventilasi, dimana terdapat kantung hawa yang dapat diperkecil dan diperbesar
dengan kontraksi otot tubuh. Pembukaan dan penutupan spirakel diatur
dengan cermat agar pertukaran gas cukup memadai tetapi dapat mencegah
hilangnya air (Villee, 1984: 169).
Sistem trakea belalang cukup khas seperti yang terdapat pada semua
serangga. Trakea-trakea bermuara pada lubang-lubang kecil pada
eksoskeleton (kerangka luar) yang disebut spirakel. Pada segmen pertama
dan ketiga dari toraks (dada) terdapat dua spirakel, masing-masing satu pada
setiap sisi. Delapan pasang spirakel lainnya terdapat teratur sebaris pada
setiap sisi abdomen (perut). Spirakel-spirakel tersebut dilindungi oleh bulu-
bulu kejur yang membantu menapis debu dan benda asing lainnya dari udara
sebelum masuk ke dalam trakea. Spirakel-spirakel tersebut juga dilindungi
oleh katub-katub yang dikontrol oleh otot-otot, sehingga belalang dapat
mengatur pembukaan dan penutupan spirakel-spirakel tersebut (Kimball,
1983: 462)
Dalam praktikum ini praktikan mengukur laju respirasi serangga
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menimbang berat hewan sebelum percobaan dilakukan.
2. Menaruh 3 butir KOH dalam botol respirometer dan menetesi
lubang pipa kaca dengan larutan eosin. Fungsi eosin adalah
sebagai indikator oksigen yang dihirup oleh organisme percobaan
pada respirometer. Saat serangga menghirup oksigen maka terjadi
penurunan tekanan gas dalam respirometer sehingga eosin
bergerak masuk ke arah respirometer. Fungsi dari Kristal
KOH/NaOH pada percobaan yaitu sebagai pengikat CO2 agar
tekanan dalam respirometer menurun. Jika tidak diikat maka
tekanan parsial gas dalam respirometer akan tetap dan eosin tidak
bisa bergerak. Akibatnya volume oksigen yang dihirup serangga
tidak bisa diukur. Kristal KOH/NaOH dapat mengikat CO2
karena bersifat higroskopis. Reaksi antara KOH dengan CO2,
sebagai berikut:
(i) KOH + CO2 → KHCO3
(ii) KHCO3 + KOH → K2CO3 + H2O
3. Menaruh serangga pada respirometer.
4. Memberi vaselin pada batas antara pipa kaca dan sumbat potol
agar tidak ada udara yang keluar.
5. Mencatat skala pada penggaris dari awal sampai eosin tidak
bergerak.
6. Mengkonversikan panjang dan diameter pipa kaca menjadi
volume udara.
7. Mengulangi untuk jenis hewan lainnya.
LXXI. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Laju respirasi berbanding lurus dengan besar dan beratnya tubuh suatu
organisme. Semakin besar dan berat suatu organisme makin tinggi kebutuhan
tubuhnya akan oksigen sehingga makin cepat laju respirasinya, selain itu luas
permukaan yang lebar pada hewan yang besar menyebabkan laju transpirasi
makin besar.
2. Cara pengukuran laju respirasi pada serangga dilakukan menggunakan
respirometer dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menimbang berat
hewan sebelum percobaan dilakukan, menaruh 3 butir KOH dalam botol
respirometer dan menetesi lubang pipa kaca dengan larutan eosin, menaruh
serangga pada respirometer, memberi vaselin pada batas antara pipa kaca dan
sumbat potol agar tidak ada udara yang keluar, dan terakhir mencatat skala
pada penggaris dari awal sampai eosin tidak bergerak serta mengkonversikan
panjang dan diameter pipa kaca menjadi volume udara.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju respirasi adalah :
Berat tubuh, Semakin berat tubuh suatu organisme, maka semakin
banyak oksigen yang dibutuhkan dan semakin cepat proses
respirasinya.
Ukuran tubuh, Makin besar ukuran tubuh maka keperluan oksigen
makin banyak.
Kadar O2, Bila kadar oksigen rendah maka frekuensi respirasi akan
meningkat sebagai kompensasi untuk meningkatkan pengambilan
oksigen.
Aktivitas, Makhluk hidup yang melakukan aktivitas memerlukan
energi. Jadi semakin tinggi aktivitasnya, maka semakin banyak
kebutuhan energinya, sehingga pernafasannya semakin cepat.