Anda di halaman 1dari 21

Makalah kelompok V

PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah: Hukum Perdata

Dosen Pengampu: Hj.Tri Hidayati, M.H

Di susun oleh

Nurdin hidayat

Nim: 2012140103

Arbainah

Nim: 2012140110

Riska tri listiani

NIM: 2012140081

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

KELAS A
Makalah kelompok V

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat dan
Hidayah-Nya penulis dapat menyajikan makalah sederhana ini yang berjudul
Perkawinan Menurut UU NO.1 Tahun 1974. Tak lupa sholawat serta salam selalu
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga,
kerabat dan pengikut beliau hingga yaumil akhir.Pada kesempatan kali ini izinkan
penulis untuk menyampaikan rasa terimakasih kepada Hj.Tri hidayati,M.H selaku
dosen pembimbing mata kuliah Hukum Perdata yang sudah memberikan
kepercayaan kepada penulis yaitu membuat makalah dalam bentuk sederhana sebagai
tugas pertama yang belum mencapai kata sempurna.Penulis berharap semoga makalah
ini bermanfaat, dapat dimengerti dan diambil pelajaran yang positif dari makalah ini.
Semoga pembaca bisa mengamalkannya dan menjadi amal sholeh bagi penulis.Amin
Ya Robbal Alamin..

Wassalamu’alaikum wr.wb

Palangka Raya, Maret 2021

Penyusun
Makalah kelompok V

DAFTAR ISI

COVER.........................................................................................................................

KATA PENGANTAR..................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .........................................................................................

B. Rumusan Masalah...................................................................................................

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................

D. Manfaat Penulisan ..................................................................................................

E. Metode Penulisan ...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Asas Monogami dan Izin Poligami

B. Ketentuan Perkawinan.......................................................................................

C. Hak dan kewajiban suami-isteri...........................................................................

D. Perkawinan di luar Indonesia dan Perkawinan Campuran..................................

BAB III PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................................................

B. Saran ......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
Makalah kelompok V

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan
tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
merumuskan, bahwa Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuanmembentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Pasal 1
Undang-Undang Perkawinan di atas, tampak bahwa suatu rumusan arti dan tujuan
dari perkawinan. Arti “Perkawinan” dimaksud adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan “tujuan” perkawinan
dimaksud adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna dan arti dari perkawinan menjadi
lebih dalam, karena selain melibatkan kedua keluarga juga lebih berarti untuk
melanjutkan keturunan, keturunan merupakan hal penting dari gagasan melaksanakan
perkawinan.

B. Rumusan Masalah

1. Asas Monogami dan Izin Poligami

2.Syarat Syah, Larangan, Perjanjian, Pencatatan, Pelaksanaan, Pencegahan dan


Pembatalan perkawinan..

3. Hak dan kewajiban suami-isteri, harta benda dalam perkawinan dan putusnya
perkawinan.

4. perkawinan di luar Indonesia, dan perkwinan campuran.


Makalah kelompok V

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dan memahami Asas Monogami dan Izin Poligami.

2. Untuk mengetahui dan memahami Syarat Syah, Larangan, Perjanjian,


Pencatatan, Pelaksanaan, Pencegahan dan Pembatalan perkawinan.hak dan
kewajiban suami-isteri, Harta benda dalam perkawinan dan putusnya perkawinan.

3. Untuk mengetahui dan memahami Hak dan kewajiban suami-isteri, harta


benda dalam perkawinan dan putusnya perkawinan.

4. Untuk mengetahui dan memahami perkawinan di luar Indonesia, dan


perkwinan campuran.

D. Manfaat Penulisan
1. Secara teoritis

Makalah ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai.


Masalah Perkawinan dalam Hukum positif di Indonesia.
2. Secara praktis

Makalah ini secara praktis diharapkan dapat menyumbang pemikiran terhadap


pemecahan masalah yang berkaitan dengan ketentuan Perkawinan Menurut UU NO.
1 Tahun 1974.

E. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu mencari pada
beberapa buku dan telusur internet sebagai referensi yang ada kaitannya atau
hubungannya dengan pembuatan makalh ini dan disimpulkan dalam bentuk makalah.
Makalah kelompok V

BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas Monogami dan Izin Poligami

1. Asas Monogami

Salah satu asas dari perkawinan adalah asas monogami, dimana seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri begitupun sebaliknya (dalam waktu tertentu).
Asas monogami di sini bersifat terbuka atau tidak mutlak. Lain halnya dengan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa asas monogami bersifat
mutlak. Asas monogami tidak mutlak diartikan bahwa seorang suami dapat
mempunyai lebih dari seorang istri, bila dikehendaki dan sesuai dengan hukum agama
si suami. Sifat ini tidak mutlak dari asas monogami diatur dalam pasal 2 ayat 2, 4 dan
5 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan diatur pula dalam pasal 55,
56 ayat (1), 57 Kompilasi Hukum Islam; bahkan, diatur, pula dalam al-Quran, yaitu
Q.S. An-Nissa ayat 3 yang berbunyi : dan Jika kamu takut tidak akan berlaku adil
terhadap hak-hak perempuan bila kamu mengawininya, maka kawinilah wanita-
wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
berlaku adil maka kawinilah seorang saja. 1

2. Izin Poligami

Untuk berpoligami pada saat ini tidaklah dapat dilakukan oleh setiap laki-laki
dengan begitu saja. Pemerintah melalui instansinya yang ditunjuk untuk itu ikut
campur dalam urusan keinginan seseorang suami yang ingin beristeri lebih dari

1 Ramulyo M. Idris. Tt. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan
islam. Jakarta : IND-HILL-CO Volume XXIII No. 2 April – Juni 2007 : 300 - 311
Makalah kelompok V

seorang (poligami). Dengan demikian setiap laki-laki sekarang harus mempunyai


alasan yang dapat diterima oleh Undang-undang untuk berpoligami. Ini berarti bahwa
poligami sekarang sudah dipersulit.Orang yang beragama Islam selama ini yang
menurut Hukum Islam boleh mempunyai isteri dua, tiga, dan empat, setelah
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sudah semakin sukar, karena
pemerintah telah ikut campur tangan dalam menentukan keinginan suami yang ingin
melakukan perkawinan dengan seorang wanita sebagai isteri kedua, ketiga, atau
keempat. Pengadilan tidak akan memberi izin kepada seorang suami yang
mengajukan permohonan untuk kawin kembali atau untuk menikahi isteri kedua,
ketiga atau keempat jika alasan yang diajukan tidak sesuai dengan yang disebut pada
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Di samping alasan-alasan
yang tersebut dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih diperlukan lagi
syarat-syarat lain, sebagaimana terdapat dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan : “Pengadilan dalam memberi
putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada Pasal 4 dan 5 telah
dipenuhi. Selanjutnya mengajukan permohonan ke pengadilan. Hal ini diatur dalam
ketentuan umum peraturan pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Pasal 1 huruf b
dan c bahwa pengadilan yang dimaksudkan adalah Pengadilan Agama bagi yang
beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lain. Ketentuan lebih
2
lanjut mengenai permohonan poligami adalah sebagai berikut:
1. Suami harus mengajukan permohonan izin secara tertulis ke Pengadilan (Pasal 40,
ketentuan umum Undang-undang Perkawinan).

2. Pengadilan hanya memberikan izin atas permohonan tersebut sesuai dengan aturan
pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, apabila memenuhi
persyaratan seperti tersebut di bawah ini:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.


b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.


3. Pengajuan permohonan ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang nomor 1

2 Kahar Mansur, Membina Moral dan Akhlaq (Jakarta : Rineka Cipta, 1994) h. 69. 17 Ibid. 18 Ibid, h. 68.
Makalah kelompok V

Tahun 1974 haruslah dipenuhi/dilengkapi dengan syarat-syarat :1) Adanya


persetujuan dari isteri atau isteri-isteri (bila si suami telah mempunyai beberapa isteri);
2)Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka; 3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka. Persetujuan dari isteri atau isteri-isteri (bila suami telah
mempunyai isteri lebih dari seorang pada saat pengajuan izin itu) terhadap suaminya
yang hendak kawin lagi dapat diberikan secara lisan maupun tertulis. Apabila
diberikan secara lisan, harus diucapkan secara langsung dimuka sidang pengadilan,
sedangkan persetujuan secara tertulis tentu saja dilakukan dengan surat yang
ditandatangani oleh isteri atau isteri-isteri tersebut. Walaupun persetujuan isteri atau
isteri-isteri merupakan syarat bagi suami untuk dapat melakukan poligami, tetapi
pelaksanaannya tidak terlalu mutlak, dalam pengertian apabila izin dari isteri-isteri
tersebut tidak mungkin berhasil didapatkan atau tidak dapat dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila si isteri meninggalkan
rumah lebih dari dua tahun dan tidak ada kabar beritanya atau karena sebab-sebab lain
yang akan dipertimbangkan oleh hakim pengadilan, sesuai dengan Pasal 5 ayat ( 2 )
Undang-undang nomor 1 Tahun 1974.3

B. Syarat Syah, Larangan, Perjanjian, Pencatatan, Pelaksanaan, Pencegahan


dan Pembatalan perkawinan.hak dan kewajiban suami-isteri, Harta benda
dalam perkawinan dan putusnya perkawinan.

1. Syarat-syarat sah perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. 1


tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat
materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.

Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU
No. I tahun 1974 yaitu:

3 Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

Malik Rusdi. 2001 Peranan Agama dalam Hukum Perkwinan Indonesia.


Jakarta : Universitas Tri Sakti.----------. 2001. Undang-Undang Perkawinan Jakarta :
Universitas Trisakti.
Makalah kelompok V

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21


tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah
satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal
dunia.

c. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

d. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

e. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
4
kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.

f. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya
berlaku jangka waktu tunggu.

Syarat sah perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No.
I/1974 direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a). Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan


kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana
perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum
perkawinan dilangsungkan.

b).Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang


tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat
tinggal calon mempelai (Pasal 3-5). Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat

4 Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) Malik Rusdi. 2001 Peranan Agama dalam Hukum Perkwinan
Indonesia. Jakarta : Universitas Tri Sakti. ----------. 2001. Undang-Undang Perkawinan Jakarta : Universitas Trisakti.
Makalah kelompok V

Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian


ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).

c). Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat
pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat
antara lain:

Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.

Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9).

Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan


menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon
mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri
oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan
dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera
Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta
5
perkawinan (pasal 10-13).

2. Pasal 8 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 bahwa perkawinan dilarang antara


dua orang yang:

a). Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke


atas/incest.

b). Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya/kewangsaan.

c). Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri/periparan.

d). Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan.

5 Asmin. 1986. Status Perkawinan antar Agama. Jakarta : Dian Rakyat


Makalah kelompok V

e). Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri
dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f). Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin.

3. Perjanjian Perkawinan

Pada umumnya yaitu :

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
tersangkut.
b. Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

d. Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali


bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
4. .Pencatatan Perkawinan:

Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang


ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan
6
ketertiban hukum.

5. Pelaksanaan Perkawinan:

Perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum


masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua

6Malik Rusdi. 2001 Peranan Agama dalam Hukum Perkwinan Indonesia. Jakarta : Universitas Tri Sakti.----------.
2001. Undang-Undang Perkawinan Jakarta : Universitas Trisakti.
Makalah kelompok V

orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat
rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera
Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta
perkawinan (pasal 10-13).

6. Pencegahan Perkawinan

Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan (Pasal 13)
Pasal 14
(1). Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah
seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2). Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai
7
hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

7. Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:
( a). Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.

(b). Suami atau isteri.


(c). Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. (d.
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi
hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24

7 Asmin. 1986. Status Perkawinan antar Agama. Jakarta : Dian Rakyat


Makalah kelompok V

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal
4 Undang-undang ini.

Pasal 25

Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah


hukum kigal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26
(1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri
oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1)
pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah. 8

Pasal 27

(1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan


perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar
hukum.

(2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan


perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka
mengenai diri suami atau isteri.
(3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari
keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

8 Asmin. 1986. Status Perkawinan antar Agama. Jakarta : Dian Rakyat


Makalah kelompok V

Pasal 28
(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.

(2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;


b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu.

c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka


memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.

C. Hak Dan Kewajiban Suami-Isteri, Harta Benda dalam Perkawinan dan


Putusnya Perkawinan 9

1. Hak dan Kewajiban Suami-Isteri


Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Pasal 31
(a).Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(b). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(c). Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32

(a).Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

9 Hasan Djuhaedah. 1988 Hukum Keluarga. Bandung : Armico


Ramulyo M. Idris. Tt. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan
islam. Jakarta : IND-HILL-CO
Makalah kelompok V

(b).Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan
oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33

Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34

(a). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(b). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(c). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat


mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

2. Harta Benda Dalam Perkawinan10


Pasal 35
(a). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(b). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36

(a). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua

belah pihak.

10 Hasan Djuhaedah. 1988 Hukum Keluarga. Bandung : Armico

Ramulyo M. Idris. Tt. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan
islam. Jakarta : IND-HILL-CO
Makalah kelompok V

(b). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak


sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya
masing-masing.

3. Putusnya Perkawinan
Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena: Kematian, Perceraian dan atas keputusan


Pengadilan.

Pasal 39
(a). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
(b). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri
itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.

(c). Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan.

D. Perkawinan di Luar Indonesia dan Perkawinan Campuran 11

1. Perkawinan di Luar Indonesia


Pasal 56
(a). Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau
seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-

11 Hasan Djuhaedah. 1988 Hukum Keluarga. Bandung : Armico

Ramulyo M. Idris. Tt. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan
islam. Jakarta : IND-HILL-CO
Makalah kelompok V

undang ini.
(b). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat
perkawinan tempat tinggal mereka.

2. Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah


perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan
dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan
dalamUndang - undang Kewarganegaraan publik Indonesia yang berlaku.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkawinan monogami yang berlaku mutlak bagi istri, tetapi tidak mutlak bagi
suami. Asas monogami, dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
ternyata terdapat suatu pengecualian, dimana pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan ketentuan, bahwa pengadilan


dapat memberi izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami)
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan istri mengizinkan untuk
itu.
Makalah kelompok V

2. Dengan adanya ijin untuk beristri lebih dari satu (poligami) yang diberikan oleh
Pengadilan Agama, hendaknya segala persyaratan yang ada, yang dijadikan bukti oleh
suami untuk beristri lebih dari satu, dalam persidangan harus dijalankan dengan benar,
jangan sampai pihak suami nantinya mengurangi apa yang jadi kebutuhan istri
pertama dan anak�anaknya. Maka suami harus benar-benar melaksanakan perbuatan
adil tersebut dengan sebenar-benarnya dalam kenyataan, karena apabila suami tidak
dapat berlaku adil maka sang istri dapat menuntut pembatalan perkawinan suami
dengan istri keduanya.

3. Syarat Syah, Larangan, Perjanjian, Pencatatan, Pelaksanaan, Pencegahan dan


Pembatalan perkawinan.hak dan kewajiban suami-isteri, Harta benda dalam
perkawinan dan putusnya perkawinan.

a. Syarat-syarat sah perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. 1


tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat
materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.

b. Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,


agama dan kesusilaan.

c. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
tersangkut.

d. Pencatatan Perkawinan:

Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani


oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban
hukum

e. Pencegahan Perkawinan
Makalah kelompok V

Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan (Pasal 13)

f. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat


untuk melangsungkan perkawinan.

2. Hak Dan Kewajiban Suami-Isteri, Harta Benda dalam Perkawinan dan Putusnya
Perkawinan

a. Hak dan Kewajiban Suami- isteri

.Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

b. Harta Benda dalam Perkawinan

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

c. Putusnya Perkawinan

3. Perkawinan di Luar Indonesia dan Perkawinan Campuran

a. Perkawinan di Luar Indonesia

Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang


warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.

b. Permawinan Campuran

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah


perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.

B. Saran
Makalah kelompok V

Berdasarkan uraian di atas mengenai Perkawinan menurut Hukum positif di Indonesia


saran yang ingin penulis utarakan yaitu terkhusus kepada pembaca dari kalangan
akademisi, pelajar, dan ummat Islam pada keseluruhannya agar lebih menggali dan
mempelajari dan mempraktekkanmya di kehidupan .Banyak informasi penting yang
kita dapat dalam belajar dan memahami mengenai Perkawinan menurut UU NO 1
Tahun 1974 ini. Dan tak lupa pula penulis ingin meminta maaf jika dalam penulisan
makalah ini banyak terdapat kekurangan. Penulis sangat menunggu agar kiranya di
berikan kritik dan sarannya.

Daftar Pustaka

Asmin. 1986. Status Perkawinan antar Agama. Jakarta : Dian Rakyat


Hasan Djuhaedah. 1988 Hukum Keluarga. Bandung : Armico
Ramulyo M. Idris. Tt. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun
1974 dari Segi Hukum Perkawinan islam. Jakarta : IND-HILL-CO
Malik Rusdi. 2001 Peranan Agama dalam Hukum Perkwinan Indonesia. Jakarta :
Universitas Tri Sakti.----------. 2001. Undang-Undang Perkawinan Jakarta :
Makalah kelompok V

Universitas Trisakti.
Sumber lain :
Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 1974 tentang PerkawinanInpres
Nomor 1 tahun 1991 atau Kompilasi Hukum Islam Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang�Undang No. 1 Tahun 1974 tentagn
Perkawinan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek),Ordinansi Perkawinan


Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Ramulyo M. Idris. Tt. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 tahun 1974
dari Segi Hukum Perkawinan islam. Jakarta : IND-HILL-CO Volume XXIII No. 2
April – Juni 2007 : 300 - 311

Anda mungkin juga menyukai