Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO JATUH

A. Konsep Lansia
1. Definisi
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu
kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri
dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Wibawanto,
2014). Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai
masa keemasan atau kejayaannya dalam ukuran, fungsi, dan juga
beberapa telah menunjukkan kemundurannya sejalan dengan
berjalannya waktu.
Pengertian lanjut usia (lansia) menurut Undang-Undang No. 13
tahun 1998 tentang kesejahteraan Lanjut Usia pasal 1 ayat 1 adalah
seseorang yang telah mencapai 60 tahun ke atas (Dewi, 2014).
Secara garis besar Birren dan Shroots membedakan tiga proses
sentral di dalam tahapan lansia, pertama, proses biologis yang
berkaitan dengan perubahan yang terjadi dalam tubuh seseorang
yang menua. Kedua, penuaan proses dalam masyarakat (social
eldering) dan yang ketiga, penuaan psikologis subjektif (geronting)
yang berkaitan dengan pengalaman batinnya (Hermawati, 2006
dalam Prantika, 2015).
2. Klasifikasi Lansia
Menurut DepKes RI dalam Dewi tahun 2014, klasifikasi lansia
dibagi menjadi beberapa kategori berikut:
a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45 - 59
tahun.
b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan.
d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.
e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Sedangkan batasan lansia menurut WHO adalah sebagai berikut:
a. Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 45-59 tahun
b. Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun
c. Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun
d. Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun keatas
3. Karakteristik Lansia
Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui
keberadaan masalah kesehatan lansia adalah:
a. Jenis kelamin: Lansia lebih banyak pada wanita. Terdapat
perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara
lansia laki-laki dan perempuan. Misalnya lansia laki-laki sibuk
dengan hipertropi prostat, maka perempuan mungkin menghadapi
osteoporosis.
b. Status perkawinan: Status masih pasangan lengkap atau sudah
hidup janda atau duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan
lansia baik fisik maupun psikologis.
c. Living arrangement: misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri
atau bersama instri, anak atau kekuarga lainnya.
1) Tanggungan keluarga: masih menangung anak atau anggota
keluarga.
Tempat tinggal: rumah sendiri, tinggal bersama anak. Dengan
ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya,
baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga
anaknya. Namun akan cenderung bahwa lansia akan di
tinggalkan oleh keturunannya dalam rumah yang berbeda.
Menurut Darmawan mengungkapkan ada 5 tipe kepribadian
lansia yang perlu kita ketahui, yaitu: tipe konstruktif
(constructive person-ality), tipe mandiri (independent
personality), tipe tergantung (hostilty personality) dan tipe
kritik diri (self hate personality).
2) Kondisi kesehatan
a) Kondisi umum: Kemampuan umum untuk tidak tergantung
kepada orang lain dalam kegiatan sehari-hari seperti mandi,
buang air besar dan kecil.
b) Frekuensi sakit: Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan
menjadi tidak produktif lagi bahkan mulai tergantung
kepada orang lain.
3) Keadaan ekonomi
a) Sumber pendapatan resmi: Pensiunan ditambah sumber
pendapatan lain kalau masih bisa aktif.
b) Sumber pendapatan keluarga: Ada bahkan tidaknya bantuan
keuangan dari anak atau keluarga lainnya atau bahkan
masih ada anggota keluarga yang tergantung padanya.
c) kemampuan pendapatan: Lansia memerlukan biaya yang
lebih tinggi, sementara pendapatan semakin menurun.
Status ekonomi sangat  terancam, sehinga cukup beralasan
untuk melakukann berbagai perubahan besar dalam
kehidupan, menentukan kondisi hidup yang dengan
perubahan status ekonomi dan kondisi fisik
4. Teori-teori Proses Penuaan
a. Teori Biologi
1) Teori genetic dan mutasi (Somatik Mutatie Theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang terprogram oleh molekul-molekul
atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
2) Teori radikal bebas
Tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi-oksidasi
bahan organik yang menyebabkan sel-sel tidak dapat
regenerasi.
3) Teori autoimun
Menurut Corwin (dalam Prantika, 2015), Penurunan sistem
limfosit T dan B mengakibatkan gangguan pada keseimbangan
regulasi sistem imun.Sel normal yang telah menua dianggap
benda asing, sehingga sistem bereaksi untuk membentuk
antibodi yang menghancurkan sel tersebut.Selain itu atripu
tymus juga turut sistem imunitas tubuh, akibatnya tubuh tidak
mampu melawan organisme patogen yang masuk kedalam
tubuh.Teori meyakini menua terjadi berhubungan dengan
peningkatan produk autoantibodi.
4) Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan
tubuh.Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, dan stres menyebabkan sel-sel
tubuh lelah dipakai.
5) Teori telomere
Dalam pembelahan sel, DNA membelah dengan satu arah.
Setiap pembelahan akan menyebabkan panjang ujung telomer
berkurang panjangnya saat memutuskan duplikat kromosom,
makin sering sel membelah, makin cepat telomer itu
memendek dan akhirnya tidak mampu membelah lagi.
6) Teori apoptosis
Teori ini disebut juga teori bunuh diri (Comnit Suitalic) sel jika
lingkungannya berubah, secara fisiologis program bunuh diri
ini diperlukan pada perkembangan persarafan dan juga
diperlukan untuk merusak sistem program prolifirasi sel tumor.
Pada teori ini lingkungan yang berubah, termasuk didalamnya
oleh karena stres dan hormon tubuh yang berkurang
konsentrasinya akan memacu apoptosis berbagai organ tubuh.
5. Tipe-tipe Lanjut Usia
Menurut lilik ma’rifatul (2011), tipe lanjut usia digolongkan seperti
berikut:
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah pengalaman diri denan perubahan jaman,
mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, dermawan,
memenuhi undangan, dan mengambil perubahan
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan-kegiatan yang hilang dengan kegiatan
kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan, teman bergaul,
serta memnuhi undangan
c. Tipe tidak pas
Konflik lahir batin menentang proses ketuaan, yang menyebabkan
kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmaniah,
kehilangan kekuasaaan situs, tesinggung, menuntut, sulit dilayani
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis
gelap datang terang, mengikuti kegiatan beribadah, ringan kaki,
pekerjaan apa saja dilakukan
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan keperibadian, mengasingkan diri, merasa
minder, menyesal, pasif, mental, sosial dan ekonominya.
6. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah
tua.Dari ujung rambut sampai ujung kaki mengalami perubahan
dengan makin bertambahnya umur. Menurut Nugroho (2008) dalam
Prantika (2015) perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai
berikut:
a. Perubahan Fisik
1) Sel
Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar,
berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein
di otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun,
terganggunya mekanisme perbaikan sel.
2) Sistem Persyarafan
Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan
menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf
panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon
penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman
dan perasa, lebih sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh
terhadap dingin rendah, kurang sensitif terhadap sentuhan.
3) Sistem Penglihatan.
Menurunnya lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa
lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil
timbul sklerosis, daya membedakan warna menurun.
4) Sistem Pendengaran.
Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada
bunyi suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit
mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65
tahun, membran timpani menjadi atrofi menyebabkan
otosklerosis.
5) Sistem Kardiovaskuler.
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung
menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun,
kehilangan sensitivitas dan elastisitas pembuluh darah.
Kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
pada perubahan posisi, misalnya dari tidur ke duduk atau
duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun
menjadi 65 mmHg dan tekanan darah meninggi akibat
meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer, sistol
normal ±170 mmHg, dan diastol normal ± 95 mmHg.
6) Sistem pengaturan temperatur tubuh
Pada pengaturan suhu hipotalamus dianggap bekerja sebagai
suatu thermostat yaitu menetapkan suatu suhu tertentu,
kemunduran terjadi beberapa faktor yang mempengaruhinya
yang sering ditemukan yaitu : temperatur tubuh menurun,
keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi
panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktifitas otot.
7) Sistem Respirasi.
Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat,
menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum
menurun dan kedalaman nafas turun.Kemampuan batuk
menurun (menurunnya aktifitas silia), O2 arteri menurun
menjadi 75 mmHg, CO2 arteri tidak berganti.
8) Sistem Gastrointestinal.
Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap
menurun, pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam
lambung menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik
lemah, dan sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
9) Sistem Genitalia.
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya
menurun sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada
wanita sering terjadi atrofi vulva, selaput lendir mongering,
elastisitas jaringan menurun dan disertai penurunan frekuensi
seksual intercourse berefek pada seks sekunder.
10) Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun antara lain
adenocortocotropic hormone (ACTH), thyroid stimulating
hormone (TSH), dan folicle stimulating hormone (FSH),
luteinizing hornone (LH), penurunan sekresi hormon kelamin
misalnya: estrogen, progesteron, dan testoteron.
11) Sistem Kulit
Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses
keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya
elastisitas akibat penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari
menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah
dan fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.
12) Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan
pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon
mengkerut dan mengalami sklerosis, atropi serabut otot
sehingga gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan
tremor.
Menurut Hermawati (2006) selain perubahan fisik pada lansia,
perubahan juga meliputi perubahan psikologis dan sosiologis.
a. Kemunduran psikologis
Pada lansia juga terjadi ketidakmampuan untuk mengadakan
penyesuaian-penyesuaian terhadap situasi yang dihadapinya
antara lain sindroma lepas jabatan sedih yang berkepanjangan.
b. Kemunduran sosiologi
Pada lansia sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
pemahaman lansia itu atas dirinya sendiri mengenai masalah
kesehatannya.Status sosial seseorang sangat penting bagi
kepribadiannya di dalam pekerjaan. Perubahan status sosial lansia
akan membawa akibat bagi yang bersangkutan dan perlu dihadapi
dengan persiapan yang baik dalam menghadapi perubahan
tersebut. Aspek sosial ini sebaiknya diketahui oleh lansia sedini
mungkin sehingga dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin.
7. Jenis Pelayanan Kesehatan Pada Lansia
Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya
kesehatan yaitu: peningkatan (promotif), pencegahan (preventif),
diagnosis dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan dan
pemulihan.
a. Promosi (Promotif)
Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak
langsung untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah
penyakit. Upaya promotif juga merupakan proses advokasi
kesehatan untuk meningkatkan dukungan klien, tenaga
provesional dan masyarakat terhadap praktik kesehatan yang
positif menjadi norma-norma sosial. Upaya promotif di lakukan
untuk membantu organ-organ mengubah gaya hidup mereka dan
bergerak ke arah keadaan kesehatan yang optimal serta
mendukung pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan
yang sehat tentang perilaku hidup mereka.
Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut:
1) Mengurangi cedera, di lakukan dengan tujuan mengurangi
kejadian jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah,
meningkatkan penggunaan alat pengaman dan mengurangi
kejadian keracunan makanan atau zat kimia.
2) Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk
mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan
meningkatkan pengunaan sistem keamanan kerja.
3) Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk,
bertujuan untuk mengurangi pengunaan semprotan bahan-
bahan kimia, mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan
pengolahan rumah tangga terhadap bahan berbahaya, serta
mengurangi kontaminasi makanan dan obat-obatan.
4) Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu
yang bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara
kebersihan gigi dan mulut.
b. Pencegahan (Preventif)
Dalam mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1) Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada
lansia sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan
promosi kesehatan. Jenis pelayanan pencegahan primer adalah:
program imunisasi, konseling, berhenti merokok dan minum
beralkohol, dukungan nutrisi, keamanan di dalam dan sekitar
rumah, manajemen stres, penggunaan medikasi yang tepat.
2) Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan
terhadap penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga
terjadi gejala penyakit belum tampak secara klinis dan
mengindap faktor risiko.
3) Jenis pelayan pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai
berikut: kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker,
screening: pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-
lain.
4) Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat
gejala penyakit dan cacat, mecegah cacat bertambah dan
ketergantungan, serta perawatan dengan perawatan di rumah
sakit, rehabilisasi pasien rawat jalan dan perawatan jangka
panjang.
B. Konsep Risiko Jatuh
1. Pengertian
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak
faktor berperan di dalamnya, baik faktor intrinsic dalam diri lansia
tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas
bawah, kekakuan sendi, sinkope dan dizzines, serta faktor ekstrinsik
seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung benda – benda,
penglihatan kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya.
Jatuh merupakan masalah keperawatan utama pada lansia, yang
menyebabkan cedera, hambatan mobilitas dan kematian (Sattin,
2004).
Selain cedera fisik yang berkaitan dengan jatuh, individu dapat
mengalami dampak psikologis, seperti takut terjatuh kembali,
kehilangan kepercayaan diri, peningkatan kebergantungan dan
isolasi sosial (Downton dan Andrews, 2006).
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau
saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang
mendadak terbaring/terduduk di lantai / tempat yang lebih rendah
dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka ( Reuben, 1996 ).
Berdasarkan beberapa pengertian jatuh di atas, dapat
disimpulkan bahwa jatuh adalah kejadian tiba-tiba dan tidak
disengaja yang mengakibatkan seseorang terbaring atau terduduk di
lantai dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.
2. Faktor Resiko
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti
bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh:
a. Sistem sensori
Yang berperan di dalamnya adalah: visus (penglihatan),
pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua
gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan
gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering
terjadi pada lansia yang diduga karpena adanya perubahan
fungsi vestibuler akibat proses manua. Neuropati perifer dan
penyakit degeneratif leher akan mengganggu fungsi propriosep
tif (Tinetti, 1992). Gangguan sensorik tersebut menyebabkan
hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal
pada saat dilakukan uji klinik.
b. Sistem saraf pusat ( SSP )
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi
input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson,
hidrosefalus tekanan normal, sering diderita oleh lansia dan
menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak
baik terhadap input sensorik (Tinetti, 1992).

c. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan
meningkatkan risiko jatuh.
d. Muskuloskeletal ( Reuben, 1996; Tinetti, 1992; Kane, 1994;
Campbell, 1987; Brocklehurs, 1987 ).
Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor
yang benar – benar murni milik lansia yang berperan besar
terhadap terjadinya jatuh.Gangguan muskuloskeletal.
Menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini
berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan
gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain
disebabkan oleh:
1) Kekakuan jaringan penghubung
2) Berkurangnya massa otot
3) Perlambatan konduksi saraf
4) Penurunan visus / lapang pandang
5) Kerusakan proprioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan:
a) Penurunan range of motion ( ROM ) sendi
b) Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan
kelemahan ekstremitas bawah
c) Perpanjangan waktu reaksi
d) Kerusakan persepsi dalam
e) Peningkatan postural sway ( goyangan badan )
e. Faktor intrinsik
Faktor intrinsik yang dapat mengakibatkan insiden jatuh
termasuk proses penuaan dan beberapa kondisi penyakit,
termasuk penyakit jantung, stroke dan gangguan ortopedik serta
neurologik.
Faktor intrinsik dikaitkan dengan insiden jatuh pada lansia
adalah kebutuhan eliminasi individu. Beberapa kasus jatuh
terjadi saat lnsia sedang menuju, menggunakan atau kembali dari
kamar mandi. Perubahan status mental juga berhubungan dengan
peningkatan insiden jatuh.
Faktor intrinsik lain yang menimbulkan resiko jatuh adalah
permukaan lantai yang meninggi, ketinggian tmpat tidur baik
yang rendah maupun yang tinggi dan tidak ada susut tangan
ditempat yang strategis seperti kamar mandi dan lorong.
f. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik juga memengaruhi terjadinya jatuh. Jatuh
umumnya terjadi pada minggu pertama hospitalisasi, yang
menunjukkan bahaw megenali lingkungan sekitar dapat
mengurangi kecelakaan.
Obat merupakan agen eksternal yang diberika kepada lansia
dan dapat digolongkan sebagai faktor risiko eksternal.obat yang
memengaruhi sistem kardiovaskular dan sistem saraf pusat
meningkatkan risiko terjadinya jatuh, biasanya akibat
kemungkina hipotensi atau karena mengakibatkan perubahan
status ,emtal. Laksatif juga berpengaruh terhadap insida jatuh.
Individu yang mengalami hambatan mobilitas fisik
cenderung menggunakan alat bantu gerak seperti kursi roda,
tongkat tunggal, tongkat kaki empat dan walker. Pasien yang
menggunakan alat banu lebih mungkin jatuh dibandingkan
dengan pasien yang tidak menggunakan alat bantu.
Penggunaan restrain mengakibatkan kelemahan otot dan
konfusi, yang merupakan faktor ekstrinsik terjadinya jatuh
3. Penyebab- penyebab Jatuh Pada Lansia
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa
factor: ( Kane, 1994; Reuben , 1996; Tinetti, 1992; campbell, 1987;
Brocklehurs, 1987 ).
a. Kecelakaan : merupakan penyebab jatuh yang utama ( 30 – 50%
kasus jatuh lansia ), Murni kecelakaan misalnya terpeleset,
tersandung. Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan
kelainan – kelainan akibat proses menua misalnya karena mata
kurang awas, benda – benda yang ada di rumah tertabrak, lalu
jatuh, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi orthostatic,
hipovilemia / curah jantung rendah, disfungsi otonom, penurunan
kembalinya darah vena ke jantung, terlalu lama berbaring,
pengaruh obat-obat hipotensi, hipotensi sesudah makan
b. Obat – obatan
1) Diuretik / antihipertensi
2) Antidepresen trisiklik
3) Sedativa
4) Antipsikotik
5) Obat – obat hipoglikemia
6) Alkohol
c. Proses penyakit yang spesifik
d. Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
e. Sinkope : kehilangan kesadaransecara tiba-tiba
f. Drop attack ( serangan roboh )
g. Penurunan darah ke otak secara tiba – tiba
h. Osteoporosis menyebabkan tulang menjadi rapuh dan dapat
mencetuskan fraktur.
i. Perubahan refleks baroreseptor
Cenderung membuat lansia mengalami hipotensi postural,
menyebabkan pandangan berkunang-kunang, kehilangan
keseimbangan, dan jatuh.
j. Perubahan lapang pandang, penurunan adaptasi terhadap
keadaan gelap dan penurunan penglihatan perifer, ketajaman
persepsi kedalaman, dan persepsi warna dapat menyebabkan
salah interpretasi terhadap lingkungan, dan dapat mengakibatkan
lansia terpeleset dan jatuh.
k. Gaya berjalan dan keseimbangan
berubah akibat penurunan fungsi sistem saraf, otot, rangka,
sensori, sirkulasi dan pernapasan. Semua perubahan ini
mengubahpusat gravitasi, mengganggu keseimbangan tubuh dan
menyebabkan limbung, yang pada akhirnya mengakibatkan
jatuh. Perubahan keseimbangan dan properosepsi membua lansia
sangat rentan terhadap perubahan permukaan lantai (contoh
lantai licin dan mengkilat). Akhirnya, usia yang sangat tua atau
penyakit parah dapat mengganggu fungsi refleks perlindungan
dan membuat individu yang bersangkutan berisiko terhadap jatuh
(Lord, 2005).
4. Faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan resiko
jatuh pada lansia
a. Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak
stabil, atau tergeletak di bawah
b. tempat tidur atau WC yang rendah / jongkok
c. tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang
d. Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun
e. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal / menekuk
pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah
tergeser
f. Lantai yang licin atau basah
g. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan)
h. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara
penggunaannya.
5. Faktor lingkungan yang menyebabkan resiko jatuh
Menurut ( Reuben, 1996; Campbell, 1987 ) :
a. Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas
biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi.
Hanya sedikit sekali ( 5% ), jatuh terjadi pada saat lansia
melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau
olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan
banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh
kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga
sering terjadi pada lansia yang imobil ( jarang bergerak ) ketika
tiba – tiba dia ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa
pertolongan.
b. Lingkungan
Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di
tangga, dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak
dibanding saat naik, yang lainnya terjadi karena tersandung /
menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin
atau tak rata, penerangan ruang yang kurang
c. Penyakit Akut
Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi
akut dari penyakit kronik yang diderita lansia juga sering
menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas akut pada penderita
penyakit paru obstruktif menahun, nyeri dada tiba – tiba pada
penderita penyakit jantung iskenmik, dan lain – lain.
6. Komplikasi
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi – komplikasi seperti :
( Kane, 1994; Van – der – Cammen, 1991 )
a. Perlukaan ( injury )
Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek
atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri / vena, Patah
tulang (fraktur) : Pelvis, Femur (terutama kollum), humerus,
lengan bawah, tungkai bawah, kista, Hematom subdural.
b. Perawatan rumah sakit
a. Komplikasi akibat tidak dapat bergerak ( imobilisasi )
b. Risiko penyakit – penyakit iatrogenik
c. Disabilitas
a. Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan
fisik.
b. Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan
diri, dan pembatasan gerak
d. Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan (nursing
home)
e. Mati
7. Pencegahan
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena
bila sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan
tetap memberatkan.
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan, antara lain : ( Tinetti, 1992;
Van – der – Cammen, 1991; Reuben, 1996 )
a. Identifikasi faktor resiko
b. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan ( gait )
c. Mengatur / mengatasi fraktur situasional
8. Pendekatan Diagnostik
Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti
dibawah ini: (Kane, 1994; Fischer, 1982)
a. Riwayat Penyakit (Jatuh)
Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata
jatuh atau keluarganya. Anamnesis ini meliputi :
1) Seputar jatuh
2) Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar – debar, nyeri
kepala tiba-tiba, vertigo, pingsan, lemas, konfusio,
inkontinens, sesak nafas.
3) Kondisi komorbid yang relevan : pernah stroke,
Parkinsonism, osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung,
rematik, depresi, defisit sensorik.
4) Review obat – obatan yang diminum : antihipertensi,
diuretik, autonomik bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik,
analgetik, psikotropik.
5) Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun
tempat-tempat kegiatannya.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda vital
2) Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran,
nistagmus, gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan,
bising.
3) Jantung : aritmia, kelainan katup
4) Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati
perifer, kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.
5) Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi
problem kaki ( podiatrik ), deformitas.
c. Assesmen Fungsional
Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :
1) Fungsi gait dan keseimbangan : observasi pasien ketika dari
bangku langsung duduk dikursi, ketika berjalan, ketika
membelok atau berputar badan, ketika mau duduk dibawah.
2) Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan,
menggunakan alat bantu, memakai kursi roda atau dibantu
3) Aktifitas kehidupan sehari – hari : mandi, berpakaian,
bepergian, kontinens.
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh
berulang dan menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan
fungsi AKS terbaik, mengembalikan kepercayaan diri penderita.
a. Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau
meneliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani
komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan
membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik,
neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik, dll),
sosiomedik, arsitek dan keluarga penderita.
b. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap
kasus karena perbedaan factor – factor yang bekerjasama
mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut
penanganannya menjadi lebih mudah, sederhanma, dan langsung
bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih
banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial
sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat rehabilitasi,
perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada
kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh
ulangan, misalnya pembatasan bepergian / aktifitas fisik,
penggunaan alat bantu gerak.
c. Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan
penurunan fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan
kekuatan dan ketahanan otot sehingga memperbaiki
nfungsionalnya. Sayangnya sering terjadi kesalahan, terapi
rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita mengalami
jatuh, padahal terapi ini diperlukan terus – menerus sampai
terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fumgsional.
Penelitian yang dilakukan dalam waktu satu tahun di Amerika
Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih dari 75 tahun,
didapatkanpeningkatan kekuatan otot dan ketahanannya baru
terlihat nyata setelah menjalani terapi rehabilitasi 3 bulan,
semakin lama lansia melakukan latihan semakin baik
kekuatannya.
d. Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan
difokuskan untuk mengatasi / mengeliminasi penyebabnya/faktor
yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam program gait
training, latihan strengthening dan pemberian alat bantu jalan.
Biasanya program rehabilitasi ini dipimpin oleh fisioterapis.
Program ini sangatmembantu penderita dengan stroke, fraktur
kolum femoris, arthritis, Parkinsonisme.
e. Penderita dengan dissines sindrom, terapi ditujukan pada
penyakit kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat –
obat yang menyebabkan hipotensi postural seperti beta bloker,
diuretik, anti depresan, dll.
f. Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki
lingkungan rumah / tempat kegiatan lansia seperti di pencegahan
jatuh (Reuben,2005).
10. WOC
Pathway Lansia dengan Risiko Jatuh

Mengalami Penurunan 3 Aspek

Biologis Psikologis Sosial

Penurunansel tidakstabilnya kesiapan meningkatkan manajemen lingkungan yang baru

seldanfungsi penyesalanakan keadaanpsikologis kesehatan

sistemtubuh pengalamanhidup temanbaru

yangkurang kaeadaanemosisering keinginan untuk meningkatkan

Penurunanfungsi berubah-ubah status kesehatan

Neurologis/tonus
Otot
Risikogangguan

Risiko Ansietas usia yang semakin penyesuaianindividu

ketidakberdayaan menua
Gangguansistem

Musculoskeletal Ansietaskematian Kehilangan kepercayaan diri

Kelemahan otot Malasbersih

Bersihdiri Tinggal di PSTW Keputusasaan

Defisitperawatan

Diri Kulitkotordan lingkungan baru

terasagatal-gatal teman baru

Dukungansosial

Risiko kerusakan

Berkurangnyacairan Infeksi integritaskulit

Synovial padasendi

Nyeri yang
berlangsung lebih
dari 3 bulan Nyeri kronis
Risiko Jatuh Kekakuandan kram
Sendi Nyeri akut
KONSEP DASAR ASKEP
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas/Istirahat:
Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk
dengan stres pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya
terjadi bilateral dan simetris.Limitasi fungsional yang
berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan,
keletihan.
Tanda :Malaise, keterbatasan rentang gerak; atrofi otot, kulit,
kontraktor/kelaianan pada sendi.
2. Kardiovaskular:
Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat
intermitten, sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum
warna kembali normal).
3. Integritas Ego:
Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis; finansial,
pekerjaan, ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan, keputusan
dan ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan), ancaman pada
konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya
ketergantungan pada orang lain).
4. Makanan/Cairan:
Gejala :  Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi
makanan/ cairan adekuat: mual, anoreksia, kesulitan untuk
mengunyah.
Tanda :   Penurunan berat badan, kekeringan pada membran
mukosa.
5. Hygiene:
Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas
perawatan pribadi, ketergantungan.
6. Neurosensori:
Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi
pada jari tangan.
Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/Kenyamanan:
Gejala :  Fase akut dari nyeri (mungkin tidak disertai oleh
pembengkakan jaringan lunak pada sendi).
8. Keamanan:
Gejala :  Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, Lesi kulit,
ulkus kaki. Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/
pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan menetap Kekeringan
pada mata dan membran mukosa.
9. Interaksi Sosial:
Gejala : Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/ orang lain;
perubahan peran; isolasi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan keterbataan
rentang gerak.
2. Gangguan nyaman nyeri yang berhubungan dengan trauma
jaringan akibat jatuh
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan
dengan fraktur, pemasangan traksi pen, imobilitas fisik
C. INTERVENSI
1. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan keterbatasan
rentang gerak
Tujuan atau kriteria hasil yang diharapkan:
- Klien mampertahankan kekuatan dan ketahanan sistem
muskuloskeletal dan fleksibilitas sendi-sendi dibuktikan oleh
tidak adanya kontraktur.
Intervensi Keperawatan Rasional
Observasi tanda dan gejala penurunan Memberikan informasi sebagai dasar
mobilitas sendi, dan kehilangan dan pengawasan keefektifan intervensi.
ketahanan
Observasi status respirasi dan fungsi Memberikan informasi tentang status
jantung klien. respirasi dan fungsi jantung klien.
Observasi lingkungan terhadap bahaya- Mencegah risiko cedera pada lansia
bahaya keamanan yang potensial. Ubah
lingkungan untuk menurunkan bahaya-
bahaya keamanan.
Ajarkan tentang tujuan dan pentingnya Meningkatkan harga diri:
latiha meningkatkan rasa kontrol dan
kemandirian klien
Ajarkan penggunaan alat-alat bantu Membantu perawatan diri dan
yang tepat kemandirian pasien.

2. Gangguan nyaman nyeri yang berhubungan dengan trauma


jaringan akibat jatuh Tujuan atau kriteria hasil yang diharapkan:
- Klien menyatakan nyeri terkontrol
- Klien mampu membatasi fungsi posisi dengan pembatasan
kontraktur
- Klien mampu mempertahankan atau meningkatkan kekuatan
dan fungsi kompensasi tubuh.
- TTV dalam batas normal
Intervensi Keperawatan Rasional
1.     Evaluasi atau lanjutkan pemantauan Tingkat aktifitas atau latihan
tingkat inflamasi atau rasa sakit pada tergantung dari perkembangan atau
sendi. resolusi dari proses inflamasi
2.    Bantu dan ajari keluarga klien untuk     Istirahat sistemik dianjurkan selama
pertahankan istirahat tirah baring atau eksaserbasi akut dan seluruh fase
duduk jika diperlukan, jadwal aktifitas penyakit yang penting untuk
untuk memberikan periode istirahat mencegah kelelahan dan
yang terus menerus dan tidur dimalam mempertahankan kekuatan.
hari yang tidak terganggu.
3.    Bantu  dan ajari keluarga dengan    Mempertahankan atau menigkatkan
rentang gerak aktifatau pasif, demikian fungsi sendi, kekuatan otot dan
juga latihan resistif dan isometric jika stamina umum. Catatan: latihan yang
memungkinkan. tidak adekuat dapat menyebabkan
kekakuan sendi
4.    Ajari klien dan keluarga ubah posisi    Menghilangkan tekanan pada jaringan
dengan sering dengan personel cukup dan meningkatkan  sirkulasi, tehnik
serta demonstrasikan atau bantu tehnik pemindahan yang tepat dapat
pemindahan dan penggunaan bantuan mencegah robekan abrasi kulit.
mobilitas, mis: trapeze.
5.    Dorong klien mempertahankan postur    Memaksimalkan fungsi sendi,
tegak dan duduk tinggi, berdiri, mempertahankan mobilitas.
berjalan.
6.    Ajarkan keluarga untuk memberikan    Menghindari cedera akibat kecelakaan
lingkungan yang aman, mis: menaikkan atau jatuh.
kursi atau kloset, menggunakan
pegangan tangga pada bak atau
pancuran dan toilet, penggunaan alat
bantu mobilitas atau kursi roda

3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan


dengan fraktur, pemasangan traksi pen, imobilitas fisik.
Tujuan atau kriteria hasil yang diharapkan:
- Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang
- Klien menunjukkan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit
atau memudahkan penyembuhan sesuai indikasi
- Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu atau
penyembuhan lesi terjadi

Intervensi Keperawatan Rasional


Kaji kulit untuk luka terbuka, benda    Memberikan informasi tentang
asing, kemerahan , perdarahan, sirkulasi kulit dan pembentukan
perubahan warna, kelabu, memutih. edema yang membutuhkan intervensi
1. medik lanjut
Ajarkan keluarga lansia agar mengubah    Mengurangi tekanan konstan pada area
posisi sesering mungkin. yang sama dam meminimalkan resiko
2. kerusakan kulit .
3.    Ajarkan keluarga lansia agar sesering Menurunkan kadar kontaminasi kulit
mungkin membersihkan kulit dengan air    
sabun hangat.
4.   Tekuk ujung kawat atau tutup ujung Mencegah cedera pada bagian tubuh
kawat atau pen dengan karett atau gabus lain
pelindung atau tutup jarum.
5.  Ajarkan keluarga agar memberikan   Mencegah tekanan berlebihan pada
bantalan atau pelindung dari kulit kulit, meningkatkan eaporasi
domba atau busa. kelembapan yang menurunkan resiko
ekskoriasi.

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, Lilik Ma’ rifatul, (2011). Keperawatan LanjutUsia. Yogyakarta : Graha
Ilmu
Dewi, Sofia Rhosma;. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (1 ed.).
Yogyakarta: Deepublish

Downton dan Andrews. 2006. Konsep Dasar ResikoJatuh. Yogyakarta :


Buku Kedokteran EGC

Gallo, Joseph.1998. Buku Saku Gerontologi. Jakarta : Buku Kedokteran


EGC

Hermawati, I. (2006). Konsep Lanjut Usia. Http//:id.scribd.com.

Nugroho, Wahjudi.1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta : Buku


Kedokteran EGC

Sattin. 2004. Perawatan Geriatri eds.2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Reuben. 2005. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta : Buku


Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai