Disusun Oleh:
Jakarta
April 2021
Pada awalnya dalam cetakan pertama oleh penerbit Pustaka Indonesia, buku ini hanya
sebatas bahan bacaan dalam mata kuliah Opini Publik bagi mahasiswa/I Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Persada Indonesia (YAI) pada tahun 2007. Meskipun buku ini masih
didominasi oleh hasil kajian daftar pustaka, namun beberapa bagian dari buku ini telah
dilengkapi dengan hasil penelitian empiris yang sangat penting dalam memperdalam khasanah
ilmu pengetahuan di Indonesia.
Setelah buku ini direvisi dengan penambahan sejumlah materi dan literature baru. Maka hal ini
dilakukan oleh penulisnya untuk lebih melengkapi buku ini sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan Opini Publik. Lalu buku ini dapat dicetak kembali dalam edisi kedua oleh
penerbit Gramata Pustaka.
Buku ini menjelaskan sejarah perkembangan Opini Publik yang tidak lepas dari
fenomena dalam kehidupan social dan politik. Hal ini berkaitan dengan berkembangnya gagasan
tentang pentingnya kemerdekaan berserikat dan kebebasan menyatakan pendapat di hadapan
umum, sebagai salah satu elemen penting dalam membangun suatu negara yang berlandaskan
demokrasi.
Sejarah perkembangan yang dibahas pada buku ini mengambil diksi yang unik dan menarik
contoh dari era kerajaan. Ternyata pada era tersebut opini public sudah digunakan.
Rousseau pernah menyebut opini public sebagai “ratu dunia” karena opini public itu tidak dapat
ditaklukkan oleh raja-raja pada zaman otoritarian pada abad ke 17 dan ke 18, kecuali bila sang
“ratu dunia” itu mau untuk “dibeli” sehinga menjadi “budak” dari raja.
Rousseau menyatakan bahwa dalam perubahan social dan politik, pemerintahan tidak boleh
terlalu jauh di depan pendapat rakyat. Meskipun demikian ia juga menyadari bahwa kebijakan
pemerintah secara timbal balik membentuk Opini Publik.
Banyak sekali para ahli berpendapat mengenai arti daripada Opini Publik antara pendapat
umum atau persepsi umum. Meskipun demikian istilah Opini Publik atau Pendapat Umum tidak
perlu dipertentangkan karena kedua istilah tersebut digunakan di Indonesia.
Untuk memahami Opini Publik atau umum dalam perspektif Ilmu Komunikasi sebagai bagian
dari Ilmu Sosial, maka ada beberapa formulasi yang berbeda terhadap opini maupun terhadap
public.
Dalam buku ini ada beberapa ilmuan yang membahas fungsi serta peran opini public
seperti Bogardus yang menjelaskan bahwa Opini Publik merupakan suatu dasar dari hukum,
karena kekuatan hukum tergantung dari dukungan Opini Publik. Selain itu Opini Publik di
negara demokrasi seperti Indonesia diposisikan sebagai kekuatan keempat setalah trias politika
dari Montesque yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Akan tetapi selain berfungsi sebagai sebuah kekuatan politik dalam kehidupan bernegara, opini
public juga mempunyai fungsi dalam kehidupan social dan individu. Seperti yang disebutkan
Ithiel de Sola (1973:783) yaitu;
Buku ini juga membahas terbentuknya opini public berdasarkan Ideologi negara dan
filsafat politik, secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu “Otoritarian” dan “Libertarian” juga
perlu kita ketahui bahwa ada tiga ideology yang dibahas pada buku ini, seperti ;
a) Otoritarian
Dalam ideology ini rakyat sama sekali tidak diperbolehkan untuk ikut andil dalam
pengambilan kekuasaan serta keputusan politik.
b) Libertarian
Kaum liberalis yang mengembangkan filsafat politik libertarian atau bisa disebut politik
demokrasi yang dibangun dari asumsi dasar bahwa manusia pada hakikatnya dilahirkan
sama (egaliter) dan tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya.
Sebab manusia adalah makhluk yang berakal dan dengan kekuatan akalnya manusia
mampu menemukan kebenaran.
c) Pancasila
Dalam Pancasila, manusia dipandang sebagia makhluk monodualis atau individu juga
sebagai makhluk social maka pada khususnya Indonesia tidak boleh menjadi “negara
kekuasaan” seperti di negara otoriter dan juga tidak diposisikan sebagai negara “penjaga
malam” seperti negara liberal, tetapi diletakkan dan dikembangkan sebagai negara
kesejahteraan (welfare state). Oleh sebab itu, pada hakikatnya filsafat politik Pancasila
berada diluar liberalism dan di luar otoritarianisme.
Dibuku ini dijelaskan mengenai beberapa perubahan “sistem pers bebas” di Indonesia
yang berlaku sejak tahun 1999, sebagai bagian dari awal kebebasan mengeluarkan pendapat.
Pada awalnya bersistem “sistem pers merdeka” atau “sistem pers bebas” (1950-1958) kemudian
berubah menjadi “sistem pers terpimpin” (1958-1965) lalu pada tahun 1966 sistem pers
Indonesia menganut “sistem pers bebas dan bertanggung jawab” (1966-1999) dan “sistem media
pembangunan” dalam bentuk “teori pers Pancasila” yang dikembangkan menjadi “sistem Pers
Pancasila”.
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Page 7
Kisah sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam perjuangan melawan penjajah juga diangkat
dalam buku ini untuk mengawali kebebasan berpendapat melalui pers. Pada masa perjuangan
kemerdekaan Indonesia itu, hubungan pemerintah Indonesia dengan pers sangat harmonis.
Namun keharmonisan itu mulai terganggu, karena kritik pers tidak lagi mengarah kepada kaum
penjajah karena kemerdekan sudah tercapai. Kritik tajam pers kemudian justru diarahkan kepada
pemerintah republic Indonesia, yang sedang menata pemerintahan dengan biroktasi yang masih
lembah. Pemerintah yang tidak stabil dan ancaman adannya disintegrasi nasional, mendorong
pemerintah dan penguasa militer melakukan “pukulan balik” kepada pers.
Jadi menurut saya, awal kebebasan perbendapat di Indonesia diawali dengan masa perjuangan
melawan penjajah dan transisi awal dari referendum Indonesia terhadap jepang dan belanda. Di
masa ini kebebasan berpendapat yang di wakilkan oleh pers tentunya sangat menentukan arah
perubahan implikasi social, politik, ekonomi, ideology dan pertahanan keamanan yang sangat
mendasar sekalipun.
Kebebasan pers tidak hanya mengubah perilaku social masyarakat, tetapi juga telah mengarah
kepada masalah hak asasi manusia yang terkait dengan hal-hal pribadi (privacy) namun seiring
perkembangan zaman, justru sejumlah pihak telah menuduh bahwa sejumlah penerbitan pers
telah menyalahgunakan kebebasannya.
Dalam konsep “Kebebasan Positif” dibuku ini mengenai dukungan pers terhadap
pemerintahan, dimana pemerintahan dipandang sebagai mitra dalam mencapai kebenaran untuk
membantu mempromosikan kebebasan informasi atau pers. Dengan demikian pers harus
membantu supayya kesejahteraan dan ketentraman masyarakat tetap terjamin.
Sejak awal abad ke-20, kritik terhadap “Kebebasan Negative” yang dipraktikan oleh pers telah
berkembang bahkan cenderung berubah, yaitu;
Maka opini public pada saat ini bukan hanya kebebasan pendapat yang positif namun juga ada
yang negative bahkan di Indonesia sangat cepat jika ada opini public yang berstatement negative
bisa langsung viral di social media akibat penggiringan opini public melalui pers itu sendiri.
Banyak yang bertanya apakah politik bagian dari komunikasi atau sebaliknya?
hal apakah yang paling cenderung dibahas dalam komunikasi politik?
Tentunya dibuku ini dibahas secara garis besar hubungan antar komunikasi dan politik
dengan para pakar dari masing masing bidang komunikasi dan politik. Dari pakar ilmu
komunikasi A. Muis (1990), menjelaskan bahwa istilah komunikasi politik merujuk pada pesan
sebagai objek formalnya sehinga titik berat konsepnya terletak pada komunikasi dan bukan pada
politik. Pada hakikatnya komuniksi poitik mengandung informasi atau pesan tentang politik.
Sebaliknya para ilmuwan politik memandang bahwa sesungguhnya politik meliputi komunikasi,
karena banyak definisi komunikasi yang mengandung muatan politik terutama definisi yang
menyebut bahwa komunikasi melakukan control social atau bertujuan memengaruhi dan
melaksanakan kekuasaan.
Pada dasarnya komunikasi politik menurut McNair (1995) adalah komunikasi yang diupayakan
untuk mencapai tujuan-tujuan politik tententu. Bahkan sangpenulis buku ini Anwar Arifin (1997)
mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, didirikan dengan menggunakan
komunikasi politik, yaitu Proklamasi dengan hanya dua kalimat pendek saja, yang kemudian
tersebar luas melalui pembicaraan antarpersona, retorika, radio, dan surat kabar.
Praktik dalam menjalankan komunikasi politik itu sebagai komunikator politik sendiri
terdiri atas politikus, aktivis dan professional. Pesan politik dibagi oleh Nimmo (1999:101-102)
dalam empat jenis, yaitu;
Melalui kata-kata politik dan permainan kata (retorika) akan tercipta citra politik dalam
masyarakat. Dalam kaitan pembentukannya opini public itu menggunakan media massa pada
umumnya menurut Hamad (2004:2) yaitu;
Dengan demikian media massa dapat melakukan konstruksi dan dekonstruksi realitas
politik, sehinga terbangun citra politik dan persepsi politik tertentu pada khalayak yang
kemudian dapat membentuk opini public.
9. Khalayak
Khalayak yang dibahas pada buku ini ialah khalayak yang menjadi target komunikasi
politik dalam menggunakan proses komunikasi massa, yaitu;
Padahal secara general khalayak di Indonesia itu terdapat berbagai macam bentuk
khalayak, namun pastinya penulis dapat menjelaskan perspektif sendiri atas mengapa bisa
mengambil contoh atau target pada khalayak tersebut.
Tumbuh dan berkembangnya media massa sebagai sebuah industry jasa yang melayani
informasi public secara professional dan terlembaga menempatkan pemilik modal sebagai
pengendali media yang sangat efektif. Media massa dibuku ini dinilai benar benar sangat
berorientasi pada pasar dengan mengejar keungungan finansial, dan dalam rangka itu
menjalankan fungsi social dan fungsi politik. Media massa sebagai lembaga mandiri dan otonom
sehingga pemerintah dan politikus tidak dapat lagi mengendalikan media massa. Ada media yang
mendukung dan ada media yang kurang mendukung, jika media yang kurang mendukung tidak
dapat dikendalikan maka opini public yang berstatement negative bisa terus dilayangkan ke
Pada akhirnya pemilahan jenis media serta penggunaannya untuk kepentingan politik bagi
politikus dan partai politik, hanya dapat dilakukan terhadap media yang dapat dikendalikan atau
dikontrol oleh para politikus. Media yang dimaksud adalah yang tidak terlembagakan yaitu
media format kecil, seperti buku saku, tabloid, brosur, pamphlet, poster, spanduk, dan baliho.
Media format kecil ini tidak terlembagakan karena bisa di control oleh pihak pihak atau individu
tertentu dalam opini public.
Perspektif dinamika pada buku ini secara penyerderhanaan dalam pembentukan atau
perubahan opini public cenderung merupakan penilain yang terbatas hanya kepada pemimpin
atau tokoh politik saja. Dalam hal ini terdapat kecenderungan kepada individu, public dan massa
menganggap bahwa tokoh mereka memiliki sikap dan opini yang sama dengannya, serta akan
menjalankannya.
Selain itu opini public juga sering dipandang sangat labih dan mudah berubah, dengan
demikian maka perubahan sikap dn opini, akan terjadi jika ada “perubahan medadak” kehidupan
politik, social atau ekonomi, yang berdampak baik atau buruk pada masyarakat.
Dalam menyusun pesan politik dalam buku ini perlu adanya syarat yang bersifat
persuasive, yaitu menentukan tema dan materi yang sesuai dengan kondisi dan situasi public.
Tentunya syarat yang paling utama dalam memengaruhi public dari pesan tersebut ialah mampu
membangkitkan perhatian. Hal ini juga berkaitan dengan faktor siapa yang akan
menyampaikan atau menyajikan pesan-pesan tersebut. Ada dua metode yang digunakan dalam
membangkitkan perhatian dari khalayak terhadap pesan pesan yang disampaikan, yaitu;
Pesan politik yang dapat menimbulkan perhatian adalah pesan politik yang “mudah
diperoleh” (availability) dank arena itu harus “menyolok perbedaannya” (contrast) dengan
pesan-pesan yang lain. Kedua hal ini ditujukan terutama dalam penggunaan tanda-tanda
komunikasi (sign of communication) dan penggunaan media. Sebab dalam persoalan yang sama
orang selalu memilih yang paling mudah, yaitu yang tidak terlalu banyak meminta energy atau
yang memerlukan biaya tinggi.
Telah dijelaskan di buku ini bahwa public itu dinilai memiliki “daya tangkal” dan
sekaligus “daya serap” supaya public tidak menggunakan daya tangkalnya, maka sejumlah pakar
mengembangkan kajian ilmiah persuasi untuk mencapai efektivitas dalam berkomunikasi dalam
membentuk opini public. Selain itu ada pun menggunakan upata dengan propaganda politik
sebagai bentuk kegiatan politik yang dilakukan secara intensif.
Di Indonesia sendiri istilah propaganda diartikan sebagai penyampaian pesan benar atau salah
dengan tujuan meyakinkan orang supaya menganut suatu aliran, sikap atau arah tindakan tertentu
yang biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk.
a) Kredible
b) Attractive (Daya Tarik)
c) Power
Pada dasarnya juru kampanye sebagai komunikator politik adalah pemimpin, karena harus
memiliki kemampuan dalam membawa massa atau pengikut kepada tujuan tertentu. Kampanye
itu sendiri bisa dilakukan dengan menggunakan tiga cara, yaitu;
a) Dialogis (Pidato)
b) Monologis (Orasi)
c) Organisasi
1. Kelebihan
Ada banyak sekali kelebihan yang bisa kita pelajari pada buku Opini Publik
karangan Prof.Dr. Anwar Arifin mulai dari sejarah awal opini public secara general lalu
digiring ke pembahasan sejarah Opini Publik di Indonesia. Mulai dari masa perlawanan
penjajah sampai pada titik kebebasan pers itu sendiri. Jadi kita bisa sekaligus bisa
memahami secara mendasar pada pemahaman awal munculnya sejarah opini public. Lalu
pembahasan pada buku ini di deskripsikan dari general menjadi lebih spesifik, mulai dari
opini public era kerajaan, kebebasan berpendapat positive atau negative, kebebasan
informasi, teori dalam opini public, penggunaan media, khalayak, sampai pembentukan
opini public yang diaplikasikan kepada komunikasi politik di Indonesia.
Bahasa yang digunakan pada buku ini juga cukup mudah di pahami dikalangan
mahasiswa karena menggunakan diksi yang biasa digunakan dalam dunia perkuliahan.
Selain itu cetakan pada buku ini yang tidak begitu tebal dan ringan jadi mudah untuk
dibawa kemana saja untuk di baca dan dipahami.
2. Kekurangan
Pembahasan pada buku ini terfokus kepada efek dari pada Opini Publik yang
diaplikasikan kedalam komunikasi politik di Indonesia, seharusnya bisa di jelaskan
secara spesifiknya lagi mengenai opini public mulai dari jenis, strategi, hingga
penempatan demografi atau geografi di Indonesia bukan hanya menarik kesimpulan
secara general karena masing masing masyarakat di Indonesia memiliki wilayah dan
culture yang berbeda.
Penulis asli di buku ini hanya menulis di cetakan pertama, dan di cetakan kedua
hanya menyetujui revisi yang dilakukan oleh tim dan penerbit. Seharusnya nama serta
identitas pada penulis tim juga harus di masukkan kedalam buku sehingga kita bisa
Kertas pada buku ini sedikit lebih tipis dan warnanya sedikit menguning, lalu
kurangnya penambahan gambar pada buku sehingga membuat pembaca sedikit menjadi
jenuh karena hanya di penuhi kalimat.
1. Saran
Strategi, metode atau percontohan yang diangkat pada buku ini tidak diberikan
secara detail oleh penulis, padahal sangat bagus juga ditambah hal tersebut secara detal
dan diberi aksen gambar atau grafik.
2. Kesimpulan
Setelah membaca buku Opini Publik jadi kita lebih mengerti bahwa hal-hal dalam
menyatakan pendapat bukan hanya ada hal positive namun juga negative dan terutama
bisa diaplikasikan untuk kegiatan politik dan hukum di Indonesia. Jadi menurut saya ada
ada 4 kekuasaan di Indonesia, yaitu;
Legislatif
Eksekutif
Yudikatif
Opini Public