Anda di halaman 1dari 9

BAN IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini menjabarkan mengenai perbandingan antara teori dan kasus kelolaan

dari setiap proses keperawatan yang dilakukan selama proses pendokumentasian

asuhan keperawatan.

A. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal proses keperawtan untuk mengumpulkan data

secara sistematis dan lengkap. Data yang diperoleh berupa data subjektig, objektif

dengan sumber dari pasien, keluarga dan studi dokumentasi tujuan dilakukan

pengkajian adalah mendapatkan data klien baik fisik, psikologis, dan emosional

Pada pengkajian kasus kelolaan Ny.E pada tanggal 22 Februari 2021, didapatkan

hasil sebagai berikut:

1. Data senjang:

a. Data Subyektif: keluarga mengatakan , sehari sebelum masuk RS tanggal

19 Februari 2021pasien jatuh di kamar mandi dan pasien mengatakan

badan terasa lemas.

b. Data Obyektif: saat di IGD tanggal 20 Februari 2021 klien bingung, sulit

bicara, tangan dan kaki kiri lemas. TD 170/100 mmHg, HR 87x/menit, RR

22x/menit.
c. Pemeriksaan Penunjang: Hasil thorak peningkatan corakan broncovaskuler

pulmo, hasil MSCT Cortical infark di lobus frontalis sinistra dengan

multiple lacunair infark thalamus dextra dan perifentrikel lateralis bilateral

di sertai tanda leukoartisis perifentrikel white matter bilateral.

Pada tahap pengkajian tidak ditemukan kesenjangan antara teori, pada pengkajian

ditemukan data subyektif dan obyektif yaitu penurunan kekuatan otot, kesulitan

bicara, peningkatan tekanan darah. Sesuai dengan teori (Smeltzer dan Bare, 2013)

yang mengtakan bahwa tanda gejala stroke adalah menurunnya reflex tendon,

perubahan kemampuan kognitif dan psikologis, plegia sebagian badan. Temuan

infark cerebri juga merupakan hal yang sering dijumpai dalam kasus stroke Non-

Hemoragic.

B. Diagnosa

Tahap setelah dilakukan pengajian adalah perumusan diagnose keperawatan.

Penyusunan diagnosis diambil sesuai masalah yang muncul pada saat pengkajian.

Rumusan masalah keperawatan dikategorikan menjadi diagnosis actual dan

diagnosis resiko.

Diagnosis keperawatan pada kasus Stoke Non-Hemoragic berdasarkan teori,

antara lain:

1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan O2 otak menurun


2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
4. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor risiko : lembab
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neoromuscular,
kerusakan sentral bicara (Tirin, 2018).

Adapun diagnosis yang ditegakkan dalam kasus kelolaan Ny.E adalah:


1. Resiko perfusi jaringan serebral dengan faktor resiko embolisme
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan Gangguan neuromuluker
5. Resiko luka tekan dengan faktor resiko penurunan mobilisasi
6. Resiko konstipasi dengan faktor resiko Aktivitas fisik harian kurang dari yang
dianjurkan
Berdasarkan asuhan keperawtan teori dan kasus kelolaan, terdapat diagnose yang
tidak muncul maupun diagnose baru yang ditegakkan, sebagai berikut:
1. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient. Ketidakseimbangan
nutrisi adalah keadaan saat individu mengalami penurunan beratbadan karena
tidak adekuatnya asupan nutrisi untuk kebutuhab tubuh. Diagnose ini tidak
muncul karena tidak ditemukan data senjang saat proses pengkajian, yaitu
klien makan 2x sehari sebanyak 5 suap meski enggan makan, berat badan
klien dalam rentang ideal
2. Deficit perawatan diri: Defisit perawatan diri berhubungan dengan Gangguan
neuromuluker. Deficit perawatan diri merupakan kondisi saat seseorang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri, berhias, makan, BAK/BAB (Yusuf, 2015). Data subyektif
yang didapatkan, klien mengatakan tidak dapat mandi, toileting, makan,
maupun minum secara mandiri yang disebabkan oleh penrunan kekuatan otot
ekstremitas kiri pasien. Data tersebut memenuhi kriteria untuk ditegakkannya
diagnose deficit perawatan diri.
3. Resiko konstipasi dengan faktor resiko Aktivitas fisik harian kurang dari yang
dianjurkan. Konstipasi dalam buku SDKI diartikan sebagai penurunan
defekasi normal yang disertai pengeluaras feses sulit dan tidak tuntas serta
feses kering dan banyak (SDKI, 2017). Diagnose Resiko konstipasi
ditegakkan karena pasien melakukan perawatan bedrest dan terjadi kelemahan
otot, yang mengakibatkan penurunan aktivitas fisik. Teori ini didukung oleh
penelitian (Amelia, 2016) yang mengatakan bahwa sebanyak 82% lansia yang
tidak cukup melakukan aktivitas mengalami konstipasi.

4. Perencanaan

Intervensi keperawatan dilakukan disesuaikan dengan diagnosa dan dapat

dilaksanakan sesuai dengan program yang akan dicapai selama perawatan pasien

di rumah sakit. Pelaksanaan perencanaan dilakukan dengan menggunakan SLKI

(standar luaran keperawatan Indonesia) dan SIKI (standar intervensi keperawatan

Indonesia). Rencana keperawatan yang dilakukan pada diangnosis:

1. Resiko perfusi jaringan serebral dengan faktor resiko embolisme

a. Monitor sirkulasi perifer, tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital.

b. Lakukan latihan gerak aktif dan pasif.

c. Anjurkan melakukan fleksi dan ekstensi kaki paling sedikit 10 kali setiap

jam.

d. Ajarkan menghindari duduk dengan kaki menyilang atau duduk lama

dengan kaki tergantung.

e. Ajarkan melakukan tindakan pencegahan imobilisasi jangka panjang.


f. Kolaborasi pemberian obat plavix 1x75 mg, farmasal 1x100 mg, dan

condensartan 1x16 mg secara oral.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

a. Identifikasi adanya nyeri dan keluhan lain

b. Identifikasi toleransi pegerakan fisik dan monitor kondisi umum selama

melakukan mobilisasi

c. Ubah posisi pasien miring kanan dan kiri setiap 2 jam sekali

d. Ajarkan kepada pasien dan keluarga ROM aktif dan pasif

e. Anjurkan untuk melakukan mobilisasi dini

f. Kolaborasi dengan ahli terapis bila diperlukan

3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.

a. Monitor kemampuan bicara

b. Identifiikasi perilaku fisik dan emosional sebagai bentuk komunikasi

c. Gunakan metode komunikasi alternatif: menulis atau isyarat tangan.

d. Modifikasi lingkungan utuk meminimalkan bantuan

e. Berikan dukungan psikologis

f. Anjurkan untuk berbicara secara perlahan

g. Rujuk ke ahli patologis bicara

5. Imlementasi
Pada tahap implementasi keerawatan yang dilaksanakan selama 3 hari yaitu

tanggal 22-24 Februari 2020 mulai pukul 15.00-21.00 WIB. Implementasi yang

dilaksanakan sesuai dengan rencana asuhan keperawatan meliputi:

1. Resiko perfusi jaringan serebral dengan faktor resiko embolisme.

Tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa ini adalah menganjurkan

pasien melakukan fleksi dan ekstensi kaki paling sedikit 10 kali setiap jam.

Memonitor sirkulasi perifer, tingkat kesadaran, dan tanda-tanda vital.

Memberikan obat Plavix, farmasal dan condensartan. Mengajarkan

menghindari duduk dengan kaki menyilang atau duduk lama dengan kaki

tergantung. Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis sudah sesuai

dengan teori. Kelebihan dari tindakan ini adalah dapat mengurangi resiko

terjadinya embolisme.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

Tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa ini adalah mengubah posisi

pasien miring kanan dan kiri setiap 2 jam sekali dan menganjurkan untuk

melakukan mobilisasi dini. Mengidentifikasi adanya nyeri dan keluhan lain.

Mengkonsultasikan dengan ahli terapis bila diperlukan. Tindakan keperawatan

yang dilakukan penulis sudah sesuai dengan teori. . Kelebihan dari Tindakan

ini adalah dapat meningkatkan pergerakan tubuh pasien dan kelemahan fisik

menurun. Kekurangan dari tindakan ini jika tidak dilakukan dengan tepat

maka mobilisasi pasien akan terganggu.


3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.

Tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa ini adalah memberikan

dukungan psikologis dan menganjurkan untuk berbicara perlahan.

Mengidentifikasi perilaku fisik dan emosional sebagai bentuk komunikasi.

Menggunakan metode komunikasi alternatif menulis: menulis atau isyarat

tangan. Memodifikasi lingkungan untuk meminimalkan bantuan. Tindakan

keperawatan yang dilakukan penulis sudah sesuai dengan teori. Kelebihan dari

tindakan ini adalah dapat meningkatkan komunikasi pasien. Kekurangan dari

Tindakan ini jika tidak dilakukan dengan tepat maka menurunnya tingkat

komunikasi klien.

6. Evaluasi

1. Resiko perfusi jaringan serebral dengan faktor resiko embolisme.

Kriteria hasil untuk diagnosa ini adalah tingkat kesadaran meningkat, tekanan

darah dalam rentang normal, reflek saraf membaik dan sakit kepala menurun.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diperoleh hasil

subjektif yaitu klien mengatakan sudah merasa lebih baik dan hasil objektif

tidak ada sianosis, TD: 130/90 mmHg, RR: 18 x/menit, HR: 74 x/menit, Suhu:

36.8oC. Hal tersebut menandakan diagnosa pertama teratasi sebagian sehingga

tindakan perlu dilanjutkan sampai masalah teratasi.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.


Kriteria hasil untuk diagnosa ini adalah pergerakan ekstermitas meningkat,

kekuatan otot ekstermitas meningkat, kelemahan fisik menurun dan ROM

meningkat. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diperoleh hasil diperoleh hasil subjektif yaitu klien mengatakan sudah merasa

lebih baik dan hasil objektif mobilisasi pasien masih tergantung pada

keluarga, tidak ada tanda iritasi pada daerah punggung pasien. Posisi pasien

miring ke kanan dan dapat melakukan ROM pasif dan aktif. . Hal tersebut

menandakan diagnosa pertama teratasi sebagian sehingga tindakan perlu

dilanjutkan sampai masalah teratasi.

3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.

Kriteria hasil untuk diagnosa ini adalah komunikasi verbal meningkat,

kemampuan berbicara meningkat, komunikasi tidak terbata-bata dan

pemahaman komunikasi membaik. Setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 3x24 jam diperoleh hasil subjektif yaitu pasien mengatakan bersyukur

dengan keadaan saat ini dan hasil objektif pasien mampu memahami

percakapan dengan baik, pasien dapat menulis dengan baik dan barang pasien

didekatkan pasien. Hal tersebut menandakan diagnosa pertama teratasi

sebagian sehingga tindakan perlu dilanjutkan sampai masalah teratasi.

Amelia., Bambang. (2016). Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian


Konstipasi pada Lansia di Kota Madiun. epartemen Gizi Kesehatan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Kampus C Unair Jalan
Mulyorejo Surabaya. Diakses dari https://e-
journal.unair.ac.id/MGI/article/download/4388/3001

Anda mungkin juga menyukai