Anda di halaman 1dari 18

OBJEK PAJAK

Disusun Oleh :
Kenneth Septian Theodorrus
B011191236
Fakultas Hukum
Prodi Ilmu Hukum
Universitas Hasanuddin

i
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN...................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
2.1 Objek Pajak.................................................................................................3
2.1.1 Pengertian Objek Pajak............................................................................3
2.2.2 Macam – Macam Objek Pajak.................................................................4
1. Objek pajak penghasilan (PPh).................................................................4
2. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)......................................................5
3. Objek Pajak PPn-BM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)..................7
4. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)..................................................7
5. Objek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan....................9
6. Objek Pajak Bea Materai.........................................................................11
7. Objek Pajak Daerah.................................................................................14
BAB III PENUTUP..............................................................................................15
3.1 Rangkuman...............................................................................................15
3.2 Saran.........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengertian hukum pajak pada garis besarnya dapat dibagi dalam arti luas

dan dalam arti sempit. Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang

berkaitan dengan pajak. Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat

kaidah hukum tertulis yang mengatur hubungan antara pejabat pajak dengan

wajib pajak yang memuat sanksi hukum.1 Selain itu, Erly Suandy mengatakan

bahwa hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur

hubungan antara penguasa sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai

pembayar.2 Sedangkan menurut P. J. A. Andriani dalam bukunya waluyo,

(2009: 2):

“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara yang dipaksakan yang

terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan umum

undang – undang dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung

dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran –

pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan

pemerintahan.”

Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya

merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara

kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalanan

umum, membayar gaji pegawai dan lain – lain. Bagi penduduk yang tidak
1
Muhammad. Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak (Jakarta: Rajawali Pers, 2018), hal. 1.
2
Erly Suandy, Hukum Pajak (Jakarta: Salemba Empat, 2000), hal. 2.

1
melakukan penyetoran, maka ia wajib melakukan pekerjaan – pekerjaan untuk

kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun. 3

Pajak mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan bernegara,

khususnya didalam pembangunan karena pajak merupakan sumber

penghasilan negara untuk membiayai semua pengeluaran, seperti pengeluaran

untuk melakukan pembangunan negara. Pungutan pajak mengurangi

penghasilan atau kekayaan orang atau badan yang kemudian dikembalikan lagi

kepada masyarakat, dalam bentuk pembangunan fasilitas umum dan

pengeluaran – pengeluaran rutin yang bermanfaat bagi rakyat negara itu

sendiri, baik yang membayar pajak maupun yang tidak membayar pajak.

Dalam pemungutan pajak subjek dan objek pajak haruslah jelas. Oleh

karena itu harus dikelola dengan baik dan benar sehingga data wajib pajak

harus sesuai. Selain itu, tarif pajak harus ditentukan berdasarkan ketentuan

yang berlaku pada saat itu. Dengan demikian para wajib pajak dapat rutin dan

patuh membayar pajak. Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan

lainnya yang telah memenuhi syarat – syarat subjektif. Sebelum ditetapkan

sebagai wajib pajak, setiap pihak harus memenuhi persyaratan sebagai subjek

pajak terlebih dahulu, yaitu betempat tinggal atau berdomisili di Indonesia.

Objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan

strategisnya objek pajak karena menyangkut apa yang dikenakan atau tidak

dikenakannya pajak atas objek dimaksud, sehingga dalam undang – undang

perpajakan kita selalu dengan tegas menyatakan apa yang menjadi objek

setiap jenis pajak.

3
H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 2.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Objek Pajak

Objek pajak merupakan bagian terpenting yang dibicarakan atau

dipersoalkan dalam hukum pajak materil. Objek pajak dikatakan sebagai bagian

terpenting karena wajib pajak tidak dikenakan pajak kalau tidak memiliki,

menguasai, atau menikmati objek pajak yang tergolong sebagai objek kena

pajak sebagai syarat – syarat objektif dalam pengenaan pajak. 4

2.1.1 Pengertian Objek Pajak

Objek pajak menurut Muh. Djafar Saidi (2018; 35) adalah:

“Objek pajak adalah segala sesuatu yang karena undang – undang dapat

dikenakan pajak.”

Kata “dapat” dikenakan pajak mengandung makna bahwa objek pajak boleh

atau tidak boleh kena pajak. Untuk dapat melakukan penentuan suatu objek

pajak untuk dikenakan pajak terlebih dahulu dilakukan penelitian sehingga

dapat menciptakan kemanfaatan bagi negara atau daerah selaku pihak yang

memungut pajak. Hal ini dipertegas oleh Rochmat Soemitro yang menyatakan

bahwa yang dapat dijadikan objek pajak banyak sekali macammnya. Pada

prinsipnya segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran

atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Misalnya:

4
Muh. Djafar Saidi, op. cit. hal. 35.

3
a. Keadaan, misalnya kekayaan seseorang pada suatu saat tertentu,

memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi.

b. Perbuatan, misalnya melakukan penyerahan barang karena perjanjian,

mendirikan rumah atau gedung.

c. Peristiwa, misalnya kematian, keuntungan yang diperoleh secara

mendadak, anugrah yang diperoleh karena secara tak terduga, pokoknya

segala sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia. 5

2.2.2 Macam – Macam Objek Pajak

1. Objek pajak penghasilan (PPh)

Objek pajak menurut Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4

ayat (1) adalah:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang

berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk

konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan

nama dan dalam bentuk apapun”6

Dan menurut ketentuan UU No.7 Tahun 1983 yang telah diperbaharui oleh

UU No.36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1), yang termasuk dalam penghasilan

adalah:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang

diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,

komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam

bentuklainnya kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;


5
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I (Bandung: PT Eresco, 1986), hal. 99.
6
Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

4
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. Laba usaha;

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai

biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang;

g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen

dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa

hasil usaha koperasi;

h. Royalti;

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah

tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n. .Premi Asuransi

o. .Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggota-nya yang

terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaaan bebas;

q. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak.

5
2. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Objek pajak PPN sesuai dengan pasal 4 UU No.8 Tahun 1984

sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.18 Tahun 2000 adalah:

a. penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang

dilakukan oleh pengusaha dengan syarat:

 Barang berwujud atau tidak berwujud yang diserahkan merupakan

barang kena pajak

 Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean

 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya

b. impor barang kena pajak;

c. penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan di daerah pabean oleh

pengusaha dengan syarat:

 Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak

 Penyerahan yang dilakukan harus di dalam daerah pabean

 Penyerahan yang dilakukan harus dalam kegiatan usaha atau

pekerjaannya.

d. pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah

pabean di dalam daerah pabean;

e. pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah

pabean;

f. ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak;

g..objek PPN sesuai dengan pasal 16 C UU No.8 Tahun 1984

sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.18 Tahun 2000

yaitu, kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam

6
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, oleh orang pribadi atau

badan, baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau pihak lain.

h. objek PPN berdasar pasal 16 D UU No.8 Tahun 1984 yang

sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.18 Tahun 2000

yaitu, penyerahan aktiva oleh pengusaha kena pajak yang menurut

tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN yang

dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

3. Objek Pajak PPn-BM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)

Menurut Pasal 5 UU No.8 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir

dengan UU No.18 tahun 2000 yang termasuk objek PPn BM adalah:

a. penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan

oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong

mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau

pekerjaanya;

b. impor barang yang kena pajak yang tergolong mewah.

4. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah “bumi dan atau

bangunan”. Keduanya dapat berdiri sendiri maupun secara bersama – sama

sebagai objek yang dapat dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Bumi sebagai

objek pajak adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan

pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di

bawahnya. Sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan, bumi terikat pada

klasifikasi yang ditetapkan oleh Mentri Keuangan. Dalam menentukan

7
klasifikasi bumi perlu diperhatikan beberapa faktor antara lain, letak,

peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan, dan lain – lain. 7

Kemudian, bangunan sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah

konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau

perairan yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat usaha.

Rochmat Soemitro (1987: 9) berpendapat bahwa adakalanya orang atau badan

memiliki rumah yang berada di atas tanah orang lain sehingga pemilik rumah

terpisah dari pemilik tanah. UU PBB memungkinkan orang yang memiliki rumah

di atas tanah orang lain dikenakan pajak tersendiri terlepas dari pajak yang

dikenakan pada pemilik tanah.

Bangunan sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan dalam pengertian

yang seluas – luasnya meliputi:

a. jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan

seperti hotel, pabrik, emplasemennya, dan lain – lain yang

merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

b. jalan tol;

c. kolam renang;

d. pagar mewah;

e. tempat olahraga

f. galangan kapal, dan dermaga;

g. taman mewah

h. tempat penampungan/kilang minyak, air, gas, dan pipa minyak;

i. fasilitas lain yang memberikan manfaat.

7
Muh Djafar Saidi, op. cit. hal. 54.

8
Sedangkan objek yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan

menurut Pasal 3 ayat (1) UU PBB adalah objek pajak yang:

a. digunakan semata – mata untuk melayani kepentingan umum di

bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan

nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

b. .digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis

dengan itu;

c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman

nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dari tanah

negara yang belum dibebani suatu hak;

d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas

perlakuan timbal balik;

e. digunakan badan atau perwakilan organisasi internasional yang

ditentukan oleh Menteri Keuangan.

5. Objek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dapat pula disebut

sebagai Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena UU BPHTB

yang mengaturnya membuka peluang untuk menggunakan salah satu dari

keduanya. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang
8
dikenakan atas Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Yang menjadi objek pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU BPHTB adalah objek pajak yang

meliputi:
8
Ibid, hal. 57-58

9
a. pemindahan hak karena: jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat,

waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,

pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli

dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap, penggabungan, peleburan usaha, pemekaran usaha,

dan hadiah;

b..pemberian hak baru karena: kelanjutan pelepasan hak, di luar

pelepasan hak.

Hak atas tanah dan bangunan adalah hak atas tanah termasuk hak

pengelolaan beserta bangunan di atasnya, sebagaimana diatur dalam UU No. 5

Tahun 1960 dan UU No. 16 Tahun 1985. Hak atas tanah dan bangunan

berdsarkan kedua undang – undang tersebut adalah hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak

pengelolaan.

Sedangkan objek yang tidak dikenakan pajak Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU BPHTB adalah objek

pajak yang diperoleh:

a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal

balik;

b. negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan atau untuk

pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan

dengan keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak

10
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan

tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;

d. orang pribadi atau badan karena konvensi hak atau karena perbuatan

hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. orang pribadi atau badan karena wakaf;

f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

6. Objek Pajak Bea Materai

Bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang

digunakan oleh orang pribadi atau badan lalu lintas hukum. Oleh karena itu,

objek Bea Materai adalah dokumen yang digunakan untuk melakukan

perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar peradilan. Dokumen menurut

Pasal 1 ayat (2) huruf a UU BM, adalah kertas yang berisikan tulisan yang

mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan

bagi seseorang dan/atau pihak – pihak yang berkepentigan.

Dikenakan Bea Materai atas dokumen yang berbentuk sebagaimana

dimaksud Pasal 12 ayat (1) UU BM adalah:

a. Surat perjanjian dan surat – surat lainnya yang dibuat dengan tujuan

untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan,

kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata;

b. akta – akta notaris termasuk salinannya;

c. akta – akta yang dibuat pejabat pembuat akta tanah termasuk

rangkapnya;

d. surat yang memuat jumlah uang yang:

 Menyebutkan penerimaan uang;

11
 Menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam

rekening bank;

 Berisi pemberitahuan isi saldo rekening di bank;

 Berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau

sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;

e. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek;

f. efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun

Juga dikenakan Bea Materai atas dokumen yang digunakan sebagai alat

pembuktian di muka pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat

(3) UU BM, yaitu:

a. surat – surat biasa dan surat kerumahtanggaan;

b. surat – surat yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan

tujuannya jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang

lain dari maksud semula.

Walaupun dokumen merupakan objek Bea Materai, berdasarkan Pasal 4

UU BM ternyata ada dokumen yang tidak dikenakan Bea Materai atas:

1. dokumen yang berupa:

a. Surat penyimpanan uang;

b. Konosemen;

c. Surat angkutan penumpang dan barang;

d. Keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen

sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

e. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;

f. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

12
g. Surat – surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat – surat

sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai huruf f.

2. segala bentuk ijasah;

3. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan

pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja atas

surat – surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;

4. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah

daerah, dan bank;

5. kuitansi untuk segala jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang

dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah,

dan bank. Bank yang dimaksud dalam angka 5 ini adalah bank yang

ditunjuk oleh pemerintah untuk menerima setoran pajak, bea, dan

cukai;

6. tanda penerima uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;

7. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran utang tabungan

kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan – badan lainnya

yang bergerak di bidang tersebut;

8. surat gadai yang diberikan oleh perusahaan jawatan pegadaian;

9. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan

dalam bentuk apa pun.

7. Objek Pajak Daerah

Pajak daerah yang meliputi pajak daerah provinsi dan pajak daerah

kabupaten/kota merupakan kajian hukum pajak. Pajak Daerah memiliki objek

yang dapat dikenakan pajak dan tidak dikenakan pajak, bergantung pada

13
pengaturan dalam peraturan daerah yang bersangkutan. Penentuan objek

pajak daerah merupakan kewenangan daerah untuk menetapkannya dan

merupakan bagian terpenting dalam peraturan daerah yang mengatur tentang

pajak daerah. Sekalipun merupakan delegasi kewenangan, peraturan daerah

yang memuat tentang objek pajak tidak boleh mengambilalih objek pajak

negara agar tidak terjadi pajak ganda nasional.

Pengaturan semacam ini bertujuan untuk memberikan keadilan,

kemanfaatan, atau kepastian hukum terhadap suatu objek yang dikelompokkan

ke dalam objek kena pajak atau dikelompokkan ke dalam objek tidak kena

pajak. Dengan demikian, terdapat suatu perlindungan hukum terhadap objek

kena pajak maupun objek tidak kena pajak.9

BAB III

PENUTUP

3.1 Rangkuman

Pajak merupakan suatu hal yang mendasar dalam membiayai kegiatan

pemerintahan dan pembangunan negara. Dengan demikian pajak sangat

menentukan bagi kelangsungan eksistensi pembangunan untuk sekarang dan

masa yang akan datang. Konsekuensi dari tujuan tersebut timbul kewajiban

penduduk negara untuk menyerahkan sebagian pendapatannya kepada

negara.
9
Ibid, hal. 64-65.

14
Objek Pajak adalah segala sesuatu yang ada dalam masyarakat yang

kerena peraturan perundang – undangan dapat dijadikan sasaran atau objek

pajak.

3.2 Saran

Penghasilan terbesar negara berasal dari pajak. Pajak memiliki peran yang

sangat penting dalam menyelenggarakan pemerintahan dan untuk melakukan

pembangunan suatu negara khususnya Indonesia. Oleh karena itu,

pengelolaan pajak harus dilakukan dengan baik dan benar agar dapat berguna

bagi kelangsungan negara itu sendiri. Selain itu, para wajib pajak harus taat

dalam membayar pajaknya demi tercapainya pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi bangsa Indonesia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bohari, H. 2010. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Djafar Saidi, Muhammad. 2018. Pembaruan Hukum Pajak. Depok: Rajawali

Pers

Kabar Pajak. 2013. “Makalah Pajak Subjek Objek Pajak”.

http://www.kabarpajak.com/2013/07/makalah-pajak-subjek-objek-

pajak.html, diakses pada 30 Maret 2021 pukul 14:07

Maulida, Rani. 2018. “Objek Pajak dan Subjek Pajak”, https://www.online-

pajak.com/tentang-pajak-pribadi/objek-dan-subjek-pajak, diakses pada

31 Maret 2021 pukul 19:53

Suandy, Erly. 2000. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat

16

Anda mungkin juga menyukai