Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

BLOK 9 PEMICU 1
“DAMPAK RADIASI”

KELOMPOK XI
DOSEN PEMBIMBING
Dr.Trelia Boel,drg.,M.Kes., Sp.RKG (K)
dr. Nindia Sugih Arto, M.Ked(ClinPath),Sp.PK
Ramadhani Banurea, S.Si, M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
NAMA ANGGOTA KELOMPOK

Ketua : Nadia Putri Sania (190600066)


Sekretaris : A Rachma Zata Amani (190600208)

Anggota : Trya Fitri Ayuni (190600063)


Raihan Hidayat (190600064)
Adzra Shafwa Nabila (190600065)
Sri Erdina (190600067)
Januan Khairul Amru Hasibuan (190600068)
Fathia Rizky Adinda (190600102)
Mutia Salsabila Anzani Saragih (190600103)
Aprili Gracesonia (190600104)
Jessica Desriana Natalia Nababan (190600105)
Muhammad Harits Wicaksono (190600106)
Nandez Vieri (190600107)
Shafira Khairunnisa (190600206)
Yolanda Wulandari (190600207)
Farhana Fairuza Ramadhani (190600209)
Zefanya Cornelia Simorangkir (190600210)
Lishalini A/P Ganabathy (190600228)
Nurin Syafiqah Binti Azmi (190600229)
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Laporan ini berisi
tentang hasil diskusi pemicu 1 yang berjudul “Dampak Radiasi”.

Laporan pemicu ini kami susun berdasarkan hasil diskusi kami yang bertujuan untuk
memenuhi persyaratan dalam sidang pleno. Laporan ini tidak akan selesai tanpa bimbingan dari
dosen pembimbing dan begitu pula dengan fasilitator yang sudah membantu kami dalam diskusi
dan memberikan kami masukan-masukan yang berarti. Oleh karena itu kami mengucapkan terima
kasih kepada pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan laporan ini.

Untuk kesempurnaan laporan ini di masa mendatang, saran dan pendapat yang konstruktif
dari pembaca sangat diharapkan. Semoga laporan ini bermanfaat bagi mahasiswa selaku peserta
didik serta pihak-pihak lain. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

Medan, September 2020

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel
atau gelombang elektromagnetik/cahaya (foton). Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu
materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik/cahaya (foton)
dari sumber radiasi. Radiasi digolongkan ke dalam radiasi pengion dan radiasi non pengion.
Beberapa modalitas pencitraan yang menggunakan sinar-x adalah pesawat sinar-x, mamografi,
dental, CT-Scan dan flouroskopi. Salah satu daerah yang berisiko yang terdapat di rumah sakit
adalah Instalasi Radiologi.
Radiasi juga mempengaruhi hematopoietik sehingga sel-sel darah mengalami penurunan
seperti hemoglobin, leukosit, dan trombosit. Hal ini harus diwaspadai oleh radiografer. Instalasi
Radiologi memiliki beberapa tenaga kerja yang bertugas dalam mengoperasikan peralatan sinar-x
yang selanjutnya disebut radiografer. Radiografer secara umum mempunyai tugas dan tanggung
jawab. Tugas dan tanggungjawab tersebut membuat seorang radiografer harus mendapatkan
perlindungan terkait keselamatan kerja, mengingat pekerjaan seorang radiografer berhubungan
dengan sinar-x maupun radiasi pengion lainnya yang mepunyai karakteristik dapat menimbulkan
efek deterministik (kerusakan jaringan) maupun genetik. Hal ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 mengatur tentang Keselamatan Radiasi
Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif

1.2 Deskripsi Topik


Nama Pemicu : Dampak Radiasi
Narasumber : Dr.Trelia Boel,drg.,M.Kes., Sp.RKG (K) ; dr. Nindia Sugih Arto,
M.Ked(ClinPath),Sp.PK, Ramadhani Banurea, S.Si, M.Si
Kasus:
Seorang operator Radiologi Kedokteran Gigi perempuan, berumur 56 tahun yang sudah bekerja
selama 32 tahun pada suatu hari mengalami keluhan seperti mual, lemas dan pusing sejak 6 bulan
yang lalu. Kondisi ruangan radiologi tempat bekerja sudah berlapisi Pb (plumbum)=Timah hitam.
Hasil pemeriksaan darah rutin Hb: 8.3 g/dl, MCV 85 fL, MCH 28 pg dan MCHC 35 gr/dL, Lekosit:
2.100/mm3 dengan hitung jenis sel 1/0/0/46/12/13 dan sel muda 28%, Trombosit 105.000/mm3.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya suatu keganasan.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Interpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut!


Interpretasi dari hasil lab menunjukkan bahwa operator Radiologi mengalami.1
Jenis Nilai Normal Hasil Pemeriksaan Interpretasi
Hemoglobin (Hb) 12-16 dram/ dL 8,3 g/dl Penurunan
Hemoglobin (Hb)
MCV 82-92 fl 85 fl Normal
MCH 27-31 pg 28 pg Normal
MCHC 32-37% 35% Normal
Leukosit 4500-10000sel/mm3 2.100/mm3 Rendah
Hitung Jenis sel:
Eosinofil 1-3% 1
Basofil 0-1% 0
Netrofil batang 3-5% 0
Netrofil segmen 50-70% 46
Limfosit 25-35% 12
Monosit 2-8% 13
Trombosit 150.000- 400.000 105.000/mm3 Rendah
sel/ mm3
Sel Muda 28%

Dapat disimpulkan bahwa kadar Hb, leukosit, serta trombosit ibu tersebut tergolong lebih
rendah dari normal. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh paparan radiasi terus menerus
yang menyebabkan gangguan sistem hemopoetik (yang terus aktif membelah), terlebih bagi
leukosit dan trombosit yang paling sensitif terhadap efek radiasi.

2. Kelainan darah apa yang mungkin terjadi akibat pekerjaannya sebagai operator di
intalasi radiologi dental?
Jaringan hemopoitik merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap pajanan radiasi
pengion, (misalnya, sumsum tulang, saluran pencernaan, kulit, sistem saraf pusat, paruparu,
jantung, hati, dan ginjal). Radiasi dalam jumlah tertentu dapat menyebabkan ionisasi pada sel-
sel tubuh manusia. Sel sumsung tulang termasuk sel yang aktif berproliferasi sehingga sel
sumsum tulang termasuk sel yang rentan terhadap kerusakan akibat paparan radiasi pengion.2
Telah diketahui bahwa radiasi taraf rendah, yaitu 0,25 Gy, sudah dapat meyebabkan
perubahan pada organ penyusun darah, yaitu terhentinya pembentukan sel-sel darah
(hematopoesis) dengan akibat terjadinya perubahan-perubahan baik oleh kerusakan langsung
pada jaringan hemopoitik.2 Kelainan darah yang mungkin terjadi akibat bekerja sebagai
operator di instalasi radiologi dental adalah anemia, leukimia dam leukopenia.
ANEMIA
Anemia adalah suatu keadaan tubuh yang ditandai dengan jumlah eritrosit atau jumlah
hemoglobin dalam eritrosit kurang dari jumlah normal sehingga tidak mampu memenuhi
fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Penyebab anemia primer adalah
kongenital (Fanconi’s anemia) dan idiopatik yang didapat sebanyak (67%). Penyebab
sekunder adalah paparan dengan bahan kimiawi, insektisida, radiasi pengion, infeksi dan
Paroxysmal Nocturnal hemoglobin.3
LEUKIMIA
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit
ganas dalam sumsum tulang dan darah. Blokade maturitas pada LMA menyebabkan
terhentinya diferensiasi sel- sel mieloid pada sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi
blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan mengakibatkan
gangguan hematopoiesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan
sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia
(anemia, leukopenia, dan trombositopenia). 4
Salah satu kelainan pada penderita leukemia adalah pada jumlah trombositnya. Apabila
jumlah trombosit kurang dari normal maka keadaan tersebut dinamakan trombositopenia.
Trombositopenia dapat menimbulkan perdarahan yang berkepanjangan setelah trauma
maupun perdarahan spontan seperti purpura atau perdarahan m.ukosa. Meskipun jumlah
trombosit dibawah rentang normal, tetapi perdarahan pada umumnya tidak terjadi jika jumlah
trombosit masih di atas 50.000/µL.5
Dilihat dari hasil pemeriksaan pasien mengalami neutropenia (jumlah sel neutrofil dalam
darah menurun), trombositopenia (turunnya jumlah trombosit) dan anemia (hemoglobin
rendah) serta keluhan yang dialami pasien kemungkinan besar pasien terkena Leukemia
Mieloid Akut, dimana pasien yang terkena penyakit ini paling umum adalah orang dewasa.
LEUKOPENIA
Kanker darah dan kanker sumsum tulang juga dapat menjadi penyebab terjadinya
leukopenia. Kanker bisa membuat sumsum tulang tidak dapat menghasilkan sel darah dengan
normal. Akibatnya, jumlah sel darah putih di tubuh pun akan berkurang. Kondisi ini dapat
memburuk jika kanker sudah menyebar atau terjadi metastasis kanker. Indikator yang paling
umum dari leukopenia adalah neutropenia (pengurangan jumlah neutrofil dalam leukosit).
Jumlah neutrofil juga dapat menjadi indicator yang paling umum dari risiko infeksi.
Leukopenia itu sendiri adalah keadaan dimana jumlah sel darah putih lebih rendah dari
normal. Jumlah leukosit yang lebih rendah dari 5000/mm3 atau jumlah granulosit lebih rendah
dari 2000/mm3 merupakan keadaan abnormal dan merupakan tanda kelainan sumsum tulang.
Kondisi klinis yang dikenal dengan leukopenia terjadi bila sumsum tulang memproduksi
sangat sedikit sel darah putih, sehingga tubuh tidak terlindung terhadap banyak bakteri
danagen lain yang mungkin masuk menginvasi jaringan.
Beresuaian dengan hasil laboratorium pada skenario, bahwa munculnya sel muda
sebanyak 28% dalam peredaran darah dan ikut terhitung dalam nilai hitung jenis serta
dijumpainya keganasan. Hal ini juga didukung dengan gejala yang dialami operator sejak 6
bulan yang lalu seperti mual, lemas dan pusing.6

3. Jelaskan patogenesis terjadinya kelainan pada sel darah akibat radiasi!


Penggunaan radiasi ionisasi dapat menimbulkan kerusakan pada tubuh, terutama melalui
proses ionisasi atom-atom pembentuk jaringan. Interaksi radiasi dengan jaringan tubuh pada
tingkat atom akan menimbulkan perubahan pada tingkat molekul, yang kemudian akan
menimbulkan kerusakan selular, dan selanjutnya dapat menimbulkan fungsi sel abnormal atau
kehilangan fungsinya. Perubahan jumlah darah merupakan contoh klasik dari kerusakan
organik akibat radiasi ionisasi.7
Radiasi menimbulkan kerusakan pada sel tergantung dari dosis, lama radiasi dan jenis sel
yang terpapar. Radiasi ionisasi dapat mengurangi jumlah sel darah dalam sirkulasi perifer.
Dosis 0,25 gray (25 rad) menghasilkan penurunan haematologi yang jelas. Radiasi mengurangi
jumlah sel darah immatur (batang tubuh atau bakal sel darah) yang terbentuk dan mengurangi
jumlah sel darah matur dalam aliran darah. Eritrosit termasuk sel yang kurang sensitif terhadap
penyinaran radiasi daripada sel darah lain. Bila eritrosit makin matur, radiosensivitas makin
berkurang. Pembelahan eritrosit karena penyinaran radiasi dapat menimbulkan anemia
(kekurangan darah yang disertai dengan kurangnya viitalitas) yang memburuk dengan adanya
pendarahan di seluruh tubuh.7
Darah putih merupakan komponen selular darah yang tercepat mengalami perubahan
akibat radiasi. Efek pada jaringan ini berupa penurunan jumlah sel. Sel sumsung tulang
termasuk sel yang aktif berproliferasi sehingga sel sumsum tulang termasuk sel yang rentan
terhadap kerusakan akibat paparan radiasi pengion. Radiasi yang mengenai sumsum tulang
akan menyebabkan depresi jumlah sel darah karena destruksi sel punca hematopoetik dan sel
progenitor yang sangat sensitif radiasi. Dengan meningkatnya dosis radiasi yang diabsorbsi,
semakin banyak sel punca dan sel prekursor hematopoetik yang mati, dan semakin sedikit atau
bahkan tidak ada lagi pembentukan sel matur fungsional.7

4. Bagaimana standar ruangan radiologi yang benar dalam pemakaian/pengunaan Pb di


bilik tersebut.
Berdasarkan Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan
Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional, rumah
sakit yang menyediakan pemeriksaan menggunakan pesawat sinar-X harus memperhitungkan
denah ruangan yang meliputi ukuran, bahan, dan ketebalan dinding ruangan. Pembangunan
tata ruang dengan radiasi pengion harus mempunyai ketebalan dinding yang sesuai dengan
syarat yang ditentukan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan dilapisi bahan
yang mempunyai nomor atom tinggi agar radiasi hambur dapat terserap dengan sempurna. 8
Ruangan sumber radiasi dibuat dengan dinding penahan radiasi yang terbuat dari Pb
(Plumbum) dan beton karena bahan ini dapat melemahkan intesitas radiasi. Ruang
pemeriksaan yang aman memiliki dinding yang terbuat dari bata merah dengan ketebalan 25
cm dan kerapatan jenis 2,2 gr/cm3. Ketebalan beton yang digunakan adalah 20 cm atau setara
2 mm timbal (Pb). Pintu dan ventilasi ruang pemeriksaan sinar-X dilapisi dengan timbal (Pb)
setebal 2 mm, dengan tiap sambungan Pb dibuat tumpang tindih/overlapping sehingga tingkat
radiasi di sekitar ruang pemeriksaan sinar-X tidak melebihi Nilai Batas Dosis (NBD) 1
mSv/tahun. Standar ruang pemeriksaan panoramik memiliki panjang 3 m, lebar 2 m, dan tinggi
2,8 m. 8
Letak unit/instalasi radiologi hendaknya mudah dijangkau dari ruangan gawat darurat,
perawatan intensive care, kamar bedah dan ruangan lainnya. Di setiap instalasi radiologi
dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran dan alarm sesuai dengan kebutuhan. Suhu ruang
pemeriksaan 20-24 °C dan kelembaban 40 - 60 %. Suhu tersebut disesuaikan untuk kebutuhan
alat tersebut. Ruang operator dan tempat pesawat sinar x sebaiknya dibuat terpisah atau bila
berada dalam satu ruangan maka disediakan tabir yang berlapis Pb dan dilengkapi dengan kaca
intip dari Pb. Pintu ruang pesawat sinar x harus diberi penahan radiasi yang cukup sehingga
terproteksi dengan baik. Pintu tersebut biasanya terbuat dari tripleks dengan tebal tertentu yang
ditambah lempengan Pb setebal 1-1,5 mm.9
Kamar gelap yang dipakai minimal 3x2x2,8 m dan juga dibuat bak-bak pencucian film
dengan porselen putih bagi yang menggunakan pencucian dengan cara manual. Harus ada air
yang bersih dan mengalir, kipas angin/exhauster atau air-conditioner agar udara dalam kamar
gelap selalu bersih dan cukup nyaman bagi petugas yang bekerja di dalamnya selama berjam-
jam. Untuk masuk ke kamar gelap dapat dipakai sistem lorong yang melingkar tanpa pintu atau
sistem dua pintu untuk menjamin supaya cahaya tidak masuk. Warna dinding kamar gelap
tidak perlu hitam, sebaiknya dipakai warna cerah, kecuali lorong lingkar ke kamar gelap dicat
hitam untuk mengabsorpsi cahaya sebanyak mungkin.9

5. Jelaskan sikap dan upaya kesehatan seorang radiografer dalam menjaga keselamatan
dalam bekerja.
Radiografer adalah tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dengan diberikan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab secara penuh untuk melakukan kegiatan Radiologi Diagnostik
dan Intervensional.10 Radiografer-lah yang menghadapi langsung radiasi tersebut. Mengingat
potensi bahaya radiasi yang besar dalam pemanfaatan sinar X, faktor keselamatan merupakan
hal yang penting sehingga dapat memperkecil risiko akibat kerja di instalasi radiologi dan
dampak radiasi terhadap pekerja radiasi. Untuk mencegah hal tersebut dapat dilakukan dengan
menerapkan aspek manajemen keselamatan radiasi dimana keselamatan radiasi merupakan
tindakan yang dilakukan untuk melindungi pasien, pekerja, dan anggota masyarakat dari
bahaya radiasi. Dalam hal proteksi radiasi eksternal, terdapat tiga teknik untuk mengontrol
penerimaan radiasi khususnya bagi pekerja radiasi yaitu meminimalkan jarak, meminimalkan
waktu dan pemakaian perisai radiasi.11
Sikap dan upaya kesehatan seorang radiographfer dalam menjaga keselamatan dalam
bekerja merupakan upaya pencegahan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan, antara lain:
- Sebelum bekerja di lintasan radiasi wajib melakukan periksaan kesehatan.
- Selalu bekerja dengan menggunakan film badge, tidak boleh memegang film secara
langsung. - Tidak boleh berada dilintasan radiasi selama penyinaran.
- Apabila berada di dalam ruangan saat penyinaran harus menggukan Apron dan berada
dibelakang sumber sinar.
- Konsumsi gizi petugas harus baik.
- Selalu memeriksa kesehatan (medical checkup) setiap tahunnya.
Pemeriksaan berupa pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan sperma, dan/atau
pemeriksaan aberasi kromosom

6. Jelaskan efek radiasi pengion dan non pengion. Apa satuan dosis radiasi.
Radiasi Pengion menurut Pasal 1 Angka (6) PP Nomor 33 Tahun 2007 tentang
Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif didefinisikan sebagai
gelombang elektromagnetik dan partikel bermuatan yang karena energi yang dimilikinya
mampu mengionisasi media yang dilaluinya. Sinar radiasi pengion adalah sinar yang
mempunyai sifat tidak dapat dilihat, tidak berwarna, tidak dapat dirasakan, namun mempunyai
sifat yang dapat merusak sel‐sel tubuh manusia dengan jalan bila mengenai dan menembus
tubuh manusia, dalam besar dosis tertentu serta periode jangka waktu tertentu dapat
mengakibatkan terjadinya proses ionisasi sel‐sel tubuh manusia, dengan cara energi
penyinaran yang diabsorpsi di dalam tubuh akan membebaskan elektronelektron dari atom,
dan atom yang telah mengalami ionisasi akan menjadi unsur radikal bebas yang akan merusak
materi genetik DNA.12
Paparan radiasi pengion terhadap tubuh dapat menyebabkan perubahan pada materi
biologik khususnya materi genetik sel. Sejumlah perubahan atau kerusakan yang timbul salah
satunya adalah perubahan struktur kromosom pada sel limfosit darah. Radiasi pengion maupun
non-pengion mampu menimbulkan efek pembelahan mitosis yang abnormal, dan aberasi
kromosom. Selain itu, efek lain yang ditimbulkan dalam tersebut adalah adanya peningkatan
aktivitas pembelahan sel yang dapat menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang berlebihan
hingga transformasi menjadi sel malignan (kanker). 13
Radiasi non pengion dapat didefinisikan sebagai penyebaran atau emisi energy yang bila
melalui suatu media dan terjadi proses penyerapan, berkas energi radiasi tersebut tidak akan
mampu menginduksi terjadinya proses ionisasi dalam media tersebut. Radiasi non pengion
meliputi sinar ultra violet, cahaya tampak, infra merah, gelombang mikro, ultrasound dan
elektromagnetik radiofrekuensi. Radiasi non pengion dibagi menjadi dua yaitu, radiasi optik
dan radiasi elektromagnetik radiofrekuensi. Radiasi optic meliputi radiasi sinar ultra violet
(UV), cahaya tampak dan infra merah (IR). Efek yang ditimbulkan akibat pajanan radiasi optik
pada tubuh sangat bergantung pada panjang gelombang yang berhubungan dengan daya
tembus radiasi optik pada jaringan tubuh.14
Sasaran utama dari pajanan radiasi optik pada tubuh adalah kulit dan mata. Efek dari
pajanan kronik radiasi UV lebih serius dari pada pajanan akut. Efek yang merugikan pada mata
termasuk penebalan konjungtiva, katarak dan kanker pada konjungtiva. Efek kronik pada kulit
yang paling penting adalah pembentukan kanker kulit. Sedangkan efek akut berupa peradangan
yang terjadi pada mata dan kulit. Efek kesehatan electromagnetic radio-frequency: radiasi ini
tidak dapat membahayakan materi genetik dan juga tidak dapat menginduksi kanker terutama
yang berhubungan dengan kanker otak. Perubahan medan magnet atau listrik dapat
menginduksi arus listrik internal ke tubuh yang menimbulkan panas dan tingkat atau laju
perubahan ini sebanding dengan frekuensi.14
Dosis radiasi ada dua, yaitu2:
a) Dosis serap: ukuran banyaknya energi yang diberikan oleh radiasi pengion kepada
medium. Satuan yang digunakan satuan baru yaitu Gray (Gy). 1 (Gy) = 1 joule/g.
b) Dosis ekuivalen: dosis Serap yang diberi bobot, yaitu dikalikan dengan faktor bobotnya.
Faktor bobot radiasi ini dikaitkan dengan kemampuan radiasi dalam membentuk pasangan
ion persatuan panjang lintasan, semakin banyak pasangan ion yang dapat dibentuk
persatuan panjang lintasan, semakin besar pula nilai bobot radiasi itu. satuan untuk dosis
ekuivalen adalah rem, kemudian diganti menjadi sievert (Sv), di mana 1 Sv = 100 rem.
7. Bagaimana peraturan perundang-undangan keselamatan kerja radiasi untuk dokter,
pasien, operator dan lingkungan?
Dokter dan operator secara umum mempunyai tugas dan tanggung jawab masingmasing
untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pelayanan kesehatan di bidang radiologi atau
radiograf pada pasien. Tugas dan tanggung jawab tersebut membuat semua yang berada dalam
lingkungan radiologi harus mendapatkan perlindungan terkait keselamatan kerja, mengingat
hal ini berhubungan dengan sinar-x maupun radiasi pengion lainnya yang mepunyai
karakteristik dapat menimbulkan efek deterministik.15
Oleh karena itu, Pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.63 Tahun 2000 Tentang
Keselamatan Dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.
2. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2007 Tentang Keselamatan Radiasi
Pengion Dan Keamanan Sumber Radioaktif Sebagai Upaya Pengendalian.
3. Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) nomor
01/KaBapeten/V-99 tentang Ketentuan Kerja terhadap Radiasi, yang bertujuan
menjamin keselamatan pekerja dan anggota masyarakat, perlindungan terhadap
lingkungan hidup, dan Keamanan Sumber Radioaktif.
4. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir No.15 Tahun 2015 Tentang
Keselamatan Radiasi Dalam Produksi Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik
Dan Intervensional.
Semua Peraturan Pemerintah ini bertujuan menjamin keselamatan pekerja dan anggota
masyarakat, perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan Keamanan Sumber Radioaktif.

8. Pemeriksaan kesehatan apa saja yang wajib di lakukan oleh seorang radiografer setiap
tahunnya?
Untuk menjamin keselamatan dalam penggunaan radiasi pengion tersebut, perlu diterapkan
sistem pengawasan kesehatan pekerja radiasi yang ketat meliputi pengawasan dosis radiasi dan
pemeriksaan kesehatan pekerja radiasi tahunan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi kesehatan pekerja radiasi baik sebelum, selama maupun sesudah masa kerja minimal
hingga 30 tahun data kesehatan disimpan.16
Pemeriksaan kesehatan meliputi anamnesis riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan pendukung antara lain rontgen dan pemeriksaan laboratorium. Riwayat kesehatan
meliputi riwayat penyakit keluarga, penyakit pekerja radiasi itu sendiri dan riwayat pekerjaan.
Pemeriksaan fisik mencakup keadaan umum seperti tekanan darah, nadi, pernafasan,
kesadaran, kulit, mata, mulut, THT, kelenjar tiroid, paru-paru, jantung, saluran pencernaan,
hati, ginjal, sistem genital serta pemeriksaan syaraf dan jiwa. Sedangkan pemeriksaan
laboratorium meliputi pemeriksaan darah rutin, kimiawi darah yang bertujuan untuk
mengetahui keadaan umum dan khusus dari metabolisme tubuh terutama yang berhubungan
dengan paparan radiasi. Selain itu pemeriksaan laboratorium juga mencakup pemeriksan
kromosom, analisis sperma.16

9. Bagaimana peraturan yang berlaku jika ada tuntutan pekerja tersebut?


Pekerja radiasi berpotensi menerima paparan radiasi dengan dosis yang tidak diinginkan
baik melebihi atau tidak melampaui nilai batas dosis yang diizinkan, sebagai akibat dari suatu
kecelakaan ataupun karena tata kerja yang salah. Segera setelah terpapar radiasi berlebih,
manajemen harus melaksanakan penyidikan untuk menentukan dosis yang diterima pekerja.
Jika dosis telah diketahui, kerusakan atau kontaminasi yang akan terjadi, kemudian harus
diinformasikan kepada bagian pelayanan kesehatan kerja.16
Peraturan yang berlaku jika ada tuntutan pekerja terdapat dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan
Keamanan Sumber Radioaktif. Pada pasal 6 (1) dijelaskan bahwa penanggung jawab
keselamatan radiasi terdiri dari: pemegang izin dan pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan
pemanfaatan tenaga nuklir. Pasal 6 (4) menjelaskan bahwa pemegang izin, dalam
melaksanakan tanggung jawabnya dapat mendelegasikan kepada atau menunjuk personil yang
bertugas di fasilitas atau instalasinya untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam
mewujudkan keselamatan radiasi. Pasal 6 (5) menjelaskan bahwa pendelegasian atau
penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak membebaskan pemegang izin dari
pertanggungjawaban hukum jika terjadi situasi yang dapat membahayakan keselamatan
pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup.
Berdasarkan kasus diatas, wanita operator Radiologi Kedokteran Gigi yang sudah bekerja
selama 32 tahun dan dalam dalam masa kerjanya terkena penyakit tersebut penanganannya
sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2007 Tentang
Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif. Berdasarkan peraturan
tersebut pengusaha instalasi atau pemegang izin membiayai pengobatan apabila penyakit
tersebut terjadi akibat pekerjaannya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (khususnya berdasarkan kadar Hb, leukosit,
dan trombosit) ibu tersebut diduga memiliki kelainan darah yakni anemia dan leukopeni. Kelainan
darah yang dialami ibu tersebut disebabkan oleh paparan radiasi saat ibu itu bekerja. Hal ini dapat
terjadi karena sel-sel tubuh manusia memiliki sensitifitas yang berbeda-beda terhadap paparan
radiasi. Sel-sel darah, terlebih leukosit dan trombosit merupakan sel darah yang paling rentan
terhadap paparan radiasi. Paparan radiasi terus menerus dengan dosis yang melebihi batas ambang
tentunya dapat berdampak bagi tubuh manusia. Paparan ini dapat menimbulkan kegagalan
produksi dan perkembangan sel dan jaringan hingga dapat menyebabkan nekrosis jaringan.
Standar ruangan radiologi yang benar menggunakan Pb didasarkan pada Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 104/MENKES/SK/XI/2008 tentang Standar pelayanan radiologi
diagnostik di sarana pelayanan kesehatan. Sikap dan upaya kesehatan seorang radiografer dalam
menjaga keselamatan dalam bekerja adalah dengan mengikuti asas-asas proteksi radiasi dan
memperhatikan bagaimana cara proteksi radiasi yang benar. Radiasi pengion memberikan efek
stokastik, misalnya kanker; dan efek deterministik, misalnya. eritema dan kerontokan rambut.
Radiasi non pengion memberikan efek kesehatan radiasi optik dan efek kesehatan electromagnetic
radio-frequency. Satuan dari dosis radiasi adalah gray (Gy) dan sievert (Sv).
Peraturan perundang-undangan keselamatan kerja radiasi untuk dokter, pasien, operator
dan lingkungan pada awalnya terdapat dalam Peraturan Republik Indonesia No. 11 Tahun 1975
tentang keselamatan kerja terhadap radiasi. Peraturan ini diganti menjadi Peraturan Pemerintah
No. 63 Tahun 2000 tentang keselamatan dan kesehatan terhadap pemanfaatan radiasi pengion.
Peraturan ini digantikan menjadi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 33 Tahun 2007
tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif. Pemeriksaan kesehatan
radiografer dilakukan minimal sekali setahun. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan kesehatan,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pendukung (rontgen dan laboratorium).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2007 tentang
Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radiaktif Bab III, bagian 2 Pasal 14 yang
berisi tentang pemegang izin bertanggung jawab menanggung biaya pemantauan kesehatan jika
terjadi tuntutan pekerja bagian radiologi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bain, B. J. Hematologi: kurikulum inti. Cetakan 20. Edited by A. S. Y. Joko Suyono, Ferdy
Sandra. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014
2. Hidayatullah R. Dampak Tingkat Radiasi Pada Tubuh Manusia. Jurnal Mutiara Elektromedik
2017; 1(1): 16-23.
3. Deby ND. Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini Anemia Aplastik. Majority
2015; 4(7): 56.
4. Hoffbrand AV, and Pettit JE. Moss: Essential Haematology. 4th ed. Jakarta: EGC, 2005.
5. Setiabudy, Rahajuningsih D. Hemostatis dan Trombosis. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2009.
6. Alatas Z. Efek Kesehatan Pajanan Radiasi Dosis Rendah. Prosiding Seminar Aspek
Keselamatan Radiasi Dan Lingkungan Pada Industri Non-Nuklir, 2003: 27-39.
7. Setyawan A. Efek Dasar Radiasi pada Jaringan. Radioterapi & Onkologi Inondesia Vol.5 (1)
Januari 2014: 25-33.
8. Dasril DN, Dewilza N. Uji Efektifitas Dinding Ruangan Panoramik Instalasi Radiologi RSUD
Prof. Dr. MA Hanafiah SM Batusangkar Menggunakan TLD-100. Physics Education Research
Journal 2020; 2(2): 96-99.
9. Boel T. Dasar-dasar radiologi. Medan: USU Press, 2009: 1-3.
10. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN
2011 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENGGUNAAN PESAWAT
SINAR-X RADIOLOGI DIAGNOSTIK DAN INTERVENSIONAL.
11. Aryawijayanti, R. (2016). Analisis Dampak Radiasi Sinar-x Pada Mencit Melalui Pemetaan
Dosis Radiasi di Laboratorium Fisika Medik (Doctoral dissertation, Universitas Negeri
Semarang).
12. Alatas Z. Efek Radiasi Pengion dan Non Pengion pada Manusia. Bul Al. 2005;5(2003):99–
112.
13. Sutikno RAS. ANALISIS DAMPAK RADIASI SINAR-X PADA MENCIT MELALUI
PEMETAAN DOSIS RADIASI DI LABORATORIUM FISIKA MEDIK. J MIPA.
2015;38(1):25–30.
14. Alatas Z, Lusiyanti Y. Efek Kesehatan Radiasi Non Pengion pada Manusia. Cermin Dunia
Kedokteran 2003; 138: 40-41.
15. Dianasari T, Koesyanto H. Penerapan Manajemen Keselamatan Radiasi Di Instalasi Radiologi
Rumah Sakit. Unnes Journal of Public Health 2017; 6(3): 175-83.
16. Tetriana D, Evalisa M. Sangat Penting, Pemeriksaan Kesehatan Pekerja Radiasi. Buletin
ALARA 2006; 7(3): 93 – 101.
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi
Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif.

Anda mungkin juga menyukai