Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TUNAGRAHITA

KELOMPOK 2

Di susun oleh :
1. Irhamna (6182121006)
2. Yolly Widya Wati (6172121023)
3. Suhendra (6173321059)
4.Body jobta perangin-angin (6173321015)
5. Robert Pegin (6173321052)
6. Brando Tumpal Nainggolan (6173121012)

MATA KULIAH : olahraga berkebutuhan khusus

PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021

KATA  PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Tunagrahita”. Penulisan makalah ini guna untuk memenuhi tugas mata
kuliah OLahraga Berkebutuhan Khusus.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan makalah ini,
Akhirnya penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini penulis merasa
masih banyak  kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak terutama kepada dosen pengampu sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

                                                                                                               

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………      ii
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………….. iii
BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
…………………………………………………………………  1
B.    Rumusan Masalah
…………………………………………………………..….   1
C.   Tujuan
………………………………………………………………………….   2
BAB II  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Anak Tunagrahita ……………………..…………………….
…….....   3   
B.    Klasifikasi Anak Tunagrahita …………………………………………….
….......   4
C.   Etiologi Anak Tunagrahita ………………………..…………….
………….........   5
D.   Dampak Ketunagrahitaan ……...………………………..
……………………......  7
E.    Kemampuan Bahasa Dan Bicara Anak Tunagrahita
…………………………........  10
F.    Penyesuaiana Sosial Anak Tunagrahita
………………………………………........  12
G.   Modifikasi Tingkahlaku Anak
Tunagrahita……………………………………….... 13

BAB III  PENUTUP
A.    Simpulan
………………………………………………………………………  16  
B.    Saran
…………………………………………………………………………... 16

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Istilah tunagrahita (intellectual disability) atau dalam perkembangan sekarang
lebih dikenal dengan istilah developmental disability, sering keliru dipahami oleh
masyarakat, bahkan sering terjadi pada para professional dalam bidang
pendidikan luar biasa didalam memahami konsep tunagrahita. Perilaku
tunagrahita yang kadang-kadang aneh, tidak lazim dan tidak cocok dengan situasi
lingkungan seringkali menjadi bahan tertawaan dan olok-olok orang yang berada
didekat mereka. Keanehan tingkah laku tunagrahita dianggap oleh masyarakat
sebagai orang sakit jiwa atau orang gila. Tunagrahita sesungguhnya bukan orang
gila, perilaku aneh dan tidak lazim itu sebetulnya merupakan manifestasi dari
kesulitan meraka didalam menilai situasi akibat dari rendahnya tingkat
kecerdasan. Dalam pengertian lain terdapat kesenjangan yang signifikan antara
kemampuan berfikir dengan perkembangan usia.
Keterbelakangan mental yang biasa dikenal dengan anak tunagrahita biasa
dihubungkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Tunagrahita memiliki arti
menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan
ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi
sosial. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil tes
IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan lingkungan sosial sangat besar
pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian anak tunagrahita?
2.      Bagaimanakah klasifikasi anak tunagrahita?
3.      Bagaimanakah etiologi anak tunagrahita?
4.      Bagaimanakah dampak ketunagrahitaan?
5.      Bagaimanakah kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita?
6.      Bagaimanakah penyesuaiana sosial anak tunagrahita?
7.      Bagaimanakah modifikasi tingkahlaku anak tunagrahita?

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian anak tunagrahita.
2.      Untuk mengetahui klasifikasi anak tunagrahita.
3.      Untuk mengetahui  bagaimana etiologi anak tunagrahita.
4.      Untuk mengetahui  bagaimana dampak ketunagrahitaan.
5.      Untuk mengetahui  bagaimana kemampuan bahasa dan bicara anak
tunagrahita.
6.      Untuk mengetahui  bagaimana penyesuaiana sosial anak tunagrahita.
7.      Untuk mengetahui  bagaimana modifikasi tingkahlaku anak tunagrahita.
BAB II 
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Anak Tunagrahita


Batasan anak berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, para ahli dalam
beberapa referensi mendefinisikan secara berbeda. Seseorang dikatakan
berkelainan mental subnormal atau tunagrahita jika ia memiliki tingkat
kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal), sehingga untuk meniti
tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik,
termasuk dalam program pendidikannya. (Bratanata, 1979).
Penafsiran yang salah sering kali terjadi di masyarakat awam bahwa keadaan
kelainan mental subnormal atau tunagrahita dianggap seperti suatu penyakit
sehingga dengan memasukkan ke lembaga pendidikan atau perawatan khusus
anak diharapkan dapat normal kembali. Penafsiran tersebut sama sekali tidak
benar sebab anak tunagrahita dalam jenjang manapun sama sekali tidak ada
hubungannya penyakit atau sama dengan penyakit (Kirk, 1970). 
Edgar Doll berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika: (1) Secara social
tidak cakap, (2) secara mental dibawah normal, (3) kecerdasanya terhambat sejak
lahir atau pada usia muda, (4) kematangannya terhambat (Kirk, 1970). Sedangkan
menurut The American Assotiation on Mental Deficiency (AAMD), seseorang
dikatakan tunagrahita apabila kecerdasannya secara umum dibawah rata-rata dan
mengalami kesulitan penyesuaian social dalam setiap fase perkembangannya
(Hallahan dan Kauffman, 1986).
Tunagrahita merupakan kondisi yang kompleks, menunjukkan kemampuan
intelektual yang rendah dan mengalami hambatan dalam perilaku adaptif.
Seseorang tidak dapat dikegorikan sebagai tunagrahita apabila tidak mempunyai
dua hal tersebut yaitu, perkembangan intelektual yang rendah dan kesulitan
dalam perilaku adaptif. Dalam pengertian lain seseorang baru dapat dikategorikan
tunagrahita apabila kedua syarat tadi dipenuhi. 
Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
memikul tanggungjawab social menurut ukuran normal social tertentu, dan
bersifat kondisi sesuai dengan tahap perkembangannya. Hambatan dalam
perilaku adaptif pada tunagrahita dapat dilihat dalam tujuh area yaitu; (1)
terhambat dalam perkembangan keterampilan sensorimotor, (2) terhambat dalam
keterampilan komunikasi, (3) terhambat dalam keterampilan menolong diri, (4)
terhambat dala sosialisasi, (5) terhambat dalam mengaplikasikan keterampilan
akedemik dalam kehidupan sehari-hari, (6) terhambat dalam menilai situasi
lingkungan secara tepat dan (7) terhambat dalam menialai keterampilan sosial.
Aspek 1 sampai dengan 4 dapat diobservasi pada masa bayi dan kanak-kanak,
sementara aspek 5 sampai dengan 7 dapat diobservasi pada masa remaja.
Karakteristik anak dengan hendaya perkembangan (tunagrahita), meliputi hal-
hal sebagai berikut:
a.       Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial, dan emosional sama seperti
anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita.
b.      Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan
kesalahan (expectancy for filure).
c.       Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi
kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness).
d.      Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri.
e.       Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (social
behavioral).
f.       Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.
g.      Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan.
h.      Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.
i.        Kurang mampu untuk  berkomunikasi.
j.        Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.
k.      Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala
depresif menurut hasil penelitian dari Meins tahun 1995 (Smith, et al.. 2002:
278-289).

B.       Klasifikasi Anak Tunagrahita


Berbagai cara digunakan para ahli dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita.
Berikut diuraikan klasifikasi menurut berbagai tinjauan profesi. Seorang dokter
dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada tipe kelainan
fisiknya, seperti tipe mongoloid, microcephalon, cretinism, dan lain-lain. Seorang
pekerja social dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada derajat
kemampuan penyesuaian diri atau ketidakketergantungan kepada orang lain.
Seorang psikolog dalam mengklisifikasi anak tunagrahita mengarah kepada aspek
indeks mental intelegensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka tes
kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil,
dan IQ 50-75 kategori  debil atau moron. Seorang pedagog dalam mengklasifikasi
anak tunagrahita didasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan
pada anak, dari penilaian tersebut dapat dikelompokkan menjadi anak tunagrahita
mampu didik, anak tunagrahita mampu latih, dan anak tunagrahita mampu rawat.
Anak tunagrahita mampu didik  (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak
mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya
tidak maksimal. Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita
mampu didik anatara lain: (1) membaca, menulis, mengeja, dan berhitung; (2)
menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain; (3)
keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.
Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang
dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, social, dan
pekerjaan.
Anak tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak tunagrahita yang
memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk
mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh
karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu
diberdayakan, yaitu (1) belajar mengurus diri sendiri, misalnya; makan, pakaian,
tidur, atau mandi sendiri, (2) belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau
sekitarnya, (3) mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, di bengkel kerja, atau di
lembaga khusus. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu latih berarti anak
tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas
kehidupan sehari-hari (activity daily living), serta melakukan fungsi sosial
kemasyarakatan menurut kemapuannya.
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki
kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau
sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri ssendiri sangat membutuhkan lorang
lain. Dengan kata lain, anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita
yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak
mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton, 1991).

C.       Etiologi Anak Tunagrahita


Menelaah sebab terjadinya ketunagrahitaan pada seseorang menurut kurun
waktu terjadinya, yaitu dibawa sejak lahir (factor endogen) dan factor dari luar
seperti penyakit atau keadaan lainnya (factor eksogen).
Kirk (1970) berpendapat bahwa ketunagrahitaan karena factor endogen, yaitu
factor ketidaksempurnaan psikobiologis dalam memindahkan gen. sedangkan
factor eksogen, yaitu factor yang terjadi akibat perubahan patologis dari
perkembangan normal.
Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut
Devenport dapat dirinci melalui jenjang berikut: (1) kelainan atau ketunaan yang
timbul pada benih plasma, (2) kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama
penyuburan telur, (3) kelainan atau ketuanaan yang dikaitkan dengan implantasi,
(4) kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio, (5) kelainan atau ketunaan
yang timbul dari luka saat kelahiran, (6) kelainan atau ketunaan yang timbul
dalam janin, dan (7) kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan
masa kanak-kanak.
Selain sebab-sebab diatas, ketunagrahitaanpun dapat terjadi karena: (1) radang
otak, (2) gangguan fisiologis, (3) factor hereditas, dan (4) pengaruh kebudayaan
(Kirk & Johnson, 1951). Radang otak merupakan kerusakan pada area otak
tertentu yang terjadi saat kelahiran. Radang otak ini terjadi karena adanya
pendarahan dalam otak. Pada kasus yang ekstrem, peradangan akibat pendarahan
menyebabkan gangguan motorik dan mental. Sebab-sebab yang pasti sekitar
pendarahan yang terjadi dalam otak belum dapat diketahui. Hedrocephalon
misalnya, keadaan diduga karena peradangan pada otak. Gejala yang tampak
yaitu membesarnya tengkorak kepala disebabkan makin bertambahnya cairan
cerebrospinal. Tekanan yang terjadi pada otak menyebabkan kemunduran fungsi
otak demikian pula cerebal anoxia, yakni kekurangan oksigen dalam otak dan
menyebabkan otak tidak berfungsi dengan baik tanpa adanya oksigen yang cuku.
Penyakit-penyakit inveksi lainnya yang menjadi penyebab ketunagrahitaan,
seperti measles, scarlet fever, meningitis, encephalitis, diphtheria, dan cacar,
dapat menjadi penyebab terjadinya peradangan otak.
Gangguan fisiologis berasal dari virus yang dapat menyebabkan
ketunagrahitaan diantaranya rubella (campak jerman). Virus ini sangat berbahaya
dan berpengaruh sangat besar pada tri semester pertama saat ibu mengandung,
sebab akan memberi peluang timbulnya keadaan ketunagrahitaan terhadap bayi
yang dikandung. Selain rubella, bentuk gangguan fisiologis lain adalah rhesus
factor, mongoloid (penampakan fisik mirip keturunan orang mongol) sebagai
akibat gangguan genetik, dan cretinisme atau kerdil sebagai akibat gangguan
kelenjar tiroid.
Faktor hereditas atau keturunan diduga sebagai penyebab terjadinya
ketunagrahitaan masih sulit dipastikan kontribusinya sebab para ahli sendiri
mempunyai formulasi yang berbeda mengenai keturunan sebagai penyebab
ketunagrahitaan.
Faktor kebudayaan adalah factor yang berkaitan dengan segenap
perikehidupan lingkungan psikososial. Dalam beberapa abad factor
kebudayaan  sebagai penyebab ketunagrahitaan sempat menjadi masalah yang
kontroversial. Di satu sisi, factor kebudayaan memang mempunyai sumbangan
positif dalam membangun kemampuan psikofisik dan psikososial anak secara
baik, namun apabila faktor-faktor tersebut tidak berperan baik, tidak manutup
kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan psikofisik dan psikososial
anak. Contoh kasus anak idiot yang di temukan Itard dari hutan Aveyron, ataupun
anak yang ditemukan hidup diantara serigala di India seperti yang ditulis Arnold
Gesel. Walaupun anak tersebut kemudian dirawat dan mendapatkan intervensi
pendidikan secara ekstrem, ternyata tidak mampu membuatnya menjadi manusia
normal kembali.
Faktor etiologi biomedik sebagai penyebab ketunagrahitaan menurut Kanner,
yakni 6,4% akibat trauma lahir dan anoxia prenatal, 35,61% akibat factor genetik,
6,2% akibat penyakit infeksi prenatal, 5 % akibat infeksi otak setelah lahir, dan
2% lainnya adalah lahir prematur. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di
Inggris dan beberapa Negara lain di Amerika, prevalensi anak tunagrahita
berdasarkan tingkat sosial ekonomi dan kebudayaan tempat anak berasal. Makin
tinggi kelas makin sedikit frekuensinya, kelas dalam masyarakat tinggi
diasumsikan memiliki kehidupan social ekonomi yang tinggi pula sehingga
memungkinkan layanan kesehatan psikofisik dapat dipenuhi dengan baik, serta
dapat menekan tumbuhnya kelainan dalam kecerdasan rendah yang lebih besar
(faktor eksternal). 

D.      Dampak Ketunagrahitaan
Kecerdasan yang dimiliki seseoranag disamping menggambarkan
kesanggupan secara mental seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap situasi
dan kondisi  yang baru, atau kesanggupan untuk bertindak secara terarah, berfikir
secara rasional dalam menghadapi lingkungan secara efektif, juga sebagai
kesanggupan untuk belajar dan berfikir secara abstrak.
Teori kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang
beraspek tunggal, melainkan terdiri dari beberapa unsur atau kemampuan, yaitu
kemampuan yang bersifat umum dan kemampuan yang bersifat khusus.
Kemampuan umum yang dimaksud adalah rangkuman dari berbagai kemampuan
pada bidang tertentu, sedangkan kemampuan khusus adalah kemampuan yang
dimiliki pada bidang-bidang  tertentu.
Pada dasarnya, anak yang memiliki kemampuan kecerdasan dibawah rata-rata
normal atau tunagrahita menunjukkan kecenderungan rendah pada fungsi umum
kecerdasannya, sehingga banyak hal menurut persepsi orang normal dianggap
wajar terjadi akibat dari suatu proses tertentu, namun tidak demikian halnya
menurut pers yang mempunyai pepsi anak yang mempunyai kecerdasan sangat
rendah. Hal-hal yang dianggap wajar oleh anak normal barangkali dianggap
sesuatu yang sangat mengherankan oleh anak tunagrahita. Semua itu terjadi
karena keterbatasan fungsi kognitif anak tunagrahita.
Fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau
memperoleh pengetahuan. Pada anak tunagrahita, gangguan fungsi kognitifnya
terjadi pada kelemahan salah satu atau lebih dalam proses (diantara proses
persepsi, ingatan, pengembangan ide, penilaian dan penalaran). Oleh sebab itu,
meskipun usia kalender anak tunagrahita sama dengan anak normal namun
prestasi yang diraih berbeda dengan anak normal.
Dalam berbagai studi diketahui bahwa ketidakmampuan anak tunagrahita
meraih prestasi yang lebih baik dan sejajar dengan anak normal, karena kesetiaan
ingatan anak tunagrahita sangat lemah dibanding dengan anak normal. Maka
tidak heran, jika instruksi yang diberikan kepada anak tunagrahita cenderung
tidak melalui proses analisis kognitif. Akibatnya anak tunagrahita jika
dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan proses pemanggilan kembali
pengalaman atau peristiwa yang lalu sering kali mengalami kesulitan.
Inhelder (1968) dalam penelitiannya menemukan: (1) penyandang tunagrahita
berat perkembangan kognitifnya terhambat pada tingkat perkembangan
sensomotorik, (2) pada penyandang tunagrahita ringan perkembangan kognitifnya
terhenti pada perkembangan operasional konkret (Kirk, 1970).
Perangkat yang digunakan untuk mengukur derajat ketunagrahitaan seseorang
dapat dilakukan dengan memberikan berbagai macam tes kecerdasan, dalam hal
ini yang umun digunakan ialah Stanford-Binet dan Revise Weschler Scale for
Children (WISC-R). materinya meliputi performance test (menyusun balok,
mengatur warna, menggambar dengan kertas dan pensil, dan tes verbal/ tes
perbendaharaan kata).
Kesimpulannya, keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunagrahita
menjadi masalah besar bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas
pekembangannya. Beberapa hambatan yang tampak pada anak tunagrahita dari
segi kognitif dan sekaligus menjadi karakteristiknya yaitu sebagai berikut:
1.      Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berfikir.
2.      Mengalami kesulitan dalam konsentrasi.
3.      Kemampuan sosialisasinya terbatas.
4.      Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit.
5.      Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi.
6.      Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tinggi bidang baca, tulis, hitung
tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV sekolah dasar.
Dalam buku Delphie, Bandi : 2006 hambatan-hambatan yang dihadapi anak
dengan hendaya perkembangan adalah sebagai berikut:
a.       Pada umumnya anak dengan hendaya perkembanagan mempunyai
pola perkembangan perilaku yang tidak sesuai dengan kemapuan
potensialnya.
b.      Anak dengan hendaya perkembangan mempunyai kelainan perilaku
mal adaftif dengan sifat agresif secara verbal atau fisik, perilaku yang suka
menyakiti diri sendiri, perilaku suka menghindarkan diri dari orang lain,
suka menyendiri, suka mengucapkan kata atau kalimat yang tidak masuk
akal atau sulit dimengerti maknanya, rasa takut yang tidak menentu sebab
akibatnya, selalu ketakutan dan sikap suka bermusuhan.
c.       Pribadi anak dengan hendaya perkembagan mempunyai
kecenderungan yang sangat tinggi untuk melakukan tindakan yang salah.
d.      Masalah yang berkaitan dengan kesehatan khusus seperti
terhambatnya perkembangan gerak, tingkat pertumbuhan yang tidak
normal, kecacatan sensori, khususnya pada persepsi penglihatan dan
pendengaran sering tampak pada anak dengan hendaya perkembangan.
e.       Sebagian dari anak dengan hendaya perkembangan memiliki
kelainan penyerta cerebal palsy, kelainan saraf otot yang disebabkan oleh
kerusakan bagioan tertentu pada otak saat ia dilahirkan ataupun saat awal
kehidupan.
f.       Secara keseluruhan anak dengan hendaya perkembangan mempunyai
kelemahan pada segi:
1)      Keterampilan gerak
2)      Fisik yang kurang sehat
3)      Koordinasi gerak 
4)      Kurangnya perasaan percaya diri terhadap situasi dan keadaan
sekelilingnya
5)      Keterampilan gross dan fine motor yang kurang
g.      Dalam aspek keterampilan social, anak dengan hendaya
perkembangan umumnya tidak mempunyai keterampilan social, antara lain
suka menghindar dari keramaian, ketergantungan hidup pada keluarga,
kurangnya kemampuan mengatasi marah, rasa takut yang berlebihan,
kelainan peran seksual, kurang mampu berkaiatan dengan kegiatan yang
melibatkan kemampuan intelektual, dan mempunyai pola perilaku seksual
secara khusus.
h.      Anak dengan hendaya perkembangan mempunyai keterlambatan
pada berbagai tingkat dalam pemahaman dan penggunaan bahasa, masalah
bahsa dapat mempengaruhi perkembanagn kemandirian dan dapat menetap
hingga usia dewasa.
i.        Pada beberapa anak dengan hendaya perkembanagan mempunyai
keadaan lain yang menyertai, seperti autism, cerebral palsy, gangguan
perkembangan lain (nutrisi, sakit dan penyakit, kecelakaan dan luka),
epilepsy, dan disabilities fisik dalam berbagai porsi.

E.       Kemampuan Bahasa Dan Bicara Anak Tunagrahita


Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara pada anak normal
barangkali tidak banyak menemui hambatan yang berarti, karena mereka dapat
dengan mudah memanfaatkan potensi psikofisik dalam perolehan kosakata
sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan bicaranya. Hal ini
dikarenakan kecerdasan sebagai salah satu aspek psikologis mempunyai
kontribusi cukup besar dalam mekanisasi fungsi kognisi terhadap stimulasi verbal
maupun nonverbal, terutama yang memiliki unsur kebahasaan. Namun tidak
demikian halnya bagi anak tunagrahita, apa yang dilakukan oleh anak normal
sulit untuk diikuti oleh anak tunagrahita. Seringkali stimulasi verbal maupun
nonverbal dari lingkungan gagal ditransfer dengan baik oleh anak tunagrahita.
Bahkan hal-hal yang tampaknya sederhana terkadang tidak mampu dicerna
dengan baik, akibatnya peristiwa kebahasaan yang lazim terjadi di sekitarnya
menimbulkan keanehan bagi dirinya.
Pada anak tunagrahita agak berat (mampu latih), kegagalan melakukan
apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerapkali diikuti gangguan artikulasi
bicara. Penyertaan kelainan sekunder ini, maka hal-hal yang tampak pada anak
tunagrahita mampu latih dalam berkomunikasi, disamping struktur kalimat yang
disampaikannya cenderung tidak teratur, juga dalam pengucapannya seringkali
terjadi omisi (pengurangan kata) maupun distorsi (kekacauan dalam
;pengucapan).
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita
secara maksimal, tentunya perlu upaya dan strategi khusus. Satu hal yang perlu
dipahami bagi guru, langkah pertama sebelum mangajarkan hal-hal yang lebih
besar, sedapatnya diajarkan untuk menhyebutkan namanya. Tujuannya,
disamping anak tunagrahita suka menyebutkan namanya, juga dapat menambah
motivasi belajar. Setelah itu kita dapat menggiring konsentrasi anak dengan
menyeluruh melihat satu persatu benda yang akan diperkenalkan, serta
menyebutkan namanya dengan baik dan jelas. Ketika anak tunagrahita mulai
menyebutkan nama benda yang ditunjukkan, pada saat yang sama dapat
mengontrol artikulasi bicaranya dan membetulkan jika terjadi kesalahan. Apabila
penguasaan kosakata sudah baik, dapat dilanjutkan dengan memperkenalkan
benda dilingkungan sekitarnya, seperti delman, sungai, mobil, sepeda, dan lain-
lain.
Selain melalui upaya-upaya di atas, upaya lain untuk mengembangkan
kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita, yaitu model pembelajaranyang
membawa anak tunagrahita dalam situasi yang wajar dan alamiah, misalnya
menyebut nama-nama benda yang kita pakai ketika anak turut membantu
pekerjaan kita, serta mengulangi beberapa kali sehingga anak mampu
memahaminya.
Beberapa model latihan pendahuluan yang berfungsi sebagai pendukung
dalam pengembangan kemampuan bahasa dan bicaranya, antara lain sebagai
berikut.
1.      Latihan pernafasan
Latihan ini dapat dilakukan dengan meniup perahu kecil dari kertas/plastik
yang diapungkan diair, meniup lilin pada jarak tertentu, meniup kincir dari
kertas sampai berputar, atau meniup gelembung balon dari busa dan kapas ke
udara.
2.      Latihan otot bicara separti lidah, bibir, dan rahang
Untuk latihan ini, anak tunagrahita disuruh mengunyah, menelan, batuk-
batuk, atau menggerakkan bibir, lidah, dan rahangnya. Sarananya dapat
menggunakan permen yang dikunyah dan berpindah-pindah dari kanan ke kiri
diletakkan diujung lidah sambil dijulurkan, mengunyah makanan atau madu
yang dioleskan disekitar bibir dan anak disuruh membersihkan dengan
lidahnya.
3.      Latihan pita suara
Latihan ini diarahkan untuk menyebutkan nama-nama benda yang ada
disekitar dengan menggunakan kata lembaga, yaitu daftar kata yang disusun
sesuai dengan tingkat kesulitan konsonan tertentu, dapat dimasukkan pula
menirukan suara macam-macam binatang dan benda-benda lain di sekitarnya
sebagai improvisasinya, seperti suara kucing, anjing, bebek, ayam
jantan/betina, kerbau, sirine, klakson kereta api, jam welker, mobil, pesawat
terbang, dan lain-lain.

F.        Penyesuaiana Sosial Anak Tunagrahita


Pada anak normal dalam melewati setiap tahapan perkembangan social dapat
berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun tidak dengan demikian halnya
dengan anak tuna grahita, pada setiap tahapan perkembangan social yang dialami
anak tunagrahita selalu mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dan
perilaku anak tunagrahita berada dibawah usia kalendernya, dan ketika usis 5-6
tahun mereka belum mencapai kematangan untuk belajar di sekolah (Bratanata,
1979).
Beberapa studi menunjukkan bahwa terlambatnya sosialisasi anak tunagrahita
ada hubungannya dengan taraf kecerdasannya yang sangat rendah.
Indikasi keterlambatan anak tunagrahita dalam bidang social umumnya terjadi
karena hal-hal berikut.
1.      Kurangnya kesempatan yang diberikan pada anak tunagrahita untuk
melakukan sosialisasi.
2.      Kekurangan motivasi untuk melakukan sosialisasi.
3.      Kekurangan bimbingan untuk melakukan sosialisasi.
Sebagai makhluk individu dan social, anak tunagrahita mempunyai hasrat
untuk memenuhi segala kebutuhan sebagaimana layaknya anak normal lainnya,
tetapi upaya anak tunagrahita lebih sering mengalami kegagalan atau hambatan
berarti. Akibatnya anak tunagrahita mudah frustasi, dari perasaan frustasi tersebut
pada gilirannya akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari
mekanisme pertahanan diri, dan sebagai wujud penyesuaian social yang salah
(maladjusted). 
Perilaku orang lain yang kurang wajar terhadap anak tunagrahita atau lemahnya
konsentrasi anak tunagrahita terhadap tujuan, menjadi salah satu penyebab anak
tunagrahita mudah dipengaruhi untuk berbuat hal-hal yang jelek. Demikian juga
rendahnya tingkat kematangan emosi dan kesukaran anak tunagrahita untuk
memahami aturan atau norma yang ada dilingkungannya, merupakan unsur-unsur
yang dapat menyuburkan tumbuhnya penyimpangan perilaku bagi anak
tunagrahita.
Oleh karena itu untuk membantu anak tunagrahita agar dapat mencapai
penyesuaian social dengan baik, ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu
1.      kurikulum sekolah harus memperhatikan kebutuhan anak tunagrahita
2.      kondisi sekitar lingkungan harus kondusif
3.      pemenuhan kebutuhan dasar anak tunagrahita
4.      bimbingan dan latihan kerja
Terlepas dari upaya-upaya tersebut diatas, dalam rangka membantu anak
tunagrahita mencapai penyesuaian yang akurat, peranan orang tua atau keluarga
memiliki sumbangan terbesar. Dalam hal ini bagaimana pun baiknya program
sekolah yang direncanakan untuk anak tunagrahita, jika tidak dibarengi dengan
tindakan dan sikap orang tua/ keluarga secara konstruktif dan edukatif barangkali
tidak banyak artinya. 

G.      Modifikasi Tingkahlaku Anak Tunagrahita


Jenis terapi perilaku lain yang dapat dilakukan untuk anak tunagrahita, yaitu
melalui kegiatan bermain (kegiatan fisik/ atau psikis yang dilakukan tidak dengan
sungguh-sungguh). Freud berpandangan bahwa bermain merupakan cara
seseorang untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan yang kompleks,
merugikan. Melalui kegiatan bermain perasaan menjadi lega, bebas, dan berarti.
Mengingat urgensinya bermain bagi anak tunagrahita dewasa ini aktivitas
bermain berkembang menjadi play therapy.
Terapi permainan yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita bukan sembarang
permainan tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain: (1) setiap
permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda, (2) sosok permainan
yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak tunagrahita (Prasedio,
1976). Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi perkembangan anak
tunagrahita, antara lain sebagai berikut.
1.      Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernafasan, pertukaran zat,
peredaran darah dan pencernaan makanan, dapat dibantu dilancarkan melalui
kegiatan bermain, baik bantuan pada satu aspek fungsi fisik maupun lebih.
2.      Pengembangan sensomotorik, melalui bermain melatih pengindraan
(sensoris) seperti ketajaman penglihatan, pendengaran, perabaan atau
penciuman, disamping melatih otot dan kemampuan gerak, seperti tangan,
kaki, leher, dan gerak tubuh lainnya. 
3.      Pengembangan daya khayal, melalui bermain, anak tunagrahita
diberikan kesempatan untuk mampu menghayati makna kebebasan sebagai
sarana yang diperlukan untuk pengembagan daya khayal dan kreasinya.
4.      Pembinaan pribadi, dalam bermain anak pun sebenarnya berlatih
memperkuat kemauan, memusatkan perhatian, mengembangkan keuletan,
ketekunan, percaya diri, dan lainnya. 
5.      Pengembangan sosialisasi, ada unsure yang menarik yaitu anak harus
berbesar hati menunggu giliran, rela menerima kekalahan, setia dan jujur.
6.      Pengembangan intelektual, melalui bermain anak tunagrahita belajar
mencerna sesuatu. Contohnya, peraturan dan skor yang diperoleh dalam
permainan. Teknisnya, misal dalam setiap langkah yang harus dilakukan
dalam permainan, ada kesempatan bagi anak tunagrahita untuk
mengaktualisasikan kemampuannya melalui ucapan atas apa yang dilihat dan
didengar tentang permaianan yang dilakukan. Secara tidak langsung cara ini
sebenarnya merupakan bagian dari pengembangan intelektual anak
tunagrahita.
Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan
kecerdasan dan motorik halus yang cenderung bersifat individual, antara lain
sebagai berikut.
1.      Latihan menuangkan air, pertama-tama anak diberi latihan menuang air
dengan jumlah sedikit melalui contoh yang diberikan. Semakin teratur dan
tanpa tetesan dalam menuangkan air, maka semakin baik kemampuannya.
2.      Bermain pasir, botol dan panci sebagai tempat menuang air, dan pasir
yang telah dituangkan ke botol dan panci tersebut dituangkan kembali ke
ember. Bermain pasir seperti ini dapat pula menggunakan pasir basah, anak
tunagrahita diajak berkhayal untuk mencetak benda-benda yang diinginkan
seperti kue, bangunan, gedung, gunung, dan lain sebagainya.
3.      Bermaian tanah liat, barangkali kegiatan yang dilakukan hanya
mengepal-ngepal saja. Namun apabila diberikan bimbingan dan latihan,
kegiatan tersebut dapat diarahkan membentuk benda-benda disekitarnya,
seperti boneka, asbak dan lainnya. Setelah selesai dan dikeringkan dapat
dapat dicat dengan barbagai warna agar menarik perhatiannya dan timbul
motivasi untuk berbuat lagi yang lebih baik.
4.      Meronce manik-manik, pertama kali yang diajarkan yaitu meronce
manik-manik yang besar kemudian dilanjutkan dengan yang kecil dengan
menggunakan benang atau kawat halus. Setelah anak tertarik dengan kegiatan
tersebut, dilanjutkan dengan pemilihan dan kombinasi warna manik-manik
yang dironce.
5.      Latihan melipat, latihan ini diawali dengan dua lipatan, empat lipatan
dan seterusnya dengan berbagai kombinasi batas kemampuan anak.
6.      Mengelem dan menempel, pertama-tama yaitu dengan menggunakan
telunjuk jari unruk mengelem dan mengulasnya agar tidak terjadi
kecerobohan. Untuk dapat lebih melekat, taruhlah secarik kertas atau kain
diatasnya dan tekan. Apabila anak mampu mengerjakan dengan baik dan rapi,
berilah pujian sebagai tanda penghargaan jerih payahnya.
7.      Menggunting dan memotong, dapat diawali dengan menggunting
bentuk sembarang, kemudian menggunting dengan cara yang lurus dan
dilanjutkan dengan menggunting dengan garis-garis melengkung.
8.      Latihan menyobek,  untuk latihan ini harus menggunakan dua
tangannya, dimulai menyobek menjadi bagian-bagian besar hingga menjadi
bagian yang sekecil-kecilnya. Hasil sobekan kertas tersebut selanjutnya dapat
dipergunakan untuk membuat rumah, pohon, gunung, dan lain-lain dengan
cara menempelkan dikertas yang masih utuh.
9.      Jarum dan benang, untuk kepentingan tersebut dibutuhkan semacam alat
bordir yang mula-mula harus ditusuk-tusukkan. Selanjutnya anak dapat
dilatih menggunakan kain strimin yang kasar atau kain wol yang tebal dan
sederhana. Dengan menggunakan jarus dan benang, anak tunagrahita dapat
membuat hiasan dinding, alas baki, tas dan sebagainya.
Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk pengembangan kemampuan
anak tunagrahita yaitu bermain yang mengandung unsur olahraga. Misalnya
berjalan diatas bangku, berjalan dengan beban dan tanpa beban dikepala melewati
titian garis atau tali dengan posisi lurus, melengkung, dan bulat. Latihan lain yang
menggunakan alat, misalnya menbribel bola, menendang bola, melempar dan
menangkap bola, berlari memindahkan bendera, dan lain-lain.
Khusus yang sifatnya kelompok, pengembangan aktivitas bermain pada anak
tunagrahita materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional,
pendidikan olahraga, atau kombinasi keduanaya. Misalnya bermain menjala ikan,
lempar dan tangkap bola, memuluk bola disela-sela kaki, dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Anak tunagrahita yaitu anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang
sedemikian rendahnya sehingga untuk meniti tugas perkembangannya.
Indikasinya dapat dilihat pada angka tes kecerdasan, seperti IQ 0-25
dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil, dan IQ 50-75 kategori  debil
atau moron. Ketunagrahitaan disebabkan karena faktor endogen dan faktor
eksogen. Keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi
masalah besar bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas perkembangannya. Maka
butuh pengembangan kemampuan bahasa dan bicara dan membantu penyesuaian
sosial anak tunagarahita serta modifikasi tingkalaku agar mampu
mengembangkan intelektualnya.
B.       Saran
Anak tunagrahita memang memiliki kemampuan yang rendah
dibandingkan  dengan anak normal lainnya, maka perlu adanya perhatian khusus
terhadap mereka untuk dilatih, dibimbing, dan diberi kesempatan serta dukungan
agar mereka mampu mengembangkan seluruh potensinya agar dapat mandiri dan
memiliki harga diri dihadapan orang lain disekitarnya. 
DAFTAR PUSTAKA

Rochyadi, Endang. 2005. Pengembangan Program Pembelajaran


Individual Bagi Anak Tunagrahita.  Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak
Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: PT
Refika Aditama.
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan
Khusus.  Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai