Anda di halaman 1dari 9

HUMANIKA Vol. 23 No.

2 (2016) ISSN 1412-9418


Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

PANCASILA SEBAGAI ORTHODOKSI DAN ORTHOPRAKSIS DALAM


KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Oleh:
Mulyono
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

ABSTRACT

Pancasila as ideology contains many teachings about how human should relate to the others,
nature and God in the life of society and the state. Pancasila’s teachings believed truth and
goodness by Indonesian peoples since been justified through a variety of scientific-
philosophical studies. This is the meaning of Pancasila as a orthodoxy.
On the other hand, the process of modernization spur the development of science and
technology and phenomenon of globalization so that dynamics and changes in society take
place quickly. In the context of practical guideline, the implementation of Pancasila should
adapt to the development of national and international community. The breakdown of
Pancasila’s values should be reconstructed continuously order to always stay relevant as
problem solver and able to keep up with the the times. Revitalization and reinterpretation of
Pancasila as a ideology should always be done in order to not become obsolete so abandoned
by its adherents.

Keywords : orthodoxy, globalization, dynamics, relevant, revitalization, reinterpretation.

I. PENDAHULUAN sangka, ajaran). Orthodoksi secara harafiah


Pancasila dirumuskan oleh para berarti dengan ketegaran lurus pada ajaran.
pendiri negara dengan tujuan sebagai Istilah “orthopraksis” juga berasal dari
philosofische gronslag, yang mendasari bahasa Yunani “orthos” dan “praxis”
kehidupan bangsa Indonesia dalam (yang berarti tindakan), sehingga
bernegara. Pancasila merupakan produk orthopraksis secara harafiah berarti
perenungan para pendiri negara dalam tindakan yang lurus.
rangka mencari dan merumuskan sistem Pancasila mengandung juga unsur
nilai sebagai acuan dalam praktik pergerakan dan harapan terwujudnya
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan masyarakat ideal. Pancasila bukanlah
bernegara. Konsekuensinya, Pancasila sistem pemikiran yang teoritis-spekulatif
harus dipahami sebagai suatu orthodoksi, belaka, yang bersifat statis, melainkan
yaitu ajaran yang diyakini sebagai yang Pancasila dituntut sungguh nyata dalam
benar dan digali lewat daya penalaran. praktik kehidupan masyarakat yang
Pancasila, sebagai orthodoksi, digali dan berkembang secara dinamis. Pancasila
dirumuskan dari nilai-nilai kehidupan yang diharapkan terealisasi secara konsisten,
terpapar dalam sejarah kebudayaan kontekstual dan partisipatif dalam praktik
Indonesia, sehingga Pancasila merupakan hidup bangsa Indonesia. Dengan demikian,
identitas atau jati diri bangsa Indonesia Pancasila harus juga dipahami sebagai
(Mulyono, 2008: 1). Istilah “orthodoksi” orthopraksis.
berasal dari bahasa Yunani “orthos” (yang Keadaan dan situasi dunia, sejak
berarti lurus) dan “doxa” (yang berarti akhir tahun 1980-an dengan fenomena
“bangkrutnya” ideologi komunisme di

40
HUMANIKA Vol. 23 No. 2 (2016) ISSN 1412-9418
Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

Eropa Timur dan ekspansifnya sistem dipergunakan penulis untuk menerangkan


kapitalisme, menjadi tantangan bagi dan mengungkapkan makna dari kedua
ideologi Pancasila dan masyarakat konsepsi nilai Pancasila yang berfungsi
pengunanya untuk bertahan dan sebagai orthodoksi dan orthopraksis bagi
berkembang mengikuti dinamika bangsa Indonesia dalam kehidupan
kehidupan masyarakat nasional maupun bersamanya. Kedua adalah cara abstraksi.
global. Bangsa Indonesia ditantang dan Cara ini dipergunakan penelitiuntuk
diuji agar mampu menjaga Pancasila selalu menemukan unsur-unsur penting dan
relevan sebagai pedoman dalam menjawab hakiki dari kedua fungsi Pancasila
persoalan-persoalan dalam kehidupan tersebut.Ketiga adalah cara komparasi.
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cara ini dipergunakan penulis untuk
Bung Karno pernah menegaskan, bahwa membandingkan kedua fungsi Pancasila
agar Pancasila kokoh bertahan dan mampu tersebut agar diketemukan
mengikuti perkembangan zaman, maka kompatibilitasnya dalam rangka
Pancasila perlu ditarik ke atas dank ke pemecahan masalah bangsa Indonesia.
bawah. Ditarik ke atas, artinya Pancasila Keempat adalah cara heuristika. Cara ini
harus mampu mendapatkan pembenaran- dipergunakan penulis untuk
pembenaran yang bersifat ilmiah-filsafati mengungkapkan makna dan penemuan
sehingga selalu diyakini kebenarannya. baru dalam kegiatan penelitian.
Sedangkan ditarik ke bawah, artinya
Pancasila haruslah mampu “dibumikan” III. PEMBAHASAN
atau direalisasikan dalam praktik hidup 3.1. Pancasila sebagai Renungan
dalam kehidupan bermasyarakat, Filsafati
berbangsa dan bernegara.
Tiga guru besar dan ahli filsafat,
Pancasila, bagi bangsa Indonesia,
yaitu Prof. Notonagoro, Prof. Driyarkara
berfungsi bukan hanya memberikan
dan Prof. Soerjanto Poespowardojo, telah
wawasan filosofis tentang kehidupan
membuktikan bahwa Pancasila
manusia dalam hubungannya dengan
mengandung renungan filisofis tentang
sesama manusia, masyarakat/negara, dan
keberadaan manusia dalam kehidupan
Tuhannya, tetapi Pancasila juga berfungsi
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
memberikan pedoman praktik bagaimana
Ketiga guru besar tersebut memberikan
seharusnya warga bangsa Indonesia
keyakinan akan kebenaran dan kebaikan
bertindak dalam kehidupan bermasyarakat,
Pancasila sebagai acuan dalam menjalani
berbangsa dan bernegara. Pancasila
hidup bersama bagi setiap manusia dalam
memang tidak memiliki nilai operasional
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
secara langsung. Operasionalisasi nilai
bernegara. Penulis akan menguraikan
Pancasila, dalam bentuk pedoman atau
secara singkat pandangan dari ketiga filsuf
norma, berlangsung melalui perangkat
Indonesia tersebut, sebagai berikut :
hukum dan perundang-undangan pada
berbagai tingkatan sesuai dengan sistem
3.1.1. Pandangan Driyarkara
yang ditetapkan (Djiwandono, 1995: 16).
Driyarkara (1959: 5) menegaskan
bahwa ajaran Pancasila berpangkal pada
II. METODE
kodrat manusia. Substansialitas nilai
Penelitian ini adalah penelitian
Pancasila adalah pemanusiawian manusia.
pustaka, sehingga metode penelitian yang
Pancasila adalah rumusan eksistensi
digunakan adalah metode kualitatif.
manusia sebagai manusia, terlepas dari
Peneliti mempergunakan unsur metodis;
keadaan yang tertentu pada konkretonya.
Pertama adalah interpretasi. Cara ini
Pancasila sebagai dalil-dalil filsafat adalah

41
HUMANIKA Vol. 23 No. 2 (2016) ISSN 1412-9418
Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

merumuskan realita manusia di dalam Ajaran Pancasila mewajibkan pada


semesta realita. Pancasila memperoleh setiap manusia untuk menjalin hubungan
dasarnya pada eksistensi manusia, lepas cinta kasih kepada Tuhan dengan penuh
dari keadaan hidupnya yang tertentu. ketaqwaan dan pengabdian (sila 1). Di
Pancasila merupakan filsafat tentang samping itu manusia wajib pula menjalin
kodrat manusia. hubungan cinta kasih kepada sesama
Pancasila memuat ajaran, bahwa manusia dalam konteks hidup
keberadaan manusia dalam semesta realita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
selalu terhubung dan tergantung pada (sila 2, 3, dan 4). Akhirnya manusia juga
“yang lain”, yaitu sesama manusia, alam wajib menjalin hubungan cinta kasih
semesta, dan Tuhan (Driyarkara 1959: 28). dengan alam, memayu hayuning bawana,
Setiap manusia selalu mempunyai karena manusia bisa tercukupi kebutuhan
hubungan ketergantungan baik secara hidup pokoknya dari sumber daya alam.
horizontal (dengan sesama manusia dan Manusia dapat memperoleh kesejahteraan
alam) dan vertikal (dengan Tuhan). Sejak atau kemakmuran bersama (sandang,
manusia lahir sampai meninggal dunia pangan dan papan) sumbernya dari daya
keberadaannya terhubung dan tergantung alam (sila 5). Berdasarkan pandangan
pada manusia lain, alam semesta, dan Driyarkara tersebut dapat ditegaskan,
Tuhan. Konsekuensi dari kodrat bahwa Pancasila bukan hanya mau
keberadaan manusia yang seperti itu, maka menggambarkan realitas kemanusiaan,
manusia dalam menjalankan kehidupannya melainkan juga bahwa kemanusiaan itu
haruslah menjalin hubungan cinta kasih harus direalisasikan atau diamalkan.
kepada sesama manusia, alam, dan Tuhan.
Gambaran kodrat dan kehidupan manusia 3.1.2. Pandangan Notonagoro
tersebut tercermin dalam ajaran Pancasila. Prof. Notonagoro, yang meneliti
Sudrijanta dan Priyanta (1991/1992: Pancasila secara filsafati, telah berhasil
30-47) menafsirkan pandangan Driyarkara, menemukan landasan dari Pancasila, yaitu
dengan menyatakan bahwa Pancasila sifat kodrat manusia sebagai makhluk
sebagai hukum kodrat yang harus monodualis(yang tersusun atas jiwa dan
dilaksanakan guna mewujudkan raga, yang bersifat individu dan makhluk
kemanusiaan diri dan sesama. Langkah sosial, dan berkedudukan sebagai pribadi
pertama adalah mewujudkan peri mandiri dan makhluk Tuhan). Pancasila
kemanusiaan dengan cara menjalankan ada adalah filsafat yang sanggup membimbing
bersama dengan cinta kasih. Langkah manusia sesuai kodrat kemanusiaannya,
kedua adalah mewujudkan keadilan sosial sehingga inti isi mutlak Pancasila yang
dengan cara menjalankan kemanusiaan bersifat abstrak umum universal termasuk
dalam kebersamaan mengusahakan sarana nilai objektif. Sedangkan subjektivitas
untuk hidup. Langkah ketiga adalah nilai-nilai Pancasila adalah karena
mewujudkan demokrasi dengan cara ditemukan, diemban, dan dirumuskan
menjalankan peri kemanusiaan dalam dalam ketentuan hukum di Indonesia oleh
kesatuan karya. Langkah keempat adalah bangsa Indonesia (Soeprapto, 1994: 1-2).
mewujudkan kebangsaan dengan cara Notonagoro merumuskan teori hierarkhis-
melaksanakan peri kemanusiaan dalam piramidal ketika menjelaskan tata urutan
hubunganku dengan kesatuan. Langkah sila-sila Pancasila. Teori itu menjelaskan,
kelima adalah mewujudkan gerak kepada bahwa sila-sila Pancasila mempunyai
sumber ada yang mutlak sebagai dasar urutan yang bertata jenjang. Urutan itu
pelaksanaan dari peri kemanusiaan, tidak bisa dibolak-balik, karena dari sila 1
keadilan sosial, demokrasi, dan sampai sila ke 5 merupakan urutan dari
kebangsaan.

42
HUMANIKA Vol. 23 No. 2 (2016) ISSN 1412-9418
Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

nilai yang paling luas dan abstrak menuju 3.1.3. Pandangan Soerjanto
ke nilai yang paling sempit dan kongkret. Poespowardojo
Urutan sila-sila Pancasila juga berdasarkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 28)
derajat keluhuran nilai. Ketuhanan nilainya menegaskan, bahwa Pancasila adalah
paling abstrak namun paling luhur. eksplisitasi kemanusiaan. Pancasila
Seterusnya ke bawah semakin kongkret menunjukkan suatu corak pokok yaitu
namun semakin kurang tingkat hidup berkemanusiaan. Pancasila adalah
keluhurannya, sehingga nilai keadilan ajaran humanistis, yang merupakan
sosial merupakan nilai yang paling refleksi dan usaha agar manusia bertindak
kongkret namun tingkat keluhurannya manusiawi dan bukan tidak manusiawi.
paling rendah. Urutan dimensi nilai sila- Manusia jangan bertindak yang di luar
sila Pancasila adalah religiositas, hakikatnya (inhuman). Lebih lanjut
humanitas, nasionalitas, demokrasi Soerjanto menyatakan, bahwa secara
(politik), dan kesejahteraan atau keadilan fenomenologis kelima sila Pancasila
sosial (ekonomi). Walaupun kesejahteraan berlaku bagi setiap manusia. Pada dasarnya
sosial, yang berdimensi ekonomi, tingkat tak seorangpun dapat dilepaskan atau
keluhuran nilainya paling rendah namun dikecualikan dari nilai Pancasila tanpa
bukan berarti sila paling tidak penting. resiko menyalahi kemanusiaannya.
Kesejahteraan sosial (kebutuhan ekonomi) Kesadaran akan kenyataan ini dengan
adalah kebutuhan yang paling kongkret, sendirinya mengkaitkan kelima sila
sehingga goncangan terhadap nilai ini, sebagai keseluruhan nilai dengan kodrat
misalnya terjadi gejolak ekonomi, akan manusia. Kelima sila merupakan unsur
menggoncang nilai yang lebih luhur di konstitutif kodrat manusia dan inheren
atasnya. Gonjangan ekonomi akan padanya. Pancasila mencerminkan nilai-
menimbulkan goncangan politik. nilai kodrat yang fundamental sifatnya.
Goncangan politik akan mengganggu Menurut Soerjanto, Pancasila
persatuan bangsa (nasionalitas). merupakan eksplisitasi pribadi manusia
Goncangan terhadap kesatuan bangsa akan sebagai totalitas yang mengandung
menggoncang sendi-sendi nilai berbagai antinomi dalam dirinya antara
kemanusiaan. Akhirnya goncangan atau individualitas dan sosialitas, materialitas
pelanggaran nilai kemanusiaan akan dan spiritualitas, transendensi dan
berakibat goncangan nilai Ketuhanan. imanensi, eksteriosasi dan interiosasi, yang
Demikian sebaliknya, kalau ekonominya tidak dilihat secara sektoral dalam salah
kokoh atau kuat, maka akan memperkokoh satu aspek kehidupannya, tetapi dilihat
pelaksanaan nilai luhur di atasnya secara integral dengan mengikutsertakan
(demokrasi, persatuan nasional, dan memperhatikan segala segi yang
kemanusiaan, dan ketuhanan). Notonagoro membentuk keutuhan pribadi manusia dan
(1975: 54) menegaskan, bahwa filsafat mempengaruhinya termasuk problematik-
Pancasila mengandung tiga masalah hidup problematik yang ditimbulkan oleh
yang merupakan nilai-nilai hidup antinomi tertsebut. Bahkan Soerjanto
kemanusiaan, yang meliputi prinsip-prinsip (1989: 69) menegaskan, bahwa
bagaimana seharusnya manusia menjalin menguraikan Pancasila berarti
hubungan dengan Tuhan, manusia lain, mengeksplisitasikan kodrat manusia.
dan alam semesta. Ideal Pancasila adalah manusia yang
integral, etis dan religius. Dengan kata
lain, manusia ditentukan oleh dimensi
horizontal dan vertikal. Secara horizontal
manusia merupakan kesatuan struktural

43
HUMANIKA Vol. 23 No. 2 (2016) ISSN 1412-9418
Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

dengan sesama dan lingkungannya, 1976: 68) mengidentifikasi ideologi


sedangkan secara vertikal ia terarah pada sebagai suatu “program aksi” yang
Tuhan sebagai Yang Mutlak. Seluruh diperuntukkan bagi suatu kelompok atau
tingkah laku manusia mendapatkan bangsa. Program aksi itu disusun
berdasarkan doktrin tertentu.
kualifikasi dan maknanya sejauh
Soerjanto Poespowardojo (1989:
dilaksanakan dalam penghayatan kedua
179) mengartikan ideologi sebagai
dimensi tersebut.
keseluruhan prinsip atau norma yang
Soerjanto (1989: 5) menjelaskan
berlaku dalam suatu masyarakat yang
lebih lanjut bahwa secara kultural, dasar-
meliputi berbagai aspek, seperti sosial-
dasar pemikiran dan orientasi Pancasila
politik, ekonomi, budaya, dan hankam.
pada hakikatnya bertumpu pada budaya
Ideologi adalah keseluruhan prinsip dan
bangsa. Nilai-nilai Pancasila pada dasarnya
norma atau motivasi dalam bertindak,
terdapat secara fragmentaris dan sporadis
sehingga ideologi menentukan tingkah
dalam kebudayaan bangsa yang tersebar di
laku kehidupan sosial, politik, dan
seluruh kepulauan Nusantara, baik pada
ekonomi dalam kehidupan kemasyarakatan
abad-abad sebelumnya maupun pada abad
dan kenegaraan. Keseluruhan sistem ide itu
keduapuluh, di mana masyarakat Indonesia
secara normatif memberikan persepsi,
telah mendapatkan kesempatan untuk
landasan, serta pedoman tingkah laku bagi
berkomunikasi dan berakulturasi dengan
seseorang atau masyarakat dalam seluruh
kebudayaan lain. Dengan begitu Pancasila
kehidupannya dan dalam mencapai tujuan
mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa,
yang dicita-citakan. Menurut Roeslan
baik tradisional maupun modern.
Abdulgani (1978: 2), setiap ideologi ,
sebagai suatu rangkaian cita-cita yang
3.2. Keniscayaan Pancasila sebagai
mendasar dan menyeluruh serta mengkait
Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi menjadi satu sistem pemikiran yang logis,
mempunyai fungsi praktis, karena adalah bersumber kepada suatu filsafat.
memberikan pedoman dan mengatur Ideologi bertumpu pada asumsi-asumsi
perilaku warganegara Indonesia dalam dasar. Asumsi dasar suatu ideologi berada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan pada filsafat yang melandasinya.
bernegara. Suatu ideologi adalah gagasan Perkembangan ilmu dan teknologi
atau jalan pikiran yang bertumpu pada membawa akibat, langsung maupun tidak
suatu filsafat dan merupakan ciri khas langsung, terbukanya hubungan antar
suatu kelompok, mempengaruhi masyarakat dan kebudayaan pada ranah
kebudayaan keseluruhan kelompok atau
lokal, nasional, maupun internasional.
bangsa, serta membentuk pranata sosial-
politik bagi kelompok atau bangsa Akibat kemajuan ilmu dan teknologi pula,
tersebut. Ideologi merupakan komitmen khususnya teknologi komunikasi, pola
untuk melaksanakan suatu ajaran filsafat. hidup masyarakat berubah dengan begitu
Ideologi petunjuk pelaksanaan atau cepat. Tidak satupun bangsa dan negara
bermakna praksis bagi filsafat. Pada mampu mengisolir diri dan menutup rapat
dasarnya ideologi merupakan bentuk dari pengaruh budaya asing. Demikian
imajinasi sosial yang berfungsi halnya terhadap masalah ideologi.
menerangkan keberadaan masyarakat, cita- Hubungan antar bangsa semakin erat dan
cita yang ingin dicapai, serta mendorong
luas. Derasnya arus budaya asing yang
ke arah suatu tindakan. Satu ciri bersama
yang dimiliki oleh semua ideologi, yaitu masuk dengan berbagai aspeknya
mereka merupakan cita-cita dan nilai-nilai mengakibatkan terjadinya pergeseran dan
yang secara eksplisit dan verbal perubahan nilai-nilai (Mustopo, 1992: 11 –
dirumuskan, dipercayai dan 12).
diperjuangkan.R.Kosasih (dalam Bachtiar,

44
HUMANIKA Vol. 23 No. 2 (2016) ISSN 1412-9418
Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

Keterbukaan dan dinamika Pembaharuan mengandaikan adanya


kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan dinamika internal dalam diri Pancasila.
bernegara memunculkan tuntutan bahwa Pancasila sebagai kepribadian dan identitas
ideologi Pancasila harus beradaptasi agar bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang
tetap terjaga relevansinya sebagai acuan tertutup tetapi terus dibentuk dalam
dalam menyelesaikan problem interaksi dengan kelompok masyarakat
kemasyarakatan dan kenegaraan. Pancasila bangsa dan pergaulan masyarakat dunia.
dituntut mampu menjadi living ideology Dalam konteks bernegara, operasionalisasi
sehinggadapat mengikuti perkembangan Pancasila tidak bisa dilakukan secara
zaman. Agar Pancasila terjaga langsung, melainkan melalui segala
relevansinya di tengah perkembangan peraturan perundangan yangt berlaku
masyarakat dan dunia yang begitu cepat, dalam kehidupan bernegara. Pelaksanaan
maka para pemikir dan penyangga ideologi dan kongkretisasi nilai Pancasila dalam
Pancasila selayaknya punya daya refleksi kehidupan bernegara tercermin pada
yang mendalam dan sikap keterbukaan seluruh bentuk perundangan, secara
yang matang untuk menyerap, menghargai berjenjang dari yang tertinggi kedudukan
dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat hukumnya sampai yang terendah, yaitu
dalam memperkaya muatan ideologi UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-
Pancasila. Operasionalisasi nilai Pancasila Undang atau Peraturan Pemerintah sebagai
dalam kehidupan bermasyarakat, Pengganti Undang-undang, Peraturan
berbangsa dan Negara haruslah diupayakan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan
secara kreatif dan dinamis. Peraturan-Peraturan Pelaksana lainnya.
Seluruh peraturan perundangan tersebut
3.3. Strategi Beradaptasi Budaya harus terbuka terhadap amandemen atau
Masalah operasionalisasi nilai-nilai judicial review untuk disesuaikan dengan
dasar Pancasila ke dalam kehidupan dinamika masyarakat.
praksis bermasyarat dan bernegara Banyak orang mengkawatirkan
bukanlah masalah yang sederhana. bahwa derasnya arus modernisasi dan
Soedjati Djiwandono (1995: 2 – 3) globalisasi bisa melarutkan nilai-nilai
menilai, bahwa masih terdapat beberapa tradisi dan identitas bangsa. Pengaruh
kekeliruan mendasar dalam cara orang budaya dan nilai-nilai asing secara negatif
memahami dan menghayati Negara menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia
Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya untuk mempertahankan kepribadian dan
tidak tepat membuat sakral dan taboo identitasnya. Apabila bangsa Indonesia
berbagai konsep dan pengertian, seakan- tidak tepat mengambil sikap dalam
akan sudah jelas betul dan pasti benar, menghadapi derasnya nilai-nilai asing yang
tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh masuk, maka kepribadian dan identitas
dipersoalkan lagi. Sikap seperti ini bangsa memang bisa tererosi atau
membuat berbagai konsep dan pengertian mengalami pelarutan sehingga berakibat
menjadi statis, kaku dan tidak berkembang, mengendornya kesetiaan terhadap nilai-
dan mengandung resiko ketinggalan nilai Pancasila sebagai kepribadian dan
zaman, meskipun mungkin benar bahwa identitas bangsa Indonesia. Pancasila akan
beberapa prinsip dasar memang memiliki kehilangan kewibawaan dan relevansinya
nilai yang permanen atau sebagai problem solver dalam kehidupan
abadi.Operasionalisasi nilai Pancasila berbangsa dan bernegara (Mulyono, 2011:
dituntut selalu mengalami pembaharuan. 5).
Hakikat pembaharuan adalah perbaikan Sastrapratedja (1996: 8) bersikap
dari dalam dan penyerapan nilai dari luar optimistis dengan menyatakan bahwa ada
untuk memperkaya isi ideologi Pancasila. indikasi globalisasi tidak melemahkan

45
HUMANIKA Vol. 23 No. 2 (2016) ISSN 1412-9418
Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

negara kebangsaan tetapi justru memberi menglobal berdampingan dengan budaya


peluang untuk memperkuat diri. Kerjasama asli. Melalui interaksi terus menerus, maka
internasional memungkinkan negara untuk masing-masing budaya akan mendapatkan
memperjuangkan kepentingan nasional, pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang
menjamin keamanan nasional dan diharapkan dari interaksi itu adalah
mendapat keuntungan lebih besar. Dalam terpeliharanya cukup diferensiasi dan
sejarahnya kebudayaan Indonesia dalam sekaligis tercegahnya penyeragaman
berhadapan dengan berbagai kebudayaan universal (Besar, 1994: 35).
asing selalu mampu mengadakan “tawar- M.Habib Mustopo (1992: 12)
menawar” sehingga dapat terbentuk berpandangan bahwa dalam menghadapi
sintesis kebudayaan baru. Bahkan pertemuannya dengan kebudayaan-
Pancasila sendiri dapat dianggap sebagai kebudayaan asing, Pancasila harus mampu
hasil interaksi kebudayaan Indonesia mengolah dan mengkreasi kebudayaan
dengan pengaruh global, khusunya asing yang masuk sehingga tercipta
pengaruh kebudayaan politik modern, suasana yang baru dan segar. Dinamika
seperti kebebasan, demokrasi, negara masyarakat memang menuntut perlunya
hukum, dan negara kebangsaan. nilai Pancasila terus menerus
Pada era globalisasi, bangsa dikonstruksikan. Kalau Pancasila memang
Indonesia mau tidak mau harus ikut terlibat bersifat adaptif, maka Pancasila akan
dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, memiliki ketahanan menghadapi arus kuat
namun bangsa Indonesia diharapkan tidak globalisasi dan bahkan mampu berperan
tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses mengarahkan dinamika globalisasi kea rah
akulturasi tidak dapat dihindarkan. Kalau peradaban yang manusiawi.
bangsa Indonesia memahami identitasnya Pengembangan nilai-nilai Pancasila secara
sendiri sebagai bangsa dengan budaya kreatif dan dinamis perlu didorong untuk
yang hidup dan terus berkembang, maka menghadapi masa depan. Kreativitas
globalisasi tidak harus ditakuti sebagai dalam konteks ini dapat diartikan sebagai
ancaman bagi budaya bangsa Indonesia. kemampuan untuk mencari alternatif bagi
Bangsa Indonesia bahkan dituntut berperan pemecahan masalah di berbagai bidang
aktif dalam pergaulan dunia dan ikut kehidupan berbangsa dan bernegara.
bermain dalam interaksi mondial dalam
menentukan arah kehidupan peradaban
manusia seluruhnya. Masalah pertemuan IV. SIMPULAN
kebudayaan bukan masalah mem”filter” Kebenaran dan kebaikan Pancasila
atau menyaring tetapi mengolah dalam bagi bangsa Indonesia sudah terjustifikasi
interaksi yang dinamis, sehingga tercipta melalui berbagai kajian secara ilmiah-
sesuatu yang baru. Budaya politik dan jati filsafati, baik dari aspek historis, yuridis
diri bangsa adalah sesuatu yang harus terus kenegaraan maupun kefilsafatan. Bagi
menerus dikonstruksikan, karena mereka bangsa Indonesia, Pancasila adalah
bukan kenyataan yang mandeg. imperatif dan bukan alternatif. Pancasila
Menghadapi arus medernisasi dan adalah kebutuhan mutlak untuk
globalisasi dewasa ini, peranan ideologi mempersatukan bangsa Indonesia yang
Pancasila dalam mempersatukan bangsa beragam dalam suku, agama, ras, budaya,
Indonesia memang mendapatkan ujian. maupun golongan. Dalam kedudukannya
Pancasila dituntut mampu mengadaptasi sebagai ideologi negara, Pancasila menjadi
perkembangan kebudayaan global. acuan dalam pengambilan kebijakan dan
Pancasila, melalui para penganutnya, harus pemecahan masalah dalam kehidupan
mampu melakukan “dialog antar budaya”, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
yaitu membiarkan budaya asing yang

46
HUMANIKA Vol. 23 No. 2 (2016) ISSN 1412-9418
Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

Implementasi Pancasila dalam masa depan. Akibat lebih jauh, Pancasila


kehidupan praksis harus dilaksanakan akan kehilangan kredibilitasnya sebagai
secara konsisten, relevan dan kontekstual sumber referensi pemecahan masalah
dengan dinamika masyarakat nasional kemasyarakatan dan kenegaraan. Pancasila
maupun global. Relevansi dan bisa mengalami nasib tragis, seperti
kontekstualisasi dalam pengamalan komunisme di Eropa Timur, karena
Pancasila mengandaikan diperlukannya ditinggalkan oleh para penganutnya.
rekonstruksi secara terus menerus terhadap Pelestarian nilai Pancasila haruslah
Pancasila. Keterbukaan Pancasila dalam diwujudkan melalui upaya untuk tetap
memperbaharui dan mentransformasi diri memelihara aktualitas nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan praksis merupakan sehingga mampu menjawab berbagai
tuntutan alamiah bagi tetap bertahannya tantangan yang timbul dalam masyarakat.
Pancasila di tengah perubahan-perubahan Revitalisasi dan reinterpretasi secara terus
masyarakat dan dunia yang demikian menerus terhadap Pancasila adalah suatu
pesat. Katerbukaan terhadap perubahan keniscayaan, agar Pancasila mampu
menjadi condition sine qua non bagi tetap mengikuti perkembangan zaman.
terjaganya keberadaan dan masa depan Penerusan dan pengembangan nilai-nilai
Pancasila. Pengingkaran terhadap luhur Pancasila dalam segala aspek
kenyataan itu akan menjadikan Pancasila kehidupan bangsa menuntut adanya
cepat usang dan kehilangan relevansinya strategi kebudayaan, terutama dalam
dalam memecahkan masalah-masalah memfilter dan mengolah nilai-nilai asing
kehidupan kemanusiaan dan untuk memperkaya isi kandungan
kemasyarakatan, baik masa kini maupun Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Ruslan. 1978. Beberapa Catatan Bachtiar, Harsja W. (Peny.).1976.


tentang : Ancaman Ideologi Percakapan dengan Sidney Hook
terhadap Pancasila.Jakarta: Bahan tentang MasalahFilsafat. Jakarta:
Ceramah di Lemhanas 10 Mei Jambatan.
1978.
Djiwandono, Soedjati. 1995. Setengah Abad
Abdulkadir Besar. 1994. Pancasila dan Negara Pancasila (Tinjauan Kritis
Alam Pikiran Integralistik Ke Arah Pembaharuan).Jakarta:
(Kedudukan dan Peranannya dalam CSIS.
Era Globalisasi). Yogyakarta:
Panitia Seminar Driyarkara, N. 1959. Pantjasila dan Religi.
“GlobalisasiKebudayaan dan Yogyakarta: Makalah disampaikan
Ketahanan Ideologi” 16-17 dalam Seminar Pantjasila Idi
November 1994 di UGM. Yogyakarta pada tanggal 16 sampai
20 Februari 1959.
Azyumardi Azra. 2010. Memulihkan
Kesaktian Pancasila.,Kompas, 30
September.

47
HUMANIKA Vol. 23 No. 2 (2016) ISSN 1412-9418
Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Mulyono

Habib Mustopo, M.1992. Ideologi Pancasila Sartono Kartodirdjo. 1990. Kebudayaan


dalam Menghadapi Globalisasi dan Pembangunan dalam Perspektif
Era Tinggal Landas. Bandungan- Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada
Ambarawa: Panitia Seminar dan University Press.
Loka KaryaNasional MKDU
Pendidikan Pancasila Dosen-dosen Sastrapratedja,M. 1996. Pancasila dan
PTN/PTS dan KedinasanPada Globalisasi. Magelang: Panitia
tanggal 29 – 30 September 1992. Seminar NasionalPendidikan
Pancasila di Universitas Tidar pada
Koento Wibisono. 1988. Pancasila Ideologi 29-31 Juli 1996.
Terbuka. Magelang: Panitia Temu
KaryaDosen-Dosen PTN Se-Jawa Slamet Sutrisno. 1986. Pancasila sebagai
Tengah dan Kopertis Wil.VI. Metode. Yogyakarta:
Liberty.Snyder, Louis L. 1954. The
Liek Wilardjo. 1990.Realita dan Desiderata. Meaning of Nationalism. New
Yogyakarta: Duta Wacana Brunswick-New Jersey: Rut-ger
University Press. University Press.

Mulyono, Drs,M.Hum. 2008. Hakikat dan Soeprapto, Sri. 1994. Pemikiran Notonagoro
Dinamika Pancasila. Semarang: tentang Filsafat Pancasila.
Semarang University Press. Yogyakarta: Panitia
seminarNasional “Globalisasi
--------------------------2011. Restorasi Kebudayaan dan Ketahanan
Pancasila: Suatu Keniscayaan Ideologi” di UGM tanggal 16 -
Untuk Mengatasi Masalah-Masalah 17Nopember 1994.
Bangsa. Semarang: Majalah
HUMANIKA Vol.13 Th.VIII Sudrijanto dan Priyanto. 1991/1992.
Januari-Juni 2011. ”Filsafat Pancasila Driyarkarra”
dalam Majalah Filsafat
Notonagoro. 1975. Pancasila secara Ilmiah Driyarkara,Th.XVIII No.1 Hlm. 30
Populer. Jakarta: Pantjuran – 47. Jakarta.
Tudjuh..Pranarka A.M.W. 1985.
Sejarah Pemikiran tentang
Pancasila. Jakarta: CSIS.

48

Anda mungkin juga menyukai