Disusun Oleh:
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur khadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmad
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul “Analisis Bencana Erupsi Gunung Sinabung”. Penyusunan makalah ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktek Kesehatan Matra di
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Makalah ini mengkaji dan
menganalisis kondisi bencana erupsi Gunung Sinabung yang dilihat dari aspek
kesehatan dan proses penanggulangan bencana.\
i
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
I.1. Latar Belakang.......................................................................................................1
I.2. Rumusan Masalah..................................................................................................3
I.3. Tujuan Penelitian...................................................................................................4
I.3.1. Tujuan Umum.................................................................................................4
I.3.2. Tujuan Khusus................................................................................................4
I.4. Manfaat Penelitian.................................................................................................4
I.5. Ruang Lingkup.......................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................6
II.1. Definisi Bencana Erupsi Gunung Api.................................................................6
II.2. Aspek Kesehatan dalam Bencana Erupsi Gunung.............................................8
II.2.1. Efek Debu Vulkanik Pada Kesehatan Paru..................................................9
II.2.2. Dampak Kesehatan yang sering muncul terhadap kejadian bencana
erupsi gunung Merapi di Indonesia...............................................................9
II.2.3. Patofisiologi Pada Paru................................................................................12
II.3. Manajemen Penanganan Bencana Erupsi Gunung..........................................13
II.3.1. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Pra Bencana..............13
II.3.2. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Bencana.....................18
II.3.3. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Pasca Bencana..........21
BAB III ANALISIS KASUS KEJADIAN BENCANA..............................................25
III.1. Kronologis Kejadian Bencana............................................................................25
III.2. Dampak Kesehatan..............................................................................................27
III.3. Upaya Penanganan yang Dilakukan Pemerintah dan Non-Pemerintah.........27
ii
III.3.1. Upaya Penanganan yang Dilakukan Pemerintah.......................................27
III.3.2. Upaya Penanganan yang Dilakukan Non-Pemerintah..............................31
III.4. Kajian Aspek Kesehatan Matra..........................................................................32
III.4.1. Analisis (Rapid Health Assessment) pada Erupsi Gunung Sinabung.....32
III.4.2. Penanganan Awal Erupsi Gunung Sinabung.............................................44
III.4.3. Penanganan Lanjutan....................................................................................48
III.4.4. Manajemen Pengungsi.................................................................................53
III.4.5. Penatalaksanaan Korban Meninggal...........................................................57
BAB IV PEMBAHASAN KASUS............................................................................58
IV.1. Pembelajaran Baik (Lesson Learned) Yang Dapat Diperoleh Dari
Penanganan Bencana..........................................................................................58
IV.2. Strategi Penanganan Bencana Yang Perlu Dilakukan Selain Yang Sudah
Dilakukan.............................................................................................................61
IV.3. Pedoman Atau Instrumen Edukasi Yang Dapat Digunakan Dalam
Penanganan Bencana Dari Aspek Kesehatan...................................................71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................80
V.1. Kesimpulan...........................................................................................................80
V.2. Saran......................................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................83
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Ili Lewotolok, Gunung Ibu, Gunung Dukono dan yang terakhir yaitu Gunung
Sinabung (Kompas, 2021).
Gunung Sinabung merupakan gunung berapi yang terletak di Kabupaten Karo
Provinsi Sumatera Utara yang pertama kali mengalami erupsi pada 29 Agustus 2010,
2013, 2016, 2017, 2019, 2020 hingga yang terakhir pada Maret 2021 setelah selama
400 tahun tidak adanya aktifitas letusan. Gunung Sinabung menjadi aktif dan
berlangung hingga saat ini dengan status dinaikkan ke level tertinggi (awas). Akibat
dari erupsi tahun 2014 sejumlah 4 Kecamatan yang terdiri dari 2 Dusun dan 32 Desa
terkena dampaknya(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Dampak abu vulkanik erupsi Gunung Sinabung memberikan efek yang sangat
jelas bagi Kesehatan masyarakat. Dalam catatan BNPB ribuan warga dari Desa
Perbaji, Desa Sukatendel, Desa Temberun, Desa Perteguhan, Desa Kuta Rakyat, Desa
Simpang Empat, Desa Tiga Pancur, Desa Selandi, Desa Payung, dan Desa Kuta
Gugung mengalami langsung dampak abu vulkanik (Nurwihastuti et al., n.d.). Akibat
abu vulkanik juga mempengaruhi kesehatan masyarakat. Di Desa Naman, Kecamatan
Naman Teran, Kabupaten Karo jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) meningkat 30 sampai 45 persen akibat terkena abu vulkanik Erupsi pada
tahun 2019. Manurung (2018) menyebutkanmasyarakat mengalami sesak nafas
sebesar 3%, iritasi mata sebesar 30%, batuk sebesar 14%, dan flu sebesar 13,3%.
Maka perlu adanya upaya penanggulangan yang harus dilakukan untuk mengatasi
dampak kesehatan.
Upaya penanggulangan krisis kesehatan yang telah dilakukan Kementerian
Kesehatan ialah pemberian bantuan obat obatan, Makanan Pengganti ASI dan
logistik kesehatan, melakukan analisis kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi
dalam situasi bencana mendata jumlah ibu hamil dan Balita di semua pengungsian.
Selain itu, mengirim tim kesehatan jiwa memberikan pelayanan kesehatan di pos
kesehatan dan memetakan kesehatan jiwa di tiap Posko serta memberikan pelayanan
kesehatan.Sementara dalam upaya pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan,
tim gabungan Kemenkes yang terdiri dari Pusat Penanggulangan Krisis dan Subdit
Kesehatan Matra dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
3
Penyakit (BTKL PP) Kelas I Medan bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Karo terus
melakukan pemantauan kualitas udara, air bersih dan air munum, sanitasi lingkugan
dan penanggulangan vektor melalui penyemprotan di pos penampungan pengungsi.
Selain itu imbauan juga diberikan kepada masyarakat agar memakai masker bila
keluar rumah untuk mengurangi dampak kesehatan dari abu vulkanik. Mengamankan
sarana air bersih serta membersihkan atap rumah dari abu vulkanik yang lebat agar
tidak roboh.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami berniat membuat Analisis Kajian
Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara.
Erupsi gunung sinabung yang terjadi secara terus menerus telah menyababkan
kerugian baik dari segi fisik maupun finansial. Walaupun kejadian erupsi gunung
Sinabung sudah terjadi lebih dari 10 tahun, angka kejadian masalah kesehatan akibat
erupsi masih tinggi. Angka kesakitan tertinggi ditemukan di wilayah Karo yang
berada di kaki gunung sinabung yaitu ISPA dengan gejala utama batuk serta sakit
perut karena sanitasi yang buruk dan kurangnya air bersih. Abu vulkanik yang
bertebaran di udara menyababkan masyarakat mengalami gangguan kesehatan seperti
batuk dan iritasi mata serta abu vulkanik juga mencemari persediaan air masyarakat
sehingga banyak dari mereka yang mengalami sakit perut. Untuk menanggulangi
masalah tersebut telah dilakukan upaya baik pencegahan maupun penanggulangan
dari pemerintah dan non pemerintah agar angka kesakitan akibat erupsi Sinabung
dapat teratasi.
terbukti masih belum bisa menyelesaikan masalah kesehatan yang terjadi karena
angka kesakitan yang terpantau masih tinggi. Berdasarkan peristiwa tersebut penulis
tertarik untuk melakukan “Analisis Kajian Bencana Erupsi Gunung Sinabung”.
Tujuan umum yang ingin dicapai yaitu mengkaji tingkat bahaya erupsi gunung
Sinabung terhadap kesehatan masyarakat sekitar.
Tingkatan atau level aktivitas gunung api (Nurwihastuti, Astuti, & Yuniastuti,
2019), antara lain:
1. Normal, yaitu tidak terlihat peningkatan aktivitas gunung api tetapi fluktuasi
teramati.
2. Waspada, yaitu mulai terekam dan terlihat tanda peningkatan aktivitas
gunung api.
3. Siaga, yaitu peningkatan aktivitas gunung api semakin nyata dan bahaya
erupsi mengancam sekitar pusat erupsi, tidak pada pemukiman di sekitar
gunung api.
4. Awas, yaitu peningkatan aktivitas gunung api semakin nyata dan bahaya
erupsi mengancam pemukiman sekitar gunung api.
Erupsi gunung berapi terjadi karena adanya tekanan gas yang kuat dari dalam
bumi sehingga menyebabkan aktivitas atau pergerakan magma di dalam perut bumi
yang berusaha untuk keluar (Hasriyani, 2018). Proses erupsi dibagi menjadi dua
macam yaitu Erupsi secara Eksplosif dan Erupsi secara Efusif. Erupsi secara
6
7
Eksplosif terjadi karena tekanan gas yang kuat sehingga magma maupun material lain
keluar dari dalam perut bumi dan disertai suara letusan cukup keras. Sedangkan
Erupsi secara Efusif terjadi karena tekanan gas yang tidak terlalu kuat sehingga
magma yang keluar berbentuk lelehan lava dan mengalir kelereng puncak gunung
(Hasriyani, 2018).
Erupsi gunung api dapat disebabkan oleh dua faktor (Usman et al., 2020), yaitu:
1. Faktor internal yang menjadi penyebab dominan letusan gunung api, antara
lain banyaknya kandungan magma, proses tektonik dari pembentukan dan
pergerakan kulit/lempeng bumi, pancaran magma dari dalam bumi yang
berasosiasi dengan arus konveksi panas, dan akumulasi tekanan dan
temperatur dari fluida magma menyebabkan pelepasan energi.
2. Faktor eksternal penyebab letusan gunung api yaitu kandungan air dalam
gunung api, peristiwa gempa bumi, dan pasang surut bumi (earth tide).
Gempa yang dimaksud yaitu gempa tektonik. Salah satu contohnya adalah
Gunung Sinabung yang terletak dekat dengan sumber-sumber gempa maka
lebih dari 800 tahun tidak meletus lama kelamaan ikut meletus.
Bahaya letusan gunung api dibagi menjadi dua (Nurwihastuti et al., 2019),
yaitu:
1. Bahaya langsung atau primer
a. Aliran lava, yaitu cairan lava yang pekat dan panas yang bisa
menyebabkan kerusakan infrastruktur
b. Aliran piroklastik atau awan panas, terjadi karena runtuhnya tiang asap
erupsi. Aliran ini terdiri dari batuan pijar yang memiliki suhu tinggi dan
mengalir melalui leembah sungai dengan kecepatan 150-250 km/jam
c. Jatuhan piroklastik yang terdiri dari abu dan pasir vulkanik
d. Lahar letusan, terjadi pada gunung api yag memiliki danau kawah
sehingga saat terjadi letusan bisa menumpahkan lumpur panas
8
e. Gas vulkanik beracun yaitu karbon monoksida, karbon dioksida, dan gas
lain yang memiliki konsentrasi di atas ambang batas dan dapat
membunuh makhluk hidup
2. Bahaya tidak langsung atau sekunder
Letusan gunung api dapat menyebabkan terjadinya longsor vulkanik, lahar
hujan, dan tsunami.
Letusan Gunung berapi dapat mengakibatkan banyak korban jiwa dan harta
benda. Salah satu contohnya yaitu Letusan Gunung Merapi di Provinsi Daerah
Istimewa Y ogyakarta yang tetjadi pada 26 Oktober tahun 2010 Aliran awan panas
yang dimuntahkan lava/material Merapi dengan kecepatan mencapai 100 km per jam,
dan panas mencapai kisaran 450-600°C membakar hutan dan pemukiman penduduk
sehingga dilakukan evakuasi penduduk secara besar-besaran. Bencana erupsi gunung
merapi menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk,
termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah terjadi erupsi
gunung merapi adalah pelayanan kesehatan terhadap korban bencana. Untuk
penanganan kesehatan korban, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah
dikeluarkan. Salah satunya adalah peraturan yang menyebutkan peran penting
Puskesmas dalam penanggulangan bencana.
Hujan abu vulkanik akibat erupsi Gunung merapi tentu saja memberi dampak
pada kesehatan, terutama pada saluran pernapasan. Tak sedikit pula masyarakat yang
tinggal di daerah sekitar gunung yang mengalami erupsi rentan mengalami sesak
napas. Namun beberapa warga yang sadar akan pentingnya kesehatan mendatangi
puskesmas untuk melakukan pengobatan. Namun tidak sedikit juga yang hanya
meracik obat tradisional seperti rebusan sirih untuk mengatasi sesak dan batuk.
Gejala pernapasan akut yang sering dilaporkan oleh masyarakat setelah gunung
mengeluarkan abu adalah iritasi selaput lendir dengan keluhan bersin, pilek dan
beringus, iritasi dan sakit tenggorokan (kadang disertai batuk kering), batuk dahak,
mengi, sesak napas, dan iritasi pada jalur pernapasan, namun keluhan- keluhan
tersebut juga terkadang dianggap warga hanya sebagai keluhan ringan yang dianggap
biasa sehingga mereka membiarkan saja dan menganggap akan sembuh dengan
sendirinya sehingga tidak perlu datang ke pelayanan kesehatan untuk berobat
(Syapitri & Hutajulu, 2018).
Dalam letusan partikel debu bisa berukuran sangat halus sehingga debu bisa
masuk jauh ke dalam paru. Dengan pajanan yang tinggi, individu yang sehat akan
mengalami rasa tidak nyaman di dada dengan peningkatan batuk dan iritasi. Gejala
pernapasan akibat menghirup debu vulkanik tergantung pada faktor:
Gejala pernapasan akut yang terjadi setelah letusan gunung berapi yang
mengeluarkan Partikel debu halus akan mengiritasi saluran napas dan menyebabkan
kesulitan bernapas terutama pada orang yang sudah memiliki masalah paru misalnya
asma, bronkhitis. Ashfalls dkk, tidak melihat adanya hubungan yang signifikan
peningkatan serangan asma dan terjadinya kematian setelah letusan gunung berapi.
Individu yang telah mempunyai riwayat sakit asma sebelumnya sangat berisiko untuk
terjadinya perburukan setelah hujan debu vulkanik.macam-macam penyakit yang
dapat ditimbulkan yaitu:
a. Asma
Debu vulkanik merupakan salah satu pencetus terjadinya serangan asma.
Debu halus dapat menyebabkan lapisan saluran pernapasan menghasilkan
lebih banyak sekresi yang dapat membuat orang batuk dan bernapas lebih
berat. Penderita asma, khususnya anak-anak, dapat menderita serangan batuk
dan sesak dada. Beberapa orang yang tidak pernah menderita asma dapat
mengalami gejala seperti asma setelah hujan debu, khususnya jika mereka
yang terlalu lama melakukan kegiatan di luar ruangan. Namun, beberapa ahli
menyatakan, abu vulkanik sebenarnya tidak memiliki pengaruh besar
terhadap kesehatan masyarakat. Abu vulkanik yang berasal dari tempat yang
jauh, memiliki efek minimal bagi kesehatan. Para ahli itu mengatakan, abu
vulkanik tidak lebih berbahaya dibanding dengan asap rokok dan polusi.
Disarankan untuk memakai masker jika hendak berpergian ke luar rumah.
b. Bronkhitis
Debu vulkanik dapat menyebabkan penyakit bronkitis akut selama beberapa
hari dengan gejala seperti batuk kering, produksi dahak berlebih, mengi dan
sesak napas. Timbulnya penyakit bronkhitis tergantung dari kondisi
kesehatan dari individu dan faktor lingkungan.
11
c. Silikosis
Silikosis (Silicosis) adalah suatu penyakit saluran pernafasan akibat
menghirup debu silika, yang menyebabkan peradangan dan pembentukan
jaringan paru pada paru. Terdapat 3 jenis silikosis:
1) Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu
silika dalam jangka panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul
peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru
dan kelenjar getah bening dada.
2) Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang
lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan,
pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.
Silikosis akut terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat
besar, dalam waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh
cairan, sehingga timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosif masif progresif. Fibrosis ini
terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur
paru yang normal.
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi pada
peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat pengampelas sabun,
dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu
kurang dari 10 tahun. Bila terhirup, serbuk silika masuk ke paru- paru dan sel
pembersih (misalnya makrofag) akan mencernanya. Enzim yang dihasilkan oleh sel
pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada awalnya,
daerah parut ini hanya merupakan bungkahan bulat yang tipis (silikosis noduler
simplek). Akhirnya, mereka bergabung menjadi massa yang besar (silikosis
konglomerata). Daerah parut ini tidak dapat mengalirkan oksigen ke dalam darah
secara normal. Paru menjadi kurang lentur dan penderita mengalami gangguan
pernapasan.
12
Partikel yang ada diudara akan kita hirup dan tubuh memiliki mekanisme
sendiri untuk melawan partikel yang kita hirup. Partikel yang kita hirup akan di
keluarkan atau mencoba melawan efek yang merugikan yang diakibatkan oleh
partikel itu,termasuk disini partikel yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi
berupa silika bebas. Silika bebas akan berinteraksi dengan paru. Paru terdiri 40 jenis
sel masing- masing mempunyai tugas sendiri secara khusus. Sel epitel jalan napas
akan mengeluarkan partikel yang masuk ke jalan napas, sedangkan fibroblast
bertanggung jawab membuat kolagen. Kedua sel tersebut adalah target sel mineral
induced penyakit sel dari sistem kekebalan tubuh yaitu makrofag yang akan melawan
setiap partikel atau benda asing yang masuk kedalam paru.
Partikel yang masuk akan terperangkap oleh lendir yang dihasilkan oleh sel
epitel yang ada di dinding jalan napas, dengan gerakan silia yang ada di dinding jalan
napas partikel tersebut akan dikeluarkan sampai tenggorokan dengan mekanisme
batuk atau ditelan. Partikel yang dapat menembus wilayah tersebut akan terespirasi
dengan ukuran partikel kurang dari 4 pM. Partikel tersebut akan dilawan oleh
makrofag secara fagositosis dalam upaya membersihkan paru. Makrofag yang tidak
mampu melawan partikel silika bebas, akan terjadi peradangan yang kronik dan
13
a. Fase Pra Bencana; disebut sebagai fase kesiapsiagaan yang terdiri dari
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan (prevention, mitigation and
preparedness)
b. Fase Bencana; disebut sebagai fase tanggap darurat (response) yang terdiri
dari fase akut (acute phase) dan fase sub akut (subacute phase)
c. Fase Pasca Bencana; disebut sebagai fase rekonstruksi yang terdiri dari fase
pemulihan (recovery phase) dan fase rehabilitasi/rekonstruksi
(rehabilitation/reconstruction phase).
perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang nantinya dapat diimplementasikan pada
saat bencana terjadi. Peran tenaga kesehatan dalam fase Pra Disaster adalah:
1) Tenaga kesehatan mengikuti pelatihan dan pendidikan yang berhubungan
dengan penanggulangan ancaman bencana untuk tiap fasenya.
2) Tenaga kesehatan ikut terlibat dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi bencana kepada masyarakat
3) Tenaga kesehatan terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang
meliputi Usaha pertolongan diri sendiri ketika ada bencana, Pelatihan
pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
yang lain
4) Tenaga kesehatan dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon
darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulance.
Masyarakat setempat mengatakan bahwa mereka telah dilatih untuk bertindak ketika
bencana terjadi dan mereka menyiapkan peringatan dini jika terjadi bencana.
Pengungsi mengatakan bahwa ada sosialisasi dan konseling untuk meningkatkan
kesadaran dan kesiapan bencana. Pelatihan bencana telah dilakukan sejak tahun 2015.
Namun pelatihan ini tidak dilakukan secara teratur dan hanya beberapa pengungsi
yang menghadiri pelatihan (Lismawaty et al., 2019).
bencana terjadi. Fase ini juga dikenal sebagai fase penyelamatan. Kegiatan yang
terjadi pada fase ini, seperti perawatan terhadap korban luka serta pelayanan
Kesehatan lanjutan bagi korban pengungsian (Maria Diah Ciptaning Tyas, 2016).
Peran tenaga kesehatan pada fase ini, yaitu :
1) Bertindak cepat
2) Do not promise, tenaga kesehatan seharusnya tidak menjanjikan apapun
secara pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban
selamat
3) Berkonsentrasi penuh terhadap apa yang dilakukan
4) Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan untuk setiap kelompok yang
menanggulangi terjadinya bencana
5) Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan
sehari-hari
6) Tetap menyusun rencana prioritas asuhan ketenaga kesehatan harian
7) Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS
8) Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
9) Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus
bayi, peralatan kesehatan
10) Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular
maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan
lingkungannya.
11) Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas,
depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi
diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue,
mual muntah, dan kelemahan otot)
12) Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan
dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
13) Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog
dan psikiater
20
Kegiatan yang dapat dilaukan selama tahap tanggap darurat (Lismawaty et al.,
2019), yaitu:
11) Penyediaan air bersih untuk mandi, minum, mencuci, memasak. Itu bisa dari
sungai, danau, sumur, dll. Ini dilakukan oleh kelompok pemuda yang
terlatih. Karena itu dibutuhkan pelatihan sebelum terjadinya bencana.
12) Penyediaan toilet yang memadai dengan jumlah pengungsi.
13) Siapkan dapur umum yang difasilitasi dengan peralatan dapur.
14) Persiapan kendaraan umum untuk mengangkut pengungsi ke lokasi
evakuasi.
terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar
kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali (S et al., 2019; Maria
Diah Ciptaning Tyas, 2016). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:
1) Perbaikan lingkungan daerah bencana;
2) Perbaikan prasarana dan sarana umum;
3) Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4) Pemulihan sosial psikologis;
5) Pelayanan kesehatan;
6) Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7) Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
8) Pemulihan keamanan dan ketertiban;
9) Pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10) Pemulihan fungsi pelayanan publik
Ada beberapa upaya untuk yang telah dilakukan pada fase ini, yaitu adanya
intervensi untuk masalah psikologi melalui yang difasilitasi oleh Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara. Kegiatan-kegiatan sederhana seperti bermain dan
bernyanyi sedikit banyak telah membantu mengurangi efek ketakutan yang mereka
rasakan. Fokus utama dari kegiatan ini umumnya untuk anak-anak (Lubis et al.,
2019).
Upaya lain yang dilakukan melalui acara budaya seperti Goro-goro Aron. Goro-
goro aron merupakan acara budaya berisi nyanyian dan tarian dan biasanya dilakukan
semalaman. Kegiatan Goro-goro Aron ini bukan semata tari dan nyanyian, namun
merupakan kegiatan silaturahmi dengan warga. Dalam kegiatan ini warga saling
bertukar nyanyian, tarian, maupun canda. Dalam sejarahnya kegiatan kesenian ini
merupakan wujud syukur atas kecukupan rezeki yang diperoleh selama panen. Dalam
24
Gunung Sinabung merupakan gunung berapi tipe B yang tidak aktif sejak tahun
1600 lalu meletus atau erupsi pada tahun 2010, 2013, 2015, 2016, 2018, 2019, 2020,
dan 2021 (Kusumayudha, Lestari, & Paripurno, 2018). Aktivitas vulkanik membuat
kategori Gunung Sinabung berubah menjadi tipe A (Pratiwi, Hidayat, & Widjaja,
2019). Pada 27 Agustus 2010 Gunung Sinabung tiba-tiba berasap dan menyemburkan
abu vulkanik. Lalu tanggal 29 Agustus, sekitar 00.15 pagi waktu setempat, lahar
keluar dan mengalir dari kawah gunung berapi. Letusan ini menyemburkan debu
vulkanik dan suara ledakan sudah dapat terdengar dari jarak 8 km. Oleh karena itu
Pusat Vulkanologi dan Bencana Geologi Mitigasi (CVGDM) menyatakan status
gunung berapi tersebut dalam status “waspada” (Kusumayudha dkk., 2018).
Letusan Sinabung tahun 2010 menyebabkan sekitar 12.000 orang yang tinggal
di sekitar gunung berapi dievakuasi. Saat itu sebagian besar abu vulkanik berhembus
oleh angin ke arah barat laut menyebabkan sebagian kota Medan tertutup abu.
Sinabung meletus tanpa ada tanda-tanda peringatan berarti. Terjadi letusan kembali
pada 3 September 2010, yang pertama pada pukul 04.45 gunung menyemburkan debu
vulkanik setinggi sekitar 3 km di atas kawah, sedangkan yang kedua terjadi pada
pukul 18.00, bertepatan dengan gempa yang dapat diidentifikasi dari radius 25 km di
sekitar gunung tersebut (Kusumayudha dkk., 2018)
Gunung Sinabung meletus kembali tiga tahun kemudian, tepatnya pada bulan
September 2013. Letusan terjadi beberapa kali pada bulan September. Gunung
menyemburkan debu vulkanik setinggi 5.000 meter di udara (A. Z. Siregar &
Husmiati, 2016). Tidak ada korban jiwa yang dilaporkan tetapi ribuan orang harus
25
26
dievakuasi. Status Gunung Sinabung meningkat dari level tiga menjadi level empat
(awas) (Tarigan & Maimunah, 2019).
Status awas masih bertahan sampai memasuki tahun 2014 dengan kejadian
gempa, letusan, dan semburan awan panas yang terus menerus (A. Z. Siregar &
Husmiati, 2016). Semburan debu vulkanik kali ini lebih dari 5.000 meter. Sebanyak
15 orang meninggal dan 2.053 keluarga atau 6.179 orang tinggal di pengungsian.
Lalu pada tahun 2015 terjadi letusan lebih dari 14 kali gempa / gempa vulkanik
dengan tinggi semburan abu berkisar antara 2000 sampai 3.000 meter. Terdapat
sekitar 3 juta meter kubik material vulkanik di puncak gunung berapi yang berpotensi
meluncur turun sebagai lahar dan menyebabkan sebanyak 200 orang harus dievakuasi
(Kusumayudha dkk., 2018).
Pada tahun 2016 Gunung Sinabung kembali meletus dengan magma, debu, dan
asap. Sebanyak tujuh orang meninggal dan dua orang mengalami luka bakar. Lalu
pada tahun 2017 letusan terjadi kembali dengan semburan vulkanik setinggi 3.600
meter (Tarigan & Maimunah, 2019). Aktivitas Gunung Sinabung kembali aktif pada
tahun 2018, dimana abu vulkanik setinggi 17 km pada bulan Februari dan 5 km pada
bulan April. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan terdapat
1 orang meninggal dan 7.255 orang dievakuasi ke tempat pengungsian (Huda &
Fardha, 2019).
Pada tahun 2019 letusan terjadi kembali, debu vulkanik tersembur setinggi 7
km. Erupsi disertai luncuran awan panas 3,5 km ke arah tenggara dan 3 km ke arah
selatan. Suara gemuruh dapat terdengar sampai ke pos pengamatan (Alamudi, 2020).
Rekaman seismograf mencatat pada tahun 2020 terjadi tiga kali gempa vulkanik
dalam dan tektonik jauh, serta dua kali gempa tektonik lokal. Masyarakat dihimbau
untuk tidak beraktivitas pada 3 km dari puncak gunung (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, 2020).
Aktivitas Gunung Sinabung sampai tahun 2021 masih terjadi. Pada bulan
Januari sampai awal Maret sudah terjadi 37 kali erupsi dengan semburan gas
27
berwarna putih dan kelabu di kawah puncak, tingginya sekitar 50-1.000 meter dari
puncak. Pada tanggal 2 Maret 2021, mulai pukul 06:42 WIB terjadi luncuran awan
panas dengan jarak 2.000 sampai 5.000 meter ke arah tenggara timur. Tingkat
aktivitas vulkanik pada tangal 2 maret 2021 dinilai masih pada level tiga (siaga)
(Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2021).
Proses evakuasi warga yang masih bertahan dalam radius 3km dari Gunung
Sinabung melibatkan beberapa instansi pemerintah, seperti BPBD, TNI, Polri,
Basarnas dan Relawan yang jumlahnya mencapai 170 personel. Untuk menunjang
proses evakuasi, tim evakuasi menggunalan kendaraan operasional, yaiyu 7 truk, 2
hagglund Brimob, empat ambulans dan 10 kendaraan Basarnas & BPBD. Pemerintah
juga menyediakan posko taktits di radius 5km yang berfungsi sebagai tempat tim
evakuasi bersiaga(Renny Febrin, 2015).
Melihat kondisi Gunung Sinabung saat ini, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) memberikan beberapa himbauan, yaitu:
lembar, tikar 250 lembar, dan hygin kit 250 kotak. Posko PMI di Kabanjahe juga
sudah mendistribusikan air bersih untuk bencana erupsi Gunung Sinabung dari
tanggal 22 September 2014 hingga 22 September 2015 sebanyak 6.291.500 liter ke
67 posko pengungsian yang tersebar di Kabupaten Karo (Renny Febrin, 2015).
Inap jalan
Umum n
1 Mardingding - - 1 8 - 5 1 15
2 Laubaleng - - 1 15 - 8 - 24
3 Tigabinanga - - 1 25 - 6 1 33
4 Juhar - - 1 11 - 3 - 15
5 Munte - 1 34 - 2 - 37
6 Kutabuluh - - 1 10 1 2 - 14
7 Payung - - 1 6 - - - 7
8 Tiganderket - - 1 11 - 1 - 13
Simpangempa - - 1 11 - 1 2 15
9
t
10 Naman teran - - 1 14 - 2 5 22
11 Merdeka - - 1 4 - 1 3 9
12 Kabanjahe 4 - 1 25 8 17 - 55
13 Berastagi 2 - 2 21 9 23 3 60
14 Tigapanah - - 2 19 2 8 6 37
15 Dolat Rayat - - 1 3 1 1 - 6
16 Merek - - 1 11 2 5 - 19
17 Barusjahe - - 1 30 - 8 2 41
Jumlah 6 - 19 258 23 93 23 422
Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Karo
Air Bersih
Sarana MCK
Tikar
Selimut
Air Bersih
Pakaian Anak
Perempuan
Kebutuhan
Pampers
Popok
Makanan Bayi
Susu
Bantuan segera
yang dibutuhkan
&
&
Mardinding √ - √ √ √ √ √ √ √
Kuta Gugung √ √ √ √ √ √ √ √ √
Si Garang-Garang √ - √ √ √ √ √ √ √
Guru Kinayan √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kuta Tengah √ - √ √ - √ √ √ √
Tiga Pancur √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pintu Besi &
√ √ √ √ √ √ √ √ √
Suka Nalu
Beras Tepu √ √ √ √ - √ √ √ √
Jeraya √ - √ √ - √ √ √ √
Kuta rayat √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sumber: Badan Statistik Kabupaten Karo
kerawanan dari rendah ke tinggi, yaitu Kawasan Rawan Bencana (KRB) I, KRB II,
dan KRB III (BNPB, 2013). KRB III merupakan kawasan dengan potensi bahaya
paling tinggi, yaitu terlanda awan panas, aliran, dan guguran lava, lontara batu (pijar),
hujan abu lebat dan gas beracun. KRB ini masih terbagi menjadi dua bagian yaitu (a)
Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa (awan panas, aliran, dan guguran
lava), dan gas beracun, (b) kawasan rawan bencana terhadap material lontaran batu
(pijar) dan jatuhan hujan abu lebat. Sementara itu, KRB II, kawasan yang berpotensi
terlanda awan panas, aliran lava, guguran lava, lontaran batu (pijar) dan hujan abu
lebat. Kawasan ini juga dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (a) kawasan rawan
bencana terhadap aliran massa (awan panas, aliran dan guguran lava), (b) kawasan
rawan bencana terhadap material lontaral batu (pijar) dan hujan abu lebat. KRB I
merupakan kawasan yang berpotensi terlanda lahar dan hujan abu. Menurut PVMBG,
apabila letusan membesar, kawasan ini mungkin berpotensi terlanda lontaran batu
(pijar) berdiamter lebih kecil dari 2 cm.Rute Evakuasi Erupsi Sinabung
rutenya adalah bagian barat daya memiliki selisih 1,6 menit, utara selisih 7,8
menit, dan timur memiliki selisih 4,2 menit. Pada skenario 2 ini selisih
waktu yang terjadi dengan skenario 1 tidak terlalu signifikan dikarenakan
jarak antara pemukiman terdampak awan panas dengan lokasi yang aman
memiliki jarak yang cukup jauh, sehingga menyebabkan lamanya waktu
tempuh (Habibie et al., 2019).
3. Rute darurat erupsi sinabung
Rute darurat dikhususkan untuk mobilisasi korban bencana awan panas yang
membutuhkan rumah sakit terdekat. Dalam hal ini rumah sakit terdekat dari
ketiga bagian pemukiman terdampak berada pada Kecamatan Berastagi dan
Kaban Jahe. Kabupaten Karo memiliki lima rumah sakit yaitu: Rumah Sakit
Flora, RS. Efarina Etaham, RSUD Kaban Jahe, RSU Ester Kaban Jahe, Rs
Kusta Lao Simono. Kelima rumah sakit tersebut terletak di Kecamatan
Berastagi dan Kaban Jahe. Estimasi yang sama dengan penentuan rute
evakuasi terdekat digunakan dalam menghitung estimasi waktu untuk
mencapai rumah sakit. Asumsi tersebut adalah kecepatan mobilisasi roda
empat sebesar 30 km/jam sesuai kondisi jalan aspal dan lebar rata-rata 4 m.
Bagian barat daya, rute darurat menuju RS. Lao Simono berjarak 15,2 km
dan estimasi waktu 30,4 menit. Rumah Sakit Lao Simono terletak di Kec.
Kaban Jahe. Bagian utara, jalur darurat menuju RS. Efarina Etaham dengan
jarak tempuh 24,8 km dan waktu tempuh 49,6 menit. Rumah Sakit Efarina
Etaham terletak di Kec. Kaban Jahe. Bagian timur memiliki jarak terjauh
menuju rumah sakit, dibandingkan bagian barat daya dan timur. Bagian
timur, rute darurat menuju RS. Kaban Jahe berjarak 14,6 km dengan waktu
tempuh 29,8 menit. Rumah Sakit Kaban Jahe terletak pada Kec. Kaban Jahe
(Habibie et al., 2019)
48
III.4.3.Penanganan Lanjutan
Hospital disaster plan
Rumah sakit Kabanjahe sudah memiliki tim penanggulangan bencana,
namun berdasarkan SK, tim tersebut masih terkhusus untuk penanganan
bencana Gunung Sinabung saja. Berdasarkan hasil wawancara, hampir semua
informan mengetahui bahwa rumah sakit sudah memiliki tim penanggulangan
bencana. Pembentukan tim penanggulangan bencana ini dilakukan setelah
bencana erupsi Gunung Sinabung terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa
49
manajemen hanya terfokus pada fase bencana dan paska bencana. Tim
penanggulangan rumah sakit Kabanjahe masih sebatas dibentuk dan belum
memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing yang jelas, sehingga
penanganan korban bencana hanya dilakukan dengan menggunakan SOP rutin
yang sudah ada. Secara tertulis belum ada subjek yang disepakati menjadi
komandoketika terjadi bencana di RSU Kabanjahe, sehingga belum jelas
kepada siapa alur penyampaian informasi dan pengambilan keputusan ketika
terjadi bencana. Rumah sakit Kabanjahe telah membetuk tim penanggulangan
bencana, namun tim tersebut masih khusus untuk penanganan bencana alam
Gunung Sinabung saja, tidak untuk bencana secara umum. Informan
mengatakan bahwa pembentukan tim bencana Gunung Sinabung karena
bencana tersebut yang masih terus terjadi dan masih kurangnya pengetahuan
pihak rumah sakit tentang tim penanggulangan bencana. (Prima & Meliala,
2017)
Kerjasama rumah sakit dengan pihak eksternal seperti kepolisian, TNI,
BNPB dan BPBD hanya berjalan dengan spontanitas tanpa ada nota
kesepahaman Memorandum of Understanding (MoU). Kerjasama antar
instansi ini sangat diperlukan untuk penanganan primer ketika terjadi bencana.
Rumah sakit beserta pihak-pihak seperti TNI, Polisi, BNPB, BPBD beserta
masyarakat harus mengambil inisiatif awal ataupun selama dan setelah
bencana terjadi. Ketergantungan bantuan dari luar daerah menyebabkan
harapan hampa akibat tidak dapat langsung datang saat itu juga.
organisasi masyarakat sipil, LSM atau NGO dan wakil dari pemerintah saja
yang bertindak.
Konsep rumah sakit berdaya tahan yang dibahas di program BRC ini
merupakan merupakan kombinasi dari kemampuan antara rumah sakit dan
sumber daya manusianya yang siap dan responsif untuk memenuhi tekanan
saat bencana dan dapat kembali pulih dalam waktu yang tepat. Model rumah
sakit berdaya tahan yang pernah dikembangkan oleh MERCY Malaysia di
Kepulauan Nias, Sumatera Utara, Indonesia telah dibahas dan digunakan
sebagai kerangka kerja formulasi perencanaan desain rumah sakit.
Kemampuan rumah sakit tersebut untuk menyediakan akses yang berbeda
khusus untuk menerima kunjungan korban bencana yang membutuhkan
tindakan dan perawatan kesehatan turut dibahas. Bagi pasien kritis (K1) yang
harus dioperasi segera akan langsung di kirim ke dewan bedah dari pusat
triase 1 (CPRC). Bagi pasien K2 dan K3, proses observasi akan di lakukan
dan akan mendapatkan perawatan di zona 2 dan 3. Bagi jenazah akan dikirim
langsung ke zona 4. Konsep rumah sakit berdaya tahan yang dapat
bertransformasi saat kondisi normal ke saat darurat penting untuk dipahami
dan didiskusikan dengan kemungkinan dampak bencana yang akan dihadapi
untuk menghindari suasana yang tak terduga oleh pihak rumah sakit.
51
Tabel 4. Kelengkapan fasilitas dan peralatan pada masa bencana erupsi Gunung
Sinabung
53
Tabel 5.Tata laksana kegiatan Kesehatan saat terjadi bencana erupsi Gunung
Sinabung
III.4.4.Manajemen Pengungsi
Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara mengalami peningkatan
aktivitas yang signifikan dengan meluncurkan awan panas dan guguran pada hari
selasa, 2 Maret 2021. Petugas pos pemantau Gunung Sinabung, Armen Putra
mengatakan telah terjadi erupsi dan awan panas guguran 13 kali jarak luncur awan
panas 2km – 5km (Indonesia, 2021).
a. Air Bersih
Erupsi Gunung Sinabung mengakibatkan masyarakat Kabupaten Karo
mengalami kesulitan air bersih untuk memenuhi kegiatan sehari-hari seperti
mencuci, cuci piring dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh kondisi air yang
sudah tercemar oleh abu vulkanis, sehingga membuat air tersebut menjadi
keruh. Masyarakat juga mengeluhkan kondisi air yang meninggalkan
endapan hitam pada tempat penyimpanan air sementara (Syapitri &
Hutajulu, 2018).
Namun untuk mengatasi kejadian tersebut masyarakat membuat
penyaringan air dengan menggunakan pasir, ijuk dan kerikil, kemudian di
endapkan dan disaring dengan menggunakan kain (Indirawati & Sembiring,
2020b; Syapitri & Hutajulu, 2018). Setelah dilakukan penelitian, didapatkan
bahwa konsentrasi Pb pada sumber air, berada diatas batas yang di
perkenankan (Permenkes No. 416/MENKES/PER/1990 tentang Persyaratan
Kualitas Air Bersih) yaitu, berada pada rentang 0,17 – 0,9 mg/L. Sedangkan
batas yang diperkenankan oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun
1990 Tentang Syarat-syarat dan Kualitas air yaitu 0.05 mg/L (Indirawati &
Sembiring, 2020b).
Saat ini pemerintah telah menyediakan enam mobil tangki air untuk
kebutuhan minum dan memasak para warga.Pemerintah juga membuat
Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) Komunal, Persampahan, Penerangan Jalan Lingkungan, dan
Penataan Lingkungan(BPBD Sumatera Utara, 2019).
Kemudian pada tahun 2020, Panglima Kodam (Pangdam) I/Bukit
Barisan (BB) membuat sarana fasilitas umum berupa sumur dan mandi, cuci
kakus (MCK) untuk memenuhi kebutuhan air bersih di 3 desa, yaitu Desa
55
Guru Kinayan, Desa Kutarakyat dan Desa Payung, Hal ini dilakukan karena
air yang mengalir ke rumah warga terhenti akibat dampak dari erupsi
Gunung Sinabung (Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, 2020b)
b. Dapur Umum
Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Karo juga telah menyediakan pos
komando (posko) dan dapur umum untuk memenuhi kebutuhan pangan para
masyarakat yang terdampak erupsi Gunung Sinabung. Pemenuhan
kebutuhan pengungsi khususnya logistik ditangani oleh Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja. Untuk meringankan pekerjaan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
maka dibuat sistem buffer stock pada Kementerian Sosial yang dapat
dipergunakan dalam keadaan darurat. Misalnya, pada saatterdapat kesalahan
data dalam pendataan jumlah pengungsi, maka dapat dipergunakan buffer
stock yang ada di Kementerian Sosial pada Dinas Sosial Sumatera Utara
berupa kebutuhan bahan makanan (beras, kecap, ikan kalengan, dan minyak
goreng), sandang (kain sarung dan kain panjang), perlengkapan tidur
(selimut dan tikar), peralatan evakuasi (tenda biru/gulung, tenda peleton, dan
tenda regu). Dapur umum yang tersedia ada 2 unit(Renny Febrin,
2015).Selain itu, karena saat ini masyarakat sudah direlokasikan ke beberapa
hunian yang telah disiapkan pemerintah, maka kondisi dari dapur sudah
seperti dapur keluarga pada biasanya(Efendi, 2018, 2020).
c. Trauma Healing Dan Kelompok Rentan
Leading sector program penanganan pengungsi termasuk halnya untuk
pengungsi anak dikelola secara mandiri oleh BPBD Kabupaten Karo dengan
memanfaatkan penggunaan Dana Siap Pakai (DSP) dari pusat. program
kegiatan yang pernah dilakukan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas
Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (saat
dulu masih dengan BKKBN), dan Polres Tanah Karo untuk anak-anak di
pengungsian adalah kegiatan trauma healing. Program-program tersebut
berjalan di sekitar tahun 2013-2014. Program yang lebih bervariasi justru
56
dilakukan oleh Polres Tanah Karo yang pernah mengadakan kegiatan latihan
bela diri dan pengajian untuk anak-anak dari pengungsian GBKP Simpang
VI dan GSG KNPI. Tahun 2017 adalah tahun ke-4 masyarakat mengungsi
sejak erupsi yang terjadi tahun 2013. Pada tahun ke-4 ini sudah tidak ada
dinas yang memiliki program untuk anak di pengungsian. Hanya Dinas
Kesehatan dengan Bidan Desa-nya yang masih memiliki agenda kegiatan
untuk anak di pengungsian. Kegiatan Dinas Kesehatan di pengungsian
adalah posyandu dan pemberian makanan tambahan setiap satu bulan sekali
yang memang kegiatan rutin Dinas Kesehatan bahkan dari sejak masyarakat
masih tinggal di desanya. Konsep perlindungan anak juga meliputi
perlindungan terhadap anak yang terlibat kasus baik sebagai korban maupun
pelaku. Berdasarkan data dari Polsek Tanah Karo diketahui adanya dua
kasus yang dilaporkan terkait dengan anak-anak yang menjadi pengungsi,
yaitu kasus pencurian kendaraan bermotor di Posko GSG KNPI dan
pelecehan seksual yang dilaporkan oleh warga sekitar pengungsian Jambur
Korpri. Di balik kedua kasus yang nampak dan terlapor tersebut, pihak Dinas
Sosial dan BPBD Kabupaten Karo menyatakan bahwa pada masa
pengungsian tahun 2013-2015 sering terjadi laporan-laporan kasus yang
melibatkan pengungsi, termasuk juga anak-anak. Namun pada masa-masa
tersebut seluruh posko dijaga oleh petugas gabungan dari TNI, Polisi dan
petugas gabungan lintas instansi dari jajaran SKPD Pemerintah Kabupaten
Karo sehingga pelaporan kasus hanya sampai di lingkup Pengurus Pos
Pengungsian dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Mekanisme
pencatatan kasus di laporan dibuat tanpa mencantumkan nama, alamat, dan
profil pelaku maupun korban (Pratiwi et al., 2019).
Selain itu Selama di pengungsian, banyak kelompok mahasiswa yang
memberi bantuan psikologis melalui kunjungan dan permainan untuk anak,
bantuan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan, kunjungan dari
televisi maupun orang-orang terkenal. Dalam FGD ada pengungsi yang
menyatakan bahwa mereka mengalami peningkatan kemampuan
57
58
59
Polisi dan petugas gabungan lintas instansi dari jajaran SKPD Pemerintah
Kabupaten Karo sehingga pelaporan kasus hanya sampai di lingkup
Pengurus Pos Pengungsian dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Mekanisme pencatatan kasus di laporan dibuat tanpa mencantumkan
nama, alamat, dan profil pelaku maupun korban (Pratiwi et al., 2019).
4) Upaya penanggulangan Kesehatan yang telah dilakukan Kementerian
Kesehatan adalah pemberian bantuan obat-obatan, penyediaan tenaga
Kesehatan dan pos kesehatan, makanan pendamping ASI dan logistik
Kesehatan. Selain itu menyediakan tim Kesehatan Jiwa untuk
memberikan pelayanan Kesehatan di pos Kesehatan terkait masalah
psikologi yang mungkin dialami masyarakat setempat (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
5) Dalam upaya pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan, tim
gabungan Kemenkes yang terdiri dari Pusat Penanggulangan Krisis dan
Subdit Kesehatan Matra dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BTKL PP) Kelas I Medan bersama Dinas
Kesehatan Kabupaten Karo terus melakukan pemantauan kualitas udara,
air bersih dan air minum, sanitasi lingkungan dan penanggulangan vektor
melalui penyemprotan di pos penampungan pengungsi (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
6) Dimasa Pandemi Covid-19, pemerintah daerah juga menyediakan Posko
Kesehatan di setiap desa dan kelurahan untuk memantau kedisplinan
masyarakat dan menekan laju penyebaran Pandemi Covid-19 (Pemerintah
Daerah Kabupaten Karo, 2020a).
7) Telah dibentuknya tim penanggulangan khusus untuk erupsi Gunung
Sinabung di RS Kabanjahe
8) Dalam FGD adanya pengungsi yang menyatakan bahwa mereka
mengalami peningkatan kemampuan komunikasi selama di pengungsian.
Kemampuan ini didapatkan karena mereka mulai menyadari bahwa
mereka banyak disorot oleh kamera televisi, sering berbicara dengan
61
IV.2. Strategi Penanganan Bencana Yang Perlu Dilakukan Selain Yang Sudah
Dilakukan
a. Evaluasi Strategi Penanganan Bencana Erupsi Sinabung
Bencana erupsi Sinabung yang terjadi dalam kurun waktu 11 tahun
belakangan mengharuskan baik pemerintah ataupun masyarakat
melakukan strategi penanganan bencana. Selama ini, BNPB berperan
penting dalam penanganan bencana erupsi Sinabung. Adapun dalam
penanganan bencana, upaya yang dilakukan pemerintah dan BNPB antara
lain
1) Legislasi
Manajemen penanganan pengungsi korban bencana erupsi Gunung
Sinabung dilaksanakan dengan landasan:
i. Surat Keputusan Bupati Karo tentang Pembentukan Tim
Penanganan Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung
Sinabung Kabupaten Karo yang diperbaharui setiap tahun; dan
ii. Surat Keputusan Bupati Karo tentang Penetapan Status
Tanggap Darurat yang diperbaharui setiap tiga bulan sekali.
Pada SK Bupati Karo No. 361/178/BPBD/2016 terlihat bahwa
pembagian kerja dibagi per bidang dengan satu koordinator
yang ditunjuk. Sedangkan pada SK Penetapan Status Tanggap
Darurat terlampir data pengungsi dan asal desanya. Secara
umum keseluruhan SK yang dikeluarkan dalam kaitannya
dengan penanganan pengungsi korban bencana erupsi Gunung
Sinabung disusun dengan berdasar pada landasan hukum dari
tingkat nasional hingga daerah. Selain itu, SK juga dibuat
dengan merujuk pada rekomendasi Badan Geologi
62
2) Pemetaan.
dari erupsi tahun 2014 sejumlah 4 Kecamatan yang terdiri dari 2 Dusun dan 32 Desa
terkena dampaknya (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Erupsi Gunung Sinabung merupakan bencana yang masih terjadi sampai tahun
ini dan memiliki status siaga. Maka perlu adanya kesiapsiagaan dari masyarakat
dengan mengetahui penanganan erupsi gunung, baik sebelum, saat,dan setelah erupsi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dibuatlah pedoman penanganan ini. Tujuan
pedoman ini untuk dijadikan panduan masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan
menghadapi bencana erupsi.
Letusan gunung api adalah salah satu bagian aktivitas vulkanik atau yang biasa
dikenal erupsi (Hasriyani, 2018). Erupsi gunung berapi terjadi karena adanya tekanan
gas yang kuat dari dalam bumi sehingga menyebabkan aktivitas atau pergerakan
magma di dalam perut bumi yang berusaha untuk keluar (Hasriyani, 2018). Proses
erupsi dibagi menjadi dua macam yaitu Erupsi secara Eksplosif dan Erupsi secara
Efusif. Erupsi secara Eksplosif terjadi karena tekanan gas yang kuat sehingga magma
maupun material lain keluar dari dalam perut bumi dan disertai suara letusan cukup
keras. Sedangkan Erupsi secara Efusif terjadi karena tekanan gas yang tidak terlalu
kuat sehingga magma yang keluar berbentuk lelehan lava dan mengalir kelereng
puncak gunung (Hasriyani, 2018).
Tingkatan atau level aktivitas gunung api (Nurwihastuti et al., 2019), antara
lain:
1. Normal, yaitu tidak terlihat peningkatan aktivitas gunung api tetapi fluktuasi
teramati.
2. Waspada, yaitu mulai terekam dan terlihat tanda peningkatan aktivitas
gunung api.
74
3. Siaga, yaitu peningkatan aktivitas gunung api semakin nyata dan bahaya
erupsi mengancam sekitar pusat erupsi, tidak pada pemukiman di sekitar
gunung api.
4. Awas, yaitu peningkatan aktivitas gunung api semakin nyata dan bahaya
erupsi mengancam pemukiman sekitar gunung api.
a. Sebelum erupsi
b. Saat Erupsi
c. Setelah Erupsi
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
1. Aktivitas Gunung Sinabung sampai tahun 2021 masih terjadi. Pada bulan
Januari sampai awal Maret sudah terjadi 37 kali erupsi dengan semburan
gas berwarna putih dan kelabu di kawah puncak, tingginya sekitar 50-1.000
meter dari puncak. Pada tanggal 2 Maret 2021, mulai pukul 06:42 WIB
terjadi luncuran awan panas dengan jarak 2.000 sampai 5.000 meter ke
arah tenggara timur. Tingkat aktivitas vulkanik pada tangal 2 maret 2021
dinilai masih pada level tiga (siaga) (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, 2021).
2. Dalam proses Evakuasi, PVMBG telah memetakan potensi bahaya yang
mungkin terjadi dengan kawasan rawan bencana Gunung api Sinabung.
Tiga tingkat kerawanan dari rendah ke tinggi, yaitu Kawasan Rawan
Bencana (KRB) I, KRB II, dan KRB III (BNPB, 2013).
3. Keadaan kesehatan masyarakat merupakan dampak primer dari erupsi.
Terdapat beberapa penyakit yang muncul setelah erupsi seperti flu, Infeksi
Saluran Pernapasan (ISPA), myalgia, iritasi mata, gastritis, hipertensi,
alergi, dan cepalgia. Umumnya korban erupsi gunung Sinabung banyak
yang mengalami flu, batuk, dan sakit perut. Beberapa pengungsi
mengalami hipertensi dan anak-anak dibawah lima tahun banyak yang
mengalami ISPA
4. Proses rekontruksi pasca bencana telah dilakukan oleh pemerintah, hal ini
dibuktikan dengan telah rampungnya pembangunan hunian tetap,
tersedianya sumber air bersih, dan didirikannya terminal tipe B Kabanjahe
5. Manajemen pengungsian yang disediakan yaitu air bersih dengan
menyediakan 6 tangki air untuk mandi dan memasak , dapur umum untuk
kebutuhan pangan, dan trauma healing bagi kelompok rentan. Penanganan
82
V.2. Saran
Berdasarkan dari pembahasan dan kesimpulan yang telah dibuat, peneliti
mengajukan saran sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Alamudi. (2020). 10 Tahun Erupsi, Ini 7 Letusan Gunung Sinabung yang Paling
Dahsyat.
Fitriani, I. D., Zulkarnaen, W., & Bagianto, A. (2021). Analisis Manajemen Mitigasi
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Bpbd) Terhadap Bencana Alam Erupsi
Gunung Tangkuban Parahu Di Jawa Barat. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen,
Ekonomi, & Akuntansi), 5(1), 91–111.
Hutapea, A. D., Purba, D. H., Sihombing, R. M., Hariyanto, S., Kartika, L., Siregar,
D., … Mukarromah, I. M. (2021). Keperawatan Bencana (R. Watrianthos, Ed.).
Yayasan Kita Menulis.
Indirawati, S. M., & Sembiring, H. (2020a). Jarak Sumber Air Baku Air Minum dari
Pusat Erupsi dan Risiko Kesehatan Jarak Sumber Air Baku Air Minum dari
86
Indirawati, S. M., & Sembiring, H. (2020b). Jarak Sumber Air Baku Air Minum dari
Pusat Erupsi dan Risiko Kesehatan Masyarakat di Wilayah Pasca Erupsi
Sinabung. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 19(2), 103–110.
https://doi.org/10.14710/jkli.19.2.103-110
Kompas. (2021). Selain Raung, Berikut 5 Gunung yang Dinilai Mulai Aktif di
Indonesia, Mana Saja?
Lubis, F. W., Sabarina, Y., & Masril, M. (2019). Penanganan Bencana Erupsi
Gunung Sinabung Ditinjau dari Aspek Komunikasi dan Koordinasi. JURNAL
SIMBOLIKA: Research and Learning in Communication Study, 5(1), 1.
https://doi.org/10.31289/simbollika.v5i1.2258
Nurwihastuti, D. W., Si, S., Sc, M., Yuniastuti, E., Pd, S., & Sc, M. (n.d.).
Pengurangan Risiko Bencana Erupsi Gunung Sinabung.
Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. (2018). Penyerahan Bantuan Bea Siswa CSR
Bank Mandiri Kepada Mahasiswa Korban Erupsi Gunung Sinabung.
Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. (2020a). Darurat Virus Corona, Posko Desa dan
Kelurahan se Kabupaten Karo akan Kembali Diaktifkan.
Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. (2020b). Pangdam I/BB Bangun MCK Untuk 3
Desa di Lereng Gunung Sinabung.
Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. (2021). Bupati Karo dan Kadishub Sumut
Rencanakan Peresmian Terminal Type B Kabanjahe 16 Februari.
Pratiwi, D. S., Hidayat, E. R., & Widjaja, W. (2019). Manajemen Penanganan Anak
Di Pengungsian Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Provinsi
Sumatera Utara. Jurnal Manajemen Bencana (JMB), 5(1), 33–46.
https://doi.org/10.33172/jmb.v5i1.607
88
Prima, A., & Meliala, A. (2017). Hambatan dan peluang dalam pembuatan hospital
disaster plan : studi kasus dari Sumatera Utara. Journal Of Community
Medicine And Public Health, 33 Nomor 1, 595–602.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. (2021). Press Release Aktivitas
Vulkanik G. Sinabung.
Rahma, F. N., Larasati, D. A., & Pd, S. (n.d.). STRATEGI PENGHIDUPAN PASCA
ERUPSI GUNUNG KELUD DESA SUGIHWARAS KECAMATAN NGANCAR
KABUPATEN KEDIRI (Studi Kasus Masyarakat di Desa Sugihwaras).
S, E., Mahendra, D., & MRL.Batu, A. (2019). Manajemen gawat darurat dan
bencana. In Journal.Thamrin.Ac.Id. Jakarta.
Siregar, A. Z., & Husmiati. (2016). Trauma Healing Anak-anak Korban Erupsi
Gunung Sinabung Children. (1), 57–64.
Syapitri, H., & Hutajulu, J. (2018). Strategi Adaptasi Penduduk Desa Gurukinayan
Pasca Erupsi Gunung Sinabung. Jurnal Mutiara Ners, 1(2), 134–143. Retrieved
from e-journal.sari-mutiara.ac.id/index.php/NERS/article/download/362/345/
Tarigan, Y. G., & Maimunah, S. (2019). Particulate Matter One Exposure (PM1) and
CO2 and Its Effects on the Health of Islanders due to Volcanic Ash of Mt.
Sinabung. Jurnal Kesehatan Global, 2(1), 28–36.
Yuarsa, T. A. (2019). Pengaruh debu vulkanik pada erupsi gunung berapi diy
90