Anda di halaman 1dari 96

LAPORAN PRAKTIK KESEHATAN MATRA

ANALISIS KAJIAN BENCANA ERUPSI GUNUNG SINABUNG,


SUMATERA UTARA

Disusun Oleh:

Tari Gustika (1710711094)

Sherin Alinda Zulfa (1710711095)

Tsania Ramadhanti (1710711097)

Jesica Rachel Meliala (1710711098)

Arlia Fika Damayanti (1710711099)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmad
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul “Analisis Bencana Erupsi Gunung Sinabung”. Penyusunan makalah ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktek Kesehatan Matra di
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Makalah ini mengkaji dan
menganalisis kondisi bencana erupsi Gunung Sinabung yang dilihat dari aspek
kesehatan dan proses penanggulangan bencana.\

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya penyusunan makalah


ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus ikhlas kepada:

1. Orang tua yang senantiasa menyayangi, mendoakan, dan selalu menjadi


penyemangat dalam hidup penulis;
2. Desak Nyoman Sithi, SKp, MARS, PhD dan Ns. Ronny Basirun Simatupang,
S.Kep. M.si (Han) atas kesediannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan
kritik selama proses pembuatan makalah;
3. Teman-teman seperjuangan S1 Keperawatan angkatan 2017;
4. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
hal ini disebabkan masih terbatasnya ilmu dan teori penulisan yang benar yang
penulis kuasai. Oleh karenanya kepada para pembaca kiranya dapat memberikan
kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Jakarta ,21 April 2021

i
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
I.1. Latar Belakang.......................................................................................................1
I.2. Rumusan Masalah..................................................................................................3
I.3. Tujuan Penelitian...................................................................................................4
I.3.1. Tujuan Umum.................................................................................................4
I.3.2. Tujuan Khusus................................................................................................4
I.4. Manfaat Penelitian.................................................................................................4
I.5. Ruang Lingkup.......................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................6
II.1. Definisi Bencana Erupsi Gunung Api.................................................................6
II.2. Aspek Kesehatan dalam Bencana Erupsi Gunung.............................................8
II.2.1. Efek Debu Vulkanik Pada Kesehatan Paru..................................................9
II.2.2. Dampak Kesehatan yang sering muncul terhadap kejadian bencana
erupsi gunung Merapi di Indonesia...............................................................9
II.2.3. Patofisiologi Pada Paru................................................................................12
II.3. Manajemen Penanganan Bencana Erupsi Gunung..........................................13
II.3.1. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Pra Bencana..............13
II.3.2. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Bencana.....................18
II.3.3. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Pasca Bencana..........21
BAB III ANALISIS KASUS KEJADIAN BENCANA..............................................25
III.1. Kronologis Kejadian Bencana............................................................................25
III.2. Dampak Kesehatan..............................................................................................27
III.3. Upaya Penanganan yang Dilakukan Pemerintah dan Non-Pemerintah.........27

ii
III.3.1. Upaya Penanganan yang Dilakukan Pemerintah.......................................27
III.3.2. Upaya Penanganan yang Dilakukan Non-Pemerintah..............................31
III.4. Kajian Aspek Kesehatan Matra..........................................................................32
III.4.1. Analisis (Rapid Health Assessment) pada Erupsi Gunung Sinabung.....32
III.4.2. Penanganan Awal Erupsi Gunung Sinabung.............................................44
III.4.3. Penanganan Lanjutan....................................................................................48
III.4.4. Manajemen Pengungsi.................................................................................53
III.4.5. Penatalaksanaan Korban Meninggal...........................................................57
BAB IV PEMBAHASAN KASUS............................................................................58
IV.1. Pembelajaran Baik (Lesson Learned) Yang Dapat Diperoleh Dari
Penanganan Bencana..........................................................................................58
IV.2. Strategi Penanganan Bencana Yang Perlu Dilakukan Selain Yang Sudah
Dilakukan.............................................................................................................61
IV.3. Pedoman Atau Instrumen Edukasi Yang Dapat Digunakan Dalam
Penanganan Bencana Dari Aspek Kesehatan...................................................71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................80
V.1. Kesimpulan...........................................................................................................80
V.2. Saran......................................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................83

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Fasilitas Kesehatan...........................................................................34


Tabel 2. Jumlah Tenaga Medis...................................................................................36
Tabel 3. Kebutuhan Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung..........................................38
Tabel 4. Kelengkapan fasilitas dan peralatan pada masa bencana erupsi Gunung
Sinabung......................................................................................................................52
Tabel 5.Tata laksana kegiatan Kesehatan saat terjadi bencana erupsi Gunung
Sinabung......................................................................................................................53

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi Posko Bencana Erupsi Gunung Sinabung....................................43


Gambar 2. Rute Evakuasi..........................................................................................46
Gambar 3. Rute Darurat.............................................................................................48
Gambar 4. Rumah Sakit Lapangan............................................................................51

v
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis menjadi titik
pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia
dan Lempeng Pasifik. Pergerakan ketiga lempeng tersebut merupakan salah satu
penyebab mengapa sering terjadinya bencana alam di Indonesia. (Renny Febrin,
2015). Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24
TAHUN 2007, 2007). Badan Nasional Penanggulangan Bencana(BNPB) (2020)
Indonesia mencatat setidaknya telah terjadi sebanyak 2.952 bencana sepanjang tahun
2020 dan kurang lebih 763 bencana telah terjadi hingga Maret 2021 dimana salah
satunya yaitu bencana erupsi gunung berapi(Nurwihastuti et al., n.d.).
Gunung api adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat
keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi
(Nurwihastuti et al., n.d.). Terdapat banyaknya gunung api yang mengelilingi
Indonesia membuat Indonesia dijuluki sebagai negara cincin api dengan jumlah
kurang lebih 140 gunung aktif (Renny Febrin, 2015). Erupsi gunung berapi terjadi
ketika adanya tenaga dari dalam bumi yang mendorong perut bumi mengeluarkan isi
didalamnya atau yang biasa disebut sebagai magma. Magma merupakan batuan
meleleh yang terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, lebih
dari 1.000 derajat Celsius. Beberapa Gunung di Indonesia yang mengalami
mengalami erupsi sepanjang tahun 2020 diantaranya yaitu Gunung Semeru, Gunung

1
2

Ili Lewotolok, Gunung Ibu, Gunung Dukono dan yang terakhir yaitu Gunung
Sinabung (Kompas, 2021).
Gunung Sinabung merupakan gunung berapi yang terletak di Kabupaten Karo
Provinsi Sumatera Utara yang pertama kali mengalami erupsi pada 29 Agustus 2010,
2013, 2016, 2017, 2019, 2020 hingga yang terakhir pada Maret 2021 setelah selama
400 tahun tidak adanya aktifitas letusan. Gunung Sinabung menjadi aktif dan
berlangung hingga saat ini dengan status dinaikkan ke level tertinggi (awas). Akibat
dari erupsi tahun 2014 sejumlah 4 Kecamatan yang terdiri dari 2 Dusun dan 32 Desa
terkena dampaknya(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Dampak abu vulkanik erupsi Gunung Sinabung memberikan efek yang sangat
jelas bagi Kesehatan masyarakat. Dalam catatan BNPB ribuan warga dari Desa
Perbaji, Desa Sukatendel, Desa Temberun, Desa Perteguhan, Desa Kuta Rakyat, Desa
Simpang Empat, Desa Tiga Pancur, Desa Selandi, Desa Payung, dan Desa Kuta
Gugung mengalami langsung dampak abu vulkanik (Nurwihastuti et al., n.d.). Akibat
abu vulkanik juga mempengaruhi kesehatan masyarakat. Di Desa Naman, Kecamatan
Naman Teran, Kabupaten Karo jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) meningkat 30 sampai 45 persen akibat terkena abu vulkanik Erupsi pada
tahun 2019. Manurung (2018) menyebutkanmasyarakat mengalami sesak nafas
sebesar 3%, iritasi mata sebesar 30%, batuk sebesar 14%, dan flu sebesar 13,3%.
Maka perlu adanya upaya penanggulangan yang harus dilakukan untuk mengatasi
dampak kesehatan.
Upaya penanggulangan krisis kesehatan yang telah dilakukan Kementerian
Kesehatan ialah  pemberian bantuan obat obatan, Makanan Pengganti ASI dan
logistik kesehatan, melakukan analisis kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi
dalam situasi bencana mendata jumlah ibu hamil dan Balita di semua pengungsian.
Selain itu, mengirim tim kesehatan jiwa memberikan pelayanan kesehatan di pos
kesehatan dan memetakan kesehatan jiwa di tiap Posko serta memberikan pelayanan
kesehatan.Sementara dalam upaya pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan,
tim gabungan Kemenkes yang terdiri dari Pusat Penanggulangan Krisis dan Subdit
Kesehatan Matra dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
3

Penyakit (BTKL PP) Kelas I Medan bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Karo terus
melakukan pemantauan kualitas udara, air bersih dan air munum, sanitasi lingkugan
dan penanggulangan vektor melalui penyemprotan di pos penampungan pengungsi.
Selain itu imbauan juga diberikan kepada masyarakat agar memakai masker bila
keluar rumah untuk mengurangi dampak kesehatan dari abu vulkanik. Mengamankan
sarana air bersih serta membersihkan atap rumah dari abu vulkanik yang lebat agar
tidak roboh.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami berniat membuat Analisis Kajian
Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara.

I.2. Rumusan Masalah

Erupsi gunung sinabung yang terjadi secara terus menerus telah menyababkan
kerugian baik dari segi fisik maupun finansial. Walaupun kejadian erupsi gunung
Sinabung sudah terjadi lebih dari 10 tahun, angka kejadian masalah kesehatan akibat
erupsi masih tinggi. Angka kesakitan tertinggi ditemukan di wilayah Karo yang
berada di kaki gunung sinabung yaitu ISPA dengan gejala utama batuk serta sakit
perut karena sanitasi yang buruk dan kurangnya air bersih. Abu vulkanik yang
bertebaran di udara menyababkan masyarakat mengalami gangguan kesehatan seperti
batuk dan iritasi mata serta abu vulkanik juga mencemari persediaan air masyarakat
sehingga banyak dari mereka yang mengalami sakit perut. Untuk menanggulangi
masalah tersebut telah dilakukan upaya baik pencegahan maupun penanggulangan
dari pemerintah dan non pemerintah agar angka kesakitan akibat erupsi Sinabung
dapat teratasi.

Upaya penanggulangan yang dilakukan kementerian kesehatan terhadap


masyarakat seperti pemberian bantuan obat obatan, Makanan Pengganti ASI dan
logistik kesehatan, melakukan analisis kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi
dalam situasi bencana mendata jumlah ibu hamil dan Balita di semua pengungsian,
pemantauan kualitas udara, air bersih dan air minum, sanitasi lingkungan dan
penanggulangan vektor melalui penyemprotan di pos penampungan pengungsi
4

terbukti masih belum bisa menyelesaikan masalah kesehatan yang terjadi karena
angka kesakitan yang terpantau masih tinggi. Berdasarkan peristiwa tersebut penulis
tertarik untuk melakukan “Analisis Kajian Bencana Erupsi Gunung Sinabung”.

I.3. Tujuan Penelitian


I.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai yaitu mengkaji tingkat bahaya erupsi gunung
Sinabung terhadap kesehatan masyarakat sekitar.

I.3.2. Tujuan Khusus


a. Mengetahui kronologis kejadian bencana erupsi sinabung
b. Mengetahui dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh bencana erupsi
Gunung Sinabung
c. Mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah maupun non pemerintah
dalam penanggulangan bencana erupsi gunung Sinabung.
d. Mengetahui kajian aspek kesehatan matra
e. Mengetahui strategi penanganan bencana yang bisa dilakukan sebelum dan
sesudah erupsi gunung Sinabung.
f. Mengetahui pedoman atau instrumen edukatif yang bisa digunakan dalam
penangan bencana dari aspek kesehatan.

I.4. Manfaat Penelitian


I.4.1. Manfaat teoritis
a. Memberikan informasi bagaimana perkembangan erupsi gunung sinabung
dari tahun 2010 sampai 2021
b. Menambah wawasan di bidang kesehatan tentang kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana erupsi gunung meletus
I.4.2. Manfaat praktis
5

a. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai


kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana erupsi gunung Sinabung.
b. Memperoleh pemecahan masalah kesehatan pada saat bencana erupsi
gunung Sinabung.

I.5. Ruang Lingkup

Berdasarkan identifikasi masalah diatas dan untuk menghindari meluasnya


permasalahan, maka ruang lingkup dari kajian permasalahan ini dibatasi pada
Analisis Kajian Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung. Hal tersebut
dilakukan agar hasil penelitian lebih terfokus dan mendalami permasalahan serta
menghindari penafsiran yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi Bencana Erupsi Gunung Api

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana menjelaskan bahwa bencana merupakan peristiwa yang mengancam
kehidupan yang disebabkan oleh faktor alam maupun non alam sehingga
menyebabkan kerusakan, kerugian, dan korban jiwa (Usman, Hariyani, & Kurniawan,
2020). Bencana dibagi menjadi dua jenis yaitu bencana alam dan bencana non alam.
Salah satu contoh bencana alam adalah letusan gunung api. Letusan gunung api
adalah salah satu bagian aktivitas vulkanik atau yang biasa dikenal erupsi (Hasriyani,
2018).

Tingkatan atau level aktivitas gunung api (Nurwihastuti, Astuti, & Yuniastuti,
2019), antara lain:

1. Normal, yaitu tidak terlihat peningkatan aktivitas gunung api tetapi fluktuasi
teramati.
2. Waspada, yaitu mulai terekam dan terlihat tanda peningkatan aktivitas
gunung api.
3. Siaga, yaitu peningkatan aktivitas gunung api semakin nyata dan bahaya
erupsi mengancam sekitar pusat erupsi, tidak pada pemukiman di sekitar
gunung api.
4. Awas, yaitu peningkatan aktivitas gunung api semakin nyata dan bahaya
erupsi mengancam pemukiman sekitar gunung api.

Erupsi gunung berapi terjadi karena adanya tekanan gas yang kuat dari dalam
bumi sehingga menyebabkan aktivitas atau pergerakan magma di dalam perut bumi
yang berusaha untuk keluar (Hasriyani, 2018). Proses erupsi dibagi menjadi dua
macam yaitu Erupsi secara Eksplosif dan Erupsi secara Efusif. Erupsi secara

6
7

Eksplosif terjadi karena tekanan gas yang kuat sehingga magma maupun material lain
keluar dari dalam perut bumi dan disertai suara letusan cukup keras. Sedangkan
Erupsi secara Efusif terjadi karena tekanan gas yang tidak terlalu kuat sehingga
magma yang keluar berbentuk lelehan lava dan mengalir kelereng puncak gunung
(Hasriyani, 2018).

Erupsi gunung api dapat disebabkan oleh dua faktor (Usman et al., 2020), yaitu:

1. Faktor internal yang menjadi penyebab dominan letusan gunung api, antara
lain banyaknya kandungan magma, proses tektonik dari pembentukan dan
pergerakan kulit/lempeng bumi, pancaran magma dari dalam bumi yang
berasosiasi dengan arus konveksi panas, dan akumulasi tekanan dan
temperatur dari fluida magma menyebabkan pelepasan energi.
2. Faktor eksternal penyebab letusan gunung api yaitu kandungan air dalam
gunung api, peristiwa gempa bumi, dan pasang surut bumi (earth tide).
Gempa yang dimaksud yaitu gempa tektonik. Salah satu contohnya adalah
Gunung Sinabung yang terletak dekat dengan sumber-sumber gempa maka
lebih dari 800 tahun tidak meletus lama kelamaan ikut meletus.
Bahaya letusan gunung api dibagi menjadi dua (Nurwihastuti et al., 2019),
yaitu:
1. Bahaya langsung atau primer
a. Aliran lava, yaitu cairan lava yang pekat dan panas yang bisa
menyebabkan kerusakan infrastruktur
b. Aliran piroklastik atau awan panas, terjadi karena runtuhnya tiang asap
erupsi. Aliran ini terdiri dari batuan pijar yang memiliki suhu tinggi dan
mengalir melalui leembah sungai dengan kecepatan 150-250 km/jam
c. Jatuhan piroklastik yang terdiri dari abu dan pasir vulkanik
d. Lahar letusan, terjadi pada gunung api yag memiliki danau kawah
sehingga saat terjadi letusan bisa menumpahkan lumpur panas
8

e. Gas vulkanik beracun yaitu karbon monoksida, karbon dioksida, dan gas
lain yang memiliki konsentrasi di atas ambang batas dan dapat
membunuh makhluk hidup
2. Bahaya tidak langsung atau sekunder
Letusan gunung api dapat menyebabkan terjadinya longsor vulkanik, lahar
hujan, dan tsunami.

II.2. Aspek Kesehatan dalam Bencana Erupsi Gunung

Letusan Gunung berapi dapat mengakibatkan banyak korban jiwa dan harta
benda. Salah satu contohnya yaitu Letusan Gunung Merapi di Provinsi Daerah
Istimewa Y ogyakarta yang tetjadi pada 26 Oktober tahun 2010 Aliran awan panas
yang dimuntahkan lava/material Merapi dengan kecepatan mencapai 100 km per jam,
dan panas mencapai kisaran 450-600°C membakar hutan dan pemukiman penduduk
sehingga dilakukan evakuasi penduduk secara besar-besaran. Bencana erupsi gunung
merapi menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk,
termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah terjadi erupsi
gunung merapi adalah pelayanan kesehatan terhadap korban bencana. Untuk
penanganan kesehatan korban, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah
dikeluarkan. Salah satunya adalah peraturan yang menyebutkan peran penting
Puskesmas dalam penanggulangan bencana.

Erupsi gunung berapi yang terjadi di Indonesia memberikan dampak dan


pengaruh terhadap k:ualitas hidup penduduk yang dapat dirasakan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Salah satu dampak langsung dari terjadinya erupsi
gunung berapi terhadap penduduk adalah jatuhnya korban jiwa, hilang dan luka-luka.
Sedangkan dampak tidak langsung terhadap penduduk antara lain adalah terjadinya
banyak kerusakan-kerusakan bangunan perumahan penduduk, sarana sosial seperti
bangunan sekolah, rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya, perkantoran jaringan
listrik dan telekomunikasi. Selain itu, terjadinya erupsi gunung merapi juga
9

mengakibatkan adanya kerugian ekonomi bagi penduduk, seperti kerusakan lahan


pertanian dan kehilangan mata pencaharian, terutama bagi penduduk yang bekerja
disektor in formal (Widayatun & Fatoni, 2013).

Hujan abu vulkanik akibat erupsi Gunung merapi tentu saja memberi dampak
pada kesehatan, terutama pada saluran pernapasan. Tak sedikit pula masyarakat yang
tinggal di daerah sekitar gunung yang mengalami erupsi rentan mengalami sesak
napas. Namun beberapa warga yang sadar akan pentingnya kesehatan mendatangi
puskesmas untuk melakukan pengobatan. Namun tidak sedikit juga yang hanya
meracik obat tradisional seperti rebusan sirih untuk mengatasi sesak dan batuk.
Gejala pernapasan akut yang sering dilaporkan oleh masyarakat setelah gunung
mengeluarkan abu adalah iritasi selaput lendir dengan keluhan bersin, pilek dan
beringus, iritasi dan sakit tenggorokan (kadang disertai batuk kering), batuk dahak,
mengi, sesak napas, dan iritasi pada jalur pernapasan, namun keluhan- keluhan
tersebut juga terkadang dianggap warga hanya sebagai keluhan ringan yang dianggap
biasa sehingga mereka membiarkan saja dan menganggap akan sembuh dengan
sendirinya sehingga tidak perlu datang ke pelayanan kesehatan untuk berobat
(Syapitri & Hutajulu, 2018).

II.2.1. Efek Debu Vulkanik Pada Kesehatan Paru

Dalam letusan partikel debu bisa berukuran sangat halus sehingga debu bisa
masuk jauh ke dalam paru. Dengan pajanan yang tinggi, individu yang sehat akan
mengalami rasa tidak nyaman di dada dengan peningkatan batuk dan iritasi. Gejala
pernapasan akibat menghirup debu vulkanik tergantung pada faktor:

a. konsentrasi partikel tersuspensi di udara,


b. proporsi partikel yang terhirup
c. lama pajanan
d. kondisi meteorologi
e. faktor individu
10

II.2.2. Dampak Kesehatan yang sering muncul terhadap kejadian bencana


erupsi gunung Merapi di Indonesia

Gejala pernapasan akut yang terjadi setelah letusan gunung berapi yang
mengeluarkan Partikel debu halus akan mengiritasi saluran napas dan menyebabkan
kesulitan bernapas terutama pada orang yang sudah memiliki masalah paru misalnya
asma, bronkhitis. Ashfalls dkk, tidak melihat adanya hubungan yang signifikan
peningkatan serangan asma dan terjadinya kematian setelah letusan gunung berapi.
Individu yang telah mempunyai riwayat sakit asma sebelumnya sangat berisiko untuk
terjadinya perburukan setelah hujan debu vulkanik.macam-macam penyakit yang
dapat ditimbulkan yaitu:

a. Asma
Debu vulkanik merupakan salah satu pencetus terjadinya serangan asma.
Debu halus dapat menyebabkan lapisan saluran pernapasan menghasilkan
lebih banyak sekresi yang dapat membuat orang batuk dan bernapas lebih
berat. Penderita asma, khususnya anak-anak, dapat menderita serangan batuk
dan sesak dada. Beberapa orang yang tidak pernah menderita asma dapat
mengalami gejala seperti asma setelah hujan debu, khususnya jika mereka
yang terlalu lama melakukan kegiatan di luar ruangan. Namun, beberapa ahli
menyatakan, abu vulkanik sebenarnya tidak memiliki pengaruh besar
terhadap kesehatan masyarakat. Abu vulkanik yang berasal dari tempat yang
jauh, memiliki efek minimal bagi kesehatan. Para ahli itu mengatakan, abu
vulkanik tidak lebih berbahaya dibanding dengan asap rokok dan polusi.
Disarankan untuk memakai masker jika hendak berpergian ke luar rumah.
b. Bronkhitis
Debu vulkanik dapat menyebabkan penyakit bronkitis akut selama beberapa
hari dengan gejala seperti batuk kering, produksi dahak berlebih, mengi dan
sesak napas. Timbulnya penyakit bronkhitis tergantung dari kondisi
kesehatan dari individu dan faktor lingkungan.
11

c. Silikosis
Silikosis (Silicosis) adalah suatu penyakit saluran pernafasan akibat
menghirup debu silika, yang menyebabkan peradangan dan pembentukan
jaringan paru pada paru. Terdapat 3 jenis silikosis:
1) Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu
silika dalam jangka panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul
peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru
dan kelenjar getah bening dada.
2) Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang
lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan,
pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.

Silikosis akut terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat
besar, dalam waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh
cairan, sehingga timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosif masif progresif. Fibrosis ini
terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur
paru yang normal.
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi pada
peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat pengampelas sabun,
dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu
kurang dari 10 tahun. Bila terhirup, serbuk silika masuk ke paru- paru dan sel
pembersih (misalnya makrofag) akan mencernanya. Enzim yang dihasilkan oleh sel
pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada awalnya,
daerah parut ini hanya merupakan bungkahan bulat yang tipis (silikosis noduler
simplek). Akhirnya, mereka bergabung menjadi massa yang besar (silikosis
konglomerata). Daerah parut ini tidak dapat mengalirkan oksigen ke dalam darah
secara normal. Paru menjadi kurang lentur dan penderita mengalami gangguan
pernapasan.
12

Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernapasan, tetapi


mereka bisa menderita batuk berdahak karena saluran pernapasannya mengalami
iritasi (bronkitis). Silikosis konglomerata bisa menyebabkan batuk berdahak dan
sesak napas. Mula-mula sesak napas hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas, tapi
akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat. Keluhan pernapasan bisa
memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti bekerja. Kerusakan di
paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat
fatal. Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium
tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita
tuberculosis (Yuarsa, 2019).

II.2.3. Patofisiologi Pada Paru

Partikel yang ada diudara akan kita hirup dan tubuh memiliki mekanisme
sendiri untuk melawan partikel yang kita hirup. Partikel yang kita hirup akan di
keluarkan atau mencoba melawan efek yang merugikan yang diakibatkan oleh
partikel itu,termasuk disini partikel yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi
berupa silika bebas. Silika bebas akan berinteraksi dengan paru. Paru terdiri 40 jenis
sel masing- masing mempunyai tugas sendiri secara khusus. Sel epitel jalan napas
akan mengeluarkan partikel yang masuk ke jalan napas, sedangkan fibroblast
bertanggung jawab membuat kolagen. Kedua sel tersebut adalah target sel mineral
induced penyakit sel dari sistem kekebalan tubuh yaitu makrofag yang akan melawan
setiap partikel atau benda asing yang masuk kedalam paru.

Partikel yang masuk akan terperangkap oleh lendir yang dihasilkan oleh sel
epitel yang ada di dinding jalan napas, dengan gerakan silia yang ada di dinding jalan
napas partikel tersebut akan dikeluarkan sampai tenggorokan dengan mekanisme
batuk atau ditelan. Partikel yang dapat menembus wilayah tersebut akan terespirasi
dengan ukuran partikel kurang dari 4 pM. Partikel tersebut akan dilawan oleh
makrofag secara fagositosis dalam upaya membersihkan paru. Makrofag yang tidak
mampu melawan partikel silika bebas, akan terjadi peradangan yang kronik dan
13

terjadi abnormal produksi kolagen oleh fobroblast sehingga terjadi pembentukan


nodul fibrosis dan akhirnya terjadi silikosis. Perubahan inti sel di paru bisa bereaksi
dengan lipid sel menyebabkan peroksidasi lipid (oksidatif penurunan asam lemak tak
jenuh ganda ) menyebabkan generasi lebih lanjut radikal. Radikal juga dapat bereaksi
langsung dengan DNA, menyebabkan kerusakan untai sebagai radikal mengekstrak
elektron dari DNA . Kedua proses akhirnya dapat menghasilkan mutasi sel dan
kanker.

II.3. Manajemen Penanganan Bencana Erupsi Gunung

Manajemen penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi


penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Dalam penanggulangan
bencana, kegiatannya juga mengikuti siklus bencana (Maria Dyah Ciptaning Tyas,
2016), yaitu:

a. Fase Pra Bencana; disebut sebagai fase kesiapsiagaan yang terdiri dari
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan (prevention, mitigation and
preparedness)
b. Fase Bencana; disebut sebagai fase tanggap darurat (response) yang terdiri
dari fase akut (acute phase) dan fase sub akut (subacute phase)
c. Fase Pasca Bencana; disebut sebagai fase rekonstruksi yang terdiri dari fase
pemulihan (recovery phase) dan fase rehabilitasi/rekonstruksi
(rehabilitation/reconstruction phase).

II.3.1. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Pra Bencana


Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai saat
sebelum terjadi bencana sampai tahap impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli
sebagai tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat
14

perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang nantinya dapat diimplementasikan pada
saat bencana terjadi. Peran tenaga kesehatan dalam fase Pra Disaster adalah:
1) Tenaga kesehatan mengikuti pelatihan dan pendidikan yang berhubungan
dengan penanggulangan ancaman bencana untuk tiap fasenya.
2) Tenaga kesehatan ikut terlibat dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi bencana kepada masyarakat
3) Tenaga kesehatan terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang
meliputi Usaha pertolongan diri sendiri ketika ada bencana, Pelatihan
pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
yang lain
4) Tenaga kesehatan dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon
darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan ambulance.

Manajemen penanggulangan bencana pada fase pra bencana terbagi menjadi


tiga, yaitu:

II.3.1.1. Pencegahan Bencana


Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman
bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. (Maria Diah Ciptaning
Tyas, 2016). Pada tahap pencegahan bencana yang dapat dilakukan adalah mengikuti
himbauan yang direkomendasikan oleh pemerintah.
Pada kasus ini, erupsi tidak dapat dicegah. Jadi upaya pada fase ini adalah
meminimalkan korban. Pada tahap pencegahan, pemerintah telah melarang pertanian
dan permukiman dalam radius 5 km dari Gunung Sinabung. Namun, terdapat
beberapa masyarakat yang kembali ke desa dan menanam di sana untuk memenuhi
biaya hidup sambil terus memperhatikan gejala-gejala gunung (Lismawaty,
Sembiring, & Pinem, 2019).
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap pencegahan bencana erupsi gunung
(Lismawaty et al., 2019), yaitu:
15

1) Mengikuti himbauan yang intruksikan oleh Pemerintah untuk tidak


Bertani/tinggal dalam radius 5km.
2) Setuju apabila dilakukan kegiatan mitigasi dan penyebaran informasi tentang
bencana.

II.3.1.2. Mitigation: Pengurangan – Pencegahan


Mitigation merupakan tahapan untuk memperingan risiko yang ditimbulkan
oleh bencana. Dalam tahap mitigasi, terdapat dua hal yaitu pengurangan dan
pencegahan terjadinya bencana. Kebijakan mitigasi dapat bersifat struktural maupun
non struktural. Kebijakan yang bersifat struktural menggunakan pendekatan
teknologi, seperti pembuatan alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, membangun
hunian tetap diwilayah aman bencana, ataupun sistem peringatan dini (Early Warning
System) yang digunakan untuk memprediksi terjadinya bencana. Sedangkan
kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi
(Khambali, 2017).
Tindakan mitigasi yang dapat dilakukan (Khambali, 2017; Lismawaty et al.,
2019), yaitu:
1) Pemantauan, aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan
alat pencatat gempa (seismograf).
2) Tanggap Darurat, yaitu mengevaluasi laporan dan data, membentuk tim
Tanggap Darurat, mengirimkan tim ke lokasi, melakukan pemeriksaan
secara terpadu.
3) Pemetaan, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung berapi dapat
menjelaskan jenis dan sifat bahaya gunung berapi, daerah rawan bencana,
arah penyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan pos penanggulangan
bencana.
4) Penyelidikan gunung berapi menggunakan metoda Geologi, Geofisika,
dan Geokimia.
5) Sosialisasi, petugas melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta
masyarakat terutama yang tinggal di sekitar gunung berapi.
16

6) Mengikuti sosialisasi tentang peristiwa letusan gunung berapi pada


masyarakat awam terkait peristiwa alam seperti gempa karena gunung
berapi, dan terjadinya gunung meletus.
7) Mematuhi pengumuman dari instansi berwenang, misalnya dalam
penetapan status gunung berapi.
8) Mengenali tanda-tanda terjadinya bencana gunung berapi, misalnya
turunnya binatang dari puncak gunung atau terciumnya bau belerang
9) Mengetahui tempat yang aman dan jalur evakuasi.
10) Masyarakat bersedia membantu pemerintah membuat peta seperti peta
ancaman, kapasitas, kerentanan, dan rawan bencana.
11) Perlu ada pelatihan dalam menyebarluaskan informasi tentang prosedur
untuk mengidentifikasi, mencegah dan menangani bencana.
12) Pemuda lokal bersedia melakukan konseling dan sosialisasi (mereka
sedang menunggu undangan atau pelatihan untuk melakukan konseling
dan sosialisasi).
13) Menyediakan Speaker untuk menyebarluaskan informasi.
14) Bekerjasama dengan beberapa organisasi untuk menyebarluaskan
infromasi untuk mencegah bencana.
15) Diperlukan sirene untuk memberitahukan bahwa penduduk diminta
mengungsi. Jangkauan sirene dianggap sampai ke lahan pertanian
sehingga penduduk yang sedang di ladang pada saat keadaan darurat
terjadi, dapat mendengar suara sirene.
16) Perlu ada anggaran dalam penyediaan HT (handie talkie) sebagai sarana
informasi. Dalam beberapa tahun terakhir, HT sudah ada di setiap desa
tetapi informasinya sering terlambat (pemegang HT bisa melarikan diri
dulu dan memberi tahu komunitas lain). Jadi mereka akan memilih sendiri
siapa yang bisa diandalkan untuk memegang HT.

Pada kasus erupsi Sinabung, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),


membuat peta risiko bencana. Namun belum ada peta kerentanan, peta kapasitas, dll.
17

Masyarakat setempat mengatakan bahwa mereka telah dilatih untuk bertindak ketika
bencana terjadi dan mereka menyiapkan peringatan dini jika terjadi bencana.
Pengungsi mengatakan bahwa ada sosialisasi dan konseling untuk meningkatkan
kesadaran dan kesiapan bencana. Pelatihan bencana telah dilakukan sejak tahun 2015.
Namun pelatihan ini tidak dilakukan secara teratur dan hanya beberapa pengungsi
yang menghadiri pelatihan (Lismawaty et al., 2019).

II.3.1.3. Preparedness: Perencanaan-Persiapan


Preparedness merupakan upaya perencanaan untuk menanggapi bencana dan
menyusun respons bencana sebelum terjadi bencana seperti rencana kesiapan,
latihan/pelatihan darurat: sistem peringatan. Perencanaan ini, meliputi evaluasi
potensi kerentanan (penilaian risiko) dan kecenderungan terjadinya bencana. Sistem
peringatan (warning) adalah pemantauan aktivitas atau peristiwa untuk mencari
indikator yang memprediksi lokasi, waktu, dan besarnya bencana di masa depan
(Hutapea et al., 2021).
Peringatan dini merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam memberikan
peringatan segera dan secepat mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan
terjadinya bencana di suatu tempat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang.
Peringatan dini harus dilakukan oleh pemerintah agar masyarakat memiliki
kesempatan untuk menyelamatkan diri dengan adanya pemberian tanda atau isyarat
terhadap terjadinya suatu bencana di awal (Hutapea et al., 2021).
Aktivitas kesiapsiagaan pada saat bencana sudah mulai teridentifikasi akan
terjadi, di mana kegiatan yang akan dilakukan meliputi :
1) Mengaktifkan pos siaga bencana
2) Pelatihan siaga/simulasi/teknis kepada setiap seksi penanggulangan bencana
(SAR. kesehatan. prasarana, sosial, pekerjaan umum)
3) Penyediaan inventarisasi sumber daya yang mendukung kedaruratan
4) Menyiapkan dukungan dan mobilisasi logistik
18

5) Menyiapkan sistem informasi dam komunikasi yang cepat untuk mendukung


penanggulangan bencana
6) Menyiapkan dan memasang alat peringatan dini (early warning)

Berdasarkan penelitian terdahulu, untuk kasus gunung Sinabung, sebelum


terjadinya bencana tidak ada upaya untuk memperkuat kelompok rentan ini. Upaya
penguatan dan pendampingan kelompok rentan ini dilakukan setelah terjadinya
bencana. TNI memberikan pelatihan kepada Taruna Siaga Bencana (TAGANA) di
tahun 2010. TAGANA terdiri atas pemuda-pemuda pilihan yang diberikan
keterampilan untuk menyelamatkan warga yang masuk dalam kategori kelompok
rentan ini. Pelatihan yang diberikan diantaranya adalah cara menggendong anak saat
menyelamatkan diri, bantuan pernafasan, keluar dari gedung saat gempa, dan upaya
penyelamatan lainnya. Program pelatihan direncanakan berlangsung selama 3 bulan.
Kegiatan ini pun hanya disiapkan saat fase tanggap darurat. Pasca pindah ke lokasi
relokasi, tidak ada upaya untuk mempertahankan komunitas ini sebagai komunitas
mandiri (Lubis, Sabarina, & Masril, 2019).

II.3.2. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Bencana


Tanggap Darurat (response) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan,
serta pemulihan prasarana dan sarana
Pada fase ini dilakukan berbagai Tindakan darurat untuk melindungi diri
sendiri, orang lain maupun harta benda. Dari sudut pandang pelayanan medis,
bencana lebih dipersempit lagi dengan membaginya menjadi “fase akut” dan “fase
sub akut”. Fase akut adalah 48 jam pertama setelah terjadinya bencana. Fase ini juga
dikenal sebagai fase penyelamatan dan pelayanan medis darurat Kegiatan yang
mungkin terjadi pada fase ini adalah intervensi medis darurat terhadap orang-orang
yang terluka akibat bencana. Sedangkan fase sub akut adalah fase setelah satu minggu
19

bencana terjadi. Fase ini juga dikenal sebagai fase penyelamatan. Kegiatan yang
terjadi pada fase ini, seperti perawatan terhadap korban luka serta pelayanan
Kesehatan lanjutan bagi korban pengungsian (Maria Diah Ciptaning Tyas, 2016).
Peran tenaga kesehatan pada fase ini, yaitu :
1) Bertindak cepat
2) Do not promise, tenaga kesehatan seharusnya tidak menjanjikan apapun
secara pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban
selamat
3) Berkonsentrasi penuh terhadap apa yang dilakukan
4) Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan untuk setiap kelompok yang
menanggulangi terjadinya bencana
5) Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan
sehari-hari
6) Tetap menyusun rencana prioritas asuhan ketenaga kesehatan harian
7) Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS
8) Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
9) Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus
bayi, peralatan kesehatan
10) Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular
maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan
lingkungannya.
11) Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas,
depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi
diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue,
mual muntah, dan kelemahan otot)
12) Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan
dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
13) Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog
dan psikiater
20

14) Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan


kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.

Kegiatan yang dapat dilaukan selama tahap tanggap darurat (Lismawaty et al.,
2019), yaitu:

1) Pengumpulan data pengungsi yang telah oleh pemerintah desa. Dalam


proses ini pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat
lainnya. Masyarakat bersedia dilatih untuk melakukan pendataan pengungsi.
2) Menentukan tugas dan tanggung jawab masing-masing organisasi atau pihak
yang terlibat (mis. Gereja, masjid, kelompok pemuda, dll.) selama tanggap
darurat.
3) Membuat mekanisme pencarian dan penyelamatan untuk organisasi korban,
terutama organisasi dari komunitas itu sendiri. Kegiatan ini dilakukan oleh
mereka yang berani saja. Jika tidak ada yang berani, tugas ini diserahkan
kepada tim BPBD atau SAR. Pelatihan perlu dilakukan untuk mereka yang
bersedia.
4) Mengorganisir dana sumbangan dengan baik. Pemberi sumbangan tidak
pernah terorganisasi dengan baik. Disarankan agar setiap desa memiliki
organisasi yang mengorganisir para pemberi sumbangan, mencari dan
membina hubungan dengan para pemberi sumbangan.
5) Persiapan peralatan P3K di pos evakuasi.
6) Pemerintah menyediakan tenaga medis, peralatan dan obat-obatan.
7) Perawatan berkala gratis di puskesmas dan rumah sakit rujukan. Ini
dilakukan oleh pemerintah.
8) Pemerintah menyediakan imunisasi dan vaksinasi untuk mencegah penyakit.
9) Tempat umum yang disediakan untuk menyediakan layanan media (radio,
TV), komunikasi (telepon), informasi (ekstensi, sosialisasi, pertemuan
komunitas).
10) Distribusi Bahan Bakar Minyak. Ini akan dikoordinasikan oleh kelompok
pemuda yang bekerja dengan pemerintah.
21

11) Penyediaan air bersih untuk mandi, minum, mencuci, memasak. Itu bisa dari
sungai, danau, sumur, dll. Ini dilakukan oleh kelompok pemuda yang
terlatih. Karena itu dibutuhkan pelatihan sebelum terjadinya bencana.
12) Penyediaan toilet yang memadai dengan jumlah pengungsi.
13) Siapkan dapur umum yang difasilitasi dengan peralatan dapur.
14) Persiapan kendaraan umum untuk mengangkut pengungsi ke lokasi
evakuasi.

II.3.3. Manajemen Penanggulangan Bencana pada Fase Pasca Bencana


Setelah fase bencana /tanggap darurat teratasi, fase berikutnya adalah fase
‘pasca bencana’. Manajemen penanggulangan bencana pada fase pasca bencana ini
dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase pemulihan/recovery dan fase rekonstruksi/
rehabilitasi (Maria Diah Ciptaning Tyas, 2016).
II.3.3.1. Fase Pemulihan
Fase pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya sendiri
dapat memulihkan fungsinya seperti sediakala (sebelum terjadi bencana). Orang-
orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah ke rumah sementara,
mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat
tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk
membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga mulai memberikan kembali
pelayanan secara normal serta mulai menyusun rencana-rencana untuk rekonstruksi
sambil terus memberikan bantuan kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga
hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi
normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa
peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang (S, Mahendra, & MRL.Batu, 2019;
Maria Diah Ciptaning Tyas, 2016).
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang
dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang
22

terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar
kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali (S et al., 2019; Maria
Diah Ciptaning Tyas, 2016). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:
1) Perbaikan lingkungan daerah bencana;
2) Perbaikan prasarana dan sarana umum;
3) Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4) Pemulihan sosial psikologis;
5) Pelayanan kesehatan;
6) Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7) Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
8) Pemulihan keamanan dan ketertiban;
9) Pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10) Pemulihan fungsi pelayanan publik

II.3.3.2. Fase Rekonstruksi


Tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan
prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu,
pada tahap ini dibutuhkan perencanaan yang telah dilakukan beberapa ahli dan sektor
terkait (S et al., 2019; Maria Diah Ciptaning Tyas, 2016). Peran tenaga kesehatan
pada fase rekonstruksi adalah:
1) Tenaga kesehatan memeberikan pelayanan Kesehatan kepada pasien post
traumatic stress disorder (PTSD)
2) Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerjasama dengan unsur lintas sector menangani masalah kesehatan
masyarakat pasca gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan
(Recovery) menuju keadaan sehat dan aman
Kegiatan yang dapat dilakukan selama tahap rekontruksi (Lismawaty et al.,
2019), yaitu:
1) Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
23

2) Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;


3) Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
4) Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih
baik dan tahan bencana;
5) Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha dan masyarakat;
6) Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7) Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau
8) Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Pasca bencana Erupsi Gunung Sinabung, pemerintah tidak mengizinkan warga


untuk kembali ke desa mereka. Pada fase ini pemerintah telah menetapkan kebijakan
untuk merelokasi warga ke hunian tetap yang telah disediakan pemerintah. Warga
harus merelakan harta bendanya musnah. Ada yang dikarenakan sudah tertimbun
lahar dingin, namun ada juga yang hilang karena dicuri pasca warga meninggalkan
desa. Pemerintah sebenarnya telah memberikan jaminan bahwa pemerintah melalui
TNI akan melakukan penjagaan terhadap harta benda mereka, akan tetapi pencurian
tetap terjadi (Lubis et al., 2019).

Ada beberapa upaya untuk yang telah dilakukan pada fase ini, yaitu adanya
intervensi untuk masalah psikologi melalui yang difasilitasi oleh Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara. Kegiatan-kegiatan sederhana seperti bermain dan
bernyanyi sedikit banyak telah membantu mengurangi efek ketakutan yang mereka
rasakan. Fokus utama dari kegiatan ini umumnya untuk anak-anak (Lubis et al.,
2019).

Upaya lain yang dilakukan melalui acara budaya seperti Goro-goro Aron. Goro-
goro aron merupakan acara budaya berisi nyanyian dan tarian dan biasanya dilakukan
semalaman. Kegiatan Goro-goro Aron ini bukan semata tari dan nyanyian, namun
merupakan kegiatan silaturahmi dengan warga. Dalam kegiatan ini warga saling
bertukar nyanyian, tarian, maupun canda. Dalam sejarahnya kegiatan kesenian ini
merupakan wujud syukur atas kecukupan rezeki yang diperoleh selama panen. Dalam
24

perkembangannya medium ini juga sering digunakan untuk menyampaikan pesan-


pesan pembangunan oleh pemerintah, bahkan kampanye politik (Lubis et al., 2019).
BAB III
ANALISIS KASUS KEJADIAN BENCANA

III.1. Kronologis Kejadian Bencana

Gunung Sinabung merupakan gunung berapi tipe B yang tidak aktif sejak tahun
1600 lalu meletus atau erupsi pada tahun 2010, 2013, 2015, 2016, 2018, 2019, 2020,
dan 2021 (Kusumayudha, Lestari, & Paripurno, 2018). Aktivitas vulkanik membuat
kategori Gunung Sinabung berubah menjadi tipe A (Pratiwi, Hidayat, & Widjaja,
2019). Pada 27 Agustus 2010 Gunung Sinabung tiba-tiba berasap dan menyemburkan
abu vulkanik. Lalu tanggal 29 Agustus, sekitar 00.15 pagi waktu setempat, lahar
keluar dan mengalir dari kawah gunung berapi. Letusan ini menyemburkan debu
vulkanik dan suara ledakan sudah dapat terdengar dari jarak 8 km. Oleh karena itu
Pusat Vulkanologi dan Bencana Geologi Mitigasi (CVGDM) menyatakan status
gunung berapi tersebut dalam status “waspada” (Kusumayudha dkk., 2018).

Letusan Sinabung tahun 2010 menyebabkan sekitar 12.000 orang yang tinggal
di sekitar gunung berapi dievakuasi. Saat itu sebagian besar abu vulkanik berhembus
oleh angin ke arah barat laut menyebabkan sebagian kota Medan tertutup abu.
Sinabung meletus tanpa ada tanda-tanda peringatan berarti. Terjadi letusan kembali
pada 3 September 2010, yang pertama pada pukul 04.45 gunung menyemburkan debu
vulkanik setinggi sekitar 3 km di atas kawah, sedangkan yang kedua terjadi pada
pukul 18.00, bertepatan dengan gempa yang dapat diidentifikasi dari radius 25 km di
sekitar gunung tersebut (Kusumayudha dkk., 2018)

Gunung Sinabung meletus kembali tiga tahun kemudian, tepatnya pada bulan
September 2013. Letusan terjadi beberapa kali pada bulan September. Gunung
menyemburkan debu vulkanik setinggi 5.000 meter di udara (A. Z. Siregar &
Husmiati, 2016). Tidak ada korban jiwa yang dilaporkan tetapi ribuan orang harus

25
26

dievakuasi. Status Gunung Sinabung meningkat dari level tiga menjadi level empat
(awas) (Tarigan & Maimunah, 2019).

Status awas masih bertahan sampai memasuki tahun 2014 dengan kejadian
gempa, letusan, dan semburan awan panas yang terus menerus (A. Z. Siregar &
Husmiati, 2016). Semburan debu vulkanik kali ini lebih dari 5.000 meter. Sebanyak
15 orang meninggal dan 2.053 keluarga atau 6.179 orang tinggal di pengungsian.
Lalu pada tahun 2015 terjadi letusan lebih dari 14 kali gempa / gempa vulkanik
dengan tinggi semburan abu berkisar antara 2000 sampai 3.000 meter. Terdapat
sekitar 3 juta meter kubik material vulkanik di puncak gunung berapi yang berpotensi
meluncur turun sebagai lahar dan menyebabkan sebanyak 200 orang harus dievakuasi
(Kusumayudha dkk., 2018).

Pada tahun 2016 Gunung Sinabung kembali meletus dengan magma, debu, dan
asap. Sebanyak tujuh orang meninggal dan dua orang mengalami luka bakar. Lalu
pada tahun 2017 letusan terjadi kembali dengan semburan vulkanik setinggi 3.600
meter (Tarigan & Maimunah, 2019). Aktivitas Gunung Sinabung kembali aktif pada
tahun 2018, dimana abu vulkanik setinggi 17 km pada bulan Februari dan 5 km pada
bulan April. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan terdapat
1 orang meninggal dan 7.255 orang dievakuasi ke tempat pengungsian (Huda &
Fardha, 2019).

Pada tahun 2019 letusan terjadi kembali, debu vulkanik tersembur setinggi 7
km. Erupsi disertai luncuran awan panas 3,5 km ke arah tenggara dan 3 km ke arah
selatan. Suara gemuruh dapat terdengar sampai ke pos pengamatan (Alamudi, 2020).
Rekaman seismograf mencatat pada tahun 2020 terjadi tiga kali gempa vulkanik
dalam dan tektonik jauh, serta dua kali gempa tektonik lokal. Masyarakat dihimbau
untuk tidak beraktivitas pada 3 km dari puncak gunung (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, 2020).

Aktivitas Gunung Sinabung sampai tahun 2021 masih terjadi. Pada bulan
Januari sampai awal Maret sudah terjadi 37 kali erupsi dengan semburan gas
27

berwarna putih dan kelabu di kawah puncak, tingginya sekitar 50-1.000 meter dari
puncak. Pada tanggal 2 Maret 2021, mulai pukul 06:42 WIB terjadi luncuran awan
panas dengan jarak 2.000 sampai 5.000 meter ke arah tenggara timur. Tingkat
aktivitas vulkanik pada tangal 2 maret 2021 dinilai masih pada level tiga (siaga)
(Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2021).

III.2. Dampak Kesehatan

Bencana erupsi Gunung Sinabung menimbulkan dampak primer dan dampak


sekunder. Keadaan kesehatan masyarakat merupakan dampak primer dari erupsi.
Terdapat beberapa penyakit yang muncul setelah erupsi seperti flu, Infeksi Saluran
Pernapasan (ISPA), myalgia, iritasi mata, gastritis, hipertensi, alergi, dan cepalgia.
Umumnya korban erupsi gunung Sinabung banyak yang mengalami flu, batuk, dan
sakit perut. Beberapa pengungsi mengalami hipertensi dan anak-anak dibawah lima
tahun banyak yang mengalami ISPA (Rahmawati & Sugiantoro, 2019).

Erupsi Gunung Sinabung juga mempengaruhi kualitas air di daerah Gunung


Sinabung. Masyarakat meminta untuk dilakukan pemeriksaan karena pada ember
penampungan air terdapat bekas kehitaman. Setelah dilakukan pemeriksaan
ditemukan kandungan Pb yang diambil dari sumber air. Keracunan Pb dapat
menyebabkan dampak bagi kesehatan seperti mual, lemas, sakit kepala, pusing, nyeri
otot, sakit perut, hipertensi, dan diare (Indirawati & Sembiring, 2020a).

III.3. Upaya Penanganan yang Dilakukan Pemerintah dan Non-Pemerintah

III.3.1.Upaya Penanganan yang Dilakukan Pemerintah


Gunung Sinabung yang terdapat di Kabupaten Karo, Sumatera Utara telah
kembali aktif sejak 11 tahun yang lalu. Sejak aktif kembali, Gunung Sinabung sering
mengeluarkan semburan awan panas dan abu sampai lontaran batu. Erupsi Gunung
Sinabung yang paling memilukan terjadi pada Januari 2014, dimana kejadian tersebut
28

menelan 14 korban Jiwa (Tempo, 2016). Aktivitas vulkanologi Gunung Sinabung di


Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut) mengalami kenaikan yang signifikan. Pada
hari Selasa, 2 Maret 2021, Gunung Sinabung mengalami erupsi yang mengeluarkan
awan panas dan debu vulkanik dengan jarak luncuran hingga 4.500 meter ke arah
tenggara dan terpantau tinggi kolom abu mencapai 5.000 meter (Andriansyah,
2021).

Proses evakuasi warga yang masih bertahan dalam radius 3km dari Gunung
Sinabung melibatkan beberapa instansi pemerintah, seperti BPBD, TNI, Polri,
Basarnas dan Relawan yang jumlahnya mencapai 170 personel. Untuk menunjang
proses evakuasi, tim evakuasi menggunalan kendaraan operasional, yaiyu 7 truk, 2
hagglund Brimob, empat ambulans dan 10 kendaraan Basarnas & BPBD. Pemerintah
juga menyediakan posko taktits di radius 5km yang berfungsi sebagai tempat tim
evakuasi bersiaga(Renny Febrin, 2015).

Pemerintah daerah setempat sudah merampungkan beberapa program dalam


upaya percepatan penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten
Karo pada tahun 2019 melalui sejumlah OrganisasiPerangkat Daerah (ODP) (BPBD
Sumatera Utara, 2019). Pada tahun 2016, Presiden Republik Indonesia telah membuat
keputusan untuk melakukan relokasi terhadap masyarakat Kabupaten Karo yang
terdampak erupsi Gunung Sinabung. Seluruh masyarakat yang tinggal di pengungsian
akan di relokasi ke hunian tetap yang terdapat di beberapa desa, daerah yang dinilai
aman untuk dijadikan tempat tinggal bagi masyarakat. Rincian rumah yang sudah
terbangun hingga awal tahun 2020, yakni Relokasi Tahap I sebanyak 473 unit yang
dibangun oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di tahun 2018, relokasi tahap II
sebanyak 1.521 unit di tahun 2018, tahap II lanjutan sebanyak 144 unit di tahun 2019,
dan relokasi tahap ke III sebanyak 170 unit di tahun 2019, sehingga total rumah yang
sudah terbangun mencapai 2.308 unit (BPBD Sumatera Utara, 2019).

Kemudian untuk pembangunan infrastuktur dasar, pemerintah akan membuat


Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
29

Komunal, Persampahan, Penerangan Jalan Lingkungan, dan Penataan Lingkungan


yang sedang dalam proses pengerjaan di tahun 2019 (BPBD Sumatera Utara, 2019).
Kemudian pada tahun 2020, Panglima Kodam (Pangdam) I/Bukit Barisan (BB)
membuat sarana fasilitas umum berupa sumur dan mandi, cuci kakus (MCK)untuk
memenuhi kebutuhan air bersih di 3 desa, yaitu Desa Guru Kinayan, Desa Kutarakyat
dan Desa Payung, Hal ini dilakukan karena air yang mengalir ke rumah warga
terhenti akibat dampak dari erupsi Gunung Sinabung (Pemerintah Daerah Kabupaten
Karo, 2020b)

Kepala Pusat data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional


Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati melaporkan, Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Karo telah melakukan upaya penanganan darurat merespons Gunung
Sinabung yang mengalami erupsi. Tim Reaksi Cepat BPBD setempat telah
mendirikan pos komando (posko) dan dapur umum untuk mengantisipasi pemenuhan
kebutuhan para penyintas. Selain pengaktifan posko dan dapur umum, BPBD
mengerahkan 6 unit mobil tangki air dan 1 unit water-canon. Mobil water-canon
dibutuhkan untuk membersihkan abu vulkanik erupsi Sinabung yang menutupi jalan
atau fasilitas umum tersebar di beberapa wilayah. Pemerintah daerah yang dipimpin
BPBD dan pihak terkait lain membagikan masker dan pendistribusian air bersih
(Efendi, 2020).

Melihat kondisi Gunung Sinabung saat ini, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) memberikan beberapa himbauan, yaitu:

a. Masyarakat maupun wisatawan dilarang beraktivitas di desa-desa dalam


radius 3km dari puncak, 4km di sektor timur-utara, 5km untuk sektor
selatan-timur.
b. Apabila terjadi hujan abu,masyarakat diimbau menggunakan masker saat
keluar rumah untuk mengurangi dampak gangguan kesehatan yang bisa
terjadi.
c. Terkait abu, masyarakat juga dihimbau mengamankan sarana air bersih,
seperti sumur, dan membersihkan atap rumah.
30

d. Jika abu terlalu tebal, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya bangunan


roboh.
e. Masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai yang berhulu di Sinabung
diimbau selalu waspada terhadap bahaya lahar (Efendi, 2020).

Pada Desember 2020 Kementerian Sosial telah memberikan bantuan kepada


masyarakat terdampak erupsi Gunung Sinabung berupa isi hunian tetap kepada 892
Kepala Keluarga. Selain itu, Kemensos, juga memberikan bantuan senilai Rp. 2,676
miliar yang diserahkan secara simbolis kepada lima perwakilan warga hunian tetap
Siosar. Bantuan yang diberikan oleh Kemensos ini menjadi bantuan terakhir yang
diberikan oleh Kemensos. Hal ini dikarenakan para masyarakat terdampak erupsi
sudah menetap di rumah dan dapat memulai untuk menjalankan suatu usaha (W. A.
Siregar, 2020).

Upaya penanggulangan Kesehatan yang telah dilakukan Kementerian


Kesehatan adalah pemberian bantuan obat-obatan, penyediaan tenaga Kesehatan dan
pos kesehatan, makanan pendamping ASI dan logistik Kesehatan. Selain itu
menyediakan tim Kesehatan Jiwa untuk memberikan pelayanan Kesehatan di pos
Kesehatan terkait masalah psikologi yang mungkin dialami masyarakat setempat
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Kemudian dalam upaya
pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan, tim gabungan Kemenkes yang
terdiri dari Pusat Penanggulangan Krisis dan Subdit Kesehatan Matra dan Balai
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKL PP) Kelas I Medan
bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Karo terus melakukan pemantauan kualitas
udara, air bersih dan air minum, sanitasi lingkungan dan penanggulangan vektor
melalui penyemprotan di pos penampungan pengungsi (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014). Dalam upaya menekan laju penyebaran virus corona,
pemerintah Kabupaten Karo telah menyediakan Posko Kesehatan yang tersebar di
seluruh desa dan kelurahan, Kabupaten Karo. Diselenggarakannya Posko Kesehatan
Covid-19 guna meningkatkan kedisiplinan masyarakat di tingkat kelurahan yang
mencangkup RT dan RW (Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, 2020a).
31

III.3.2.Upaya Penanganan yang Dilakukan Non-Pemerintah


Pemerintah sangat fokus pada penanganan bencana, terdapat banyak bantuan
yang diberikan kepada warga. Bantuan seperti sandang, pangan, obat-obatan, dirasa
sangat cukup. Makanan terjamin dengan kualitas yang baik. Bahkan berdasarkan
FGD yang dilakukan oleh Lubis et al., (2019) dengan masyarakat setempat,
didapatkan bahwa hidup mereka justru lebih enak di pengungsian daripada di lokasi
relokasi. Selama di pengungsian, banyak kelompok mahasiswa yang memberi
bantuan psikologis melalui kunjungan dan permainan untuk anak, bantuan
penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan, kunjungan dari televisi maupun orang-
orang terkenal.

Bantuan dari non-pemerintah juga telah diberikan melalui Palang Merah


Indonesia, Pramuka, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemanusiaan,
Sukarelawan dan juga penyumbang dari individu maupun perusahaan. Lembaga
nirlaba, Dompet Dhuafa juga memberikan bantuan kepada kepada masyarakat
terdampak erupsi gunung Sinabung berupa 1000 masker dan membantu masyarakat
untuk membersihkan masjid yang tertutup abu vulkanik (Nidya, 2020). Selain itu
BNI Syariah bersama dengan Yayasan Hasanah Titik (YHT), memberikan bantuan
paket sembako senilai Rp. 50 juta kepada korban erupsi Gunung Sinabung (Syariah,
2020). Bank Mandiri menyerahkan bantuan beasiswa kepada mahasiswa/I terdampak
erupsi gunung Sinabung senilai Rp. 560.000.000,00 yang diserahkan kepada Bupati
Karo Terkelin Brahmana, SH dan disaksikan langsung oleh dinas pendidikan Kab.
Karo, Para pejabat Bank Mandiri, penerima beasiswa serta perwakilan orangtua
penerima di Ruang Rapat Bupati Karo(Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, 2018).

Bantuan yang telah didistribusikan oleh Palang Merah Indonesia sejak 15


September 2013 hingga Juni 2015 meliputi masker 206.300 buah, selimut 1.140
helai, obat-obatan 588 kotak, kipas tangan 6.000 buah, sarung 2.590 helai, seng 6.500
lembar, kantong mayat 100 buah, tong air 28 buah, beras 215 karung, kelambu 290
buah, baby kit 100 buah, sayuran 9.300 kg, air mineral 2.000 kotak, terpaulin 200
32

lembar, tikar 250 lembar, dan hygin kit 250 kotak. Posko PMI di Kabanjahe juga
sudah mendistribusikan air bersih untuk bencana erupsi Gunung Sinabung dari
tanggal 22 September 2014 hingga 22 September 2015 sebanyak 6.291.500 liter ke
67 posko pengungsian yang tersebar di Kabupaten Karo (Renny Febrin, 2015).

III.4.Kajian Aspek Kesehatan Matra

III.4.1.Analisis (Rapid Health Assessment) pada Erupsi Gunung Sinabung


1. Merencanakan Kajian
Mempertimbangkan faktor waktu dan lokasi dalam merumuskan kajian
awal
a. Waktu : Erupsi Gunung Sinabung merupakan bencana alam yang
menimbulkan kegawatdaruratan maka RHA dilakukan sesegera
mungkin yaitu beberapa jam setelah peristiwa tersebut terjadi.
b. Lokasi : jalan yang menghubungkan tiap desa masih bisa digunakan
dengan baik. Daerah yang terkena bencana Erupsi Gunung Sinabung:
Mardinding, Kuta Gugung, Si Garang-Garang, Guru Kinayan, Kuta
Tengah, Tiga Pancur, Pintu Besi, Sukanalu, Berastepu, Jaraya,
Kutarayat.
2. Menyusun persiapan
Menentukan jenis informasi yang akan dikumpulkan
a) Informasi aspek medis: berapa puskesmas yang rusak, berapa obat-
obatan yang tersedia dan dibutuhkan, berapa tenaga medis yang
tersedia, dan lain-lain
b) Aspek epidemiologi: penyakit apa saja yang terjadi di daerah
bencana, daerah sekitar bencana, dan daerah yang menjadi lokasi
pengungsian
c) Aspek sanitasi atau lingkungan: sanitasi di lingkungan pengungsian,
ada tidaknya air bersih, tempat sampah, kamar mandi, dan lain-lain.
33

1) Berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, seperti Petugas


puskesmas, Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, Dinas Perdagangan
dan Perindustrian, Dinas Sosial, Pemerintah Daerah, Dinas
Kebersihan, PLN, PDAM, dan pihak lain yang terkait.
2) Anggota tim berasal dari multidisiplin, yakni Medis, paramedis, Ahli
kesehatan masyarakat dan epidemiologi, nutrisi, logistik, dan
kesehatan lingkungan.
3) Mengidentifikasi ketua tim dan mendelegasikan tugas, dimana
pemimpin harus memiliki rasa kepemimpinan yang tinggi dan
tanggung jawab.
4) Melaksanakan kegiatan penunjang
Kepastian keamanan dalam kondisi darurat, menyusun transportasi
yang dibutuhkan sesuai keadaan lokasi bencana, menjamin keamanan
anggota tim dari berbagai ancaman seperti kejahatan, terserang infeksi,
wabah penyakit dan lain-lain
1. Mengarahkan Kajian
a. Mengumpulkan Data.
1) Data karakteristik geografi
Kabupaten Karo berada di antara 2o50`- 3o19` Lintang Utara dan
97o551-98o38` Bujur Timur dengan luas 2.127,25 km2 atau 2,97 persen
dari luas Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo terletak pada
jajaran Bukit Barisan dan sebagian besar wilayahnya merupakan
dataran tinggi.
Luas wilayah 2.127,25 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih
415.878 jiwa tahun 2019. Kabupaten ini berlokasi di dataran tinggi
Karo, Bukit Barisan Sumatera Utara. Terletak sejauh 77 km dari kota
Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Wilayah Kabupaten Karo
terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 sampai 1.400
meter di atas permukaan laut. Kabupaten ini mempunyai iklim yang
34

sejuk dengan suhu berkisar antara 16 sampai 17° C. Batas-batas


wilayah administratif Kabupaten Karo sebagai berikut:
a) Utara : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang;
b) Selatan : Kabupaten Dairi dan Kabuapten Toba Samosir;
c) Barat : Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d) Timur : Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun.
2) Data Fasilitas Umum (inspeksi visual)
a) Sarana jalan yang menghubungkan setiap desa masih bisa
digunakan dengan baik.
b) Aliran listrik dan telepon terputus sama sekali
c) Beberapa PAM tercemar
d) Beberapa sumber mata air bersih tercemar.
3) Data Fasilitas Kesehatan (inspeksi visual)
Jumlah fasilitas kesehatan yang terdapat di Kabupaten Karo
berdasarkan data tahun 2014 terdapat sekitar 422 Unit, yang terdiri 6
unit Rumah Sakit Umum, 19 Unit Pukesmas Rawat Jalan, 258 Unit
Puskesmas Pembantu, 23 Unit Rumah Bersalin, 93 Unit Balai
Pengobatan Umum (BPU) dan 23 Unit Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) yang telah tersebar di 19 (Sembilan belas kecamatan),
disamping itu di Kabupaten karo juga terdapat sebanyak 401 unit Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu). Fasilitas kesehatan terbanyak terdapat
di Kecamatan Berastagi, yaitu sebanyak 60 Unit. Sedangkan fasilitas
kesehatan terkecil terdapat di Kecamatan Dolat Rayat, yaitu hanya
mempunyai sebanyak 7 Unit fasilitas kesehatan. Untuk Lebih jelasnya
lihat tabel berikut:

Tabel 1. Jumlah Fasilitas Kesehatan

N Kecamatan Ruma Puskesmas Pustu Rumah BP Poskesdes Jumlah


o h Sakit Rawat Rawat Bersali U
35

Inap jalan
Umum n
1 Mardingding - - 1 8 - 5 1 15

2 Laubaleng - - 1 15 - 8 - 24

3 Tigabinanga - - 1 25 - 6 1 33

4 Juhar - - 1 11 - 3 - 15

5 Munte - 1 34 - 2 - 37

6 Kutabuluh - - 1 10 1 2 - 14

7 Payung - - 1 6 - - - 7

8 Tiganderket - - 1 11 - 1 - 13

Simpangempa - - 1 11 - 1 2 15
9
t

10 Naman teran - - 1 14 - 2 5 22

11 Merdeka - - 1 4 - 1 3 9

12 Kabanjahe 4 - 1 25 8 17 - 55

13 Berastagi 2 - 2 21 9 23 3 60

14 Tigapanah - - 2 19 2 8 6 37
15 Dolat Rayat - - 1 3 1 1 - 6
16 Merek - - 1 11 2 5 - 19
17 Barusjahe - - 1 30 - 8 2 41
Jumlah 6 - 19 258 23 93 23 422
Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Karo

Pada zona ancaman bahaya letusan gunung Sinabung, fasilitas


kesehatan seperti puskesmas, puskesmas pembantu dan poskesdes
banyak mengalami kerusakan.
36

Pada tahun 2016 ketersediaan rumah sakit di Kabupaten Karo terdapat


sebanyak 5 rumah sakit yaitu 3 rumah sakit di Kecamatan Kabanjahe
dan 2 buah di Kecamatan Berastagi serta pada kecamatan lainnya
tersedia sarana kesehatan berupa puskesmas ada sebanyak 19
puskesmas dan 321 puskesmas pembantu, 53 balai pengobatan umum
dan 447 posyandu. Ketersediaan sumber daya manusia menjadi faktor
pendukung dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Untuk
mendukung hal tersebut pemerintah telah menyediakan tenaga
kesehatan yang menyebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Karo.
Adapun jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa yaitu Dokter
Umum ada sebanyak 65 orang dan dokter gigi sebanyak 17 orang,
Bidan PTT ada sebanyak 313 orang dan Bidan di Desa sebanyak 232
orang (BUPATI KARO, 2019)

Tabel 2. Jumlah Tenaga Medis


37

4) Data fasilitas Pendidikan


Aset pendidikan yang berada di zona ancaman pada tahun 2019,
terdapat beberapa bangunan pendidikan umum yang terdampak seperti
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolan Menengah Atas,
Sekolah Menengah Kejuruan, TK hingga PAUD.
b. Menganalisa Data
1) Kebutuhan sumber daya Kesehatan
Tim Penanggulangan Krisis, meliputi Tim Gerak Cepat, Tim Penilaian
Cepat Kesehatan (Tim RHA) dan Tim Bantuan Kesehatan
2) Kebutuhan Korban Pengungsian
3) Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui beberapa
kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh pengungsi di tiap posko
penampungan sebagai berikut:
38

Tabel 3. Kebutuhan Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung

Air Bersih
Sarana MCK
Tikar
Selimut
Air Bersih

Pakaian Anak
Perempuan
Kebutuhan
Pampers
Popok

Makanan Bayi
Susu
Bantuan segera
yang dibutuhkan

&

&
Mardinding √ - √ √ √ √ √ √ √
Kuta Gugung √ √ √ √ √ √ √ √ √
Si Garang-Garang √ - √ √ √ √ √ √ √
Guru Kinayan √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kuta Tengah √ - √ √ - √ √ √ √
Tiga Pancur √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pintu Besi &
√ √ √ √ √ √ √ √ √
Suka Nalu
Beras Tepu √ √ √ √ - √ √ √ √
Jeraya √ - √ √ - √ √ √ √
Kuta rayat √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sumber: Badan Statistik Kabupaten Karo

4) Kebutuhan obat-obatan dan alat kesehatan


Jenis penyakit akibat dampak Erupsi Gunung Sinabung antara
ISPA,Diare, pneunomia, dll. Secara garis besar obat perbekalan dan
alat kesehatan yang dibutuhkan ialah :
- Kantong mayat - Tandu/ stretcher
- Kasa elastic perban - Kasa elastic
- Alkohol 70% - Tabung oksigen
- Resusitasi kit - Emergency kit
39

- Collar neck - Long spine borad


- Handscoen - Masker\
- Minor surgery set - Pov. Iodine 10%
- H2O2 Sol - Ethyl Chlorida Spray
- Jarum jahit - Catgut chromic
- Oralit
5) Kebutuhan penampungan korban bencana Erupsi Gunung Sinabung
a) Berukuran 3 (tiga) meter persegi per orang
b) Memiliki persyaratan keamanan dan kesehatan
c) Memiliki aksesibititas terhadap fasilitas umum
d) Menjamin privasi antar jenis kelamin dan berbagai kelompok usia
6) Kebutuhan Pangan
a) Bahan makanan berupa beras 400 gram per orang per hari atau
bahan makanan pokok lainnya dan bahan lauk pauk
b) Makanan yang disediakan dapur umum berupa makanan siap saji
sebanyak 2 kali makan dalam sehari
c) Besarnya bantuan makanan (poin a dan b) setara dengan 2.100 kilo
kalori (kcal)
d) Pangan Untuk balita sebagai makanan pendamping ASI
7) Kebutuhan sandang
Kebutuhan sandang disesuaikan dengan jenis kelamin dan umur yang
ada di tempat pengungsian. 
8) Kebutuhan air bersih dan sanitasi
a) Standar air bersih:
(1) Bantuan air bersih diberikan sejumlah 7 liter pada tiga hari
pertama, selanjutnya 15 liter per-orang per hari
(2) Jarak terjauh tempat penampungan sementara dengan jamban
keluarga adalah 50 meter
(3) Jarak terjauh sumber air dari tempat penampungan sementara
dengan titik air terdekat adalah 500 meter
40

b) Standar air minum: 


(1) Bantuan air minum diberikan sejumlah 2.5 liter per orang per-
hari
(2) Rasa air minum dapat diterima dan kualitasnya cukup memadai
untuk diminum tanpa menyebabkan risiko kesehatan
(3) Standar minimal bantuan sanitasi:
(4) Sebuah tempat sampah berukuran 100 liter untuk 10 keluarga,
atau barang lain dengan jumlah yang setara.
(5) Penyemprotan vektor dilakukan sesuai kebutuhan.
(6) 1 jamban keluarga digunakan maksimal untuk 20 orang.
(7) Jarak jamban keluarga dan penampung kotoran sekurang-
kurangnya 30 meter dari sumber air bawah tanah.
(8) Dasar penampung kotoran sedekat-dekatnya 1,5 meter di atas
air tanah. Pembuangan limbah cair dari jamban keluarga tidak
merembes ke sumber air manapun, baik sumur maupun mata
air lainnya, sungai, dan sebagainya.
(9) Satu (1) tempat yang dipergunakan untuk mencuci pakaian dan
peralatan rumah tangga, paling banyak dipakai untuk 100 orang
c. Melakukan Sintesa dan Menarik Kesimpulan
1) Data Kondisi Fasilitas Umum dan lingkungan serta Jumlah Penduduk
yang menjadi korban Erupsi Gunung Sinabung
Kerusakan yang diakibatkan oleh letusan gunung Sinabung
berdampak pada sektor permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi,
kesehatan, lintas sektor yang mengakibatkan terganggunya aktivitas
dan layanan umum di Kabupaten Karo, namun kerusakan ini lebih
banyak terjadi saat letusan pertama Gunung Sinabung yaitu Tahun
2010.
Gunung Sinabung (2.460 m dpl) terletak di Dataran Tinggi
Karo, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Setelah
400 tahun dalam keadaan stabil (semenjak tahun 1605), Gunung
41

Sinabung akhirnya aktif kembali pada tahun 1975 -1976 dengan


erupsi-erupsi kecil. Erupsi besar terjadi pada tanggal 29 Agustus 2010
dimana status Gunung Sinabung naik menjadi tingkat IV Awas (level
IV) dan mengakibatkan 12.000 jiwa menggungsi. Sejak tanggal 23
September 2010 statusnya diturunkan menjadi Siaga (level III), dan
kembali diturunkan menjadi Waspada (level II) pada tanggal 7
Oktober 2010. Setelah itu tidak terjadi peningkatan aktivitas selama
beberapa hari sehingga pada tanggal 29 September 2013 status di
turunkan menjadi level 2 waspada. Mulai tanggal 4 Januari 2014
terjadi rentetan kegempaan, latusan, dan luncuran awan panas terus
menerus sampai hari berikutnya.
Hal ini memaksa tambahan warga yang mengungsi akibat
ketakutan, hingga pengungsi melebihi 20 ribu orang. Pada minggu
terakhir Januari 2014 kondisi Gunung Sinabung mulai stabil dan
direncanakan pengungsi yang berasal diluar radius bahaya (5 km)
dapat dipulangkan. Status gunung diturunkan menjadi Siaga. Namun
aktivitas Gunung Sinabung tidak juga berhenti dan terus mengalami
peningkatan hingga terakhir tercatat peningkatan status dari Siaga
(level 3) menjadi Awas (level 4) sejak Selasa 2 Juni 2015 pukul 23.00
WIB. Status awas ini bertahan saat ini. Status Awas ini diprediksikan
akan memakan waktu yang lama dan dapat mencapai 5 tahun hingga
aktivitas Gunung Sinabung kembali menjadi normal. Hingga saat ini,
dampak erupsi secara pasti juga sulit dihitung karena erupsi masih
berlangsung.
Meletusnya Gunung Sinabung memberikan dampak besar pada
beberapa aspek kehidupan masyarakat khususnya yang berada di
sekitar gunung tersebut. Masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung
Sinabung kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian berupa gagal
panen, tanah terkontaminasi belerang, yang jumlah kerugiannya belum
bisa ditaksir hingga sekarang ini. Banyak masyarakat gagal panen
42

karena tanaman mereka rusak akibat tertutup debu vulkanik, belum


lagi lahar dingin yang juga merusak tanaman dan sumber-sumber air,
serta memutuskan jalan dan jembatan desa. Rusaknya pemukiman dan
tempat tinggal masyarakat yang tinggal di kawasan Gunung Sinabung
membuat warga harus tinggal di posko-posko pengungsian. Kondisi
pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Tanah Karo,
Sumatera Utara, masih ada yang memprihatinkan. Lokasi pengungsian
yang disediakan pemerintah tidak membuat nyaman buat pengungsi.
Pengungsi yang berada di dalam gedung saling himpit-himpitan.
Kondisi ini membuat udara di dalam gedung tidak sehat. Bahkan
sampah di lokasi pengungsian banyak berserakan. Pemerintah telah
berupaya meningkatkan jumlah dan mutu bantuan yang akan di
berikan kepada pengungsi korban erupsi sinabung, baik itu bantuan
berupa selimut, pakaian, dan obat-obatan serta alat-alat kebersihan.
Pemantauan Gunung Sinabung, menyampaikan tiga erupsi
terjadi pada tanggal 2 Desember 2017 dalam kurun waktu 20 menit.
Erupsi pertama terjadi pukul 07.40 WIB dengan tinggi kolom abu
2.500 meter, dan disertai guguran awan panas sejauh 3.000 meter serta
angin ke arah selatan. Erupsi juga menimbulkan gempa selama 357
detik. Erupsi kedua terjadi sekitar Pukul 07.48 WIB dengan tinggi
kolom abu 1.300 meter dan lama gempa 707 detik, serta angin lemah
ke arah timur laut. Kemudian erupsi ketiga terjadi sekitar Pukul 08.00
WIB, dengan kembali menyemburkan abu vulkanik setinggi 1.800
meter. Untuk yang ketiga, lama gempa 379 detik dan angin lemah ke
arah timur laut.
2) Peta Posko Lokasi Bencana
43

Gambar 1. Lokasi Posko Bencana Erupsi Gunung Sinabung

d. Penyajian data dan Rekomendasi


1) Pelayanan kesehatan, termasuk rujukan
Pelayanan kesehatan dilakukan di setiap desa, baik mendirikan
posko kesehatan maupun memanfaatkan puskesmas yang masih dapat
difungsikan dengan baik. Jika dalam penanganan medis pada tingkat
posko maupun puskesmas tidak dapat dilakukan, maka korban Erupsi
Gunung Sinabung dapat dirujuk ke rumah sakit Kabupaten Setempat
atau ke rumah sakit pusat provinsi Sumatera Utara
2) Penyakit yang perlu diwaspadai
Dari hasil pemantauan terdapat 5 (lima) penyakit terbanyak
yang diderita pengungs yaitui flu, Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA),
myalgia, iritasi mata, gastritis, hipertensi, alergi, dan cepalgia.
Pengawasan
Dari rekomendasi untuk tindak lanjut yang mendesak harus
segera dilakukan seperti kebutuhan makanan, air bersih, perawatan
kesehatan, sanitasi, pengelompokan golongan yang jelas (Lansia, Ibu
44

Hamil, Anak-anak, dll)serta melakukan distribusi yang adil dan merata


kepada semua posko pengungsian.
Setelah dilakukan RHA perlu adanya monitoring apakah
sudah sesuaikah pengumpulan data sesaat setelah bencana terjadi
dengan rekomendasi yang diberikan dan fakta yang terjadi di lapangan.
Selajutnya Perlu adanya koordinasi antar beberapa pihak yang terkait
untuk penanggulangan bencana yang terjadi agar tidak menimbulkan
masalah kesehatan yang berkepanjangan.

III.4.2.Penanganan Awal Erupsi Gunung Sinabung


Erupsi gunung sinabung telah terjadi sejak tahun 2010 dan selama 11 tahun
terakhir nyaris tidak pernah absen. Pada saat erupsi, gunung sinabung akan
mengeluarkan awan panas dan abu vulkanik dalam jumlah yang besar sehingga dapat
membahayakan masyarakat sekitar. Ribuan warga kabupaten karo mengalami
dampak langsung dari letusan gunung berapi. Letusan tahun 2010 menyebabkan
terjadinya mobilisasi pengungsi sejumlah 12.000 jiwa, dan kemudian meningkat pada
letusan tahun 2013 mencapai jumlah terbanyak yaitu 15.691 jiwa yang tersebar di 24
titik pengungsian (Retnaningsih, 2013). Jumlah tersebut kemudian berangsur-angsur
berkurang yang menyisakan 7.266 jiwa yang tersebar di beberapa titik pengungsian
pada tahun 2017 (Pratiwi et al., 2019). Adapun posko pengungsian yang terdapat di
wilayah ini yaitu posko yaitu Posko Utama/Media Center, KNPI Kab. Karo, Paroki
Kabanjahe Jambur Sempakata, Klasis GBKP, GBKP Kota (Serbaguna), KWK
Berastagi (Perempuan), Klasis Berastagi (laki-laki), Mesjid Istikar Berastagi, Masjid
Agung, Sentrum (PPWG Kabanjahe), GBKP SIMP VI, Posko Pengamatan, Posko
Relawan Nusantara, Kisel Telkomsel. Sebagai bentuk penanganan awal terhadap
korban erupsi gunung Sinabung, korban akan dievakuasi dan ditempatkan di posko-
posko pengungsian.

Dalam proses Evakuasi, PVMBG telah memetakan potensi bahaya yang


mungkin terjadi dengan kawasan rawan bencana Gunung api Sinabung. Tiga tingkat
45

kerawanan dari rendah ke tinggi, yaitu Kawasan Rawan Bencana (KRB) I, KRB II,
dan KRB III (BNPB, 2013). KRB III merupakan kawasan dengan potensi bahaya
paling tinggi, yaitu terlanda awan panas, aliran, dan guguran lava, lontara batu (pijar),
hujan abu lebat dan gas beracun. KRB ini masih terbagi menjadi dua bagian yaitu (a)
Kawasan rawan bencana terhadap aliran massa (awan panas, aliran, dan guguran
lava), dan gas beracun, (b) kawasan rawan bencana terhadap material lontaran batu
(pijar) dan jatuhan hujan abu lebat. Sementara itu, KRB II, kawasan yang berpotensi
terlanda awan panas, aliran lava, guguran lava, lontaran batu (pijar) dan hujan abu
lebat. Kawasan ini juga dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (a) kawasan rawan
bencana terhadap aliran massa (awan panas, aliran dan guguran lava), (b) kawasan
rawan bencana terhadap material lontaral batu (pijar) dan hujan abu lebat. KRB I
merupakan kawasan yang berpotensi terlanda lahar dan hujan abu. Menurut PVMBG,
apabila letusan membesar, kawasan ini mungkin berpotensi terlanda lontaran batu
(pijar) berdiamter lebih kecil dari 2 cm.Rute Evakuasi Erupsi Sinabung

1. Rute Evakuasi Skenario 1


Evakuasi skenario 1 menuju titik akhir lapangan. Kondisi ini bertujuan
mencari tempat aman yang berada di luar zona antisipasi. Estimasi waktu
tempuh rute evakuasi diketahui dengan asumsi kondisi jalan beraspal dan
lebar rata-rata 4m. Dengan kondisi tersebut diperkirakan kecepatan
kendaraan roda empat sekitar 30km/jam. Jumlah penduduk yang dievakuasi
di setiap area diestimasi berdasarkan luas pemukiman terdampak dan data
kepadatan penduduk. Rute evakuasi skenario 1 memiliki waktu tempuh yang
lamadan jarak tempuh yang panjang. Pada bagian barat daya memiliki
jumlah pengungsi terbesar dibandingkan dengan ketiga bagian jalur evakuasi
lainnya. Bagian barat daya terletak pada Kecamatan Payung yang terletak
pada zona KRB II. Rute evakuasi bagian barat daya menempuh jarak 8,2 km
dengan estimasi waktu tempuh 16,4 menit. Di bagian utara memiliki jumlah
pengungsi paling sedikit. Secara geografi bagian utara memiliki jarak
terdekat dengan pusat letusan dan terletak pada zona KRB II dan III. Rute
46

bagian utara menempuh jarak 11 km dengan estimasi waktu tempuh 22


menit. Rute bagian timur menempuh 8,9 km dimana jarak tersebut
merupakan jarak terdekat dibandingkan dengan bagian barat daya dan bagian
utara. Jarak tersebut dapat dicapai dengan estimasi waktu tempuh 17,8 menit
(Habibie, Handiani, & Surmayadi, 2019).

Gambar 2. Rute Evakuasi

2. Rute Evakuasi Skenario 2


Skenario 2 dibuat dengan mempertimbangkan bahwa pada skenario 1 terjadi
kemacetan dan keramaian sehingga harus dicarikan alternatif tempat
pengungsian sementara yang aman dan terletak diluar zona antisipasi. Titik
tujuan evakuasi pada skenario 2 ialah assembly point. Titik assembly point
ini diharapkan menjadi alternatif agar waktu tempuh evakuasi menjadi lebih
cepat. Pada skenario 2 diasumsikan kecepatan kendaraan roda empat sebesar
30 km/jam sama seperti pada skenario 1. Rute di bagian barat daya
menempuh jarak 7,4 km dengan estimasi waktu tempuh 14,8 menit. Di
bagian utara menempuh jarak 7,1 km dengan estimasi waktu tempuh 14,2
menit. Sedangkan, rute bagian timur menempuh 6,8 km dan dicapai dengan
estimasi waktu tempuh 13,6 menit. Masing-masing selisih waktu di setiap
47

rutenya adalah bagian barat daya memiliki selisih 1,6 menit, utara selisih 7,8
menit, dan timur memiliki selisih 4,2 menit. Pada skenario 2 ini selisih
waktu yang terjadi dengan skenario 1 tidak terlalu signifikan dikarenakan
jarak antara pemukiman terdampak awan panas dengan lokasi yang aman
memiliki jarak yang cukup jauh, sehingga menyebabkan lamanya waktu
tempuh (Habibie et al., 2019).
3. Rute darurat erupsi sinabung
Rute darurat dikhususkan untuk mobilisasi korban bencana awan panas yang
membutuhkan rumah sakit terdekat. Dalam hal ini rumah sakit terdekat dari
ketiga bagian pemukiman terdampak berada pada Kecamatan Berastagi dan
Kaban Jahe. Kabupaten Karo memiliki lima rumah sakit yaitu: Rumah Sakit
Flora, RS. Efarina Etaham, RSUD Kaban Jahe, RSU Ester Kaban Jahe, Rs
Kusta Lao Simono. Kelima rumah sakit tersebut terletak di Kecamatan
Berastagi dan Kaban Jahe. Estimasi yang sama dengan penentuan rute
evakuasi terdekat digunakan dalam menghitung estimasi waktu untuk
mencapai rumah sakit. Asumsi tersebut adalah kecepatan mobilisasi roda
empat sebesar 30 km/jam sesuai kondisi jalan aspal dan lebar rata-rata 4 m.
Bagian barat daya, rute darurat menuju RS. Lao Simono berjarak 15,2 km
dan estimasi waktu 30,4 menit. Rumah Sakit Lao Simono terletak di Kec.
Kaban Jahe. Bagian utara, jalur darurat menuju RS. Efarina Etaham dengan
jarak tempuh 24,8 km dan waktu tempuh 49,6 menit. Rumah Sakit Efarina
Etaham terletak di Kec. Kaban Jahe. Bagian timur memiliki jarak terjauh
menuju rumah sakit, dibandingkan bagian barat daya dan timur. Bagian
timur, rute darurat menuju RS. Kaban Jahe berjarak 14,6 km dengan waktu
tempuh 29,8 menit. Rumah Sakit Kaban Jahe terletak pada Kec. Kaban Jahe
(Habibie et al., 2019)
48

Gambar 3. Rute Darurat

Pemerintah kabupaten Karo selalu menghimbau warganya untuk tidak


berkeliaran di area rawan dan selalu menggunkan masker. TRC BPBD
setempat juga mendirikan pos komando dan dapur umum untuk
mengantisipasi pemenuhan kebutuhan penyintas. Untuk membersihkan Abu
vulkanik di jalan, BPBD mengerahkan 6 unit mobil tanki air dan 1 water
canon. Pemerintah juga membagikan masker dan mendistribusikan air bersih
(Yanuarto, 2020).

III.4.3.Penanganan Lanjutan
Hospital disaster plan
Rumah sakit Kabanjahe sudah memiliki tim penanggulangan bencana,
namun berdasarkan SK, tim tersebut masih terkhusus untuk penanganan
bencana Gunung Sinabung saja. Berdasarkan hasil wawancara, hampir semua
informan mengetahui bahwa rumah sakit sudah memiliki tim penanggulangan
bencana. Pembentukan tim penanggulangan bencana ini dilakukan setelah
bencana erupsi Gunung Sinabung terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa
49

manajemen hanya terfokus pada fase bencana dan paska bencana. Tim
penanggulangan rumah sakit Kabanjahe masih sebatas dibentuk dan belum
memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing yang jelas, sehingga
penanganan korban bencana hanya dilakukan dengan menggunakan SOP rutin
yang sudah ada. Secara tertulis belum ada subjek yang disepakati menjadi
komandoketika terjadi bencana di RSU Kabanjahe, sehingga belum jelas
kepada siapa alur penyampaian informasi dan pengambilan keputusan ketika
terjadi bencana. Rumah sakit Kabanjahe telah membetuk tim penanggulangan
bencana, namun tim tersebut masih khusus untuk penanganan bencana alam
Gunung Sinabung saja, tidak untuk bencana secara umum. Informan
mengatakan bahwa pembentukan tim bencana Gunung Sinabung karena
bencana tersebut yang masih terus terjadi dan masih kurangnya pengetahuan
pihak rumah sakit tentang tim penanggulangan bencana.  (Prima & Meliala,
2017)
Kerjasama rumah sakit dengan pihak eksternal seperti kepolisian, TNI,
BNPB dan BPBD hanya berjalan dengan spontanitas tanpa ada nota
kesepahaman Memorandum of Understanding (MoU). Kerjasama antar    
instansi ini sangat diperlukan untuk penanganan primer ketika terjadi bencana.
Rumah sakit beserta pihak-pihak seperti TNI, Polisi, BNPB, BPBD beserta
masyarakat harus mengambil inisiatif awal ataupun selama dan setelah
bencana terjadi. Ketergantungan bantuan dari luar daerah menyebabkan
harapan hampa akibat tidak dapat langsung datang saat itu juga.

Membangun Komunitas Berdaya Tahan/Building Resilient Communities


(BRC) dan Rumah Sakit Berdaya Tahan
MERCY Malaysia membentuk program khusus dalam pengurangan
risiko bencana, yaitu program Membangun Komunitas Berdaya
Tahan/Building Resilient Communities (BRC). Dalam membangun budaya
masyarakat berdaya tahan, adalah tidak mencukupi jika hanya beberapa
50

organisasi masyarakat sipil, LSM atau NGO dan wakil dari pemerintah saja
yang bertindak.
Konsep rumah sakit berdaya tahan yang dibahas di program BRC ini
merupakan merupakan kombinasi dari kemampuan antara rumah sakit dan
sumber daya manusianya yang siap dan responsif untuk memenuhi tekanan
saat bencana dan dapat kembali pulih dalam waktu yang tepat. Model rumah
sakit berdaya tahan yang pernah dikembangkan oleh MERCY Malaysia di
Kepulauan Nias, Sumatera Utara, Indonesia telah dibahas dan digunakan
sebagai kerangka kerja formulasi perencanaan desain rumah sakit.
Kemampuan rumah sakit tersebut untuk menyediakan akses yang berbeda
khusus untuk menerima kunjungan korban bencana yang membutuhkan
tindakan dan perawatan kesehatan turut dibahas. Bagi pasien kritis (K1) yang
harus dioperasi segera akan langsung di kirim ke dewan bedah dari pusat
triase 1 (CPRC). Bagi pasien K2 dan K3, proses observasi akan di lakukan
dan akan mendapatkan perawatan di zona 2 dan 3. Bagi jenazah akan dikirim
langsung ke zona 4. Konsep rumah sakit berdaya tahan yang dapat
bertransformasi saat kondisi normal ke saat darurat penting untuk dipahami
dan didiskusikan dengan kemungkinan dampak bencana yang akan dihadapi
untuk menghindari suasana yang tak terduga oleh pihak rumah sakit.
51

Gambar 4. Rumah Sakit Lapangan


52

Tabel 4. Kelengkapan fasilitas dan peralatan pada masa bencana erupsi Gunung
Sinabung
53

Tabel 5.Tata laksana kegiatan Kesehatan saat terjadi bencana erupsi Gunung
Sinabung

III.4.4.Manajemen Pengungsi
Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara mengalami peningkatan
aktivitas yang signifikan dengan meluncurkan awan panas dan guguran pada hari
selasa, 2 Maret 2021. Petugas pos pemantau Gunung Sinabung, Armen Putra
mengatakan telah terjadi erupsi dan awan panas guguran 13 kali jarak luncur awan
panas 2km – 5km (Indonesia, 2021).

Akibat dari kejadian ini, sebanyak 17 desa di Kecamatan Tiganderket


terdampak abu vulkanis. BPBD Karo segera berkoordinasi dengan TNI-Polri dan
54

pemadam kebakaran untuk segera melakukan penyiraman terhadap desa yang


terpapar abu vulkanis.Masyarakat juga dihimbau untuk tidak melakukan kegiatan
pada lokasi sekitar Gunung Sinabung (Indonesia, 2021).

a. Air Bersih
Erupsi Gunung Sinabung mengakibatkan masyarakat Kabupaten Karo
mengalami kesulitan air bersih untuk memenuhi kegiatan sehari-hari seperti
mencuci, cuci piring dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh kondisi air yang
sudah tercemar oleh abu vulkanis, sehingga membuat air tersebut menjadi
keruh. Masyarakat juga mengeluhkan kondisi air yang meninggalkan
endapan hitam pada tempat penyimpanan air sementara (Syapitri &
Hutajulu, 2018).
Namun untuk mengatasi kejadian tersebut masyarakat membuat
penyaringan air dengan menggunakan pasir, ijuk dan kerikil, kemudian di
endapkan dan disaring dengan menggunakan kain (Indirawati & Sembiring,
2020b; Syapitri & Hutajulu, 2018). Setelah dilakukan penelitian, didapatkan
bahwa konsentrasi Pb pada sumber air, berada diatas batas yang di
perkenankan (Permenkes No. 416/MENKES/PER/1990 tentang Persyaratan
Kualitas Air Bersih) yaitu, berada pada rentang 0,17 – 0,9 mg/L. Sedangkan
batas yang diperkenankan oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun
1990 Tentang Syarat-syarat dan Kualitas air yaitu 0.05 mg/L (Indirawati &
Sembiring, 2020b).
Saat ini pemerintah telah menyediakan enam mobil tangki air untuk
kebutuhan minum dan memasak para warga.Pemerintah juga membuat
Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) Komunal, Persampahan, Penerangan Jalan Lingkungan, dan
Penataan Lingkungan(BPBD Sumatera Utara, 2019).
Kemudian pada tahun 2020, Panglima Kodam (Pangdam) I/Bukit
Barisan (BB) membuat sarana fasilitas umum berupa sumur dan mandi, cuci
kakus (MCK) untuk memenuhi kebutuhan air bersih di 3 desa, yaitu Desa
55

Guru Kinayan, Desa Kutarakyat dan Desa Payung, Hal ini dilakukan karena
air yang mengalir ke rumah warga terhenti akibat dampak dari erupsi
Gunung Sinabung (Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, 2020b)

b. Dapur Umum
Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Karo juga telah menyediakan pos
komando (posko) dan dapur umum untuk memenuhi kebutuhan pangan para
masyarakat yang terdampak erupsi Gunung Sinabung. Pemenuhan
kebutuhan pengungsi khususnya logistik ditangani oleh Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja. Untuk meringankan pekerjaan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
maka dibuat sistem buffer stock pada Kementerian Sosial yang dapat
dipergunakan dalam keadaan darurat. Misalnya, pada saatterdapat kesalahan
data dalam pendataan jumlah pengungsi, maka dapat dipergunakan buffer
stock yang ada di Kementerian Sosial pada Dinas Sosial Sumatera Utara
berupa kebutuhan bahan makanan (beras, kecap, ikan kalengan, dan minyak
goreng), sandang (kain sarung dan kain panjang), perlengkapan tidur
(selimut dan tikar), peralatan evakuasi (tenda biru/gulung, tenda peleton, dan
tenda regu). Dapur umum yang tersedia ada 2 unit(Renny Febrin,
2015).Selain itu, karena saat ini masyarakat sudah direlokasikan ke beberapa
hunian yang telah disiapkan pemerintah, maka kondisi dari dapur sudah
seperti dapur keluarga pada biasanya(Efendi, 2018, 2020).
c. Trauma Healing Dan Kelompok Rentan
Leading sector program penanganan pengungsi termasuk halnya untuk
pengungsi anak dikelola secara mandiri oleh BPBD Kabupaten Karo dengan
memanfaatkan penggunaan Dana Siap Pakai (DSP) dari pusat. program
kegiatan yang pernah dilakukan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas
Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (saat
dulu masih dengan BKKBN), dan Polres Tanah Karo untuk anak-anak di
pengungsian adalah kegiatan trauma healing. Program-program tersebut
berjalan di sekitar tahun 2013-2014. Program yang lebih bervariasi justru
56

dilakukan oleh Polres Tanah Karo yang pernah mengadakan kegiatan latihan
bela diri dan pengajian untuk anak-anak dari pengungsian GBKP Simpang
VI dan GSG KNPI. Tahun 2017 adalah tahun ke-4 masyarakat mengungsi
sejak erupsi yang terjadi tahun 2013. Pada tahun ke-4 ini sudah tidak ada
dinas yang memiliki program untuk anak di pengungsian. Hanya Dinas
Kesehatan dengan Bidan Desa-nya yang masih memiliki agenda kegiatan
untuk anak di pengungsian. Kegiatan Dinas Kesehatan di pengungsian
adalah posyandu dan pemberian makanan tambahan setiap satu bulan sekali
yang memang kegiatan rutin Dinas Kesehatan bahkan dari sejak masyarakat
masih tinggal di desanya. Konsep perlindungan anak juga meliputi
perlindungan terhadap anak yang terlibat kasus baik sebagai korban maupun
pelaku. Berdasarkan data dari Polsek Tanah Karo diketahui adanya dua
kasus yang dilaporkan terkait dengan anak-anak yang menjadi pengungsi,
yaitu kasus pencurian kendaraan bermotor di Posko GSG KNPI dan
pelecehan seksual yang dilaporkan oleh warga sekitar pengungsian Jambur
Korpri. Di balik kedua kasus yang nampak dan terlapor tersebut, pihak Dinas
Sosial dan BPBD Kabupaten Karo menyatakan bahwa pada masa
pengungsian tahun 2013-2015 sering terjadi laporan-laporan kasus yang
melibatkan pengungsi, termasuk juga anak-anak. Namun pada masa-masa
tersebut seluruh posko dijaga oleh petugas gabungan dari TNI, Polisi dan
petugas gabungan lintas instansi dari jajaran SKPD Pemerintah Kabupaten
Karo sehingga pelaporan kasus hanya sampai di lingkup Pengurus Pos
Pengungsian dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Mekanisme
pencatatan kasus di laporan dibuat tanpa mencantumkan nama, alamat, dan
profil pelaku maupun korban (Pratiwi et al., 2019).
Selain itu Selama di pengungsian, banyak kelompok mahasiswa yang
memberi bantuan psikologis melalui kunjungan dan permainan untuk anak,
bantuan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan, kunjungan dari
televisi maupun orang-orang terkenal. Dalam FGD ada pengungsi yang
menyatakan bahwa mereka mengalami peningkatan kemampuan
57

komunikasi. Kemampuan ini didapatkan karena mereka mulai menyadari


bahwa mereka banyak disorot oleh kamera televisi, sering berbicara dengan
orang terkenal seperti artis, menteri, bahkan presiden sekalipun(Lubis et al.,
2019).

III.4.5. Penatalaksanaan Korban Meninggal


Erupsi Gunung Sinabung yang mengeluarkan lava pijar dan awan panas.
Mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 15 orang pada tahun 2014 dan 7
orang pada tahun 2016 dan ribuan jiwa harus mengungsi dari rumah ke pos-pos
pengungsian (Kusumayudha et al., 2018). Dikarenakan korban jiwa yang tidak
begitu banyak, maka korban-korban yang ditemukan segera dibawa ke Rumah Sakit
Efarina dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Adam Malik Medan untuk
mendapatkan perawatan sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir dan
dibawa kerumah duka untuk disemayamkan (Sianturi, 2016).
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

IV.1. Pembelajaran Baik (Lesson Learned) Yang Dapat Diperoleh Dari


Penanganan Bencana
a. Upaya Penanggulangan Bencana yang sudah berjalan dengan baik
1) Dilakukannya relokasi terhadap masyarakat Kabupaten Karo yang
terdampak erupsi Gunung Sinabung. Seluruh masyarakat yang tinggal di
pengungsian di relokasi ke hunian tetap yang terdapat di beberapa desa,
daerah yang dinilai aman untuk dijadikan tempat tinggal bagi masyarakat.
Rincian rumah yang sudah terbangun hingga awal tahun 2020, yakni
Relokasi Tahap I sebanyak 473 unit yang dibangun oleh Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara di tahun 2018, relokasi tahap II sebanyak 1.521
unit di tahun 2018, tahap II lanjutan sebanyak 144 unit di tahun 2019, dan
relokasi tahap ke III sebanyak 170 unit di tahun 2019, sehingga total
rumah yang sudah terbangun mencapai 2.308 unit (BPBD Sumatera
Utara, 2019).
2) Pemberian bantuan oleh Kemensos berupa isi hunian tetap dan uang
senilai Rp. 2,676 miliar kepada masyarakat terdampak erupsi agar
menetap di rumah dan dapat memulai untuk menjalankan suatu usaha (W.
A. Siregar, 2020).
3) Didirikannya pos komando (posko) oleh Tim Reaksi Cepat BPBD
setempat dan dapur umum untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan
para penyintas.
4) Pemerintah membuat program pemulihan pasca bencana dan pengambilan
keputusan dengan mengikutsertakan tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Selain itu, dalam membuat kebijakan atau keputusan terkait penanganan
Bencana Erupsi, pemerintah telah membagi tugas dan tanggung jawab

58
59

masing-masing organisasi atau pihak yang terlibat (mis. Gereja, masjid,


kelompok pemuda, dll.) selama tanggap darurat.
5) Pemerintah telah menyediakan enam mobil tangki air untuk kebutuhan
minum dan memasak para warga.Pemerintah juga membuat Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM), Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) Komunal, Persampahan, Penerangan Jalan Lingkungan, dan
Penataan Lingkungan(BPBD Sumatera Utara, 2019). Panglima Kodam
(Pangdam) I/Bukit Barisan (BB) juga telah membuat sarana fasilitas
umum berupa sumur dan mandi, cuci kakus (MCK) untuk memenuhi
kebutuhan air bersih (Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, 2020b).
6) Proses rekontruksi infrastruktur juga telah dilakukan oleh pemerintah, hal
ini dibuktikan dengan telah rampungnya pembangunan terminal tipe B
Kabanjahe(Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, 2021).
b. Program – program yang dilaksanakan untuk penanggulangan kesehatan
yang telah berjalan dengan baik
1) Program-program yang dilakukan oleh Polres Tanah Karo di sekitar tahun
2013-2014 dengan mengadakan kegiatan latihan bela diri dan pengajian
untuk anak-anak dari pengungsian GBKP Simpang VI dan GSG KNPI.
2) Tahun 2017 adalah tahun ke-4 masyarakat mengungsi sejak erupsi yang
terjadi tahun 2013 Dinas Kesehatan dengan Bidan Desa-nya memiliki
agenda kegiatan untuk anak di pengungsian. Kegiatan Dinas Kesehatan di
pengungsian adalah posyandu dan pemberian makanan tambahan setiap
satu bulan sekali yang memang kegiatan rutin Dinas Kesehatan bahkan
dari sejak masyarakat masih tinggal di desanya.
3) Konsep perlindungan anak yang terlibat kasus baik sebagai korban
maupun pelaku. Diketahui adanya dua kasus yang dilaporkan terkait
dengan anak-anak yang menjadi pengungsi, yaitu kasus pencurian
kendaraan bermotor di Posko GSG KNPI dan pelecehan seksual yang
dilaporkan oleh warga sekitar pengungsian Jambur Korpri. Pada masa-
masa tersebut seluruh posko dijaga oleh petugas gabungan dari TNI,
60

Polisi dan petugas gabungan lintas instansi dari jajaran SKPD Pemerintah
Kabupaten Karo sehingga pelaporan kasus hanya sampai di lingkup
Pengurus Pos Pengungsian dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Mekanisme pencatatan kasus di laporan dibuat tanpa mencantumkan
nama, alamat, dan profil pelaku maupun korban (Pratiwi et al., 2019).
4) Upaya penanggulangan Kesehatan yang telah dilakukan Kementerian
Kesehatan adalah pemberian bantuan obat-obatan, penyediaan tenaga
Kesehatan dan pos kesehatan, makanan pendamping ASI dan logistik
Kesehatan. Selain itu menyediakan tim Kesehatan Jiwa untuk
memberikan pelayanan Kesehatan di pos Kesehatan terkait masalah
psikologi yang mungkin dialami masyarakat setempat (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
5) Dalam upaya pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan, tim
gabungan Kemenkes yang terdiri dari Pusat Penanggulangan Krisis dan
Subdit Kesehatan Matra dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BTKL PP) Kelas I Medan bersama Dinas
Kesehatan Kabupaten Karo terus melakukan pemantauan kualitas udara,
air bersih dan air minum, sanitasi lingkungan dan penanggulangan vektor
melalui penyemprotan di pos penampungan pengungsi (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
6) Dimasa Pandemi Covid-19, pemerintah daerah juga menyediakan Posko
Kesehatan di setiap desa dan kelurahan untuk memantau kedisplinan
masyarakat dan menekan laju penyebaran Pandemi Covid-19 (Pemerintah
Daerah Kabupaten Karo, 2020a).
7) Telah dibentuknya tim penanggulangan khusus untuk erupsi Gunung
Sinabung di RS Kabanjahe
8) Dalam FGD adanya pengungsi yang menyatakan bahwa mereka
mengalami peningkatan kemampuan komunikasi selama di pengungsian.
Kemampuan ini didapatkan karena mereka mulai menyadari bahwa
mereka banyak disorot oleh kamera televisi, sering berbicara dengan
61

orang terkenal seperti artis, menteri, bahkan presiden sekalipun(Lubis et


al., 2019).

IV.2. Strategi Penanganan Bencana Yang Perlu Dilakukan Selain Yang Sudah
Dilakukan
a. Evaluasi Strategi Penanganan Bencana Erupsi Sinabung
Bencana erupsi Sinabung yang terjadi dalam kurun waktu 11 tahun
belakangan mengharuskan baik pemerintah ataupun masyarakat
melakukan strategi penanganan bencana. Selama ini, BNPB berperan
penting dalam penanganan bencana erupsi Sinabung. Adapun dalam
penanganan bencana, upaya yang dilakukan pemerintah dan BNPB antara
lain

1) Legislasi
Manajemen penanganan pengungsi korban bencana erupsi Gunung
Sinabung dilaksanakan dengan landasan:
i. Surat Keputusan Bupati Karo tentang Pembentukan Tim
Penanganan Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung
Sinabung Kabupaten Karo yang diperbaharui setiap tahun; dan
ii. Surat Keputusan Bupati Karo tentang Penetapan Status
Tanggap Darurat yang diperbaharui setiap tiga bulan sekali.
Pada SK Bupati Karo No. 361/178/BPBD/2016 terlihat bahwa
pembagian kerja dibagi per bidang dengan satu koordinator
yang ditunjuk. Sedangkan pada SK Penetapan Status Tanggap
Darurat terlampir data pengungsi dan asal desanya. Secara
umum keseluruhan SK yang dikeluarkan dalam kaitannya
dengan penanganan pengungsi korban bencana erupsi Gunung
Sinabung disusun dengan berdasar pada landasan hukum dari
tingkat nasional hingga daerah. Selain itu, SK juga dibuat
dengan merujuk pada rekomendasi Badan Geologi
62

Kementerian ESDM yang memiliki kewenangan terhadap


penentuan Status Gunung Sinabung(Pratiwi et al., 2019).
2) Kelembagaan.
Dokumen SK Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung
yang diperbaharui setiap tiga bulan melampirkan daftar Tim Satuan
Tugas Tanggap Darurat yang tertulis di dalamnya berlaku sebagai
Kepala BPBD adalah Sekretaris Daerah Pemkab Karo dengan
Dansatgasnya adalah Komandan Kodim 0205/TK, dan Kalaksa
BPBD Kabupaten Karo sebagai Tim Pengarah. Di dalam susunan
Tim Satgas tersebut disebutkan juga dinas-dinas terkait dengan
penugasan di berbagai bidang menyesuaikan kebutuhan operasi
tanggap darurat bencana erupsi Gunung Sinabung. BPBD
Kabupaten Karo mengerjakan hampir seluruh kegiatan yang terkait
dengan manajemen penanganan pengungsi. (Pratiwi et al., 2019).
3) Perencanaan.
Kegiatan penanganan pengungsi yang berjalan di Kabupaten
Karo pada tahun 2017 berjalan rutin tanpa menggunakan dasar
dokumen Rencana Operasi melainkan dengan dasar arahan
komando dari Dansatgas yaitu Komandan Kodim 0205/TK. Di lain
pihak, dokumen Renops pernah dibuat oleh Satgas Nasional
Pendampingan Operasi Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung
bersama BNPB saat BPBD Kabupaten Karo belum terbentuk.
(Pratiwi et al., 2019).
4) Penyelenggaraan.
Penyelenggaraan manajemen penanganan pengungsi dapat
dijelaskan dalam tiga kegiatan utama, yaitu: pendataan pengungsi,
manajemen program, dan manajemen kasus. Salah satu
permasalahan administratif dalam penanganan pengungsi korban
erupsi Gunung Sinabung adalah data pengungsi yang sulit dikunci.
63

Sulitnya data pengungsi dikunci disebabkan oleh beberapa hal di


antaranya:
i. Saat awal mengungsi masyarakat tidak dikondisikan per-desa
sehingga menyulitkan proses pendataan;
ii. Masyarakat masih sering kembali ke rumah untuk berladang
sehingga sering meninggalkan pengungsian tanpa lapor;
iii. Sejak sebelum erupsi terjadi, masyarakat banyak yang tidak
tertib administrasi kependudukan;
iv. Adanya peristiwa kematian, kelahiran, dan pernikahan.
Ketidaktertiban administrasi orangtua berpengaruh juga pada
data pengungsi anak yang selanjutnya menyulitkan pemerintah
dalam merencanakan program dan bantuan(Pratiwi et al.,
2019).
5) Pengelolaan sumber daya.
Pengelolaan sumber daya tidak berjalan baik karena
kurangnya kegiatan koordinasi. Selain itu, tidak ada kegiatan
peningkatan kapasitas SDM khususnya bagi BPBD untuk
meningkatkan skill manajemen penanganan pengungsi (Pratiwi et
al., 2019).
6) Pendanaan.
Pendanaan keseluruhan kegiatan manajemen penanganan
pengungsi diselenggarakan melalui mekanisme dana DSP (Dana
Siap Pakai). Dalam kaitannya dengan anggaran untuk pengungsi
yaitu Dana Siap Pakai (DSP) dipahami oleh BPBD Kabupaten Karo
bahwa yang berwenang menggunakan dana tersebut hanya BPBD
karena pertanggungjawabannya ada di BPBD. Pekerjaan BPBD
menjadi lebih berat karena BPBD mengerjakan sendiri dari hulu ke
hilir segala aspek kebutuhan pengungsi (Pratiwi et al., 2019).
64

Namun dalam penanganan bencana erupsi masih terdapat beberapa


kendala yang menghambat kinerja dari BNPB dalam melakukan
penanggulangan bencana antara lain :
1) Kurang Adanya Koordinasi
Salah satu misi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Karo adalah meningkatnya koordinasi dengan instansi
terkait dalam penanggulangan bencana. Yang menjadi kendala dalam
pengkoordinasian adalah kendala yang disebabkan tanggungjawab
satuan kerja kurang jelas, kurang adanya koordinasi yang baik antara
unsur-unsur pengarah, seperti BPBD Kabupaten Karo,Dinas Sosial
Kabupaten Karo, TNI/POLRI, Tagana,Relawan, Universitas-
universitas,LSM dan lain sebagainya. Kurangnya koordinasi ini
menyebabkan lambatnya pemberian bantuan bencana karena antar
instansi kurang dapat bekerja sama dengan efektif (Suri, 2015).
2) Kurangnya Sarana dan Prasarana
Sumber daya lainnya yang sangat penting adalah sarana dan
prasarana. Dalam Permendagri Nomor 27 tahun 2007 tentang
Pedoman Penyiapan Sarana dan Prasarana dalam Penanggulangan
Bencana pasal 3 dinayatakan bahwa sarana dan prasarana meliputi dua
yaitu sarana dan prasarana umum dan khusus. Sarana dan prasarana
umum meliputi peralatan peringatan dini, posko bencana, kendaraan
operasional,pos kesehatan dengan tenaga medis dan obatobatan,tenda
darurat, sarana air bersih dan pendataan bagi korban jiwa akibat
bencana erupsi Gunung Sinabung. Sarana dan prasaran khusus
meliputi rumah sakit lapangan, trauma center, alat transportasi daerah,
dan lokasi kuburan masal bagi korban yang meninggal .peralatan
kantor yang masih menyewa dan sedikit terutama komputer-komputer
dapat memperlambat selesainya pekerjaan yang dilakukan (Suri,
2015).
3) Kurangnya Sumber Daya Manusia Tersedianya Sumber
65

Daya Manusia merupakan hal yang sangat penting. Badan


Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo sudah
berdiri tanggal 22 Januari 2014 dimana BPBD Kabupaten Karo masih
kurang mapan . Hal ini dapat dilihat masih berpindah-pindahnya lokasi
gedung BPBD Kabupaten Karo.Hal ini tentu saja menyulitkan dalam
koordinasi pelaksanaan tugasnya. Selain itu Badan Penanggulangan
Bencana Daerah kabupaten Karo juga masih kekurangan SDM yang
memiliki kesesuaian keahlian dan pendidikan.Sumber Daya Manusia
yang memiliki keahlian dibidang kesehatan untuk ditempatkan
dibidang kedaruratan dan logistik, keahlian dibidang teknik sipil untuk
ditempatkan di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi serta tata ruang
dan sosial untuk ditempatkan dibidang pencegahan dan kesiapsiagan
dimana pegawai benar-benar mengerti dan memahami seluk beluk
penanganan bencana.Kekurangan Sumber Daya Manusia juga
menyebabkan pekerjaan membutuhkan waktu yang lama karena
ketidakseimbangan antara yang dilayani dengan yang melayani.Dari
hasil wawancara ini, peneliti menyimpulkan bahwa pelatihan dan
pembobotan perlu di lakukan terhadap semua aparatur BPBD sehingga
mereka memahami tupoksi masing-masing dan tidak menghambat
pelaksanaan tugas yang diemban (Suri, 2015).
4) Belum adanya SOP (Standar Operasional Prosedur )
Dari data yang peneliti temukan dilapangan tentang kinerja BPBD
Kabupaten Karo dalam upaya penanggulagan bencana erupsi Gunung
Sinabung, yang menjadi salah satu penghambat adalah, bahwa BPBD
Kabupaten Karo belum memiliki Standard Operation Procedure (SOP)
Penanggulangan Bencana yang dapat menjadi rujukan dalam
menanggulangi bencana yang terjadi di Kabupaten Karo termasuk
mengenai kinerja BPBD Kabupaten Karo dalam upaya penanggulagan
bencana erupsi Gunung Sinabung (Suri, 2015).
5) Faktor disposisi/sikap
66

Implementor kebijakan terutama dalam hal respon terhadap


kebijakan penanggulangan bencana merupakan penyebab utama
buruknya implementasi kebijakan penanggulangan bencana di
Kabupaten Karo. Hal ini berdampak buruk terhadap penanggulangan
bencana erupsi gunung Sinabung. Disposisi pemerintah daerah sebagai
implementor kebijakan tururt mempengaruhi faktor-faktor
implementasi lainnya. Yakni faktor komunikasi, faktor struktur
birokrasi dan faktor sumber daya (Kristian, 2018).
6) Buruknya Komunikasi
Informasi dan transmisi yang jelas tidak menjamin
pelaksanaan/implementasi berjalan dengan baik. Faktor komunikasi
yang sudah terpenuhi tanpa di dukung oleh disposisi implementor,
membuat kebijakan tidak berjalan. Namun dalam penanganan bencana
erupsi gunung Sinabung, diskresi perlu dilakukan mengingat
penanganan bencana menuntut respon yang cepat. Kenyataannya
pemerintah tidak berani melakukan diskresi karena tidak adanya
payung hukum yang mendasari dan takut terjebak masalah hukum
(Kristian, 2018).

Banyaknya kendala dalam melakukan penanganan bencana


memberikan dampak yang buruk terhadap pengungsi khususnya anak-
anak. Anak-anak sejatinya membutuhkan penangan lebih karena
termasuk kedalam kelompok rentan. Beberapa hal yang perlu dievaluasi
dari manajemen penanganan pengungsi anak korban bencana gunung
sinabung adalah sebagai berikut.
1) Pemenuhan hak anak.
Secara umum pemenuhan hak anak meliputi pemenuhan terhadap
kebutuhan dasar dan kebutuhan lanjutan, di antaranya:
i. Kebutuhan hidup dasar. Kebutuhan tempat tinggal anak-anak
pengungsi terpenuhi dengan adanya pengungsian meski kondisi
67

kelayakannya di bawah standar. Kondisi pengungsian antara satu


pos dengan pos yang lain berbeda-beda tergantung pada perawatan
dari para pengungsi sendiri maupun pengelolaan pengurus pos
pengungsian(Pratiwi et al., 2019).\
ii. Hak Pendidikan. Secara keseluruhan anak-anak pengungsi korban
bencana erupsi Gunung Sinabung tetap dapat melanjutkan sekolah
mereka. Bagi anak-anak yang sekolahnya terdampak, mereka
melanjutkan kegiatan belajar mereka dengan menumpang pada
sekolah lain di sekitar wilayah Kabanjahe yang ditunjuk oleh Dinas
Pendidikan sebagai sekolah penampung (Pratiwi et al., 2019).
iii. Hak Bermain. Kebutuhan bermain anak-anak umumnya terpenuhi
dengan baik di pengungsian karena mereka selalu bersama dengan
teman-teman, terlebih bagi mereka yang tinggal di pos pengungsian
yang memiliki lapangan atau halaman yang luas (Pratiwi et al.,
2019).
iv. Hak Pengasuhan. Pengasuhan terbaik bagi anak adalah di tangan
orangtua mereka sendiri, namun sayangnya situasi di pengungsian
korban benccana erupsi Gunung Sinabung justru berbeda karena
anak-anak banyak yang ditinggalkan orangtuanya untuk kembali ke
desa. Para orangtua kembali ke desa untuk berladang namun tidak
bisa membawa serta anak-anak mereka karena lokasi desa jauh dari
tempat anak-anak sekolah. Biasanya anak-anak yang dititipkan di
pengungsian ini akan ikut dengan orangtua mereka ke desa saat
akhir minggu sepulang sekolah, dan kembali ke pengungsian di
Hari Senin pagi. Maka dengan demikian pengasuhan anak-anak
yang dititipkan di pengungsian ini secara tidak langsung menjadi
tanggungjawab relawan atau orang dewasa lain di pengungsian,
meski anak-anak yang ditinggal orang tuanya ini justru terlihat lebih
mandiri karena mereka harus mengerjakan segala hal dan
memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Pratiwi et al., 2019). \
68

v. Hak Gizi dan Kesehatan. Menu makanan sehari-hari anak yang


tidak dibedakan dengan orang dewasa menyebabkan standar gizi
sulit dicapai di pengungsian, terlebih masih sering ditemukan menu
mie instan dengan lauk ikan asin menyesuaikan pasokan lauk pauk
yang diberikan oleh pemerintah (Pratiwi et al., 2019).
2) Perkembangan psikososial anak.
Pengalaman tinggal dalam waktu lama di pengungsian yang
dialami anak-anak pengungsi korban bencana erupsi Gunung
Sinabung bisa jadi adalah pengalaman paling menantang dan rumit
bagi anak-anak. Eksposur terhadap kekerasan telah terbukti menjadi
faktor risiko utama anak tinggal di pengungsian, oleh karena itu
dukungan sosial dari orang dewasa lain memiliki efek positif pada
fungsi psikologis anak (Fazel dkk., 2012 dalam Pratiwi et al., 2019).
Efek dari stresor yang luar biasa dan tak terhindarkan akibat
bencana dan pengungsian yang panjang yang dialami korban bencana
erupsi Gunung Sinabung membuat anak-anak semakin rentan.
Perhatian dari orang dewasa di sekitar anak-anak baik itu pemerintah,
relawan, maupun warga pengungsi lainnya menjadi hal yang penting
khususnya untuk anak-anak yang dititipkan di pengungsian tanpa
pendampingan orangtua mereka. Anak-anak yang memiliki kapasitas
psikologis yang lebih buruk dan tidak memiliki lingkungan keluarga
yang mendukung menunjukkan tingginya tingkat simtomatologi
terkait stres sepanjang periode pengungsi dan berada dalam risiko
khusus untuk pengembangan psikologis lebih lanjut (Ajukovic &Dean,
2009 dalam Pratiwi et al., 2019).
3) Pelanggaran perlindungan anak.
Kehidupan pengungsian dimana orang dewasa dan anak-anak
tinggal secara bersama-sama dengan privasi yang rendah
meningkatkan probabilitas terjadinya angka kekerasan seksual baik
yang melibatkan anak sebagai pelaku maupun menjadikan anak
69

sebagai korban. Keterbatasan kehidupan juga dapat mendorong


meningkatnya intensi tindak kriminal seperti pencurian, anak yang
belum dewasa secara psikologis tidak memiliki cukup pertimbangan
untuk setiap keputusan dan tindakannya, terlebih pada anak-anak
remaja yang dalam usia labil(Pratiwi et al., 2019).
Perlindungan mencakup semua aktivitas yang bertujuan untuk
memastikan pemenuhan hak-hak dari tiap individu sesuai dengan yang
tersurat dan tersirat pada hukum yang relevan seperti pendidikan,
kesehatan, keamanan, dan mata pencaharian. Pengurus pos
pengungsian selain bertugas mengelola penangan pengungsi anak di
lingkungan pengungsian, juga bertugas sebagai penghubung antara
masyarakat dengan pemerintah sebagai penyedia layanan bantuan.
Proses manajemen di lingkup pos pengungsian juga mengandung
unsur-unsur administrasi, salah satunya adalah pendataan pengungsi.
Dalam masalah pendataan ini pengurus pos harus bekerja sama dengan
perangkat desa untuk memastikan data warga (termasuk anak-anak)
untuk memastikan bahwa semua warga dapat mengakses bantuan dan
layanan yang disediakan(Pratiwi et al., 2019).
b. Strategi penanganan bencana yang perlu dilakukan selain yang sudah
dilakukan
1) Penyebaran informasi secara inovatif

Penyebaran informasi dilakukan antara lain dengan memberikan


poster dan leaflet kepada Pemerintah Kabupaten / Kota dan Provinsi di
seluruh Indonesia yang rawan bencana, tentang tata cara pengenalan,
pencegahan, dan penanganan bencana. Pemberian informasi kepada
media cetak dan elektronik tentang bencana merupakan salah satu cara
penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan
bencana geologi di suatu wilayah tertentu. Koordinasi pemerintah daerah
dalam hal penyebaran informasi sangat diperlukan mengingat Indonesia
70

yang sangat luas. Menggunakan media sosial seperti Twitter,


Instagram, FB sebagai salah satu sarana sosialisasi kebencanaan (Fitriani,
Zulkarnaen, & Bagianto, 2021)

2) Pemetaan.

Langkah pertama dalam strategi mitigasi adalah memetakan daerah


rawan atau wilayah yang sangat berbahaya untuk ditinggali oleh
masyarakat bahkan sebelum terjadinya bencana. Saat ini berbagai sektor
telah mengembangkan peta rawan bencana. Peta rawan bencana sangat
berguna bagi para pengambil keputusan terutama dalam mengantisipasi
kejadian bencana alam seperti wilayah teraman yang dapat dihuni oleh
warga dengan gunngh api (Rahma, Larasati, & Pd, n.d.).

3) Pelatihan / Pendidikan terhadap kegiatan evakuasi mandiri

Pelatihan difokuskan pada tata cara evakuasi dan penyelamatan jika


terjadi bencana. Tujuan dari latihan ini adalah untuk mempertegas arus
informasi dari petugas lapangan, petugas teknis, SATKORLAK PB,
SATLAK PB, dan masyarakat ke tingkat evakuasi dan penyelamatan
korban bencana. Dengan pelatihan ini terbentuklah kesiapsiagaan tinggi
dalam menghadapi bencana erupsi gunung berapi serta Melakukan
inovasi kegiatan dengan memberdayakan masyarakat melibatkan
kalangan disabilitas, lansia dan anak anak salah satunya Latihan
dasar Penyelamatan, Evakuasi dan Penanganan pengungsi untuk
taruna tanggap bencana, sekolah siaga bencana, simulasi penyelamatan
diri bila terjadi erupsi dan tindakan yang harus dilakukan (Arisanti &
Nugroho, 2018)

4) Peran stakeholder (pemimpin)

pemerintah atau perangkat desa membuat program pemulihan pasca


bencana dan pengambilan keputusan (stakeholder) dalam membuat
kebijakan atau keputusan terkait penanganan Bencana Erupsi Persiapkan
71

tugas dan tanggung jawab masing-masing organisasi atau pihak yang


terlibat (mis. Gereja, masjid, kelompok pemuda, dll.) selama tanggap
darurat. Buat mekanisme pencarian dan penyelamatan untuk organisasi
korban, terutama organisasi dari komunitas itu sendiri. Kegiatan ini
dilakukan oleh mereka yang berani saja. Jika tidak ada yang berani, tugas
ini diserahkan kepada tim BPBD atau SAR. Pelatihan perlu dilakukan
untuk mereka yang bersedia (Lismawaty et al., 2019)

5) Menggunakan strategi Manajemen bencana yang diterapkan oleh


pemerintah Jepang

Jepang mengembangkan sistem peringatan dini bencana alam


(disaster-early warning system). Ini dimaksudkan agar semua pihak,
mulai dari gugus tugas siaga bencana (disaster task force unit) supaya
bisa merespon dengan cepat, serta masyarakat yang berpotensi mengalami
dampak bencana agar segera mempersiapkan diri untuk berlindung di
tempat yang sudah dipersiapkan. Mereka juga mendirikan area
perlindungan bagi korban terdampak bencana alam, serta memberikan
pelatihan rutin kepada masyarakat sebagai respon cepat atas bencana alam
yang bisa datang kapan saja. Salah satu yang bisa dipelajari pemerintah
dan masyarakat dari Jepang adalah mereka mengembangkan secara terus-
menerus sistem tanggap darurat bencana agar mampu bekerja lebih
efektif.

Hal penting lainnya agar tercipta masyarakat yang sadar bencana


adalah melalui pendidikan menghadapi bencana yang diberikan kepada
anak-anak sejak usia dini. Bukan hanya dididik secara fisik dalam
evakuasi diri saat bencana, tetapi juga dididik secara mental dan dilatih
secara rutin. Sistem pendidikan Jepang yang menyiapkan masyarakat dan
anak-anak mereka dalam menghadapi bencana, patut ditiru oleh
Indonesia. Sebagai negara yang cukup sering mengalami bencana alam,
72

sudah seharusnya Indonesia memasukkan edukasi bencana masuk dalam


kurikulum Pendidikan (Budi Prihatin, 2018).

IV.3. Pedoman Atau Instrumen Edukasi Yang Dapat Digunakan Dalam


Penanganan Bencana Dari Aspek Kesehatan
IV.3.1. Latar Belakang

Bencana merupakan peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan


yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau non-alam sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24
TAHUN 2007, 2007). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2020)
Indonesia mencatat setidaknya telah terjadi sebanyak 2.952 bencana sepanjang tahun
2020 dan kurang lebih 763 bencana telah terjadi hingga Maret 2021 dimana salah
satunya yaitu bencana erupsi gunung berapi (Nurwihastuti et al., n.d.).
Gunung api adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat
keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi
(Nurwihastuti et al., n.d.). Terdapat banyaknya gunung api yang mengelilingi
Indonesia membuat Indonesia dijuluki sebagai negara cincin api dengan jumlah
kurang lebih 140 gunung aktif (Febrin, 2016). Erupsi gunung berapi terjadi ketika
adanya tenaga dari dalam bumi yang mendorong perut bumi mengeluarkan isi
didalamnya atau yang biasa disebut sebagai magma. Magma merupakan batuan
meleleh yang terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, lebih
dari 1.000 derajat Celsius. Beberapa Gunung di Indonesia yang mengalami
mengalami erupsi sepanjang tahun 2020 diantaranya yaitu Gunung Semeru, Gunung
Ili Lewotolok, Gunung Ibu, Gunung Dukono dan yang terakhir yaitu Gunung
Sinabung (Kompas, 2021).
Gunung Sinabung merupakan gunung berapi yang terletak di Kabupaten Karo
Provinsi Sumatera Utara yang pertama kali mengalami erupsi pada 29 Agustus 2010,
2013, 2016, 2017, 2019, 2020 hingga yang terakhir pada Maret 2021 setelah selama
400 tahun tidak adanya aktifitas letusan. Gunung Sinabung menjadi aktif dan
berlangung hingga saat ini dengan status dinaikkan ke level tertinggi (awas). Akibat
73

dari erupsi tahun 2014 sejumlah 4 Kecamatan yang terdiri dari 2 Dusun dan 32 Desa
terkena dampaknya (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Erupsi Gunung Sinabung merupakan bencana yang masih terjadi sampai tahun
ini dan memiliki status siaga. Maka perlu adanya kesiapsiagaan dari masyarakat
dengan mengetahui penanganan erupsi gunung, baik sebelum, saat,dan setelah erupsi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dibuatlah pedoman penanganan ini. Tujuan
pedoman ini untuk dijadikan panduan masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan
menghadapi bencana erupsi.

IV.3.2. Erupsi Gunung Api

Letusan gunung api adalah salah satu bagian aktivitas vulkanik atau yang biasa
dikenal erupsi (Hasriyani, 2018). Erupsi gunung berapi terjadi karena adanya tekanan
gas yang kuat dari dalam bumi sehingga menyebabkan aktivitas atau pergerakan
magma di dalam perut bumi yang berusaha untuk keluar (Hasriyani, 2018). Proses
erupsi dibagi menjadi dua macam yaitu Erupsi secara Eksplosif dan Erupsi secara
Efusif. Erupsi secara Eksplosif terjadi karena tekanan gas yang kuat sehingga magma
maupun material lain keluar dari dalam perut bumi dan disertai suara letusan cukup
keras. Sedangkan Erupsi secara Efusif terjadi karena tekanan gas yang tidak terlalu
kuat sehingga magma yang keluar berbentuk lelehan lava dan mengalir kelereng
puncak gunung (Hasriyani, 2018).

Tingkatan atau level aktivitas gunung api (Nurwihastuti et al., 2019), antara
lain:

1. Normal, yaitu tidak terlihat peningkatan aktivitas gunung api tetapi fluktuasi
teramati.
2. Waspada, yaitu mulai terekam dan terlihat tanda peningkatan aktivitas
gunung api.
74

3. Siaga, yaitu peningkatan aktivitas gunung api semakin nyata dan bahaya
erupsi mengancam sekitar pusat erupsi, tidak pada pemukiman di sekitar
gunung api.
4. Awas, yaitu peningkatan aktivitas gunung api semakin nyata dan bahaya
erupsi mengancam pemukiman sekitar gunung api.

IV.3.3. Penanganan Erupsi Gunung Api

a. Sebelum erupsi

Tindakan yang dapat dilakukan (Khambali, 2017; Lismawaty et al.,


2019), yaitu:
1. Pemantauan, aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan
alat pencatat gempa (seismograf).
2. Tanggap Darurat, yaitu mengevaluasi laporan dan data, membentuk tim
Tanggap Darurat, mengirimkan tim ke lokasi, melakukan pemeriksaan
secara terpadu.
3. Pemetaan, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung berapi dapat
menjelaskan jenis dan sifat bahaya gunung berapi, daerah rawan bencana,
arah penyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan pos penanggulangan
bencana.
4. Mengikuti sosialisasi tentang peristiwa letusan gunung berapi pada
masyarakat awam terkait peristiwa alam seperti gempa karena gunung
berapi, dan terjadinya gunung meletus.
5. Mematuhi pengumuman dari instansi berwenang, misalnya dalam
penetapan status gunung berapi.
6. Mengenali tanda-tanda terjadinya bencana gunung berapi, misalnya
turunnya binatang dari puncak gunung atau terciumnya bau belerang
7. Mengetahui tempat yang aman dan jalur evakuasi.
75

8. Masyarakat bersedia membantu pemerintah membuat peta seperti peta


ancaman, kapasitas, kerentanan, dan rawan bencana.
9. Pemuda lokal bersedia melakukan konseling dan sosialisasi tentang
prosedur untuk mengidentifikasi, mencegah dan menangani bencana.
10.Menyediakan Speaker untuk menyebarluaskan informasi.
11.Bekerjasama dengan beberapa organisasi untuk menyebarluaskan
infromasi untuk mencegah bencana.
12.Diperlukan sirene untuk memberitahukan bahwa penduduk diminta
mengungsi.
13.Perlu ada anggaran dalam penyediaan HT (handie talkie) sebagai sarana
informasi.
14.Menyiapkan masker, kacamata pelindung, lampu senter, baterai
cadangan, dan obat-obatan

b. Saat Erupsi

Tindakan yang harus dilakukan:

1. Hindari lokasi yang disarankan untuk dikosongkan dan daerah lembah


atau aliran sungai
2. Hindari berada di tempat terbuka
3. Lindungi diri dari abu dengan menggunakan masker, kacamata pelindung,
dan pakaian tertutup
4. Jangan menggunakan kontak lensa

Peran tenaga kesehatan pada fase ini, yaitu :

1. Tenaga kesehatan bertindak cepat dan berkonsentrasi penuh terhadap apa


yang dilakukan
2. Do not promise, tenaga kesehatan seharusnya tidak menjanjikan apapun
secara pasti dengan maksud memberikan harapan yang besar pada korban
selamat
76

3. Tenaga kesehatan merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang


memerlukan penanganan kesehatan di RS
4. Tenaga kesehatan memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan,
makanan khusus bayi, peralatan kesehatan
5. Tenaga kesehatan membantu penanganan dan penempatan pasien dengan
penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan
diri dan lingkungannya.

Kegiatan yang dapat dilakukan selama tahap tanggap darurat (Lismawaty et


al., 2019), yaitu:

1. Pengumpulan data pengungsi yang telah diperoleh pemerintah desa.


2. Menentukan tugas dan tanggung jawab masing-masing organisasi atau
pihak yang terlibat (mis. Gereja, masjid, kelompok pemuda, dll.) selama
tanggap darurat.
3. Membuat mekanisme pencarian dan penyelamatan untuk organisasi
korban, terutama organisasi dari komunitas itu sendiri.
4. Mengorganisir dana sumbangan dengan baik.
5. Persiapan peralatan P3K di pos evakuasi dan pemerintah menyediakan
tenaga medis, peralatan dan obat-obatan.
6. Perawatan berkala gratis di puskesmas dan rumah sakit rujukan serta
menyediakan imunisasi dan vaksinasi untuk mencegah penyakit.
7. Distribusi Bahan Bakar Minyak.
8. Penyediaan air bersih untuk mandi, minum, mencuci, memasak.
9. Penyediaan toilet yang memadai dengan jumlah pengungsi.
10.Siapkan dapur umum yang difasilitasi dengan peralatan dapur.
11.Persiapan kendaraan umum untuk mengangkut pengungsi ke lokasi
evakuasi.

c. Setelah Erupsi

Tindakan yang harus dilakukan :


77

1. Menggunakan masker untuk menghindari sisa abu


2. Mengamankan air bersih
3. Membersihkan atap rumah dari abu agar rumah tidak roboh
4. Mencari tempat aman dengan pergi ke tempat pengungsian yang sudah
disediakan

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:

1. Perbaikan lingkungan daerah bencana;


2. Perbaikan prasarana dan sarana umum;
3. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4. Pemulihan sosial psikologis;
5. Pelayanan kesehatan;
6. Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7. Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
8. Pemulihan keamanan dan ketertiban;
9. Pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10.Pemulihan fungsi pelayanan publik

Peran tenaga kesehatan pada fase ini adalah:

1. Tenaga kesehatan memeberikan pelayanan Kesehatan kepada pasien post


traumatic stress disorder (PTSD)
2. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerjasama dengan unsur lintas sector menangani masalah kesehatan
masyarakat pasca gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan
(Recovery) menuju keadaan sehat dan aman

IV.3.4. Pembelajaran Baik (Lesson Learned)


a. Upaya Penanggulangan Bencana yang sudah berjalan dengan baik
1. Dilakukannya relokasi terhadap masyarakat Kabupaten Karo yang
terdampak erupsi Gunung Sinabung. Seluruh masyarakat yang tinggal di
78

pengungsian di relokasi ke hunian tetap yang terdapat di beberapa desa,


daerah yang dinilai aman untuk dijadikan tempat tinggal bagi masyarakat.
Rincian rumah yang sudah terbangun hingga awal tahun 2020, yakni
Relokasi Tahap I sebanyak 473 unit yang dibangun oleh Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara di tahun 2018, relokasi tahap II sebanyak 1.521
unit di tahun 2018, tahap II lanjutan sebanyak 144 unit di tahun 2019, dan
relokasi tahap ke III sebanyak 170 unit di tahun 2019, sehingga total
rumah yang sudah terbangun mencapai 2.308 unit (BPBD Sumatera
Utara, 2019).
2. Pemberian bantuan oleh Kemensos berupa isi hunian tetap dan uang
senilai Rp. 2,676 miliar kepada masyarakat terdampak erupsi agar
menetap di rumah dan dapat memulai untuk menjalankan suatu usaha (W.
A. Siregar, 2020).
3. Didirikannya pos komando (posko) oleh Tim Reaksi Cepat BPBD
setempat dan dapur umum untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan
para penyintas.
4. Pemerintah membuat program pemulihan pasca bencana dan pengambilan
keputusan dengan mengikutsertakan tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Selain itu, dalam membuat kebijakan atau keputusan terkait penanganan
Bencana Erupsi, pemerintah telah membagi tugas dan tanggung jawab
masing-masing organisasi atau pihak yang terlibat (mis. Gereja, masjid,
kelompok pemuda, dll.) selama tanggap darurat.
5. Pemerintah telah menyediakan enam mobil tangki air untuk kebutuhan
minum dan memasak para warga. Pemerintah juga membuat Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM), Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) Komunal, Persampahan, Penerangan Jalan Lingkungan, dan
Penataan Lingkungan(BPBD Sumatera Utara, 2019). Panglima Kodam
(Pangdam) I/Bukit Barisan (BB) juga telah membuat sarana fasilitas
umum berupa sumur dan mandi, cuci kakus (MCK) untuk memenuhi
kebutuhan air bersih (Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, 2020b).
79

6. Proses rekontruksi infrastruktur juga telah dilakukan oleh pemerintah, hal


ini dibuktikan dengan telah rampungnya pembangunan terminal tipe B
Kabanjahe(Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, 2021).
b. Program – program yang dilaksanakan untuk penanggulangan kesehatan
yang telah berjalan dengan baik
1. Program-program yang dilakukan oleh Polres Tanah Karo di sekitar tahun
2013-2014 dengan mengadakan kegiatan latihan bela diri dan pengajian
untuk anak-anak dari pengungsian GBKP Simpang VI dan GSG KNPI.
2. Tahun 2017 adalah tahun ke-4 masyarakat mengungsi sejak erupsi yang
terjadi tahun 2013 Dinas Kesehatan dengan Bidan Desa-nya memiliki
agenda kegiatan untuk anak di pengungsian. Kegiatan Dinas Kesehatan di
pengungsian adalah posyandu dan pemberian makanan tambahan setiap
satu bulan sekali yang memang kegiatan rutin Dinas Kesehatan bahkan
dari sejak masyarakat masih tinggal di desanya.
3. Konsep perlindungan anak yang terlibat kasus baik sebagai korban
maupun pelaku. Diketahui adanya dua kasus yang dilaporkan terkait
dengan anak-anak yang menjadi pengungsi, yaitu kasus pencurian
kendaraan bermotor di Posko GSG KNPI dan pelecehan seksual yang
dilaporkan oleh warga sekitar pengungsian Jambur Korpri. Pada masa-
masa tersebut seluruh posko dijaga oleh petugas gabungan dari TNI,
Polisi dan petugas gabungan lintas instansi dari jajaran SKPD Pemerintah
Kabupaten Karo sehingga pelaporan kasus hanya sampai di lingkup
Pengurus Pos Pengungsian dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Mekanisme pencatatan kasus di laporan dibuat tanpa mencantumkan
nama, alamat, dan profil pelaku maupun korban (Pratiwi et al., 2019).
4. Upaya penanggulangan Kesehatan yang telah dilakukan Kementerian
Kesehatan adalah pemberian bantuan obat-obatan, penyediaan tenaga
Kesehatan dan pos kesehatan, makanan pendamping ASI dan logistik
Kesehatan. Selain itu menyediakan tim Kesehatan Jiwa untuk
memberikan pelayanan Kesehatan di pos Kesehatan terkait masalah
80

psikologi yang mungkin dialami masyarakat setempat (Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
5. Dalam upaya pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan, tim
gabungan Kemenkes yang terdiri dari Pusat Penanggulangan Krisis dan
Subdit Kesehatan Matra dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BTKL PP) Kelas I Medan bersama Dinas
Kesehatan Kabupaten Karo terus melakukan pemantauan kualitas udara,
air bersih dan air minum, sanitasi lingkungan dan penanggulangan vektor
melalui penyemprotan di pos penampungan pengungsi (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
6. Dimasa Pandemi Covid-19, pemerintah daerah juga menyediakan Posko
Kesehatan di setiap desa dan kelurahan untuk memantau kedisplinan
masyarakat dan menekan laju penyebaran Pandemi Covid-19 (Pemerintah
Daerah Kabupaten Karo, 2020a).
7. Telah dibentuknya tim penanggulangan khusus untuk erupsi Gunung
Sinabung di RS Kabanjahe
8. Dalam FGD adanya pengungsi yang menyatakan bahwa mereka
mengalami peningkatan kemampuan komunikasi selama di pengungsian.
Kemampuan ini didapatkan karena mereka mulai menyadari bahwa
mereka banyak disorot oleh kamera televisi, sering berbicara dengan
orang terkenal seperti artis, menteri, bahkan presiden sekalipun(Lubis et
al., 2019).
81

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan
1. Aktivitas Gunung Sinabung sampai tahun 2021 masih terjadi. Pada bulan
Januari sampai awal Maret sudah terjadi 37 kali erupsi dengan semburan
gas berwarna putih dan kelabu di kawah puncak, tingginya sekitar 50-1.000
meter dari puncak. Pada tanggal 2 Maret 2021, mulai pukul 06:42 WIB
terjadi luncuran awan panas dengan jarak 2.000 sampai 5.000 meter ke
arah tenggara timur. Tingkat aktivitas vulkanik pada tangal 2 maret 2021
dinilai masih pada level tiga (siaga) (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, 2021).
2. Dalam proses Evakuasi, PVMBG telah memetakan potensi bahaya yang
mungkin terjadi dengan kawasan rawan bencana Gunung api Sinabung.
Tiga tingkat kerawanan dari rendah ke tinggi, yaitu Kawasan Rawan
Bencana (KRB) I, KRB II, dan KRB III (BNPB, 2013).
3. Keadaan kesehatan masyarakat merupakan dampak primer dari erupsi.
Terdapat beberapa penyakit yang muncul setelah erupsi seperti flu, Infeksi
Saluran Pernapasan (ISPA), myalgia, iritasi mata, gastritis, hipertensi,
alergi, dan cepalgia. Umumnya korban erupsi gunung Sinabung banyak
yang mengalami flu, batuk, dan sakit perut. Beberapa pengungsi
mengalami hipertensi dan anak-anak dibawah lima tahun banyak yang
mengalami ISPA
4. Proses rekontruksi pasca bencana telah dilakukan oleh pemerintah, hal ini
dibuktikan dengan telah rampungnya pembangunan hunian tetap,
tersedianya sumber air bersih, dan didirikannya terminal tipe B Kabanjahe
5. Manajemen pengungsian yang disediakan yaitu air bersih dengan
menyediakan 6 tangki air untuk mandi dan memasak , dapur umum untuk
kebutuhan pangan, dan trauma healing bagi kelompok rentan. Penanganan
82

bagi permasalahan yang melibatkan kelompok rentan sudah dengan


pendampingan yang baik dari tim Polres Tanah Karo
6. Pemerintah telah membuat program pemulihan pasca bencana dan
pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan tokoh agama dan tokoh
masyarakat. Selain itu, dalam membuat kebijakan atau keputusan terkait
penanganan Bencana Erupsi, pemerintah telah membagi tugas dan
tanggung jawab masing-masing organisasi atau pihak yang terlibat (mis.
Gereja, masjid, kelompok pemuda, dll.) selama tanggap darurat.
7. Pemerintah sudah merelokasi masyarakat terdampak erupsi gunung
sinabung ke beberapa hunian yang telah disiapkan. selain itu pemerintah
juga memberikan lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian para
warganya
8. Dimasa Pandemi Covid-19, pemerintah daerah juga menyediakan Posko
Kesehatan di setiap desa dan kelurahan untuk memantau kedisplinan
masyarakat dan menekan laju penyebaran Pandemi Covid-19

V.2. Saran
Berdasarkan dari pembahasan dan kesimpulan yang telah dibuat, peneliti
mengajukan saran sebagai berikut :

1. Bagi pihak pemerintah diharapkan dapat menentukan kebijakan yang tepat


untuk masyarakat pada saat sebelum, setelah maupun pasca erupsi, terlebih
saat ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sudah terbentuk
sehingga diharapkan badan tersebut mampu untuk merencanakan posko
secara teratur dan tertata sehingga memudahkan pemerintah desa untuk
mencari data tempat tinggal sementara masyarakatnya serta penyediaan alat
transporatasi pada titik yang merata sehingga memudahkan masyarakat
untuk mencapainya.
2. Penambahan kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan sehingga wawasan
masyarakat tentang erupsi semakin bertambah, dengan begitu kapasitas
masyarakat dalam menghadapi erupsi Gunung berapi pun akan meningkat
83

serta Menambah intensitas pelatihan kebencanaan agar ilmu yang didapat


oleh masyarakat tidak mudah hilang dan terus diasah.
3. Disarankan dalam penanganan pasca erupsi Gunung Sinabung, pemerintah
atau perangkat desa membuat program pemulihan pasca bencana dan
pengambilan keputusan (stakeholder) dalam membuat kebijakan atau
keputusan terkait penanganan Bencana Erupsi.
4. Bagi masyarakat Desa setemat diharapkan dapat menjadi lebih waspada
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan dari Gunung Sinabung mengingat
daerah tersebut berlokasi pada Kawasan Rawan Bencana yang memiliki
potensi cukup besar terhadap terjadinya erupsi gunung berapi
84

DAFTAR PUSTAKA

Alamudi. (2020). 10 Tahun Erupsi, Ini 7 Letusan Gunung Sinabung yang Paling
Dahsyat.

Andriansyah, A. (2021). Kerugian Akibat Erupsi Sinabung Ditaksir Capai Rp 29


Miliar.

Arisanti, Y., & Nugroho, P. W. (2018). Strategi manajemen bencana di kabupaten


Magelang. Berita Kedokteran Masyarakat, 34(5), 12.
https://doi.org/10.22146/bkm.37651

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2020). Kejadian Bencana Tahun 2020.

BNPB. (2013). Gema BNBP Ketangguhan Bangsa Dalam Menghadapi Bencana.


Pusat Data, Informasi, Dan Humas BNPB, 4(3), 1–37.

BPBD Sumatera Utara. (2019). Capaian Penanganan Bencana 2019.

Budi Prihatin, R. (2018). MASYARAKAT SADAR BENCANA: PEMBELAJARAN


DARI KARO, BANJARNEGARA, DAN JEPANG. Aspirasi: Jurnal Masalah-
Masalah Sosial, 9(2), 221–239. https://doi.org/10.22212/aspirasi.v7i1.1084

BUPATI KARO. (2019). PERATURAN BUPATI KARO NOMOR 19 TAHUN


2018 TENTANG RENCANA REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI
PASCABENCANA ERUPSI GUNUNGAPI SINABUNG DIKABUPATEN
KARO TAHUN 2018-2019. Jurnal Teknologi Dan Sistem Informasi Univrab,
1(1), 2019. Retrieved from http://www.ghbook.ir/index.php?name=‫فرهنگ و رسانه‬
‫های‬
‫&نوین‬option=com_dbook&task=readonline&book_id=13650&page=73&chkhas
hk=ED9C9491B4&Itemid=218&lang=fa&tmpl=component
%0Ahttp://www.albayan.ae%0Ahttps://scholar.google.co.id/scholar?
hl=en&q=APLIKASI+PENGENA
85

Efendi, R. (2018). Lokasi Pengungsian Korban Sinabung Kini Kosong Melompong.

Efendi, R. (2020). Gerak Cepat Pemerintah Daerah Lakukan Penanganan Pascaerupsi


Gunung Sinabung.

Febrin, R. (2016). PERAN PEMERINTAH KABUPATEN KARO DALAM


PENANGGULANGAN BENCANA ALAM ERUPSI GUNUNG SINABUNG
KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA TAHUN 2013 - 2015. Jurnal
Online Mahasiswa FISIP, 3(2), 1–11.

Fitriani, I. D., Zulkarnaen, W., & Bagianto, A. (2021). Analisis Manajemen Mitigasi
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Bpbd) Terhadap Bencana Alam Erupsi
Gunung Tangkuban Parahu Di Jawa Barat. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen,
Ekonomi, & Akuntansi), 5(1), 91–111.

Habibie, M. R., Handiani, D. N., & Surmayadi, M. (2019). ANALISIS RUTE


EVAKUASI BENCANA AWAN PANAS GUNUNGAPI SINABUNG
SUMATERA UTARA ( Evacuation Routes Analysis of Pyroclastic Flows at
Mount Evacuation Routes Analysis of Pyroclastic Flows at Mount Sinabung
North. Bulletin Vulkanologi Dan Bencana Geologi, (January 2019), 41–50.

Hasriyani, E. (2018). The Analysis of Emotion Intensity Toward Health Behaviour of


the Victims of the Sinabung Volcano Eruption Dissaster in the Unika
Evacuation Area in Kabanjahe, Tanah Karo Regency. 6(2), 51–66.

Huda, A. N., & Fardha, N. M. (2019). Monitoring Deformasi Gunung Sinabung


Tahun 2018 Menggunakan Teknik Persistent Scatter Interferometry (PS InSAR)
dan Citra Sentinel-1.

Hutapea, A. D., Purba, D. H., Sihombing, R. M., Hariyanto, S., Kartika, L., Siregar,
D., … Mukarromah, I. M. (2021). Keperawatan Bencana (R. Watrianthos, Ed.).
Yayasan Kita Menulis.

Indirawati, S. M., & Sembiring, H. (2020a). Jarak Sumber Air Baku Air Minum dari
Pusat Erupsi dan Risiko Kesehatan Jarak Sumber Air Baku Air Minum dari
86

Pusat Erupsi dan Risiko Kesehatan Masyarakat di Wilayah Pasca Erupsi


Sinabung. Jurnal Kesehatan Lingkungan Masyarakat, (Oktober).
https://doi.org/10.14710/jkli.19.2.103-110

Indirawati, S. M., & Sembiring, H. (2020b). Jarak Sumber Air Baku Air Minum dari
Pusat Erupsi dan Risiko Kesehatan Masyarakat di Wilayah Pasca Erupsi
Sinabung. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 19(2), 103–110.
https://doi.org/10.14710/jkli.19.2.103-110

Indonesia, V. (2021). Sinabung Kembali Erupsi, Luncurkan Awan Panas Belasan


Kali.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Upaya Kesehatan bagi Bencana


Erupsi Sinabung.

Khambali, D. I. (2017). Manajemen Penanggulangan Bencana (1st ed.; P. Christian,


Ed.). Yogyakarta: Penerbit Andi.

Kompas. (2021). Selain Raung, Berikut 5 Gunung yang Dinilai Mulai Aktif di
Indonesia, Mana Saja?

Kristian, R. (2018). Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan


Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung. Talenta Conference Series:
Local Wisdom, Social, and Arts (LWSA), 1(1), 099–103.
https://doi.org/10.32734/lwsa.v1i1.149

Kusumayudha, S. B., Lestari, P., & Paripurno, E. T. (2018). Eruption Characteristic


of the Sleeping Volcano, Sinabung, North Sumatera, Indonesia, and SMS
gateway for Disaster Early Warning System. Indonesian Journal Of Geography,
50(1), 70–77.

Lismawaty, L., Sembiring, R., & Pinem, D. E. (2019). Strategi Membangun


Manajemen Bencana Gunung Api Berdasarkan Pemberdayaan Masyarakat di
Kabupaten Karo. Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia
(IPLBI), 8, A009-A016. https://doi.org/10.32315/ti.8.a009
87

Lubis, F. W., Sabarina, Y., & Masril, M. (2019). Penanganan Bencana Erupsi
Gunung Sinabung Ditinjau dari Aspek Komunikasi dan Koordinasi. JURNAL
SIMBOLIKA: Research and Learning in Communication Study, 5(1), 1.
https://doi.org/10.31289/simbollika.v5i1.2258

Manurung, R. (2018). Dampak Erupsi Gunung Sinabung Terhadap Kondisi Sosial


Ekonomi Petani Sayur-Sayuran Di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten
Karo.

Nidya, I. R. (2020). Bantu Korban Erupsi Gunung Sinabung, Dompet Dhuafa


Bagikan Masker dan Bersihkan Masjid.

Nurwihastuti, D. W., Astuti, A. J. D., & Yuniastuti, E. (2019). Pengurangan Risiko


Bencana Erupsi Gunung Sinabung (Cetakan Pe). Yogyakarta: Penerbit
Elmatera.

Nurwihastuti, D. W., Si, S., Sc, M., Yuniastuti, E., Pd, S., & Sc, M. (n.d.).
Pengurangan Risiko Bencana Erupsi Gunung Sinabung.

Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. (2018). Penyerahan Bantuan Bea Siswa CSR
Bank Mandiri Kepada Mahasiswa Korban Erupsi Gunung Sinabung.

Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. (2020a). Darurat Virus Corona, Posko Desa dan
Kelurahan se Kabupaten Karo akan Kembali Diaktifkan.

Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. (2020b). Pangdam I/BB Bangun MCK Untuk 3
Desa di Lereng Gunung Sinabung.

Pemerintah Daerah Kabupaten Karo. (2021). Bupati Karo dan Kadishub Sumut
Rencanakan Peresmian Terminal Type B Kabanjahe 16 Februari.

Pratiwi, D. S., Hidayat, E. R., & Widjaja, W. (2019). Manajemen Penanganan Anak
Di Pengungsian Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Provinsi
Sumatera Utara. Jurnal Manajemen Bencana (JMB), 5(1), 33–46.
https://doi.org/10.33172/jmb.v5i1.607
88

Prima, A., & Meliala, A. (2017). Hambatan dan peluang dalam pembuatan hospital
disaster plan  : studi kasus dari Sumatera Utara. Journal Of Community
Medicine And Public Health, 33 Nomor 1, 595–602.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. (2020). Laporan Kebencanaan


Geologi.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. (2021). Press Release Aktivitas
Vulkanik G. Sinabung.

Rahma, F. N., Larasati, D. A., & Pd, S. (n.d.). STRATEGI PENGHIDUPAN PASCA
ERUPSI GUNUNG KELUD DESA SUGIHWARAS KECAMATAN NGANCAR
KABUPATEN KEDIRI (Studi Kasus Masyarakat di Desa Sugihwaras).

Rahmawati, W., & Sugiantoro, H. A. (2019). Pola Jaringan Komunikasi Layanan


Kesehatan bagi Penyandang Disabilitas Korban Erupsi Gunungapi Merapi.
Channel Jurnal Komunikasi, 7(2), 97–104.

Renny Febrin. (2015). Peran Pemerintah Kabupaten Karo Dalam Penanggulangan


Bencana Alam Erupsi Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatera Utara
Tahun 2013 ± 2015. 3(2), 10–17.

S, E., Mahendra, D., & MRL.Batu, A. (2019). Manajemen gawat darurat dan
bencana. In Journal.Thamrin.Ac.Id. Jakarta.

Sianturi, A. (2016). Jumlah Korban Tewas Erupsi Sinabung Jadi 9 Orang.

Siregar, A. Z., & Husmiati. (2016). Trauma Healing Anak-anak Korban Erupsi
Gunung Sinabung Children. (1), 57–64.

Siregar, W. A. (2020). Kemensos Salurkan Bantuan Rp2,67 Miliar untuk Korban


Erupsi Gunung Sinabung.

Suri, N. K. (2015). Analisis Kinerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah


Kabupaten Karo Dalam Upaya Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung
Sinabung di Kabupaten Karo. Perspektif, 8(1), 456–477.
89

Syapitri, H., & Hutajulu, J. (2018). Strategi Adaptasi Penduduk Desa Gurukinayan
Pasca Erupsi Gunung Sinabung. Jurnal Mutiara Ners, 1(2), 134–143. Retrieved
from e-journal.sari-mutiara.ac.id/index.php/NERS/article/download/362/345/

Syariah, B. (2020). NI Syariah Salurkan Bantuan kepada Masyarakat Terdampak


Letusan Gunung Sinabung.

Tarigan, Y. G., & Maimunah, S. (2019). Particulate Matter One Exposure (PM1) and
CO2 and Its Effects on the Health of Islanders due to Volcanic Ash of Mt.
Sinabung. Jurnal Kesehatan Global, 2(1), 28–36.

Tempo, M. (2016). Mitigasi Bencana Sinabung.

Tyas, Maria Diah Ciptaning. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen


Bencana (1st ed.; F. Zamil & A. Sutisna, Eds.). Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Tyas, Maria Dyah Ciptaning. (2016). Keperawatan Kedaruratan & Manajemen


Bencana. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007 (pp. 14–


21). (2007).

Usman, E. F., Hariyani, S., & Kurniawan, E. B. (2020). KEARIFAN LOKAL


DALAM PROSES EVAKUASI AKIBAT DAMPAK ERUPSI GUNUNG
BROMO.

Widayatun, & Fatoni, Z. (2013). Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi


Bencana:Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat (Health Problems
in a Disaster Situation : the Role of Health Personnels and Community
Participation). Jurnal Kependudukan Indonesia, 8(1), 37–52.

Yanuarto, T. (2020). Pemerintah Daerah Setempat Lakukan Penanganan Pascaerupsi


Gunung Sinabung.

Yuarsa, T. A. (2019). Pengaruh debu vulkanik pada erupsi gunung berapi diy
90

terhadap kesehatan paru. Jurnalis, 2(1), 51–64.

Anda mungkin juga menyukai