Anda di halaman 1dari 43

Pendidikan

Kewarne
garaan
2
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
(AMKU 113)

Dosen Pengampu:

Dr. Acep Supriadi, M.Pd, M.Ap

Disusun Oleh:
Muhammad Donny Chandra
(1710115110013)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2018
PENGANTAR PENULIS

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lag Maha
Penyayang, Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini.
Shalawat dan Salam tak lupa saya haturkan keharibaan junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, atas bimbingan Beliau sehingga saya dapat membedakan mana
yang benar dan mana yang salah.

Saya sadari tugas akhir ini jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan didalamnya, baik dalam hal penyajian materi ataupun
tampilannya, sehingga kritik dan saran dari pembaca makalah sangat diharapkan
dan saya berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Banjarmasin, 04 Juni 2018

Muhammad Donny Chandra

i
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS...................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I
PENGERTIAN IKN DAN PEMBELAJARAN, PEMBELAJARAN PKN, MASALAH-
MASALAH PKN...............................................................................................................1
A. PENGERTIAN ILMU KEWARGAAN NEGARA (IKN).....................................1
B. PENGERTIAN PEMBELAJARAN.......................................................................3
C. PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN............................4
D. MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN...................6
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PEMBELAJARAN PKN.....................................................8
A. TUJUAN PEMBELAJARAN PKN.......................................................................8
B. MANFAAT PEMBELAJARAN PKN...................................................................9
BAB III
PERBEDAAN CIVIC DAN PKN....................................................................................10
BAB IV
RUANG LINGKUP PKN................................................................................................11
BAB V
PERKEMBANGAN KURIKULUM CIVIC DAN PKN DI INDONESIA......................14
BAB VI
JANTUNG PKN..............................................................................................................17
BAB VII
PROBLEM SALVING....................................................................................................22
A. PROBLEM SOLVING.........................................................................................22
B. MANFAAT PROBLEM SOLVING....................................................................23
C. LANGKAH-LANGKAH PROBLEM SOLVING METHOD..............................24
D. KELEBIHAN PROBLEM SOLVING.................................................................26
E. KEKURANGAN PROBLEM SOLVING............................................................26
F. SOLUSI PROBLEM SOLVING..........................................................................27
BAB VIII
TUJUAN AKHIR PEMBELAJARAN PKN....................................................................28
BAB IX
PEMBELAJARAN PKN SEBAGAI PEMBELAJARAN DEMOKRATIF.....................30

ii
BAB X
ISU-ISU PEMILU............................................................................................................32
A. PENGERTIAN PEMILIHAN UMUM................................................................32
B. TUJUAN DAN FUNGSI PEMILIHAN UMUM.................................................33
C. ISU-ISU PEMILU 2019.......................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................36

iii
BAB I
PENGERTIAN IKN DAN PEMBELAJARAN, PEMBELAJARAN PKN,
MASALAH-MASALAH PKN

A. PENGERTIAN ILMU KEWARGAAN NEGARA (IKN)

Istilah IKN merupakan terjemahan dari Civics. Secara etimologis


Civics berasal dari kata Civicus (Bahasa Latin) yang searti dengan citizens
(Bahasa Inggris) yang dapat diartikan:
1. warga negara
2. petunjuk dari sebuah kota
3. sesama warga negara, sesama penduduk, orang setanah air
4. bawahan atau kaula

Secara terminologis, Civics diartikan sebagai berikut:


1. Menurut Stanley E. Dimond dan Elmer F. Peliger (1970), Civics
didefinisikan sebagai studi yang berhubungan dengan tugas-tugas
pemerintah dan hak kewajiban warga negara.
2. Dalam Dictionary or Education (Nu’man Somantri, 1976:45)
dinyatakan bahwa Civics merupakan unsur ilmu politik atau cabang
ilmu politik yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara.
3. Artikel tertua yang merumuskan definisi Civics adalah majalah
“Education” pada tahun 1886 yang memberikan batasan Civics
sebagai berikut: suatu ilmu tentang kewarganegaraan yang
berhubungan dengan manusia sebagai individu dalam suatu
perkumpulan yang terorganisir dalam hubungannya dengan negara
(Soemantri, 1976:45). Definisi dalam Majalah Education tersebut,
dinilai masih bersifat umum atau dalam arti yang luas. Dimond
memberikan definisi yang bersifat sempit dalam arti dalam kaitannya
dengan aktivitas-aktivitas di sekolah. Ia menyatakan bahwa Ilmu
Kewarganegaraan (Citizenship) hanya terbatas pada pembahasan status
legal seseorang dalam suatu negara, aktivitas-aktivitasnya dalam
melakukan fungsi-fungsi politik seperti pemberian suara, organisasi
pemerintah, pejabat-pejabat publik, dan hak-hak dan kewajiban
sebagaimana yang diatur, oleh hukum (Nu’man Somantri 1976:31).
4. Dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila (1988:49)
dinyatakan: “Pengertian ilmu kewarganegaraan ialah ilmu yang
mempelajari mengenai warga negara sesuatu negara tertentu ditinjau
dari segi hukum tata negara. Yang dipelajari ialah antara lain siapakah
yang disebut warga negera, apa yang menjadi hak dan kewajibannya,

1
cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan, wilayah tempat
tinggal warga negara”.
5. Ahmad Sanusi (1972:3) sebagai salah satu pakar bidang IPS (Social
Studies) menyatakan: “Sejauh Civics dapat dipandang sebagai disiplin
dalam ilmu politik, maka focus studinya mengenai kedudukan dan
peranan warga negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya
sesuai dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara yang
bersangkutan”.
6. Menurut hasil Seminar Nasional Pengajaran dan Pendidikan Civics
(Civics Education) Tahun 1972 di Tawangmangu, Surakarta: “IKN
yaitu suatu disiplin yang objek studinya mengenai peranan para warga
negara dalam bidang spiritual, sosial, ekonomi, politis, yuridis, kultural
sesuai dengan dan sejauh yang diatur dalam Pembukaan UUD 1945
dan UUD 1945”.

Bila Anda mencermati pengertian IKN secara terminologi, maka ada


dua penglihatan atau perspektif dalam mengartikan IKN yaitu melihat
sebagai bagian dari ilmu politik dan yang melihat dari Hukum Tata Negara
(HTN). Bagaimana penjelasan dari kedua perspektif tersebut, berikut
penjelasannya:

A. Peninjauan Civics dari Ilmu Politik


Civics sebagai bagian dari ilmu politik mengambil bagian isi ilmu
politik yang berupa demokrasi politik (Nu’man Somantri: 1976:23).
Dan demokrasi politik merupakan fokus pelajaran Civics. Kiranya
pendapat ini tepat karena civics seperti yang dimaksudkan oleh Dimon
membicarakan status warga negara dan aktivitasnya yang berkaitan
erat dengan fungsi politik. Sedangkan isi demokrasi politik (Nu’man
Somantri, 1976:36) seperti:
1) teori-teori tentang demokrasi politik
2) konstitusi negara
3) sistem politik
4) pemilihan umum
5) lembaga-lembaga decision makers
6) presiden
7) lembaga yudikatif dan legislative
8) output dari sistem demokrasi politik
9) kemakmuran umum dan pertahanan negara
10) perubahan sosial

2
B. Peninjauan Civics dari Hukum Tata Negara
“Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai sekumpulan
peraturan hukum yang mengatur organisasi dari negara, hubungan
antaralat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal,
serta kedudukan warga negara dan hak-hak asasinya” (Moh. Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim, 1983:29). Pendekatan Hukum Tata Negara
yang ideal dalam Civics/IKN tentunya semata-mata melihat dari segi
yuridis formal, tetapi juga ditambah dari segi sosio-politis. Oleh karena
itu dapat ditafsirkan bahwa peninjauan Civics yang berintikan
demokrasi politik dari segi Hukum Tata Negara dimaksud adalah
melihat dari segi yuridis formal dan sosio-politis tentang status dan
peranan warga negara.

Dari berbagai definisi tentang Civics yang telah dikemukakan tersebut


di atas dapat dinyatakan:

1. Civics disebut juga Ilmu Kewargaan Negara (IKN)


2. Civics merupakan bagian atau cabang Ilmu Politik, yang mengambil
porsi demokrasi politik.
3. Civics bisa diartikan dalam pengertian sempit yang tekanannya pada
demokrasi politik, dan dalam arti luas menyangkut juga demokrasi
ekonomi dan demokrasi sosial.
4. Titik tolak Civics pada individu-individu warga negara yang berupa
kontinum variable
5. Peninjauan Civics dari Hukum Tata Negara (HTN), dalam arti melihat
peranan warga negara di samping dilihat secara yuridis formal, juga
melihat dari sosio-politis
6. Yang dibicarakan civics adalah mengenai: peranan warga negara atau
hak dan kewajiban dalam berbagai aspek kehidupan, tanggung jawab
warga negara baik terhadap diri, masyarakat dan negaranya, maupun
tugas-tugas pemerintahan.

B. PENGERTIAN PEMBELAJARAN

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan


pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses
pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat,
serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata
lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat
belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang

3
manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran
mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun
mempunyai konotasi yang berbeda.
Pembelajaran adalah pemberdayaan potensi peserta didik menjadi
kompetensi. Kegiatan pemberdayaan ini tidak dapat berhasil tanpa ada
orang yang membantu. Menurut Dimyati dan Mudjiono (Syaiful Sagala,
2011: 62) pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam
desain instruksional, untuk membuat belajar secara aktif, yang
menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa Pembelajaran
adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.
Konsep pembelajaran menurut Corey (Syaiful Sagala, 2011: 61)
adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja
dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu
dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi
tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan.
Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang
untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang
baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui
kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan
dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang
ekonominya, dan lain sebagainya.kesiapan guru untuk mengenal
karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama
penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan
pembelajaran.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar
dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah
laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan
didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif
lama dan karena adanya usaha.

C. PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Pembelajaran PKn merupakan salah satu mata pelajaran pokok di


sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan warga negara
dalam dimensi spiritual, rasional, emosional dan sosial, mengembangkan
tanggung jawab sebagai warga negara, serta mengembangkan anak didik
berpartisipasi sebagai warga negara supaya menjadi warga negara yang
baik.

4
Menurut Udin S. Winataputra, dkk (2007: 5.52) Dalam
pembelajaran PKn, kemampuan menguasai metode pembelajaran
merupakan salah satu persyaratan utama yang harus dimiliki guru. Metode
yang dipilih dalam pembelajaran PKn harus disesuaikan dengan
karakteristik tujuan pembelajaran PKn, karakteristik materi pembelajaran
PKn, situasi dan lingkungan belajar siswa, tingkat perkembangan dan
kemampuan belajar siswa, waktu yang tersedia dan kebutuhan siswa itu
sendiri. Veldhuis (1998) dalam Udin S. Winataputra, dkk (2007: 21)
mengemukakan bahwa dalam proses pendidikan kewarganegaraan, kita
harus membedakan antara aspek-aspek pengetahuan (knowledge), sikap
dan pendapat (attitudes and opinions), keterampilan intelektual
(intellectual skills), dan keterampilan partisipasi (participatory skills).
Aspek-aspek di atas harus diintegrasikan dalam proses pembelajaran
menjadi suatu sinergi sehingga pesan pembelajaran dapat ditangkap oleh
siswa secara benar dan optimal serta dapat dipraktikkan dalam perilaku
sehari-hari. Guru dapat mengupayakan terwujudnya hal tersebut dengan
cara melaksanakan proses pembelajaran yang tepat.
Ketidakmampuan guru mengemas kegiatan pembelajaran PKn
dengan tepat akan berakibat terhadap ketidakmaksimalan hasil belajar
siswa. Berdasarkan hasil evaluasi belajar siswa dalam pembelajaran PKn
diketahui bahwa ketidakberhasilan itu disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain:
1. Metode ceramah yang digunakan menyebabkan pembelajaran lebih
berfokus pada guru sehingga siswa menjadi pasif
2. Siswa kurang antusias mengikuti proses pembelajaran, bahkan ada
beberapa siswa yang mengantuk

Untuk mengatasi masalah tersebut, ada beberapa alternative yang


dapat dilakukan, yaitu:

1. Menggunakan metode simulasi


2. Membangkitkan motivasi belajar siswa

Sebagai tindakan untuk memecahkan masalah di atas, penggunaan


metode simulasi dalam pembelajaran ini merupakan pilihan yang tepat.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wyatt S Looper (1999) dalam
Ahmad Zaini (2007) menyajikan kerucut pengalaman yang menjelaskan
bahwa jika pembelajaran yang dilakukan guru membuat siswa
mempraktekan hal yang nyata, maka tingkat ingatan siswa terhadap materi
belajar dalam kegiatan pembelajaran tersebut mencapai 90%.

5
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Edgar Dale (1969) dalam
Azhar Arsyad (2006) menggambarkan keefektifan pembelajaran melalui
pengalaman langsung ke dalam Dale’s Cone of Experience (Kerucut
Pengalaman Dale) bahwa pengalaman langsung akan memberikan kesan
paling utuh dan paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang
terkandung dalam pengalaman itu, karena melibatkan semua indera
(penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba).

D. MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses pembelajaran


yang berusaha untuk membangun pengetahuan kewarganegaraan (civic
knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan kebajikan
kewarganegaraan (civic disposition) peserta didik, sehingga tujuan untuk
membentuk warga negara yang baik dapat terwujud. Pendidikan
Kewarganegaraan pada dasarnya adalah ujung tombak untuk membangun
karakter bangsa peserta didik, karena Pendidikan Kewarganegaraan adalah
pendidikan moral yang mengajarkan nilai-nilai kepribadian bangsa
Indonesia yang tertuang di dalam Pancasila. Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan pola pikir,
sikap dan perilaku warga negara. Di sisi lain, Pendidikan
Kewarganegaraan adalah solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang
menyelimuti pendidikan di Indonesia, yaitu kurang maksimalnya dalam
membangun karakter peserta didik. Meskipun Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan ujung tombak dalam membangun karakter
bangsa, namun di dalam implementasinya sering mengalami kendala
sehingga tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tidak tercapai.
Kendala atau masalah yang dialami Pendidikan Kewarganegaraan
di dalam proses pembelajaran selama ini, yaitu sebagai berikut:
1) Selalu menekankan aspek kognitif (mengingat) sehingga karakter
peserta didik masih kurang diperhatikan. Sehingga tujuan untuk
menciptakan peserta didik yang kritis dan bertanggung jawab masih
belum terealisasi. Bahkan sebagian besar peserta didik beranggapan
bahwa mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata kuliah
formalitas dan hanya sebagai syarat untuk kelulusan saja, sehingga
anggapan tersebut memunculkan suatu kesimpulan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan di mata peserta didik adalah mata pelajaran dan
mata kuliah yang tidak penting. Hal ini menjadi pukulan besar bagi
guru atau dosen Pendidikan Kewarganegaraan karena mata pelajaran
dan mata kuliah yang diampu dianggap tidak penting dan hanya
sebagai syarat kelulusan saja.

6
2) Kompetensi guru juga menjadi penghalang terbangunnya karakter
peseta didik, karena sebagian besar guru di Indonesia belum mampu
menguasai 4 kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan
kepribadian) secara menyeluruh. Berdasarkan pengamatan seorang
peneliti, banyak guru yang sudah memiliki kompetensi profesional,
mampu menguasai teori-teori materi dalam Pendidikan
Kewarganegaraan, namun masih banyak guru yang belum memiliki
kompetensi pedagogik, sehingga pembelajaran di kelas peserta didik
selalu mengalami kejenuhan atau bosan terhadap mata pelajaran
karena metode yang digunakan tidak variatif.
3) Metode pembelajaran (khususnya metode ceramah) yang digunakan
oleh guru di dalam proses pembelajaran yang monoton juga membuat
tidak maksimalnya proses pembangunan karakter peserta didik.
Selama ini guru selalu menggunakan metode ceramah yang hanya
transfer of knowledge, sehingga keterampilan dan karakter peserta
didik belum bisa dibangun dengan maksimal. Padahal peran guru tidak
hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan saja, melainkan juga
memberikan bimbingan sehingga peserta didik mempunyai jiwa dan
watak yang baik, mampu membedakan mana yang baik dan buruk
serta yang halal dan haram (Sagala, 2003, p. 13). Pada dasarnya
kelemahan Pendidikan Kewarganegaraan selama ini selalu
menggunakan metode ceramah, sehingga selalu mengedepankan aspek
kognitif saja, seperti yang diungkapkan oleh Soemantri (2001, p. 304),
yaitu metode pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dulu
bernama civic masih menggunakan teknik mengajar yang tradisional,
yaitu menggunakan metode ceramah dan indoktrinasi. Metode
ceramah adalah metode yang membosankan dalam proses
pembelajaran, karena metode tersebut tidak memberikan kesempatan
peserta didik untuk beriteraksi dengan teman dan guru.

Fenomena ini menjadi salah satu munculnya permasalahan yang


dialami pendidikan di Indonesia, yaitu krisis karakter pemuda
sehingga berdampak pada banyak tindakan kriminal yang dilakukan
oleh pemuda Indonesia.

7
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PEMBELAJARAN PKN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN PKN

Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk:


1. Menambah pengetahuan atau wawasan peserta didik akan segala hal yang
terkait dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan
benar melalui berbagai cara dan metode (aspek kognitif)
2. Membina dan membentuk sikap warga negara yang mau dan meyakini
akan pengetahuan yang telah diperoleh. Dengan demikian, pengetahuan
yang telah dipahami tersebut akan diyakini dan terinternalisasi dalam diri
atau mempribadi dalam jiwa peserta didik, yang akan menjadi sikapnya
dalam menanggapi persoalan-persoalan yang ada (aspek sikap)
3. Melatih keterampilan kewarganegaraan kepada peserta didik untuk dapat
menjadi warga negara yang terampil berdemokrasi. Hal ini dilakukan
melalui atau dengan cara membiasakan atau membudayakan kepada
peserta didik bersikap dan berperilaku sesuai nilai-nilai serta norma yang
berlaku dalam kehidupan sehari-hari (aspek psikomotor).

Semua hal di atas nampaknya sejalan dengan tujuan pendidikan yang


dicanangkan oleh UNESCO, yakni learning to know (aspek Pengetahuan),
learning to be (aspek Afektif), learning to do and learning to life to gether
(aspek keterampilan). Untuk itu semua maka PKn dikembangkan agar mampu
mengarahkan warga negara yang dinamis dalam rangka menghadapi tantangan
di era global. Warga Negara yang diharapkan melalu PKn adalah:

a) Warga negara yang cerdas


b) Warga negara yang memiliki komitmen
c) Warga negara yang mampu melibatkan diri atau partisipatif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia serta dalam
pergaulan internasional.

Di era global ini, Pendidikan Kewarganegaraan diarahkan lebih fungsional


dan dapat membantu peserta didik dalam memecahkan persoalan serta mampu
mengambil keputusan sendiri di dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Untuk itu PKn hendaknya disesuaikan dengan
tuntutan dan perkembangan masyarakat. Maksudnya, PKn hendaknya mampu
sebagai wahana yang dapat membentuk dan mengembangkan peserta didik
menjadi warga negara yang memiliki kecerdasan agar mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungannya.

8
Sedangkan, tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam
Depdiknas (2006: 49) sebagai berikut:

1. Berfikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu


Kewarganegaraan
2. Berpatisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab, serta bertindak secara
sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lain
4. Beinteraksi dengan bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung
dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi

B. MANFAAT PEMBELAJARAN PKN


Dengan menguasai Pendidikan Kewarganegaraan, kita dapat merasakan
manfaatnya yaitu:

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menghadapi berbagai


masalah kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
secara berdampingan dengan sesama
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memenfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi

9
BAB III
PERBEDAAN CIVIC DAN PKN

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah perluasan dari civics yang


lebih menekankan pada aspek-aspek praktik kewarganegaraan. Oleh sebab itu,
Pendidikan Kewarganegaraan mempersiapkan siswa menjadi warga negara
yang memahami perannya sebagai warga negara.
A. Civics (Ilmu Kewarganegaraan)
Cheresore dalam Budimansyah, D dan Suryadi, K (2008:2)
mengartikan Civics Sebagai the Science of citizhenship atau Ilmu
Kewarganegaraan yang isinya mempelajari hubungan antara individu dan
individu dan Negara. Dalam hal ini individu itu sebagai warga negara
sehingga civics mempelajari tentang hubungan antara warga negara dan
negara.
Kewarganegaraan dalam Bahasa Latin disebut “CIVIS”
selanjutanya dari kata “CIVIS” dalam bahasa inggris disebut “Civic”
artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata Civic ini,
lahirlah kata Civics (Ilmu kewarganegaraan), Civic Education dan
Pendidikan Kewarganegaraan (Darmadi, 2010:7).

B. Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan)


Mahoney dalam Budimansyah, D dan Surayadi K. (2008)
menjelaskan Civic Education merupakan suatu proses pembelajaran semua
mata pelajaran, kegiatan siswa, proses adminsitrasi dan pembinaan dalam
upaya mengembangkan perilaku warga negara yang baik. Azyumardi Azra
dalam Darmadi (24:2010) Rumusan Civic Education mencakup:
1) Pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-
lembaganya
2) Pemahan tentang “rule of law” dan Hak Asasi Manusia seperti
tercermin dalam rumusan-rumusan perjanjian dan kesepakatan
internasional dan lokal
3) Penguatan ketrampilan partisipasi yang akan memperdayakan peserta
didik untuk merespons dan memecahkan masalah-masalah masyarakat
secara demokratis
4) Pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian pada lembaga-
lembaga pendidikan dan seluruh aspek kehidupan masyarakat

10
BAB IV
RUANG LINGKUP PKN

Untuk lebih memahami cakupan atau ruang lingkup PKn, tentunya kita
harus mengetahui terlebih dahulu cakupan atau ruang lingkup dari IKn.
Cakupan IKn adalah demokrasi politik. Pendapat ini didasarkan karena IKn
atau Civics mengambil bagian isi ilmu politik yang berupa demokrasi politik
(Cholisin, 2000: 1.8). Unsur-unsur yang ada pada demokrasi politik, yaitu
sebagai berikut:
a) Teori-teori tentang demokrasi politik
b) Konstitusi negara
c) Sistem politik
d) Pemilihan umum
e) Lembaga-lembaga decision maker
f) Presiden
g) Lembaga yudikatif dan legislatif
h) Output dari sistem demokrasi politik
i) Kemakmuran umum dan pertanahan negara
j) Perubahan Sosial (Somantri) dalam Cholisin (2000: 1.26)

Senada dengan pendapat bahwa IKn sebagai bagian dari ilmu politik,
Ahmad Sanusi dalam Cholisin (2000: 1.26), menyatakan bahwa cakupan IKn
meliputi kedudukan dan peranan warga negara dalam menjalankan hak dan
kewajibannya sesuai dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara
yang bersangkutan. Hasil Seminar Nasional pengajaran dan pendidikan civics
(Civics Educations) di Tawangmangu 1972, Solo (dalam Cholisin, 2000: 1.26)
merumuskan bahwa cakupan IKn adalah peranan warga negara negara
dibidang spiritual, ekonomi, politis, yuridis, kultural sesuai dengan dan sejauh
yang diatur dalam Pembukaan dan UUD 1945.

Hasil dari analisis Cholisin terhadap beberapa cakupan atau ruang lingkup IKn
diatas adalah pendapat pertama (Demokrasi politik sebagai cakupan IKn)
hanya menekankan peranan warga negara dibidang politik. Sedangkan
pendapat kedua (Ahmad Sanusi) dan ketiga (Seminar di Tawangmangu 1972),
tidak hanya membatasi pada peranan dibidang politik, tetapi juga dibidang
lain seperti peranan di bidang ekonomi dan sosial.

Secara lebih rinci Cholisin (2000: 1.27) mengajukan cakupan IKn


meliputi: teori hubungan warga negara dengan negara atau pemerintah, tugas-
tugas pemerintah, proses pemerintahan sendiri (Sistem politik), peranan warga

11
negara dalam berbagai bidang kehidupan (hak kewajiban warga negara dan
HAM) dan bagaimana pelaksanaan hak-hak tersebut sesuai dengan sistem
politik yang berlaku, dan sifat-sifat yang esensial yang harus ada pada profil
warga negara yang baik. Peneliti menambahkan bahwa cakupan IKn tidak
hanya pada demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi dan demokrasi
sosial. Jadi sependapat dengan apa yang diutarakan dalam Hasil Seminar
Nasional pengajaran dan pendidikan civics (Civic Education) di
Tawangmangu 1972, Solo, bahwa cakupan IKn tidak hanya peranan dalam
ranah politik saja tetapi juga peranan warga negara dalam bidang spiritual,
ekonomi, yuridis, kultural dengan dan sejauh yang diatur dalam Pembukaan
dan UUD 1945.

Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan diatur dalam Permendiknas


No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Ruang Lingkup mata pelajaran PKn untuk pendidikan dasar dan
menengah secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1) Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi rukun dalam perbedaan, cinta


lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda,
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam
pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan.
2) Norma, hukum, dan peraturan, meliputi tertib dalam kehidupan keluarga,
tata tertib di sekolah, norma yang berlaku dimasyarakat, peraturan-
peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan
internasional.
3) Hak Asasi Manusia, meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban
anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM,
pemajuan penghormatan dan perlindungan HAM.
4) Kebutuhan warga negara, meliputi hidup gotong royong, harga diri
sebagai masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan
pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan
kedudukan warga negara.
5) Konstitusi negara, meliputi proklamasi kemerdekaan dan konsitusi yang
pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia,
hubungan dasar negara dengan konstitusi.
6) Kekuasaan dan politik, meliputi pemerintahan desa dan kecamatan,
pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan
sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat
madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
7) Pancasila, meliputi, kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar negara,

12
pengamalan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pancasila
sebagai ideologi terbuka.
8) Globalisasi, meliputi: globalisasi dilingkungannya, politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional
dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

Berdasarkan ruang lingkup diatas, diketahui bahwa materi yang ada dalam
PKn terdiri dari diantaranya tentang materi nilai-nilai, norma dan peraturan
hukum yang mengatur perilaku warga negara, sehingga diharapkan peserta
didik dapat mengamalkan materi tersebut dalam kehidupan sehari-hari
menjadi karakter pribadi yang melekat pada setiap individu peserta didik.

13
BAB V
PERKEMBANGAN KURIKULUM CIVIC DAN PKN DI INDONESIA

Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan adalah acuan untuk mewujudkan


tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang merangsang siswa
untuk memiliki kecakapan berfikit secara kritis, rasional dan kreatif. Di
samping itu juga meningkatkan partisipasi aktif dan rasa bertanggung jawab
serta membiasakan bertindak cerdas dalam kegiatan masyarakat dalam
menanggapi isu-isu kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang
fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam substansi kurikulum PKn yang sering berubah dan tentu saja
disesuaikan dengan kepentingan negara. Secara historis, epistemologis dan
pedagogis, Pendidikan Kewarganegaraan berkedudukan sebagai program
kurikuler.
1. Kurikulum tahun 1957
Terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum.

2. Kurikulum tahun 1962


Mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962 yang
berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata
pelajaran Civics atau kewarganegaraan, pada dasarnya berisikan
pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah,
geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi
manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri,
1969:7).

3. Kurikulum tahun 1968 dan 1969


Istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara
bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968
digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai
nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia,
geografi Indonesia, dan civics (diterjemahkan sebagai pengetahuan
kewargaan negara). Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan
istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia
dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam kurikulum SMA
1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi,
terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam
Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang

14
isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi,
pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1968a;
1968b; 1968c; 1969). (Winataputra, 2006: 1). Secara umum mata pelajaran
Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang nasionalisme,
patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri,
2001:298).

4. Kurikulum tahun 1973/1974


Pendidikan Kewiraan dimulai tahun 1973/1974, sebagai bagian
dari kurikulum pendidikan nasional, dengan tujuan untuk menumbuhkan
kecintaan pada tanah air dalam bentuk PPBN yang dilaksanakan dalam
dua tahap, yaitu tahap awal yang diberikan kepada  peserta didik SD
sampai sekolah menengah dan pendidikan PPBN tahap lanjut diberikan di
PT dalam bentuk pendidikan kewiraan.

5. Kurikulum tahun 1975


Istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana
diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau
P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang diamanatkan oleh
Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata
pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata
pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai
dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan
penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976).
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa itu berorientasi pada value
inculcationdengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).

6. Kurikulum tahun 1994


Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan
kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal
39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994
mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan
memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya,
Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan
atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang
disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan
menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept

15
development (Taba, 1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila
Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan
kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini
karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation  dan knowledge
dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang
dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan
pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku
yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan
pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini
nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).

7. Kurikulum tahun 2004


Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan
nama Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan
Kewarganegaraan berubah nama menjadi Kewarganegaraan. 

8. Kurikulum tahun 2006


Tahun 2006 namanya berubah kembali menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak terdapat perubahan yang
berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan
pada masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini
dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimlementasian PKn


sebagaimana diuraikan atas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan
dalam kerangka pikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis
konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Secara konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum
sebagai berikut:
1. 1956 : Kewarganegaraan
2. 1959 : Civics
3. 1962 : Kewarganegaraan
4. 1968 : Pendidikan Kewarganegaraan
5. 1975 : Pendidikan Moral Pancasila
6. 1994 : Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan
7. 2003 : Pendidikan Kewarganegaraan

16
BAB VI
JANTUNG PKN

Tanpa jantung PKn, maka pembelajaran PKn akan mati. Jantung PKn
terdiri dari 4 dimensi utama, yaitu sebagai berikut:
1. Dimensi Pendidikan dan Moral
Dimensi pendidikan nilai dan moral adalah salah satu dimensi yang
terdapat dalam pembelajaran kewarganegaraan, dimana nilai tersebut
memiliki arti realitas abstrak sebagai perinsip–perinsip yang menjadi
pedoman dalam hidup. Nilai juga berfungsi sebagai acuan perilaku setiap
individu. Moral adalah aturan yang bersumber dari hati nurani untuk
membimbing perilaku dan cara berfikir.
Melalui proses pendidikan, manusia diharapkan dapat memperoleh
nilai kemanusiaannya, sehingga dapat menyadari realitas sosial yang
terjadi disekitarnya dan menyadari perannya untuk berperilaku
sebagaimana mestinya atas realitas sosial tersebut.

2. Dimensi Hukum dan Kemasyarakatan


Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan
dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan
bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar
masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi
hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan
hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan
di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk
meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum
internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan
mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. Filsuf
Aristoteles menyatakan bahwa Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih
baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela.
Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum
pidana/hukum publik, hukum perdata/hukum pribadi, hukum acara, hukum
tata negara, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara, hukum
internasional, hukum adat, hokum Islam, hukum agraria, hukum bisnis,
dan hukum lingkungan.
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum
Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut,
baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari

17
Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan
wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie).
Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut
Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di
bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia
juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan
atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat
dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia masyarakat dibagi
menjadi beberapa bagian yang mempunyai arti antara lain:
Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia, sehimpunan manusia yang
hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan aturan ikatan-ikatan yang
tentu. Bermasyrakat adalah merupakan masyarakat yang bersekutu.
Permasyarakatan adalah lembaga yang mengurus orang hukuman.
Kemasyarakatan adalah mengenai masyarakat, sifat-sifat atau hal
masyarakat.
Ralp Linton (1936: 91), mendefinisikan masyarakat (society)
adalah “Setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama
cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri
mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batasnya yang jelas”.
David Krech, Richard S. Crutcfield dan Egerton L. Ballachey
(1962: 308), mendefinisikan masyarakat adalah “Masyarakat adalah suatu
kumpulan manusia yang berinteraksi yang aktivitas-aktivitasnya terarah
pada tujuan-tujuan yang sama dan yang cenderung memiliki sistem
kepercayaan, sikap serta bentuk kegiatan yang sama”
Masyarakat dalam arti yang luas, berarti sekelompok manusia yang
memiliki kebiasaan, ide dan sikap yang sama, hidup di daerah tertentu,
menganggap kelompoknya sebagai kelompok sosial dan berinteraksi.
(Buku ISD karangan, Prof. Dr. Tajul Arifin. MA hal. 45).
Dengan melihat berbagai arti dari Kemasyarakatan itu sendiri maka
Masyarakat memiliki berbagai syarat agar dapat disebut demikian yang
diantaranya:
1. Populasi penduduk dari berbagai keturunan
2. Kebudayaan atau Kultur yaitu karya, cipta dan rasa dari kehidupan
bersama yang dimiliki oleh manusia
3. Hasil-hasil kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia dari bidang
teknologi, dan pendayagunaan alam secara maksimal
4. Organisasi Sosial yaitu sebagai jaringan bagi warga baik secara
individu kepada individu, peranan-peranan, kelompok social dan kelas
sosial
5. Lembaga sosial dan Sistemnya, sebagai salah satu aturan bagi sebuah
masyarat yang harus dijaga untuk kebaikan masyarakat itu sendiri

18
dengan membatasi tingkah laku masyrakat yang menyimpang dengan
norma-norma yang berlaku

3. Dimensi Politik dan Kewarganegaraan


Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat berwujud proses pembuatan keputusan (decision
making) khususnya dalam negara. Dengan demikian ilmu politik adalah
cabang dari ilmu sosial yang berdampingan dengan cabang ilmu sosial
lainnya seperti antropologi, sosiologi, ekonomi dan psikologi. Ilmu politik
yang sama dengan ilmu sosial lainnya berobjekkan manusia sebagai
kelompok masyarakat. Ilmu tersebut mempelajari tentang kerjasama
manusia untuk mencapai sesuatu.
Secara etimologis, politik berasal dari bahasa yunani “Polis” yang
berarti kota berstatus negara. Istilah politik diartikan berbagai macam
kegiatan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Plato dan Aristoles mengemukakan en dam onia atau the good life (usaha-
usaha mencapai kehidupan yang baik). Dalam teori politik ada beberapa
bahasan, antara lain filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara,
masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan
sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh
negara-negara di dunia, antara lain: anarkisme, autoritarian, demokrasi,
diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme
keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme,
liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki,
nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.
Kewarganegaraan menunjuk pada seperangkat karakteristik
seorang warga. Karakteristik itu mencakup: perasaan akan identitas,
pemilikan hak-hak tertentu, pemenuhan kewajiban-kewajiban yang sesuai,
penerimaan nilai-nilai sosial dasar. Memiliki kewarganegaraan berarti
seseorang memiliki identitas atau status dalam lingkup sosial.
Kewarganegaraan adalah bentuk identitas yang memungkinkan individu-
individu merasakan makna kepemilikan, hak dan kewajiban sosial dalam
komunitas politik. Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang
tersebut memiliki pertalian hukum serta tunduk pada hukum negara yang
bersangkutan.

19
4. Dimensi Pembelajaran dan Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan atau disingkat PKn merupakan
bidang kajian yang bersifat multifaset yang bidang keilmuannya bersifat
multidimensional. Sifat multidimensionalitas inilah yang membuat bidang
studi PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan,
pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan,
pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hokum, hak azasi manusia, dan
pendidikan demokrasi. Sedangkan secara khusus, peran pendidikan
termasuk di dalamnya persekolahan, Pengajaran dan belajar, dalam proses
penyiapan warga negara tersebut. Sebagai mata kuliah dalam program
pendidikan tenaga kependidikan, PKn mempunyai misi sebagai
pendidikan nilai Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan dan sebagai
“subject-specific pedagogy” atau pembelajaran materi subjek untuk guru
PKn. Pendidikan kewarganegaraan sangat erat kaitannya dengan dua
disiplin ilmu yang erat dengan kenegaraan, yakni Ilmu Politik dan Hukum
yang terintegrasi dengan humaniora dan dimensi keilmuan lainnya yang
dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di
sekolah.
Oleh karena itu, PKn ditingkat persekolahan bertujuan untuk
mempersiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan
baik (to be smart dan good citizen). Warga negara yang dimaksud adalah
warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan
(skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dimanfaatkan
untuk menumbuhkan rasa kebsangsaan dan cinta tanah air. PKn
menekankan pada pengembangan kualitas warga negara secara utuh,
dalam aspek-aspek: kemelek-wacanaan kewarganegaraan (civic literacy),
komunikasi sosial kultural kewarganegaraan (civic engagement);
pemecahan masalah kewarganegaraan (civic skill and participation),
penalaran kewarganegaraan (civic knowledge), dan partisipasi
kewarganegaraan secara bertanggung jawab (civic participation and civic
responsibility).
Kehidupan yang tertib, aman, dan damai merupakan bentuk
kehidupan yang dicita-citakan oleh umat manusia. Untuk mewujudkan
bentuk kehidupan tersebut, dibuatlah norma-norma untuk mengatur
perilaku manusia yang telah disepakati bersama sebagai panduan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu norma
yang dibuat untuk mengatur perilaku individu dalam masyarakat adalah
norma hukum, yakni hukum negara. Disamping norma hukum terdapat
sejumlah norma lainnya yang juga berfungsi untuk mengatur perilaku
individu dalam masyarakat. Norma-norma tersebut antara lain meliputi
norma kesopanan, adat-istiadat, kebiasaan, kesusilaan, dan norma

20
agama.Kesadaran akan adanya norma yang mengatur perilaku individu
dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting untuk ditanamkan kepada
setiap individu sejak usia dini. Oleh sebab itu, pendidikan hukum sebagai
salah satu bentuk upaya penanaman kesadaran akan norma tingkah laku
dalam masyarakat, dipandang sangat strategis untuk diberikan pada
seluruh jenis dan jenjang pendidikan sekolah. Tidak mungkin kita dapat
mengharapkan tumbuhnya kesadaran dan kepatuhan hukum dari setiap
individu warga negara tanpa upaya yang sadar dan terencana melalui
proses pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar
sekolah. Penanaman nilai-nilai dan norma-norma sosial kemasyarakatan
merupakan salah satu bagian yang tak dapat terpisahkan dari proses
sosialisasi anak menuju realita kehidupan yang sesungguhnya di
masyarakat.

21
BAB VII
PROBLEM SALVING

A. PROBLEM SOLVING

Menurut Marzano dkk (1988) problem solving adalah salah satu


bagian dari proses berpikir yang berupa kemampuan untuk memecahkan
persoalan. Terminologi problem solving digunakan secara ekstensif dalam
psikologi kognitif, untuk mendeksripsikan “semua bentuk dari
kesadaran/pengertian/kognisi”. Anderson (1983) misalnya dikutip
Marzano dkk sebagai mengklasifikasikan semua perilaku yang diarahkan
kepada tujuan (yang disadari atau tidak disadari) sebagai problem solving.
Jika Wickelgren (1974) mendefinisikan problem solving sebagai upaya
untuk mencapai tujuan khusus, maka Van Dijk dan Kintsch (1983) dikutip
Marzano dkk sebagai menyatakan bahwa problem solving terjadi bila
pencapaian tujuan tertentu mensyaratkan kinerja dan langkah-langkah
mental tertentu.
Bagi Palumbo (1990) problem solving adalah fungsi dari cara
bagaimana stimulus tertentu menjadi in-put melalui sistem sensori ingatan,
diproses dan dikoding melalui memori kerja (working memory/short term
memory) dan disimpan bersama asosiasi-asosiasi dan peristiwaperistiwa
(histories) yang sekeluarga dalam memori jangka panjang (Long Term
Memory).
Di lain pihak, masih menurut Marzano dkk, para pendidik
memaknai problem solving secara lebih sempit. Para pendidik umumnya
menggunakan istilah problem solving untuk menunjukkan jenis tugas
tertentu yang disajikan kepada pebelajar dalam pelajaran matematika,
sains dan ilmu sosial. Pemecahan masalah mencakup tindakan mengigat
kembali aturan–aturan dan menerapkan langkah langkah yang akan
mengantar pebelajar kepada jawaban yang diharapkan. Sebagai contoh,
masalah dalam pelajaran ilmu sosial mungkin melibatkan pebelajar untuk
memprediksi pertumbuhan toko-toko di pusat perbelanjaan lokal
berdasarkan pola perumahan yang diproyeksikan di wilayah sekitarnya.
Girl dkk (2002) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah
proses yang melibatkan penerapan pengetahuan dan ketrampilan-
ketrampilan untuk mencapai tujuan. Sedang menurut Gagne & Briggs
(1979) unjuk kerja pemecahan masalah itu berupa penciptaan dan
penggunaan aturan yang kompleks dan lebih tinggi tingkatannya, untuk
mencapai solusi masalah. Dalam pemecahan masalah pebelajar harus
merecall/mengundang kembali aturan-aturan yang lebih rendah (sub-

22
ordinate) maupun informasi-informasi yang relevan, yang diasumsikan
telah dipelajari sebelumnya. Ketika aturan yang lebih tinggi tingkatannya
telah diperoleh, maka pebelajar sangat dimungkinkan akan
menggunakannya dalam situasi yang secara fisik berbeda namun secara
formal mirip. Dengan perkataan lain, aturan baru yang lebih kompleks
yang telah diperoleh itu akan memungkinkan terjadinya transfer belajar.
Ihwal pemecahan masalah sebagai salah satu bentuk transfer juga
dikemukakan oleh Fuchs dkk (2003) yang menyatakan bahwa pemecahan
masalah matematika yang meminta pebelajar menerapkan pengetahuan,
ketrampilan-ketrampilan serta strategi strategi pada masalah-masalah baru
adalah satu bentuk transfer belajar.
Jadi, istilah pemecahan masalah secara umum dapat diartikan
sebagai proses untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sebagai
terjemahan dari istilah problem solving, istilah pemecahan masalah dalam
bahasa Indonesia bermakna ganda yaitu proses memecahkan masalah itu
sendiri dan hasil dari upaya memecahkan masalah yang dalam bahasa
Inggris disebut dengan solution atau solusi.
Metode mengajar Problem Solving dapat menjadi pilihan yang
tepat bagi mata pelajaran PKn. Bila kita menilik tujuan belajar PKn dari
BNSP diantaranya adalah membentuk siswa
bermakna, membekas dalam jiwa peserta didik untuk akhirnya hasil belaja
r PKn dapat menjadi bekal bagi kehidupannya dimasa sekarang dan yang
akan datang. Manfaat dari metode ini adlaah melatih siswa dalam hal
kesanggupan siswa dalam memecahkan masalah agar terlepas dari
kesulitan yang dihadapinya.

B. MANFAAT PROBLEM SOLVING

Alasan menggunakan metode Problem Solving adalah:


1. Metode ini dapat membuat adanya hubungan antara ilmu yang
didapat di sekolah dengankehidupan nyata mereka
2. Proses belajar mengajar dengan metode ini dapat membiasakan
siswa untuk terampildalam memecahkan persoalan-persoalan hidupnya
dimasa sekarang dan nanti
3. Metode ini merangsang kemampuan berfikir siswa secara kreatif
dan menyeluruh. Siswadiajarkan untuk meandang permasalahan dari
berbagai segi

Tujuan penggunaan Metode Problem Solving diantaranya adalah


membiasakan siswa untuk memecahkan masalah dengan cara yang
rasional. Dengan memiliki kemampuan mengatasidan memecahkan

23
masalah baik secara individual maupun bersama-sama, hal ini
akan berdampak pada meningkaytnya kepercayaan diri siswa.

Metode belajar Problem Solving dapat menjelaskan bagaimana


sebuah masalah, kejadian atau situasi tertentu dapat terjadi untuk
kemudian dilakukan pembahasan untuk mencari alternatif pemecahan
masalah. Metode Problem Solving mampu melibatkan siswa secara
totalitas. Metode belajar ini mampu menggiring siswa untuk bekerja dan
mengalami, menemukan dan mendiskusikan masalah dan pengetahuan
bersama treman-temannya serta mencari solusi pemecahan masalah.
Bukan metode belajar yang hanya berbentuk transfer pengetahuan dari
guru kepada siswa saja.

 Melalui metode belajar Problema Solving, siswa tergiring untuk


mengaplikasikan ilmunya dan menggunakan masalah dunia nyata sebagai
suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan
keterampilan dalam memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan
dan konsep esensial dari materi pelajaran. Pemikiran dengan mene’laah
kasus-kasus/permasalahan penting yang aktual dan benar-benar terjadi
dalam kehidupan nyata lalu mencari alternatif pemecahan masalah untuk
kasus atau permasalahan tersebut adalah pembelajaran yang untuk materi
pelajaran PKn pada segi afektif yang efektif. Dalam pembelajaran ini
siswa dapat memahami bahwa ada keterkaitan antara konsep keilmuan
PKn dan pelaksanaan nilai dan moral dalam kehidupan nyata. Problem
Solving melatih siswa tentang keterkaitan antara konsep, teori dan fakta
yang berlaku. Siswa dapat terlibat secara psikologis dalam mencerna
secara bermakna apa yang tengah dipelajarinya.

24
C. LANGKAH-LANGKAH PROBLEM SOLVING METHOD

Pemecahan masalah menurut J. Dewey dalam bukunya W. Gulo


(2002: 115) dapat dilakukan melalui enam tahap, yaitu:

Penyelesaian masalah Menurut David Johnson dan Johnson dapat


dilakukan melalui kelompok dengan prosedur penyelesaiannya dilakukan
sebagai berikut (W.Gulo 2002: 117):

1. Mendefinisikan Masalah
Mendefinisikan masalah di kelas dapat dilakukan sebagai berikut:
a) Kemukakan kepada siswa peristiwa yang bermasalah, baik melalui
bahan tertulis maupun secara lisan, kemudian minta pada siswa
untuk merumuskan masalahnya dalam satu kalimat sederhana
(brain stroming). Tampunglah setiap pendapat mereka dengan
menulisnya dipapan tulis tanpa mempersoalkan tepat atau tidaknya,
benar atau salah pendapat tersebut.
b) Setiap pendapat yang ditinjau dengan permintaan penjelasan dari
siswa yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dicoret beberapa
rumusan yang kurang relevan. Dipilih rumusan yang tepat, atau
dirumuskan kembali (rephrase, restate) perumusan-perumusan

25
yang kurang tepat. Akhirnya di kelas memilih satu rumusan yang
paling tepat dipakai oleh semua.
2. Mendiagnosis Masalah
Setelah berhasil merumuskan masalah langkah berikutnya ialah
membentuk kelompok kecil, kelompok ini yang akan mendiskusikan
sebab-sebab timbulnya masalah.
3. Merumuskan Alternatif Strategi
Pada tahap ini kelompok mencari dan menemukan berbagai
altenatif tentang cara penyelesaikan masalah. Untuk itu kelompok
harus kreatif, berpikir divergen, memahami pertentangan diantara
berbagai ide, dan memiliki daya temu yang tinggi.
4. Menentukan dan Menerapkan Strategi
Setelah berbagai altenatif ditemukan kelompok, maka dipilih
altenatif mana yang akan dipakai. Dalam tahap ini kelompok
menggunakan pertimbangan- pertimbangan yang cukup cukup kritis,
selektif, dengan berpikir kovergen.
5. Mengevaluasi Keberhasilan Strategi
Dalam langkah terakhir ini, kelompok mempelajari: (1) Apakah
strategi itu berhasil (evaluasi proses)? (2) Apakah akibat dari
penerapan strategi itu (evaluasi hasil)?

D. KELEBIHAN PROBLEM SOLVING

Kelebihan model pembelajaran problem solving diantaranya sebagai


berikut:
1. Melatih siswa untu mendesain suatu penemuan
2. Berpikir dan beritndak kreatif
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4. Mengidentifikasi dan melakkan penyelidikan
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan
6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat
7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan
dunia kerja

26
E. KEKURANGAN PROBLEM SOLVING

Sementara kelemahan problem solving itu sendiri seperti:


1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini
2. Terbatasnya alat-alat labotarium menyulitkan siswa untuk melihat dan
mengamati
3. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang atau banyak
dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.

F. SOLUSI PROBLEM SOLVING

Terdapat 8 solusi dalam memecahkan masalah, yaitu:


1. Tentukan Masalah
2. Uraikan Masalah
3. Tetapkan Target
4. Analisis Akar Masalah
5. Kembangkan Solusi
6. Implementasi Solusi
7. Pantau Proses dan Hasilnya
8. Standarisasi dan Saling Berbagi Keberhasilan/Kesuksesan

27
BAB VIII
TUJUAN AKHIR PEMBELAJARAN PKN

Umumya setiap negara membekali warga negaranya dengan


Pendidikan Kewarganegaraan atau civics skill. Pendidikan
Kewarganegaraan sendiri mempunyai tujuan-tujuan yang menyebabkan
pendidikan ini sangat perlu untuk ditekankan secara maksimal dan
mendalam pada setiap warga negara sejak usia sekolah dasar hingga
perguruan tinggi.  Pendidikan kewarganegaraan diberikan dengan harapan
dapat digunakan untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara,
serta membentuk sikap dan perilaku cinta tanah air yang beresendikan
kebudayaan bangsa. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan dapat dilihat
dari dua segi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
A. Tujuan Umum Pendidikan Kewarganegaraan
Jika dilihat secara umum, Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan
untuk membawa peserta didik untuk menjadi ilmuwan dan profesional
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis dan
berkeadaban, dan menjadi warga negara yang memiliki daya saing,
berdisiplin dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang
damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.

B. Tujuan Khusus Pendidikan Kewarganegaraan


Jika dilihat lebih mendalam lagi, sesungguhnya Pendidikan
Kewarganegaraan mempunyai tujuan khusus yaitu:
1) Mengantarkan peserta didik memiliki wawasan kesadaran
bernedara untuk bela negara dan memiliki pola piker, pola sikap
dan perilaku untuk cinta tanah air
2) Menumbuhkankembangkan wawasan kebangsaan, kesadaran
berbangsa dan bernegara pada diri peserta didik, sehingga
terbentuk daya tangkal sebagai ketahanan nasional
3) Peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam
menciptakan ketahanan nasional
4) Peserta didik mampu menuangkan pemikiran berdasarkan nilai-
nilai Pancasila dalam menganalisa permasalahan hidup
bermasyarakat berbangsa dan bernegara

28
Jadi dapat dismpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
diberikan dengan tujuan untuk mempersiapkan warga negara agar dalam
memasuki kehidupan bermasyarakat dapat mengembangkan kehidupan
pribadi yang memuaskan, menjadi anggota keluarga yang berbahagia,
menjadi warga negara yang berkesadaran  kebangsaan yang tinggi serta
bertanggung jawab pada NKRI yang bersendikan Pancasila.

29
BAB IX
PEMBELAJARAN PKN SEBAGAI PEMBELAJARAN DEMOKRATIF

Pkn merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk


mempersiapkan warganegara muda agar mampu berpartisipasi secara
efektif, demokratis dan bertanggung jawab. PKn berupaya mewujudkan
warga negara yang baik dan cerdas (good and smart citizen), maka
Pendidikan Kewarganegaraan harus dikemas dalam pembelajaran yang
memberikan keleluasaan pada siswa untuk berperan aktif dalam proses
pembelajaran agar siswa terbiasa berpartisipasi.
Oleh karena itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.
22 Tahun 2006 disebutkan bahwa tujuan mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan adalah mengembangkan kompetensi:
1) Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan
2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta anti korupsi
3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi

Untuk itu diperlukan suasana terbuka, akrab, dan saling


menghargai, dan sebaliknya perlu dihindari suasana belajar kaku, penuh
dengan ketegangan, dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat
peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami
kelelahan. Berdasarkan hasil penelitian Fahdita (2004 : 142) mengatakan
bahwa Pembelajaran akan mampu mengembangkan sikap demokratis
apabila guru dalam proses pembelajaran bersikap demokratis, suasana
tidak tegang, menyenangkan, memberikan kesempatan kepada siswa,
memberikan reward, tidak ada keberpihakan atau menyudutkan kelompok
tertentu, sehingga guru berperan sebagai fasilitator, mediator, motivator
dan evaluator
Disamping itu berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan oleh
Tacman (2006) mengatakan bahwa “… the democratic attitudes of
classrooms teachers which is important for improving people’s
democratic behaviors.” Artinya sikap demokratis yang ditampilkan guru
di kelas dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap

30
pengembangan sikap demokratis seseorang, untuk itu dalam proses
pembelajaran harus dihindari suasana belajar kaku, penuh dengan
ketegangan, dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuat peserta
didik menjadi pasif dan tidak berkembangnya sikap demokratis pada diri
siswa.

31
BAB X
ISU-ISU PEMILU

A. PENGERTIAN PEMILIHAN UMUM

Pengertian Pemilihan Umum adalah suatu proses untuk memilih


orang-orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pemilihan umum
ini diadakan untuk mewujudkan negara yang demokrasi, di mana para
pemimpinnya dipilih berdasarkan suara mayoritas terbanyak. Menurut Ali
Moertopo pengertian Pemilu sebagai berikut: “Pada hakekatnya, pemilu
adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankn kedaulatannya
sesuai dengan azas yang bermaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Pemilu
itu sendiri pada dasarnya adalah suatu Lembaga Demokrasi yang memilih
anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, DPRD, yang pada
gilirannya bertugas untuk bersamasama dengan pemerintah, menetapkan
politik dan jalannya pemerintahan negara”.
Walaupun setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk
memilih, namun Undang-Undang Pemilu mengadakan pembatasan umur
untuk dapat ikut serta di dalam pemilihan umum. Batas waktu untuk
menetapkan batas umum ialah waktu pendaftaran pemilih untuk pemilihan
umum, yaitu sudah genap berumur 17 tahun atau sudah kawin. Adapun
ketetapan batas umur 17 tahun yaitu berdasarkan perkembangan
kehidupan politik di Indonesia, bahwa warga negara Republik Indonesia
yang telah mencapai umur 17 tahun, ternyata sudah mempunyai
pertanggung jawaban politik terhadap negara dan masyarakat, sehingga
sewajarnya diberikan hak untuk memilih wakil-wakilnya dalam pemilihan
anggota badan-badan perwakilan rakyat.
Dalam pelaksanaan pemilu, asas-asas yang digunakan diantaranya
sebagai berikut:
1) Langsung
Artinya masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih
secara langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri
sendiri tanpa ada perantara.
2) Umum
Artinya pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yang
memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras,
jenis kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial yang
lain.
3) Bebas

32
Artinya seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai
pemilih pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa saja yang
akan dicoblos untuk membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan
paksaan dari siapa pun.
4) Rahasia
Artinya dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin
kerahasiaan pilihannya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara
dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun
suaranya diberikan.
5) Jujur
Artinya semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak
dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
6) Adil
Artinya dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta
pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari
kecurangan pihak manapun.

B. TUJUAN DAN FUNGSI PEMILIHAN UMUM

1. Tujuan Pemilu
Menurut Prihatmoko (2003:19), pemilu dalam pelaksanaannya
meiliki 3 tujuan yakni:
a) Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin
pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy).
b) Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat
kepada badan badan perwakilan rakyat melalui wakil wakil yang
terpilihatau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi
masyarakat tetap terjamin.
c) Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakan atau
menggalang dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan
dengan jalan ikut serta dalam proses politik.

2. Fungsi Pemilu
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, fungsi pemilu
sebagai alat demokrasi yang digunakan untuk:
a) Mempertahankan dan mengembangkan sendi-sendi demokrasi di
Indonesia.
b) Mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia)

33
c) Menjamin suksesnya perjuangan orde baru, yaitu tetap tegaknya
Pancasila dan dipertahankannya UUD 1945

C. ISU-ISU PEMILU 2019

1. Isu SARA Pada Pemilu 2019


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksikan
penggunaan isu suku, ras dan agama (SARA) akan kembali muncul
pada Pemilu 2019. Politisasi SARA seperti terjadi pada Pilkada DKI
Jakarta 2018, bakal diangkat lagi oleh kelompok-kelompok tertentu
untuk meraih kemenangan.

“Pilkada serentak 2018 menjadi penting untuk dicermati. Indonesia


dalam posisi rentan atau mudah digoreng dengan isu SARA untuk
kepentingan politik” kata Peneliti Senior LIPI Sri Yanuarti dalam
seminar "Ancaman Konflik Identitas (SARA) pada tahun 2019 yang
digelar di Auditorium LIPI, Jakarta, Rabu (15/11).

Ia menjelaskan dari hasil penelitian LIPI, dalam pemilihan


legislatif (Pileg), baik pusat maupun daerah, pengerasan dalam akar
rumput dengan narasi agama tidak banyak dilakukan. Hal itu karena
ruang kontestasi yang sangat lebar, baik dari aspek aktor yang
berkompetisi maupun atas dasar wilayah. Namun dalam pemilihan
presiden (Pilpres), apalagi jika hanya dua calon, maka politisasi SARA
akan muncul dengan kuat. Dua kelompok yang terbelah di Pilkada
DKI Jakarta akan berlanjut di Pilpres tahun 2019. Beruntungnya,
Pilpres nanti bersamaan dengan Pileg. Kondisi itu akan memecah
konsentrasi massa dan kompetisi karena para Caleg akan fokus
memenangkan dirinya.
Menurutnya, upaya mencegah melebarnya politisasi Sara pada
Pemilu nanti adalah dengan memperketat aturan kampanye terutama
penggunaan isu-isu SARA. Bila perlu harus ada aturan bahwa jika ada
partai politik (parpol) yang menggunakan isu Sara maka harus
didiskualifikasi dari peserta pemilu. Cara lain adalah membuka
mekanisme komplain atas persekusi yang dilakukan atas nama agama
dan isu SARA lainnya. Kemudian dilakukan penegakan hukum yang
tegas kepada pelaku kampanye berbasis SARA. Respons yang cepat
dari aparat keamanan dalam melakukan penindakan sangat penting
untuk memberi efek jera. Upaya lainnya adalah memperkuat dan
mengefektifkan dialog antar agama serta penggunaan local wisdom
atau norma dan aturan lokal untuk pencegahan konflik.

34
2. Isu Penyerangan Tokoh Agama Jadi Kampanye Hitam Menjelang
Pilkada dan Pilpres 2019

Pemerintah menilai, isu penyerangan terhadap tokoh agama dan


juga rumah ibadah di sejumlah daerah dimanfaatkan oleh oknum untuk
dijadikan kampanye hitam pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Dilansir Anadolu Agency, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi
Gunawan mengungkapkan, sejumlah kasus penyerangan itu berbeda-
beda dan tidak berkaitan. Namun, kata dia, kasus tersebut digunakan
sebagai alat untuk menyebarkan hoaks di media sosial serta
memprovokasi masyarakat.
Dia pun meminta masyarakat untuk waspada dan tidak terhasut
dengan hoaks dan provokasi tersebut. Budi Gunawan pun mengaku
telah memprediksi dan mendeteksi banyaknya serangan kampanye
hitam tersebut.

“Kita sudah membuat prediksi seperti itu bahwa akan marak kampanye
hitam. Kampanye hitam wujudnya isu-isu PKI antara lain agama,”
jelas Budi Gunawan.

35
DAFTAR PUSTAKA

Cholisin, 2010. Modul Konsep IKN – PKN. Diambil dari:


http://repository.ut.ac.id/3889/1/PKNI4311-M1.pdf (04 Juni 2018)

Ahmar, DAP. 2012. PEMBELAJARAN. Diambil dari:


http://eprints.uny.ac.id/8597/3/bab%202%20-%2008108249131.pdf (04 Juni
2018)

METODE PEMBELAJARAN PKN. Diambil dari: https://lenterakecil.com/metode-


pembelajaran-pkn/ (04 Juni 2018)

Widiatmaka, Pipit. 2016. KENDALA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


DALAM MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK DI DALAM PROSES
PEMBELAJARAN. Jurnal Civics. Vol. 13 No. 2, Desember 2016. Diambil dari:
https://journal.uny.ac.id/index.php/civics/article/viewFile/12743/pdf (04 Juni
2018)

Suwanda, I Made. 2017. HAKIKAT, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Diambil dari:
http://sertifikasi.fkip.uns.ac.id/file_public/2017/MODUL%202017/Pendidikan
%20Pancasila%20dan%20Kewarganegaraan%20%28PPKn%29/BAB-I-Hakikat-
Tujuan-Dan-Ruang-Lingkup.pdf (04 Juni 2018)

Abdulkarim, Aim. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas XII SMA.


Bandung: Media Grafindo

Aryanto, R. 2013. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Diambil dari:


http://eprints.uny.ac.id/24145/3/BAB%20II.pdf (04 Juni 2018)

Endri. 2011. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Dambil dari:


https://endriyb.wordpress.com/category/pendidikan-kewarganegaraan/ (04 Juni
2018)

Ardiansyah, Agung. 2016. Empat Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan.


Diambil dari: http://smilingagung.blogspot.com/2016/03/empat-dimensi-
pendidikan-kewarganegaraan.html (04 Mei 2018)

Suteng Sulasmono, Bambang. 2016. PROBLEM SOLVING: SIGNIFIKASI,


PENGERTIAN DAN RAGAMNYA. Diambil dari:
ris.uksw.edu/download/jurnal/kode/J00826 (04 Juni 2018)

36
Arends, Richard I. (2008). Learning to Teach Belajar untuk Mengajar. (Edisi
Ketujuh/ Buku Dua). Terjemahan Helly Pajitno Soetjipto & Sri Mulyantini
Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

2012. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan. Diambil dari:


http://cahyadiblogsan.blogspot.com/2012/02/tujuan-pendidikan-
kewarganegaraan.html (04 Juni 2018)

Sutisna Putra, Asep. 2009. Pembelajaran Demokratis (Democratic Teaching).


Diambil dari: https://asepsutisna.wordpress.com/2009/08/14/pembelajaran-
demokratis-democratic-teaching/ (04 Juni 2018)

Mulyana, Amel. 2016. PEMILIHAN UMUM. Diambil dari:


http://repository.unpas.ac.id/13193/5/BAB%20II.pdf (04 Juni 2018)

Wardi, Robertus. 2018. Penggunaan Isu SARA Akan Muncul Kembali Pada
Pemilu 2019. Diambil dari: http://www.beritasatu.com/nasional/463819-lipi-
penggunaan-isu-sara-akan-muncul-kembali-pada-pemilu-2019.html (04 Juni
2018)

Syafi’I, Muhammad. 2018. Isu Penyerangan Tokoh Agama Jadi Kampanye


Hitam Menjelang Pilkada dan Pilpres 2019. Diambil dari:
https://faktualnews.co/2018/02/15/isu-penyerangan-tokoh-agama-jadi-kampanye-
hitam-jelang-pilkada-dan-pilpres-2019/66041/ (04 Juni 2018)

37

Anda mungkin juga menyukai