Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

Kepemimpinan dan Pemberdayaan Karyawan


Untuk Memenuhi Tugas UTS
Matakuliah Kepemimpinan

Disusun Oleh :

KELOMPOK 4
Afa Ranggita Prasticasari (185030407111026)
Clarissa Elsi Satika (185030407111026)
Difa Maulana Arya Bujana (185030400111009)
Ahmad Imam Mujaddid (185030401111008)
Tri Nurul Utami (195030401111008)
Dimas Febriyanto (195030400111020)
Deandra Rara Dewanti (195030401111047)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia tidak dapat hidup
sendiri, antara individu satu dengan individu lainnya saling membutuhkan dan saling
berinteraksi. Maka dari itu, manusia disebut dengan makhluk sosial. Makhluk sosial yang
berinteraksi,berkembang mulai dari kelompok kecil hingga kelompok besar.

Hidup secara berkelompok bukanlah hal yang mudah karena dalam sebuah kelompok itu
anggotanya memiliki karakter masing-masing. Agar pada kelompok tercipta kondisi yang
harmonis, tiap anggotanya harus saling menghargai dan menghormati.

Tanpa disadari, dalam sebuah kelompok sudah terbentuk sebuah organisasi. Agar dalam
kelompok dapat berjalan dengan baik maka diperlukan untuk menata kelompoknya. Yang
pastinya dibutuhkan adalah seseorang yang berjiwa pemimpin. Dengan berjiwa pemimpin
manusia akan dapat mengelola diri, kelompok & lingkungan dengan baik. Khususnya dalam
penanggulangan masalah yang relatif pelik & sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin
dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik Ada dua faktor yang
menyebabkan seseorang memiliki jiwa pemimpin yakni ia ditakdirkan lahir untuk menjadi
pemimpin, lalu dibekali dengan persiapan, pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri. Bisa
juga karena sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian dikembangkan melalui
pendidikan dan pengalaman.
Dewasa ini, kata pemberdayaan menjadi sebuah konsep yang menarik perhatian utama oleh
pemimpin dan organisasi di dunia(Triantoro:2004). Pemimpin dituntut untuk dapat
memberdayakan anggotanya sehingga tidak hanya pemimpinlah yang dapat menjadi seorang
pemimpin, namun anggotanya juga dapat menjadi seorang pemimpin bagi diri sendiri yang
nantinya akan memberikan dampak positif juga bagi organisasi. Tentunya hal tersebut menjadi
sesuatu yang menarik untuk diungkapkan.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kepemimpinan Partisipatif dan Pengertian Kepemimpinan Delegatif


A. Definisi Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan partisipatif adalah gaya kepemimpinan di mana semua individu memiliki
kekuasaan setara dalam proses pengambilan keputusan bersama, terlepas dari jabatan dan
pangkatnya.
Menurut Indeed, Pemimpin memberikan informasi tentang isu, masalah, atau rencana
tentang perusahaan kepada semua staf.
Peran pemimpin di sini lebih sebagai moderator atau fasilitator untuk menawarkan
bimbingan dan menjaga diskusi tetap seimbang dan terkendali. Dari situ, anggota diskusi
saling berbagi ide, masukan, atau pendapat tentang bagaimana cara terbaik
menyelesaikan masalah.
Pemimpin setelahnya merangkum informasi dan ide dari kelompok untuk membuat
keputusan sebagai kelompok. Suara terbanyak menentukan arah tindakan yang akan
diambil perusahaan (majority wins).
Meski begitu, kadang ada beberapa kasus di mana tetap pemimpinlah yang berhak
menentukan keputusan akhirnya, berdasarkan pertimbangan pribadi dan jalannya diskusi
tersebut.
Tanggung jawab untuk menjalankan keputusan nantinya akan dibagi rata di antara semua
anggota staf dengan pemimpin sesuai peran dan tugasnya masing-masing. Akan tetapi,
gaya kepemimpinan ini hanya merujuk pada proses decision-making di lingkup kecil,
seperti per departemen atau di antara satu tim dengan supervisor-nya langsung.
Bukannya pengambilan keputusan besar yang memengaruhi keseluruhan organisasi.
Kepemimpinan partisipatif mirip dengan gaya kepemimpinan demokratis dalam
mendorong kolaborasi antar anggota tim.
B.Kepemimpinan Delegatif
Gaya kepemimpinan delegatif adalah sebuah gaya kepemimpinan dimana pemimpin
lebih sering terlihat sedang berada di kursi belakang dari tim kerja yang dibentuk
olehnya, baik dalam menyelesaikan pekerjaan maupun dalam pengambilan sebuah
keputusan.
Jika dibandingkan dengan aksi atau kerja langsung di lapangan, sebenarnya pemimpin
delegatif ini akan lebih memposisikan dirinya pada strategi manajemen.
Meskipun banyak yang beranggapan bahwa pemimpin dengan gaya delegatif ini lebih
banyak diam dan tidak melakukan apa-apa, namun nyatanya mereka selalu berusaha agar
bisa mengarahkan bawahannya agar mampu berbagi tanggung jawab maupun
pengetahuan, dan mengaplikasikannya dalam setiap tingkatan yang ada dalam organisasi
yang dipimpinnya.
Setelah membentuk sebuah manajemen yang ia percaya, maka hal selanjutnya yang akan
dilakukan oleh para pemimpin delegatif ini ialah memberikan kendali penuh akan proses
kerja maupun hasil akhirnya kepada setiap anggota tim maupun manajer yang telah ia
tunjuk.
Meskipun dalam organisasi tersebut mereka tetap memegang jabatan sebagai seorang
pemimpin, namun beberapa hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab dan hak dari
seorang pemimpin akan mereka serahkan kepada orang-orang yang telah mereka tunjuk
tadi, seperti misalnya memberi izin dalam membuat sebuah keputusan.
Selain memberikan hak atau otoritas kepada bawahannya, pemimpin juga akan
menyediakan berbagai sumber daya maupun alat yang sekiranya akan mereka butuhkan.
Bersamaan dengan itu, orang kepercayaannya kerap akan memiliki kebebasan penuh
dalam bekerja, dan sekaligus dituntut agar bisa memecahkan dan menyelesaikan sendiri
setiap masalah yang mereka alami selama bekerja.
2. Kesesuaian Kepemimpinan Partisipatif dan Delegatif dengan Tingkat Kematangan
Bawahan
Adapun ahli yang menyebut perilaku pemimpin atau hubungannya terhadap bawahan
tersebut sebagai berikut:
a. High-high berarti pemimpin tersebut memiliki hubungan tinggi dan orientasi tugas
yang tinggi juga.
b. High task-low relation, pemimpin tersebut memiliki orientasi tugas yang tinggi,
tetapi rendah hubungan terhadap bawahan.
c. Low task-high relation, pemimpin tersebut lebih mementingkan hubungan dengan
bawahan, dengan sedikit mengabaikan tugas. Teori ini disebut dengan Konsiderasi
yaitu kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab
dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti: membela bawahan,
memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan
d. Low task-low relation, orientasi tugas lemah, hubungan dengan bawahan juga
lemah.
Ciri-ciri gaya kepemimpin partisipatif terhadap tingkat kematangan bawahan yakni
a) Pemimpin melakukan komunikasi dua arah;
b) Secara aktif mendengar dan respons segenap kesukaran bawahan;
c) Mendorong bawahan untuk menggunakan kemampuan secara operasional;
d) Melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan;
e) Mendorong bawahan untuk berpartisipasi; dan
f) Tingkat kematangan bawahan dari sedang ke tinggi (Baharuddin, 2012:54)

a. Kesesuaian kepemimpinan partisipatif dengan tingkat kematangan bawahan


Bagi tingkat kematangan bawahan dari sedang ke tinggi. Orang-orang pada tingkat
perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak berkeinginan untuk melakukan suatu
tugas yang diberikan. Ketidakinginan mereka itu seringkali disebabkan karena kurangnya
keyakinan. Namun bila mereka yakin atas kemampuannya tetapi tidak mau, maka
keengganan mereka untuk melaksanakan tugas tersebut lebih merupakan persoalan
motivasi dibandingkan persoalan keamanan. Dengan demikian, gaya yang mendukung,
tanpa mengarahkan, partisipasi mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi untuk
diterapkan bagi individu dengan tingkat kematangan seperti ini.

b. Keseuaian Kepemimpinan Delegatif dengan tingkat kematangan bawahan


Bagi tingkat kematangan yang tinggi. Orang-orang dengan tingkat kematangan seperti ini
adalah mampu dan mau,atau mempunyai keyakinan untuk memikul tanggungjawab.
Dengan demikian, gaya delegasi yang berprofil rendah memberikan sedikit pengarahan
atau dukungan memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling tinggi dengan individu-
individu dalam tingkat kematangan seperti ini.

3. Peran Pemimpin dalam Memperdayakan bawahan (Employee Empowerment)


Dalam organisasi, performansi organisi tidak lepas kaitannya dengan peran pemimpin.
Sudah puluhan tahun, banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana
pemimpin yang baik. Aamodt (2016) mengemukakan bahwa untuk menjadi seorang
pemimpin, dibutuhkan karakteristik tertentu. Banyak peneliti yang menghubungkan
kemampuan memimpin sebagai genetik, atau individu memang dilahirkan dengan
karakteristik pemimpin. Pada dasarnya pengalaman dan bagaimana individu menghadapi
situasi tertentu dapat mempengaruhi bagaimana kepemimpinan seseorang.
Peran pemimpin sangat besar dalam membangun iklim organisasi yang sehat. Pemimpin
juga dapat mempengaruhi performansi kinerja bawahan atau karyawannya. Gaya
kepemimpinan memiliki kunci keberhasulan organisasi. Seorang pemimpin memiliki
peran besar sebagai role model, mendefinisikan tujuan organisasi, dan mendistribusikan
sumber daya (Aamodt, 2016; Redmond & Mumford, 1993).
Banyak model kepemimpinan yang diajukan dan dianggap efektif. Salah satu gaya
kepemimpinan yang patut diperhatikan adalah empowering leadership. Empowering
leadership sendiri adalah gaya kepemimpinan yang mementingkan komitmen dalam
pelaksanaan kinerja (implementing performance). Dalam hal ini pemimpin juga meu
menerima masukan dalam menentukan keputusan; menerapkan wide participation in
decision making. Konsep kepemimpinan ini juga memiliki karakteristik yang hampir
sama dengan kepemimpinan transformasional dan menitik beratkan pada pentingnya
kerja sama, mengembangkan manajemen diri atau keterampilan kepemimpinan pada
setiap karyawan (Mutaminah & Munadharoh, 2013).
Empowering leadership menerapkan lima faktor dalam kepemimpinan yaitu pemimpin
berperan sebagai role model, Participation in decision-making,coaching, informing, dan
showing concern. Dalam hal ini pemimpin melakukan leading by example. Pemimpin
juga harus mampu mendengarkan dan mempertimbangkan informasi atau masukan dari
anggota dalam memberikan sebuah keputusan atau participation in decision-making.
Pemimpin juga harus mampu melakukan coaching dalam membantu dalam mengarahkan
para pekerja lainnya untuk independent. Pemimpin juga mampu menjembatani
komunikasi antara karyawan dan manajemen. Peran pemimpin dalam hal ini adalah
informing. Peran lain adalah pemimpin harus memiliki hubungan yang baik dengan para
pekerja atau karyawan secara menyeluruh atau showing concern/interacting with the team
(Srivastava et al., 2006).
Survey yang dilakukan Harvard Business Review pada 30,000 karyawan dari 30 negara
menunjukkan bahwa empowering leaders dianggap lebih efektif dalam mempengaruhi
anggota karyawannya dalam suatu perusahaan khususnya pada budaya Timur. Para
pemimpin dianggap lebih bisa dipercaya oleh karyawan dan memiliki hubungan positif
dalam lingkungan bekerja (Tian et al., 2018). Kelima faktor yang disebutkan oleh
Srivastava et al.(2006) menunjukkan betapa pentingnya interaksi antara pemimpin
dengan para karyawannya dalam menjalankan dunia pekerjaan sehingga efektif dan
memperoleh kepercayaan, hal tersebut dapat ditunjukkan melalui bagaimana seorang
pemimpin yang mengajak para karyawannya untuk sama-sama mengidentifikasi dan
menyelesaikan suatu permasalahan secara bersama. Dengan melibatkan karyawan,
karyawan merasa menjadi bagian dari perusahaan dan merasa dihargai. (Namasivayam et
al., 2014). Dengan melakukan mentoring dan consulting oleh pemimpin bersama dengan
bawahan juga dapat menghasilkan kontrol serta pemberdayaan yang optimal dalam
memperoleh target bersama (Namasivayam et al., 2014). Karyawan juga akan lebih
termotivasi untuk berkontribusi dan menciptakan hubungan yang baik dengan sesama
karyawan (environmentally friendly) (Jiang et al., 2019).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Bryman et al.(2004) untuk mengetahui
bagaimana persepsi para karyawan terhadap konsep empowerment, beberapa orang
karyawan menyatakan terdapat dua cara untuk meningkatkan pemberdayaan secara
maksimal yang mempengaruhi diri mereka dalam berkontribusi kepada perusahaan, salah
satunya adalah demonstration of trust dari perusahaan. Dalam hal ini pihak perusahaan
memperbolehkan karyawan terlibat dalam memilih suatu hal yang berhubungan dengan
pekerjaan secara mandiri tanpa adanya campur tangan pemimpinnya. Melalui kedua hal
itu, karyawan merasa mereka telah diberdayakan dengan baik oleh atasannya dan
dipercaya dengan segala pilihan serta pekerjaan yang mereka miliki (Gomez et al., 2015).
Sebuah proses psikologis juga terjadi dalam berjalannya gaya kepemimpinan leadership
empowerment ini, pertama karyawan merasa dihargai serta dipercaya dalam
pekerjaannya karena telah diberdayakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
sehingga mereka akan berusaha keras dan merasa bertanggung jawab dalam kemajuan
perusahaan. Mereka juga merasa tetap akan memperoleh dukungan serta bimbingan dari
pemimpinnya bukan untuk dieksploitasi(Tian et al., 2018).
Pada dasarnya empowering menekankan pada pemimpin sebagai role model dan
kemampuan menghargai karyawannya. Mencapai sebuah target perusahaan bukanlah
sebuah hal yang mudah, namun dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat serta
kontribusi maksimal dari berbagai pihak mulai dari para pemimpin serta karyawannya
maka hal tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya
yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain. kepemimpinan adalah kemampuan
untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan
tertentu pada situasi tertentu. Pemimpin haruslah memiliki visi yang jelas, selalu tanggap
terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan, dan impian dari mereka yang dipimpin,
selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan
yang dihadapi dan dapat menjadi seorang pelatih atau pendamping bagi orang – orang
yang dipimpinnya.
Pada dasarnya semua jenis gaya kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-masing.
Pada situasi atau keadaan tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan yang otoriter,
walaupun pada umumnya gaya kepemimpinan yang demokratis lebih bermanfaat. Oleh
karena itu dalam aplikasinya, tinggal bagaimana kita menyesuaikan gaya kepemimpinan
yang akan diterapkan dalam keluarga, organisasi/perusahan sesuai dengan situasi dan
kondisi yang menuntut diterapkannnya gaya kepemimpinan tertentu untuk mendapatkan
manfaat.
Dengan adanya pemimpin yang dapat memberdayakan anggota organisasinya dengan
cara pembagian tanggung jawab dan kekuasaan pada anggotanya maka hal tersebut akan
terjadi sebuah kerjasama yang baik, wewenang yang menjadi semakin luas karena
anggotanya juga memiliki wewenang dan kerja pemimpinpun semakin ringan.
B. SARAN
Kepemimpinan dan pemberdayaan masih sebuah konsep karena memiliki permasalahan
yakni betapa susahnya untuk mendapatkan anggota yang kompeten, profesional,
mempunyai komitmen tinggi dan berkinerja tinggi untuk memenuhi impian ini. Jika hal
tersebut dapat dipenuhi, maka kepemimpinan dan pemberdayaan bukan hanya sebuah
konsep saja namun kenyataan yang dapat menghasilkan kinerja yang optimal.

Daftar Pustaka
Aamodt, M.G.(2016). Industrial and organizational Psychology. Belmont, CA: Cengage
learning.
Gomez, B., Ba, M., William, E., & Rohrer, G. (2015). Understanding Leadership and
Empowerment in the Workplace. European Scientific Journal, 11(35), 342–365.
https://eujournal.org/index.php/esj/article/viewFile/6801/6528

Jiang, M., Wang, H., & Li, M. (2019). Linking Empowering Leadership and
Organizational Citizenship Behavior Toward Environment: The Role of Psychological
Ownership and Future Time Perspective. Frontiers in Psychology, 10(November), 1–13.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.02612

Mutaminah, & Munadharoh. (2013). Analisis Empowering Leadership dan Psychological


Empowerment dalam Organisasi. Ekobis, 14(2), 28–43.
Namasivayam, K., Guchait, P., & Lei, P. (2014). The influence of leader empowering
behaviors and employee psychological empowerment on customer satisfaction.
International Journal of Contemporary Hospitality Management, 26(1), 69–84.
https://doi.org/10.1108/IJCHM-11-2012-021.

Redmond, M. R., & Mumford, M. D. (1993). Putting creativity to work: Effects of leader
behavior on subordinate creativity. Organizational Behavior and Human Decision
Processes. In Econpapers (p. 144). https://doi.org/10.1006/obhd.1993.1027. Scott, S.G.,
& Bruce, R.A

Srivastava, A., Bartol, K. M., & Locke, E. A. (2006). Empowering leadership in


management teams: Effects on knowledge sharing, efficacy, and performance. Academy
of Management Journal, 49(6), 1239–1251. https://doi.org/10.5465/AMJ.2006.23478718
Tian, A., Lee, A., & Willis, S. (2018). When empowering employees works, and when it
doesn’t. https://hbr.org/2018/03/when-empowering-employees-works-and-when-it-doesnt

Dela eka, Dova Dea, Aprilia Putri, Eunike Nowaly, Febby Thenisa. GAYA
KEPEMIMPINAN DAN TINGKAT KEMATANGAN BAWAHAN.
(https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://herususilofia.lecture.ub.ac.id/files/2015/05/GAYA-
KEPEMIMPINAN-DAN-TINGKAT-KEMATANGAN-
BAWAHAN.pdf&ved=2ahUKEwi2vYP1nubwAhXQyDgGHQ-
hCXAQFjALegQIEBAC&usg=AOvVaw3ch-
iaSF_ajHwaMYVh0jLB&cshid=1621994121833). Diakses pada 26 Mei.

Anda mungkin juga menyukai