Dosen Pengampu :
Laily Nur Aisiyah, S. Pd, M. Pd.
Muhammad Haidlor, Lc.
Disusun oleh:
Ayu Firdayati 200210205011
Meita restuning Tyas 200210205013
Salsabilah Putri Suwandi 200210205017
Vieka Taghasyana Maghfirah 200210205031
Mutiara Agustina Laili 200210205035
Firdha Nur Hidayati 200210205044
Anisa Khusnul Khotimah 200210205045
Anita Putri 200210205047
Kunny Izza Af Nabilah 200210205048
Alfina Nur Khoirani 200210205049
Nafisa Zakiyah 200210205050
Bunga Herdiana Fero Nica 200210205052
Risa Meilidah 200210205053
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya yang berupa kesehatan dan pengetahuan sehingga
dapat menyelesaikan makalah Komunikasi Interpersonal yang berjudul
“Permasalahan Komunikasi dan Solusinya pada Anak Usia Dini.”
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
menuangkan ide pemikirannya. Terutama kepada Ibu Laily Nur Aisiyah, S. Pd,
M. Pd. dan Bapak Muhammad Haidlor, Lc. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan petunjuk sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat waktu.
Semoga makalah ini dapat memberikan sebuah pengetahuan dan manfaat
terhadap para pembaca. Meskipun demikian, makalah ini masih jauh dari
sempurna, sehingga diharapkan kritik serta saran yang dapat membangun untuk
perbaikan dengan penyempurnaan makalah ini selanjutnya.
Demikian yang bisa disampaikan, kurang lebihnya mohon maaf yang
setulus-tulusnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
2.2
2.3.2 Autisme
Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah dalam hal komunikasi
(Delphie:2006). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat
berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam
penguasaan bahasa dan bicara. Kesulitan dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis
mengalami gangguan dalam berbahasa (verbal dan non verbal), padahal bahasa
merupakan media utama dalam komunikasi. Mereka sering kesulitan untuk
mengkomunikasikan keinginannya baik secara verbal (lisan/bicara) maupun non verbal
(isyarat/gerak tubuh dan tulisan). Sebagian besar dari mereka dapat berbicara,
menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana namun kosa katanya
terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa katanya terbatas maka banyak
perkataan yang mereka ucapkan tidak dipahaminya. Mereka yang dapat berbicara
senang meniru ucapan dan membeo (echolalia). Beberapa diantara mereka sering kali
menunjukkan kebingungan akan kata ganti. Contoh, mereka tidak menggunakan kata
saya dan kamu secara benar, atau tidak mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari
kamu menjadi saya atau sebaliknya (Riyanti: 2002). Pada saat anak pada umumnya
sudah mengetahui nama, mampu merespon terhadap ya dan tidak, mengerti konsep
abstrak laki-laki – perempuan, dan mengikuti perintah-perintah sederhana. Sementara
itu pada anak autis mungkin hanya echolalia terhadap apa yang dikatakan atau tidak
bicara sama sekali.
Anak pada umumnya biasanya mulai mengoceh sekitar umur enam bulan. Ia
mulai bicara dalam bentuk kata pada umur satu tahun dan merangkai dua atau tiga kata
dalam satu kalimat sebelum delapan belas bulan. Sedangkan pada anak autis sebaliknya,
ia tidak memiliki pola perkembangan bahasa. Kemampuan komunikasi mereka
bervairasi, diantara mereka ada yang tidak pernah bicara, seperti anak pada umumnya
sampai delapan belas bulan atau dua puluh bulan, kadang-kadang kemampuan bicara
mereka hilang begitu saja. Tahapan perkembangan bahasa dan komunikasi anak pada
anak autis berbeda dengan tahapan perkembangan anak normal sebayanya, pada hal ini
tingkat perbedaan tahapan pada anak autis dan tahapan pada anak normal sebayanya
adalah dimana biasanya pada anak normal tahapan bahasa di usia 12 tahun “dia mulai
menggunakan jargon dengan intonasi yang seperti kalimat, menggunakan bahasa tubuh
plus vokalisasi untuk mendapatkan perhatian, menunjukkan benda-benda dan
mengajukan permintaan”. Sedangkan tahapan bahasa pada anak autis baru dapat
dilakukan di usia 36 bulan. Sehingga dapat dilihat bahwasanya perbedaan tahapan
antara anak normal sebaya dengan anak autis adalah kurang lebih 24 bulan.
(Mesibov:1988) Anak autis yang sulit berbicara, seringkali mengungkapkan diri atau
keinginannya melalui perilaku. Memang untuk beberapa kasus anak autis yang ada yang
sudah mampu menyampaikan keinginannya dengan cara menarik tangan orang yang
didekatnya atau menunjuk ke suatu arah yang diinginkan, atau mungkin menjerit. Jika
orangtua atau orang disekitarnya tidak memahami apa yang diinginkannya anak akan
marah-marah, mengamuk dan mungkin tantrumnya akan muncul.
Dengan menggunakan PECS bukan berarti menyerah bahwa anak tidak akan
bicara, tetapi dengan adanya bantuan gambar-gambar atau symbol-simbol maka
pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan secara verbal dapat dipahami secara
jelas. Memang, pada tahap awalnya anak akan diperkenalkan dengan simbol-simbol non
verbal. Namun pada fase akhir penggunaan PECS ini, anak dimotivasi untu berbicara.
Banyak kekhawatiran akan ketergantungannya komunikasi lewat gambar ini sehingga
sang anak tidak mau berbicara lagi, namun Schwartz (1998) melakukan penelitian pada
18 orang anak-anak pra sekolah yang mengalami gangguan berbahas, beberapa diantara
mereka didiagnosa sebagai anak autis. Mereka mendapat penanganan dengan
menggunakan PECS untuk berkomunikasi selama disekolah, sesi latihan dan dalam
jangka waktu setahun, lebih dari setengahnya (N=18) telah berhenti menggunakan PECS
dan menggunakan kemampuan bicara alamiahnya. (Charlop:2002)
Selain itu juga ada alternative berkomunikasi selain dengan verbal bagi mereka
sehingga kesempatan anak autis untuk melakukan interaksi dapat dilakukan dan secara
tidak langsung pula mereka dapat bereksplorasi terhadap lingkungan secara timbal balik
meskipun tidak menggunakan verbal atau yang disebut bicara. Komunikasi alternatif
adalah teknik-teknik yang menggantikan komunikasi lisan bagi individu yang mengalami
hambatan dalam bicara atau tidak mampu berkomunikasi melalui bahasa lisan.
Sedangkan Komunikasi augmentatif adalah kaidah-kaidah dan peralatan/media yang
dapat meningkatkan kemampuan komunikasi verbal dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Banyak orang tua ASD merasa cemas dengan kondisi anaknya yang dianggap tidak bisa
atau tidak mau bicara. Untuk mengatasi masalah tersebut didesain suatu alat yang
disebut Augmentative and alternative communication (AAC) adalah media dan metode
serta cara yang digunakan oleh anak yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi
agar dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar dengan orang di sekitarnya. Sistem ini
berupa aplikasi gambar yang memudahkan penderiata ASD dan orang tua melakukan
komunikasi dan memudakan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Sistem aplikasi ACC sebagai suatu sistem multimodal yang terdiri dari empat
komponen yang dapat digunakan dalam berbagai kombinasi untuk meningkatkan
kemampuan berkomunikasi pada anak dengan ASD. Augmentative and Alternative
Communication (AAC) merupakan alat yang digunakan dalam melakukan komunikasi
pada anak dengan berkebutuhan khusus seperti pada anak dengan autism. Komunikasi
dapat diberikan berupa gambar atau kata-kata dengan memperhatikan komponen AAC
yang meliputi: (1) Teknik komunikasi; (2) Sistem symbol; dan (3) Kemampuan
berkomunikasi. Pada anak dengan autism sering mengalami kesulitan dalam berbicara
khususnya dengan autism spektrum disorder (ASD). Kurang lebih sekitar 50% dari anak
autis tidak berbicara, mereka cenderung sangat visual. Di beberapa Negara berkembang
sekolah khusus dengan anak autism telah menggunakan dan memasukkan program AAC
visual yang baik menggunakan komunikasi visual atau suara-output bantuan komunikasi
atau disebut juga dengan istilah voice-output communication aid (VOCAs). Perangkat
Elektronik Augmentative and Alternative Communication (AAC) merupakan alat yang
dibuat sangat menarik bagi anak-anak dan memberikan motivasi untuk berpartisipasi
dan fokus pada berbagai keterampilan dan kegiatan selama di kelas. Setiap jenis sistem
representasi visual dapat ditempatkan pada perangkat output suara sederhana untuk
anak-anak untuk mengakses dengan dorongan sederhana dari sebuah
2.3.4. Tunagrahita
Pada anak tunagrahita sering kesulitan dalam berbicara dengan jelas karena
mengalami gangguan bicara berupa omisi (pengurangan kata) maupun distorsi
(kekacauan dalam pengucapan) (Effendi, 2009, hlm. 99). Kata yang diucapkan dengan
tidak jelas akan mengakibatkan salah penafsiran saat berkomunikasi dan gangguan
interaksi sosial yang berakibat pada masalah perilaku. Kejelasan berbicara (Speech
Intelligibility) dapat diartikan seberapa jelas seseorang berbicara sehingga
pengucapannya dapat dipahami secara menyeluruh oleh pendengar (Miller, Leddy, &
Leavitt, 1998, hlm. 61 - 80). Sering kali anak tunagrahita menangis atau berteriak karena
tidak mampu menyampaikan pesan dengan jelas dan juga penerima pesan (guru atau
teman sebaya) tidak mampu menangkap makna yang disampaikan. Kekurangan pada
kejelasan berbicara dapat menyebabkan salah penangkapan pesan saat berkomunikasi,
frustrasi dan kehilangan perhatian dari lawan bicara. Sering ditemukan anak tunagrahita
tidak dapat bergabung dengan kelompok bermain teman sebaya atau menangis dan
teriak-teriak karena teman sebaya atau lawan bicara tidak paham dengan ucapan anak
tunagrahita. Kegagalan anak dalam pemerolehan bahasa secara benar diiringi dengan
gangguan artikulasi bicara. Karakteristik lain yang terdapat pada anak tunagrahita
berkaitan dengan kemampuan berbicara adalah struktur kalimat yang disampaikan tidak
teratur, pengucapan yang sering mengalami omisi maupun distorsi