Anda di halaman 1dari 13

PERMASALAHAN KOMUNIKASI DAN SOLUSINYA PADA

ANAK USIA DINI


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Interpersonal

Dosen Pengampu :
Laily Nur Aisiyah, S. Pd, M. Pd.
Muhammad Haidlor, Lc.

Disusun oleh:
Ayu Firdayati 200210205011
Meita restuning Tyas 200210205013
Salsabilah Putri Suwandi 200210205017
Vieka Taghasyana Maghfirah 200210205031
Mutiara Agustina Laili 200210205035
Firdha Nur Hidayati 200210205044
Anisa Khusnul Khotimah 200210205045
Anita Putri 200210205047
Kunny Izza Af Nabilah 200210205048
Alfina Nur Khoirani 200210205049
Nafisa Zakiyah 200210205050
Bunga Herdiana Fero Nica 200210205052
Risa Meilidah 200210205053

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA


DINI
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya yang berupa kesehatan dan pengetahuan sehingga
dapat menyelesaikan makalah Komunikasi Interpersonal yang berjudul
“Permasalahan Komunikasi dan Solusinya pada Anak Usia Dini.”
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
menuangkan ide pemikirannya. Terutama kepada Ibu Laily Nur Aisiyah, S. Pd,
M. Pd. dan Bapak Muhammad Haidlor, Lc. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan petunjuk sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat waktu.
Semoga makalah ini dapat memberikan sebuah pengetahuan dan manfaat
terhadap para pembaca. Meskipun demikian, makalah ini masih jauh dari
sempurna, sehingga diharapkan kritik serta saran yang dapat membangun untuk
perbaikan dengan penyempurnaan makalah ini selanjutnya.
Demikian yang bisa disampaikan, kurang lebihnya mohon maaf yang
setulus-tulusnya.

Lumajang, 20 April 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II

PEMBAHASAN

2.1

2.2

2.3 Permasalahan anak berkebutuhan khusus dan solusinya

2.3.1 Syndrome Down

2.3.1.1 Permasalahan Komunikasi

Down Syndrome memiliki beberapa kendala dalam menggunakan bahasa


dan ucapan. Bayi dengan Down Syndrome berbagi perasaan mereka dengan
menggunakan tangisan, dan butuh waktu lama untuk bisa tersenyum dan tertawa.
Beberapa kemampuan seperti pengembangan sensorik dan motorik harus bisa
mereka kuasai sebelum mereka bisa berbicara, walaupun mereka sudah
memahami konsep komunikasi dengan baik (Kumin, 2002). Namun, di
masyarakat kita kebanyakan orang mengenal bahasa lisan sebagai kemampuan
tinggi yang digunakan dalam berkomunikasi (Marder dan Cholmáin, 2006), oleh karena
itu muncul beberapa masalah yang dihadapi saat mereka berinteraksi di komunitas atau
belajar di sekolah. Setiap anak mengembangkan kemampuan berbicara dan bahasa
menurut tabel waktunya sendiri. Namun, beberapa penelitian menunjukkan rentang
usia perkembangan komunikasi anak usia dini (Kumin, 2003; Stewart, 2010). Anak-anak
dengan Down Syndrome biasanya memperoleh kemampuan komunikasi lebih lambat
daripada anak pada umumnya, namun mereka mungkin mengalami kendala bahasa di
banyak hal, serupa dengan yang dihadapi pada anak pada umumnya termasuk pada
komponen bahasa seperti morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Penelitian
menemukan bahwa banyak anak dengan Down Syndrome tidak dapat memahami tata
bahasa atau struktur dan sistem suara ucapan (Marder dan Cholmáin, 2006; Kumin,
2003). Tampaknya perkembangan morfologi dan sintaksis (morphosyntax) merupakan
masalah terbesar untuk anak-anak dengan sindrom ini. Namun, hingga umur 17 bulan
tidak ada perbedaan antara anak-anak dengan Down Syndrome dan anak pada
umumnya.

Sebagian besar, anak-anak dengan Down Syndrome cenderung reseptif daripada


mengekspresikan dengan bahasa. Mereka biasanya memiliki celah ekspresif sebagai
hasil pemahaman bahasa, dan ini menurut mereka lebih mudah daripada
menyampaikan lewat kata-kata. Kesenjangan tersebut mempengaruhi anakanak yang
memiliki mean ujaran yang lebih pendek (Mean Lenght of Utterance MLU) daripada
yang lain. Misalnya, anak berusia empat tahun dengan Down Syndrome dapat
menghasilkan sebuah kalimat yang terdiri dari 1,5 kata sementara biasanya anak normal
lainnya memiliki 4,5 kata (Kumin, 2003; Owens, 2008). Marder dan Cholmáin (2006)
mencatat bahwa anak-anak dengan Down Syndrome juga memiliki masalah dalam
penggunaan bahasa (pragmatik). Di sisi lain, Kumin (2003) menyatakan bahwa
penggunaan bahasa secara sosial merupakan hal yang sering dilakukan, bagi anak yang
telah mendapat latihan dan pengalaman. Apalagi kebanyakan mereka sudah terampil
dalam menggunakan aspek komunikasi nonverbal seperti gesture dan ekspresi wajah.

2.3.1.2 Solusi Permasalahan

Berbagai sistem komunikasi transisi yang mungkin bisa membantu anak-anak


dengan Down Syndrome adalah komunikasi total, dengan menggunakan papan
komunikasi, buku portabel, buku catatan atau album foto, dan Sistem Komunikasi
Pertukaran Gambar (PECS) (Kumin, 2003). Penggunaan sistem komunikasi alternatif dan
augmentatif (AAC) bisa menjadi langkah lanjutan pada anak-anak dengan Down
Syndrome (Kaiser dan Roberts, 2011), terutama bagi yang belum berbicara sejak umur
12 sampai 18 bulan (Kumin, 2003). AAC memungkinkan kesempatan anak-anak dengan
Down Syndrome untuk berkomunikasi secara paralel lewat indra pendengaran dan
visual (Roudal dan Edwards, 1997). Sayangnya, hanya ada beberapa laporan penelitian
dalam literatur yang membahas penggunaan AAC pada intervensi komunikasi awal
untuk anak-anak dengan Down Syndrome. Namun, banyak penelitian telah dilakukan
untuk menemukan hubungan antara intervensi AAC dan produksi ucapan pada individu
yang memiliki cacat perkembangan (Millar et al., 2006; Romksi et al, 2010). Sistem AAC
terdiri dari isyarat (tanda dan gerak tubuh) dan peralatan (perangkat output suara,
gambar, atau teknologi lainnya) (Mc Cormick, 2003; Kaiser and Roberts, 2012). Sistem
AAC dapat berpengaruh besar dalam memfasilitasi komunikasi yang efektif, termasuk
merangsang anak untuk berbicara (Roudal dan Edward, 1997; Romsky et al., 2010). Di
sisi lain, beberapa orang tua dan profesional menolak untuk menggunakan AAC pada
anak mereka. Mereka berpendapat bahwa komunikasi augmented akan mempengaruhi
perolehan ucapan yang dapat dipahami (Miller et al., 1995) dan anak bisa lebih suka
menggunakan AAC kemudian kehilangan motivasi untuk menggunakan ucapan karena
sistem ini lebih mudah dibandingkan dengan bahasa lisan (Millar et al. , 2006).

Temuan penelitian telah mengusulkan sebuah counterargument, yang


mengemukakan bahwa AAC benar-benar dapat memfasilitasi produksi ucapan untuk
individu penyandang cacat perkembangan dengan baik. AAC memiliki beberapa manfaat
dalam memfasilitasi komunikasi yang efektif. Pertama, komunikasi awal yang ditandai
dapat mengurangi stres pada anak dan memberikan metode yang baik untuk referensi
objek, tindakan, dan kebutuhan dalam lingkungan (Miller et al., 1995). Kedua, intervensi
AAC menunjukkan peningkatan produksi ucapan alami setelah mereka membangun
kemampuan komunikasi dan bahasa dasar (Millar et al., 2006). Misalnya, sebuah studi
tentang balita dengan keterlambatan perkembangan yang mempelajari 10 kata yang
diucapkan (atau kurang) ditemukan bahwa intervensi bahasa augmentativ memiliki efek
komunikasi positif terhadap mereka (Romski, 2010). Selain itu, penggunaan sistem AAC
dalam fase awal komunikasi tampaknya tidak menghambat penggunaan bahasa lisan,
begitupun saat orang tua juga belajar menggunakan tanda-tanda yang diperkenalkan
pada anak (Miller et al., 1995) dan menyediakan bahasa lisan sebagai masukan bahasa
augmented (Kaiser et al 2001). Salah satu tipe AAC yang berguna untuk anak-anak
dengan Down Syndrome adalah gesture / isyarat. Tanda dan gerak tubuh adalah sistem
komunikasi utama yang memungkinkan anak dapat mengkomunikasikan kebutuhan
mereka (Marder dan Cholmáin, 2006). Karena ucapan menjadi lebih mudah dipahami,
penggunaan isyarat tidak lagi diperlukan, dan anak-anak secara otomatis akan berhenti
menggunakannya (Miller et al 1995). Namun, isyarat dapat terus membantu jika anak
memiliki verbal apraxia (Kumin, 2003). Dalam beberapa kasus, dukungan tambahan
seperti gambar, buku, dan perangkat elektronik akan tetap diperlukan dalam
mendorong perkembangan bahasa terutama bagi anak-anak yang memiliki diagnosis
ganda Down Syndrome dan disabilitas lainnya. Misalnya, PECS akan bekerja dengan
lebih baik pada anak-anak yang didiagnosis menderita Down Syndrome dan autisme
(Kumin, 2003). Dua kelainan tersebut secara tradisional memiliki perilaku khas yang
berbeda; Berbeda dengan anak-anak dengan Down Syndrome, atau anak-anak dengan
autisme yang kurang memiliki kemampuan dalam berinteraksi sosial (Kroeger dan
Nelson, 2006). Pelatihan PECS dapat diberlakukan pada anak-anak dengan kondisi ini
karena akan membantu mengajarkan keinginan dan dorongan komunikatif (Kumin,
2003) dan tidak memerlukan kebiasaan dasar dalam menggunakannya (Mc Cormick,
2003).

2.3.2 Autisme

2.3.2.1 Permasalahan Komunikasi pada Anak Autisme

Salah satu kesulitan yang dimiliki oleh anak autis adalah dalam hal komunikasi
(Delphie:2006). Oleh karena itu perkembangan komunikasi pada anak autis sangat
berbeda, terutama pada anak-anak yang mengalami hambatan yang berat dalam
penguasaan bahasa dan bicara. Kesulitan dalam komunikasi ini dikarenakan anak autis
mengalami gangguan dalam berbahasa (verbal dan non verbal), padahal bahasa
merupakan media utama dalam komunikasi. Mereka sering kesulitan untuk
mengkomunikasikan keinginannya baik secara verbal (lisan/bicara) maupun non verbal
(isyarat/gerak tubuh dan tulisan). Sebagian besar dari mereka dapat berbicara,
menggunakan kalimat pendek dengan kosa kata sederhana namun kosa katanya
terbatas dan bicaranya sulit dipahami. Karena kosa katanya terbatas maka banyak
perkataan yang mereka ucapkan tidak dipahaminya. Mereka yang dapat berbicara
senang meniru ucapan dan membeo (echolalia). Beberapa diantara mereka sering kali
menunjukkan kebingungan akan kata ganti. Contoh, mereka tidak menggunakan kata
saya dan kamu secara benar, atau tidak mengerti ketika lawan bicaranya beralih dari
kamu menjadi saya atau sebaliknya (Riyanti: 2002). Pada saat anak pada umumnya
sudah mengetahui nama, mampu merespon terhadap ya dan tidak, mengerti konsep
abstrak laki-laki – perempuan, dan mengikuti perintah-perintah sederhana. Sementara
itu pada anak autis mungkin hanya echolalia terhadap apa yang dikatakan atau tidak
bicara sama sekali.

Anak pada umumnya biasanya mulai mengoceh sekitar umur enam bulan. Ia
mulai bicara dalam bentuk kata pada umur satu tahun dan merangkai dua atau tiga kata
dalam satu kalimat sebelum delapan belas bulan. Sedangkan pada anak autis sebaliknya,
ia tidak memiliki pola perkembangan bahasa. Kemampuan komunikasi mereka
bervairasi, diantara mereka ada yang tidak pernah bicara, seperti anak pada umumnya
sampai delapan belas bulan atau dua puluh bulan, kadang-kadang kemampuan bicara
mereka hilang begitu saja. Tahapan perkembangan bahasa dan komunikasi anak pada
anak autis berbeda dengan tahapan perkembangan anak normal sebayanya, pada hal ini
tingkat perbedaan tahapan pada anak autis dan tahapan pada anak normal sebayanya
adalah dimana biasanya pada anak normal tahapan bahasa di usia 12 tahun “dia mulai
menggunakan jargon dengan intonasi yang seperti kalimat, menggunakan bahasa tubuh
plus vokalisasi untuk mendapatkan perhatian, menunjukkan benda-benda dan
mengajukan permintaan”. Sedangkan tahapan bahasa pada anak autis baru dapat
dilakukan di usia 36 bulan. Sehingga dapat dilihat bahwasanya perbedaan tahapan
antara anak normal sebaya dengan anak autis adalah kurang lebih 24 bulan.
(Mesibov:1988) Anak autis yang sulit berbicara, seringkali mengungkapkan diri atau
keinginannya melalui perilaku. Memang untuk beberapa kasus anak autis yang ada yang
sudah mampu menyampaikan keinginannya dengan cara menarik tangan orang yang
didekatnya atau menunjuk ke suatu arah yang diinginkan, atau mungkin menjerit. Jika
orangtua atau orang disekitarnya tidak memahami apa yang diinginkannya anak akan
marah-marah, mengamuk dan mungkin tantrumnya akan muncul.

2.3.2.2 Solusi Permasalahan

PECS singkatan dari Picture Exchange Communication System, adalah sebuah


teknik yang memadukan pengetahuan yang mendalam dari terapi berbicara dengan
memahami komunikasi dimana pelajar tidak bisa mengartikan kata, pemahaman yang
kurang dalam berkomunikasi, tujuannya adalam membantu anak secara spontan
mengungkapkan interaksi yang komunikatif, membantu anak memahami fungsi dari
komunikasi, dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi. (Tien:2008) Picture
Exchange Communication System (PECS) adalah suatu susunan gambar yang membantu
anak dengan gangguan bersosialisasi dan berkomunikasi (Frost & Bondy:1994). Terapi ini
menggunakan pendekatan behavioral dan teknik membentuk. Perbedaan individu
dalam mengulang dan mengirim pesan stimulus untuk mengajari anak fungsi dari
komunikasi dengan menggunakan media gambar. Dalam hal ini anak-anak diajarkan
untuk membuat kalimat dengan menyeleksei beberapa kartu gambar. Misalnya “ aku
ingin minum jus” dengan menggunakan susunan kartu yang bergambar orang dan gelas
yang berisi air jus, dan susunan dari beberapa kartu itu di berikan ke shadow sehingga
shadow mengetahui apa yang anak inginkan. Dan disini shadow mengulang kembali
pertanyaan “ apa yang kamu inginkan?” dengan tujuan anak akan belajar berkomunikasi
melewati gambar yang ada. (Mcfdc:2013) Alat terapi PECS menggunakan kalimat-
kalimat nasional hingga internasional dengan anak kecenderungan autism dan manarik
beberapa alasan (Siegel:2000, Yamall:2000). Yang pertama, alat ini membutuhkan
beberapa gerakan motorik yang kompleks pada bagian speaker dan tidak memerlukan
pendengar untuk menjadi akrab dengan bahasa tambahan seperti bahasa isyarat (Bondy
& Frost:1994). Kedua, alat peraga PECS ini relatif murah dan gampang terjangkau
dengan dapat merubah atau menambahkan beberapa pengaturan didalamnya. Yang
ketiga alat PECS ini efektif lebih cepat untuk diajarkan dan mempercepat komunikasi
verbal atau nonverbal pada anak autis. (Mcfdc:2013).

Dengan menggunakan PECS bukan berarti menyerah bahwa anak tidak akan
bicara, tetapi dengan adanya bantuan gambar-gambar atau symbol-simbol maka
pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan secara verbal dapat dipahami secara
jelas. Memang, pada tahap awalnya anak akan diperkenalkan dengan simbol-simbol non
verbal. Namun pada fase akhir penggunaan PECS ini, anak dimotivasi untu berbicara.
Banyak kekhawatiran akan ketergantungannya komunikasi lewat gambar ini sehingga
sang anak tidak mau berbicara lagi, namun Schwartz (1998) melakukan penelitian pada
18 orang anak-anak pra sekolah yang mengalami gangguan berbahas, beberapa diantara
mereka didiagnosa sebagai anak autis. Mereka mendapat penanganan dengan
menggunakan PECS untuk berkomunikasi selama disekolah, sesi latihan dan dalam
jangka waktu setahun, lebih dari setengahnya (N=18) telah berhenti menggunakan PECS
dan menggunakan kemampuan bicara alamiahnya. (Charlop:2002)

Selain itu juga ada alternative berkomunikasi selain dengan verbal bagi mereka
sehingga kesempatan anak autis untuk melakukan interaksi dapat dilakukan dan secara
tidak langsung pula mereka dapat bereksplorasi terhadap lingkungan secara timbal balik
meskipun tidak menggunakan verbal atau yang disebut bicara. Komunikasi alternatif
adalah teknik-teknik yang menggantikan komunikasi lisan bagi individu yang mengalami
hambatan dalam bicara atau tidak mampu berkomunikasi melalui bahasa lisan.
Sedangkan Komunikasi augmentatif adalah kaidah-kaidah dan peralatan/media yang
dapat meningkatkan kemampuan komunikasi verbal dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Banyak orang tua ASD merasa cemas dengan kondisi anaknya yang dianggap tidak bisa
atau tidak mau bicara. Untuk mengatasi masalah tersebut didesain suatu alat yang
disebut Augmentative and alternative communication (AAC) adalah media dan metode
serta cara yang digunakan oleh anak yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi
agar dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar dengan orang di sekitarnya. Sistem ini
berupa aplikasi gambar yang memudahkan penderiata ASD dan orang tua melakukan
komunikasi dan memudakan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Sistem aplikasi ACC sebagai suatu sistem multimodal yang terdiri dari empat
komponen yang dapat digunakan dalam berbagai kombinasi untuk meningkatkan
kemampuan berkomunikasi pada anak dengan ASD. Augmentative and Alternative
Communication (AAC) merupakan alat yang digunakan dalam melakukan komunikasi
pada anak dengan berkebutuhan khusus seperti pada anak dengan autism. Komunikasi
dapat diberikan berupa gambar atau kata-kata dengan memperhatikan komponen AAC
yang meliputi: (1) Teknik komunikasi; (2) Sistem symbol; dan (3) Kemampuan
berkomunikasi. Pada anak dengan autism sering mengalami kesulitan dalam berbicara
khususnya dengan autism spektrum disorder (ASD). Kurang lebih sekitar 50% dari anak
autis tidak berbicara, mereka cenderung sangat visual. Di beberapa Negara berkembang
sekolah khusus dengan anak autism telah menggunakan dan memasukkan program AAC
visual yang baik menggunakan komunikasi visual atau suara-output bantuan komunikasi
atau disebut juga dengan istilah voice-output communication aid (VOCAs). Perangkat
Elektronik Augmentative and Alternative Communication (AAC) merupakan alat yang
dibuat sangat menarik bagi anak-anak dan memberikan motivasi untuk berpartisipasi
dan fokus pada berbagai keterampilan dan kegiatan selama di kelas. Setiap jenis sistem
representasi visual dapat ditempatkan pada perangkat output suara sederhana untuk
anak-anak untuk mengakses dengan dorongan sederhana dari sebuah

2.3.3 Tuna Rungu

2.3.3.1 Permasalahan Komunikasi pada Anak Tuna Rungu

Anak tunarungu tidak dapat belajar bahasa atau memperoleh kemampuan


berbahasa atau berbicara dengan cara yang normal. Pemerolehan bahasa pertama anak
tunarungu dapat dilakukan dengan komunikasi total. Komunikasi total merupakan
sistem komunikasi paling efektif karena selain menggunakan bentuk komunikasi secara
lisan atau disebut oral, dengan kegiatan membaca, menulis, membaca ujaran, juga
dilengkapi dengan bentuk isyarat. Isyarat layaknya bahasa alami untuk tunarungu,
walaupun bentuknya berbeda di beberapa daerah namun ada sistem isyarat bahasa
indonesia yang dibakukan. Pemerolehan bahasa anak tunarungu yaitu memahami
ujaran melalui media membaca ujaran. Membaca ujaran merupakan unsur atau dasar
sistem bahasa batinnya. Batini anak tunarungu terdiri dari kata-kata sebagaimana tampil
pada gerak dan corak sebagai pengganti bunyi bahasa yang berupa vokal, konsonan, dan
intonasi pada anak mendengar. Sama seperti keadaan anak mendengar, pada anak
tunarungu kemampuan bahasa ekspresif (bicara) baru dapat dituntut setelah terjadi
perkembangan bahasa reseptif. Pengalaman atau situasi bersama dengan orang tua
(ibunya) merupakan persyaratan pertama. Dapat dikatakan bahwa masukan bahasa
dalam jumlah besar merupakan suatu syarat sebelum anak tunarungu dituntut
mengekspesikan diri melalui bicara. Hal ini kiranya akan menjadi jelas bahwa untuk
mengatasi permasalahan yang mungkin timbul bagi para orang dengan kecacatan rungu
wicara atau tunarungu adalah diberikannya pelayanan khusus yang mampu
mengembangkan pemerolehan bahasa dan kemampuan berbahasa yang sesuai dengan
kondisinya. Keterbelakangan pemerolehan bahasa pada bayi tunarungu dari keluarga
yang mendengar ini salah satunya disebabkan oleh terhentinya interaksi antara ibu dan
bayi karena ibu tidak dapat menangkap pesan komunikasi bayi atau sebaliknya;
ungkapan-ungkapan ibu tidak mendapat respon yang baik dari bayinya sehingga
komunikasi tidak berjalan dengan baik.

Pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu penyandang tunarungu dapat


dikategorikan menjadi: 1) bagi yang memiliki orang tua tunarungu akan berkomunikasi
dengan menggunakan media isyarat; 2) bagi yang memiliki orang tua mendengar dan
atau tunarungu berkomunikasi dengan menggunakan media isyarat dan oral; dan 3) bagi
yang memiliki orang tua dapat mendengar dan berkomunikasi dengan menggunakan
media oral. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan oral (lisan,
bicara) tulisan dan membaca ujaran. Oral adalah suatu cara dalam berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa lisan sebagai alat untuk berkomunikasi. Gunawan (2016)
memaparkan bahwa komunikasi oral yaitu; (1) Suatu sistem komunikasi yang
menggunakan bicara, sisa pendengaran, baca ujaran, dan atau rangsangan vibrasi serta
perabaan (vibrotaktil) untuk suatu percakapan spontan. (2) Suatu sistem pendidikan
dimana kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan menggunakan bahasa lisan dan
tulisan. Keunggulan oral dibandingkan bahasa isyarat yaitu; (1) Kecepatan berbicara jauh
lebih cepat daripada berbahasa isyarat. (2) Bahasa bicara lebih fleksibel, baik pembicara
maupun lawan bicara lebih bebas . (3) Isyarat bersifat terlalu afektif, cenderung
menyebabkan kurang terkendalinya perasaan. (4) Dengan isyarat ada kecenderungan
untuk memeragakan pikiran atau hal yang kongkrit, emosional atau situasional saja. (5)
Bila seseorang berbicara, maka “pesan” atau ungkapan seolah-olah keluar dari diri orang
itu agar sampai pada lawan bicara. Sedangkan dengan berisyarat seseorang akan lebih
terpusat pada diri sendiri, kurang memberi kesan adanya sesuatu yang “keluar” ke orang
lain, bahkan perhatian lawan bicara lebih terarah terhadap gerak tangan penyampai
pesan. Dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa anak tunarungu memerlukan
layanan khusus untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan berbicara, sehingga
dapat meminimalisi dampak dari ketunarunguan yang dialaminya.

2.3.3.2 Solusi Permasalahan


Dalam mengembangkan kemampuan berbahasa pada anak tunarungu, kita
perlu memahami perolehan bahasa yang terjadi pada anak mendengar dan juga yang
terjadi pada anak tunarungu. (Hernawati, 2007) mengemukakan bahwa pemerolehan
bahasa anak yang mendengar berawal dari adanya pengalaman atau situasi bersama
antara bayi dan ibunya atau orang lain yang berarti dalam lingkungan terdekatnya.
Melalui pengalaman tersebut, anak ‘belajar’ menghubungkan pengalaman dan lambang
bahasa yang diperoleh melalui pendengarannya. Proses ini merupakan dasar
berkembangnya bahasa batini (inner language). Setelah itu, anak mulai memahami
hubungan antara lambang bahasa dengan benda atau kejadian yang dialaminya
sehingga terbentuklah bahasa reseptif anak. Dengan kata lain anak memahami bicara
lingkungannya (bahasa reseptif auditori). Setelah bahasa reseptif auditori ‘agak’
terbentuk, anak mulai mengungkapkan diri melalui kata-kata sebagai awal kemampuan
bahasa ekspretif auditoria tau berbicara, meskipun pada dasarnya perkembangan kea
rah bicara muncul lebih dini lagi, yaitu dengan adanya masa meraban. Kemampuan itu
semua berkembang melalui pendengarannya (auditori). Setelah anak memasuki usia
sekolah, penglihatannya berperan dalam perkembangan bahasa melalui kemampuan
membaca (bahasa reseptif visual) dan menulis (bahasa ekspresif visual).

Dengan demikian tersedia tiga alternative, yaitu: isyarat, membaca, dan


membaca ujaran. Media membaca ujaran merupakan pilihan yang tepat disbanding
isyarat dan membaca. Dengan kemajuan teknologi pendengaran saat ini, maka sisa
pendengarannya dapat dioptimalkan untuk menstimulasi anak tunarungu dalam
perolehan bahasa. Apabila membaca ujaran menjadi dasar pengembangan bahasa batini
anak tunarungu, kita dapat melatih anak tunarungu untuk menghubungkan pengalaman
yang diperolehnya dengan gerak bibir dan mimik pembicara. Bagi anak kurang dengar
yang menggunakan alat bantu dengar, dapat menghubungkannya dengan lambang
bunyi bahasa (lambang auditori). Setelah itu, anak tunarungu mulai memahami
hubungan antara lambang bahasa (visual & auditori) dengan benda atau kejadian sehari-
hari, sehingga terbentuklah bahasa reseptif visual/auditori. Sama halnya seperti anak
mendengar, kemampuan bahasa ekspresif (bicara) baru dapat dikembangkan setelah
memiliki kemampuan bahasa reseptif. Selanjutnya anak tunarungu dapat
mengembangkan kemampuan bahasa reseptif visual (membaca) dan bahasa ekspresif
visual (menulis). Demikian perilaku bahasa verbal yang dapat terjadi pada anak
tunarungu.

2.3.4. Tunagrahita

2.3.4.1 Permasalahan Komunikasi pada Anak Tunagrahita

Pada anak tunagrahita sering kesulitan dalam berbicara dengan jelas karena
mengalami gangguan bicara berupa omisi (pengurangan kata) maupun distorsi
(kekacauan dalam pengucapan) (Effendi, 2009, hlm. 99). Kata yang diucapkan dengan
tidak jelas akan mengakibatkan salah penafsiran saat berkomunikasi dan gangguan
interaksi sosial yang berakibat pada masalah perilaku. Kejelasan berbicara (Speech
Intelligibility) dapat diartikan seberapa jelas seseorang berbicara sehingga
pengucapannya dapat dipahami secara menyeluruh oleh pendengar (Miller, Leddy, &
Leavitt, 1998, hlm. 61 - 80). Sering kali anak tunagrahita menangis atau berteriak karena
tidak mampu menyampaikan pesan dengan jelas dan juga penerima pesan (guru atau
teman sebaya) tidak mampu menangkap makna yang disampaikan. Kekurangan pada
kejelasan berbicara dapat menyebabkan salah penangkapan pesan saat berkomunikasi,
frustrasi dan kehilangan perhatian dari lawan bicara. Sering ditemukan anak tunagrahita
tidak dapat bergabung dengan kelompok bermain teman sebaya atau menangis dan
teriak-teriak karena teman sebaya atau lawan bicara tidak paham dengan ucapan anak
tunagrahita. Kegagalan anak dalam pemerolehan bahasa secara benar diiringi dengan
gangguan artikulasi bicara. Karakteristik lain yang terdapat pada anak tunagrahita
berkaitan dengan kemampuan berbicara adalah struktur kalimat yang disampaikan tidak
teratur, pengucapan yang sering mengalami omisi maupun distorsi

Gangguan bahasa pada anak tunagrahita dapat berupa gangguan pemahaman


dan penggunaan bahasa saat berbicara ataupun menulis termasuk pada fonologi,
morfologi, semantik, sintaksis, dan pragmatik (Tsha, 2011, hlm. 6). Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dipahami anak tunagrahita kesulitan menguasai tentang bunyi-
bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap. Kesalahan yang banyak ditemukan adalah
pengucapan pada fonem dan suku kata berhubungan dengan nilai kejelasan dan kualitas
(Coppens-Hofman dkk., 2017, hlm. 175). Selain itu anak tunagrahita mengalami banyak
kesalahan pada pengucapan konsonan (Dodd & Thompson, 2001, hlm. 308). Pada subjek
AZ ditemukan kesalahan pada pengucapan fonem /c/ dan /d/ serta salah dalam
pengucapan konsonan pada kata /apel/, /bebek/, /ceri/, dan /domba/. Pada subjek AZ
pada kondisi baseline, kemampuan pengucapan fonem tergolong rendah dan
pengucapan kata dengan nilai nol karena anak belum mampu mengucapkan semua kata
yang diujikan. Pada pengucapan fonem /a/, /b/, /c/, /d/, subjek AZ hanya mampu
memproduksi dua fonem yaitu /a-a-a/ dan /be-be-be/. Pada pengucapan kata belum
ada yang benar karena subjek AZ masih mengalami distorsi dan omisi pada pengucapan
kata. Subjek AZ hanya mampu mengucapkan kata /apel/ dengan /ape/; /bebek/
dengan /bebe/, /ceri/ dengan /ei/; dan /domba/ dengan /oma/. Kemampuan
pengucapan fonem subjek penelitian semakin meningkat setelah digunakan pemodelan
berbasis video dengan bantuan folder belajar. Subjek AZ mampu mengucapkan
fonem /a/, /b/, /c/, /d/, serta kata /apel/, /bebek/, /ceri/, dan /domba/ dengan jelas.
Subjek sangat terbantu dengan adanya model yang mengucapkan fonem dan kata yang
ada dalam video. Fonem dan kata yang diucapkan oleh model diiringi dengan irama
sehingga meningkatkan minat anak untuk menirukannya.

2.3.4.2 Solusi Permasalahan

Prosedur penggunaan pemodelan berbasis video adalah dengan menonton


video secara yang secara khusus menunjukkan kepada anak sikap yang harusnya
dilakukan (Sax, 2015, hlm. 2). Pada penelitian ini anak menonton video secara
keseluruhan, kemudian pembelajaran difokuskan pada fonem /a/, /b/, /c/, /d/. Anak
menyimak pengucapan fonem /a/ dan kata /apel/ kemudian anak diminta untuk
menirukan yang selanjutnya guru membimbing untuk mengucapkannya dengan benar
dan jelas, begitu seterusnya hingga berlanjutnya pada fonem /d/. Kemudian anak
melakukan refleksi dengan bantuan folder belajar. Anak dikatakan terlibat dalam folder
belajar, jika anak melihat semua presentasi yang ada dalam video dan menyelesaikan
semua aktivitas refleksi (Zeile dkk., 2018, hlm. 22). Folder belajar ini memberikan
kesempatan kepada anak untuk berlatih membedakan dan mengelompokkan antara
fonem dan kata. Selain itu, anak memiliki kesempatan untuk menghapus tulisannya
pada lembar kerja. Saat menghapus, anak dapat melatih motorik halusnya saat
menghapus. Penggunaan video secara maksimal dalam pembelajaran terdapat beberapa
elemen yang perlu dipertimbangkan yaitu video disesuaikan dengan target atau tujuan
pembelajaran dan menggabungkan video dengan pedoman pertanyaan, elemen yang
interaktif, atau tugas (Brame, 2016, hlm. 5). Pemodelan berbasis video lebih sering
digunakan untuk mengajarkan keterampilan hidup sehari-hari dan banyak digabungkan
dengan strategistrategi tambahan (Park dkk., 2018, hlm. 2). Pada penelitian ini
penggunaan pemodelan berbasis video dibantu dengan folder belajar yang menarik dan
interaktif. Folder belajar ini dibuat dengan binder yang dapat dengan mudah untuk
menambahkan atau mengurangi lembar kerja. Selain itu, lembar kerja dimasukkan ke
dalam sheet plastik dan ditulis dengan spidol boardmarker yang dapat dengan mudah
dihapus dengan tisu. Teknik ini dipilih untuk memudahkan anak untuk melakukan
pengulangan kerja. Anak tunagrahita menunjukkan peningkatan kemampuan
mengerjakan tugas dengan pemodelan berbasis video (Goh & Bambara, 2013, hlm. 103).
Saat menggunakan folder belajar, anak mampu menyelesaikannya secara keseluruhan
dengan baik. Tugas yang diberikan pada folder belajar yang pertama adalah
menyamakan fonem dengan kata yang sesuai, misalnya fonem /a/ dihubungkan dengan
kata /apel/ yang memiliki awalan fonem /a/, begitu seterusnya hingga fonem /d/.
Pembatasan materi fonem /a/ - /d/ didasarkan pada kemampuan anak dan tujuan
pembelajaran. Pemodelan berbasis video dengan bantuan folder belajar dapat
membantu anak mencapai target belajar berupa kejelasan berbicara, khususnya pada
pengucapan fonem dan kata. Pemodelan video menjadi media untuk anak menirukan
pengucapan fonem dan kata dengan jelas dan benar sesuai dengan yang dicontohkan
model dalam video. Selain itu, video mudah untuk diputar kembali sehingga
pengulangan pada anak akan semakin mudah dilakukan. Oleh karena itu, penggunaan
pemodelan video memang diharapkan untuk dapat secara efektif digunakan untuk
mencapai target belajar (Walser dkk., 2012, hlm. 319).

Anda mungkin juga menyukai