Anda di halaman 1dari 19

DISLEKSIA DAN DIMENSIA

MAKALAH

OLEH

SUNANDARI

ANDI SOSILA KAMARUDDIN

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah Swt pencipta alam
semesta penulis panjatkan kehadirat-Nya semoga salawat dan salam senantiasa
tercurah pada Rasulullah Muhammad saw, beserta keluarga, sahabat dan orang-
orang yang senantiasa istiqamah untuk mencari Ridha-Nya hingga di akhir zaman.

Makalah dengan judul “Disleksia dan Dimensia” diajukan untuk


memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen pengampu Dr. A. Rahman
Rahim, M.Hum. mata kuliah Pemerolehan Bahasa.

Berbekal dari kekuatan dan ridha dari Allah Swt semata, maka penulisan
makalah ini dapat terselesaikan meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Tidak
sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi, akan tetapi penulis sangat
menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada keberhasilan tanpa kegagalan. Oleh sebab
itu, hanya dari pertolongan Allah Swt. yang hadir lewat uluran tangan serta
dukungan dari berbagai pihak. Karenanya, penulis menghaturkan terima kasih atas
segala bantuan modal dan spritual yang diberikan dalam menyelesaikan makalah
ini.

Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.................................................................................

KATA PENGANTAR..................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................

B. Rumusan Masalah..............................................................................

C. Tujuan................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Disleksia dan Dimensia...................................................

B. Penyebab Disleksia dan Dimensia.....................................................

C. Gejala Disleksia dan Dimensia..........................................................

BAB III PENUTUP

A. Simpulan............................................................................................

B. Saran..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesulitan belajar pada umumnya dari kesulitan belajar spesifik

khususnya pada anak merupakan masalah, baik di sekolah maupun di

lingkungan sosialnya. Bila tidak ditangani dapat merupakan masalah seumur

hidupnya. Salah satu dari kesulitan belajar spesifik yang mendapat perhatian

adalah kesulitan membaca atau disleksia, karena kemampun membaca

merupakan dasar atau fondasi untuk memperoleh kepandaian skolastik

lainnya (Rapin, 1993). Frank Wood (1993) bahkan menyatakan dalam

penelitian epidemiologisnya, kesulitan membaca merupakan lebih dari 90%

dari kelainan non-psikiatris pada anak – anak sekolah. Pada anak-anak

disebut disleksia perkembangan karena terjadinya pada masa perkembangan

anak.

Disleksia perkembangan merupakan salah satu gangguan

perkembangan fungsi otak yang terjadi sepanjang rentang hidup

(developmental disorders across the life span). Tidak jarang anak-anak yang

mengalami disleksia terutama yang ringan dianggap atau “dicap” sebagai

anak yang bodoh, malas, kurang berusaha, ceroboh, sehingga timbul rasa

rendah diri, kurang percaya diri dan mengalami gangguan emosional

sekunder. Padahal tidak jarang penyandang disleksia mempunyai

intelingensi yang tinggi seperti antara lain Nelson Rockefeller, Albert

Einstein, Churchiil yang disebut Gifted dyslexics.


Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian

beratnya sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan aktivitas

sosial. Kemunduran kognitif pada demensia biasanya diawali dengan

hilangnya fungsi intelektual, kemunduran memori (pelupa) serta daya pikir

lain. Demensia berkaitan erat dengan usia lanjut (Nugroho, 2012). Grayson

(2004) dalam Aspiani (2014) menyebutkan bahwa demensia bukanlah

sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan

beberapa penyakit atau kondisi tertentu.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan disleksia dan dimensia?

2. Apa saja penyebab dari disleksia dan dimensia?

3. Apa saja gejala dari disleksia dan dimensia?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari diseleksia dan dimensia.

2. Untuk mengetahui penyebab disleksia dan dimensia.

3. Untuk mengetahui gejala disleksia dan dimensia.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Disleksia dan Dimensia

Dyslexia  berasal dari kata yunani (Greek), “dys” berarti kesulitan,

“lexis” berarti kata-kata. Disleksia merupakan kesulitan belajar yang primer

berkaitan dengan masalah bahasa tulisan seperti membaca, menulis,

mengeja, dan pada beberapa kasus kesulitan dengan angka, karena adanya

kelainan neurologis yang kompleks - kelainan struktur dan fungsi otak -.

(Abigail Masrhall, 2004).

Dapat pula merupakan kelainan bawaan (constitutional in

origin),  keturunan (genetic). Bila salah satu dari kembar identik mengalami

disleksia, maka 85 hingga 100 persen kemungkinan anak kembar yang lain

mengalami disleksia pula. Bila salah satu orang tua mengalami disleksia,

sekitar 25-50% dari anaknya dapat mengalami disleksia pula.

Definisi Disleksia Menurut Critchley (1970) adalah Kesulitan belajar

membaca, menulis dan mengeja (disorografi), tanpa ada gangguan sensorik

perifer, intelegensi yang rendah, lingkungan yang kurang menunjang (di

sekolah, di rumah), problema emosional primer atau kurang motivasi”

(Njiokiktjien, 1988, 1989; Pennington, 1991).\

Disleksia disebut juga sebagai kesulitan belajar spesifik. Dikatakan

spesifik karena kesulitan dalam masalah belajar tertentu, bukan lambat

belajar umum yang mengalami kesulitan dalam seluruh spektrum  belajar.

Gejala yang spesifik berupa kesulitan dalam membaca, mengajar dan bahasa
tulisan. Gejala penyerta lain dapat berupa kesulitan menghitung

(diskalkulia), menulis angka (notational skills/music), fungsi

koordinasi/ketrampilan motorik (dispraksi). Namun yang utama adalah anak

harus menguasai bahasa tulisan walaupun bahasa tutur dapat pula terganggu

(language processing are). Anak yang mengalami kesulitan membaca akan

mengalami kesulitan dalam kehidupan di lingkungannya, terutama di

sekolah yang pembelajarannya menggunakan buku (book based).

Disleksia disebut sebagai “The Hidden Disability” (ketidak mampuan

yang tersembunyi), karena pada kasus disleksia yang ringan sering tidak

dikenal, dianggap “anak lamban atau malas membaca” atau “anak

ceroboh/kurang teliti dalam tulisannya, seperti adanya penghilangan,

penambahan, atau penggantian huruf tertentu.

Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian

beratnya sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan aktivitas

sosial. Kemunduran kognitif pada demensia biasanya diawali dengan

hilangnya fungsi intelektual, kemunduran memori (pelupa) serta daya pikir

lain. Demensia berkaitan erat dengan usia lanjut (Nugroho, 2012). Grayson

(2004) dalam Aspiani (2014) menyebutkan bahwa demensia bukanlah

sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan

beberapa penyakit atau kondisi tertentu. Kumpulan gejalanya ditandai

dengan penurunan kognitif, perubahan mood, serta perubahan tingkah laku.


B. Penyebab Disleksia dan Dimensia

1. Disleksia

Patogenesis disleksia terletak pada struktur dan fungsi otak,

pada umumnya pada belahan otak (hemisfer) kiri, sebagian pada

belahan otak kanan, korus kolosum, dan dalam kepustakaan

disebutkan adanya gangguan dalam fungsi antar belahan otak

(interhemisferik). Penyebab gangguan fungsi belahan otak kiri

dikaitkan dengan gangguan perkembangan morfologis atau kerusakan

otak karena kurang oksigen pada saat atau setelah lahir (iskemia atau

asfiksia perinatal). (Geswind yang kutip oleh Njiokiktjien, 1989). Juga

beberapa peneliti mengaitkan dengan faktor keturunan (genetik,

constitutional origin) dan hormon seks pada laki-laki.(Njiokiktjien,

1989).

Ada beberapa faktor penyebab disleksia, yakni faktor genetik,

faktor cidera otak & faktor pemrosesan fonologi.

a. Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan faktor pertama penyebab disleksia,

yang cenderung terjadi dalam keluarga secara turun temurun.

Seorang ayah yang disleksia berpotensi menurunkan

disleksianya 39% pada anak laki-lakinya & 17-18% pada anak

perempuannya.

Sedangkan seorang ibu yang disleksia berpotensi menurunkan

disleksianya 34% pada anak laki-lakinya & 17-18% pada anak


perempuannya. Jika salah satu anaknya mengalami disleksia

maka 50% saudara kandungnya juga akan mengalami disleksia.

Selain dari keturunan keluarga, disleksia juga disebabkan oleh

kelahiran yang premature dan berat badan bayi rendah.

Ketika mengandung apa yg dikonsumsi si ibu juga dapat

menjadi faktor penyebab disleksia. Khususnya konsumsi yang

berbahaya pada kehamilan, seperti obat-obatan, alkohol, nikotin

dan hal-hal yang dapat mengganggu perkembangan otak pada

janin.

b. Faktor Cedera Otak

Faktor cedera otak merupakan faktor yang paling sering menjadi

penyebab disleksia, dimana terjadi setelah masa kelahiran /

bukan karena faktor genetik. Biasanya terjadi karena

kecelakaan, stroke & trauma.

c. Faktor Pemrosesan Fonologi

Faktor ini terjadi karena adanya ketidakstabilan dalam otak,

terutama pada area fonologis/ bahasa dimana menyebabkan

penderita disleksia mengalami kebingungan dan susah

membedakan huruf yang hampir sama atau terbalik-balik.

Seperti huruf B & D serta huruf P & Q.

Selain 3 faktor tersebut. Terdapat 1 faktor potensial yang dapat

menyebabkan seseorang mengalami kesulitan belajar disleksia.


Berdasarkan penelitian yang dilakukan 2 ilmuan Prancis tahun

2017 yakni Guy Ropars & Albert Le Floch. Mereka menyebutkan ada

faktor lain penyebab disleksia yakni kondisi mata yang simetris. Pada

dasarnya mata manusia memiliki salah satu mata yang dominan

dimana ketika mata melihat 2 visual yg mirip, mata dominan akan

menentukan salah satu bentuk dan mengabaikan bentuk visual

lainnya.

Sedangkan penderita disleksia memiliki mata yang setara/ tidak

ada yang dominan. Sehingga akan mengakibatkan otak mengalami

kesulitan dan kebingungan untuk menentukan 2 visual/ bentuk yg

mirip. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan susunan sel reseptor

pada mata. Pada mata disleksia, reseptor tersusun simetris sedangkan

pada mata normal tersusun asimetris.

2. Dimensia

Menurut Aspiani (2014) penyebab demensia dibedakan menjadi

dua yakni sebagai berikut.

a. Penyebab demensia yang reversible

1) Drugs (obat)

Misalnya obat sedative, obat penenang, obat anti konvulsan,

obat anti hipertensi, obat anti aritmia. Menurut Sharon

(1994) semua obat memiliki efek samping yang potensial

misalnya depresi, disorientasi, dan demensia, termasuk obat

yang kita kira tidak berbahaya seperti penghilang rasa sakit,


obat batuk dan obat pencahar. Sirkulasi darah yang buruk,

metabolisme umum yang menurun, sembelit dan penurunan

fungsi detoksifikasi (menetralisirkan racun) hati dapat

menjadi penyebab keracunan obat pada segala usia.

2) Emotional (emosional)

Gangguan emosional misalnya depresi. UNHAS, (2016)

menyatakan riwayat pasien yang mendukung demensia

adalah kerusakan bertahap seperti tangga (stepwise)

misalnya depresi yang menyebabkan kehilangan memori

dan kesukaran membuat keputusan diikuti oleh periode

yang stabil dan kemudian akan menurun lagi. Awitan dapat

perlahan atau mendadak.

3) Metabolic dan endokrin

Misalnya adalah diabetes melitus, hipoglikemia, gangguan

tiroid, gangguan elektrolit. Menurut (Robert,R. 2008) dalam

Waluyan (2016) keadaan hiperglikemi dan resistensi insulin

dapat mengakibatkan komplikasi kronis pada penderita

dengan pengobatan jangka panjang yaitu komplikasi

makrovaskular, mikrovaskular dan komplikasi neuropati.

Komplikasi diabetes mellitus tipe 2 menyebabkan

terjadinya perubahan dan gangguan di berbagai sistem,

termasuk sistem saraf pusat, dan hal ini berhubungan

dengan gangguan fungsi kognitif.


4) Eye and ear

Disfungsi mata dan telinga.

5) Nutritional

Kekurangan vitamin B6 (pellagra), vit B1 (sindrom

wernicke), vitamin B12 (anemia pernisiosa), asam folat dan

asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 merupakan

komponen penting dari membran sel dari semua sel di

dalam tubuh. Kekurangan asam lemak omega-3 dapat

meningkatkan risiko penurunan kognitif yang berkaitan

dengan usia atau demensia. Para ilmuan percaya bahwa

asam lemak omega-3 DHA adalah perlindungan terhadap

penyakit demensia (Sumbono, 2016).

6) Tumor dan trauma

Tumor otak terutama tumor metastatik (dari payudara dan

paru) dan meningioma akan mengganggu keseimbangan

antara neurotransmitter di otak (Tomb, 2004).

7) Infeksi

Ensefalitis oleh virus misalnya herpes simplek, bakteri

misalnya pneumococcus, TBC, parasit, fungus, abses otak,

neurosifilis. Menurut Almeida (2005) dalam Harahap

(2015) penyebab demensia terkait infeksi adalah semua

agen penyebab infeksi pada SSP dapat secara tunggal atau

bersama-sama menyebabkan terjadinya infeksi dengan


memanfaatkan faktor virulensi yang dimilikinya. Dengan

faktor virulensi tersebut, agen infeksi mampu menginduksi

respon inflamasi di otak dengan akibat terjadinya proses

neurodegenerasi, suatu proses yang mengakibatkan

terjadinya demensia.

8) Arterosklerosis

Komplikasi penyakit arterosklerosis adalah infark miokard

dan gagal jantung. Menurut Sharon (1994) jantung dan

paru-paru berhubungan dengan berat ringannya kekurangan

oksigen di otak. Kekurangan oksigen ini pada gilirannya

dapat menyebabkan episode akut kebingungan dan dapat

menyebabkan demensia kronis.

b. Penyebab demensia yang non reversible

1) Penyakit degeneratif

Misalnya penyakit alzheimer, penyakit huntington,

kelumpuhan supranuklear progresif, penyakit parkinson.

2) Penyakit vaskuler

Misalnya penyakit serebrovaskuler oklusif (demensia multi-

infark), embolisme serebral, arteritis, anoksia sekunder

akibat henti jantung, gagal jantung.

3) Demensia traumatik

Misalnya perlukaan kranio-serebral, demensia pugi-listika.

4) Infeksi
Misalnya sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS), infeksi

opportunistik, demensia pasca ensefalitis

C. Gejala Disleksia dan Dimensia

1. Disleksia

Disleksia dapat menimbulkan gejala yang bervariasi,

tergantung kepada usia dan tingkat keparahan yang dialami

penderita. Gejala dapat muncul pada usia 1-2 tahun, atau setelah

dewasa.

Pada anak balita, gejala dapat sulit dikenali. Namun

setelah anak mencapai usia sekolah, gejala akan makin terlihat,

terutama ketika anak belajar membaca. Gejala yang muncul

meliputi:

a. Perkembangan bicara yang lebih lamban dibandingkan

anak-anak seusianya.

b. Kesulitan memproses dan memahami apa yang didengar.

c. Kesulitan menemukan kata yang tepat untuk menjawab

suatu pertanyaan.

d. Kesulitan mengucapkan kata yang tidak umum.

e. Kesulitan mempelajari bahasa asing.

f. Kesulitan dalam mengingat sesuatu.

g. Kesulitan dalam mengeja, membaca, menulis, dan

berhitung.
h. Lamban dalam menyelesaikan tugas membaca atau

menulis.

i. Lamban dalam mempelajari nama dan bunyi abjad.

j. Menghindari aktivitas membaca dan menulis.

k. Kesulitan mengingat huruf, angka, dan warna.

l. Kesulitan memahami tata bahasa dan memberi imbuhan

pada kata.

m. Sering salah dalam mengucapkan nama atau kata.

n. Sering menulis terbalik, misalnya menulis ‘pit’ saat

diminta menulis ‘tip.’

o. Sulit dalam membedakan huruf tertentu saat menulis,

misalnya ‘d’ dengan ‘b’ atau ‘m’ dengan ‘w.’

Jika perkembangan kemampuan membaca dan menulis anak terlihat

lambat, segera konsultasikan dengan dokter. Apabila disleksia dibiarkan

tidak tertangani, kesulitan anak dalam membaca akan berlangsung

hingga dewasa.

2. Dimensia

Menurut John (1994) dalam Aspiani (2014) bahwa lansia yang

mengalami demensia juga akan mengalami keadaan yang sama seperti

orang depresi yaitu akan mengalami defisit aktivitas kehidupan sehari-

hari (AKS), gejala yang sering menyertai demensia adalah sebagai

berikut.
a. Gejala awal

Kinerja mental menurun; fatique; mudah lupa; gagal dalam

tugas.

b. Gejala lanjut

Gangguan kognitif; gangguan afektif; gangguan perilaku.

c. Gejala umum

Mudah lupa; ADL terganggu; disorientasi; cepat marah;

kurang konsentrasi; resiko jatuh.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Disleksia perkembangan merupakan salah satu gangguan

perkembangan fungsi otak yang terjadi sepanjang rentang hidup

(developmental disorders across the life span). Tidak jarang anak-anak yang

mengalami disleksia terutama yang ringan dianggap atau “dicap” sebagai

anak yang bodoh, malas, kurang berusaha, ceroboh, sehingga timbul rasa

rendah diri, kurang percaya diri dan mengalami gangguan emosional

sekunder. Padahal tidak jarang penyandang disleksia mempunyai

intelingensi yang tinggi seperti antara lain Nelson Rockefeller, Albert

Einstein, Churchiil yang disebut Gifted dyslexics. Disleksia disebabkan dari

berbagai macam dan menimbulkan beberapa geleja tersendiri.

Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian

beratnya sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan aktivitas

sosial. Kemunduran kognitif pada demensia biasanya diawali dengan

hilangnya fungsi intelektual, kemunduran memori (pelupa) serta daya pikir

lain. Demensia berkaitan erat dengan usia lanjut (Nugroho, 2012). Grayson

(2004) dalam Aspiani (2014) menyebutkan bahwa demensia bukanlah

sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan

beberapa penyakit atau kondisi tertentu. Dimensia memiliki banyak

penyebab dan gejala yang ditimbulkanpun beragam.


B. Saran
Dalam penyusunan makalah yang berjudul “Pendidikan di Masa
Pandemi Covid-19” masih memilki banyak kekurangan sehingga kami
mengharaplan kritik dan saran yang mampu membangun dari dosen dan
teman-teman.
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, wiwin. 2019. “Faktor Penyebab Disleksia”.

https://www.kompasiana.com/wiwindamayanti/5cd0e43995760e220a

50d262/faktor-penyebab-disleksia-kesulitan-belajar-dalam-

membaca#// diakses 11 Februari 2021 pukul 20.09.

Dinar, M. R., Achmad, H., Lia, M., & Tati, S. (2020). GAMBARAN

PENGETAHUAN LANSIA TENTANG PENCEGAHAN

DEMENSIA (Doctoral dissertation, Politeknik Kesehatan Kemenkes

Bandung).

Lidwana, Soeisniwati, 2012, Disleksia Berpengaruh pada Kemampuan Membaca

dan Menulis. Vol 4, No 3 11-16

Sidiarto, L.D. (2010) perkembangan otak dan kesulitan belajar pada anak.

Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)

Wardani, N. D. (2019). MANAJEMEN TERAPI GANGGUAN PERILAKU

PADA DEMENSIA. Media Medika Muda, 3(3).

Anda mungkin juga menyukai