Anda di halaman 1dari 92

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI

PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAA

- Warga Negara dan Kewarganegaraan


- Konstitusi Negara
- Demokrasi dan Demokrasi di Indonesia

Yesi Margareta Simanjuntak

1915310773

Reguler II 1 H – MANAJEMEN
2020 / 2021
PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang


Maha Esa atas segala limpahan karunia dan rahmat Nya yang
tak terhingga sehingga penulis dapat menyelasaikan
makanlah ini yang berjudul Warga Negara Dan
Kewarganegaraan, Konstitusi Negara, Demokrasi dan
Demokrasi di Indonesia. Semoga Makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembacanya Amin.

Kami masuk ke Fakultas ini dan Jurusan ini karena kami


ingin menambah ilmu Manajemen sekaligus ingin tahu dunia
Manajemen yang ada di dunia ini.

Penulis telah berusaha secara maksimal untuk tidak


membuat kesalahan dan perbuatan makalah ini. Bila pembaca
menemukan kesalahan dalam mempraktekan makalah
ini, penulis mohon maaf, Saran dan kritik dari pembaca
sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembacanya, Amin.

Yesi Margareta Simanjuntak

Penulis
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………i
KATA PENGANTAR………………………………..ii
DAFTAR ISI…………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………...1

1. Latar Belakang………………………………...1
2. Rumusan Masalah……………………………..2

BAB II ISI…………………………………………...2

1. Pengertian Warga Negara Dan Kewarganegaraan……3


2. Warga Negara………………………………………...3
3. Pengertian Kewarganegaraan………………………...5
4. Konsep Dasar Tentang Negara……………………….5
5. Tujuan Negara……………………………………...6-7
6. Unsur unsur Negara……………………………….8-10
7. Teori Terbentuknya Negara……………………...11-14
8. Teori Hubungan Agama dan Negara…………….15-16
9. Relasi Agama Dan Negara Dalam Perspektif islam...17
BAB III ISI.......................................................…………….3

1. Konstitusi yang Pernah Digunakan Di Indonesia…20


2. Istilah Dan Pengertian Kostitusi……………….21-22
3. Pembagian Konstitusi………………………….25-26
4. Sifat & Kedudukan Kostitusi……………………...28
5. Fungsi Kostitusi…………………………………...29
6. Isi Muatan Kostitusi……………………………31-32
7. Sistem Kettatanegaraan Di Indonesia………….48-49
8. Penyimpangan Terhadap Kostitusi…………….50-64

BAB IV ISI………………………………………………….4

1. Pengertian Demokrasi………………………………79
2. Pelaksanaan Demokrasi Di Indoneia………………..80
3. Pentingnya Demokrasi…………………………..83-84

KESIMPULAN SARAN………………………………….85
DAFTAR PUSTAKA………………………………….86-87
BAB I

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Negara? Apa itu negara? Pada dasarnya negara adalah
sebuah organisasi seperti layaknya sebuah organisasi, Negara
memiliki anggota, tujuan dan peraturan. Anggota negara
adalah warganya, tujuan Negara biasanya tercantum dalam
pembukaan konstitusinya (Undang-undang dasar), sedang
peraturannya dikenal sebagai hokum. Bedanya dengan
organisasi yang lain, Negara berkuasa di atas individu-
individu dan di atas organisasi-organisasi pada suatu wilayah
tertentu. Peraturan negara berhak mengatur seluruh individu
dan organisasi yang ada pada suatu wilayah tertentu,
sedangkan peraturan organisasi hanya berhak mengatur fihak-
fihak yang menjadi anggotanya saja. Peraturan Negara
bersifat memaksa, nila ada yang tidak mematuhinya,
mempunyai hak untuk memberikan sanksi yang bersifat
kekerasan. Sepanjang sejarah manusia hidup di atas
permukaan bumi, manusia telah bernegara. Mulai dari Negara
dalam bentuknya yang paling primitive yaitu kesukuan,
Negara kota, sampai Negara kerajaan, Negara republic dan
Negara demokrasi. Sampai saat ini tidak ada satupun ta’rif
negara yang diakui semua fihak. Ahli-ahli ilmu kenegaraan
saling berbeda pendapat tentang apa itu negara. Secara
sederhana bisa kita katakan bahwa yang dimaksud dengan
Negara adalah organisasi yang menaungi semua fihak dalam
suatu wilayah tertentu.
1.RUMUSAN MASALAH
2.Bagaimana konsep dasar tentang negara?
3.Apa saja tujuan negara?
4.Apa saja unsur-unsur negara?
5.Bagaimana teori terbentuknya negara?
6.Bagaimana hubungan agama dan negara?
7.Bagaimana relasi agama dan negara dalam perspektif
Islam?

2
BAB II

ISI
A. Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan
1. Warga Negara
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai
bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara.
Istilah ini dahulu disebut hamba atau kawula. Istilah warga
negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang
merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula
negara, karena warga negara mengandung arti peserta,
anggota atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari suatu
persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas
dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan
bersama. Untuk itu, setiap warga negara empunyai persamaan
hakk di hadapan hukuum. Semua warga negara memiliki
kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.[1]

3
istilah warga negara merupakan terjemahan dari kata citizen
(bahasa Ingggris) yang mempunyai arti sebagai berikut;
1.Warga negara;
2.Petunjuk dari sebuah kota;
3.Sesama warga negara, sesama penduduk, orang setanah
air;
4.Bawahan atau kawula.
Menurut As Hikam dalam Ghazalli (2004), warga negara
sebagai sebagai terjemahan dari citizen artinya adalah
anggota dari suatu komunitas yang membentuk negara itu
sendiri.
Pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa
warga negara merupakan anggota negara yang mempunyai
kedudukan khusus terhadap negaranya.

4
2. Pengertian Kewarganegaraan
Istilah kewarganegaraan (citizenship) memiliki arti
keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan anatara
negara dan warga negara. Menurut memori penjelasan dari
pasal II Peraturan Penutup Undang-Undang No. 62 tahun
1958 tentang Kewarganeraan Republik Indonesia,
kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan
suatu negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara
itu untuk melindungi orang ang bersangkutan. Adapun
menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, kewarganegaraan adalh segala hal ihwal yang
berhubungan dengan negara.
3. Konsep Dasar Tentang Negara
Secara litral istilah negara merupakan terjemahan dari
kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), staat (bahasa
Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata state,
staat, etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau
statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau
sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminologi, negara diartikan dengan organisasi
tertinggi diantara ssatu kelompok masyarakat yang
mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah
tertentu yang mempunyai pemerintah yang beraulat.
Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah
negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah
negara, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah
(daerah) dan adanya pemerintah yang berdaulat.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak
menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan
perundang-undangan melalaui penguasaan (kontrol)
monopolistis dari kekuasaan yang sah.

4. Tujuan Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan
orang-orang yang mendiaminya, negara harus memiliki
tujuan yang disepakati bersama. tujuan sebuah negara dapat
bermaam-macam, antara lain;
1.Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata;
2.Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum;
3.Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum
6
Dalam konsep dan ajaran plato, tujuan dengan adanya
negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai
perseorangann (individu) dan sebagai makhluk sosial.
Sedangkan menurut Roger H. Soltau tujuan negara adalah
memungkinkan rakyatnya berkembang serta
menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.
Dala islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabia,
tujuan negara adalah agar manusia dapat menjalakan
kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga
intervensi pihak-pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada
konsep sosio-historis bahwa manusia diciptakan oleh Allah
dengan watak dan kecenderungan berkumpul dan
bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara individu-
individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan.
Sementara menurut Ibnu Khaldun, tujuan negara adalahh
untuk kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada
kepentingan akhirat.
Sementara itu, dalam konsep dan ajaran Negara Hukum,
tujuan negara adalah menelenggarakan ketertiban hukum,
dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum. Dalam
negara hukum segala kekuasaan dai alat-alat
pemerrintahannya didasarkan atas hukum. Semua oarang
tanpa kecuali harus tunduk dan taat pada hukum, hanya
hukumlah yang berkuasa dalam negara itu (government not
by man but by low = the rule of law).
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara (sesuai
dengan pembukaan UUD 1945) adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamain abadi dan keadilan sosial. Selain itu
dalam pembukaan UUD 1945 ditetapkan bahwa Negara
Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (matchstaat). Dari pembukaan
dan penjelasan Uud 1945 tersebut, dapat dikatakan bahwa
Indonesia merupakan suatu negara hukum yang bertujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu
masyarakat yang adil dan makmur.

7
5. Unsur-unsur Negara
Sebuah negara mempunyai unsur-unsur yang harus ada di
dalamnya yaitu sebagai berikut.
1. Rakyat (Masyarakat/Warga Negara)
Setiap negara tidak mungkin bisa ada tanpa adanya warga
atau rakyatnya. Unsur rakyat ini sangat penting dalam sebuah
negara, karena secara konkret rakyatlah memiliki kepentingan
agar negara itu dapat berjalan dengan baik. Selain it,
bagaimanapun juga manusialah yang akan mengatur dan
menentukan sebuah organisasa (negara).
Rakyat dalam konteks ini diartikan sebagai sekumpulan
manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan
yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
Mungkin tidak dapat dibayangkan adanya suatu negara tanpa
rakyat (warga negara). Rakyat adalah substratum dari negara.

8
2. Wilayah
Wilayah dalam sebuah negara merupakan unsur yang
harus ada, karena tidak mungkin ada negara tanpa ada batas-
batas teritorial yang jelas. Secara mendasar, wilayah dalam
sebuah negara biasanya mencakup daratan (wilayah darat),
peraiaran (wilayah laut/perairan) dan udara (wilayah udara).
• Daratan (Wilayah Darat)
Wilayah darat suatu negara dibatasi oleh wilayah darat
dan laut (perairan) negara lain. Perbatasan wilayah sebuah
negara biasanya ditentukan berdasarkan perjanjian yakni
perjanjian antara dua negara atau lebih.
• Peraiaran (Wilayah Laut/Perairan)
Perairan atau laut yang menjadi bagian atau termasuk
wilayah suatu negara disebut perairan atau laut teritorial dari
negara yang bersangkutan. Adapun batas dari perairan
teritorial itu pada umumnya 3 mil laut (5,555 km) yang
dihitung dari pantai ketika air surut. Laut yang berada diluar
perairan teritorial disebut Lautan Bebas (Mare Liberum).
Disebut dengan Lautan Bebas, karena wilayah perairan
tersebut tidak termasuk wilayah kekuasaan suatu negara
sehingga siapapun bebas memanfaatkannnya.

9
• Udara (wilayah Udara)
Udara yang berada di atas wilayah darat (daratan) dan
wilayah laut (perairan) teritorial suatu negara merupakan
bagian dari wilayah udara sebuah negara. Mengenai batas
ketinggian sebuah wilayah negara tidak memiliki batas yang
pasti, asalkan negara yang bersangkutan dapat
mempeertahankannya.

1. Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas
memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan negara.
Oleh karenanya, pemerintah seringkali menjadi personifikasi
sebuah negara.
Pemerintah menegakkan hukum dan memberantas
kekacauan, mengadakan perdamaian dan menyelaraskan
kepentingan-kepentingan yang bertantangan. Pemerintah
yang menetapkan, menyatakan dan menjalankan kemauan
individu-individu yang tergabung dalam organisasi politik
yang disebut negara. Pemerintah adalah badan yang mengatur
urusan sehari-hari, yang menjalankan kepentingan-
kepentingan bersama. Pemerintah melaksanakan tujuan-
tujuan negara, menjalankan fungsi-fungsi kesejahteraan
bersama-sama. 10
6. Teori Terbentuknya Negara
Adapun beberapa teori tentang terbentuknya suatu Negara
yakni sebagai berikut.
1.Teori kontrak sosial (social contract)/ Teori Perjanjian
Masyarakat
Teori ini beranggapan bahwa Negara dibentuk
berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Beberapa
pakar penganut teori kontrak sosial yang menjelaskan teori
asal-mula Negara, diantaranya:
• Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurutnya syarat membentuk Negara adalah dengan
mengadakan perjanjian bersama individu-individu yang
tadinya dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan
semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang
atau sebuah badan. Teknik perjanjian masyarakat yang dibuat
Hobbes sebagai berikut setiap individu mengatakan kepada
individu lainnya bahwa “Saya memberikan kekuasaan dan
menyerahkan hak memerintah kepada orang ini atau kepada
orang-orang yang ada di dalam dewan ini dengan syarat
bahwa saya memberikan hak kepadanya dan memberikan
keabsahan seluruh tindakan dalam suatu cara tertentu.
11
• John locke (1632-1704)
Dasar kontraktual dan Negara dikemukakan Locke
sebagai peringatan bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah
mutlak tetapi selalu terbatas, sebab dalam mengadakan
perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang,
individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak
alamiah mereka.

• Jean Jacques Rousseau (1712-1778)


Keadaan alamiah diumapamakannya sebagai keadaan
alamiah, hidup individu bebas dan sederajat, semuanya
dihasilkan sendiri oleh individu dan individu itu puas.
Menurut “Negara” atau “badan korporatif” dibentuk untuk
menyatakan “kemauan umumnya” (general will) dan
ditujukan pada kebahagiaan besama. Selain itu Negara juga
memperhatikan kepentingan-kepentingan individual
(particular interest). Kedaulatannya berada dalam tangan
rakyat melalui kemauan umumnya.

12
1.Teori Ketuhanan
Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin
Negara ditunjuk oleh Tuhan Raja dan pemimpin-pemimpin
Negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak pada
siapapun. Penganut teori ini adalah Agustinus, Yulius Stahi,
Haller, Kranenburg dan Thomas Aquinas.
1.Teori kekuatan
Negara yang pertama adalah hasil dominasi dari
komunikasi yang kuat terhadap kelompok yang lemah,
Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan.
Dengan penaklukan dan pendudukan dari suatu kelompok
etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah,
dimulailah proses pembentukan Negara. Penganut teori ini
adalah H.J. Laski, L. Duguit, Karl Marx, Oppenheimer dan
Kollikles.

1. Teori Organis
Menurut Dede Rosyada, dkk (2005: 54) mengemukakan
konsepsi organis tentang hakikat dan asal mula negara adalah
suatu konsep bilogis yang melukiskan negara dengan istilah-
istilah ilmu alam. Negara dianggap atau disamakan dengan
makhluk hidup, manusia atau binatang individu yang
merupakan komponen-komponen Negara dianggap sebagai
sel-sel dari makhluk hidup itu. Kehidupan corporal dari
Negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia,
undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai
kepala dan para individu sebagai daging makhluk itu.

1.Teori Historis
Teori ini menyatakan bahwa lembaga-lambaga sosial
tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan manusia.
1.Teori kedaulatan hukum
Teori kedaulatan hukum (Rechts souvereiniteit) (Mienu,
2010) menyatakan semua kekuasaan dalam negara berdasar
atas hukum. Pelopor teori ini adalah H. Krabbe dalam buku
Die Moderne Staats Idee.
1.Teori Hukum Alam
Filsufgaul (2012) menuliskan teori hukum alam yakni
negara terjadi karena kehendak alam yang merupakanlembaga
alamiah yang diperlukan manusia untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Penganut teori ini adalah Plato,
Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquino.

14
7. Teori Hubungan Agama dan Negara
Dalam memahami hubungan agama dan negara dapat
dijelaskan dengan beberapa konsep hubungan agama dan
negara menurut beberapa aliran, yaitu paham teokrasi, paham
sekuler dan paham komunis.

1.Paham Teokrasi
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara
digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan
menurut paham ini diajalankan berdasarkan firman-firman
Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan
negara dilakukan atas titah tuhan. Dengan demikian, urusan
kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini
sebagai menifestasi firman Tuhan.
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke
dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham
teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung,
pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung
pula. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan,
dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula.
Sedangkan menurut sistem pemerintahan teokrasi tidak
langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri,
melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala negara
yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala negara atau
raja diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. Dalam kata
lain dalam paham teokrasi ini sistem dan norma-norma dalam
negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan.
1.Paham Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara
agama dan negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan
antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini,
negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia
lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan
manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham ini tidak
dapat disatukan.
1.Paham Komunis
Paham ini menimbulkan paham atheis, paham yang
dipelopori oleh Karl Mark ini, memandang agama sebagai
candu masyarakat (Mark, dalam Louis Leahy, 1992:97-98).
Menurutnya manusia ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sementara agama dalam paham ini, dianggap sebagai suatu
kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya
sendiri.
Kehidupan manusia adalah dunia menusia itu sendiri
yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan
agama dipandang sebagai realisasi fantasi makhluk manusia,
dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh
karena itu, agama harus ditekan, bahkan dilarang. Nilai yang
tertinggi dalam negara adalah materi, karena manusia sendiri
pada hakekatnya adalah materi.

8. Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam


Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritis politik
Islam, ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan
konsep hubungan agama dan negara, antara lain dapat
dirangkum ke dalam tiga paradigma, yakni integralistik,
simbiotik, sekularistik.
1.Paradigma Integralistik
merupakan paham dan konsep hubungan agama dan
negara yang menganggap bahwa agama dan negara
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu
(integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga
agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak
mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara.
Konsep ini sama seperti konsep teokrasi.
17
Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang
agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan
diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan.
Dari sinilah kemudian paradigma integralistik dikenal juga
dengan paham Islam (Din wa Dawlah), yang sumber hukum
positifnya adalah hukum agama. Paradigma Integralistik ini
antara lain dianut oleh kelompok Islam Syi’ah. Hanya saja
Syi’ah tidak menggunakan term dawlah tetapi dengan term
imamah.
1.Paradigma Simbiotik
Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara
dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dan
dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.
Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama,
karena agama juga membantu negara dalam membina moral,
etika, dan spiritualitas.
Dalam konteks ini paradigma simbiotik ini, Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang
mengatur kehidupam manusia merupakan kewajiban agama
yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka
agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al Siyasah al
Syar’iyyah: 162). Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut
meligitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua
entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karena
itu, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja
berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai
oleh hukum agama (syari’at)

1.Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada
pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan
negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama
lain memiliki garapan bidang masing-masing, sehingga
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama
lain melakukan intervensi. Berdasarkan pada pemahaman
yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah
hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia
melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan
hukum agama (syari’at).
Konsep ini bisa dilihat dari pendapat Ali Abdul Raziq
yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah
saw. pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad Saw.
untuk mendirikan agama. Rasulullah saw. hanya
menyampaikan risalah kepada manusia dan mendakwahkan
ajaran agama kepada manusia.
BAB III

KONSTITUSI NEGARA RI

1. KONSTITUSI YANG PERNAH DIGUNAKAN DI


INDONESIA
Seorang pemikir Romawi kuno yang bernama
Cicero(106 – 43 SM) menyatakan “Ubi societas ibi ius”,
yang berarti dimana ada masyarakat di situ ada hukum.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam setiap kehidupan
kelompok masyarakat dimanapun senantiasa terdapat aturan
yang mengikat warganya guna menjamin keamanan dan
ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang merupakan kehidupan kelompok manusia yang
sedemikian banyak dan sedemikian kompleks
permasalahannya, maka sangat diperlukan adanya aturan-
aturan yang menjamin keamanan dan ketertiban, yang harus
ditaati oleh seluruh warga negaranya. Aturan tertinggi dalam
suatu Negara adalah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar
(UUD).
20
Secara umum, Negara bisa dibagi dua yaitu Negara
konstitusional
danNegaraabsolut.Negara
konstitusionaladalahNegarayangberdasarkanpada
konstitusiatauUUDyangbiasanya
memuat hal-hal pokok tentang berdirinya negara, bagaimana
cara pengaturan Negara, serta apa hak dan kewajiban
pemerintah dan warga negara. SedangkanNegara
Absolutadalah negara yang tidak berdasarkan konstitusi tetapi
berdasarkan pada kekuasaan mutlak dari penguasa, sehingga
dalam prakteknya mengarah pada system pemerintahan yang
dictator (sewenang-wenang) dan membuat rakyatnya
tertindas. Namun demikian dewasa ini negara absolut sudah
hamper tidak ada, setiap negara telah memiliki konstitusi atau
UUD.
1. Istilah dan Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa
Perancis,“Constitere”yang artinya menetapkan atau
membentuk. Dalam bahasa Inggris disebut “Constitution”.
Sedangkan dalam bahasa Belanda digunakan istilah
“Constitutie”disamping kata“Grondwet”.
Dalam istilah sehari-hari konstitusi sering disamakan
dengan Undang-Undang Dasar yang merupakan terjemahan
dari bahasa Belanda “Grondwet”, grond artinya dasar dan wet
artinya undang-undang. Namun dalam praktek, pengertian
konstitusi lebih luas dari UUD, karena konstitusi mencakup
keseluruhan peraturan, baik yang tertulis (UUD) maupun
yang tidak tertulis (convention, konvensi). Jadi UUD hanya
bagian dari konstitusi, dan menurut beberapa ahli bahwa
istilah konstitusi lebih tepat diartikan sebagai hukum dasar.
Pengertian bahwa konstitusi itu lebih luas daripada UUD
dikemukakan oleh Herman Heller dalam bukunya
Verfassunglehre (Ajaran Konstitusi) sebagaimana dikutip
oleh Moh. Koesnardi dan Bintan Saragih (1994 : 140) yang
membagi konstitusi dalam tiga tingkat, yaitu :
1. Konstitusi sebagai pengertian social politik.
Pada tingkat ini konstitusi baru mencerminkan keadaan
social politik, keadaan yang ada dalam masyarakat, belum
merupakan pengertian hukum.
1. Konstitusi sebagai pengertian hukum.
Pada tingkat ini keputusan-keputusan yang ada dalam
masyarakat tersebut dijadikan rumusan yang normatif, yang
harus ditaati. Pada tingkat ini konstitusi tidak selalu tidak
tertulis, tetapi ada juga yang tertulis dalam arti terkodifikasi
(dibukukan).
22
1.Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum yang tertulis.
Dengan demikian jelas dimana UUD merupakan salah
satu bagian dari konstitusi.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ferdinand Lasalle
yang membagi konstitusi dalam dua golongan, yaitu :
1.Konstitusi dalam pengertian sosiologis dan politis, yaitu
berupa factor-faktor kekuatan yang nyata ada dalam
masyarakat. Konstitusi menggambarkan hubungan antara
kekuasaan-kekuasaan yang nyata dalam negara, seperti :
raja, parlemen, cabinet, pressure group, partai politik.
2.Konstitusi dalam pengertian yuridis, yaitu yang ditulis
dalam suatu naskah yang memuat semua bangunan
negara dan sendi-sendi pemerintahan.

23
Berikut ini adalah pengertian konstitusi yang
dikemukakan oleh para ahli :
1. James Bryce, Konstitusi adalah sebagai kerangka
negara yang diorganisasikan dengan dan melalui hukum,
dalam hal mana hukum menetapkan :
1) Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang
permanen.
2) Fungsi dari lembaga-lembaga tersebut.
3) Hak-hak yang ditetapkan.
1. C.F. Strong, Konstitusi itu sebagai sekumpulan asas-
asas yang mengatur kekuasaan peme-rintahan, hak-hak
yang diperintah (rakyat) dan hubungan antara pemerintah
dengan yang diperintah.
2. E.C.S. Wade dan G. Philips, Konstitusi adalah naskah
yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari
badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan
pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
3. K.C. Wheare, Konstitusi adalah keseluruhan sistem
ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan
peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau
memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
24
2. Pembagian Konstitusi
Dalam ketatanegaraan dikenal ada dua macam konstitusi
(hukum dasar) yaitu :
1.Hukum dasar tertulis yang disebut dengan Undang-
Undang Dasar (UUD).
2.Hukum dasar tidak tertulis yang disebut dengan konvensi
(convention).
Hukum dasar tertulis (UUD) adalah piagam-piagam
tertulis yang sengaja diadakan dan memuat segala apa yang
dianggap fundamental (mendasar) bagi negara pada masa itu.
Karena dibuat dengan sengaja, maka UUD ini lebih terang
dan tegas dari hukum dasar yang tidak tertulis. Selain itu,
UUD lebih menjamin kepastian hukum dari pada konvensi.
Oleh karena cara pembuatannya melalui suatu badan tertentu
yang mnempunyai tingkat tertinggi dalam suatu negara,
menyebabkan UUD relatif sulit untuk diadakan perubahan,
sehingga UUD bersifat lebih kaku (rigid) dari pada konvensi.
Negara-negara yang mempunyai UUD misalnya : Amerika
Serikat (1787), Perancis (1791), Belanda (1814), Uni Soviet
(1918), Indonesia (1945), dan lain-lain. Dewasa ini hampir
semua negara mempunyai UUD. Bahkan India adalah salah
satu negara yang memiliki UUD yang amat panjang, yakni
mencapai 395 pasal.
Adapun konvensi adalah kebiasaan-kebiasaan yang
timbul dan terpelihara dalam praktek ketatanegaraan.
Meskipun tidak tertulis, konvensi mempunyai kekuatan
hukum yang kuat dalam ketatanegaraan. Bahkan konvensi ini
lebih bersifat fleksibel/soepel (tidak rigid/kaku), luwes dan
mudah diubah, sehingga mudah menyesuaikan dengan
keadaan. Konvensi ini berkedudukan sebagai pelengkap dari
UUD, sehingga tidak boleh bertentangan dengan UUD.
Bahkan di Indonesia, konvensi bisa dikukuhkan menjadi
Ketatapan MPR.
Ada suatu pengecualian, yakni Inggris yang tidak
mempunyai UUD, tapi pemerintahannya didasarkan pada
konvensi, antara lain :
1.Piagam Magna Charta, tahun 1215.
2.Petition of Rights, tahun 1628.
3.The Habeas Corpus Act, tahun 1679.
4.Bill of Rights, tahun 1689.
5.Piagam Westminter, tahun 1931.

26
Negara Indoneisa, selain memiliki UUD juga memiliki
dan menerapkan konvensi dalam praktek ketatanegaraannya.
Adapun contoh-contoh konvensi di Indonesia antara lain :
1.Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk
mufakat. (lihat pasal 2 ayat (3) UUD 1945).
2.Pidato Kenegaraan Presiden di depan Sidang DPR setiap
tanggal 16 Agustus.
3.Pertanggung-jawaban Presiden di akhir masa jabatannya
di depan Sidang MPR serta penilaiannya dari MPR atas
pertanggung-jawaban tersebut.
4.Prakarsa Presiden menyusun program pembangunan.
5.Ratifikasi perjanjian-perjanjian oleh DPR.

27
3. Sifat dan Kedudukan Konstitusi
Sebagai aturan/hukum dasar dalam negara, maka
konstitusi (UUD) mempunyai kedudukan tertinggi dalam
peraturan perundang-undangan suatu negara.
Hukum dasar tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945.
Dengan demikian semua jenis peraturan perundang-undangan
di Indonesia kedudukannya di bawah UUD 1945. UUD 1945
merupakan sumber hukum tertinggi yang resmi, artinya
segala peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus
bersumber pada UUD 1945. Dan karena itu pula, UUD 1945
berfungsi sebagai alat control bagi peraturan perundang-
undangan di bawahnya, apakah sesuai atau tidak dengan
hakikat isi UUD 1945.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 bersifat mengikat,
mengikat pemerintah, mengikat setiap lembaga negara dan
lembaga masyarakat, serta mengikat setiap warga negara
Indonesia.

28
4. Fungsi Konstitusi
Konstitusi yang memuat seperangkat ketentuan atau
aturan dasar suatu negara tersebut mempunyai fungsi yang
sangat penting dalam suatu negara. Mengapa ? Sebab,
konstitusi menjadi pegangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan
negara harus didasarkan pada konstitusi dan tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi. Dengan adanya pembatasan
kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, maka pemerintah
tidak dapat dan tidak boleh menggunakan kekuasaannya
secara sewenang-wenang.
Menurut Karl Loewenstein, Konstitusi adalah suatu
sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Oleh
karena itu setiap konstitusi senantiasa memiliki dua tujuan,
yaitu :
1.Untuk pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan
politik.
2.Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para
penguasa serta menetapkan batas-batas kekuasaannya.

29
C.J. Frederich menyebutkan, Konstitusi sebagai proses
(tata cara) yang membatasi perilaku pemerintahan secara
efektif. Dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme
menyelenggarakan sistem pemerintahan yang efektif atas
tindakan-tindakan pemerintah. Jadi konstitusi mempunyai
fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau
manifestasi dari hukum yang tertinggi yang harus ditaati,
bukan hanya oleh rakyat tetapi juga oleh pemerintah.
MenuruT Joeniarto, secara umum konstitusi atau UUD
mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.Ditinjau dari tujuannya, yakni untuk menjamin hak-hak
anggota warga masyarakatnya, terutama warga negara
dari tindakan sewenang-wenang penguasanya.
2.Ditinjau dari penyelenggaraan pemerintahannya, yakni
untuk dijadikan landasan struktural penyelenggaraan
pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang
pasti, yang pokok-pokoknya telah digambarkan dalam
aturan-aturan konstitusi/UUD.

30
5. Isi Muatan Konstitusi
Konstitusi atau UUD berisi ketentuan yang mengatur hal-
hal yang mendasar dalam bernegara, seperti tentang batas-
batas kekuasaan penyelenggara pemerintahan negara, hak-hak
dan kewajiban warga negara dan lain-lain. Berikut adalah isi
muatan konstitusi atau UUD menurut para ahli :
1. A.A.H. Struycken, UUD (grondwet) sebagai
konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisi
1) Tingkat perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan
bangsa.
3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan,
baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4) Suatu keinginan dengan mana perkembangan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
1. Sri Soemantri, Konstitusi berisi tiga hal pokok yaitu :
1) Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan
warga negara.
2) Susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental.
3) Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang
bersifat fundamental.
1. Miriam Budiardjo, Setiap UUD memuat ketentuan-
ketentuan mengenai :
1) Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara
badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2) Hak-hak asasi manusia.
3) Prosedur mengubah UUD.
4) Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat
tertentu dari UUD.

32
6. Konstitusi/UUD di Indonesia
Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang (tahun
2008/2009) negara Indonesia pernah mempergunakan tiga
macam konstitusi/UUD dengan periodesasinya sebagai
berikut :
NO PERIODE KONSTITUSI/UUD
18 – 08 – 1945 s/d 27 –
1 UUD 1945
12 – 1949
27 – 12 – 1949 s/d 17 –
2 Konstitusi RIS 1949
08 – 1950
17 – 08 – 1950 s/d 05 –
3 UUDS 1950
07 – 1959
05 – 07 – 1959 s/d 19 –
4 UUD 1945
10 – 1999
19 – 10 – 1999 s/d UUD 1945 (Hasil
5
Sekarang Amandemen)
Dengan demikian di Indonesia telah pernah dipergunakan
tiga jenis konstitusi/UUD dalam lima periode.
1. Periode Pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember
1949)
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus
1945, negara RI belum memiliki konstitusi/UUD. Namun
sehari kemudian, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI
mengadakan siding pertama yang salah satu keputusannya
adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD
1945. Pada saat itu UUD 1945 belum ditetapkan oleh MPR
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, sebab pada saat
itu MPR belum terbentuk dan PPKI dianggap sebagai badan
resmi yang mewakili seluruh bangsa Indonesia.
Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai
penjelasannya yang dimuat dalam Berita Negara RI No. 7
tahun II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian
yaitu Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Batang
Tubuh terdiri dari 16 bab yang terbagi dalam 37 pasal, serta 4
pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945
pada saat itu ? Terutama mengenai bentuk negara, kedaulatan
dan sistem pemerintahan dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik”. Sebagai negara kesatuan, maka di
negara RI hanya ada satu kekuasaan pemerintahan negara,
yakni di tangan Pemerintah Pusat. Di sini tidak ada
pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di
negara yang berbentuk negara serikat (federasi). Sebagai
negara yang berbentuk republic, maka kepala negara dijabat
oleh Presiden yang diangkat melalui suatu pemilihan, bukan
berdasarkan keturunan seperti di kerajaan.
Kedaulatan negara diatur dalam pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Atas dasar itu, maka
kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sedangkan
kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain berada
di bawah MPR.
Sistem pemerintahan negara diatur dalam pasal 4 ayat (1)
yang berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan
pemerintahan menurut UUD”. Pasal ini menunjukkan bahwa
sistem pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam
sistem ini, Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai
kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana
tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang
bertanggung-jawab kepada presiden, bukan kepada DPR.
Perlu diketahui lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga
tinggi negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen)
adalah :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2) Presiden
3) Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6) Mahkamah Agung (MA).
1. Periode Kedua (27 Desember 1949 s/d 17 Agustus
1950)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput
dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah
kembali Indonesia. Belanda berusaha memecah belah bangsa
Indonesia dengan cara membentuk negara-negara “boneka”
seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur,
Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam Negara
RI.
Bahkan kemudian Belanda melancarkan agresi atau
pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan
Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 dan Agresi Militer
II atas kota Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948,
sehingga mengakibatkan timbulnya Perang Kemerdekaan
pertama dan kedua.
Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RI, lalu
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan
menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949.
Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RI, BFO
(Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-
negara boneka bentukan Belanda), dan Belanda serta sebuah
Komisi PBB untuk Indonesia.
KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok
yaitu :
1) Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat.
2) Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3) Didirikan Uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.

Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi


negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh
karena itu, disusunlah naskah UUD/Konstitusi RIS, yang
rancangannya dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada
KMB.
Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan
tersebut, maka mulai tanggal 27 Desember 1949 diberlakukan
suatu UUD yang diberi nama Konstitusi RIS. Konstitusi ini
terdiri dari Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh
yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran.
Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam pasal 1 ayat
(1) Konstitusi RIS yang berbunyi, “RIS yang merdeka dan
berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan
berbentuk federasi”. Dengan berubah menjadi negara
serikat/federasi, maka di dalam RIS terdapat beberapa negara
bagian, yang masing-masing memiliki kekuasaan
pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara
bagian itu adalah : negara RI, Indonesia Timur, Pasundan,
Jawa Timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan.
Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri
sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau,
Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, dan Kalimantan Timur.
Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap
berlaku tetapi hanya untuk negara bagian RI yang wilayahnya
meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta.
Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa itu adalah
sistem parlementer, sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat
(1) dan (2) Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa,
“Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Artinya, Presiden
tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban atas tugas-tugas
pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi
bukan kepala pemerintahan.
Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang
bertanggung-jawab atas tugas pemerintahan ?
38
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa, “Menteri-menteri
bertanggung-jawab atas seluruh kebijakan pemerintah baik
bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing
untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang
melaksanakan dan mempertanggung-jawabkan tugas-tugas
pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam hal ini, kepala
pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri.
Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung-jawab ?
Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah
bertanggung-jawab kepada parlemen (DPR).
Perlu diketahui bahwa lembaga-lembaga negara menurut
Konstitusi RIS adalah sebagai berikut :
1) Presiden
2) Menteri-menteri
3) Senat
4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/Parlemen)
5) Mahkamah Agung (MA)
6) Dewan Pengawas Keuangan (DPK)

39
1. Periode Ketiga (17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959)
Pada awal Mei 1950 terjadi penggabungan negara-negara
bagian dalam negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga negara
bagian yaitu Negara RI, Negara Indonesia Timur (NIT) dan
Negara Sumatera Timur (NST).
Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan
antara RIS yang mewakili NIT dan NST dengan RI untuk
kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan tersebut
kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19
Mei 1950. Untuk mengubah negara serikat menjadi negara
kesatuan diperlukan UUD negara kesatuan, yakni dengan cara
memasukkan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang
baik dari Konstitusi RIS.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkanlah Undang-
Undang Federal No. 7 tahun 1950 tentang Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tanggal
17 Agustus 1950. Dengan demikian sejak tanggal tersebut
Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan
terbentuklah kembali NKRI. UUDS 1950 terdiri dari
Mukadimah dan Batang Tubuh yang meliputi 6 bab dan 146
pasal.

40
Mengenai bentuk negara kesatuan tersebut terdapat
dalam pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi, “RI yang
merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang
demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
pemerintahan parlementer, sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 bahwa, “Presiden dan Wakil
Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada ayat
(2) disebutkan, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas
seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk
seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-
sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh
kebijakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang
bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR.
Adapun lembaga-lembaga menurut UUDS 1950 adalah :
1) Presiden dan Wakil Presiden
2) Menteri-menteri
3) DPR
4) MA
5) DPK

41
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara
yang nampakm pada rumusan pasal 134 bahwa,
“Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama
dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD RI
yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante
dipilih melalui pemilu bulan Desember 1955 dan diresmikan
tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun Konstituante telah bekerja kurang lebih selama
dua setengah tahun, namun belum juga berhasil
menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebabnya adalah
adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik
yang ada di Konstituante dan di DPR serta di badan-badan
pemerintahan.
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno
menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke
UUD 1945, yang pada dasarnya saran tersebut dapat diterima
oleh para anggota Konstituante, tetapi dengan pandangan
yang berbeda-beda. Karena tidak ada kata sepakat, akhirnya
diadakanlah pemungutan suara. Namun setelah tiga kali
pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung
anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu
2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.
42
Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan
bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden
Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya
adalah :
1) Menetapkan pembubaran Konstituante.
2) Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950.
3) Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan DP 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali
sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara RI.
1. Periode Keempat (5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999)
Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya
UUD 1945 sejak 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999 ternyata
mengalami berbagai pergeseran, bahkan terjadinya beberapa
penyimpangan. Oleh karena itu pelaksanaan UUD 1945
selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi dua
periode yaitu Orde Lama (1959 – 1966) dan periode Orde
Baru (1966 – 1999).

43
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik
dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang
dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, UUD 1945 belum
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Hal ini terjadi
karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada
kekuasaan seorang Presiden (Soekarno) dan lemahnya control
yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-
kebijakan Preiden.
Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik
lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik,
keamanan dan kehidupan ekonomi semakin memburuk.
Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan
G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa
dan negara.
Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir.
Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada
Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang
diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban dan
ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Lahirnya
Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru
(Soeharto). 44
Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Apakah terwujud tekad tersebut ? Ternyata tidak.
Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum dan
keadilan social ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh
dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama,
sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya control
DPR.
Selain itu, kelemahan tersebut terletak pula pada UUD
1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel),
sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan.
Tuntutan untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945
tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintah Orde Baru
bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD
1945.
1. Periode Kelima (19 Oktober 1999 s/d Sekarang)
Pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan momentum
penting dalam ketatanegaraan RI, dimana Presiden Soeharto
turun dan diganti oleh Wakil Presiden, Prof. Dr. Ing. BJ.
Habibie. Pergantian ini didasarkan pada pasal 8 UUD 1945
tentang keadaan presiden dan wakil presiden RI berhalangan.

45
Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 menyiratkan adanya tiga
hal penting yang berkaitan dengan ketatanegaraan RI, yaitu :
1) Terjadinya penggantian presiden.
2) Runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan munculnye Orde
Reformasi
3) Perlunya mengevaluasi mekanisme penyerahan kekuasaan
dari presiden dan wakil presiden yang diatur oleh Tap. MPR
No. VII/MPR/1973.
Runtuhnya Orde Baru dan lengsernya Presiden Soeharto
merupakan keberhasilan gerakan reformasi yang dilakukan
oleh mahasiswa yang didukung oleh tokoh-tokoh reformasi.
Oleh karena itu pada tanggal 21 Mei 1998 disebut sebagai
awal reformasi.
Seiring dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya
Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, maka sejak
tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Sampai saat ini UUD 1945 sudah mengalami
empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001
dan 2002.
UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup
mendasar, yang menyangkut kelembagaan negara, pemilihan
umum, pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden,
memperkuat kedudukan DPR, pemerintah daerah, dan
ketentuan-ketentuan yang rinci tentang HAM.
UUD 1945 hasil amandemen memang belum dapat
dilaksanakan sepenuhnya, karena memang masa berlakunya
belum lama dan masih dalam masa transisi. Namun
setidaknya, setelah perubahan ada beberapa praktek
kenegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung, seperti
dalam pemilihan Presiden, Wapres, Gubernur, Bupati dan
Walikota. Hal ini tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan
rakyat yang dianut negara kita.
Perlu diketahui bahwa setelah perubahan UUD 1945
terdapat lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk serta
ada pula yang dihapus seperti DPA. Adapun lembaga-
lembaga negara menurut UUD 1945 setelah amandemen
adalah :
1) Presiden dan Wakil Presiden
2) MPR
3) DPR
4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
5) BPK
6) MA
7) Mahkamah Konstitusi (MK)
8)Komisi Yudisial (KY)
7. Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, bahwa negara
Indonesia pernah menggunakan tiga jenis konstitusi/UUD,
yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Untuk itu
kita dapat membandingkan sistem ketatanegaraan Indonesia
menurut ketiga jenis konstitusi/UUD tersebut yang dapat
dilukiskan sebagai berikut :
No Aspek/Bidang UUD 1945 Konstitusi UUDS
1 Bentuk Negara Republik Republik Republik
2 Susunan Negara Kesatuan Serikat Kesatuan
Sistem
3 Pemerintahaan Presidensil Parlemente Parlemente

Penjelasan :
1) Bentuk Negara Republikartinya negara itu dikepalai oleh
Presiden, bukan raja atau nama lainnya.
2) Susunan Negara:
b) Kesatuan, yaitu dimana dalam negara hanya ada satu
pemegang kekuasaan pemerintahan yakni Pemerintah Pusat
yang berdaulat penuh ke dalam dan ke luar, memiliki satu
UUD, tidak mengenal adanya negara bagian, tetapi dikenal
adanya pembagian daerah atas beberapa provinsi.
c) Serikat/Federasi, yaitu negara yang memiliki negara-
negara bagian yang berdaulat ke dalam, sedangkan kedaulatan
keluar ada pada pemerintah federal. Menurut C.F. Strong,
cirri-ciri negara federal ialah :
• Adanya supremasi konstitusi dimana federal itu terwujud.
• Adanya pembagian kekuasaan antara negara federal
dengan negara bagian.
• Adanya satu lembaga yang diberi wewenang untuk
menyelesaikan perselisihan antara pemerintah federal
dengan pemerintah negara bagian.
3) Sistem Pemerintahan:
a) Presidensil, yakni sistem pemerintahan yang dipegang dan
dikendalikan langsung oleh Presiden. Kabinet dibentuk oleh
Presiden, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
b) Parlementer, yaitu sistem pemerintahan yang dipegang
dan dikendalikan oleh Parlemen. Kabinet bertanggung-jawab
kepada Parlemen (DPR), kedudukan cabinet ditentukan oleh
Parlemen, dan cabinet (menteri-menteri) dipimpin oleh
seorang Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada
Parlemen.

49
1.PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN
TERHADAP KONSTITUSI

2. Indonesia Negara Konstitusional


Negara Indonesia adalah negara konstitusional, yaitu
negara yang berdasarkan pada konstitusi, tidak bersifat
absolutism yang berdasarkan pada kekuasan mutlak. Oleh
karena itu pemerintahan Indonesia merupakan pemerintahan
yang konstitusional, artinya pemerintahan yang berdasarkan
pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar, yakni UUD
1945.
Indonesia sebagai negara konstitusional sebagaimana
ditegaskan dalam UUD 1945 yaitu :
1. Pasal 1 ayat (2) berbunyi,“Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”.
2. Pasal 4 ayat (1) berbunyi,“Presiden RI memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar”.
3. Dalam Penjelasan disebutkan, “Pemerintahan
berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak
bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas)”.
50
Negara konstitusional memiliki konstitusi yang bercirikan :
1.Membatasi kekuasaan pemerintah.
2.Menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara.
3. Sistem Ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD

1945
Berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen secara
terperinci sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai
berikut :
1) Bentuk negara Indonesia adalah kesatuan sedangkan
bentuk pemerintahan adalah republik (pasal 1 ayat 1).
2) Negara Indonesia adalah negara demokrasi yakni
kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD (pasal 1 ayat 2).
3) Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3).
4) Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar) tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak
terbatas). (Penjelasan).
5) Sistem pemerintahan adalah presidensiil. Presiden
berkedudukan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala
pemerintahan (pasal 4 ayat 1). Presiden dan wakil presiden
dipilih rakyat secara langsung dalam satu paket (pasal 6.A
ayat 1). 51
6) Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas artinya
kekuasaan kepala negara (presiden) memang besar, tetapi
tetap ada batasnya antara lain UUD dan berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 10 – 15).
7) Sebagai kepala pemerintahan, presiden membentuk cabinet
(pasal 17)
8) DPD adalah perwakilan dari daerah provinsi yang
anggotanya dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan
(pasal 22.C).
9) Selain DPR dan DPD terdapat MPR yang memiliki jabatan
selama 5 tahun (Pasal 2 dan 3).
10) Kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif) adalah
DPR. Selain itu DPR menetapkan anggaran belanja negara
dan mengawasi jalannya pemerintahan. (pasal 20.A)
11) Kekuasaan yudikatif berada pada MA dan badan
peradilan yang berada di bawahnya serta sebuah Mahkamah
Konstitusi (pasal 24 ayat 2) dan juga Komisis Yudisial (pasal
24.B).
12) Pemerintah daerah terdapat di daerah provinsi dan
kabupaten/kota (pasal 18).

52
13) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR,
DPD dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota serta
memilih paket presiden dan wakil presiden (pasal 22.E ayat
2).
14) Indonesia menjalankan otonomi daerah yang nyata, luas
dan bertanggung-jawab (pasal 18 ayat 5)
15) Sistem kepartaian adalah multi partai.
3. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa
Orde Lama (1945 – 1965)
Selama pemerintahan Orde Lama (pemerintahan
Soekarno) sejak awal kemerdekaan 1945 hingga 1965
terdapat beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945 yang
dapat kita temui dalam tiga periode yaitu :
1. Periode tahun 1945 – 1949 (UUD 1945)
1) Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor : X (baca:
eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP yang dibentuk PPKI pada
tanggal 22 Agustus 1945) dari pembantu presiden menjadi
badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta
menetapkan GBHN sebelum terbentuknya MPR, DPR dan
DPA. Padahal fungsi tersebut seharusnya dilakukan oleh
lembaga DPR dan MPR. Hal tersebut bertentangan dengan
UUD 1945 pasal 4 Aturan Peralihan yang berbunyi, “Sebelum
MPR, DPR dan DPA terbentuk, segala kekuasaan
dilaksanakan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional”.
2) Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945 berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang merubah sistem
pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan
parlementer. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (1) dan
pasal 17 UUD 1945.
1. Periode tahun 1949 – 1950 (Konstitusi RIS)
Bertepatan dengan pengakuan kedaulatan RI oleh
Belanda, maka Konstitusi RIS diberlakukan sejak tanggal 27
Desember 1945. Dengan berlakunya Konstitusi RIS jelas
terdapat penyimpangan terhadap UUD 1945 yang pada saat
itu hanya berlaku di negara bagian RI yang wilayahnya
meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota Yogyakarta.
Penyimpangan terhadap UUD 1945 antara lain :
1) Berubahnya bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara
serikat atau federal. Hal ini berdasarkan ketentuan Konstitusi
RIS pasal 1 ayat (1) yang berbunyi,“RIS yang merdeka dan
berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan
berbentuk federasi”. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945
pasal 1 ayat (1) yang berbunyi,“Negara Indonesia adalah
negara kesatuan yang berbentuk republik”.
2) Berubahnya sistem pemerintahan presidensil menurut
UUD 1945 menjadi sistem parlementer, sebagaimana diatur
dalam pasal 118 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS. Pada ayat (1)
ditegaskan bahwa, “Presiden tidak dapat diganggu gugat”.
Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban
atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala
negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Hal ini
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 ayat (1) yang
berbunyi, “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD”.
1. Periode tahun 1950 – 1959 (UUDS 1950)
Pada tanggal 20 Juli 1950 Pemerintah RIS dan RIS
menyetujui Rancangan UUDS yang telah disusun oleh kedua
belah pihak. Rancangan UUDS ini kemudian mendapat
pengesahan dari DPR RIS dan BP-KNIP. Pada tanggal 15
Agustus 1950 Presiden Soekarno di hadapan rapat gabungan
DPR dan Senat menandatangani naskah UU Federasi No. 7
tahun 1950 yang memuat perubahan Konstitusi RIS menjadi
UUDS 1950 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus
1950.
55
Sejak berlakunya UUDS 1950 bentuk negara kembali
menjadi negara kesatuan. Hal ini terdapat dalam pasal 1 ayat
(1) UUDS 1950 yang berbunyi, “RI yang merdeka dan
berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan
berbentuk kesatuan”.
Namun demikian sistem pemerintahan yang dianut masih
sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 bahwa, “Presiden dan
Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat”. Kemudian pada
ayat (2) disebutkan, “Menteri-menteri bertanggung-jawab atas
seluruh kebijakan pemerintah, baik bersama-sama untuk
seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-
sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh
kebijakan pemerintahan adalah menteri-menteri yang
bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR.
1. Periode tahun 1959 – 1966 (UUD 1945 pasca
Dekrit).
Dengan dasar yang kuat dan dukungan dari sebagian
besar rakyat, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu :
1) Pembubaran Konstituante.
2) Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi
UUDS 1950.
3) Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota-anggota
DPR ditambah utusan daerah dan golongan, serta DPAS akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit inilah yang menjadi dasar hukum berlakunya
kembali UUD 1945. Namun demikian pelaksanaan UUD
1945 pada masa ini tercatat ada beberapa penyimpangan,
antara lain :
1) Diterapkannya demokrasi terpimpin yang pelaksanaannya
jauh menyimpang dari ketentuan Pancasila dan UUD 1945.
2) Presiden telah mengeluarkan produk peraturan dalam
bentuk Penetapan Presiden, yang hal itu tidak dikenal dalam
UUD 1945.
3) MPRS dengan Ketetapan No. I/MPRS/1960 telah
menetapkan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik
RI) sebagai GBHN yang bersifat tetap.
4) Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan
sebagai menteri-menteri negara, yang berarti
menempatkannya sejajar dengan pembantu presiden.
5) Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960
pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat
persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang
bersangkutan.
6) Pada tanggal 5 Maret 1960, melalui Penetapan Presiden
No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan anggota DPR hasil
Pemilu 1955. Kemudian melalui Penetapan Presiden No. 4
tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR Gotong-
Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Hal ini bertentangan dengan
UUD 1945 pasal 19 ayat (1) yang menyatakan,“Susunan
DPR ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian
Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara RI
menyatakan,“Kedudukan DPR adalah kuat. Dewan ini tidak
dapat dibubarkan oleh Presiden”.
7) Dibentuknya MPRS yang seluruh anggotanya diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Hal ini jelas bertentangan
dengan UUD 1945 yakni dengan :
1. Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan, “Kedaulatan adalah
di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”.
2. Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, “MPR terdiri atas

anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan


dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut
aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.
3. Penjelasan UUD 1945 tentang pokok-pokok sistem

pemerintahan negara RI yang menyatakan,“Kekuasaan


negara tertinggi di tangan MPR (Die Gezamte
Staatgewalt liegi allein bei der Majelis)”. Majelis ini
memegang kekuasaan negara tertinggi, sedangkan
Presiden harus menjalankan haluan negara yang
ditetapkan oleh MPR, serta presiden diangkat oleh
Majelis, bertindak dan bertanggung-jawab kepada MPR.
8) MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur
hidup melalui Ketetapan NomorIII/MPRS/1963. Hal ini
sangat bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945 yang
menyatakan,“Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali”.
9) Kedaulatan rakyat dan semua kekuasaan negara, baik
eksekutif, legislatif dan yudikatif ada dalam satu tangan, yaitu
dalam kekuasaan Presiden Soekarno. Hal ini jelas
bertentangan dengan UUD 1945 dimana terdapat pembagian
kekuasaan eksekutif (presiden), legislatif (DPR) dan Yudikatif
(MA).
4. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa
Orde Baru (1966 – 1998)
Masa Orde Baru atau masa pemerintahan Soeharto
ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah tanggal 11
Maret 1966 oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto,
yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Di masa
59
Orde Baru inipun tercatat beberapa penyimpangan terhadap
UUD 1945, antara lain :
a) Dalam prakteknya kekuasaan negara bertumpu pada
kekuasaan Presiden Soeharto sejalan dengan tidak
berjalannya fungsi control dari MPR dan DPR.
b) MPR berketetapan tidak berkehendak dan akan melakukan
perubahan terhadap UUD 1945 serta akan melaksanakannya
secara murni dan konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR
Nomor I/MPR/1983 tentang Tata Tertib MPR). Hal ini
bertentangan dengan pasal 3 UUD 1945 yang memberikan
kewenangan kepada MPR untuk menetapkan UUD dan
GBHN, serta pasal 37 yang memberikan kewenangan kepada
MPR untuk mengubah UUD.
c) MPR mengeluarkan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983
tentang Referendum yang mengatur tata cara perubahan UUD
yang tidak sesuai dengan pasal 37 UUD 1945.
d) Umumnya menteri menjadi anggota MPR, bahkan
gubernur otomatis menjadi anggota MPR dari utusan daerah.
Hal ini tidak sesuai dengan apirasi rakyat, karena di satu
pihak menteri dan gubernur adalah pelaksana pemerintahan
yang berada di bawah Presiden, tetapi di pihak lain mereka
menjadi anggota MPR yang harus menilai pertanggung-
jawaban Presiden. 60
5. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa
Orde Reformasi (1998 – Sekarang)
Peristiwa tanggal 21 Mei 1998 dianggap sebagai
momentum penting dalam ketatanegaraan Indonesia, karena
pada saat itu telah berakhir kekuasaan Orde Baru dan diganti
dengan Orde Reformasi.
Di masa Orde Reformasi inilah UUD 1945 telah
mengalami perubahan sebanyak empat tahap, yakni tahun
1999, 2000, 2001 dan 2002. UUD 1945 hasil perubahan
belum begitu lama dilaksanakan, karena itu
keterlaksanaannya belum banyak dipersoalkan. Lebih-lebih
mengingat agenda reformasi itu sendiri antara lain adalah
perubahan (amandemen) UUD 1945.
Namun demikian, terdapat ketentuan UUD 1945 hasil
amandemen yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah,
yaitu anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD yang
belum mencapai 20%. Hal ini dianggap bertentangan dengan
pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional”. Akan tetapi mulai
tahun 2009 ini Pemerintah Pusat telah menentukan anggaran
61
pendidikan sebanyak 20% dalam APBN, maka tinggal
menunggu kebijakan daerah-daerah tentang hal yang sama.
6. Usaha Membatasi Kekuasaaan Pemerintah
Untuk menghindari kekuasaan pemerintah yang mutlak,
maka dalam UUD 1945 telah diatur adanya pembatasan
kekuasan pemerintah, yaitu :
1.Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR. (pasal
7.A)
2.Presiden tidak dapat membekukan dan atau
membubarkan DPR. (pasal 7.C)
3.Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
(pasal 7)
4.Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(pasal 11 ayat 1)
5.Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan atau mengharuskan perubahan atau
62
6. pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
DPR. (pasal 11 ayat 2)
7.Presiden mengangkat duta dan konsul dengan
memperhatikan pertimbangan DPR. (pasal 13)
8.Presiden member grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan MA. (pasal 14 ayat 1)
9.Presiden member amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR. (pasal 14 ayat 2)
10.Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah
sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu), yang harus
mendapat persetujuan DPR dalam persidangan
berikutnya. (pasal 22)
Untuk menjamin hak-hak warga negara dan hak asasi
manusia, maka dalam UUD 1945 telah diatur sebagai
berikut :
1.Pasal 27 sampai dengan pasal 34 mengenai hak dan
kewajiban warga negara.
2.Pasal 28.A sampai dengan 28.J mengenai hak asasi
manusia.
3. Dampak penyimpangan konstitusi terhadap sistem

demokrasi di Indonesia

63
Penyimpangan terhadap konstitusi akan menyebabkan
timbulnya krisis konstitusional, krisis konstitusional yang
berlarut-larut akan menimbulkan krisis politik dan krisis
politik yang berkepanjangan akan meluas ke dalam krisis
dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Dari penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945
yang pernah kita alami, maka dapat dirasakan pula dampak
negatifnya terhadap kehidupan demokrasi dalam negara,
antara lain :
1.Hilangnya pembagian kekuasaan dan kekuasaan negara
menjadi tumpang tindih bahkan bertumpu pada satu
tangan, seperti pada tangan Presiden.
2.Kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga negara menjadi
tumpang tindih menurut kehendak pemegang kekuasaan
yang inkonstitusional.
3.Hak asasi manusia dan hak warga negara menjadi
terabaikan bahkan tidak dapat terjamin oleh negara.
4.Kehidupan politik tidak stabil menimbulkan keamanan
negara pun tidak stabil, sehingga pembangunan nasional
praktis tidak dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan
melahirkan krisis di berbagai bidang.
5.Ketidak-stabilan politik juga akan dapat dimanfaatkan
oleh kelompok-kelompok yang hendak memecah-belah
keutuhan NKRI, seperti dengan mengadakan
pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara atau
memisahkan diri dari bingkai NKRI.
1.HASIL-HASIL AMANDEMEN UUD 1945
2. Cara Perubahan Konstitusi
Konstitusi merupakan peraturan yang mengatur
kehidupan warga negara, maka harus sesuai dengan
perkembangan kehidupan warga negara. Oleh karena itu suatu
konstitusi pada masa tertentu memerlukan adanya perubahan
atau amandemen.
Dalam Hukum Tata Negara dikenal adanya dua cara
perubahan UUD sebagai konstitusi tertulis, yaitu :
1. Verfassung Anderung, yakni perubahan secara
konstitusional, artinya perubahan dilakukan menurut
prosedur yang diatur sendiri oleh UUD yang
bersangkutan.
2.Verfassung Wandlung, yakni perubahan secara
revolusioner, artinya perubahan yang dilakukan tidak
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD yang
bersangkutan.

65
3.Teknik Perubahan Konstitusi
Teknik perubahan UUD dikenal dengan adanya dua
tradisi, yaitu tradisi Eropa Kontinental dan tradisi Amerika
Serikat.
1. Eropa Kontinental. Dalam tradisi ini perubahan
dilakukan langsung dalam teks UUD. Jika perubahan itu
menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD yang
asli tidak banyak mengalami perubahan. Tetapi jika
materi yang diubah banyak, apalagi kalau perubahannya
mendasar, maka biasanya naskah UUD itu disebut
dengan nama baru sama sekali. Jadi dalam hal ini bukan
perubahan, tetapi penggantian.
2. Amerika Serikat. Dalam tradisi ini perubahan
dilakukan terhadap materi tertentu dengan menetapkan
naskah amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD.
3. Dasar Pemikiran Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD atau sering pula digunakan istilah
amandemen UUD adalah salah satu agenda reformasi.
Perubahan itu dapat berupa pencabutan, penambahan dan
perbaikan.

66
Mengenai amandemen UUD 1945 sendiri dilandasi oleh
beberapa dasar pemikiran sebagai berikut :
1. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar
kepada Presiden yang meliputi kekuasaan eksekutif dan
legislatif, khususnya dalam membentuk undang-undang.
2. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes
(fleksibel), sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu
tafsir (multitafsir).
3. Kedudukan Penjelasan UUD 1945 seringkali
diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti
pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945.

4. Dasar Politis dan Yuridis Perubahan UUD 1945


Pelaksanaan amandemen UUD 1945 memiliki dasar
politis dan yuridis. Yang menjadi dasar politis, yaitu
mempelajari, menelaah dan mempertimbangkan dengan
seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat
mendasar yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara.
Sedangkan yang menjadi dasar hukum (yuridis) amandemen
UUD 1945 adalah UUD 1945 itu sendiri yaitu pasal 37
sebagai berikut :
1.Ayat 1 : “Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3
daripada jumlah anggota MPR harus hadir”.
2.Ayat 2 : “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir”.

3. Prosedur Perubahan UUD 1945


Prosedur perubahan UUD 1945 secara eksplisit telah
ditentukan oleh pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945, yakni :
1.Perubahan dilakukan melalui Sidang MPR.
2.Dalam siding tersebut sekurang-kurangnya 2/3 daripada
jumlah anggota MPR harus hadir.
3.Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya
2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.

4. Latar Belakang dan Tujuan Perubahan UUD 1945


Ada dua hal yang menjadi latar belakang perubahan UUD
1945, yaitu :
1. Tuntutan demokrasi. UUD 1945 disusun pada masa
persiapan kemerdekaan Indonesia dengan situasi yang
serba mendesak. Oleh karena itu terdapat pasal-pasal
yang diarahkan untuk kepentingan pemimpin terdahulu,
serta tidak adanya pasal-pasal yang secara rinci dan tegas
menjamin hak asasi manusia. Oleh karena itu, perubahan
UUD 1945 dilakukan dalam rangka memenuhi tuntutan
kehidupan yang lebih demokratis.
2. Perkembangan zaman. Dalam hal ini UUD 1945
(sebelum amandemen) mengandung beberapa pasal yang
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan
permasalahan kenegaraan dewasa ini. Oleh karena itu
diperlukan perubahan agar dapat lebih sesuai dengan
perkembangan zaman.
Amandemen UUD 1945 memiliki beberapa tujuan,
antara lain :
1.Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara
dalam mencapai tujuan nasional dan memperkukuh
NKRI.
2.Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan
pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas
partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan
paham demokrasi.
3.Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan
perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan
paham HAM dan peradaban umat manusia yang
merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang
tercantum dalam UUD 1945.
4.Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara
secara demokratis dan modern.
5.Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam
penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan
perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti
pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
6.Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan
berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan bangsa dan negara.
Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945
terdapat beberapa kesepakatan dasar, yaitu :
1.Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.Tetap mempertahankan NKRI.
3.Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
4.Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif
akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh).

5. Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945


Prubahan terhadap UUD 1845 dilakukan secara bertahap
karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua
fraksi di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan
terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh
kesepakatan. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan
sebanyak empat kali melalui mekanisme siding MPR, yaitu :
1.Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14 – 21 Oktober 1999.
2.Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7 – 18 Agustus 2000.
70
3.Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1 – 9 November
2001.
4.Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1 – 11 Agustus 2002.
Perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk
menyempurnakan UUD itu sendiri, bukan untuk mengganti.
Secara umum hasil perubahan yang dilakukan secara bertahap
adalah sebagai berikut :
1. Perubahan Pertama
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 ditetapkan pada
tanggal 19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai tonggak
sejarah yang berhasil mematahkan semangat yang cenderung
mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 sebagai sesuatu
yang suci yang tidak boleh disentuh ole hide perubahan.
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal,
16 ayat, yaitu :
Pasal yang
No Isi Perubahan
Diubah
Hak Presiden untuk
1 Pasal 5 ayat 1
mengajukan RUU kepada DPR
Pembatasan masa jabatan
2 Pasal 7
Presiden dan Wapres
Pasal 9 ayat 1 dan
3 Sumpah Presiden dan Wapres
2
4 Pasal 13 ayat 2 Pengangkatan dan penempatan
dan 3 Duta
Pemberian grasi dan
5 Pasal 14 ayat 1
rehabilitasi
6 Pasal 14 ayat 2 Pemberian amnesti dan abolisi
Pemberian gelar, tanda jasa
7 Pasal 15
dan kehormatan lain
Pasal 17 ayat 2
8 Pengangkatan Menteri
dan 3
Pasal 20 ayat 1 –
9 Fungsi dan hak DPR
4
Hak DPR mengajukan usul
10 Pasal 21
RUU
2. Perubahan Kedua
Perubahan kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
2000 yang meliputi 27 pasal yang tersebat dalam 7 bab,
yaitu :
Bab yang
No Isi Perubahan
Diubah
1 Bab VI Pemerintahan daerah
2 Bab VII DPR
3 Bab IX.A Wilayah negara
4 Bab X Warga negara dan penduduk
5 Bab X.A Hak asasi manusia (HAM)
6 Bab XII Pertahanan dan keamanan
Bendera, bahasa, lambing negara
7 Bab XV
dan lagu kebangsaan
3. Perubahan Ketiga
Perubahan ketiga ditetapkan pada tanggal 10 November
2001, meliputi 23 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu :
No Bab yang Diubah Isi Perubahan
1 Bab I Bentuk dan kedaulatan
2 Bab II MPR
Kekuasaan pemerintahan
3 Bab III
negara
4 Bab V Kementerian negara
5 Bab VII.A DPR
6 Bab VII.B Pemilu
7 Bab VIII.A BPK
4. Perubahan Keempat
Perubahan keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus
2002, meliputi 16 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan
serta 1 butir yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan
keempat ini ditetapkan bahwa :
1) UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
pertama, kedua, ketiga dan keempat adalah UUD 1945 yang
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan
kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
2) Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna
MPR-RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahuhan
MPR-RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
3) Bab IV tentang DPA dihapuskan dan pengubahan substansi
pasal 16 serta penempatan-nya ke dalam bab III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara.
Hasil perubahan keempat terhadap UUD 1945 secara
terperinci adalah sebagai berikut :
No Pasal yang Diubah Isi Perubahan
1 Pasal 2 ayat 1 MPR
Presiden dan Wakil
2 Pasal 6.A ayat 4
Presiden
Presiden dan Wakil
3 Pasal 8 ayat 3
Presiden
Dewan Pertimbangan
4 Pasal 16
Presiden
Macam dan harga mata
5 Pasal 23.B
uang
6 Pasal 23.D Bank sentral
7 Pasal 24 ayat 3 Kekuasaan kehakiman
8 Pasal 31 ayat 1 – 5 Pendidikan
9 Pasal 32 ayat 1 dan 2 Kebudayaan
10 Pasal 33 ayat 4 dan 5 Perekonomian nasional
11 Pasal 34 ayat 1 – 4 Kesejahteraan sosial
12 Pasal 37 ayat 1 – 5 Perubahan UUD
Pasal 1 Aturan Peraturan perundang-
13
Peralihan undangan
Pasal II Aturan
14 Lembaga negara
Peralihan
Pasal III Aturan
15 Mahkamah Konstitusi
Peralihan
Pasal 1 Aturan
16 MPR
Tambahan
Pasal II Aturan
17 Struktur UUD 1945
Tambahan
Secara umum dilihat dari jumlah bab, pasal dan ayatnya,
hasil perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut :
No Sebelum Perubahan Setelah Perubahan
1 16 bab 21 bab
2 37 pasal 73 pasal
3 49 ayat 170 ayat
4pasal Aturan
4 3 pasal Aturan Peralihan
Peralihan
2 ayat Aturan
5 2 ayat Aturan Tambahan
Tambahan
6 DilengkapiPenjelasan Tanpa Penjelasan
Pada dasarnya mengubah atau mengamandemen suatu
peraturan dimaksudkan untuk menyempurnakan, melengkapi
atau mengganti peraturan yang sudah ada sebelumnya. Tentu
saja hasil perubahan itu diharapkan lebih baik dan berguna
bagi rakyat. Demikian pula halnya perubahan terhadap UUD
1945.

75
Perubahan UUD 1945 bukan hanya menyangkut
perubahan jumlah bab, pasal dan ayat, tetapi juga ada
perubahan sistem ketatanegaraan RI. Hasil-hasil perubahan
tersebut menunjukkan adanya penyempurnaan kelembagaan
negara, jaminan dan perlindungan HAM, dan
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis. Hasil-
hasil perubahan tersebut telah melahirkan peningkatan
pelaksanaan kedaulatan rakyat, utamanya dalam pemilihan
presiden dan kepala daerah yang secara langsung oleh rakyat.
Perubahan itu secara global adalah sebagai berikut :
1.MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara dan
berada di atas lembaga negara lain, berubah menjadi
lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara
lainnya, seperti DPR, Presiden, BPK, MA, MK, DPD,
dan KY.
2.Pemegang kekuasaan membentuk undang-undang yang
semula dipegang oleh Presiden beralih ke tangan DPR.
3.Presiden dan Wakil Presiden yang semula dipilih oleh
MPR berubah menjadi dipilih oleh rakyat secara
langsung dalam satu paket (pasangan).
4.Periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang
semula tidak dibatasi, berubah menjadi maksimal dua
kali masa jabatan.
76
5.Adanya lembaga negara yang berwenang menguji
undang-undang terhadap UUD 1945 yaitu Mahkamah
Konstitusi (MK).
6.Presiden dalam hal mengangkat dan menerima duta dari
negara lain harus memperhatikan pertimbangan DPR.
7.Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dalam
hal member amnesti dan rehabilitasi.

78
BAB IV

Pengertian Demokrasi secara umum adalah bentuk atau


sistem pemerintahan dimana seluruh rakyatnya turut serta
memerintah melalui wakil-wakilnya. Menurut Abraham
Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang
diselenggarakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu


demos yang artinya rakyat dan cratos yang artinya
pemerintahan. Pengakuan resmi bahwa Indonesia adalah
negara demokrasi terdapat pada:
1.UUD 1945 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”
2.Pancasila sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.”

79
Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Sejak merdeka, bangsa Indonesia pernah melaksanakan
tiga macam demokrasi yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi
Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila.
Demokrasi Liberal (1950-1959)
Demokrasi liberal atau demokrasi parlementer berlaku
pada tahun 1950—1959. Pada saat itu, konstitusi yang
berlaku adalah UUDS 1950.Berdasarkan UUDS 1950, sistem
pemerintahan dan demokrasi yang diterapkan di Indonesia,
yaitu sistem parlementer dan demokrasi liberal. Artinya,
kabinet yang menterinya diajukan oleh parlemen (DPR) dan
bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Dalam sistem parlementer ini, kepala pemerintahan
adalah perdana menteri dan presiden hanya sebagai kepala
negara.Masa demokrasi liberal ini membawa dampak yang
cukup besar, memengaruhi keadaan, situasi dan kondisi
politik pada waktu itu.
Dampaknya, yaitu:
1.Pembangunan tidak berjalan lancar karena kabinet
selalu silih berganti.
2.Tidak ada partai yang dominan maka seorang kepala
negara terpaksa bersikap mengambang di antara
kepentingan banyak partai.
3.Dalam sistem multi partai, tidak pernah ada lembaga
legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang kuat.
4.Munculnya pemberontakan di berbagai daerah
(DII/TII, Permesta, APRA, RMS).
5.Memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap
pemerintahan saat itu.
Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan
Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan
Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan
berlakunya kembali UUD 1945, serta tidak berlakunya UUDS
1950.
Demokrasi Terpimpin (1959—1966)
Demokrasi terpimpin atau demokrasi terkelola yaitu
seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin
negara saja. Menurut TAP MPRS No. VIII/MPRS/1965,
demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
yang berasaskan musyawarah untuk mufakat secara gotong
royong bagi semua kekuatan nasional yang progresif
revolusioner dengan berporoskan Nasakom.
Pada saat itu, konstitusi yang berlaku adalah UUD 1945
dan Presiden Sukarno berkedudukan sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan yang berlandaskan pada sistem
presidensial (presidesiil). Para menteri berada di bawah
wewenang presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.

Demokrasi Pancasila(1966—sekarang)
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang merupakan
perwujudan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang
mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila, yaitu:
1.Persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh rakyat
Indonesia
2.Keseimbangan antara hak dan kewajiban
3.Pelaksanaan kebebasan yang bertanggungjawab secara
moral kepada Tunan Yang Maha Esa, diri sendiri, dan
orang lain.
4.Mewujudkan rasa keadilan sosial.
5.Pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat.
6.Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan.
7.Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional.
82
Pentingnya Kehidupan Demokrasi
Sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi meliputi unsur-
unsur sebagai berikut:
1.Partisipasi masyarakat secara aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.Pengakuan akan supremasi hukum (kedaulatan
hukum).
3.Pengakuan akan kesamaan di antara warga negara.
4.Kebebasan untuk menyatakan pendapat, berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan Pendapat
5.Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
6.Kebebasan untuk meyakini kepercayaan,menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
7. Hak asasi manusia dijamin.

8.Kebebasan pers.
9.Pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil.

83
Kehidupan demokrasi dalam masyarakat itu sangat penting
karena dapat menumbuhkan hal-hal positif, sebagai berikut:
1.Tumbuhnya semangat warga masyarakat untuk
bersilaturahmi.
2.Mempererat tali persaudaraan di antara para anggota
masyarakat.
3.Tumbuhnya semangat untuk beraktivitas dan
berkreasi.
4.Warga masyarakat semakin peka terhadap
lingkungannya.
5.Tumbuhnya sikap saling menghargai hak-hak masing-
masing warga masyarakat.
6.Menekan terjadinya sikap dan perbuatan negatif

84
KESIMPULAN SARAN

Berikut upaya-upaya menghargai persamaan kedudukan


warga negara :
a. Setiap kebijakan pemerintah hendaknya bertumpu pada
persamaan
dan menghargai pluralitas
b. Pemerintah harus terbuka dan membuka ruang kepada
masyarakat
berperan serta dalam pembangunan nasional tanpa membeda-
bedakan
sara, gender, budaya
c. Produk hukum atau peraturan perundang-undangan harus
menjamin
persamaan warga Negara
d.Partisipasi masyarakat dalam politik harus memperhatikan
kesetaraan
sara dan gender.

85
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan.


Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah,
Wahab, Abdul Aziz. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.
Winarso. 2009. Paradigma Baru Pendidikan
Kewarganegaraan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kansil. 2001. Ilmu Negara Umum Dan Indonesia. Jakarta: PT
Pradnya Paramita.
Wibowo, Dwi Cahyadi. Konsep Teori dan Proses
terbentuknya Negara, Dalam laman
http://dwicahyadiwibowo.blogspot.com
Muhammad, Hussein. 2000. Islam dan Negara Kebangsaan.
Yogyakarta: LKIS.
[1]Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hal. 73
[2] Abdul Aziz Wahab, Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011) hal.
201
86
[3]Winarso, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009),
[4]Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hal. 43-44
[5]Kansil, Ilmu Negara Umum Dan Indonesia, (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 2001), hal. 69-70
[6]Dwi Cahyadi Wibowo, Konsep Teori dan Proses
terbentuknya Negara, Dalam laman
http://dwicahyadiwibowo.blogspot.com, diunduh pada 18
Maret 2015.
[7] Hussein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan,
(Yogyakarta: LKIS, 2000),
https://harissuwondo.wordpress.com/konstitusi-negara-ri/
https://www.padamu.net/pelaksanaan-demokrasi-di-indonesia

87

Anda mungkin juga menyukai