Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

LOVE AND WELL-BEING

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Positif

Disusun oleh:

Ulfah Musyaropah 2007044012

Kurniawati 2007044015

Rizky Allivia Larasati Haibar 2007044023

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI SAINS

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA

2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang dengan limpahan taufiq, rahmat dan hidayat-Nya kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para
pengikutnya sampai akhir zaman.

Maksud dari penyusunan makalah ini yang berjudul: “Love dan Well-Being” adalah untuk
memenuhi salah satu tugas dari ibu Dr. Nina Zulida Situmorang. M.Si selaku dosen mata kuliah
Psikologi Positif.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan atau
jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun
dari para pembaca terutama rekan-rekan/teman-teman siswa.

Dengan selesainya penyusunan makalah ini kami ingin mengucapkan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam membimbing kami.

Jazakumullahikhairankatsiran.

Yogyakarta, 01 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3
A. Love (Cinta)................................................................................................................. 3
B. Well-Being (Kesejahteraan).........................................................................................8
C. Implementasi Love dan Well-Being...........................................................................15
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 19
A. Simpulan.................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu psikologi dalam beberapa dekade ini berkembang dengan pesatnya.
Salah satunya pemikiran seorang profesor psikologi bernama Martin E.P Seligman
yang berpikir bahwa manusia tidak hanya dapat dipelajari dari sisi negatifnya saja,
namun terdapat juga sisi positifnya yang dapat dipelajari. Menurut Seligman, kajian
psikologi selama ini seringkali diwarnai dengan topik-topik negatif dari diri manusia
seperti penyakit, kelemahan dan kerusakan, tetapi psikologi juga mengkaji mengenai
kebahagiaan, kekuatan, potensi dan kebajikan (Seligman, 2005).
Dalam psikologi positif, perspektif ilmiah tentang bagaimana membuat hidup
yang dijalani individu itu lebih berharga. Psikologi positif mempunyai tujuan
memberikan pandangan tentang manusia dari sisi yang lain yaitu dengan
menampilkan sisi-sisi yang indah dari manusia. Aspek yang banyak diperhatikan
dalam Psikologi Positif adalah hal-hal yang mempunyai unsur kekuatan dan moral
diri manusia (strength and virtue). Kekuatan itu diantaranya cinta (love) dan
kesejahteraan (well-being). Love dan well-being ini meruapakan aspek psikologis
dari fungsi manusia yang positif dan akan memunculkan pemahaman ilmiah dan
kemudian sebagai intervensi yang efektif untuk dapat membangun perkembangann
individu, keluarga dan komunitas (Seligman, 2000).
Kebanyakan manusia jika ditanya apa yang merekan inginkan dalam
kehidupan yang mereka jalani, akan mengatakan bahwa kesejahteraan (well being)
yang mereka inginkan. Keadaan dimana seseorang merasakan perasaan senang,
nyaman dan gembira. Seperti dalam hierarkhi kebutuhan dalam teori Marslow,
bahwa manusia akan termotivasi melakukan upaya untuk memenuhi kebutuhannya.
Kebahagiaan akan menjadi suatu prioritas utama untuk dicapai dalam kehidupan
setiap orang. Kebahagian merupakan hal yang tidak dapat dibayar, karena
kebahagiaan merupakan perasaan senang yang tidak dapat ditukar oleh apapun.
Setiap orang memiliki tolak ukur tersendiri terhadap suatu hal yang membuat
sejahtera bagi dirinya.
Pada kehidupannya sehari hari, seorang individu dapat menerapkan
kekuatannya seperti love dan well-being ini pada segala aspek kehidupan baik
terhadap dirinya sendiri maupun pada lingkungan sekitarnya. Kedua kekuatan ini
dapat mendorong individu dalam menemukan dan mencapai kebahagiaan dalam
hidup dan kesuksesan dengan lebih bermakna. Dengan kekuatan yang dimilikinya,

1
individu akan mampu memaknai segala situasi dengan lebih positif pada situasi yang
menyenangkan maupun situasi yang tidak menyenangkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian love dan well-being?
2. Apa saja komponen dari love?
3. Apa saja dimensi dari well-being?
4. Apa saja jenis-jenis love?
5. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi well-being?
6. Bagaimana implementasi love dan well-being dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan
1. Untuk memahami arti love dan well-being
2. Untuk mengetahui komponen love
3. Untuk mengetahui dimensi well-being
4. Untuk mengetahui jenis-jenis love
5. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan
well-being
6. Untuk mengetahui implementasi hubungan love dan well-being dalam upaya
individu mencapai hidup yang bermakna dalam kehidupanya sehari-hari

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Love (Cinta)
1. Pengertian Love (Cinta)
Love (Cinta) adalah reaksi emosional yang sama mendasarnya dengan
rasa marah, kesedihan, kegembiaraan dan rasa takut. Cinta akan selalu menjadi
topik yang digandrungi oleh setiap kalangan, baik yang muda atau yang tua
(Wisnuwardhani, 2012). Hal ini terbukti dari drama, lirik lagu, puisi, sajak, dan
karya sastra lain yang berisikan tentang cinta. Cinta merupakan suatu bentuk
emosi yang mengandung ketertarikan, hasrat seksual, dan perhatian yang
diberikan pada seseorang. Cinta memberi kita rasa memiliki, itu membuat emosi
kita merasa aman dan juga memberi kesehatan mental yang baik (Singh &
Dhingra, 2014). Cinta bersifat positif dan memberikan pengaruh positif pada
setiap individu. Rubin (dalam Hendrick dan Hendrick, 1992) mendefinisikan cinta
sebagai suatu sikap yang diarahkan oleh seseorang terhadap orang lain yang
dianggap istimewa, yang mempengaruhi cara berfikir, merasa, dan bertingkah
laku. Jika orang tersebut bahagia maka kemungkinan besar dia sehat secara
psikologis dan emosional. Seseorang yang jatuh cinta tidak hanya merasa positif
tetapi juga akan menyebarkan kepositifan pada lingkungannya. Mereka
tersenyum, bersikap baik kepada orang lain, berperilaku penuh kasih dengan
semua orang.
Cinta merupakan sebuah perasaan natural yang dirasakan oleh
seseorang terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Dalam Kamus
Lengkap Psikologi, cinta merupakan suatu perasaan kuat yang penuh kasih
sayang atau kecintaan terhadap seseorang, biasanya disertau suatu komponen
seksual (Chaplin, 2006). Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai
tingkatan usia. Nevid & Rathus (2005) mendefinisikan cinra sebagai suatu
bentuk emosi yang kuat dan positif, yang melibatkan perasaan kasih sayang dan
keinginan untuk bersama dengan atau menolong orang lain. Cinta terlahir
dengan penuh semangat, kasih sayang, serta kegembiraan. Cinta yang hakiki
tidak akan dapat dimengerti kecuali dengan sebuah pengorbanan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cinta
merupakan suatu keadaan emosional yang kuat dan positif yang dirasakan oleh
seseorang dan ditujukan kepada orang lain yang juga dapat mempengaruhi

3
perasaan, tingkah laku, pola pikir, dan memunculkan keinginan unutk bersama
dan saling membahagiakan.
2. Komponen Love (Cinta)
Untuk memahami cinta secara mendalam, Robert Sternberg membuat
konsep yang dinamakan triangular theory of love (teori segitiga cinta). Sternberg
(1986) menyatakan bahwa dalam triangular theory of love, cinta dapat dipahami
seperti sebuah segitiga yang masing – masing sudutnya merupakan komponen
cinta. Berdasarkan Sternberg’s Triangular Theory of Love, terdapat 3 komponen
utama yang membentuk cinta yaitu intimacy (keintiman), passion (gairah), dan
commitment (komitmen). Ketiga komponen tersebut saling berhubungan satu
sama lain (Baron&Byrne, 2005).

Figure 1. Triangular Theory of Love by Sternberg.

a. Keintiman (Intimacy)
Keintiman (intimacy) merupakan kedekatan yang dirasakan oleh dua
orang dan kekuatan dari ikatan yang menahan pasangan bersama (Baron &
Byrne, 2005). Keintiman mengandung elemen afeksi yang mendorong
individu untuk selalu memiliki kedekatan emosional dengan orang yang ia
cintai. Hal ini mencangkup perasaan dekat, terkait, dan terikat dalam sebuah
hubungan, perasaan kagun dan keinginan saling memberi perhatian pada
pasangan. Dengan kata lain, keintiman merupakan perasaan emosional
tentang kehangatan, kedekatan, dan hal berbagi dalam hubungan
(Sternberg dalam Santrock, 2002).
Sears (2009) menyatakan bahwa keintiman merupakan komponen
yang menjadi fondasi di setiap jenis hubungan cinta. Intimacy berkaitan

4
dengan kebersamaan, keterikatan, dan hubungan emosional dengan orang
lain (Lehmiller, 2014). Keintiman dicirikan dengan ikatan yang kuat dan
intensitas interaksi yang tinggi dalam berbagai macam bentuk. Pasangan
yang memiliki derajat keintiman yang tinggi akan mempedulikan
kesejahteraan dan kebahagian satu sama lain, saling menghargai,
menyukai, dan bergantung dan memahami satu sama lain (Baron & Byrne,
2005). Sternberg (2009) juga menyatakan bahwa keintiman tidak hanya
terjadi pada hubungan romantic akan tetapi juga dapat terjadi pada
hubungan cinta terhadap anak atau sahabat. Seorang individu dapat
mengekspresikan keintiman dengan cara mengirimkan pesan singkat
bermakna cinta, memberi hadiah kejutan meskipun sederhana, memberi
perhatian, mendengarkan keluh kesah pasangannya, meluangkan waktu
untuk bersama, dan lain sebagainya.
b. Gairah (Passion)
Komponen gairah berisi dengan dorongan yang menimbulkan emosi
kuat dalam hubungan cinta (Sternberg dalam Sears, 2009). Komponen ini
mengarah pada sebuah dorongan yang menimbulkan emosi kuat dalam
hubungan seperti ketertarikan fisik dan hubungan seksual. Menurut Dariyo
(2008), komponen gairah merupakan elemen fisiologis yang menyebabkan
seseorang memiliki keinginan untuk dekat secara fisik, menikmati atau
merasakan sentuhan fisik, ataupun melakukan hubungan seksual dengan
pasangannya. Gairah dapat dimunculkan dengan cara menyentuh
pasangan, menatap mata, menggunakan parfum, dan berpenampilan
menarik. Maka, komponen gairah tampak sangat bergantung pada daya
Tarik fisik dan psikologis. Komponen gairah dalam cinta cenderung
berinteraksi langsung dan saling melengkapi dengan komponen keintiman.
Gairah bisa jadi merupakan hal pertama yang menarik individu untuk masuk
ke dalam suatu hubungan, yang akan diperkuat oleh keintiman. Namun bisa
juga gairah muncul belakangan setelah munculnya keintiman.
c. Komitmen (Commitment)
Komponen komitmen merupakan faktor kognitif dalam Sternberg’s
triangular theory of love (Baron & Byrne, 2005). Komitmen merupakan suatu
keputusan yang diambil seseorang bahwa dia mencintai orang lain dan
secara berkesinambungan akan tetap mempertahankan cinta tersebut.
Komponen ini memiliki dua aspek yang terdiri dari aspek jangka panjang
dan jangka pendek. Aspek jangka pendek merupakan keputusan untuk

5
mencintai orang lain, sementara aspek jangka panjang adalah keputusan
untuk mempertahakan hubungan tersebut. Pada nyatanya, kedua aspek ini
tidak harus dialami bersamaan. Seorang individu yang memutuskan untuk
mencintai seseorang belum tentu akan berkomitmen terhadap rasa cinta
tersebut. Begitu sebaliknya. Namun demikian, Sternberg (2009)
mengatakan bahwa keputusan untuk mencintai (jangka pendek) hendaknya
mendahului komitmen (jangka panjang) pada suatu hubungan.
Komitmen merupakan komponen cinta yang dapat
mempertahaknkan suatu hubungan ketika hubungan tersebut mengalami
pasang surut. Tidak seperti keintiman dan gairah, komitmen biasanya
meningkat dengan lambat pada awal hubungan, akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, ketika pasangan memiliki tujuan jangka panjang maka
komitmen akan terus meningkat (Sternberg, 2009). Komitmen akan terlihat
dengan adanya upaya yang menunjukan cinta (love behavior) yang
cenderung meningkatkan rasa percaya, rasa diterima, merasa berharga,
dan dicintai oleh pasangannya. Dengan demikian, komitmen akan
mempererat suatu hubungan.
Suatu hubungan cinta yang ideal akan terwujud apabila dalam
hubungan tersebut terdapat keseimbangan dari ketiga komponen cinta,
sehingga akan terbentuk segitiga sama sisi yang menandakan terbentuknya
cinta sempurna sesuai dengan model segitiga cinta dari Sternberg. Namun
pada kenyataannya, dalam menjalani hubungan percintaan tidak setiap
pasangan mampu memenuhi komponen sebuah cinta yang sempurna. Hal
ini menjadi pemicu munculnya permasalahan pada hubungan yang sedang
dijalani. Hubungan cinta akan mengalami ketimpangan ketika hanya ada
salah satu dari ketiga komponen saja yang mendominasi.
3. Jenis-Jenis Love (Cinta)
Sternberg (2009) mengatakan bahwa kombinasi dari ketiga komponen
tersebut akan menghasilkan jenis – jenis cinta yang berbeda. Berdasarkan
ketiga komponen yang ada dalam triangular theory of love, Sternberg
mengidentifikasikan tujuh jenis cinta yang didasarkan pada jumlah komponen
yang terlibat dan komponen penyusunnya.

6
Figure 2. Kind of Love by Sternberg
a. Menyukai (Liking)
Jenis cinta yang hanya memiliki komponen keintiman tanpa adanya
gairah dan komitmen. Hal ini biasanya terdapat pada hubungan yang berciri
pertemanan. Seseorang akan merasakan kedekatan dan kenyamanan
tanpa adanya gairah maupun komitmen untuk membentuk hubungan jangka
panjang untuk menghabiskan hidup bersama.
b. Cinta Nafsu (Infatuation Love)
Pada jenis ini yang dimiliki hanyalah komponen gairah tanpa ada
komponen keintiman dan komitmen. Jenis cinta ini biasanya muncul secara
cepat dan menghilang dengan cepat pula. Hal ini biasa terjadi pada
pandangan pertama.
c. Cinta Hampa (Empty Love)
Jenis cinta ini hanya berdasar pada komponen komitmen tanpa ada
komponen keintiman dan gairah. Biasanya terdapat pada pasangan yang
telah menikah dalam jangka waktu yang lama, atau pada pasangan usia
lanjut. Pada jenis ini, pasangan kehilangan keterlibatan emosional satu
sama lain dan biasanya tidak ada lagi daya Tarik fisik. Jenis cinta ini juga
mungkin saja merupakan tahap awal dari sebuah hubungan jangka panjang.
Misalnya, individu yang memutuskan untuk menikah dengan komitmen
untuk mencintai satu sama lain atau mencoba mencintai satu sama lain
dengan harapan pernikahan tersebut akan diikuti dengan munculnya gairah
dan keintiman.

7
d. Cinta Romantis (Romantic Love)
Romantic love merupakan jenis cinta yang mengkombinasikan
komponen keintiman dan gairan, namun tanpa komitmen. Biasanya
pasangan yang merasakan jenis cinta ini akan tertarik secara fisik dan
terikat secara emosional, tetapi tidak berpikir untuk melanjutkan hubungan
jangka panjang yang serius (pernikahan).
e. Cinta Persahabatan (Companionate Love)
Jenis ini merupakan kombinasi antara komponen keintiman dan
komitmen tanpa diikuti dengan gairah. Jenis cinta ini pada dasarnya adalah
hubungan pertemanan yang memiliki komitmen kuat, bersifat jangka
panjang, dan dalam kasus hubungan perkawinan yang lama, ketertarikan
fisik tidak akan menggairahkan lagi.
f. Cinta Buta (Fatous Love)
Cinta Buta merupakan kombinasi dari komponen gairah dan
komitmen saja. Tidak ada komponen keintiman yang membangun.
Biasanya, jenis cinta ini sulit untuk dipertahankan karena kurang adanya
aspek emosional antar pasangan.
g. Cinta Sejati (Consummate Love)
Cinta sejati biasanya dikatakan sebagai jenis cinta yang sempurna
karena tersusun atas ketiga komponen dari triangular theory of love yaitu
keintiman, gairah, dan komitmen. Jenis ini merupakan jenis cinta yang ideal
sehingga setiap individu akan berusaha untuk mendapatkannya. Cinta jenis
ini biasanya dijumpai dalam hubungan cinta orang dewasa atau hubungan
antara orang tua dan anak (Sears, 2009). Sternberg (dalam Yudisia, 2013)
menekankan bahwa untuk memperoleh cinta sejati mungkin mudah, tetapi
mempertahankan hubungan yang ideal ini akan sulit. Sehingga salah satu
cara yang harus diperhatikan untuk mempertahankan hubungan ini adalah
mengimplementasikan masing-masing komponen dengan bentuk ekspresi
dan aksi nyata.
B. Well-Being (Kesejahteraan)
1. Pengertian Well-Being (Kesejahteraan)
Well-Being merupakan suatu konstruk yang kompleks membahas dua
hal yaitu mengenai pengalaman optimal dan pemfungsian. Seperti dikatakan
Sumule (2008) bahwa well-being ini mengacu pemfungsian psikologis yang
optimal. Konsepsi well-being dan fungsi psikologis yang optimal menurut
Ryan & Dec (dalam Taylor, 1998) disebutkan dua paradigma dan perspektif

8
besar mengenai well being yang diturunkan dari dua pandangan filsafat yang
berbeda. Pandangan pertama disebut hedonic yang memandang bahwa
tujuan hidup seseorang yang utama adalah melihat kenikmatan secara
optimal dan mencapai suatu kebahagiaan. Pandangan kedua adalah
eudaimonic menurut Waterman (dalam Taylor, 1988) mengemukakan bahwa
konsepsi well-being dalam pandangan eudaimonic menekankan pada
bagaimana cara manusia untuk hidup dalam daimonnya atau dirinya yang
sejati.
a. Pandangan Hedonic
Memandang bahwa tujuan utama dalam hidup adalah mendapatkan
kenikmatan secara optimal. Aktifitas-aktifitas hedonic yang dilakukan
seseorang yaitu dengan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit.
Dengan melakukan tindakan demikian akan menimbulkan well-being yang
bersifat hanya sementara dan berkembang menjadi suatu kebiasaan
sehingga lama-kelamaan akan kelihangan esensi sebagai suatu hal yang
bermakna. Menurut pandangan yang dominan diantara ahli psikologi
berpendapat bahwa pandangan hedonic merupakan well-being yang
tersusun atas kesejahteraan subjektif (subjective well-being) dan berfokus
pada pengalaman yang menghadirkan kenikmatan. Menurut Diener & Lucas
(dalam Ryan dan Deci, 2001) mengembangkan suatu model pengukuran
untuk mengevaluasi pleasure dalam pengalaman manusia. Model
pengukuran ini disebut subjective well-being yang terdiri dari tiga komponen
yaitu: 1) kepuasan hidup, 2) adanya afek positif dan 3) tidak adanya afek
negatif.
b. Pandangan Eudiamonic
Pandangan eudiamonic membentuk well-being dalam konsep
aktualisasi potensi manusia dalam menghadapi tantangan pada
kehidupannya. Aktifitas dalam pandangan eudiamonic menurut Steger, et.al
(2007) menunjukkan bahwa kondisi well-being lebih akan bertahan dalam
waktu yang relatif lama dan konsisten. Dalam pandangan ini menekankan
tentang cara manusia untuk hidup dalam dirinya yang sejati (true self).
Kondisi diri yang sejati ini akan terbentuk ketika manusa melakukan kegiatan
atau aktifitas yang sesuai dengan nilai yang dianut dan dilakukan secara
menyeluruh dan benar-benar terlibat didalamnya (Ryan & Deci, 2001).
Daimon atau diri sejati mengacu pada potensi yang dimiliki oleh masing-
masing individu, yakni realisasi yang mewakilkan suatu bentuk pemenuhan

9
hidup dimana setiap individu mampu melakukannya. (Waterman, dalam
Strümpfer, 2002). Aktifitas-aktifitas eudiamonic menyatakan bahwa rasa
kepuasaan dan kesejahteraan hidup dirasakan lebih besar ketika:
1) Seorang individu yang mengalami suatu pengalaman dalam membina
hubungan dengan orang lain dan merasa menjadi bagian dari kelompok
tertentu (Baumeister dan Leary 1995; Myers 2000; Lucas, Diener dan Suh
1996; serta Ryff dan Singer 1998)
2) Dapat menerima dirinya sendiri dan mempunyai suatu makna dan tujuan
hidup yang sedang dijalani (Steger et.al, 2009).
3) Mengejar dan mencapai tujuan yang ingin dicapai dapat memunculkan
rasa kemandiran, kompetensi dan menciptakan hubungan yang baik
dengan orang lain (Steger et.al, 2009).
Seligman mempunya pandangan yang hampir sama dengan
Aristoteles tentang sebuah arti kebahagiaan, yakni semua hal yang dilakukan
oleh manusia untuk suatu tujuan yaitu membuat dirinya bahagia. Menurut
Seligman (2011) well-being bukanlah sesuatu yang hanya saja di dalam
pikiran seorang individu namun juga merupakan kombinasi mengenai
perasaan dari dirinya sendiri dan perasaan memiliki makna hidup,
pencapaian tujuan hidup dan hubungan yang baik dengan orang lain.
Well-being dijelaskan oleh Seligman merupakan suatu konstruk yang
dibangun oleh lima dimensi yaitu: 1) P: positive emotion, 2) E: engagement,
3) relationship, 4) M: meaning dan 5) A: accomplishment. Kelima elemen
tersebut disingkat dengan PERMA yang semuanya mengarah pada perilaku
manusia. Peningkatan PERMA oleh individu ini akan mengarah tingkat well-
being yang tinggi yang disebut dengan flourishing. Flourishing merupakan
kombinasi dari perasaan yang menyenangkan dan fungsi yang baik secara
psikis dan sosial (Hubert, 2011).
Sedangkan subjective well-being menurut Biswas, Diener & Dean
(2007) adalah kualitas dari keseluruhan hidup manusia, yaitu apa yang
membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan fisik
yang baik, tingkat kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang tinggi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa well-being adalah kualitas dari
keseluruhan hidup manusia yang berupa perasaan baik mengenai dirinya
sendiri serta perasaan memiliki makna, pencapaian dan hubungan yang baik
dengan orang lain.

10
2. Dimensi Well-Being
Menurut Seligman (2011), well-being terdiri dari lima elemen yang
sering disingkat sebagai PERMA, yaitu sebagai berikut:
a. Positive Emotion (emosi positif)
Emosi positif merupakan bagian utama dari well-being. Hal ini
mencakup perasaan senang, keceriaan, kebahagiaan, pengharapan, cinta,
damai dan hal lainnya yang merupakan bagian dari emosi positif. Memiliki
emosi positif membantu seseorang untuk memberikan performa yang baik
dalam pekerjaan maupun sekolah, meningkatkan kesehatan fisik,
memperkuat hubungan dengan orang lain, dan mendorong seseorang untuk
kreatif, mengambil kesempatan dan melihat masa depan dengan optimis
dan penuh harapan. Peningkatan emosi positif merupakan jalur menuju
kesejahteraan yang bersifat hedonic. Dalam batasan bahwa kita dapat
meningkatkan emosi positif kita tentang masa lalu misal dengan
menumbuhkan rasa syukur dan memaafkan. Sedangkan emosi positif di
masa sekarang misalkan dengan menikmati kesenangan fisik dan perhatian.
Serta peningkatan emosi positif untuk masa depan misal membangun
harapan dan optimisme.
b. Engagement (keterlibatan)
Keterlibatan dialami seseorang jika sedang fokus pada sesuatu yang
dikerjakan dan mengalami kesenangan dalam keterlibatan penuh dengan
hal yang sedang dikerjakan. Flow akan dirasakan pada kondisi ini baik pada
kehidupan profesional maupun kehidupan pribadi. Flow merupakan istilah
dalam Psikologi Positif untuk menjelaskan suatu keadaan dimana seakan-
akan waktu terhenti, seseorang “tenggelam” dalam pekerjaannya, dan
berkonsentrasi penuh pada keadaan sekarang. Menurut Csikszentmihalyi
(1990) hal ini akan mengahasilkan pengalaman yang sangat memuaskan
sehingga orang-orang ini akan rela melakukannya untuk dirinya sendiri,
bukan untuk yang akan mereka peroleh dari hal yang dilakukan. Flow
dialami ketika ketrampilan seseorang hanya cukup untuk suatu aktititas
yang menantang, dalam mengejar tujuan yang jelas dengan umpan balik
langsung tentang progres menuju tujuan. Pada kondisi seakan-akan waktu
berhenti ini, konsentrasi seseorang akan terserap sepenuhnya, kesadaran
diri menghilang dan persepsi waktu akn terdistorsi. Flow dapat dialami
dalam berbagai macam aktifitas, seperti dalam percakapan atau dialog yang

11
baik, memainkan alat musik, membaca buku, berkebun, olahraga dan lain-
lain.
c. Relationship/Positive Relationship
Manusia hidup sebagai makhluk sosial dan membangun hubungan
yang baik pula dengan orang lain hal ini sangat penting bagi kesejahteraan
individu. Kesejahteraan atau well-being dapat meningkat dengan memiliki
hubungan yang kuat dengan keluarga, teman, teman kerja ataupun
tetangga. Suatu pengalaman yang berkontribusi bagi well-being sering
diperkuat melalui hubungan yang terjalin dari diri kita misal kegembiraan
yang besar, makna, tawa, perasaan yang dimiliki, dan kebanggan dapat
pencapaian-pencapaian. Hubungan dengan orang lain dapat memberikan
tujuan dan makna hidup. Dukungan dari suatu hubungan dengan orang lain
merupakan salah satu penangkal terbaik untuk menangani ‘down’
kehidupan dan merupakan cara yang dapat diandalkan untuk bangun
kembali.
d. Meaning (arti)
Kehidupan seseorang akan menjadi lebih bermakna jika seseorang
dapat mendedikasikan dirinya ini kepada hal yang lebih besar dan lebih luas
yang memiliki dampak kepada orang lain, bukan hanya pada dirinya sendiri.
Memiliki makna dalam hidup dapat disamakan seperti memiliki kompas yang
memberikan arah dan tujuan.
e. Accomplishment/Achievement (pencapaian)
Pencapaian merupakan tujuan-tujuan yang dapat diperoleh, baik
tujuan kecil, sedang atau besar, kompetensi, kesuksesan serta penguasaan
demi dirinya sendiri. Kesejahteraan berkembang jika seseorang dapat
berkembang lebih baik dengan tujuan-tujuannya tercapai.
Kelima dimensi dari well-being yang terdiri dari positive emotion,
engagement, relationships, meaning, dan accomplishment digunakan
sebagai dasar teori untuk mengukur well-being individu melalui alat ukur
yang digunakan oleh peneliti. S
3. Faktor Yang Mempengaruhi Well-Being
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi well-being adalah sebagai
berikut:
a. Kepribadian
Menurut Huppert (2009) bahwa kepribadian merupakan prediktor
yang paling kuat dan konsisten terhadap well-being, khususnya dimensi

12
extraversion dan neuroticism. Kepribadian seseorang yang ekstrovert secara
kuat akan memiliki hubungan dengan model emosi positif, sedangkan
kepribadian neurotik berhubungan dengan model emosi negatif. Seorang
Individu dengan kepribadian neurotik akan cenderung memiliki kecemasan,
mudah marah, dan depresi, sedangkan individu yang ekstrovert cenderung
memiliki hubungan yang lebih sosial, optimis, mudah bergaul dengan orang
lain, enerjik, ekspresif, aktif, asertif, dan bersemangat (Steel, Schmidt &
Shultz, 2008).
b. Usia
Individu yang berada rentang usia muda dan tua cenderung akan
memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi daripada individu yang berada di
usia pertengahan, walaupun terdapat penurunan tingkat well-being pada
individu yang lanjut usia. Penguasaan lingkungan dan otonomi cenderung
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dari dewasa muda hingga
dewasa akhir. Sebaliknya pada dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi
tujuan hidup cenderung menurun dari usia dewasa muda hingga dewasa
akhir (Blanchflower & Oswald, dalam Huppert, 2009).
c. Jenis kelamin
Perempuan memiliki well-being lebih tinggi dibandingkan dengan laki-
laki. Hal ini dikaitkan dengan pola pikir yang bepengaruh terhadap strategi
koping yang dilakukan, serta aktivitas sosial yang dilakukan, dimana wanita
memiliki kemampuan interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki. Selain
itu, wanita lebih mampu mengekspresikan emosi dengan bercerita dengan
orang lain, dan wanita juga lebih senang menjalin relasi sosial daripada laki-
laki. Maka dari itu, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi
hubungan yang positif dengan orang lain. Perempuan memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dalam membina hubungan yang positif dengan orang lain
serta memiliki kebutuhan pribadi yang lebih baik daripada laki-laki.
d. Status Menikah
Pada umumnya menikah itu berhubungan dengan tingginya
kesejahteraan hidup dan rendahnya gangguan psikologis. Hubungan
tersebut sangat jelas dipaparkan dalam penelitian Diener (Hubbert, 2009)
yang menjelaskan bahwa seorang individu dengan tingkat well-being yang
tinggi cenderung lebih tinggi untuk menikah.

13
e. Faktor Sosio-ekonomi
Secara umum, pada beberapa temuan dalam penelitian bahwa
tingkat pendapatan pendapatan dan status sosio ekonomi yang tinggi
berhubungan dengan tingkat well-being yang tinggi dan tingkat gangguan
psikologis yang rendah (Dolan et al., dalam Huppert, 2009), walaupun
pengaruh tersebut menurun pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Memiliki pekerjaan juga mampu mempengaruhi tingkat well-being individu.
Pengangguran telah ditemukan berhubungan dengan adanya masalah
kesehatan mental (Evans & Repper, dalam Huppert, 2009). Beberapa
penelitian belum menemukan arah sebab-akibat yang tepat untuk hal
tersebut, tetapi data dari penelitian longitudinal menemukan bahwa individu
yang pada awalnya merasa bahagia menjadi tidak bahagia ketika mereka
mengalami pengangguran (Huppert, 2009).
Meskipun demografis seperti usia dan jenis kelamin serta faktor sosio
ekonomi diatas merupakan dorongan utama yang mempengaruhi well-being,
namun berdasakan peneliti Hubbert (2009) faktor-faktor tersebut hanya
menjelaskan sebesar 10 persen dari perbedaan well-being yang dimiliki oleh
setiap individu.
Faktor kepribadian (extraversion dan neuroticism) dua kali lebih mampu
menjelaskan adanya perbedaan tingkat wellbeing pada individu yang berbeda
(Huppert, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi well-being di atas akan
menjadi dasar bagi peneliti untuk menjelaskan hasil penelitian ini, terutama pada
tingkat wellbeing yang tinggi maupun yang rendah.
4. Cara Meningkatkan Well-Being
Kata well-being (kesejahteraan) seringkali kita dengar dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan banyak orang yang mendambakan well-being ini. Perlu
dipahami bahwa well-being (kesejahteraan) adalah suatu keadaan individu yang
digambarkan dengan munculnya rasa bahagia, kepuasan, rendahnya stres,
sehat baik mental dan fisiknya serta memiliki kualitas hidup yang baik. Dengan
kata lain, seseorang dengan well-being tinggi menjaga kesehatan fisik dan
mentalnya agar mampu menyelesaikan tantangan, menjalani hidup dengan
mencapai kebahagiaan serta kepuasan hidup.
Terdapat beberapa cara sederhana untuk dapat meningkat well-being
seperti mengekspresikan rasa syukur, menghitung nikmat yang didapatkan,
melakukan kebaikan, meningkatkan dan mengasah kualitas diri,
menggambarkan diri ideal dimasa depan dengan harapan yang optimis atau

14
bisa dengan bermeditasi. Seorang individu dapat menyadari serta menerima hal-
hal yang ada dalam dirinya, fokus untuk saat ini dan disini, serta
mengembangkan kualitas diri serta perlu kuga menaruh perhatian terhadap
faktor kesuksesan seperti aktifitas positif yang kita lakukan (jumlah, jenis dan
variasi aktifitas).
Hal lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan well-being, seperti
dalam studi Lyubormirsky (2005) yang menunjukkan individu yang melakukan
lima kebaikan dalam satu hari dalam setiap minggu akan mengalami
peningkatan well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yangg
hanya melakukan lima kebaikan dalam seminggu. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa semakin banyak aktifitas positif yang kita lakukan maka well-being akan
meningkat secara signifikan. Menurut Parks et.al, (2012) menambahkan ketika
seorang individu memilih sendiri aktifitas positif yang ingin dilakukan maka dia
tidak akan melihat aktiftas tersebut sebagai hal yang merepotkan. Aktiftas
tersebut akan dilakukan dengan senang hati dalam jangka waktu yang relatif
panjang.
C. Implementasi Love dan Well-Being
1. The International Journal of Indian Psychology Volume 2, Issue 1
“Relationship of Love, Affect and Wellbeing” oleh Dr. Thiyam Kiran Singh,
Aastha Dhingra
Setelah dianalisis, hubungan antara cinta dan pengaruh positif menjadi
signifikan secara positif. Artinya orang yang sedang jatuh cinta menunjukkan
perasaan yang lebih positif dalam kesehariannya. Mereka merasa aman dan
bahagia dalam hubungan mereka. Mereka merasa puas dan puas dengan
pasangannya dan memiliki perasaan positif tentang hidup mereka. Perasaan
cinta mengarah pada pengaruh yang sangat positif. Akibatnya mereka secara
tidak sadar menyebarkan energi positif di lingkungan mereka dengan tersenyum,
dengan menunjukkan kebaikan dan kasih sayang mereka kepada orang asing
dan orang-orang di sekitar mereka. Mereka berperilaku penuh kasih dan sayang
terhadap manusia lain, diri sendiri atau hewan. Individu yang sedang jatuh cinta
sering kali disibukkan dengan pikiran orang yang mereka cintai. Mereka
menaruh minat pada pasangannya dan mencoba menjadi lebih kreatif dalam
membuat mereka bahagia dan mempertahankan percikan dalam hubungan
mereka. Menurut Freeman (1978) dan Myers (1992) cinta adalah penyebab
utama terjadinya emosi positif. Dipercaya bahwa berbagai tindakan, seperti
ciuman, seks, kontak emosional dan persahabatan yang dipertukarkan dalam

15
hubungan cinta berkontribusi pada kebahagiaan (Glenn & Weaver, 1978; Ross,
Mirowsky, & Goldesteen, 1990).
Korelasi antara cinta dan pengaruh negatif berkorelasi negatif.
Karenanya ini berarti bahwa orang yang sedang jatuh cinta tidak mengalami
banyak pikiran atau perasaan negatif. Orang-orang mencoba mengabaikan
aspek negatif kehidupan dan mulai fokus pada sisi terang kehidupan. Mereka
tidak terlalu takut dan percaya diri untuk mencoba hal-hal baru. Mereka merasa
tidak terlalu bermusuhan dengan lingkungan mereka dan merasa percaya diri
dengan usaha mereka. Mereka tidak kesal tentang berbagai hal dan membantu
mereka bertekad terhadap aspek kehidupan lainnya. Menurut Traupman (1978)
tidak ada bukti perasaan atau emosi negatif seperti kesedihan, depresi dalam
hubungan romantis kecuali pasangan tidak lagi bersama.
Kesejahteraan psikologis, yang secara luas didefinisikan sebagai
kebahagiaan, kepuasan hidup, dan pertumbuhan diri merupakan salah satu
aspek terpenting dari fungsi psikologis yang efisien. Korelasi antara cinta dan
kesejahteraan adalah 0,58 yang signifikan pada tingkat 0,01. Ini berarti bahwa
orang yang sedang jatuh cinta mengalami kesejahteraan psikologis. Cinta dan
kesejahteraan saling terkait, jika orang sedang jatuh cinta, mereka bahagia dan
puas secara mental dan karenanya hal itu memengaruhi kesejahteraan
keseluruhan dan psikologis mereka. Ini memfasilitasi hubungan interpersonal
dan memiliki kepentingan psikologis sentral yang membawa pendekatan yang
sehat untuk kehidupan seseorang secara mental dan fisik.
Secara mendukung, Anderson (1977) mengungkapkan bahwa cinta
adalah prediktor penting dari kebahagiaan dan kepuasan. Diyakini juga bahwa
gairah harmonis seperti cinta memfasilitasi kesejahteraan psikologis yang
berkelanjutan. Orang yang merasakan cinta yang penuh gairah merasa puas
dalam hubungannya (Diener & Lucas, 2000). Menurut Sprecher dkk. (2013)
tingkat cinta, komitmen dan kepuasan meningkat dengan stabilitas hubungan di
masa depan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara
cinta, perasaan dan kesejahteraan. Hipotesis yang diprediksi ternyata benar.
Korelasi antara cinta dan pengaruh positif dan korelasi antara cinta dan
kesejahteraan adalah positif. Korelasi antara cinta dan pengaruh negatif adalah
negatif yang memberi tahu kita bahwa orang yang sedang jatuh cinta tidak
mengalami emosi negatif. Rata-rata dan deviasi standar pada cinta ternyata
82,45 dan 24,74. Rerata dan deviasi standar pada pengaruh positif adalah 37,06

16
dan 4,94. Rerata dan deviasi standar pada pengaruh negatif adalah 15,11 dan
2,12. Rata-rata dan deviasi standar pada kesejahteraan adalah 307.06 dan
15.55. Korelasi antara cinta dan pengaruh positif adalah 0,29 dan signifikan
pada tingkat 0,05. Korelasi antara cinta dan pengaruh negatif adalah -0,13 dan
tidak signifikan. Korelasi antara cinta dan kesejahteraan adalah 0,58 yang
signifikan pada tingkat 0,05.
Dapat disimpulkan bahwa cinta adalah pengalaman yang memiliki
pengaruh multidimensi pada hasil perilaku seseorang. Cinta bersifat positif dan
meningkatkan kepositifan dalam kehidupan setiap orang. Cinta menghasilkan
perasaan positif yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan secara
keseluruhan. Ini menghasilkan hubungan yang sehat yang menjadi dukungan
besar bagi kesejahteraan individu. Cinta membuat seseorang lebih kuat secara
mental dan emosional karena itu ia mengembangkan pandangan positif
terhadap semua situasi. Juga hubungan positif seperti hubungan romantis
membantu meningkatkan kualitas pengalaman emosional seseorang sehingga
mengurangi pengalaman pengalaman negatif seperti kemarahan, jijik,
kesedihan, dll.
2. Jurnal Psikologi Volume 46, Nomor 3, 2019: 241 – 260 “Psychological Well-
Being, Gender Ideology, dan Waktu sebagai Prediktor Keterlibatan Ayah”
oleh Cantyo Atindriyo Dannisworo, Fadhilah Amalia
Hipotesis awal penelitian ini mengacu pada pendapat Hawkins dan
Palkovitz (1999) yang menyatakan bahwa keterlibatan ayah tidak hanya dapat
dilihat berdasarkan waktu yang dihabiskan oleh ayah dengan anak saja.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, tampak bahwa keterlibatan ayah
tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja, namun dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Keterlibatan ayah tidak hanya dipengaruhi oleh waktu yang dihabiskan
oleh ayah dan anak, namun juga oleh gender ideology dan psychological well-
being. Meski begitu, hasil ini kembali menegaskan bahwa waktu yang
dihabiskan di antara ayah dan anak juga masih menjadi faktor yang penting dan
signifikan untuk memprediksi keterlibatan seorang ayah. Jika melihat setiap
variabelnya, psychological well-being menjadi variabel yang paling berperan
dalam memprediksi keterlibatan ayah, diikuti oleh waktu ayah-anak, kemudian
gender ideology.
Hasil penelitian ini secara umum mendukung penelitian-penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa psychological well-being (Caldwell et al.,
2011; Coates & Phares, 2014; Coates, 2012; Kotila & Dush, 2013) dapat

17
menjadi faktor penting yang dapat memengaruhi keterlibatan ayah. Berbeda
dengan penelitian penelitian sebelumnya yang mengukur psychological well-
being dengan melihat ada atau tidaknya gejala depresif pada seorang ayah,
pada penelitian ini, psychological wellbeing diukur secara langsung dengan alat
ukur psychological well-being yang dikembangkan oleh Ryff (1989). Sehingga,
diharapkan alat ukur ini dapat menggambarkan secara lebih akurat
kesejahteraan psikologis seseorang.
Keterlibatan ayah di dalam pengasuhan mulai berkembang sejak tahun
1960-an. Cukup banyak faktor yang dapat memengaruhi keterlibatan ayah ini,
tiga diantaranya yang diprediksi memiliki pengaruh cukup besar adalah
psychological well-being, gender ideology, dan waktu. Variabel waktu dalam
penelitian ini dioperasionalisasikan dengan (1) waktu yang dihabiskan oleh ayah
bersama dengan anak dan (2) waktu kerja ayah. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa psychological well-being, gender ideology, dan waktu yang
dihabiskan oleh ayah bersama dengan anak, menjadi prediktor yang signifikan
terhadap keterlibatan ayah. Sedangkan waktu kerja ayah, tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap keterlibatan ayah. Model ini menjelaskan
14,5% dari varians keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat membantu para ayah untuk fokus pada kesejahteraan
psikologisnya terlebih dahulu sebelum dapat terlibat dalam pengasuhan.
Hasil ini juga menunjukkan bahwa intervensi untuk meningkatkan
keterlibatan ayah dapat dilakukan dengan perspektif gender. Ayah diharapkan
dapat memahami kesetaraan dalam pembagian peran di keluarga, sebelum
akhirnya menjadi lebih terlibat. Selain itu, ayah juga dapat menyisihkan waktu
bersama dengan anak, seberapapun sibuknya ia bekerja. Di sisi lain, masih
banyak faktor lain yang dapat menjadi prediktor keterlibatan ayah, antara lain
adalah: faktor individu ayah, faktor ibu, faktor kontekstual, dan faktor anak.
Kesimpulan atau hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tiga dari empat
variabel yang diukur, yaitu psychological well-being, gender ideology, dan waktu
ayah bersama anak, dapat memprediksi keterlibatan seorang ayah dengan
anaknya sebesar 14,5%.

18
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Didalam hubungan percintaan, komponen intimacy dan commitment


merupakan dua unsur yang cenderung stabil. Itu artinya passion dinilai sebagai
komponen yang selalu naik turun. Semua komponen tersebut akan dipengaruhi oleh
kuantitas dan kualitas waktu yang dihabiskan oleh kedua individu dalam menjalani
sebuah hubungan. Keseimbangan antara tiga komponen cinta yang dialami
seseorang dalam hubungan akan cenderung bergeser dari satu tipe ke tipe lainnya.
Hal ini tergantung bagaimana interaksi yang kemudian merubah dominasi masing-
masing komponen tersebut. Dengan mengetahui adanya komponen-komponen ini,
setiap individu dapat mengetahui dan mengenali pola hubungan, sehingga
membantu untuk tahu kapan sebuah hubungan bermula dan akan berakhir serta
menemukan cara untuk mempertahankannya.

Well-being atau kesejahteraan merupakan gagasan yang membuat hidup


individu menjadi baik. Kesejahteraan ini memiliki makna yang lebih mendalam yang
memiliki dampak pada berbagai aspek dalam kehidupan. Kesejahteraan ini
merupakan kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan
orang lain, membuat keputusan sendiri, dapat mengatur dirinya sendiri hingga dapat
mencipatakan serta mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Seseorang yang sejahtera memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih
bermakna dan mengupayakan untuk berusaha meningkatkan serta mengembangkan
dirinya sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya bermanfaat untuk dirinya
dan orang lain. Melalui lima pilar positive emotion, engagement, relationships,
meaning, dan accomplishment seseorang akan mencapai kesejahteraannya.
Sehingga dengan lebih banyak melalukan kegiatan-kegiatan positif, kesejahteraan
(well-being) seseorang akan meningkat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Baron, R.A. dan Byrne, D. (2005). Psikologi sosial. Edisi Kesepuluh: Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.

Chaplin J.P. (2006). Kamus Lengkap Psikologi (terjemahan Kartono, K). Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.

Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The Psychology of Optimal Experience.1st


Edition. New York: Harper Perennial Modern Classics.

Dannisworo, C.A., & Amalia, F. (2019).Psychological Well-Being, Gender Ideology,


dan Waktu sebagai Prediktor Keterlibatan Ayah. Jurnal Psikologi, 46(3) DOI:
10.22146/jpsi.35192

Dariyo, Agoes. (2008). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo.


Lehmiller, J.J. (2014). The Psychology of Human Sexuality. United Kingdom:
Wiley Blackwell.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2001). Handbook of Self Determination Research. The
University of Rochester Press. National Institute of Education Library,
Singapore

Diener, E., Suh, E., Lucas, R., & Smith, H. (1999). Subjective Well-being: Three
Decades of Progress. Psychological Bulletin 125(2): 276 - 302. Diunduh dari
https://www.researchgate.net/publication/232577536_SubjectiveWellBeing_Thr
ee_Decades_of_Progress

Huppert, F. (2009). Psychological Well-being: Evidence Regarding its Causes and


Consequences. Applied Psychology: Health And Well-Being 1(2): 137–164.
DOI:10.1111/j.1758-0854.2009.01008.

Lyubomirsky, S., & Layous, K. (2013). How do simple positive activities increase
well-being? Current directions in psychological science, 22(1), 57-62.
DOI: https://doi.org/10.1177/0963721412469809

Santrock, J. W. (2002). Life-Span Development, Perkembangan Masa Hidup.


Jakarta: Erlangga
Sears, David O., Taylor, Shelley E., & Letitia Anne Peplau. (2009). Psikologi Sosial
Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Seligman, M. E. P. (2000). Positive Psychology. American Psychologist, 55(1), 5–14.


https://doi.org/10.1037//0003-066X.55.1.5.

20
Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness
and Well-Being. New York: Free Press.

Singh, T.K., & Dhingra, A. (2014). Relationship of Love, Affect and Wellbeing. The
International Journal of Indian Psychology, 2(1)

Steel, P., Schmidt, J., & Shultz, J. (2008). Refining the relationship between
personality and subjective well-being. Psychological Bulletin, 134(1): 138–161.
DOI: 10.1037/0033-2909.134.1.138.

Steger, M. F., Oishi, S., & Kashdan, T. B. (2009). Meaning in life across the life span:
Levels and correlates of meaning in life from emerging adulthood to older
adulthood. The Journal of Positive Psychology, 4(1), 43–52.
doi:10.1080/17439760802303127 

Sternberg, R.J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review, 2 (93),


119-135.

_____. (1988). The Triangle of Love: Intimacy, Passion, Commitment. New York:
Basic Books, Inc.

_____. (2009). The New Psychology of Love. New York: Vail-Ballou Press

Wisnuwardani, D & Mashoedi, S F. (2012). Hubungan Interpersonal. Jakarta:


Salemba Humanika

21

Anda mungkin juga menyukai