Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

TATALAKSANA BENDA ASING JARUM PENTUL PADA SALURAN


NAFAS

Oleh :
Andhika Septarini
S921702001

Pembimbing :
dr. Vicky Eko NH, Sp.T.H.T.K.L (K), MSc, FICS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 ILMU KESEHATAN


T.H.T.K.L
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan laporan kasus dengan judul :

TATALAKSANA BENDA ASING JARUM PENTUL PADA SALURAN NAFAS


Pada hari Selasa, 7 Januari 2020

Oleh

Andhika Septarini

Pembimbing :

dr. Vicky Eko NH, Sp.T.H.T.K.L (K), MSc.FICS

Evaluator

Dr. dr. Made Setiamika, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS

dr. Putu Wijaya K, Sp.T.H.T.K.L, (K).FICS

Penguji

dr. S. Hendradewi, Sp.T.H.T.K.L, (K).MSi.Med, FICS

dr. Hadi Sudrajad, Sp.T.H.T.K.L, (K).MSi.Med, FICS

dr. Novi Primadewi, Sp.T.H.T.K.L (K), M.Kes

dr. Dewi Pratiwi, Sp.T.H.T.K.L.MKes, FICS

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………. i
Halaman Pengesahan ………………………………………………….. ii
Daftar Isi ………………………………………………………………. iii
Daftar Gambar ………………………………………………………… iv
Daftar Tabel …………………………………………………………… v
Abstrak ………………………………………………………………… vi
Abstract ……………………………………………………………….. vi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………….………….. 1
A. Latar Belakang…..………………………………………………….. 1
B. Tujuan……………..………………………………………………….. 2
C. Manfaat……………….. ………………………………………….….. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ……………………..……………….. 3
A. Definisi…………………………………………..………………….. 3
B. Anatomi……………………………………………………………….. 3
C. Epidemiologi………….. ………………………………………….….. 7
D. Prevalensi ….……………………………………….………………… 7
E. Klasifikasi……………...……………………………………………… 8
F. Diagnosis .…………….…………….………………………………… 9
G. Tatalaksana…..…..…………………………………………………… 11
H. Komplikasi………. ……..…………………………………………… 18
BAB III LAPORAN KASUS ……………………………………….…... 19
BAB IV PEMBAHASAN …………………………………………...... 23
BAB V KESIMPULAN …………………………………………….... 25
Daftar Pustaka ……………………………………………………….. 26

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. ……………………………………………………….…… 3
Gambar 2. ………………………………………………...………… 4
Gambar 3. …………………..…….………….…………………....... 5
Gambar 4. …………………….....………………………………….. 5
Gambar 5.……………….…………………………...…….……….... 6
Gambar 6 …………………………….…………………………….. 11
Gambar 7 ………………………………….....……………………. 13
Gambar 8 …………………………….……………………………. 16
Gambar 9 ……………………………………………..…………... 17

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. ………………………………………………………… 13

v
ABSTRAK
Latar belakang : Aspirasi benda tajam di saluran nafas merupakan
permasalahan yang sering terjadi dan meningkat beberapa tahun terakhir
seiring dengan peningkatan penggunaan jarum pentul, terutama pada wanita
muda dan berpotensi menimbulkan komplikasi serius, seperti distress
pernapasan akut, atelektasis, perdarahan, robekan dan infeksi paru, bahkan
kematian. Diagnosis dan penatalaksanaan merupakan poin penting yang harus
dilakukan untuk mencegah mortalitas dan komplikasi. Tujuan : Untuk
mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus benda asing
di saluran nafas. Kasus : Anak perempuan usia 11 tahun dengan keluhan
nyeri tenggorok sejak 3 jam SMRS setelah tertelan jarum. Pada pemeriksaan
radiologi rontgen cervical AP/Lateral tampak opasitas densitas logam bentuk
linier yang terproyeksi di setinggi VC 4-6 dapat merupakan corpus alineum.
Dilakukan tindakan bronkoskopi rigid dan ekstraksi benda
asing..Kesimpulan: Benda asing di saluran nafas merupakan keadaan
emergensi yang memerlukan penanganan segera. Keterlambatan penanganan
dapat meningkatkan terjadinya komplikasi bahkan kematian. Pengambilan
benda asing dengan bronkoskopi merupakan tatalaksana yang tepat pada
kasus ini.
Kata kunci : benda asing, bronkoskopi

ABSTRACT
Background: Aspiration of sharp objects in the airways is a problem
that often occurs and has increased in recent years along with the increased
use of needles, especially in young women and has the potential to cause
serious complications, such as acute respiratory distress, atelectasis, bleeding,
tears and lung infections, even death. Diagnosis and management are
important to prevent mortality and complications. Purpose : To determine the
diagnosis and management of cases of foreign bodies in the respiratory tract.
Case: An 11-year-old girl with sore throat complaints since 3 hours of SMRS
after being swallowed by a needle. On radiological examination of AP /
Lateral cervical x-ray, it appears that the opacity of linear projected metal
density at a level as high as VC 4-6 can be corpus alineum. Rigid
bronchoscopy and extraction of foreign bodies are carried out. Conclusion:
Foreign bodies in the airways are emergencies that require immediate
treatment. Delay in handling can increase complications and even death.
Intake of a foreign body by bronchoscopy is appropriate management in this
case.
Keyword : foreign body, bronchoscop

vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Aspirasi benda asing pada saluran nafas ialah masuknya benda yang berasal
dari luar tubuh atau dari dalam tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada ke
saluran pernafasan. Benda asing pada saluran nafas merupakan keadaan emergensi
yang memerlukan penanganan segera (Jaiswal, 2014). Aspirasi benda asing di
saluran nafas sering menyebabkan gangguan pernafasan dan merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas karena dapat mengakibatkan gangguan nafas akut,
penyakit paru kronis dan bahkan kematian (Salih, 2016). Umumnya terjadi pada
anak usia antara 6 bulan sampai 4 tahun dengan puncaknya pada umur 1-2 tahun
karena kecenderungan memasukkan sesuatu ke mulut , pertumbuhan gigi molar
yang belum lengkap, kurangnya pengawasan dari orang tua dan lain-lain (Fitri,
2014).

Insidensi benda asing di saluran nafas sebanyak 0.66 per 100.000. Tiap
tahunnya, diperkirakan terdapat 17.000 kunjungan ke rumah sakit dengan benda
asing di saluran nafas (Salih, 2016). Diperkirakan aspirasi benda asing
bertanggung jawab terhadap 7% kematian mendadak pada anak dibawah usia 4
tahun. Di Amerika Serikat, pada tahun 2006 terdapat 4100 kasus (1.4 per 100.000)
kematian anak yang disebabkan aspirasi benda asing di jalan nafas (Cohen, 2009).

Saat ini aspirasi benda asing tajam berupa jarum pentul cukup sering dijumpai
pada wanita terutama perempuan usia 8-35 tahun yang sering meletakkan jarum
pentul diantara bibirnya sebelum memasang jilbabnya. Dari hasil penelitian
penyebab aspirasi benda asing terbanyak akibat tersedak dan batuk (82% dan 80%)
menyebabkan aspirasi benda asing aksidental (Rizk, 2014, Fitri et al, 2014). Benda
asing anorganik seperti jarum tidak bersifat higroskopis, sehingga reaksi jaringan
lebih sedikit dibandingkan dengan benda asing organik, tetapi benda asing tajam

1
lebih berbahaya karena berpotensi menimbulkan perforasi jalan nafas (Salih, 2016)
Benda asing dapat menimbulkan obstruksi parsial ataupun total (Jaiswal, 2014).
Diagnosis dan penatalaksanaan merupakan poin penting yang harus dilakukan
untuk mencegah mortalitas dan komplikasi pada kasus aspirasi benda asing,
permasalahan utama ditekankan pada diagnosis akurat dan tepat waktu dan
pengangkatan benda asing secara aman (Junizaf, 2010).

Keterlambatan diagnosis menyebabkan kelainan patologis paru kronik tanpa


didahului oleh gagal napas akut dan pembentukan granuloma intrabronkial.
Aspirasi benda asing juga dapat menyebabkan jejas paru kronik jika tidak
ditatalaksana dengan cepat (Jaiswal, 2014). Gejala meliputi batuk kronis,
hemoptisis, panas badan, sesak napas, nyeri dada, perasaan tercekik, maupun
wheezing. Keterlambatan diagnosis menyebabkan kelainan patologis paru kronik
tanpa didahului oleh gagal napas akut dan pembentukan granuloma intrabronkial.
Aspirasi benda asing juga dapat menyebabkan jejas paru kronik jika tidak
ditatalaksana dengan cepat (Ilan, 2012).

B. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus
benda asing di saluran nafas

C. Manfaat Penulisan
Untuk menambah pengetahuan kita tentang penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan pasien dengan benda asing saluran nafas sehingga dapat
dilakukan penatalaksaan yang tepat dan efektif.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Aspirasi benda asing saluran nafas ialah masuknya benda yang berasal dari
luar tubuh atau dari dalam tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada ke saluran
pernafasan. (Jaiswal, 2014).

B. Anatomi Saluran Nafas


Respirasi merupakan suatu proses pengambilan oksigen dan pengeluaran
karbon dioksida di dalam tubuh. Sistem respiasi terdiri dari berbagai organ yang
berfungsi memasukkan udara yang mengandung oksigen dan mengeluarkan udara
yang mengandung karbon dioksida dan uap air untuk memenuhi kebutuhan
oksigen yang diperlukan dalam metabolisme sel (Ganong, 2015; Snell, 2019).

Gambar 1. Sistem respirasi manusia.

3
a. Cavum nasi
Udara dari lingkungan akan masuk melalui cavum nasi. Cavum nasi
dilapisi oleh mukosa dengan kelenjar sebasea dan kelenjar sudorifera.
Kelenjar sebasea berfungsi untuk menangkap benda asing yang masuk lewat
saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang
berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga
terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi
menghangatkan udara yang masuk. Bagian posterior cavum nasi terhubung
dengan nasofaring melalui choanae (Snell, 2019; Junqueira, 2017).

Gambar 2. Anatomi cavum nasi.

b. Faring
Faring merupakan organ fibromuskular berbentuk tabung yang terdiri dari
tiga bagian, yaitu nasofaring yang terletak pada bagian posterior cavum nasi,
orofaring pada bagian posterior cavum oris, dan laringofaring yang terhubung
dengang laring dibagian inferior. Pada cavum nasi, terdapat kelenjar limfoid
yaitu adenoid, tonsila tubarius, tonsila palatina, dan tonsila lingualis.

4
Nasofaring terhubung dengan telinga tengah melalui tuba eustachius. Faring
berfungsi sebagai saluran bagi udara dan sebagai jalan makan. Faring juga
menyediakan ruang resonansi untuk suara percakapan (Snell, 2019).

Gambar 3. Anatomi faring.

c. Laring
Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh kartilago. Laring
berada di bagian inferior laringofaring dan di bagian superior trakea. Pada
laring, terdapat plica vocalis yang berfungsi untuk menghasilkan suara.
Dinding laring dilapisi oleh membran mukosa yang terdiri dari epitel
skuamosa berlapis yang cukup tebal sehingga kuat untuk menahan getaran-
getaran suara pada laring. Fungsi utama laring adalah menghasilkan suara dan
juga sebagai tempat keluar masuknya udara (Snell, 2019; Junqueira, 2017).

5
Gambar 4. Anatomi laring.
d. Perbedaan anatomi saluran nafas anak dan dewasa
Terdapat beberapa perbedaan anatomi saluran nafas anak dan dewasa.
Nares pada anak biasanya lebih sempit dibandingkan dewasa sehingga anak,
terutama bayi, hanya bernapas melalui hidung. Selain itu, proporsi lidah pada
anak juga lebih besar jika dibandingkan dengan dewasa yang dapat menyumbat
jalan nafas. Hal ini dapat menyebabkan intubasi lebih sulit dilakukan pada
anak (Snell, 2017). Pada bayi, faktor yang paling berperan dalam masuknya
corpus alienum ke jalan nafas adalah belum tumbuhnya gigi geligi bagian
posterior, yang menyebabkan makanan yang masuk belum terlumatkan dengan
baik serta kemampuan proteksi jalan nafas dan mekanisme yang belum
matang. Jalan nafas pada dewasa lebih lebar dan paten, sehingga ekstraksi
benda asing dari jalan nafas lebih mudah dilakukan. Pada pasien dewasa,
bronkus kanan lebih lebar dan lebih vertikal sehingga aliran udara lebih tinggi
pada bronkus kanan (Yang et al, 2016).
Hal ini menyebabkan benda asing lebih sering jatuh pada bronkus kanan.
Namun, pada pasien anak persentase benda asing yang jatuh ke bronkus kanan
tidak berbeda secara statistik bila dibandingkan dengan bronkus kiri karena
derajat kemiringan bronkus kiri dan kanan yang relatif sama (Passali et al,

6
2015 Sink et al., 2016; Yang, et al., 2016).

Gambar 5. Perbedaan anatomi bronkus pada anak dan dewasa


C. Epidemiologi
Peristiwa tertelannya benda asing sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai
6 tahun, dengan 80% kasus terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun. Kasus ini
sering disebabkan karena anak-anak sering memasukkan benda ke dalam mulut,
serta bermain atau menangis pada waktu makan. Tertelannya benda asing kedalam
saluran nafas lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan dengan rasio 1.4:1.0 hingga 1.7:1.0. Jenis benda asing yang tertelan
sangat berhubungan dengan jenis makanan yang sering dimakan oleh anak. Di AS
dan Eropa, sebagian besar benda asing yang tertelan adalah benda organik,
terutama kacang. Sedangkan di Asia, tulang merupakan benda asing terbanyak
yang masuk ke saluran nafas (Salih, 2016).

D. Prevalensi

7
Berbagai penelitian kohort nasional di AS menunjukkan insidensi benda asing
di saluran nafas sebanyak 0.66 per 100.000. Tiap tahunnya, diperkirakan terdapat
17.000 kunjungan ke rumah sakit dengan benda asing di saluran nafas (Salih,
2016). Sebagian besar kasus terjadi pada anak. Prevalensi pada orang dewasa
hanya sekitar 25% (Hewlett, et al., 2017).

E. Klasifikasi Corpus Alienum pada Saluran Nafas


Benda asing (corpus alienum) adalah benda yang berasal dari luar tubuh atau
dari dalam tubuh yang tidak ada dalam keadaan normal. Benda asing di jalan napas
dapat terdapat mulai dari hidung hingga traktus trakeo-bronkial (Seghal et al.,
2015; Passali et al., 2015).
a. Corpus alienum endogen dan eksogen
Benda asing terbagi menjadi benda asing eksogen dan endogen. Benda
asing eksogen adalah benda asing yang berasal dari luar tubuh, dan sebaliknya
dengan benda asing endogen (Seghal et al., 2015).
Benda asing eksogen biasanya masuk dari melalui hidung atau mulut.
Benda asing eksogen dapat berbentuk padat, cair, atau gas. Benda asing
eksogen padat terdiri dari organik, seperti kacang-kacangan, tulang, dan zat
anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu, dan lain-lain. Benda asing eksogen
cair dibagi menjadi benda yang bersifat iritatif, seperti zat kimia, dan non-
iritatif, yaitu cairan dengan pH 7,4 (Seghal et al., 2015).
Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan
darah, nanah, krusta, membran difteri, bronkolit, cairan amnion, mekonium
yang masuk ke dalam saluran pernapasan (Seghal et al., 2015; Passali et al.,
2015).
b. Klasifikasi corpus alienum berdasarkan lokasi
Lokasi benda asing tidak hanya tergantung berdasarkan bentuk dan
ukuran, tetapi juga berdasarkan posisi saat terjadinya aspirasi (Passali et al.,
2015). Benda asing pada saluran nafas dapat tersangkut di tiga tempat, yaitu

8
laring, trakea, dan bronkus, dimana 80-90% akan tersangkut pada bronkus
(Yang, et al., 2016).
Benda asing pada saluran nafas lebih banyak ditemukan pada bronkus
kanan daripada bronkus kiri. Hal ini disebabkan oleh bronkus kanan yang
memiliki lumen lebih besar dan posisi nya yang lebih landai (Snell, 2019).
Menurut penelitian yang dilakukan Yang, et al (2016), 223 dari kasus
aspirasi benda asing, 187 kasus berada pada bronkus dan 36 kasus pada trakea
bagian bawah. Pada kasus benda asing pada bronkus, ditemukan 53% terdapat
pada bronkus kanan dan 47% pada bronkus kiri.

F. Diagnosis
Diagnosis klinis benda asing di saluran napas ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Anamnesis yang cermat pelu
ditegakkan tentang adanya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba timbul rasa tercekik
(chocking), waktu terjadinya, dan jenis benda yang teraspirasi. Tanda dan gejala
lainnya akan dijelaskan pada bab berikutnya (Warren et al., 2014). Pemeriksaan
fisik dengan auskultasi dan palpasi perlu dilakukan. Serta pemeriksaan penunjang
radiologik dan endoskopi dapat dilakukan atas indikasi diagnostik dan terapi
(Mallick, 2014; Passali et al., 2015).
a. Anamnesis
Anamnesis merupakan diagnosis yang penting dalam kasus benda asing
pada traktus trakeobronkial. Anamnesis dapat membuktikan 70-80% kasus.
Riwayat tersedak perlu ditanyakan untuk menegakkan adanya aspirasi benda
asing. Gejala seperti batuk, rasa tercekik, mengi, dan stridor juga perlu ditanya
dalam melakukan anamnesis (Mallick, 2014, Sink, et al., 2016; Salih, 2016;
Warren et al., 2014). Pada benda asing laring, bila terjadi sumbatan total akan
mengakibatkan keadaan gawat darurat karena dapat menyebabkan sumbatan
jalan nafas. Pasien akan mengalami kondisi tidak susah sampai tidak dapat
bernafas dan sianosis. Jika sumbatan terjadi tidak total, dapat menyebabkan

9
suara parau, batuk disertai serak (croupy cough), odinofagia, mengi, sianosis,
hemoptysis dan dispneu dengan berbagai derajat. Benda asing di trakea dapat
menyebabkan penderita mengalami batuk secara tiba-tiba dan berulang, rasa
terceklik di leher (chocking), rasa tersumbat di tenggorokan (gagging). Pada
benda asing di bronkus biasanya pasien sudah dalam keadaan asimptomatik
atau didapatkan gejala berupa sputum hemoragik, emfisema atau atelectasis,
febris oleh karena toksemia (Bailey, 2014).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada kasus benda asing di saluran nafas dapat
dilakukan dengan metode look, listen, dan feel. Pemeriksa perlu
mememeriksa tingkat kesadaran, tanda distress pernafasan, serta warna kulit
abnormal. Selain itu, gerakan dinding dada dan dinding perut, adanya sisi
yang tertinggal, serta adanya gerakan nafas paradoksal juga penting untuk
diperhatikan (Warren et al., 2014). Secara klinis, adanya benda asing dapat
dikenali dengan tanda hambatan jalan napas . Suara mendengkur (snoring)
disebabkan obstruksi lidah, suara berkumur (gargling) menunjukkan adanya
sumbatan berupa cairan di faring, dan stridor karena odem di pita suara atau
laring. Pada benda asing trakea dapat ditemukan tanda patognomonik berupa
batuk dengan mulut terbuka (audible slap), teraba adanya getaran pada trakea
pars cervical (palpatory thud), serta nafas berbunyi saat inspirasi dan
ekspirasi dengan mulut. Pasien juga dapat mengeluarkan sputum hemoragik,
tanda emfisema atau atelektasis, serta demam karena adanya toksemia.
Pemeriksa juga perlu merasakan dan menilai gerak udara yang keluar dari
hidung pasien (Mallick, 2014; Passali, 2015).
c. Pemeriksaan penunjang
Pada setiap pasien yang diduga mengalami aspirasi benda asing, dapat
dilakukan pemeriksaan radiologik untuk membantu menegakkan diagnosis
(Mallick, 2014). Foto toraks dan cervical merupakan modalitas utama untuk
diagnosis benda asing padat atau logam di saluran trakeobronkial. Selain itu,

10
foto toraks juga berguna untuk menentukan lokasi benda asing dan menilai
apakah telah terjadi komplikasi respirasi. Benda asing dengan opasitas
radioopak dapat terlihat pada foto rontgen segera setelah kejadian, sedangkan
benda dengan opasitas radiolusen hanya terlihat sebagai komplikasi yang
terjadi, seperti emfisema atau atelektasis setelah 24 jam pertama.
Pemeriksaan rontgen pada benda asing radiolusen dalam waktu kurang dari
24 jam setelah kejadian sering menunjukkan gambaran radiologis yang tidak
berarti (Mallick, 2014; Passali et al., 2015). Pada benda asing dengan
densitas rendah, dapat dilakukan foto teknik jaringan lunak. Pemeriksaan
radiologik tidak hanya menunjukkan lokasi benda asing, namun dapat juga
menunjukkan jumlah dan ukuran benda asing. Selain itu, komplikasi yang
terjadi juga dapat terlihat (Mallick, 2014).
Bronkoskopi harus dilakukan pada pasien aspirasi benda asing pada
saluran nafas jika benda asing tidak dapat didiagnosis melalui pemeriksaan
radiologik. Pemeriksaan bronkoskopi perlu dilakukan dengan cepat, karena
semakin cepat pemeriksaan dilakukan semakin sedikit komplikasi yang akan
terjadi. Selain sebagai sarana diagnosis, pemeriksaan bronkoskopi juga
dilakukan sebagai terapi pada pasien dengan kasus benda asing pada saluran
nafas (Alraiyes dan Machuzak, 2014; Warren et al., 2014).

11
Gambar 6. Pemeriksaan radiologis pada kasus benda asing pada
bronkus : terlihat adanya benda asing radioopak pada saluran nafas

G. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan benda asing di saluran nafas adalah mengeluarkan
benda asing dengan segera dalam kondisi maksimal dan trauma yang minimal.
Penentuan cara pengambilan benda asing dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
usia penderita, keadaan umum, lokasi, jenis benda asing dan lamanya benda asing
berada di saluran nafas. (Warren et al., 2014).
Benda asing di bronkus dapat dikeluarkan dengan menggunakan
bronkoskop kaku maupun dengan bronkoskop serat optik. Angka keberhasilan
pengangkatan benda asing di saluran nafas mencapai 91,8% (Seghal et al., 2015;
Janahi, et al., 2017)
a. Tatalaksana medikamentosa
Pemberian steroid sangat bermanfaat dalam mengurangi edema sebelum
tindakan bronkoskopi. Steroid yang diberikan biasanya deksametason atau
metil prednisolon suksinat secara intravena. Antibiotik juga penting diberikan
untuk mengatasi maupun mencegah infeksi yang mungkin terjadi akibat
aspirasi benda asing. Antibiotik yang digunakan dapat berupa antibiotik
spektrum luas. Pemberian antibiotic dan anti inflamasi juga diperlukan setelah
di lakukan prosedur ekstraksi benda asing dan bronkoskopi (Yang, et al., 2016;
Hewlett, et al., 2017).

b. Tatalaksana non-medikamentosa
Tatalaksana non-medikamentosa awal dilakukan dengan pemberian
oksigen, pemantauan jantung, serta pemasangan pulse oksimetri karena adanya

12
resiko gangguan konduksi udara. Bronkoskop kaku dapat dipakai pada bayi
dan anak untuk mempertahankan patensi nafas dan pemberian oksigen karena
diameter jalan nafasnya relatif kecil (Alraiyes dan Machuzak, 2014; Marshall
dan Mark, 2009).
Sebelum tindakan bronkoskopi dilakukan, sebaiknya diusahakan
pembuatan duplikasi benda asing tersebut. Kemudian dicoba dan dipelajari
cara menjepit dan menarik benda asing dengan cunam yang sesuai. Pemilihan
bronkoskop yang sesuai dengan diameter lumen, berpedoman pada usia
penderita disertai persiapan bronkoskop dengan ukuran yang lebih kecil akan
dapat meningkatkan angka keberhasilan (Alraiyes dan Machuzak, 2014; Yang,
et al., 2016; Marshall dan Mark, 2009). Sesaat menjelang dilakukan
bronkoskopi dibuat foto toraks untuk menilai kembali letak benda asing.
Komunikasi antara operator dengan ahli anestesi untuk menentukan rencana
tindakan juga sangat penting (Petrella et al., 2014; Hewlett, et al., 2017)
Bronkoskop kaku berbentuk tabung logam dengan sumber cahaya di
bagian proksimal. Ukuran diameter serta panjang tabung bermacam-macam
disesuaikan dengan penampang bronkus yang akan diperiksa (Petrella et al.,
2014; Alraiyes dan Machuzak, 2014).
Tabel 1 . Ukuran Bronkoskop Sesuai Usia (Boies, 2013)
Usia Bronkoskop
Premature 3,0 mm x 20 cm
Bayi Baru Lahir 3,5 mm x 25 cm
3-6 bulan 3,5 mm x 30 cm
1 tahun 4,0 mm x 30 cm
2 tahun 4,0 mm x 30 cm
4 tahun 5,0 mm x 35 cm
5-7 tahun 5,0 mm x 35 cm
8-12 tahun 5,0 mm x 35 cm
8-12 tahun 6,0 mm x 40 cm

13
Gambar 7. Bronkoskopi fleksibel dan kaku
Bronkoskop kaku dipilih pada kondisi (Petrella et al., 2014) :
 Kasus-kasus pediatrik dimana rima glotis dan trakea masih kecil.
 Perdarahan paru yang masif
 Kemungkin diperlukan pemasangan tampon.
 Drainase abses paru yang pecah.
 Sumbatan bronkus dengan sekret liat atau cukup banyak.
 Pengambilan benda asing jika terletak di trakea atau bronkus
 Untuk fotografi sepanjang masih bisa dilihat dengan teleskop.
 Trakea yang sempit.
Keuntungan Bronkoskop kaku (Petrella et al., 2014; Lore et al., 2005) :
 Pernafasan lebih terkontrol
 Kualitas cahaya baik
 Lumen lebih besar sehingga memudahkan untuk melihat jelas
Sebaiknya bronkoskop kaku tidak digunakan pada kasus dengan
aneurisma aorta, kecenderungan perdarahan, keadaan fisik yang lemah setelah
hemoptisis berat dan gangguan fungsi jantung paru yang berat (Petrella et al.,
2014).
Bronkoskopi dengan menggunakan bronkoskop kaku dilakukan dalam
anestesi umum. Ada dua variasi teknik intubasi bronkoskop tergantung pada
keterampilan ahli bronkoskopi, anatomi dan keadaan klinis pasien yaitu teknik
intubasi tanpa laringoskop dan teknik intubasi dengan laringoskop (Lore et al.,

14
2005; Marshall dan Mark, 2009). Cara yang dipilih harus didiskusikan dengan
ahli anastesi, termasuk risiko anestesi (Petrella et al., 2014; Alraiyes dan
Machuzak, 2014). Posisi kepala penderita tidur terlentang dengan posisi kedua
lengan terletak datar sepanjang sisi badan. Kepala dan mata ditutup dengan
kain. Seorang asisten duduk disebelah kiri memegang dan mengatur posisi
kepala dengan bahu diganjal. Saat memasukkan laringoskop kepala fleksi
untuk dapat melihat epiglotis. Setelah tampak epiglotis, dasar lidah diangkat
dengan spatula laringoskop, sehingga epiglotis sedikit terangkat. Bronkoskop
dipegang dengan tangan kanan dan ujung bronkoskop dimasukan sampai
mendekati rima glotis, asisten memposisikan kepala ekstensi sedikit demi
sedikit sesuai dengan posisi bronkoskop. Setelah terlihat pita suara bronkoskop
dimasukkan dan pandangan beralih dari laringoskop ke bronkoskop.
Bronkoskop dimasukan ke laring bersamaan dengan mengeluarkan
laringoskop. Ujung bronkoskop harus berjalan di antara kedua pita suara
dengan memutar bronkoskop 90o searah jarum jam. Setelah memasuki trakea
bronkoskop diputar kembali 90o , sehingga ujung bronkoskop kembali
mengarah ke anterior, anestesi dan oksigen di sambung pada bronkoskop
(Holinger Ventilation Bronchoscope). Trakea dievaluasi dan sekret dihisap,
kamera dapat dipasang jika ada, sehingga gambaran endoskopi dapat dilihat
dengan monitor. Lumen bronkoskop di tutup dengan penutup kaca.
Bronskoskop diteruskan ke distal sampai karina. Untuk memasuki bronkus
kanan kepala pasien diputar sedikit ke kiri, bronkoskop diteruskan dengan
gerakan membelok melalui karina. Untuk memasuki bronkus kiri kepala pasien
diputar ke arah bahu kanan. Pada saat benda asing terlihat sekret yang ada
disekitarnya dihisap dan dilakukan pengangkatan benda asing dengan cunam
yang sesuai. Mengeluarkan bronkoskop selalu dilakukan dengan melihat lumen
dengan hati-hati dan gerakan bronkoskop mengikuti gerakan saat masuk,
bronkoskop berhenti beberapa millimeter di atas karina menunggu pernafasan
spontan, kemudian ekstubasi dengan sekali gerakan (one single movement).

15
Sekret tenggorok dihisap secara hati-hati dengan bantuan laringoskop,
mandibula diangkat untuk membantu pernafasan spontan, sekret di hidung
dihisap dan menunggu pasien batuk (Petrella et al., 2014; Lore et al., 2005).
Sedangkan pada bronkoskopi tanpa laringoskop kepala pasien di posisikan
fleksi, bronkoskop dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil, di
masukkan ke rongga mulut pada garis tengah sampai terlihat epiglottis.
Bronkoskop di masukkan melewati bawah epiglottis hingga Nampak rima
glottis, posisi bronkoskop di putar 90° ke kanan, kemudia di dorong masuk
melewati pita suara. Setelah bronkoskop masuk ke dalam lumen trakea, posisi
bronkoskop di putar ke kiri (kembali ke posisi semula). Kepala di posisikan
lebih ekstensi saat bronkoskop melewati trakea. Selanjutnya di lakukan
prosedur seperti pada teknik bronkoskopi dengan laringoskop (Warren, 2014,
Petrella et al, 2014). Jika menggunakan teleskop, ujung distal teleskop harus
berada di dalam lumen bronkoskop, lebih kurang 1,5 cm dari ujung distal
bronkoskop. Bila sekret menghambat pandangan harus dihisap, ujung distal
teleskop diberi zat anti embun (anti fog). Bila bronkoskop tidak dapat masuk
dengan mulus, jangan menggunakan tenaga, lebih baik mengganti bronkoskop
dengan ukuran yang lebih kecil. Penyangga gigi (bite block) dapat diletakkan
antara gigi dan bronkoskop, sehingga tangan operator dapat lebih bebas
(Warren, 2014).
Pada beberapa kasus namun sangat jarang, benda asing tidak dapat
dikeluarkan dengan bronkoskopi, dalam hal ini dilakukan torakotomi. Pada
kasus lain mengharuskan bronkotomi dan reseksi parenkim paru yang terdapat
benda asing (Rizk et al 2014). Faktor penyulit pada petalaksanaan benda asing
di bronkus antara lain faktor penderita, lamanya benda asing teraspirasi, lokasi
benda asing, kelengkapan alat, kemampuan tenaga medis dan paramedis dan
anestesi (Rizk et al, 2014, Jaiswal et al, 2014).

16
Gambar 8. Posisi kepala saat prosedur bronkoskopi

Gambar 9. Teknik bronkoskopi tanpa laringoskop

17
Gambar 10. Teknik bronkoskopi tanpa laringoskop

Gambar 11. Teknik bronkoskopi tanpa laringoskop

18
Gambar 12. Insersi bronkoskopi kaku

H. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat aspirasi benda asing di jalan napas dapat
bersifat akut dan kronik. Komplikasi akut yang dapat terjadi antara lain: sesak
napas, pneumothroaks dan hipoksia sampai henti napas. Sedangkan komplikasi
kronik yang dapat terjadi antara lain: pneumonia yang berlanjut dengan
pembentukan abses paru dan kavitas, bronkiektasis, fistel bronkopleura,
pembentukan jaringan granulasi atau polip akibat inflamasi pada mukosa,
pneumomediastinum dan pneumotoraks. Sedangkan bila terjadi keterlambatan
diagnosis lebih dari tiga hari dapat mengakibatkan timbulnya emfisema
obstruktif, pergeseran mediastinum, pneumonia, dan atelektasis (Jahshan, et al.,
2019; Seghal et al., 2015).

19
BAB III

LAPORAN KASUS

Dilaporkan seorang pasien anak perempuan atas nama An. A, usia 11 tahun
dengan nomer rekam medik 014879xx, alamat Tirisan Kulon, provinsi Jawa Tengah.
Pada tanggal 23 Desember 2019 datang berobat ke IGD RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dengan nyeri tenggorok sejak 3 jam SMRS setelah pasien tertelan jarum
secara tidak sengaja saat pasien hendak memakai kerudung. Pasien juga sempat
mengeluhkan batuk-batuk sesaat setelah tertelan jarum, tetapi kemudian tidak batuk
lagi. Rasa mengganjal di tenggorokan juga dirasakan pasien. Sesak nafas tidak ada,
rasa tercekik tidak ada, keluar liur banyak tidak ada. Suara serak dan grok-grok tidak
ada,

Pada riwayat penyakit dahulu alergi obat disangkal, riwayat sesak nafas
sebelumya disangkal, riwayat demam dan kejang disangkal, Riwayat sosial ekonomi
pasien sehari-hari sebagai seorang pelajar SMP.
Pada pemeriksaan secara umum didapatkan keadaan umum tampak sakit
ringan (VAS 2-3), kesadaran komposmentis. Sedangkan pada pemeriksaan vital sign
didapatkan tekanan darah 110/69 mmHg, nadi 80x/menit, pernafasan 18x/menit,
suhu: 36,5°C , SpO2 99%, berat badan 45kg.
Pada pemeriksaan status THT, didapatkan pada pemeriksaan telinga dalam
batas normal Pemeriksaan hidung dalam batas normal. Tenggorok : uvula ditengah,
tonsil T1-T1 dengan kripte tidak melebar serta tidak hiperemis, dinding faring
posterior tenang. Test minum (+) tanpa keluhan Tanda sumbatan jalan nafas atas
stridor inspirasi tidak ada, retraksi suprasternal, supraklavikula, intercotal dan
epigastrium tidak ada. Palpatory thud dan asthmatoid wheze tidak ada. Pemeriksaan
dinding dada dari inspeksi didapatkan pergerakan dinding dada simetris, suara nafas
vesikuler kanan=kiri, suara nafas tambahan ronkhi dan wheezing tidak ada.

20
Pada pasien dilakukan pemeriksaan dilakukan pemeriksaan rontgen cervical
AP/Lateral dan didapatkan hasil : tampak opasitas densitas logam bentuk linier yang
terproyeksi di setinggi VC 4-6 dapat merupakan corpus alineum.

Gambar 13. Rontgen Cervical AP/Lateral


Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hemoglobin : 14,2 gr/dl,
Hematokrit : 42 % Leukosit 18,2 ribu /µl, : 365 ribu/µl, Eritrosit : 5,02 juta/µl, GDS
: 134 mg/dl, PT : 11,8 detik, APTT : 26,2 detik, INR : 0.890
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosis
dengan benda asing di trakea. Pasien kemudian dilakukan untuk operasi bronkoskopi
dan ekstraksi benda asing cito hari Kamis, 12 Desember 2019 di IBS. Saat dilakukan
bronkoskopi didapatkan benda asing berupa jarum pentul terdapat di trakea,
kemudian di lakukan ekstraksi dan benda asing berhasil dikeluarkan. Evaluasi post
ekstraksi tidak didapatkan perdarahan dan laserasi. Post operasi pasien dirawat
dibangsal dan diberikan terapi injeksi methylprednisolone 62,5mg/12 jam, injeksi
amoxiciline 1gr/8 jam.

21
Gambar 14. Benda asing jarum pentul

Evaluasi hari pertama nyeri tenggorok tidak ada, tenggorokan mengganjal


tidak ada, sesak nafas tidak ada, suara serak tidak ada. Mual, muntah dan demam
tidak ada. Pasien diperbolehkan pulang dan kontrol ke poli THT-KL 5 hari setelah
pulang dari rumah sakit.
Pasien datang kontrol ke Poli THT-KL tanggal 27 Desember 2019 . Keluhan
sesak nafas tidak ada, nyeri pada tenggorok tidak ada. Pasien di lakukan endoskopi
evaluasi didapatkan hasil tidak didapatkan odem, hiperemis tidak ada pita suara
pergerakan simetris.

Gambar 15 Endoskopi Evaluasi Laring

22
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah dilaporkan suatu kasus Aspirasi benda asing jarum pentul di
trakea pada seorang anak perempuan umur 11 tahun. Pada kasus ini sesuai
dengan laporan bahwa perempuan usia pertengahan berumur 8-35 tahun yang
sering meletakkan jarum pentul diantara bibirnya sebelum memasang
jilbabnya. Dari hasil penelitian penyebab aspirasi benda asing terbanyak
akibat tersedak dan batuk (82% dan 80%) (Fitri et al, 2014, Rizk et al, 2014).
Pasien datang berobat ke IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan nyeri
tenggorok dan sempat mengeluhkan batuk-batuk sesaat setelah tertelan
jarum, tetapi kemudian tidak batuk lagi. Rasa mengganjal di tenggorokan juga
dirasakan pasien. Benda asing di trakea dapat menyebabkan penderita
mengalami batuk secara tiba-tiba dan berulang, rasa terceklik di leher
(chocking), rasa tersumbat di tenggorokan (gagging) (Bailey, 2014).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan dilakukan pemeriksaan rontgen
cervical AP/Lateral dan didapatkan hasil : tampak opasitas densitas logam
bentuk linier yang terproyeksi di setinggi VC 4-6 dapat merupakan corpus
alineum. Benda asing jarum pentul mudah di diagnosis dengan menggunakan
rontgen foto cervical dan thorak karena benda asing berasal dari logam
sehingga gambaran radiologi berupa gambaran radioopaq. Lokasi
tersangkutnya benda asing juga dipengaruhi posisi saat terjadinya aspirasi.
Rontgen foto thorak ulang 1 jam sebelum tindakan bertujuan untuk
mengetahui perubahan letak benda asing. Benda asing (jarum pentul) masih
mungkin untuk berpindah letak karena ukurannya kecil serta permukaan yang
licin (Mallick, 2014; Passali et al., 2015).
Pada pasien dilakukan tindakan bronkoskopi dengan bronkoskop rigid
dan ekstraksi corpal. Ketika telah tampak benda asing jarum pentul dengan
rontgen foto thorak harus segera dikeluarkan dengan bronkoskopi kaku
maupun fleksibel. Pada penggunaan bronkoskop kaku, ujung runcing jarum

23
pentul harus diambil dan diletakkan ke dalam bronkoskop karena ujung
runcing jarum pentul dapat membahayakan mukosa bronkus atau dinding
bronkus. Alasan mengapa digunakan bronkoskop kaku pada anak karena
bronkoskop kaku dapat di lakukan hisapan (suction) jalan nafas yang lebih
efisien untuk kasus-kasus perdarahan masif dan tidak menghabiskan waktu
(Petrella et al., 2014; Lore et al., 2005).
Jenis benda asing anorganik pada kasus ini dapat menyebabkan
perforasi jalan nafas. Torakotomi dan bronkotomi dibutuhkan bila terjadi
kegagalan ekstraksi bronkoskopi dan lokasi benda asing di daerah distal. Kasus
benda asing yang pernah di laporkan, antara lain jarum, peniti, tutup pena,
mainan anak-anak Kesulitan saat ekstraksi pada pasien ini disebabkan edema
pada mukosa bronkus karena berulang kali keluar masuknya bronkoskop kaku
sehingga trauma lebih sering terjadi. Berat ringannya komplikasi dipengaruhi
oleh peradangan yang sudah ada sebelumnya, ukuran bronkoskop yang
digunakan dan trauma yang terjadi. (Rizk et al, 2014, Jaiswal et al, 2014).
Kesulitan yang ditemukan pada kasus ini adalah dimensi benda asing yang
terlalu kecil, sehingga cunam yang tersedia tidak dapat menjepit benda asing.
Benda asing dapat di keluarkan dengan menggunakan suction dimana ujung
runcing jarum di masukkan ke dalam ujung kanul suction lalu dilakukan
penyedotan dengan mesin suction. Benda asing dapat di keluarkan dengan
aman tanpa terjadi laserasi pada dinding trakea.
Komplikasi akut yang dapat terjadi antara lain: sesak napas,
pneumothroaks dan hipoksia sampai henti napas. Sedangkan komplikasi kronik
yang dapat terjadi antara lain: pneumonia yang berlanjut dengan pembentukan
abses paru dan kavitas, bronkiektasis, fistel bronkopleura, pembentukan
jaringan granulasi atau polip akibat inflamasi pada mukosa,
pneumomediastinum dan pneumotoraks. Sedangkan bila terjadi keterlambatan
diagnosis lebih dari tiga hari dapat mengakibatkan timbulnya emfisema
obstruktif, pergeseran mediastinum, pneumonia, dan atelektasis (Jahshan, et

24
al., 2019; Seghal et al., 2015). Pada pasien saat ini tidak didapatkan komplikasi
baik akut maupun kronis, serta telah dilakukan endoskopi evaluasi pada pasien
tidak didapatkan jaringan parut dan edema pada laring.

25
BAB V
KESIMPULAN

Benda asing di saluran nafas merupakan keadaan emergensi yang


memerlukan penanganan segera. Keterlambatan penanganan dapat
meningkatkan terjadinya komplikasi bahkan kematian. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang perlu dilakukan dengan cepat
dan tepat sehingga tatalaksana dapat segera dilakukan. Tatalaksana kasus
benda asing di saluran nafas yaitu dilakukan pengambilan benda asing dengan
bronkoskopi, ditambah tatalaksana medikamentosa dengan pemberian
antibiotik dan antiinflamasi. Jika benda asing tidak dapat dikeluarkan dengan
bronkoskopi atau sudah terjadi impaksi, maka dapat dilakukan torakotomi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, Higler PA. 2013. Laring. In: Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi 6. Jakarta: EGC. P369-396

Alraiyes A. H., Machuzak, M. S., 2014. Rigid Bronchoscopy. Semin Respir Crit
Care Med 2014; 35(06): 671-680, DOI: 10.1055/s-0034-1395500

Fitri F, Prijadi J. 2014.Bronkoskopi dan Ekstraksi Jarum Pentul pada Anak Jurnal
Kesehatan Andalas; 3(3): 538-544.
Ganong, W.F. 2015. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 24. Penerjemah:
Pendit, B.U. judul buku asli: Review of medical Physiology, edisi ke 24.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Gill SS, Pease RA, Ashwin CJ, Tait NP. 2012. Respiratory-aspirated 35-mm
hairpin successfully retrieved with a Teflon snare system under
fluoroscopic guidance via a split endotracheal tube: a useful technique in
cases of failed extraction by bronchoscopy and avoiding the need for a
thoracotomy. The British Journal of Radiology; 85: 756-759.
Hewlett, J. C., Rickman, O. B., Lentz, R. J., Prakash, U. B., & Maldonado, F.
2017. Foreign body aspiration in adult airways: therapeutic approach.
Journal of Thoracic Disease, 9(9), 3398–3409.
doi:10.21037/jtd.2017.06.137
Ilan O, Eliashar R, Hirshoren N, Hamdan K, Gross M. 2012.Turban Pin
Aspiration: New Fashion, New Syndrome. Laryngoscope; 12(2): 916–919.
Jahshan, F., Sela, E., & Gruber, M. 2019. Pneumothorax and
Pneumomediastinum Complicating Pediatric Foreign Body Aspiration.
Ear, Nose & Throat Journal, doi:10.1177/0145561318824225
Jaiswal AA, Garg AK. 2014. Spontaneous Expulsion of Foreign Body (Seewing
Machine Needle) From Right Middle Lobe Bronchus - A Rare Case
Report. Journal of Clinical and Diagnostic Research.; 8(8): 1-2.

27
Janahi, I. A., Khan, S., Chandra, P., Al-Marri, N., Saadoon, A., Al-Naimi, L.,
Greer, W. 2017. A new clinical algorithm scoring for management of
suspected foreign body aspiration in children. BMC Pulmonary Medicine,
17(1). doi:10.1186/s12890-017-0406-6
Junizaf MH. 2010. Benda Asing di Saluran Napas. Dalam: Seopardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; h. 259-265.
Junqueira LC, Carneiro J. 2017. Histologi Dasar. Edisi 14. Jakarta : EGC
Lore JM., Medina JE. 2005. Diagnostic Endoscopy. The Trachea and
Mediastinum. In: An Atlas Of Head And Neck Surgery. 4th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders ; pp. 188, 1015.
Marshall ES., Mark RE. 2009. Bronchology. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: B.C.
Dekker,;pp. 963-973
Mallick M. S.2014. Tracheobronchial foreign body aspiration in children: A
continuing diagnostic challenge. African Journal Paed Surg 2014, 11(3)
p225-228
Passali D., Gregori D., Lorenzoni G., Cocca S., Loglisci M., Passali F.M.,
Bellussi L. 2015. Foreign body injuries in children: a review. ACTA
otorhinolaryngologica italica 2015;35:265-271
Petrella F., Borri A., Casiraghi M., Cavaliere S., Donghi S., Galetta D. 2014.
Operative rigid bronchoscopy: indications, basic techniques and results.
Multimedia Manual of Cardio-Thoracic Surgery, 2014,
doi:10.1093/mmcts/mmu006
Rizk, Gwely NE, Biron VL, Hamza U. 2014. Metallic hairpin inhalation: a
healthcare problem facing young Muslim females. Journal of
Otolaryngology - Head and Neck Surgery; 43(21):1-4.

28
Salih, A. M. 2016. Airway foreign bodies: A critical review for a common
pediatric emergency. World Journal of Emergency Medicine, 7(1), 5.
doi:10.5847/wjem.j.1920-8642.2016.01.001
Sehgal, I. S., Dhooria, S., Ram, B., Singh, N., Aggarwal, A. N., Gupta, D.,
Agarwal, R. 2015. Foreign Body Inhalation in the Adult Population:
Experience of 25,998 Bronchoscopies and Systematic Review of the
Literature. Respiratory Care, 60(10), 1438–1448.
doi:10.4187/respcare.03976
Sink, J. R., Kitsko, D. J., Georg, M. W., Winger, D. G., & Simons, J. P. 2016.
Predictors of Foreign Body Aspiration in Children. Otolaryngology-Head
and Neck Surgery, 155(3), 501–507. doi:10.1177/0194599816644410
Snell, R. S. 2019. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem Edisi 10. Dialih bahasakan
oleh Sugarto L. Jakarta:EGC.
Warren KY., Ellen MF. 2014. Ingestion Injury and Foreign Bodies in the
Aerodigestive Tract. In: Bailey’s Head & Neck Surgery, Otolaryngology.
Baltimore: M.D. Lippincott Williams & Wilkins; pp. 1399-1408
Yang, Y.-H., Zhang, X.-G., Zhang, J.-L., Zhang, Y.-B., & Kou, C.-P. 2016. Risk
factors for preoperative respiratory complications in children with
tracheobronchial foreign bodies. Journal of International Medical
Research, 44(2), 338–345. doi:10.1177/0300060515602031

29

Anda mungkin juga menyukai