Anda di halaman 1dari 42

GENRE UTAMA DALAM STUDI TEKSTUAL

Ridha Ahsani
Ryen Meyrina
Siti Uum Khumaeroh

Kata genre berasal dari bahasa Prancis (dan bahasa aslinya Latin)

untuk 'kind' atau 'class'. Istilah ini banyak digunakan dalam retorika, teori

sastra, teori media, dan linguistik yang lebih baru, mengacu pada jenis

'teks' yang khas. Klarer mengartikan genre sebagai “The term genre

usually refers to one of the three classical literary forms of epic, drama, or

poetry. This categorization is slightly confusing as the epic occurs in

verse, too, but is not classified as poetry. It is, in fact, a precursor of the

modern novel (i.e., prose fiction) because of its structural features such as

plot, character presentation, and narrative perspective. Although this old

classification is still in use, the tendency today is to abandon the term

“epic” and introduce “prose,” “fiction,” or “prose fiction” for the relatively

young literary forms of the novel and the short story.” (Klarer, 2004: 3).

Menurut Klarer istilah genre biasanya mengacu pada salah satu dari

tiga bentuk sastra klasik epik, drama, atau puisi. Kategorisasi ini sedikit

membingungkan karena epik juga ada dalam ayat, tapi tidak

diklasifikasikan sebagai puisi. Sebenarnya, ini merupakan pendahulu dari

novel modern (yaitu, prosa fiksi) karena ciri-ciri strukturalnya seperti plot,

penyajian karakter, dan perspektif naratif. Meskipun klasifikasi lama ini

masih digunakan, kecenderungan saat ini adalah untuk meninggalkan

istilah "epik" dan mengenalkan "prosa," "fiksi," atau "fiksi prosa" untuk

bentuk-bentuk sastra yang relatif muda dari novel dan cerpennya.

1
Dari pengklasifikasian genre menurut Klarer diatas, ada genre-genre

utama dalam literature yang menarik untuk dikaji, yakni Fiction, Drama,

Poetry dan Film. Keempat genre tersebut merupakan genre utama dalam

kajian pembelajaran tekstual sebuah karya sastra.

A. Fiksi

Pengklasifikasian karya sastra ke dalam genre-genre telah dimulai

sejak zaman Yunani-Romawi. Pengklasifikasian tersebut mengelompokan

sastra ke dalam tiga bentuk, yaitu epik, puisi, dan drama. Epik atau epos

merupakan pendahulu atau cikal bakal dari bentuk prosa fiksi yang saat ini

disebut dengan novel. Epik ditulis dalam bentuk syair dan disajikan dalam

banyak episode. Meskipun demikian, epik dibedakan dengan puisi karena

adanya struktur naratif, penggambaran karakter, pola plot, dan bentuknya

yang panjang. Epik tradisional atau epik klasik seperti Homer, Iliad, dan

Odyssey (abad ke-7 SM), Virgil (70-19 SM), serta Aeneid (sekitar 31-19

SM) mayoritas bercerita tentang seorang pahlawan yang harus

melaksanakan berbagai tugas untuk kepentingan bangsa atau alam

semesta. Karakter utama dalam epik tradisonal berfungsi sebagai

perwujudan abstrak dari cita-cita heroik. Epik tradisional melalui akarnya

dalam mitos, sejarah, dan agama, mencerminkan pandangan dunia yang

mandiri tentang periode tertentu dan kebangsaannya. Epik-epik tradisional

mempengaruhi munculnya epik-epik abad pertengahan seperti “Divina

Commedia” karya Dante Alighieri (1265-1321), epos Inggris “Faerie

2
Queene” karya Edmund Spenser (1552-1599), dan puisi panjang dari

John Milton (1608-1674) berjudul “Paradise Lost”.

Selain epik, roman juga merupakan pendahulu atau cikal bakal dari

novel modern. Roman memiliki ruang lingkup yang lebih sempit

dibandingkan dengan epik tradisional. Roman meringkas aksi dan

mengarahkan plot ke arah tujuan tertentu. Fitur-fitur lain yang

membedakan roman dari epik tradisional adalah individualisasi tokoh

utama, perspektif sudut pandang yang dirancang, struktur plot linier yang

berorientasi pada klimaks tertentu, dan tidak berpusat pada masalah

kebangsaan atau alam semesta. Karakter utama roman digambarkan

secara lebih rinci, memiliki sifat individu seperti ketidakamanan,

kelemahan, atau aspek karakter lainnya, dan mendapat perhatian lebih

tinggi. Roman telah muncul sejak zaman klasik tetapi baru menjadi genre

yang kuat pada akhir abad pertengahan. Roman kuno yang muncul pada

zaman klasik adalah “The Golden Ass” atau “Metamorphoses” yang ditulis

Apuleius pada abad ke-2 M. Roman abad pertengahan seperti roman

anonim Inggris “Arthurian” berjudul “Sir Gawain and Green Knight” (abad

ke-14 M) ditulis dalam bentuk syair. Meskipun demikian, roman tersebut

tetap dianggap sebagai cikal bakal novel karena memiliki plot yang

terfokus dan sudut pandang terpadu.

Pada zaman modern awal, pandangan dunia terpadu hilang seiring

dengan munculnya pandangan relativisme dalam semua aspek wacana

budaya. Posisi epik banyak digantikan dengan bentuk prosa fiksi yang

lebih modern yaitu novel. Dengan digantikannya posisi epik oleh bentuk

3
prosa novel pada abad ke-18 M, pengklasifikasian genre utama sastra

berubah menjadi fiksi, drama, dan puisi.

Novel-novel awal muncul pada abad ke-17 M dan ke-18 M. Novel-

novel ini masih berakar kuat pada genre epik seperti yang terdapat dalam

novel Don Quixote (1605; 1615) karya Miguel de Cervantes (1547-1616)

dan Joseph Andrews (1742) karya Henry Fielding (1707-1754). Pada

novel Don Quixote, Cervantes mengakhiri epik dan roman ksatrianya

dengan memparodikan unsur tradisional epik dengan penggambaran

sebagai berikut, “A lady who is not so deserving of adoration is courted by

a not-so-noble knight who is involved in quite unheroic adventures”.

(Seorang wanita yang tidak begitu pantas dipuja oleh seorang ksatria

yang tidak begitu mulia dan yang terlibat dalam petualangan yang sangat

tidak heroik). Sementara, Henry Fielding mencirikan novel Joseph

Andrews sebagai roman komik dan puisi epik komik dalam prosa yaitu

sebuah parodi dan sintesis dari genre yang ada. Struktur plot dalam novel

awal seringkali cenderung bersifat episodik atau dapat dikatakan masih

mempertahankan unsur epik.

Novel yang baru dibentuk ini identik dengan istilah realisme dan

individualisme. Hal ini didasari oleh fitur-fitur novel yang mencerminkan

ketidakpedulian modern terhadap semangat kolektif abad pertengahan

yang sangat bergantung pada alegori dan simbolisme. Novel modern

mengarahkan plot ke dalam realitas historis dan geografis yang berbeda

dengan epik tradisional yang menunjukkan dimensi kosmis dan alegoris.

Tokoh dalam novel modern tidak lagi alegoris dan tipikal tapi memiliki ciri

4
khas individu dan realistik. Kecenderungan sosio-historis dasar yang

terjadi pada abad ke-18 akibat munculnya kelas menengah terdidik,

penyebaran mesin cetak, dan basis ekonomi yang dimodifikasi

memungkinkan penulis menjadi profesi yang independen. Situasi ini

mendorong perubahan besar dalam produksi sastra abad ke-18 M dan

mengubah novel menjadi genre sastra yang dominan. Novel-novel yang

menandai dimulainya genre sastra baru dan menjadikan novel sebagai

salah satu genre paling produktif dari literatur modern adalah novel

Robinson Crusoe (1719) karya Daniel Defoe (1619-1986), Pamela (1740-

1741) dan Clarissa (1748-1749) karya Samuel Richardson (1689-1761),

Tom Jones (1849) karya Henry Fielding (1707-1754), serta Laurence

Sterne (1713 -1768) karya Tristram Shandy (1759-1767).

Novel terdiri atas beberapa subgenre yaitu novel picaresque, novel

bildungsroman, novel epistolary, novel sejarah, novel satiris, novel utopis

atau novel fiksi ilmiah, novel gothic, dan novel detektif. Novel picaresque

(berasal dari bahasa Spanyol “piccaro”) adalah cerita petualangan

pahlawan nakal kelas sosial rendah yang hidup dengan akal sehatnya

dalam masyarakat yang korup. Genre novel ini mencoba untuk

meletakkan ketidakadilan sosial dengan cara menyindir seperti yang

terdapat dalam novel “Simplizissimus” (1669) karya Hans Jacob Christoph

von Grimmelshausen (1621-1676), “Moll Flanders” (1722) karya Daniel

Defoe (1619-1986), atau “Tom Jones” (1749) karya Henry Fielding.

Bildungsroman atau novel pendidikan menggambarkan

perkembangan tokoh utama dari masa kanak-kanak hingga dewasa.

5
Novel yang termasuk genre ini di antaranya “Mill on the Floss” (1860)

karya George Eliot (1819–1880) dan “cycle Children of Violence” (1952–

1969) karya Doris Lessing (1919-). Novel epistolary adalah novel yang

ditulis dalam bentuk serangkaian surat seperti dalam novel “Pamela”

(1740-1741) dan “Clarissa” (1748-1749) karya Samuel Richardson.

Selanjutnya, novel sejarah bercerita tentang kejadian yang dilakukan

dalam konteks sejarah yang realistis seperti dalam novel “Waverley”

(1814) karya Sir Walter Scott (1771-1832). Tren lebih baru berkaitan

dengan novel sejarah adalah penulisan kembali insiden berdasarkan

kejadian nyata seperti yang ditulis Truman Capote (1924-1984) dalam

novel “In Cold Blood” (1966) atau Norman Mailer (1923-) dalam “Armies of

the Night” (1968).

Novel satiris menyoroti kelemahan masyarakat melalui pelampiasan

konvensi sosial seperti yang terdapat dalam novel Gulliver's “Travels”

(1726) karya Jonathan Swift (1667-1745) atau “Adventures of Huckleberry

Finn” (1884) karya Mark Twain (1835-1910). Novel utopis atau novel fiksi

ilmiah menciptakan dunia alternatif sebagai sarana untuk mengkritik

kondisi sosio-politik yang sebenarnya seperti yang terdapat dalam novel

“Nineteen Eighty-four” (1949) karya George Orwell (1903-1950) atau novel

“The Handmaid's Tale” (1985) karya Margaret Atwood (1939-). Novel

gothic merupakan genre novel yang ditandai oleh suasana misteri atau

horor seperti dalam novel “Dracula” (1897) karya Bram Stoker (1847-

1912). Sementara itu, novel detektif bercerita tentang proses penyelidikan

6
dan penyelesaian sebuah kejahatan seperti dalam novel “Murder on the

Orient Express “(1934) karya Agatha Christie (1890-1976).

Sejalan dengan perkembangan novel dan koran, pada akhir abad ke-

18 muncul cerita pendek. Cerita pendek atau cerpen merupakan bentuk

fiksi prosa yang ringkas. Cerpen mengandung dimensi temporal istimewa

sehingga memiliki alur cerita yang berfokus pada tindakan yang terjadi

dalam satu momen tertentu. Proses penumpukan ketegangan yang

lamban dan bertahap seperti yang terjadi dalam novel tidak terdapat

dalam cerpen. Sebaliknya, cerpen seringkali memulai ceritanya dari

klimaks yang merekonstruksi konteks sebelumnya dan mengembangkan

plot melalui kilas balik.

Cerpen ditulis dengan gaya penulisan sugestif karena panjangnya

yang terbatas. Gaya penulisan ini berbeda dengan novel yang umumnya

ditulis dengan gaya penulisan deskriptif. Cerpen biasanya hanya

menggunakan satu sudut pandang dari satu tokoh atau narator tertentu

untuk menghubungkan tindakan yang terjadi dalam seluruh cerita.

Sementara novel dapat menggunakan berbagai sudut pandang atau

perspektif naratif dengan leluasa. Demikian pula terkait dengan setting

dan karakter tokoh, setting cerpen hanya berfokus pada satu lokasi utama

dan karakter tokoh umumnya digambarkan kurang rinci dan cermat.

Seperti halnya novel, akar cerpen juga terbentang di zaman kuno

dan abad pertengahan. Cerpen berakar pada cerita, mitos, dan dongeng

yang berhubungan dengan manifestasi tekstual tertua "teks" yang

ditransmisikan secara oral. Secara tidak langsung cerpen dipelopori oleh

7
narasi abad pertengahan dan awal modern. Karya-karya pada abad ke-14

M yang mengantisipasi fitur penting fiksi pendek modern adalah cerita

Seribu Satu Malam, Italian Decamerone (1349-51) karya Giovanni

Boccaccio (1313-75), dan Canterbury Tales (sekitar 1387) karya Geoffrey

Chaucer (1343-1400).

Pembentukan cerita pendek dipengaruhi oleh majalah yang terbit

secara teratur pada abad ke-19 M. Pelopor majalah ini adalah Tatler

(1709-1711) dan Spectator (1711-1712; 1714) yang diterbitkan di Inggris

oleh Joseph Addison dan Richard Steele. Majalah ini menyediakan media

ideal untuk penerbitan genre prosa dengan volume terbatas. Keduanya

coba untuk menyampaikan pesan kelas menengah terdidik dengan teks

sastra singkat dan esai. Cerpen muncul sebagai definisi komparatif genre

prosa lainnya seperti novel atau variannya yang lebih pendek, novella dan

novelete. Namun, cerita pendek kurang menarik perhatian ahli teori sastra

sehingga kedudukannya tidak sama dengan novel.

Penjelasan sifat genre bergantung pada pendekatan metodologis

yang digunakan. Pendekatan metodologis yang dimaksud di antaranya

adalah reception theory yang digunakan berkenaan dengan membaca

tanpa gangguan, formalist notions untuk menganalisis struktur plot, dan

pendekatan kontekstual untuk menggambarkan batas-batas genre

tersebut dengan genre lain yang sebanding. Istilah plot, waktu, karakter,

setting, perspektif naratif atau sudut pandang, dan gaya muncul tidak

hanya dalam karakterisasi genre novel tapi juga berfungsi sebagai bidang

penyelidikan yang paling penting dalam film dan drama. Unsur-unsur yang

8
penting dalam karakterisasi genre fiksi, drama, dan film tersebut

dirangkum dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini.

Plot Apa yang terjadi?

Karakter Siapa yang bertindak?

Perspektif narasi Siapa yang melihat apa?

Setting Dimana dan kapan kejadian berlangsung?

Penjelasan unsur-unsur tersebut akan dibahas secara rinci pada

bagian selanjutnya.

a. Plot

Plot adalah interaksi logis dari berbagai elemen tematik dari teks

yang mengarah pada perubahan situasi asli seperti yang disajikan pada

awal narasi (Klarer, 2004). Garis plot tradisional yang ideal mencakup

empat tingkat yang berurutan, yaitu eksposisi—komplikasi—klimaks atau

titik balik—resolusi. Struktur plot dasar ini disebut dengan plot linier karena

unsur-unsurnya mengikuti urutan kronologis. Pada plot linier, eksposisi

atau presentasi situasi awal terganggu oleh adanya komplikasi atau

konflik yang menghasilkan ketegangan. Ketegangan tersebut akhirnya

mengarah pada klimaks, krisis, atau titik balik. Klimaks kemudian diikuti

oleh resolusi. Sebagian besar fiksi, drama, dan film tradisional

menggunakan struktur plot dasar ini.

Novel kontemporer banyak yang mengubah struktur narasi linear

dengan memperkenalkan elemen plot dalam urutan yang tidak ortodoks.

Contoh yang mencolok dari struktur plot eksperimental yang mencampur

berbagai tingkat tindakan dan waktu ini adalah novel postmodern

9
Slaughterhouse-Five (1969) karya Kurt Vonnegut (1922-). Novel ini

bercerita tentang pengalaman seorang tentara muda dalam Perang Dunia

II. Setelah perang tentara tersebut tinggal di Amerika. Ia memiliki dunia

mimpi sains-fiksi seperti penculikan oleh kekuatan di luar bumi. Ketiga

tingkatan itu disandingkan sebagai fragmen dengan memberikan

pengaturan yang berbeda serta urutan kejadian yang tidak kronologis.

Penulisan novel Slaughterhouse-Five meminjam teknik seni visual

yang struktur representasinya dianggap berbeda dari praktik sastra.

Sastra secara umum dianggap sebagai seni temporal karena peristiwa

atau kejadian berkembang dalam urutan temporal. Sementara, seni visual

sering disebut sebagai seni spasial karena dapat menangkap satu

segmen peristiwa atau kejadian tertentu secara instan dan dirasakan oleh

penonton. Vonnegut dan penulis eksperimental lainnya mencoba

menerapkan struktur bergambar ini ke teks-teks sastra.

b. Karakter

Karakter dalam teks dapat diterjemahkan sebagai jenis atau individu

(Klarer, 2004). Karakter yang ditandai atau didominasi oleh satu sifat

tertentu disebut sebagai karakter datar. Sementara, karakter yang

memiliki sifat yang lebih kompleks dan berbeda disebut sebagai karakter

bulat. Karakter datar sering mewakili sifat umum sekelompok orang atau

gagasan abstrak. Karakter semacam ini muncul pada fiksi abad

pertengahan yang digambarkan sebagai karakter alegoris atau simbolis

yang memiliki ciri tertentu dari makhluk hidup. Penggambaran karakter

alegoris seperti ini digunakan kembali dalam iklan di majalah, poster, film,

10
dan TV. Media periklanan yang memiliki keterbatasan temporal dan

spasial memerlukan karakter alegoris untuk mencapai tujuan didaktik dan

persuasifnya. Sementara itu, individualisasi sebuah karakter, yang

menjadikan sebuah karakter memiliki sifat lebih kompleks, telah

berkembang menjadi fitur utama genre novel.

Secara umum cara penyajian karakter dibagi menjadi dua yaitu

menggunakan metode penjelasan atau metode dramatis. Metode

penjelasan menggambarkan karakter tokoh menggunakan cerita atau

narasi. Sementara metode dramatis menggambarkan karakter tokoh

menggunakan dialog dan monolog. Serupa dengan tipifikasi dan

individualisasi karakter, metode penjelasan dan metode dramatis hampir

tidak pernah muncul dalam bentuknya murni karena narator sering juga

bertindak sebagai karakter dalam teks.

Banyak teks fiksi modern memperlihatkan ketegangan antara dua

cara penyajian karakter dengan mengenalkan kedua metode tersebut

secara bersamaan dalam sebuah novel seperti yang terdapat dalam novel

Moby Dick (1851) karya Herman Melville (1819-91). Melville dalam novel

ini menggabungkan unsur alegoris dan individualistis dalam

penggambaran karakter utamanya dengan tujuan memberi dimensi

universal pada tindakan tokoh utama tersebut. Karakter alegoris dan

individualistis dapat digambarkan bersamaan dalam sebuah teks tapi

perlu menggunakan dua cara penyajian yang berbeda.

c. Sudut Pandang

11
Sudut pandang atau perspektif naratif adalah cara teks menyajikan

tokoh, peristiwa, dan setting (Klarer, 2004). Perspektif naratif

dikembangkan sejalan dengan kemunculan novel. Persfektif ini dapat

direduksi menjadi tiga, yaitu persfektif narator eksterior atau narator yang

tidak ditentukan (sudut pandang mahatahu), persfektif tokoh yang terlibat

dalam peristiwa atau tindakan (narasi orang pertama), dan persfektif tanpa

komentar tambahan atau disebut situasi narasi figural. Ketiga struktur ini

hanya bisa merangkum perwujudan dari persfektif paling ekstrem. Akan

tetapi hal itu hampir tidak pernah terjadi karena karya sastra biasanya

menggabungkan berbagai jenis situasi naratif.

Teks yang menggunakan sudut pandang mahatahu mengacu pada

tokoh-tokoh dalam teks dalam persfektif orang ketiga. Narator

mempresentasikan peristiwa atau tindakan dari perspektif seperti Tuhan

yang Mahatahu. Contoh penggunaan persfektif ini dapat dilihat dalam

petikan novel Jane Austen (1775-1817) berjudul Northanger Abbey (1818)

berikut ini.

No one who had ever seen Catherine Moreland in her infancy,


would have supposed her born to be a heroine. Her situation in
life, the character of her father and mother, her own person and
disposition, were equally against her. Her father was a
clergyman, without being neglected, or poor, and a very
respectable man, though his name was Richard—and he had
never been handsome. He had a considerable independence,
besides two good livings—and he was not in the least addicted
to locking up his daughters. Her mother was a woman of useful
plain sense, with a good temper, and, what is more remarkable,
with a good constitution.6
(Tidak ada orang yang pernah melihat Catherine Moreland pada
masa kanak-kanaknya akan menganggapnya lahir sebagai
pahlawan wanita. Situasi dalam hidupnya, karakter ayah dan
ibunya, pribadi dan wataknya sendiri, sama-sama
menentangnya. Ayahnya adalah seorang pendeta, tanpa

12
diabaikan, atau miskin, dan orang yang sangat terhormat, meski
namanya Richard-dan dia tidak pernah tampan. Dia memiliki
kemandirian yang cukup besar, di samping dua kehidupan yang
baik-dan dia sama sekali tidak ketagihan mengunci anak-
anaknya. Ibunya adalah seorang wanita yang memiliki akal
sehat, dengan temperamen yang baik, dan, yang lebih luar
biasa lagi, dengan sebuah konstitusi yang baik.6)

Narasi yang menggunakan sudut pandang orang pertama melihat

peristiwa atau tindakan dari persfektif orang pertama yang terlibat dalam

peristiwa atau tindakan tersebut, baik itu tokoh protagonis maupun tokoh

minor. Charles Dickens dalam novel David Copperfield (1849-50) dan

Laurence Sterne dalam novel Tristram Shandy (1759-67) menggunakan

narasi orang pertama dari sudut pandang tokoh protagonisnya. Jarak

yang dekat dengan tokoh protagonis dapat dihindari dengan

memperkenalkan karakter minor sebagai narator orang pertama. Dengan

menggambarkan kejadian dari tokoh minor, karakter protagonis menjadi

tidak transparan. Sudut pandang orang pertama melalui tokoh minor ini

digunakan Herman Melville (1819-91) dalam novel Moby Dick (1851) dan

F.Scott Fitzgerald's (1896-1940) dalam novel The Great Gatsby (1925).

Pada narasi figural, plot novel diungkapkan hanya melalui tindakan

karakter dalam teks oleh narator yang berada di latar belakang. Teknik

sastra ini merupakan fenomena baru yang berkembang seiring munculnya

novel modern. Teknik ini digunakan untuk mendorong pembaca menilai

sendiri tindakan tokoh dalam novel tersebut. Berbeda dengan sudut

pandang mahatahu, narasi orang ketiga dalam narasi figural memiliki

kaitan dengan perspektif tokoh yang menjadi bagian dari tindakan itu.

13
Narasi teks yang menekankan pada aspek dunia batin karakter

disebut dengan teknik aliran-kesadaran (stream-of-consciousness

technique). Teknik ini dipengaruhi oleh psikoanalisis Sigmund Freud yang

masuk ke dalam fiksi prosa modernis setelah Perang Dunia I. Hal ini

menggambarkan bahwa selama dekade pertama abad ke-20 terjadi

pergeseran mendasar dalam paradigma budaya, yaitu ketika sastra

mengalihkan fokus utamanya dari tujuan deskriptif sosiologis abad ke-19

M ke fenomena psikis individu akibat pengaruh psikoanalisis. James

Joyce dianggap sebagai penemu teknik ini yang ia gunakan dalam bagian

akhir novelnya Ulysses (1922) ketika menggabungkan asosiasi mental

karakter Molly Bloom. William Faulkner (1897-1962) menggunakan teknik

ini ketika menggambarkan kesan dan peristiwa melalui perspektif batin

karakter cacat mental dalam The Sound and the Fury (1929). Teknik

naratif eksperimental dalam penyajian karakter ini menjadi ciri struktural

utama modernisme dan menandai keseluruhan era sastra pada awal abad

ke-20 M.

d. Setting

Setting menunjukkan lokasi, periode sejarah, dan lingkungan sosial

tempat kejadian dalam teks berlangsung (Klarer, 2004). Novel Ulysses

karya James Joyce (1922) mendefinisikan dengan jelas Dublin, 16 Juni

1904 sebagai setting novel tersebut. Sementara itu, peristiwa yang terjadi

dalam Hamlet karya William Shakespeare (1564-1616) bersetting di

Denmark pada abad pertengahan. Para penulis fiksi hampir tidak pernah

memilih setting untuk kepentingannya sendiri. Mereka justru menanamkan

14
sebuah cerita dalam konteks waktu dan tempat tertentu untuk mendukung

tindakan, karakter, dan perspektif naratif.

Setting adalah salah satu elemen penting dalam novel gothic dan

beberapa bentuk fiksi prosa lainnya. Sebagai contoh, pada bagian

pembukaan The Fall of the House of Usher (1840), Edgar Allan Poe

(1809-49) memberikan penjelasan yang rinci tentang bangunan tempat

cerita pendek yang menakjubkan akan berkembang. Setting cerita

tersebut adalah House of Usher yang secara tidak langsung menyerupai

karakter utama narasi dan penguasa rumah tersebut, Roderick Usher.

Novel Mrs.Dalloway (1925) karya Virginia Woolf sangat bergantung

pada setting untuk mempersatukan perspektif naratif fragmen dalam

kerangka tunggal. Woolf menggunakan refleksi mental dari sejumlah

tokoh dalam novelnya yang akhirnya mencirikan protagonisnya yaitu

Mrs.Dalloway. Woolf dapat menciptakan kesan bahwa berbagai perspektif

atau pemikiran karakter terjadi bersamaan melalui penggunaan setting

yang dipilih dengan hati-hati. Berbagai indikator dalam teks secara khusus

mendasari semua kejadian pada waktu tertentu dan di lokasi tertentu.

Woolf secara sadar meminjam dari seni visual untuk mengintegrasikan

unsur formal kubisme ke dalam praktik sastra.

Berbagai elemen fiksi yakni plot, setting, point of view, dan karakter

cenderung menerima makna penuh melalui interaksi mereka satu sama

lain. Oleh sebab itu, penafsiran terhadap teks-teks sastra perlu

memperhatikan unsur-unsur struktural ini bukan sebagai entitas yang

mandiri atau terisolasi. Teks-teks sastra perlu dilihat sebagai elemen yang

15
saling bergantung dan makna penuhnya hanya dapat diungkap dalam

konteks fitur lain serta keseluruhan isi teks.

B. Puisi

Poetry is one of the oldest genre in literary history. Its earliest

examples go back ancient Greek literature. Inspite of this long tradition, it

is harder to define than any other genre. Poetry is closely related to the

term “lyric,” which derives etymologically from the Greek musical

instrument “lyre” (lyre or harp) and points to an origin in the sphere of

music (Klarer, 2004 : 27). Puisi berhubungan erat dengan istilah lirik, yaitu

istilah yang diambil dari kata Yunani, lyre yang berarti harpa, sebuah alat

musik petik yang mengacu pada pembacaan puisi, hal ini disebabkan

pada zaman Yunani Kuno, harpa dimainkan bersamaan ketika sedang

terjadi pembacaan puisi adalah salah satu genre tertua dalam sejarah

sastra. Pada zaman kuno dan juga di Abad Pertengahan, para peramal

membacakan puisi, disertai dengan lirik atau alat musik lainnya. Istilah

"puisi", bagaimanapun, kembali ke kata Yunani "poieo" ("membuat",

"menghasilkan"), yang menunjukkan bahwa penyair adalah orang yang

"membuat" ayat. Meskipun etimologi menyoroti beberapa aspek dari lirik

dan puitis, namun tidak dapat menawarkan penjelasan yang memuaskan

tentang fenomena tersebut.

Sebagian besar usaha tradisional untuk mendefinisikan puisi

menyandingkan puisi dengan prosa. Mayoritas definisi ini terbatas pada

karakteristik seperti sajak, dan meter, yang secara tradisional dianggap

16
sebagai elemen klasik yang membedakan puisi dari prosa. Kriteria ini,

bagaimanapun tidak dapat diterapkan pada puisi prosa modern atau puisi

eksperimental. Penjelasan genre yang menggabungkan bahasa puitis

dengan unsur linguistik selain sajak dan meteran melakukan keadilan

lebih pada bentuk non-tradisional seperti sajak puisi atau puisi prosa

gratis. Pendekatan ini meneliti fenomena lirik pilihan kata serta

penggunaan struktur sintaksis dan figur retoris. Meskipun unsur-unsur ini

mendominasi dalam beberapa bentuk puisi, namun juga muncul dalam

drama atau fiksi. Terlepas dari kesulitan yang terkait dengan definisi puisi,

kriteria heterogen yang disebutkan di atas menguraikan kualitas utama

yang secara konvensional dikaitkan dengan puisi.

Genre puisi sering terbagi menjadi dua kategori utama narasi dan

puisi lirik. Puisi naratif mencakup genre seperti puisi panjang epik,

asmara, dan balada, yang menceritakan kisah dengan plot yang tersusun

dengan jelas dan terstruktur (lihat Bab 2, pada bagian 1: Fiksi). Puisi lirik

yang lebih pendek, fokus dari komentar berikut, terutama berkaitan

dengan satu peristiwa, kesan, atau gagasan.

Dalam periode Inggris Kuno, bentuk puisi kuno seperti elegy, yang

menyesalkan kematian orang yang disayangi, baru saja diadaptasi.

Thomas Gray's (1716-1771) "Elegy Written in a Country Church Yard"

(1751) atau Walt Whitman's (1819-1892) "When Lilacs Last in the

Dooryard Bloom'd" (1865-1866) adalah contoh dari periode selanjutnya.

Ode, yang juga dikenal di zaman kuno klasik, dihidupkan kembali di

Renaisans dan digunakan dalam periode sastra berikutnya. Seperti yang

17
dikatakan John Keats (1795-1821) "Ode on a Grecian Urn" (1820), ini

terdiri dari beberapa bait dengan tema yang serius dan kebanyakan klasik.

Namun, bentuk sastra Inggris yang paling penting dengan pola berima

yang konsisten adalah soneta, yang, mulai dari Renaisans dan

seterusnya, telah digunakan dalam puisi terutama untuk menghadapi

tema "cinta duniawi".

Unsur berikut tidak terbatas pada puisi saja, namun tetap menjadi

pusat perhatian dalam analisis genre ini. Istilah penting dan kontroversial

adalah "citra" atau citra, yang berkaitan dengan sejumlah isu berbeda

yang sedang dibahas. Kata itu sendiri dapat ditelusuri kembali ke bahasa

Latin "imago" ("gambar") dan mengacu pada komponen visual yang

dominan dari teks yang dapat, bagaimanapun, juga mencakup kesan

sensoris lainnya. Citra sering dianggap sebagai manifestasi paling umum

dari karakter puisi "konkret". Bahkan jika tema abstrak ada di pusat puisi,

penyair masih menggunakan citra konkret agar lebih mudah diakses.

Karakter konkret bahasa puitis dapat dicapai pada tingkat linguistik-

tematis, visual, dan irama-akustik yang mencerminkan unsur terpenting

dalam puisi.

1. Dimensi Leksikal-Tematik

Isu narator, yang telah dibahas dalam konteks sudut pandang dan

karakter dalam pengobatan fiksi, biasanya disebut dalam puisi dengan

istilah "suara" atau "pembicara." Karena puisi sering dianggap sebagai

medium untuk ekspresi subjektif, peristiwa pribadi - sebuah asumsi yang

tidak selalu sesuai dengan fakta - isu pembicara sangat penting dalam

18
analisis puisi. Pertanyaan apakah pembicara dan penulis adalah satu dan

orang yang sama, tentu saja, juga relevan dengan fiksi. Dalam novel dan

cerpennya, bagaimanapun, penggunaan teknik sudut pandang yang khas

dengan mudah menciptakan jarak antara narator dan penulis.

Penggunaan bahasa puitis, lebih dari sekadar penggunaan situasi

naratif yang kompleks, membedakan puisi dari genre sastra lainnya. Kata

benda dan adegan beton bekerja untuk mencapai efek khusus ini. Dalam

bukunya "Elegy Written in a Country Church Yard" (1751), yang berurusan

dengan transitoritas manusia, Thomas Gray menggunakan gambar-

gambar nyata seperti pemakaman, dering bel, seorang petani yang

kembali dari mengolah, kegelapan, dan batu-batu nisan. Objek dan

adegan ekspresif dideskripsikan untuk membuat puisi itu konkret, meski

tema transitoritas sebenarnya abstrak. Sebuah elegy oleh W.H.Auden

(1907-1973) menggunakan teknik yang serupa.

2. Dimensi Visual

Sementara citra dalam puisi tradisional berkisar pada transformasi

objek menjadi bahasa, puisi konkret mengambil langkah lebih jauh menuju

seni visual, berkonsentrasi pada bentuk puisi atau penampilan visualnya.

Gerakan ini, yang dihidupkan kembali pada abad ke-20, memiliki tradisi

yang panjang, mulai dari zaman kuno sampai Abad Pertengahan Latin

hingga Inggris abad ke-17. Di antara puisi-puisi sastra Inggris yang paling

terkenal adalah George Herbert's (1593- 1633) "Easter Wings" (1633) dan

"The Altar" (1633). Seperti yang ditunjukkan pada halaman berikutnya,

puisi Herbert menyampaikan gambaran visual dan gamblang sebuah altar,

19
yang telah dibangun oleh penyair dari bagian-bagian yang telah diberikan

kepadanya oleh Tuhan.

Puisi konkret berikut ini oleh e.e. cummings (1894-1962) adalah

contoh modern dari pengaturan visual-verbal abstrak, yang - terlepas dari

keistimewaannya - bekerja sesuai dengan prinsip struktural yang serupa

dengan yang ada dalam teks George Herbert. Teks puisi dapat

direkonstruksi sebagai berikut: "a leaf falls loneliness" atau "l (daun jatuh)

oneliness." E.e. cummings menggunakan satu daun yang jatuh dari pohon

sebagai motif untuk kesepian, mengatur huruf secara vertikal dan bukan

horizontal untuk menelusuri gerakan daun secara visual. Dalam tindakan

membaca, mata bisa mengikuti jalannya daun dari atas ke bawah dan

juga dari kiri ke kanan dan ke belakang. Dalam satu contoh, gerakan ini

digarisbawahi oleh sebuah pengaturan dalam bentuk salib. Istilah teknis

untuk penempatan kata atau huruf seperti salib adalah chiasmus, yang

berasal dari huruf Yunani "chi" ("X"). Di sini, chiasmus dibentuk oleh

susunan huruf salib seperti dua baris berturut-turut.

Puisi ini berisi elemen visual lebih lanjut yang membentuk jaringan

saling bergantung dengan tingkat konten. Kata "jatuh" ganda dari kata

"jatuh" ada di tengah puisi itu. Surat-surat ini bisa dengan mudah dibaca

sebagai dua "aku untuk orang pertama tunggal, sehingga

menggarisbawahi kejatuhan dari" dua-someness "menjadi kesepian.

Dalam "l-one-liness" hanya satu "l" yang tersisa, atau, seperti cummings

yang mengungkapkannya. Seperti ditunjukkan oleh contoh-contoh ini,

puisi tradisional dan eksperimental sering kali bekerja dengan aspek

20
bergambar bahasa dan tulisan atau bertujuan menggabungkan aspek-

aspek ini. Upaya untuk mengubah sebuah puisi menjadi objek

quasimaterial dapat dicapai tidak hanya pada tingkat tematik melalui

penggunaan kata benda atau pemandangan konkret, tetapi juga pada

tingkat visual melalui tata letak huruf, kata, atau bait tertentu.

3. Dimensi Akustik Ritmis

Untuk mencapai kualitas beton bahasa puitis, suara dan nada

digunakan sebagai elemen dengan tingkat makna masing-masing.

Dengan memilih kata-kata tertentu dalam garis atau bait, seorang penyair

dapat menghasilkan suara atau nada yang berhubungan langsung dengan

isi pernyataan. Elemen akustik, seperti tampilan visual puisi dalam puisi

konkret, dapat meningkatkan makna sebuah puisi. Bagian berikut dari

Alexander Essay on Criticism (1688-1744) dari Alexander Pope (1711)

adalah contoh self reflexive dari teknik ini. Benar mudah dalam menulis

berasal dari seni, bukan kebetulan, Seperti yang bergerak termudah yang

telah belajar menari.

Dalam garis-garis ini, Paus menunjukkan bahwa, dalam apa yang dia

anggap sebagai puisi, isi dan suara yang bagus menyelaraskan dan

membentuk satu kesatuan ("Suara itu sepertinya merupakan gema untuk

perasaan"). Di baris 5 dan 6, dia menyebutkan angin barat (Zephyr) dan

menyarankan suara alamnya melalui pilihan kata-kata yang disengaja

yang suaranya ("z", "ph", "w", "oo," "th") mengingatkan angin sepoi-sepoi.

Pada baris 7 dan 8, suara keras laut yang pecah di pantai ditiru oleh kata-

kata dengan suara yang tidak terlalu lembut ("sh," "gh," "v," "rr"). Prinsip

21
pemersatu suara dan akal ini tentu saja bukanlah tujuan bagi setiap

penyair, dan contoh-contoh modern sering kali bekerja melawan sikap

tradisional terhadap persatuan ini.

Meter dan sajak adalah alat lebih lanjut dalam dimensi akustik puisi

yang memegang posisi dominan dalam analisis puisi, sebagian karena

sifatnya yang relatif mudah untuk diobjekkan dan diukur. Elemen meter

terkecil adalah suku kata, yang dapat ditekan atau tidak ditekan. Menurut

urutan suku kata yang stres dan tanpa tekanan, adalah mungkin untuk

membedakan antara berbagai kaki metrik, yang hasilnya menunjukkan

meter. Dalam analisis meter (scansion), garis pertama dibagi menjadi

suku kata. Di samping meter, sajak menambah dimensi suara dan ritme

dalam sebuah puisi. Hal ini dimungkinkan untuk membedakan sumbu

internal, akhir, dan mata. Sajak internal adalah aliterasi dan penyatuan.

Aliterasi adalah pengulangan konsonan yang sama di awal kata-kata

dalam satu baris ("putaran dan putaran batu kasar bajingan compang-

camping berlari"). Jika vokal diulang sebagai gantinya (baik di awal atau di

tengah kata-kata) itu disebut asonance ("Engkau anak asuh diam dan

lambat waktu"). Aliterasi adalah pola berima yang paling umum dalam

Bahasa Inggris Kuno dan dalam beberapa jenis puisi bahasa Inggris

Tengah. Garis pembuka puisi panjang Inggris William Langland (c. 1330-

86) "Inggris Piers Plowman (bab 1367-70) adalah contoh bagus satu

meter di mana aliterasi dan tekanan saling melengkapi satu sama lain.

Skema rima yang paling umum dalam puisi modern adalah sajak akhir,

yang didasarkan pada suku kata yang identik pada akhir baris tertentu.

22
Untuk menggambarkan skema sajak, huruf alfabet digunakan untuk

mewakili suku kata yang identik di akhir baris, seperti dalam puisi berikut

oleh Emily Brontë (1818-48), "Peringatan" (1846):

Cold in the earth—and in the deep snow piled above thee (a)

Far, far removed, cold in the dreary grave! (b)

Have I forgot, my only Love, to love thee (a)

Served at last by Time’s all-severing wave? (b)

Sistem identifikasi ini membantu untuk menyoroti struktur sajak dari

puisi kompleks dengan menguranginya ke pola dasar mereka. Sajak mata

berdiri di antara dimensi visual dan dimensi akustik sebuah puisi, bermain

dengan ejaan dan pengucapan kata-kata. Banyak bait yang berbeda

dalam puisi bahasa Inggris dapat dikurangi menjadi beberapa bentuk

dasar. Kebanyakan puisi terdiri dari bait (dua garis), tercets (tiga baris)

atau sapuan (empat baris). Soneta adalah contoh kombinasi bahasa yang

berbeda. Menurut skema berima dan jenis bait, seseorang dapat

membedakan antara soneta Shakespeare, Spenserian, dan Italia (atau

Petrarchan). Di zaman Renaissance, siklus soneta - terdiri dari sejumlah

puisi yang berhubungan secara tematik - menjadi populer sebagai hasil

pengaruh Italia. Siklus ini memungkinkan penyair untuk menangani topik

tertentu secara lebih rinci saat bekerja dalam bentuk sonet. Soneta Inggris

atau Shakespeare, yang memegang posisi istimewa dalam tradisi bahasa

Inggris, patut mendapat penjelasan lebih rinci. Terdiri dari tiga sangkar

dan satu bait. Empat belas baris berada dalam pentameter dan mengikuti

skema sajak abab cdcd efef gg.

23
Idealnya, dalam puisi tradisional, dimensi tematik, visual, dan irama-

akustik - yang digunakan di sini untuk menggambarkan elemen terpenting

dari genre - harus saling terhubung satu sama lain. Gagasan tentang

persatuan, yang menurutnya beberapa tingkat keterkaitan terhubung,

paling dominan dalam puisi, namun pada tingkat yang lebih rendah, juga

mencirikan genre lainnya. Kita harus berhati-hati, bagaimanapun, karena

tidak setiap puisi memenuhi konsep kesatuan sebagai tujuan struktural

utamanya. Puisi eksperimental, khususnya, meninggalkan struktur yang

tampaknya kaku ini untuk mengeksplorasi "bentuk terbuka" baru, seperti

puisi dalam prosa atau ayat bebas.

C. Drama

Sejauh ini telah dilakukan pembahasan mengenai genre fiksi dan

puisi, dimana kedua genre tersebut mengandalkan kata-kata tertulis atau

lisan sebagai alat ekspresi utama mereka. Klarer menyatakan bahwa “The

dramatic or performing arts, however, combine the verbal with a number

of non-verbal or opticalvisual means, including stage, scenery, shifting of

scenes, facial expressions, gestures, make-up, props, and lighting. This

emphasis is also reflected in the word drama itself, which derives from the

Greek “draein” (“to do,” “to act”), thereby referring to a performance or

representation by actors.” (2004:43), seni drama atau pertunjukan seni

menggabungkan bahasa lisan dengan sejumlah non-verbal atau

optikvisual, termasuk panggung, pemandangan, pergeseran adegan,

ekspresi wajah, gerak tubuh, make-up, alat peraga, dan pencahayaan.

24
Penekanan ini juga tercermin dalam kata drama itu sendiri, yang berasal

dari kata Yunani "draein" ("to do", "act"), yang berarti pertunjukan atau

representasi oleh aktor.

Drama berakar pada praktik ritual kultis, beberapa fitur drama yang

masih ada bergaya dalam bentuk drama Yunani klasik abad kelima

sebelum masehi. Tragedi dan komedi kuno dilakukan selama festival

untuk menghormati Dionysos, dewa anggur. Sementara drama adalah

salah satu genre utama di zaman klasik kuno, dimana statusnya memudar

seiring datangnya abad Pertengahan. Namun, setelah pergantian

milenium, bentuk drama sederhana muncul kembali. Dalam permainan

misteri dan keajaiban, tema religius, alegoris, atau alkitabiah diadaptasi

dari liturgi Kristen dan didramatisasi untuk pertunjukan di depan gereja

dan di halaman penginapan. Pertunjukan abad pertengahan ini,

bersamaan dengan drama klasik Romawi oleh Plautus (184-254 SM) dan

Seneca (4 SM-65 M), kemudian mempengaruhi drama Renaisans, yang

mencapai puncaknya yang pertama di Inggris bersama Shakespeare dan

orang-orang sezamannya.

Sementara teori sastra klasik mengabaikan sifat komedi, Aristoteles

(322-384 SM) berurusan secara luas dengan unsur-unsur umum dan fitur

tragedi. Dalam buku keenam “The Poetics” Aristoteles mencirikan tragedi

sebagai “a representation of an action that is heroic and complete” and

which “represents men in action and does not use narrative, and through

pity and fear it effects relief.” (dalam Klarer 2004:44), Aristoteles

mencirikan tragedi sebagai representasi dari tindakan yang heroik dan

25
lengkap yang mana mewakili pria dalam tindakan dan tidak menggunakan

narasi, dan dengan rasa “kasihan dan takut’ akan memberi efek lega.

Dengan melihat Peristiwa tragis di atas panggung, para penonton

diharapkan dapat mengalami katarsis atau pembersihan spiritual. Klarer

menambahkan “Comedy, on the other hand, has humorous themes

intended to entertain the audience.” (2004:44), komedi, di sisi lain memiliki

tema lucu yang dimaksudkan untuk menghibur penonton. Hal ini sering

dianggap sebagai kelanjutan gaya kultus regenerasi primitif, seperti

pengusiran simbolis musim dingin pada musim semi. Simbolisme

kesuburan ini berpuncak pada bentuk pernikahan, yang terdiri dari akhiran

bahagia standar dalam komedi tradisional.

Sejarah Renaisans seperti Richard II (1557) karya Shakespeare

(1597) atau Henry IV (sekitar tahun 1597) dimainkan mengadaptasi

sejarah Inggris untuk pertunjukan panggung. Drama ini menggambarkan

peristiwa historis atau tokoh, namun, melalui penambahan referensi

kontemporer membuat dimensi historis terlampaui dan membuat

pernyataan umum tentang kelemahan dan kebajikan manusia. Dalam

banyak kasus, penulis memilih dalih sejarah untuk mengomentari

kesengsaraan sosiopolitik kontemporer sambil meminimalkan risiko

penyensoran.

William Shakespeare dan Christopher Marlowe (1564-1593)

menghidupkan kembali dan mengembangkan bentuk drama klasik seperti

tragedi dan komedi, mereka merupakan orang pertama yang

mencerminkan genre dramatis yang berbeda. Shakespeare men-

26
campurkan berbagai bentuk parody yang secara kasar dikatakan dapat

dikurangi menjadi tiga bentuk dasar, yaitu tragedi, komedi, dan permainan

sejarah.

Ketika orang-orang Puritan di bawah kekuasaan Oliver Cromwell dan

Persemakmurannya (1649-1660) menutup teater-teater Inggris dengan

alasan moral dan agama, drama kehilangan statusnya sebagai genre

utama. Meskipun agama hanya berpengaruh secara singkat terhadap

drama di Inggris dengan cara drastis (sampai Restorasi monarki), namun

agama ini memiliki konsekuensi luas di Amerika. Karena posisi

Puritanisme yang menonjol dalam sejarah Amerika, drama hampir tidak

ada dalam fase awal sastra Amerika dan baru kembali terbentuk sebagai

genre yang serius di awal abad ke-20.

Selama masa Restorasi di akhir abad ke-17, komedi sopan santun,

atau komedi Restorasi, menggambarkan masyarakat dari kalangan atas

dalam bermasyarakat dengan dialog cerdas, yang kemudian menjadi

sangat populer. William Congreve's (1670-1729) “The Way of the World”

(1700) dan William Wycherley (1641-1715) “The Country Wife” (1675)

adalah contoh yang terkenal. Drama heroik saat itu - seperti karya John

Dryden (1631-1700) “All for Love” (1677) - mencoba menciptakan dan

mengadaptasi tema epik di atas panggung. Pada periode Romantis di

awal abad kesembilan belas, Inggris menghasilkan closet drama, “a

special form of drama which was not meant to be performed on stage but

rather to be read in private.” (Klarer, 2004:45), sebuah bentuk drama

spesial yang tidak dimaksudkan untuk dipentaskan di atas panggung

27
melainkan untuk dibaca secara pribadi. Percy Bysshe Shelley (1792-1822)

“Prometheus Unbound” (1820) adalah contoh terkenal dari bentuk drama

yang tidak biasa ini.

Dengan datangnya realisme dan naturalisme di akhir abad

kesembilan belas, kesengsaraan sosial ditangani dengan skala yang lebih

luas dan drama mendapatkan kembali statusnya sebagai genre utama.

George Bernard Shaw (1856-1950) dan Oscar Wilde (1854-1900) adalah

salah satu dramawan terpenting periode ini. Semua perkembangan besar

di teater abad ke-20 dapat dilihat sebagai reaksi terhadap gerakan awal

yang menyukai representasi kehidupan realistis. Teater ekspresionis dan

teater yang absurd menyingkirkan ilusi bahwa kenyataan dapat

digambarkan dengan benar di atas panggung, dengan menekankan mode

penyajian yang lebih abstrak dan bergaya. Seperti novel postmodern,

parodi yang berbentuk dan berelemen konvensional telah menjadi fitur

mencolok dalam banyak drama pertengahan abad ke-20, seperti

Travesties Tom Stoppard (1937-1973), “Travesties” (1974) dan

“Rosencrantz dan Guildenstern Are Dead” (1966) atau Samuel Beckett's

(1906-89) “Waiting for Godot” (1952). Teater politik, yang ditandai dengan

kritik sosial, bersamaan dengan gerakan yang telah disebutkan, telah

menjadi sangat berpengaruh. Contoh yang penting tentang penganiayaan

politik selama era McCarthy di Amerika adalah Clifford Odets’ (1906-1963)

Marxist Workers’ memainkan “Waiting for Lefty” (1935) dan perumpamaan

Arthur Miller (1915-) “The Crucible” (1953).

28
Jadi unsur pertunjukan drama pada umumnya melampaui dimensi

tekstual dari dua genre sastra, yakni fiksi dan puisi, dimana kata-kata yang

dituliskan menjadi basis dari drama. Meskipun kata-kata tertulis tersebut

berfungsi sebagai dasar drama, pada akhirnya kata-kata tersebut

dimaksudkan untuk diubah menjadi sebuah pertunjukan di hadapan

penonton. Dalam hal ini perlu juga dipertimbangkan mengenai text,

transformation, dan performance sebagai tiga level pertunjukan yang

saling bergantung sama lain.

1. Teks (naskah)

Dalam dimensi tekstual drama, kata yang diucapkan berfungsi

sebagai dasar dialog (koma lisan antara dua karakter atau lebih) dan

monolog (soliloquy). Selain itu adalah bentuk komunikasi verbal khusus di

atas panggung di mana aktor "meneruskan" informasi penonton yang

tetap tidak diketahui oleh karakter lainnya dalam permainan. Hal tersebut

dinyatakan Klarer (2004:46-47) “Within the textual dimension of drama,

the spoken word serves as the foundation for dialogue (verbal

commimication between two or more characters) and monologue

(soliloquy). The aside is a special form of verbal communication on stage

in which the actor “passes on” to the audience information which remains

unknown to the rest of the characters in the play.”

Dialogue, monologue, plot, setting dan stage direction merupakan

bagian dari text. Sehubungan dengan plot, the three unities (tiga

kesatuan) yakni; waktu, tempat, dan tindakan sangat penting. Tiga

kesatuan ini menetapkan rentang waktu pertunjukan dan menetapkan

29
durasi waktu pertunjukan, serta tempat atau lokasi pertunjunkan. Terkait

dengan tiga kesatuan adalah pembagian pertunjukan menjadi tindakan

(acts) dan adegan (scenes). Teater Elizabeth mengadopsi struktur ini dari

zaman kuno, yang membagi drama menjadi lima tindakan (acts). Pada

abad kesembilan belas, jumlah tindakan (acts) dalam pertunjukan

dikurangi menjadi empat, dan pada abad ke-20 umumnya mencapai tiga.

Dengan bantuan perubahan tindakan (acts) dan adegan (scenes),

pengaturan, waktu, dan tindakan permainan dapat diubah, sehingga

memungkinkan kesatuan tradisional tempat, waktu, dan tindakan

dipertahankan dalam adegan (acts) atau tindakan.

2. Transformation (perubahan)

Pengertian Transformation dinyatakan Klarer (2004:48) sebagai

“Transformation, an important part of dramatic productions in the twentieth

century, refers to the connecting phase between text and performance.”

Transformasi merupakan bagian penting dari produksi drama pada abad

ke-20, mengacu pada fase penghubung antara teks dan pertunjukan.

Transformasi terdiri dari semua langkah logis dan konseptual yang

memproses sebuah pertunjukan dan biasanya dirangkum dalam judul

pengarahan (directing). Transformasi ini tidak langsung dapat diakses

oleh penonton; Namun, hal itu mempengaruhi hampir semua elemen

kinerja. Tugas direktur kontemporer mencakup pemilihan naskah atau

teks, menyusun konsep umum, casting, mengadaptasi panggung, memilih

alat peraga, kostum dan make-up, dan membimbing para aktor melalui

30
latihan. Oleh karena itu, sutradara bertanggung jawab atas keseluruhan

koordinasi artistik yang memandu teks ke dalam pertunjukan.

Profesi sutradara mulai berkembang di akhir abad kesembilan belas

dan dengan demikian fenomena yang relatif baru dalam pengembangan

drama dimulai. Sampai abad kesembilan belas, seringkali penulis naskah

sendiri yang akan memimpin produksi, atau aktor yang lebih

berpengalaman akan diberi tugas untuk mengarahkan (directing). Baru

pada pertengahan abad kesembilan belas, dengan perkembangan

realisme, persyaratan produksi semakin menuntut dan profesi sutradara

didirikan sebagai mediator antara penulis dan aktor. Di antara direksi

awal, Konstantin Rusia Stanislavsky (1863-1938) mungkin yang paling

terkenal. Gagasan dan metodenya diadopsi oleh sekolah bergengsi Lee

Strasberg (1901-1982) di New York dan sangat mempengaruhi tradisi

teater Amerika. Sutradara Austria Max Reinhardt (1873-1943) juga

menyebabkan kegemparan di dunia teater Amerika dengan beberapa

produksi spektakuler sebelum Perang Dunia I.

Contoh penyutradaraan drama yang baik ditunjukkan oleh

‘Catastrophe’ karya Samuel Beckett (1982), sebuah pertunjukan singkat

dengan sejumlah besar stage direction, yang subjek refleksinya adalah

produksi sebuah drama. Drama yang bergaya tinggi bergantung pada

seorang sutradara, aktor, dan kru yang terlibat dalam produksi sebuah

pertunjukan.

Setiap langkah dalam transformasi teks, yakni pilihan naskah,

aksentuasi permainan, pemilihan aktor, persyaratan alat peraga,

31
rancangan panggung, dan latihan gladi, memiliki penonton yang spesifik

dalam pemikirannya. Yang penting pada saat itu adalah gagasan

konseptual sutradara. Ini menyerupai interpretasi skor oleh konduktor,

yang menekankan aspek-aspek tertentu dari "teks" untuk menyampaikan

kesan individual sebuah karya. Aksentuasi penafsiran produksi ini terkait

erat dengan tren zaman ini.

Salah satu aspek yang mendasari setiap produksi adalah dimensi

spasial. Dalam fiksi tradisional, ruang terutama diungkapkan secara

deskriptif, sedangkan drama menggunakan dialog, monolog, bahasa

tubuh, dan terutama desain panggung, pemandangan, alat peraga, dan

pencahayaan untuk tujuan ini. Banyak elemen ruang tunduk pada kondisi

historis, namun para sutradara dengan bebas mengadaptasi fitur yang

lebih tua untuk produksi modern. Pengaturan teater dalam lingkaran,

misalnya, adalah sebuah konsep lama yang berasal dari teater kuno dan

sekarang mulai digunakan kembali dalam produksi modern untuk

menciptakan interaksi khusus antara penonton dan para aktor.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, berbagai elemen

transformasi dan teks saling mempengaruhi satu sama lain. Drama yang

dirancang untuk tahap yang tidak konvensional umumnya berbeda dari

permainan tradisional dalam bentuk dan konten. Fakta ini secara tidak

langsung mempengaruhi pertunjukan dan memerlukan kualifikasi khusus

dari pihak aktor.

3. Performance (pertunjukan)

32
Fase terakhir dalam pertunjukan menurut Klarer (2004:54), berfokus

pada aktor, yang bermaksud menyampaikan maksud dan tujuan dari

penulis dan sutradara. seratus tahun terakhir ini metode pelatihan para

aktor baru dimantapkan bersamaan dengan fenomena penyutradaraan

pertujukan teater. Sampai akhir abad kesembilan belas, transformasi teks

hampir seluruhnya berada di tangan para aktor. Karena kualitas akting

dalam permainan sangat berbeda antara satu pertunjukan dan yang

berikutnya, harus ditemukan cara untuk memastikan hasil yang konstan.

Latihan pernafasan, postur tubuh, gerakan tubuh, dan mekanisme

psikologis memfasilitasi reproduksi ulang beberapa suasana hati dan

sikap tertentu di atas panggung.

Ada dua pendekatan teoritis dasar untuk akting modern: metode

eksternal atau teknis dan metode internal atau realistis. Dalam metode

eksternal, aktor tersebut seharusnya bisa meniru mood yang dibutuhkan-

nya dengan menggunakan teknik tertentu, namun tanpa benar-benar

merasakan mood tersebut. Ini bergantung pada peniruan identitas dan

simulasi. Metode internal, bagaimanapun, dibangun berdasarkan

identifikasi individu aktor dengan perannya. Pengalaman pribadi tentang

perasaan dan internalisasi emosi dan situasi yang dibutuhkan pada

bagian mendasari metode internal. Dari dua pendekatan tersebut, metode

akting, dengan penekanannya pada keberadaan, adalah yang paling

banyak diterapkan di bioskop Eropa. Sebagian besar sekolah akting saat

ini meminjam dari kedua tradisi tersebut, sesuai dengan persyaratan

permainan spesifik yang akan dilakukan.

33
D. Film

Pada awal abad kedua puluh satu, tidak mungkin untuk

mengabaikan film sebagai genre semi-tekstual, keduanya dipengaruhi

oleh dan memberikan pengaruh pada literatur dan kritik sastra. Klarer

(2004:56) mendeskripsikan Film sebagai “Film is predetermined by literary

techniques; conversely, literary practice developed particular features

under the impact of film.” Film ditentukan oleh teknik sastra; Sebaliknya,

praktik sastra mengembangkan fitur tertentu di bawah dampak film.

Dilanjutkan Klarer bahwa banyak bentuk drama di abad 20 misalnya, telah

berevolusi dalam interaksi dengan film yang sarana penggambaran

fotografinya jauh melampaui penggambaran realistis di teater. Fotografi

dan film juga memiliki pengaruh besar pada seni rupa; novel, pendekatan

abstrak untuk melukis telah diambil sebagai tanggapan terhadap media

baru ini. Hal yang sama dapat dikatakan untuk fiksi postmodern, yang juga

berasal dari beberapa fitur strukturalnya dari film.

Mode penyajian khusus dalam film, seperti sudut kamera, editing,

montase, gerakan cepat dan lambat – sering atau dapat dijelaskan fitur

paralel teks sastra dalam kerangka tekstual. Meskipun film memiliki

karakteristik dan terminologi spesifik tersendiri, bukan tidak mungkin untuk

menganalisis film dengan menggunakan metode kritik sastra, karena kritik

film terkait erat dengan pendekatan tradisional studi tekstual.

Terlepas dari bentuk dan media mereka yang berbeda, drama dan

film sering dikategorikan sebagai pertunjukan seni, karena mereka

menggunakan aktor sebagai alat ekspresi utama mereka. Visualisasi

34
akting tidak dibiarkan hanya untuk imajinasi pembaca, melainkan

ditunjukan langsung dalam pertunjukan, terlepas dari penonton.

Perbedaan yang paling jelas antara film dan drama adalah kenyataan

bahwa sebuah film direkam dan diawetkan daripada drama yang

dipentaskan secara individual dalam teater yang unik dan tidak dapat

diulang. Film, dan terutama rekaman video, seperti halnya novel, yang

secara teori bisa berulang kali dibaca atau dilihat.

Sejarah film di abad kesembilan belas berhubungan erat dengan

fotografi. Sebuah suksesi instan tembakan individu menghasilkan kesan

mata manusia yang bergerak. Untuk menciptakan ilusi ini, dua puluh

empat gambar perdetik harus dihubungkan. Dalam setiap detik sebuah

film, gerakan proyektor terganggu dua puluh empat kali. Setiap gambar

muncul di layar hanya sepersekian detik. Proyeksi cepat gambar terlalu

cepat untuk mata manusia, yang tidak mengambil gambar individual,

melainkan melihat gerakan terus-menerus. Pada awal abad kesembilan

belas, fenomena fisiologis ini dieksploitasi untuk melakukan percobaan

sinematik pertama yang berhasil. Di Amerika, adaptasi sinematik dari

literatur naratif dilakukan pada pergantian abad ini. Di antara film naratif

pertama adalah cerita anak-anak seperti Georges Melies '(1861-1938)

Cinderella (1899) atau novel seperti Gulliver's Travels (Melies, 1901) dan

cerita pendek seperti The Legend of Rip Van Winkle (Melies, 1905).

Sementara film-film awal hanya mengadopsi perspektif kaku tahap

proscenium, genre ini segera berangkat dari drama segera sebelum dan

selama Perang Dunia I. Teknik baru seperti gerakan kamera dan

35
pengeditan ditemukan. Contoh awal Amerika di mana teknik baru ini

diterapkan adalah D.W. Griffith's (1875-1948), The Birth of a Nation

(1915), sebuah film narasi epik tentang kebangkitan AS yang berkuasa.

Banyak genre utama, seperti komedi slapstick Barat, dan kisah cinta

sudah ada di film bisu Amerika awal. Sudah oleh Perang Dunia I,

Hollywood telah menjadi pusat industri perfilman, dengan jaringan bioskop

yang meluas di seantero Amerika.

Ketika suara diperkenalkan ke film pada pertengahan 1920-an,

beberapa teknik visual progresif era diam ditinggalkan untuk periode

singkat yang mendukung suara dan musik yang direkam. Karena beratnya

peralatan suara, mobilitas kamera pada awalnya terhambat. Dimensi

akustik memungkinkan pengembangan tindakan melalui dialog dan tidak

hanya melalui sarana visual pada dekade sebelumnya. Pada 1930-an,

genre Hollywood termasuk film musikal, gangster dan petualangan Barat,

fiksi ilmiah, film horor, dan epos kostum mewah. Setelah Perang Dunia II,

film noir ("film gelap") dikembangkan sebagai genre baru yang berurusan

dengan korupsi di dunia metropolitan Amerika. Billy Wilder's Double

Indemnity (1944) dan Robert Siodmak (1900-73) The Killers (1946) adalah

contoh yang terkenal.

Dalam film, seperti pada genre lainnya, berbagai tingkat

berkontribusi terhadap keseluruhan kesan artistik. Media ini, yang sangat

bergantung pada aspek teknis, memiliki beberapa fitur sinematik penting

dan unik dengan terminologi mereka sendiri. Elemen paling penting dari

film dapat dimasukkan ke dalam dimensi ruang, waktu, dan suara.

36
1. Dimensi Spasial

“Part of the spatial dimension is also the framing, whose elements

are summarized under the French term mise-en-scène. Mise-en-scène

literally means “to place on stage” and refers to the arrangement of all

visual elements in a theater production.” (Klarer, 2004:60), bagian dari

dimensi ruang juga merupakan pembingkaian, yang unsur-unsurnya

diringkas di bawah istilah Prancis mise-en-scène. Mise-en-scène secara

harfiah berarti "menempatkan di atas panggung" dan mengacu pada

penataan semua elemen visual dalam produksi teater. Dalam film ini

digunakan sebagai istilah payung untuk berbagai elemen yang

membentuk bingkai, termasuk jarak kamera, sudut kamera, lensa,

pencahayaan, serta posisi orang dan benda dalam hubungan satu sama

lain.

2. Dimensi Temporal

“Film, like literature, can employ the dimension of time in a variety

of ways. Aspects of plot which have already been mentioned, such as

foreshadowing and flashback, or interwoven levels of action and time, can

be translated into film.” (Klarer, 2004:63), Film, seperti sastra, bisa

menggunakan dimensi waktu dengan berbagai cara. Aspek plot yang

telah disebutkan, seperti pertanda dan kilas balik atau tingkat jalinan aksi

dan waktu bisa diterjemahkan ke dalam film. Kualitas spesifik media

memungkinkan perawatan waktu dengan cara yang tidak ada dalam

genre lain. Contoh sederhana dari teknik ini adalah gerak cepat dan gerak

lambat, yang mendelegitimasi aksi. Namun, tidak mutlak perlu

37
menggunakan kecepatan khusus untuk memperpanjang atau

memperpendek dimensi temporal. Bioskop memiliki cara lain untuk

menciptakan perbedaan antara rentang waktu yang digambarkan dan

waktu sebenarnya. Penggunaan jam, kalender, surat kabar, tanda-tanda

penuaan, atau mode hanyalah beberapa dari banyak cara untuk

menunjukkan berlalunya waktu dalam film.

3. Dimensi Akustik

“It was not until the 1920s that the acoustic aspect was added to film,

bringing about a radical change of the medium. Information was nonlonger

conveyed merely by means of visual effects such as facial expressions,

gestures, or subtitles, but also through language (dialogue or monologue),

recorded music, and sound effects.” (Klarer, 2004:64), Baru pada tahun

1920an aspek akustik ditambahkan ke film, membawa perubahan media

yang radikal. Informasi tidak lagi disampaikan hanya melalui efek visual

seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, atau sub judul, tapi juga melalui

bahasa (dialog atau monolog), rekaman musik, dan efek suara.

Selain dialog dan efek suara, musik film mengasumsikan posisi

khusus dan biasanya mendukung plot. Volume, suara, ritme, dan

kecepatan perubahan musik sesuai situasi dan menggarisbawahi tingkat

makna dengan efek akustik. Musik film juga bisa kontras dengan plot dan

menciptakan efek ironis atau parodi. Plot mungkin didukung oleh

penggunaan musik dan efek suara yang konvensional dan tidak

mencolok, atau tindakan tersebut dapat dikonstankan dengan

membandingkan tingkat makna dan konten dengan tingkat akustik. Dalam

38
kedua kasus tersebut, dimensi akustik bertindak sebagai elemen integral

film, terjalin rumit dengan ciri dimensi spasial dan temporal.

REFERENSI

Brown, H. Douglas. 2007. Teaching by Principles: An Interactive Approach

to Language Pedagogy. New York: Pearson Education Inc.

Cleanth Brooks and Robert Penn Warren, Understanding Poetry, 4th ed.

(New York: Holt, Rinehart & Winston, 1976); 602 pp.Classic text

on the structuralist analysis of poetry which, despite its rigid

approach, offers a good survey of the terminological and formal

aspects of poetry as well as illustrative readings of poems.

Donald Hall, To Read a Poem, 2nd ed. (Fort Worth, TX: Harcourt Brace

Jovanovich, 1992); 432 pp.Both are introductions to the elements

and terminology of poetry with numerous examples suitable for

beginners.

Ephraim Katz, The Film Encyclopedia, 2nd ed. (New York: Harper

Perennial, 1994); 1496 pp.Affordable, alphabetically organized

reference book on the most important terms, figures, and works in

the film industry and film criticism.

Ian Watt, The Rise of the Novel: Studies in Defoe, Richardson and

Fielding (Berkeley, CA: University of California Press, [1957]

2001); 340 pp. Classical study on the origins of the English novel

and its sociocultural background in the eighteenth century.

Jeremy Hawthorn, Studying the Novel: An Introduction, 4th ed. (London:

Saint Martin’s Press, 2001); 192 pp.A very basic introduction to

39
the history and the elements of the novel with references for

further reading.

Klarer, Mario. 2004. An Introduction to Literary Studies Second Edition.

London: Routledge.

Laurence Perrine et al., Perrine’s Sound and Sense, 10th ed. (Orlando,

FL: Dryden Press, 2000); 464 pp.

Literature Online <http://www.lion.chadwyck.co.uk>One of the most

comprehensive full-text databases of English and American

literature with numerous links to similar databases. Access is

limited to subscribers only.

Martin Esslin, An Anatomy of Drama (New York: Hill & Wang, 1977); 125

pp.Very concise and accessible first survey of the most important

aspects of drama.

Michael McKeon, The Origins of the English Novel, 1600–1740, 15th ed.

(Baltimore, MD: The Johns Hopkins University Press, 2002);

560pp.Recent standard study of the early English novel. In

contrast to Watt’s book, it argues that the genre evolved before the

eighteenth century.

Phyllis Hartnoll, A Concise History of Theatre, rev. ed. (London: Thames &

Hudson, 1985); 262 pp.Illustrated general overview of the

historical development of drama covering the whole range of text,

directing, and performance.

Richard Ellmann and Robert O’Clair, ed., Modern Poems: An Introduction

to Poetry, 2nd ed. (New York: Norton, 1989); 526 pp.This

40
anthology of essential English and American poetry of the

nineteenth and twentieth centuries provides biographical

information, explanations of texts, and a brief fifty-page overview

of basic poetic elements.

Robert Cohen, Theatre: Brief Version, 6th ed. (New York: McGraw-Hill

Companies, 2002); 378 pp.

Robert W. Corrigan, The World of Theatre, 2nd ed. (Madison, WI: Brown &

Benchmark, 1992); 408 pp.Richly illustrated, comprehensive

introductions to drama. They go beyond the narrow English and

American context and also include aspects of directing and

performance.

Shlomith Rimmon-Kenan, Narrative Fiction: Contemporary Poetics, 2nd

ed. (London: Routledge, 2002); 208 pp.Comprehensible

introduction for the beginner to the foundations of narrative theory.

Simon Trussler, The Cambridge Illustrated History of British Theatre

(Cambridge: Cambridge University Press, 1994); 403

pp.Comprehensive, richly illustrated history of theater in England

from its beginnings in the Middle Ages to the 1990s.

Susan Hayward, Cinema Studies: The Key Concepts, 2nd ed. (London

and New York: Routledge, 2000); 528 pp.Alphabetical reference

work on basic terms, names, and concepts in film studies and film

theory. Leonard Maltin, Movie and Video Guide (New York: Signet,

n.d.); 1580 pp.Very inexpensive, annually published (and therefore

41
up to date) reference work on the most important movies and

video films.

The Cambridge Guide to Theatre, ed. Martin Banham, 2nd ed.

(Cambridge: Cambridge University Press, 1995); 1247

pp.Illustrated, alphabetically arranged reference work with brief

entries on the major playwrights, plays, and dramatic terms.

The Columbia History of the British Novel, ed. John J.Richetti et al. (New

York: Columbia University Press, 1994); 1064 pp.

The Columbia History of the American Novel, ed. Emory Elliott (New York:

Columbia University Press, 1991); 800 pp.Collections of essays by

literary historians on important novelists.

The Columbia History of American Poetry, ed. Jay Parini (New York:

Columbia University Press, 1993); 894 pp.A collection of essays

by literary historians on major American poets.

The New Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics, ed. Alex

Preminger et al., rev. ed. (Princeton, NJ: Princeton University

Press, 1993); 1382 pp.Standard encyclopedic reference work on

the major areas of poetry and literary theory.

The Norton Introduction to Literature, ed. J.Paul Hunter et al., 8th ed.

(London and New York: Norton, 2002); 2118 pp.A collection of

primary texts in English, of different genres and periods, with some

additional terminological information as well as guidelines for the

interpretation of texts.

42

Anda mungkin juga menyukai