Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU KESEHATAN ANAK

ASMA BRONKIAL PADA ANAK OBESITAS

Pembimbing:

dr. Hendarti Praharaningsih Eddy Saputra, Sp.A

Penyusun:

Meidy Adlina Firliyani

2019.04.2.0124

Periode : 12 Oktober 2020 Sampai 25 Oktober 2020

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANGTUAH

RSUD DR.MOHAMMAD SOEWANDHIE

SURABAYA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

ASMA BRONKIAL PADA ANAK OBESITAS

Referat dengan judul “ASMA BRONKIAL PADA ANAK OBESITAS” telah


diperiksa,dipresentasikan dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan klinik dibagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD
DR.Mohammad Soewandhi Surabaya.

Surabaya, 21 Oktober 2020

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Hendarti Praharaningsih Eddy Saputra, Sp. A


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat, Anugerah, dan
Hikmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Asma Bronkial
Pada Anak Obesitas” sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik
Ilmu Kesehatan Anak periode 12 Oktober 2020 Sampai 25 Oktober 2020.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnyakepada pembimbing dr. Hendarti Praharaningsih Eddy Saputra, Sp.
A yang telah membimbing dalam melaksanakan kepaniteraan dan menyusun referat
ini, saya menyadari dalam referat ini tentu masih terdapat kekurangan, oleh karena itu
saya memohon saran dan kritiknya. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat
serta menambah wawasan kepada pembaca.

Surabaya, 21 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................ii

KATA PENGANTAR..............................................................................................................iii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................v

DAFTAR TABEL.....................................................................................................................vi

BAB I..........................................................................................................................................7

PENDAHULUAN......................................................................................................................7

1.1 Latar Belakang..............................................................................................................7

BAB II.........................................................................................................................................8

TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................8

2.1 Asma Bronkial...............................................................................................................8

2.1.1 Definisi.....................................................................................................................8

2.1.2 Epidemiologi...........................................................................................................8

2.1.3 Patofisiologi............................................................................................................8

2.1.4 Faktor Resiko Asma..............................................................................................9

2.1.5 Klasifikasi.................................................................................................................9

2.2 Obesitas........................................................................................................................11

2.2.1 Defisini...................................................................................................................11

2.2.2 Cara penentuan obesitas...................................................................................11

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi obesitas...............................................................12

2.2.4 Dampak Obesitas................................................................................................13

2.3 Asma Bronkial dengan Obesitas..............................................................................14

2.3.1 Hubungan obesitas dan asma bronkial............................................................14

2.4 Diagnosis......................................................................................................................15

2.5 Manajemen Asma pada Anak Obesitas..................................................................17

BAB III......................................................................................................................................19

KESIMPULAN.........................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rumus indeks masa tubuh (IMT)………………………………………………………......11


Gambar 2.2 Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia >5 tahun…………19
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria penentuan derajat asma……………………………………………..14


Tabel 2.2 Jenis alat inhalasi sesuai usia…………………………………………….….17
Tabel 2.3 Derajat kendali penyakit asma…………………………………………….….18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang
mengakibatkan obstruksi jalan napas dengan adanya gejala utama wheezing.
Adanya riwayat gejala pernapasan seperti mengi saat ekspirasi, napas
pendek, sesak dadadan batuk yang bervariasi. Penyebab asma adalah
hiperaktivitas bronkus karena rangsangan sel-sel dan elemen seluler
terutama mastosit, eosinofil, makrofag, limfosit T, neutrofil, dan epitel. 1,2
Asma sering muncul pada kanak kanak dan usia muda sehingga
memberi dampak negatif bagi kehidupan pengidapnya, seperti menurunkan
kualitas hidup anak, menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah,
menyebabkan gangguan aktivitas sosial, dan bahkan berpotensi
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. 3
Obesitas pada anak merupakan salah satu masalah kesehatan yang
serius terjadi pada abad ke-21. Obesitas pada anak usia sekolah merupakan
masalah yang serius karena akan berlanjut hingga usia dewasa yang dapat
menjadi faktor risiko penyakit metabolik dan degeneratif. 4
Banyak penelitian menghubungkan antara asma dengan perubahan
pola diet dan obesitas, namun penyebab pasti antara keduanya masih belum
pasti diketahui. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa
obesitas mengawali terjadinya asma, meningkatkan prevalensi serta derajat
penyakit asma, dan mempunyai hubungan signifikan dengan kontrol penyakit
asma.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma Bronkial


2.1.1 Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan
peradangan saluran napas kronis. Hal itu ditandai dengan adanya riwayat
gejala pernapasan seperti mengi ekspirasi, napas pendek, sesak dada dan
batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu dan dalam intensitas bersamaan
dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi.3
2.1.2 Epidemiologi
Menurut laporan CDC (Center for Disease Control and Prevention)
tahun 2015, prevalensi asma menurut usia sebesar 8,4 % pada anak dan 7,6
% pada orang dewasa, dengan prevalensi asma pada anak tertinggi pada
kelompok usia 12-17 tahun sebesar 10%. Prevalensi asma meningkat 5-30%
dalam satu dekade terakhir.2 World Health Organisation (WHO)
memperkirakan 235 juta penduduk dunia menderita asma dan paling sering
terjadi pada anak. Prevalensi asma di Indonesia juga menunjukkan hasil yang
bervariasi, seperti 4% untuk Jakarta, 5,7% untuk Palembang, dan 2% untuk
Bandung. 6
2.1.3 Patofisiologi
A. Obstruksi saluran pernafasan
Obstruksi saluran respiratori menyebabkan terbatasnya aliran
udara yang kembali secara spontan karena adanya hambatan itu.
Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah adanya
kontraksi otot polos bronkus dengan agonis dari sel-sel inflamasi seperti
histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen
postganglionik.1
Adanya kontraksi otot polos saluran respiratori dan menebal
akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia
dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel sekretori, serta
deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, ada
hambatan juga yang menambah produksi sekret yang banyak, kental,
dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma
yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular. 1
Pada anak, terjadinya patologis pada bronkus (airway
remodeling) karena adanya inflamasi dari berbagai faktor seperti
alergen, virus, olahraga, dll. Faktor itu yang menimbulkan respons
hiperreaktivitas pada saluran respiratori. Inflamasi dan hiperreaktivitas
yang menyebabkan obstruksi saluran nafas.2
B. Hiperresponsivitas saluran nafas
Mekanisme reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas
kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot polos saluran
respiratori yang mengalami hiperplasi dan hipertrofi secara sekunder
sehingga menyebabkan perubahan kontraktilitas. Inflamasi dinding
saluran respiratori daerah peribronkial dapat memperberat
penyempitan saluran respiratori selama kontraksi otot polos.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan
memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya
dinaikkan secara progresif, kemudian dilakukan pengukuran
perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1).1
Stimulus lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering,
aerosol garam hipertonik, dan adenosin tidak menimbulkan efek
langsung terhadap otot tetapi dapat merangsang pelepasan mediator
dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran
respiratori.1
2.1.4 Faktor Resiko Asma
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi
genetik dan non-genetik yaitu: polusi udara, asap rokok, jenis
makanan, tungau debu rumah, perubahan cuaca, binatang peliharaan,
perabot rumah tangga dan riwayat penyakit keluarga. Faktor-faktor
yang bermakna untuk memengaruhi timbulnya asma berurutan mulai
yang paling dominan adalah atopi ayah atau ibu, diikuti dengan adanya
faktor berat lahir.1
2.1.5 Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang
sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma. 1
A. Berdasarkan umur
 Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
 Asma balita (bawah lima tahun)
 Asma usia sekolah (5-11 tahun)
 Asma remaja (12-17 tahun)
B. Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan
penampakan yang serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau
demografis.
 Asma tercetus infeksi virus
 Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
 Asma tercetus alergen
 Asma terkait obesitas
 Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
C. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
 Asma intermiten
 Asma persisten ringan
 Asma persisten sedang
 Asma persisten berat
Tabel 2.1 Kriteria penentuan derajat asma1

Klasifikasi ini dibuat pada kunjungan awal berdasarkan anamnesis:


Keterangan :
1. Klasifikasi berdasarkan sering kambuh gejalanya setelah
diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana umum selama 6
minggu.
2. Jika diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, tata
laksana diberikan sesuai tipenya.
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan
jenjang tata laksana jangka panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan,
masukkan ke dalam klasifikasi lebih berat.
D. Berdasarkan derajat beratnya serangan
Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami
episode gejala akut yang memberat dengan progresif yang disebut
sebagai serangan asma.
 Asma serangan ringan-sedang
 Asma serangan berat
 Serangan asma dengan ancaman henti napas
E. Berdasarkan derajat kendali
Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit.
Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa
obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
 Asma terkendali penuh (well controlled)
- Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten
- Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/
sedang/berat)
 Asma terkendali sebagian (partly controlled)
 Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai
keberhasilan tata laksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik
jenjang (step-up), pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step-
down) tata laksana yang akan diberikan.
2.2 Obesitas
2.2.1 Defisini  
Obesitas adalah dampak ketidakseimbangan energi berupa 
asupan yang jauh melampaui keluaran energi dalam jangka waktu 
tertentu.6 Kelebihan energi akan disimpan menjadi  lemak dalam sel
lemak, sehingga dengan bertambahnya simpanan  lemak tersebut,
semakin bertambah pula berat badan dan menjadi  obesitas.7
2.2.2 Cara penentuan obesitas 
Kegemukan dan obesitas pada anak dapat dinilai dengan
berbagai metode  atau teknik pemeriksaan. Salah satunya adalah
pengukuran Body Mass  Index (BMI) atau sering juga disebut Indeks
Massa Tubuh (IMT). Pengukuran IMT dilakukan denga cara membagi
nilai berat badan (kg)  dengan nilai kuadrat tinggi badan (m)2.4
Gambar 2.1 Rumus indeks masa tubuh (IMT)

Perhitungan IMT pada orang dewasa berbeda tidak sama


dengan IMT  anak dan remaja dikarenakan kriteria IMT pada anak
maupun remaja  spesifik terhadap umur dan jenis kelamin. Jenis
kelamin dan umur pada anak dan remaja dipertimbangkan karena
jumlah lemak tubuh yang  berubah sesuai dengan umur dan jumlah
lemak tubuh yang berbeda antara  perempuan dan laki-laki. Pada anak-
anak dan remaja hasil  perhitungan IMT juga dapat diinterpretasikan
pada grafik IMT menurut  umur baik pada laki-laki atau perempuan. 4
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi obesitas 

1) Faktor genetik 
Obesitas cendrung di turunkan,  sehingga seseorang menderita
obesitas di duga memiliki penyebab  genetik. Penelitian terbaru
menunjukan bahwa faktor genetik  mempengaruhi sebesar 33%
terhadap berat badan seseorang.7
2) Jenis kelamin 
Obesitas  lebih umum di jumpai pada wanita terutama pada
saat remaja dan  pasca manopause. Hal ini mungkin di sebabkan
oleh faktor  endokrin dan perubahan hormonal. 4
3) Aktifitas fisik 
Kurangnya aktifitas fisik kemungkinan salah satu penyebab 
utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah 
masyarakat makmur. Seseorang yang cendrung mengkonsumsi
makanan  yang kaya lemak dan tak melakukan aktifitas fisik yang
seimbang,  akan mengalami obesitas.7
4) Pola tidur 
Sejumlah hormon memediasi interaksi antara durasi tidur yang 
pendek, metabolisme dan tingginya IMT. Dua hormon kunci yang 
mengatur nafsu makan yaitu leptin dan ghrelin. Kedua hormon ini 
memainkan peranan yang signifikan dalam interaksi antara durasi 
tidur yang pendek dan tingginya IMT. 6
5) Pola makan 
Pemberian makanan padat tinggi kalori pada usia dini juga 
menjadi faktor obesitas pada anak. Bila asupan makanan untuk
bayi dan anak-anak melebihi  kebutuhannya, jumlah sel-sel
jaringan lemak akan meningkat guna  menyimpan lemak.4
6) Berat Badan Lahir 
Sebagian obesitas pada bayi umur satu tahun pertama 
berhubungan dengan berat badan lahirnya dan cara pemberian 
makan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya berat badan lahir 
lebih tinggi dari biasanya yaitu faktor keturunan, ibu obesitas, 
pertambahan berat badan ibu pada waktu hamil berlebihan dan ibu 
diabetes/prediabetes.7
2.2.4 Dampak Obesitas 

Obesitas pada anak akan menimbulkan berbagai keluhan dan 


berbagai keluhan dan gangguan penyakit. 7
Terdapat beberapa gangguan klinis yang di timbulkan akibat obesitas 
pada anak, di antaranya : 
1) Penyakit Kardiovaskuler 
Obesitas merupakan faktor resiko utama CVD, dan data secara 
konsisten menunjukkan peningkatan insidensi penyakit seiring 
dengan meningkatnya IMT.4
2) Penyakit Hipertensi 
Hipertensi dapat di sebabkan oleh beberapa faktor salah 
satunya obesitas. Anak obesitas akan menderita hipertensi akan 
mengalami berbagai penyakit komplikasi lainnya, dan kerusakan 
organ seperti gangguan pada fungsi mata, jantung, dan kelainan 
fungsi jantung.7
3) Asma Bronkhiale 
Asma bronkhiale merupakan kelainan sistem pernapasan yang 
di tandai dengan penyempitan pada saluran napas yang bersifat 
sementara serta dapat sembuh secara spontan tanpa pengobatan. 
Anak yang menderita obesitas yang memiliki pola aktivitas yang 
rendah akan berisiko terkena asma bronkial. 7
4) Sleep Apnea 
Sleep apnea adalah gangguan pernapasan ketika tidur, pada 
anak di tandai dengan terhentinya napas sekitar sepuluh detik 
ketika tidur. Anak yang obesitas mengalami penumpukan
lemak yang berlebihan di dalam tubuhnya, penumukan lemak yang 
berlebihan akan mengganggu darah dalam mengedarkan oksigen 
ketika proses oksidasi dan metabolisme berlangsung. 6
5) Kelainan Bentuk dan Ukuran Tulang 
Obesitas pada anak berpotensi menimbulkan kelainan bentuk 
dan ukuran tulang, ketidak seimbangan, maupun rasa nyeri yang 
sangat kuat ketika beridiri, berjalan, maupun berlari. Obesitas anak 
dapat memberikan tekanan dan renggang yang lebih besar 
terutama pada tulang kaki daripada anak dengan berat badan 
normal.7
6) Penyakit Diabetes Mellitus 
Anak penderita diabetes mellitus tipe II memiliki produksi insulin 
yang terganggu. Kebiasaan yang buruk pada pola makan anak 
obesitas dapat meningkatkan terjadinya penyakit penyakit kencing 
manis pada anak.7
2.3 Asma Bronkial dengan Obesitas
Obesitas dan asma merupakan penyakit kronik yang diderita
oleh jutaan orang. Prevalensi kedua penyakit ini cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Seorang dewasa dikatakan menderita obesitas
apabila memiliki indeks massa tubuh (IMT ≥ 30 kg/mm).8
2.3.1 Hubungan obesitas dan asma bronkial
1. Obesitas dan Fungsi Paru
Obesitas memiliki peranan terhadap fungsi paru. Obesitas
menyebabkan penurunan sistem komplians paru, volume paru, dan
diameter saluran napas perifer. Akibatnya, terjadi peningkatan
hipereaktivitas saluran napas, perubahan volume darah pulmoner, dan
gangguan fungsi ventilasi perfusi.8.10
Penurunan sistem komplians paru pada obesitas disebabkan oleh
penekanan dan infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, serta
peningkatan volume darah paru. Hal ini menyebabkan perubahan siklus
jembatan aktin-miosin yang berdampak pada peningkatan
hipereaktivitas dan obstruksi saluran napas. 8,9
2. Obesitas dan Mediator Inflamasi
Obesitas juga memiliki keterkaitan dengan beberapa mediator
inflamasi. Jaringan adiposit memproduksi sejumlah molekul pro-
inflamasi yang berperan dalam sistem imun seperti interleukin (IL)-6,
eotaxin, tumor necrosis factor (TNF)-α, transforming growth factor
(TGF)-β1, leptin, dan adiponektin.10
Sel adiposit memproduksi IL-6, apabila meningkat akan
menstimulasi terhadap histamin, IL-4, TNF-α, dan IL-1. Stimulasi
terhadap IL-4 akan meningkatkan produksi IgE yang berperan penting
pada asma.11
Eotaxin merupakan kemokin yang menimbulkan respon inflamasi
pada penderita asma.8 Ditemukan bahwa jaringan adiposit juga
mensekresikan eotaxin dan kadarnya meningkat baik. Hal ini
membuktikan bahwa kadar eotaxin yang meningkat pada obesitas
meningkatkan risiko seseorang menderita asma. 8.9
TNF-α juga dihasilkan oleh sel adiposit dan kadarnya
berhubungan langsung dengan massa lemak tubuh. Selain itu, diketahui
bahwa pada asma terjadi peningkatan kadar TNF-α yang meningkatkan
produksi sitokin di epitel bronkus. 8
Pada asma, TGF-β1 dihasilkan oleh eosinofil dan makrofag.
Sitokin ini menyebabkan transformasi fibroblas menjadi miofibroblas
sehingga terjadi remodeling saluran napas. Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa leptin berperan dalam hubungan antara obesitas
dan asma. Leptin merupakan hormon yang diproduksi oleh adiposit dan
kadarnya meningkat pada penderita obesitas. Sehingga kadar leptin
dalam darah dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya asma pada
anak.9
3. Diet
Konsumsi makanan penderita obesitas cenderung memiliki nilai nutrisi
rendah tetapi tinggi lemak. Kadar vitamin A, C, E, karoten, riboflavin,
piridoksin, zink, dan magnesium yang dikonsumsi berbanding terbalik
dengan kadar lemak tubuh. Defisiensi zink dan magnesium berhubungan
dengan munculnya gejala asma dan hipereaktivitas bronkus.
Kadar vitamin C yang rendah berhubungan dengan meningkatnya
prevalensi asma pada anak dan dewasa, gejala respirasi, serta
hipereaktivitas bronkus. Suplementasi vitamin C menunjukkan terjadinya
penurunan derajat serangan dan frekuensi asma. 11,12

2.4 Diagnosis

Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis


medis yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis asma pada pasien obesitas disertai dengan
pengukuran parameter hiperreaktivitas bronkus karena gejala respiratori pada
pasien obesitas seringkali menyerupai asma. 1
A. Anamnesis
Keluhan wheezing, batuk berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan produksi sputum.merupakan manifestasi klinis sebagai awal
diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang khas untuk mudah
menegakkan diagnosis asma. Yang harus kita tanyakan adalah:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus.
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma.
o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa
berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu,
bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari
(nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau
dengan pemberian obat pereda asma.
B. Pemeriksaan fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik
pasien biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang
kambuh yaitu batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang
terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan
stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti
dermatitis atopi atau rinitis.1
C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran
napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori,
atau adanya atopi pada pasien.1
 Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan
untuk menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan
pemeriksaan dengan peakflowmeter.
 Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.
 Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric
oxide), eosinofil sputum.
 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan
salin hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk
mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto
sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro- esofagus, uji keringat, uji
gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi respiratori
(rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).
2.5 Manajemen Asma pada Anak Obesitas
Asma akan lebih sulit dikendali pada pasien dengan obesitas. Hubungan
antara obesitas dengan asma cukup kompleks. Faktor yang memengaruhi di
antaranya adalah pengaruh refluks gastroesofageal, efek dari obstructive sleep
apnea, faktor mekanik, dan faktor lain. Tidak cukup bukti yang menyatakan
adanya perbedaan tatalaksana asma dengan obesitas atau tanpa obesitas. 1
a) Tata laksana medikamentosa
Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat
pereda (reliever) untuk meredakan gejala asma bila sedang timbul dan obat
pengendali (controller) untuk mencegah serangan asma.
Cara pemberian dengan inhalasi dan ada perbedaan teknik inhalasi
sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan
disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak.

Tabel 2.2 Jenis alat inhalasi sesuai usia

Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi inhalasi atau


sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin
lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.
 Steroid inhalasi
Menekan inflamasi dan sebagai tata laksana asma jangka panjang.
Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat
mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi
risiko MRS, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru.
Umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang
diberikan sekali sehari.
 Agonis β2 kerja panjang
Kombinasi agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan. Pada
anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi
dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan.
 Antileukotrien
Memiliki efek bronkodilatasi kecil, mengurangi gejala termasuk
batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas
dan eksaserbasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat
menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis
steroid inhalasi.
 Teofilin lepas lambat
Dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai
kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun karena
kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik.
 Anti-IgE (omalizumab)
Adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi kadar IgE
bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun,
omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat
steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun masih
sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi.
b) Non-medikamentosa
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai
pengobatan. Sebelum memutuskan untuk turun jenjang atau naik jenjang dalam
tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien
terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi, dan mengendalikan
faktor pencetus asma.
Tabel 2.3 Derajat kendali penyakit asma
Gambar 2.1 Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia >5 tahun

Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6- 8
minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke
atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8- 12
minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang
kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek- aspek
penghindaran, penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan
omalizumab.
 Program KIE

Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan unsur yang


sangat penting tetapi sering dilupakan dalam tata laksana asma. Tujuan
program KIE adalah memberi informasi dan pelatihan yang sesuai terhadap
pasien dan keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan atau pemahaman,
keterampilan, dan mampu meningkatkan kemandirian dalam tata laksana
asma yang lebih baik.1
Table 2.4 Program KIE pada anak, keluarga, dan sekolah
BAB III
KESIMPULAN

Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran


nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada
malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,
inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan.
Obesitas sebagai suatu keadaan dengan kelebihan lemak tubuh
yang menjadi permasalahan kesehatan sehingga bisa mempengaruhi
kesehatan. Salah satu masalah yang dapat ditimbulkan adalah kejadian
asma. Meningkatnya mediator inflamasi, gangguan mekanik dan volume
paru menyebabkan obesitas sebagai salah satu faktor penyebab
terjadinya asma.

DAFTAR PUSTAKA

1. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Anak


Edisi ke-2 (2016). 2nd ed. Rahajoe N, Kartasasmita CB, Supriyatno B,
Setyanto DB, editors. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2016.
2. Pusat Data dan Infomasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. You
Can Control your Asthma. 2016.
3. Global Initiative for Asthma. 2019. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. At A Glance Asthma Management
Reference.http://ginasthma.org/wp-content/uploads/2019/04/GINA-2019-main-
Pocket-Guide-wms.pdf.
4. World Health Organization. Obesity and Overweight. 2018.
5. Rina K. OBESITAS DENGAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA
SEKOLAH. Universitas Gadjah Mada; 2017.
6. Arisman, M.B. 2014. Obesitas, Diabetes Melitus, & Dislipidemia : Konsep,
teori  dan penanganan aplikatif. Jakarta: EGC 
7. Hasdianah., Siyoto, S., & Peristyowati, Y. 2014. Medikal Book : Gizi, 
Pemantapan Gizi, Diet, dan Obesitas, Yogyakarta : Nuha Medika
8. Wahyudi, Yani, Erekadius. 2016. Hubungan Faktor Risiko terhadap Kejadian
Asma pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang.Jurnal Kesehatan Andalas,
5(2). http://jurnal.fk.unand.ac.id.
9. Mebrahtu TF, Feltbower RG, Greenwood DC, Parslow RC. Childhood body
mass index and wheezing disorders: a systematic review and meta-
analysis. Pediatr Allergy Immunol. 2015;26:62–72.
10.  Freedman DS, Butte NF, Taveras EM, Goodman AB, Ogden CL, Blanck HM.
The Limitations of Transforming Very High Body Mass Indexes into z-Scores
among 8.7 Million 2- to 4-Year-Old Children. J Pediatr. 2017;188:50–6. e1.
11.  Forno E, Acosta-Perez E, Brehm JM, Han YY, Alvarez M, Colon-Semidey A,
et al. Obesity and adiposity indicators, asthma, and atopy in Puerto Rican
children. J Allergy Clin Immunol. 2014;133:1308–14. 14 e1–5. 
12. Karampatakis N, Karampatakis T, Galli-Tsinopoulou A, Kotanidou EP,
Tsergouli K, Eboriadou-Petikopoulou M, et al. Impaired glucose metabolism
and bronchial hyperresponsiveness in obese prepubertal asthmatic
children. Pediatr Pulmonol. 2016
13. Murray CS, Canoy D, Buchan I, Woodcock A, Simpson A, Custovic A. Body
mass index in young children and allergic disease: gender differences in a
longitudinal study. Clin Exp Allergy. 2011;41:78–85. 
14. Thorburn AN, McKenzie CI, Shen S, Stanley D, Macia L, Mason LJ, et al.
Evidence that asthma is a developmental origin disease influenced by
maternal diet and bacterial metabolites. Nat Commun. 2015;6:7320.
15. Kim HY, Lee HJ, Chang YJ, Pichavant M, Shore SA, Fitzgerald KA, et al.
Interleukin-17-producing innate lymphoid cells and the NLRP3 inflammasome
facilitate obesity-associated airway hyperreactivity. Nat Med. 2014;20:54–61.

Anda mungkin juga menyukai