Anda di halaman 1dari 64

Makalah Case 7

FARMAKOLOGI

Anggota : Ihsan Febrianto Rahman 1910211042


Rahayu Dewi Kusumawardhani 1910211051
Raden Ayu Salsabila Rifdah 1910211052
Deandra Atya Maharani 1910211053
Audrey Alvura Digna 1910211089
Enrico Yusuf 1910211102
Ismah Nurul Sittah Fitriya 1910211116
Maishariifa Isfahani Saptowati 1910211127

Tutor : dr. Retno Yulianti , M.Biomed.

S1 KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL
“VETERAN” JAKARTA
2019

1
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha kuasa. Begitu banyak dan
berlimpah nikmat yang telah diberikan.
Dalam rangka memenuhi tugas tutorial, kami menyusun makalah ini membahas tentang
parasitologi. Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi tim penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai,
Amin.

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………….............................................................................2
Daftar Isi…………………………………………………........................................3
Lampiran LPR……………......................................................................................4
I. FARMAKOLOGI
A. Definisi…………………………………………………………………………………………………5

B. Terminologi………………………………………………………………………………………….5

C. Cara Pemberian Obat…………………………………………………………………………..6

II. FARMAKOKINETIK
A. Absorbsi……………………………………………………………………………………………….10

B. Distribusi………………………………………………………………………………………………13

C. Metabolisme………………………………………………………………………………………..21

D. Ekskresi………………………………………………………………………………………………..25

E. Bioavailabilitas……………………………………………………………………………………..32

III. FARMAKODINAMIK
A. Reseptor………………………………………………………………………………………………40

B. Non-reseptor……………………………………………………………………………………….53

C. Interaksi Obat………………………………………………………………………………………60

3
4
Farmakologi Secara Umum dan Cara Pemberian Obat

A. Farmakologi :
 ilmu tentang bahan-bahan yang berinteraksi dengan makhluk hidup melalui proses
kimiawi, khususnya melalui ikatan dengan molekul-molekul pengatur (regulatory molecules)
serta mengaktifkan atau menghambat proses-proses normal tubuh.
 Bahan-bahan ini dapat berupa bahan kimia yang diberikan untuk mencapai suatu efek
terapeutik yang berguna pada suatu proses dalam tubuh pasien atau untuk efek toksiknya
terhadap proses-proses regulatorik dalam tubuh parasite yang menginfeksi pasien.

B. Terminologi :
 Farmasi : ilmu mengenai cara membuat, memformulasikan, menyimpan,
dan menyediakan obat
 Farmakognosi : cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat
tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat
 Farmakologi klinik : cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia
 Farmakokinetik : aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh
yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.
 Farmakodinamik : aspek farmakologi yang mempelajari efek obat terhadap
fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya.
 Farmakoterapi : cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam
pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam farmakoterapi terdapat farmakokinetik dan
farmakodinamik
 Toksikologi : ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia, termasuk obat, zat
yang digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun lingkungan hidup manusia

C. Efek Bahan Kimia :

Kiri : bidang farmakologi dan toksikologi medis, yang


ditujukan untuk memahami kerja obat sebagai
bahan kimia pada organisme individual, terutama
manusia dan hewan peliharaan. Baik efek yang
bermanfaat maupun efek toksik tercakup.

Farmakokinetika : berurusan dengan penyerapan,


distribusi, metabolisme dan eliminasi obat.

Farmakodinamika : memerhatikan kerja bahan kimia


pada organisme.

Kanan : ranah toksikologi lingkungan, yang


berurusan dengan efek bahan kimia pada semua
organisme dan kesintasan mereka dalam kelompok
atau sebagai spesies.
5
D. Cara Pemberian Obat
a. Perektal
i. Memasukkan obat melalui rectum biasanya dalam bentuk sediaan suppositoria
ii. 50% mengalami dan 50% tidak mengalami Eliminasi Lintas Pertama,
bioavailabilitas rendah
iii. (+) efek sedikit lebih cepat daripada peroral, karena 50% melewati ELP dan 50%
tidak melewati ELP, dibanding peroral yang hanya mengalami ELP (100%)
iv. (-) butuh koorperasi pasien, tingkat kepatuhan pasien yang rendah, tidak bisa
diberikan ke semua usia (tidak bisa ke anak-anak), tingkat kenyaman rendah

b. Vaginal
i. Memasukkan obat melalui Vagina biasanya dalam bentuk sediaan suppositoria
khusus untuk vagina, langsung diserap oleh pembuluh darah yang ada pada
vagina dan organ terkait
ii. tidak mengalami Eliminasi Lintas Pertama (karena efek lokal),
bioavailabilitas tinggi
iii. (+) Efek cepat
iv. (-) butuh koorperasi pasien, tingkat kepatuhan pasien yang rendah, tidak bisa
diberikan ke semua usia (tidak bisa ke anak-anak), tingkat kenyaman rendah

c. Buccal
i. Obat diletakan antara gigi dan selaput lendir pada pipi bagian dalam, tidak
ditelan.
ii. 0% mengalami Eliminasi Lintas Pertama, bioavailabilitas tinggi
iii. (+) kerja obat cepat, mudah diabsorpsi, tidak menyakitkan
iv. (-) perlu kerja sama pasien agar obat tidak tertelan, tidak bisa diberikan ke semua
usia (tidak bisa ke anak-anak)

1. Topikal
a. Kutanea/Topikal
i. Obat diaplikasikan pada kulit, biasanya digunakan untuk efek lokal dan paling
sering digunakan untuk mengobati gangguan kulit di permukaan
ii. 0% Mengalami Eliminasi Lintas Pertama karena topikal, Bioavailabilitas
tinggi
iii. (+) Kadar obat dalam darah relatif konstan
iv. (-) Proses hingga obat memberikan efek terapi lama, dapat mengiritasi kulit,
hanya untuk obat dengan dosis harian kecil

b. Transdermal
i. Obat dihantarkan ke seluruh tubuh melalui patch (bentuknya semacam koyo)
pada kulit
ii. 0% Mengalami Eliminasi Lintas Pertama karena topikal, Bioavailabilitas
tinggi
iii. (+) Kadar obat dalam darah relatif konstan
iv. (-) Proses hingga obat memberikan efek terapi lama, dapat mengiritasi kulit,
hanya untuk obat dengan dosis harian kecil

6
c. Okular (tts mata)
i. Obat yang digunakan untuk mengobati gangguan mata (seperti glaukoma,
konjungtivitis, dan luka) dapat dicampur dengan zat aktif untuk membuat cairan,
gel, atau salep sehingga mereka dapat diberikan pada mata, bahan tidak boleh
mengiritasi mata
ii. 0% Mengalami Eliminasi Lintas Pertama karena topikal, Bioavailabilitas
tinggi
iii. (+) mudah digunakan, proses penyerapan cepat
iv. (-) mudah keluar dari mata, beberapa obat dapat memasuki pembuluh darah yang
ada di mata dan menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (selain efek
terapi)

d. Otic (tts telinga)


i. Obat yang digunakan untuk mengobati radang telinga (hidrokortison) dan infeksi
(siprofloksasin), dapat diberikan secara langsung ke telinga.
ii. 0% Mengalami Eliminasi Lintas Pertama karena topikal, Bioavailabilitas
tinggi
iii. (+) mudah digunakan, proses penyerapan cepat, minim efek samping karena
hanya pada liang telinga luar (tidak ada pembuluh darah)
iv. (-) mudah keluar dari telinga

2. Parenteral
a. Intra vena (i.v.)
i. Cara memberikan obat dengan injeksi pada pada pembuluh vena secara langsung,
diantaranya vena/arteri mediana kubiti (lengan), vena sephanous (tungkai), vena
jugularis (leher), vena frontalis (kepala)
ii. 0% mengalami Eliminasi Lintas pertama, bioavailabilitas tinggi
iii. (+) Obat segera masuk sirkulasi dan cepat didistribusi, Respon cepat, Dapat
diberikan pada pasien yg tidak kooperatif, tidak sadar, muntah-muntah. Sangat
berguna pada keadaan darurat (Injeksi, cairan infus pada saat operasi)
iv. (-) Dibutuhkan cara aseptic, Efek toksik mudah terjadi karena kadar obat dalam
darah segera tercapai, Risk penularan hepatitis, hiv (bila tidak disposable), sukar
dilakukan sendiri, tidak ekonomis

b. Intra arteri (i.a.)


i. Cara memberikan obat dengan injeksi pada pada pembuluh arteri secara
langsung, diantaranya arteri mediana kubiti (lengan), hanya untuk beberapa
prosedur diantaranya mengeliminasi sumbatan pada arteri yang jika tidak diurai
dapat mengakibatkan stroke
ii. 0% mengalami Eliminasi Lintas pertama, bioavailabilitas tinggi
iii. (+) Obat segera masuk sirkulasi dan cepat didistribusi, Respon cepat, Dapat
diberikan pada pasien yg tidak kooperatif, tidak sadar, muntah-muntah. Sangat
berguna pada keadaan darurat (Injeksi, cairan infus pada saat operasi)

7
iv. (-) Dibutuhkan cara aseptic, Efek toksik mudah terjadi karena kadar obat dalam
darah segera tercapai, Risk penularan hepatitis, hiv (bila tidak disposable), sukar
dilakukan sendiri, tidak ekonomis

c. Intra muscular (i.m.)


i. Cara memasukkan obat ke jaringan otot, biasanya dilakukan di daerah paha
(vastus lateralis), dengan posisi ventrogluteal (berbaring), dorsogluteal
(tengkurap) atau lengan atas (deltoid).
ii. 0% mengalami Eliminasi Lintas pertama, bioavailabilitas tinggi.
iii. (+) Respon cepat, Dapat diberikan pada pasien yg tidak kooperatif, tidak sadar,
muntah-muntah. Sangat berguna pada keadaan darurat.
iv. (-) Dibutuhkan cara aseptic, Efek toksik mudah terjadi karena kadar obat dalam
darah segera tercapai, Risk penularan hepatitis, hiv (bila tidak disposable), sukar
dilakukan sendiri, tidak ekonomis, kadang disertai nyeri.

d. Sub kutan (s.k.)


i. Memasukkan obat ke dalam jaringan kulit  untuk mengetahui sensitifitas tubuh
terhadap obat yang disuntikkan.
ii. 0% mengalami Eliminasi Lintas pertama, bioavailabilitas tinggi
iii. (+) Respon cepat, Dapat diberikan pada pasien yg tidak kooperatif, tidak sadar,
muntah-muntah. Sangat berguna pada keadaan darurat (operasi), mengecek alergi
terhadap suatu obat
iv. (-) Dibutuhkan cara aseptic, sukar dilakukan sendiri, tidak ekonomis, kadang
disertai nyeri

e. Intra Tekal (i.t.)


i. cara memasukkan obat ke organ sumsum tulang belakang (ruang subaraknoid),
cara pemberian obat ini ditujukan langsung ke CNS (pusat koordinasi saraf).
ii. 0% mengalami Eliminasi Lintas pertama, bioavailabilitas tinggi
iii. (+) Respon cepat, Dapat diberikan pada pasien yg tidak kooperatif, tidak sadar,
muntah-muntah. Sangat berguna pada keadaan darurat seperti operasi (Anastesi
lokal)
iv. (-) Dibutuhkan cara aseptic, Efek toksik mudah terjadi karena kadar obat dalam
darah segera tercapai, Risk penularan hepatitis, hiv (bila tidak disposable), sukar
dilakukan sendiri, tidak ekonomis, kadang disertai nyeri

f. Intra Peritoneal (i.p.)


i. cara memasukkan obat ke ruang abdomen, cara pemberian obat ini ditujukan
untuk beberapa kemoterapi (kanker ovarium)
ii. 0% mengalami Eliminasi Lintas pertama, bioavailabilitas tinggi
iii. (+) Respon cepat, Dapat diberikan pada pasien yg tidak kooperatif, tidak sadar,
muntah-muntah.
iv. (-) Dibutuhkan cara aseptic, Efek toksik mudah terjadi karena kadar obat dalam
darah segera tercapai, Risk penularan hepatitis, hiv (bila tidak disposable), sukar
dilakukan sendiri, tidak ekonomis, kontroversial karena biasa dilakukan pada
hewan

8
3. Inhalasi
a. Inhalasi
i. Obat diberikan dengan inhalasi melalui mulut harus dikabutkan menjadi tetesan
lebih kecil dibanding pada rute hidung, sehingga obat dapat melewati
tenggorokan (trakea) dan ke paru-paru. Seberapa dalam obat bisa ke paru-paru
tergantung pada ukuran tetesan. Tetesan kecil pergi lebih dalam, yang
meningkatkan jumlah obat yang diserap. Di dalam paru-paru, mereka diserap ke
dalam aliran darah.
ii. 0% Mengalami Eliminasi Lintas Pertama karena topikal, Bioavailabilitas
tinggi
iii. (+) untuk anastesi umum, reaksi obat cepat
iv. (-) harus dimonitor untuk memastikan penderita menerima jumlah yang tepat
dari obat dalam waktu tertentu, perlu peralatan khusus, perlu tenaga ahli (tidak
bisa dilakukan sendiri).
b. Nassal
i. obat diubah menjadi tetesan kecil di udara (dikabutkan, aerosol) supaya bisa
dihirup dan diserap melalui membran mukosa tipis yang melapisi saluran
hidung. Setelah diserap, obat memasuki aliran darah.
ii. 0% Mengalami Eliminasi Lintas Pertama karena topikal, Bioavailabilitas
tinggi
iii. (+) Reaksi obat cepat

9
iv. (-) dapat mengiritasi rongga hidung

Absorpsi
Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian yang mencakup
kecepatan dan kelengkapan penyerapan obat. Secara umum terbagi menjadi dua, yaitu transpor
pasif dan transpor aktif.
A. Transpor Pasif
Transpor pasif merupakan proses absorpsi yang tidak memerlukan ATP dan prosesnya
terjadi dengan memanfaatkan perbedaan gradien konsentrasi. Terdapat dua macam transpor pasif
pada absorpsi, yaitu:
a. Difusi dalam air
Difusi dalam air terjadi pada jenis obat yang larut di dalam air. Obat jenis ini
akan diabsorpsi melalui celah antarsel atau tight junction. Obat yang bersifat ion dan
memiliki ukuran yang kecil umumnya diabsorpsi dengan cara ini.

Gambar a1:proses absorpsi dalam air


b. Difusi dalam lemak
Obat yang bersifat lipofilik, dan non-ion mengalami absorpsi dengan cara
difusi dalam lemak. Difusi dalam lemak terjadi dengan molekul obat berdifusi
masuk ke dalam sel dengan melintasi membran sel dan kemudian keluar dari
dalam sel melalui membran sel untuk kemudian masuk ke aliran darah. Obat
dengan derajat disosiasi tinggi (umumnya pada senyawa elektrolit lemah, yaitu
asam lemah dan basa lemah) tidak dapat melakukan difusi dalam lemak
Gambar b1: proses difusi dalam lemak

10
B. Transpor Aktif
Transpor aktif merupakan proses absorpsi yang dibantu oleh protein kanal dan
mengonsumsi ATP dalam prosesnya. Terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Protein kanal atau pembawa
Jenis obat yang diabsorpsi melalui protein pembawa pada membran sel adalah
obat yang memiliki struktur yang mirip dengan glukosa, asam amino, purin,
pirimidin, vitamin dan mineral. Obat yang memiliki struktur molekul yang besar juga

diabsorpsi dengan cara ini.


Gambar a.2: proses absorpsi melalui protein membran
Tidak semua obat langsung diabsorpsi, ohaanya obat-obat yang dikenali oleh
reseptor pada protein membran sel yang dapat melalui proses absorpsi ini. Berikut

beberapa protein membran yang dapat mengangkut obat:


Gambar a3: protein membran sel ayaang dapat mengangkut obat

11
b. Endositosis
Proses absorpsi dengan cara endositosis terjadi pada obat dengan ukuran
molekul yang besar atau pada obat yang berikatan dengan protein yang ada di
dalam pembuluh darah. Contoh endositosis adalah pada vitamin B 12 yang
berkompleks dengan protein instrinsik.
Gambar b2: proses endositosis

Distribusi

Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer


senyawa obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Setelah melalui
proses absorpsi, senyawa obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
sirkulas i darah. Molekul obat dibawa oleh darah ke satu target (reseptor) untuk
aksi obat dan ke jaringan lain (non-reseptor), di mana dapat terjadi efek samping
yang merugika n. Cairan tubuh total berkisar antara 50-70% dari berat badan.
Cairan tubuh dapat dibagi menjadi:

1. Cairan ekstraseluler, yang terdiri atas plasma darah (4,5% dari


berat badan), cairan interstisial (16%) dan limfe (1-2%).
2. Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan), yang merupakan
jumlah cairan dalam seluruh sel-sel tubuh.

12
3. Cairan transeluler (2,5%), yang meliputi cairan serebrospinalis,
intraokuler, peritoneal, pleura, sinovial dan sekresi alat cerna.
Pada umumnya molekul obat berdifusi secara cepat melalui jaringan kapiler halus
ke ruang jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan interstisial plus cairan
plasma disebut cairan ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya dari cairan
interstinal, molekul obat berdifusi melintasi membran sel ke dalam sitoplasma
(Shargel et al., 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah:

1. Perfusi darah melalui jaringan


Obat dibawa ke seluruh jaringan tubuh oleh aliran darah sehingga semakin cepat obat
mencapai jaringan, semakin cepat pula obat terdistribusi ke dalam jaringan. Kadar obat
dalam jaringan akan meningkat sampai akhirnya terjadi keadaan yang disebut keadaan
mantap (steady state). Kecepatan distribusi obat masuk ke jaringan sama dengan
kecepatan distribusi obat keluar dari jaringan tersebut. Pada keadaan ini, perbandingan
kadar obat dalam jaringan dengan kadar obat dalam darah menjadi konstan dan
keadaan ini disebut keseimbanga n distribusi. Oleh karena itu, pada jaringan tubuh
yang mendapat suplai darah relatif paling banyak dibandingkan ukurannya akan
menyebabkan terjadinya keseimbangan distribusi yang paling cepat (Staf Pengajar
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008).

Tabel 1. Besarnya aliran darah ke berbagai jaringan tubuh


pada seseorang dengan berat badan 70 kg (Staf Pengajar
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008).

Aliran darah (perfussion


Jaringan/organ rate)
(mL/menit/m
tubuh L jaringan)

13
10
Paru-paru (mewakili seluruh curah
jantung)

Ginjal 4

Hati 0,8

Jantung 0,6

Otak 0,5

Lemak 0,03

Otot (istirahat) 0,025

Tulang 0,02

Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan


penyebarannya di dalam tubuh, yaitu:

a. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan,


yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik, seperti jantung,
hati, ginjal dan otak (waktu distribusi kurang dari 2 menit).
b. Distribusi fase kedua jauh lebih luas lagi, yaitu mencakup
jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada fase
pertama, misalnya pada otot,

14
visera, kulit dan jaringan lemak (waktu distribusi 2-4 jam)
(Shargel et al.,2012).

Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas.


Perfusi yang tinggi adalah yang terjadi pada daerah paru-paru, hati,
ginjal, jantung, otak dan daerah yang perfusinya rendah adalah
lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan kulit merupakan
perfusi sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan darah pada
penderita sakit jantung akan mengubah perfusi organ seperti hati,
ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat (Shargel
et al., 2012).

2. Ikatan obat pada protein plasma


Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma,
hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai
keseimbangan. Ikatan protein pada obat akan mempengaruhi
intensitas kerja, lama kerja, dan eliminasi obat. Bahan obat yang
terikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan pada
umumnya tidak mengalami biotransformasi dan eliminasi.
Sebenarnya hanya zat aktif yang tidak terikat dengan protein
plasma yang dapat berdifusi dan memberika n efek farmakologis,
sedangkan kompleks zat aktif dengan protein tidak dapat melintasi
membran, namun kompleks ini hanya bersifat sementara. Apabila
molekul zat aktif yang bebas telah dimetabolisme atau ditiadakan
maka, kompleks ini akan melepaskan bentuk zat bebasnya (Shargel
et al., 2012).

Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh


afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya
sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada
malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein. Walaupun ikatan
antara zat aktif dan protein plasma tidak terlalu kuat, namun tidak

15
disangsikan lagi bahwa fenomena tersebut berperan pada distribusi
zat aktif dalam jaringan, karena konsentrasi zat aktif dalam cairan
interstitia l ekstraselular dapat lebih rendah dari konsentrasi dalam
plasma (Kee,1996).

Albumin adalah protein plasma yang paling banyak (40 g/L).


Albumin tersebut memungkinkan terjadinya ikatan pada sebagian
besar senyawa obat, terutama dalam bentuk anion (asam asetil
salisilat, sulfonamide, dan anti-vitamin K ). Bentuk kation juga
mempunyai afinitas yang tidak dapat diabaikan. Peran globulin tidak
terlalu nyata dan hanya berpengaruh pada senyawa tertentu seperti
steroida dan tiroksin. Protein lain yang dapat berinteraksi dengan
obat yaitu α1-Asam glikoprotein (orosomukoid),yaitu suatu globulin
(BM > 44.000 Da). Protein ini memiliki konsentrasi plasa yang
rendah (0.4 -1 %),dan mengiakt obat-obat basa kationik seperti
propanolol, imipramin, dan lidokain. Globilin (α-, β-, δ- globulin)
bertanggungjawab untuk transport dalam plasma dari bahan-bahan
endogen seperti kortikosteroid, globulin ini mempunya i kapasitas
yang rendah tapi afinitas tinggi terhadap bahan endogen tersebut.
Eritrosit juga dapat berikatan dengan obat (Terdiri dari kurang lebih
45% volume darah). Protein ini dapat berikatan baik dengan
senyawa endogen dan eksogen, seperti Fenitroin, Fenobarbital, dan
Amobarbital (Kee, 1996; Shargel et al., 2012).

Tabel 2. Beberapa obat yang mempunyai afinitas yang kuat


terhadap protein plasma (Lechat et al., 1981)

Nama Obat Afinitas (%)

Fenibutazon 98

16
Sulfonamida 96

Digitoksin 95

Etil Biskumasetat 90

Tiopental 75

Salisilat 64

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan protein plasma


dengan molekul obat adalah:

a. Interaksi dengan obat lain

Ikatan plasmatik bersifat tidak spesifik sehingga dapat


berikatan dengan beberapa molekul obat. Hal tersebut dapat
menimbulkan terjadinya persaingan antar molekul obat untuk
berikatan dengan plasma. Molekul yang mempunyai ikatan
protein lebih stabil akan menyingkirkan molekul obat lain dari
sisi aktif plasma sehingga meningkatkan jumlah bentuk
bebasnya. Contohnya Kuinidin dan beberapa obat lainnya yang
termasuk antidisritmia verapamil dan amiodaron menggantikan
digoksin sehingga mengurangi ekskresi ginjal, dan akibatnya
menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas Digoksin. Selain
itu, ada juga persaingan Fenilbuta zo n dengan Dikumarol, di
mana afinitas plasmatik Fenilbutazon lebih tinggi dibandingkan
Dikumarol. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah bentuk

17
bebas Dikumarol dan menyebabkan pendarahan (aktivitas
Dikumarol sebagai anti-koagulan) (Shargel et al., 2012).

b. Obat

Sifat-sifat fisikokimia obat juga mempengaruhi tercapainya


keseimbangan distribusi pada jaringan tertentu. Jika suatu
jaringan dapat menampung atau mengikat lebih banyak obat,
dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai
keseimbangan distribusi. Ambilan obat oleh suatu jaringan
ditentukan oleh faktor yang disebut koefisien partisi (Kp)

Berdasarkan rumus tersebut, semakin besar nilai Kp, maka


semakin panjang waktu yang diperlukan untuk mencapai
keseimbangan distribus i. Jadi, sifat fisikokimia obat yang
menyebabkan makin banyaknya ambila n suatu obat oleh suatu
jaringan adalah sifat lipofilik yang tinggit (sangat mudah larut
dalam lemak). Membran-membran yang memisahkan jaringan
atau organ dari darah bersifat lipoid sehingga hanya obat-obat
yang lipofilik saja yang dapat menembus membran dengan
mudah. Molekul-molekul obat yang terionisasi tidak mudah
melewati membran tersebut.

Contohnya Asam salisilat (suatu asam lemah dengan pKa =


3,0) terionisa s i lebih dari 99% pada plasma (pH = 7,4) dan
oleh karena itu, Asam salisilat masuk ke cairan serebro-spinalis
secara lambat sekali. Kebanyakan membran diperkirakan

18
berpori-pori yang dapat dilalui oleh molekul polar yang kecil saja
dan tidak dapat dilalui oleh molekul besar. Sebaliknya, otot
memiliki pori-pori yang relatif besar. Contohnya Gentamisin
akan diabsorpsi dengan baik bila disuntikkan secara
intramuskular tetapi tidak akan diabsorpsi bila diberikan per oral
(Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, 2008).

c. Protein

Fraksi obat terikat dapat berubah dengan adanya


perubahan konsentrasi protein plasma pasien.

3. Permeabilitas Kapiler
Membran sel berbeda dalam karakteristik permeabilitas,
bergantung pada jaringannya. Distribusi total obat dalam tubuh dapat
diperkirakan dengan caramengaitkan jumlah obat dalam tubuh
dengan jumlah obat dalam darah atau dengan kadar obat dalam
darah. Parameter yang mengaitkan jumlah obatdalam tubuh dengan
kadar obat dalam darah disebut volume distribuse (VD),dengan
rumus:
VD = Jumlah Obat dalam Tubuh / Konsentrasi Obat dalam Darah
atau Plasma
Volume distribusi adalah suatu parameter yang penting dalam
farmakokinetik. Salah satu kegunaannya adalah untuk menentukan
dosis obat yang diperlukan untuk memperoleh kadar obat dalam
darah yangdikehendaki.
Obat-obat dengan nilai VD yang kecil akan menghasilkan
kadar dalam darah yang lebih tinggi, sedangkan obat dengan nilai
VD yang besarakan menghasilkan kadar dalam darah yang rendah.
Di dalam praktiknya, terlihat bahwa obat-obat yang
terdistribusi secara meluas dalam tubuh akan mempunyai nilai VD

19
yang besar, sebaliknya obat-obat yang kurang terdistribusi ke
seluruh tubuh akan menunjukkan nilai nilai VD yang kecil, yang
menujukkan adanya ikatan yang sangat kuat antara obat tersebut
dengan protein plasma.

BIOTRANSFORMASI
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang
terjadi di dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim menjadi senyawa lain (metabolit). Pada
biotransformasi, kadar obat menjadi menurun. Biotransformasi terutama terjadi di hati, yakni di
membrane reticulum endoplasma (mikrosom) dan di sitosol, tetapi juga bisa di tempat
ekstrahepatik lain, misalnya dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, kulit, dan juga lumen kolon.
Tujuan metabolisme obat adalah untuk merubah obat menjadi polar (larut air) agar dapat
dieksresikan melalui ginjal atau empedu.
 Biotransformasi yang terjadi selama proses absorpsi → efek lintas pertama (First Pass
Effect)
Efek lintas pertama mengurangi bioavailabilitas (bioavailabilitas atau ketersediaan biologi
adalah persentase obat yang secara utuh mencapai sirkulasi umum untuk melakukan
kerjanya).

Reaksi-Reaksi Biotransformasi
1. Reaksi Fase I (Reaksi Non Sintetik)
1. Oksidasi : alcohol, aldehida, asam dan zat hidratarang dioksidasi menjadi CO2
dan air. System enzim oksidatif terpenting di dalam hati adalah cytochrom P 450, yang
bertanggung jawab atas benyaknya reaksi perombakan oksidatif.
2. Reduksi : misalnya, klorhidrat direduksi menjadi trikloretanol, vitamin c menjadi
dehidroascorbat.

20
3. Hidrolisa: molekul obat mengikat 1 molekul air dan pecah menjadi dua bagian,
misalnya penyabunan ester oleh esterase, gula oleh karbohidrase (maltese, dll) dan asam
karbonamida oleh amidase.
Reaksi metabolism yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim (CYP) cytochrome P450
yang disebut juga enzim mono-oksigenase, atau MFO (mixed-function oxidase), dalam RE
hati. Enzim CYP (70% dari total CYP dalam hati ) yang penting untuk metabolism obat
adalah:
 CYP3A4/5 (30% dari total CYP dalam hati)
Memetabolisme ~50% obat untuk manusia, juga merupakan enzim metabolism yang
terpenting. Terdapat di usus halus dan ginjal.
 CYP2D6 (~2-4% dari total CYP dalam hati)
Merupakan CYP yang pertama kali dikenal dengan nama debrisoquine hydroxylase,
memetabolisme ~15-25% obat.
 CYP2C (~20%) : CYP2C8/9 dan CYP2C19
CYP2C8/9 memetabolisme ~15% obat
 CYP1A1/2 (~12-13%)
Dulu disebut cytochrome P448, memetabolisme ~5% obat
 CYP2E1 (~6-7%)
Memetabolisme ~2% obat
CYP yang terdapat di dinding usul ~20-50% berasal dari CYP hati.

b. Reaksi Fase II ( Reaksi Sintetik/Reaksi Konjugasi )


Reaksi fase 2 merupakan reaksi konjugasi dengan substrat endogen seperti: asam
glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, yang hasilnya menjadi sangat polar
dan dengan demikian hampir selalu tidak aktif.
Reaksi fase 2 terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDP-Glukuroniltransferase
(UGT), yang terutama terjadi didalam mikrosom hati, dan juga jaringan ekstrahepatik. Reaksi
konjugasi lain juga terjadi di dalam sitosol.
Tidak semua obat melalui fase 1 atau 2, ada yang melalui fase 2 saja atau fase 1 lalu
dilanjutkan oleh fase 2.

21
Sifat Metabolit
1. Sifat metabolit pada umumnya lebih polar daripada senyawa induknya atau senyawa
asalnya, sehingga lebih mudah diekskresi atau lebih mudah dikeluarkan bersama urine.
2. Pada umumnya aktifitas farmakologinya lebih lemah dari pada senyawa asalnya.

Metabolit Obat yang aktif Secara farmakologis


o Terdapat juga obat-obat yang baru mempunyai efek farmakologis setelah obat
tersebut mengalami metabolisme di hepar. Obat- obat yang aktif setelah di metabolisme oleh
hepar disebut Prodrug.
Misalnya Azatioprin di dalam tubuh akan dimetabolisme oleh hepar menjadi merkaptopurin
yang aktif sebagai obat sitostatika.
o Ada juga obat-obat yang metabolitnya mempunyai efek farmakologis yang sama
dengan obat asal.
Misalnya, Fenasetin akan di metabolisme dalam hepar menjadi paracetamol yang sama-sama
mempunyai efek analgesik.

Interaksi dalam metabolisme dibagi menjadi 2 yaitu inhibisi dan induksi enzim metabolism.

22
Induksi berarti peningkatan sintesis enzim metabolism meningkat pada tingkat transkripsi
sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolism obat yang menjadi substrat enzim yang
bersangkutan. Keadaan ini menyebabkankan terjadi nya toleransi farmakokinetik sehingga
memerlukan peningkatan dosis obat.
Inhibisi enzim metabolism terjadi apabila suatu obat/substrat menghambat aktivitas
enzim permetabolisme. Hambatan ini terjadi secara langsung. Hambatan pada umumnya bersifat
kompetitif (karena merupakan substrat dari enzim yang sama), tetapi dapat juga bersifat non-
kompetitif (bukan substrat dari enzim yang bersangkutan).

23
24
Ekskresi Obat

Eliminasi adalah proses pengurangan atau pembuangan sisa metabolisme tubuh yang
tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Ekskresi merupakan proses untuk mengeliminasi bahan
yang tidak lagi dipergunakan dalam tubuh untuk dikeluarkan ke luar tubuh. Ekskresi adalah
perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju ke organ ekskresi.
Sedangkan obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan, hewan,mineral
maupun zat kimia tertentu yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit,
memperlambat proses penyakit dan atau menyembuhkan penyakit. Namun di sisi lain , obat
juga memiliki efek farmakologi yang dapat mengganggu kesehatan apabila terlalu sering
dikonsumsi. Oleh karena itu, obat juga perlu mengalami eliminasi melalui proses ekskresi
untuk keperluan detoksifikasi obat tersebut. Apabila obat tidak diekskresi maka obat akan
tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada organisme bersangkutan.
Tempat atau jalur ekskresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati atau empedu,
paru, kelenjar saliva, kelenjar susu dan kelenjar keringat, Organ terpenting untuk ekskresi
obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metabolitnya. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa
menurun 1% pertahun. Ginjal melakukan fungsi penting untuk keseluruhan organisme yaitu :
1. Eksresi zat-zat penting melalui urin misalnya urea dan kreatin, serta zat fisiologik yang
berlebih.
2. Pengaturan kebutuhan air dan elektrolit serta kesetimbangan asam-basa.
3. Berperan pada pengaturan (hormonal) volume cairan ekstrasel dan tekanan daerah arteri.
4. Sintesis eritropoietin dan dengan demikian mempengaruhi pembentukan eritrosit.
Mengkonsumsi obat-obatan kimia secara berlebihan dapat merusak organ tubuh, salah
satunya pada ginjal. Penyebab lain gagal ginjal juga dapat berasal dari konsumsi obat-obatan
yang dapat mempengaruhi kerja ginjal. Obat-obatan yang dapat mengganggu kerja ginjal
disebut obat-obatan nefrotoksik, yakni paling banyak merupakan obat anti nyeri, seperti obat
nyeri kepala dan obat nyeri tulang. Sehingga bila mengkonsumsi obat ini terlalu sering dapat
menyebabkan seseorang mengalami gagal ginjal.

25
Anatomi Makroskopik Ginjal

Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang yang terletak pada bagian
ventral dinding perut bagian dorsal, di bawah diafragma dan masing – masing terletak pada
kedua sisi kolom tulang belakang. Bagian cembungnya mengarah ke lateral, bagian
cekungnya ke medial. Pada bagian cekung ini terdapat hilus ginjal, yang merupakan tempat
keluar masuknya pembuluh, saraf serta ureter.
Panjang ginjal 10-12 cm, penampang melintangnya 5-6 cm, beratnya sekitar 120-200
g pada belahan memanjang, secara makroskopik sudah dapat dibedakan korteks ginjal,
medula ginjal dan piala ginjal beserta saluran urinnya. Lapisan korteks terluar terlihat terang
dan mengandung granul halus, lapisan medula disebelah dalam berwarna lebih gelap dan
mempunysi garis-garis halus memanjang. Bagian medula dibagi oleh kolom-kolom bagian
korteks menjadi 8-16 lobus berbentuk piramid yang menuju ke pusat secara konvergen.
Bagian ujungnya yaitu papila ginjal yang ditutupi dengan kaliks ginjal yang berbentuk
tabung yang menampung urin dan membawanya ke pelvis ginjal. Pasokan darah pada ginjal
dilakukan oleh arteria renalis yang bercabang menjadi arteri interlobares. Arteri ini pada
dasar piramid akan bercabang seperti arkade yang akan menjadi arteri interlobulares. Dari
sini dalam jarak-jarak tertentu akan membentuk vasa afferentia yang memasok masing-
masing korpus ginjal. Oleh suatu sistem vena yang analog dengan sistem arteri, darah vena
akan dibawa ke vena renalis.

Anatomi Mikroskopik Ginjal

Unsur yang menyusun ginjal adalah nefron. Komponen morfologik dan fungsional
ini yang bertanggung jawab dalam pembentukan urin, terdapat sekitar 1-1,2 juta dalam tiap
ginjal manusia. tiap nefron terdiri atas korpus ginjal dan tubulus. Dalam korpus ini dibentuk
urin primer dan kemudian mengalami pemekatan dalam tubulus. Korpus ginjal terdiri atas
kumpulan kapiler yaitu glomerulus dan dilingkupi oleh suatu kapsul bowman.
Lapisan bagian dalam kapsul bowman menutupi kapiler glomerulus sedangkan
lapisan luar membatasi rongga kapsul dan terus menuju ke tubulus proksimal. Melalui artei

26
vas afferen darah arteri akan sampai di glomerulus dan meninggalkan glomerulus melalui
vas afferen. Kedua pembuluh yang letaknya hampir berdekatan membentuk kumpulan
(pool) pembuluh dari korpus ginjal, bersebrangan dengan ini terdapat pool urin, pada bagian
awal tubulus. Tubulus, jika dibandingkan dengan diameternya kecil, merupakan sistem
tabung yang amat panjang dan dibagi menjadi bagian-bagian berikut :
a. Tubulus proksimal dengan suatu pars convoluta (sin pars contorta) dan suatu pars
tect.
b. Bagian penghantar (bagian yang halus dari jerat henle)
c. Tubulus distal, juga dengan suatu pars recta dan pars convoluta, serta
d. Tubulus penampung
Bagian yang lurus dari tubulus proksimal serta distal serta bagian penghantar dinamakn
jerat henle. Bagian dari tubulus yang berkelok-kelok terdapat dalam korteks ginjal,
sedangkan bagian yang berbentuk jerat terdapat terutama dalam medula.

Proses Ekskresi Obat


Obat yang bersifat polar akan diekskresi melalui organ ekskresi dalam bentuk tidak
berubah dan yang bersifat non-polar dimetabolisme terlebih dahulu agar menjadi lebih polar
dan kurang larut dalam lipid sehingga mudah diekskresi. Obat-obat yang berada dalam
tubuh akan dikeluarkan melalui 3 jalan utama, yaitu ginjal, paru-paru, dan sistem empedu.
Ekskresi obat melalui paru hanya terjadi pada obat-obat yang berupa gas atau cairan yang
mudah menguap. Sebgian obat keluar dari tubuh melalui urine. Beberapa obat dikeluarkan
tubuh melalui hepar masuk kedalam empedu, tetapi kebanyakan di antaranya direabsorpsi
kembali melalui usus. Hanya beberapa macam obat saja yang dikeluarkan melalui hepar atau
empedu dalam jumlah yang berarti, yaitu rifampisin dan kromoglikat. Sebagian obat juga
disekresikan ke dalam kelenjar sekresi, seperti air susu ibu atau kelenjar keringat, tetapi
secara kuantitatif tidak begitu bila dibandingkan dengan ekskresi obat melalui ginjal, kecuali
obat-obat yang memengaruhi bayi yang sedang menyusui.
Sebelum obat diekskresikan, umumnya obat mengalami perubahan dengan
adanya metabolisme di hepar. Perubahan-perubahan molekul obat yang terjadi oleh
pengaruh enzim biasanya akan menghilangkan aktivitas farmakologis obat btersebut,

27
walaupun terdapat beberapa pengecualian yang akan dibicarakan belakangan, misalnya
azatioprin yang diubah oleh hepar menjadi merkaptopurin yang aktif.

Filtrasi Glomerolus
Filtrasi merupakan proses penyaringan darah dari zat-zat sisa metabolisme
yang dapat meracuni tubuh. Glumerolus merupakan jaringan kapiler dapat
melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui cela antara sel
endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami
filtrasi disana. Plasma darah yang mengalir akan ditekan pada glomerulus sehingga
menjadi urin primer, suatu ultra filtrat yang hampir bebas protein. Filter
sesungguhnya adalah membran basal yang terletak di bawah endotelium kapiler.
Membran ini dapat melewatkan air dan bagian plasma yang berbobot molekul
rendah melalui pori-porinya dengan bebas, sedangkan sel darah dan bagian plasma
yang besar molekulnya akan ditahan intravasal.
Zat-zat yang dapat disaring tanpa batas adalah zat dengan bobot molekul
sampai sekitar 10.000, dengan demikian komponen dengan bobot molekul rendah
yang ada di urin primer kurang lebih sama konsentrasinya dengan yang ada dalam
plasma darah. Untuk senyawa dengan bobot molekul di antara 10.000 sampai
50.000 daya saringnya terbatas. Karena albumin, yang merupakan protein plasma
terkecil sudah mempunyai bobot molekul sekitar 70.000, maka protein praktis tak
dapat melewati filter ginjal tersebut. Kapiler-kapiler glomeruli akan menyaring
plasma darah sedemikian rupa sehingga setiap molekul obat yang berat molekulnya
dibawah 20.000 akan melewati glomeruli sedangkan albumin plasma
dengan berat molekul 68.000 tidak dapat melewati glomeruli. Obat-obat yang
terikat pada albumin plasma tidak dapat melewati glomeruli misalnya fenibutazon.
Obat yang tidak terikat protein (bentuk bebas) akan mengalami filtrasi
glomerulus masuk ke tubulus. Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni
minus plasma protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultrafiltrat

28
sedangkan yang terikat protein akan tetap tinggal dalam darah. Kelarutan dan pH
tidak berpengaruh pada kecepatan filtrasi glomerulus, yang berpengaruh adalah
ukuran partikel, bentuk partikel, dan jumlah pori glomerulus. Laju filtrasi
glomerulus meningkat pada:
a. Kenaikan tekanan darah dalam kapiler glomerulus
b. Pada peningkatan luas permukaan filtrasi pada kondisi glomerulus yang
tenang
c. Pada pengurangan protein plasma akibat berkurangnya ikatan protein dengan
bahan obat
Disamping besarnya pori, filtrasi glomerulus terutama bergantung pada
tekanan filtrasi efektif yang ada pada glomerulus serta pada banyaknya glomerulus
yang masih berfungsi. Tekanan filtrasi efektif didapat dengan mengurangi tekanan
darah dalam kapiler glomerulus (50 mmHg) denga tekanan osmotik koloid plasma
darah yaitu 25 mmHg serta tekanan dalam kapsul bowman sekitar 17 mmHg.
Syarat terjadinya filtrasi glomerulus yang merata adalah pasokan darah yang
tetap secara menyeluruh, jadi tekanan kapiler glomerulus tetap. Ini akan tercapai
oleh adanya suatu autoregulasi miogenik yang ada dalam vas afferen. Jika terjadi
peningkatan tekanan arteri otot polos vas afferen akan menciut, jika tekanan turun
otot polos akan berelaksasi dan dengan cara ini akan menahan supaya tekanan
kapiler tetap. Hanya pada tekanan di bawah 90 dan dibawah 190 mmHg akan
menurunkan atau menaikkan aliran darah ke ginjal.

Sekresi Aktif di Tubulus


Filtasi glomeruli hanya menghasilkan paling banyak 20% dari seluruh obat
yang terdapat dalam darah yang bisa mencapai ginjal. Sisanya 80% akan
dikeluarkan ke lumen tubuli oleh suatu mekanisme transpor aktif, yang bergerak
melawan gradient konsentrasi sehingga akan mengurangi jumlah obat dalam plasma
sampai nihil. Oleh karena itu, sekresi tubuli ini merupakan mekanisme eliminasi
obat yang paling cepat melalui ginjal. Tidak seperti filtrasi glomeruli, system
transportasi aktif ini dapat mencapai bersihan maksimal walaupun obat terikat pada
protein plasma. Misalnya penisilin, walaupun 80% terikat pada protein plasma dan

29
diekskresi sangat lambat melalui filtrasi glomeruli, kecepatan eliminasi penisilin via
ginjal sangat tinggi karena penisilin disekresikan secara aktif kedalam lumen tubuli
ginjal.
Sekresi tubulus proksimal merupakan proses transport aktif, jadi
memerlukan carrier (pembawa) dan energi. Sekresi aktif dari dalam darah ke
lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-glikoprotein (P-gp)
dan MRP (Multidrug-Resistance Protein) yang terdapat di membran sel
epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MPR utuk anion organik dan konyugat
(mis: penisilin, ptobenesid, glukuronat, sulfat da konyugat glutation), dan P-gp
untuk kation organik dan zat netral (mis: kuinidin, digoksin).
Karena banyak obat yang disekresikan secara aktif dengan cara yang sama,
dapat terjadi kompetisi antara obat-obat tersebut. Misalnya probenesid,
dapat memperlambat ekskresi penisilin dengan jalan berkompetisi untuk transport
aktif pada sel-sel tubuli ginjal sehingga secara klinik akan diperoleh kadar penisilin
yang lebih tinggi. Selain itu, probenesid juga menghambat reabsorpsi asam urat
(yang dipengaruhi pembawa yang sama) sehingga berguna juga untuk pengobatan
penyakit gout.

Reabsorbsi di Sepanjang Tubulus


Setelah obat sampai di tubulus, kebanyakan akan mengalami reabsorpsi
kembali ke sirkulasi sistemik. Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk
bentuk non-ion obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada
pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada
keracunan suatu obat asam atau obat basa.Obat-obat yang mempunyai kelarutan
dalam lemak yang tinggi akan berdifusi secara pasif masuk kembali melewati
sel-sel epitel tubuli sehingga terjadi reabsorpsi obat secara pasif. Dengan demikian,
obat-obat yang mudah larut dalam lemak akan diekskresikan secara lambat sekali.
Sebaliknya, obat-obat yang polar akan tetap tinggal dalam filtrat sebab membran
tubuli tidak permeable untuk obat-obat yang terionisasi dan kurang larut dalam
lemak.

30
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorbsi pasif untuk bentuk non ion.
Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorbsi ini bergantung
pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasi. Bila urine lebih basa, asam
lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorbsinya berkurang, akibatnya
ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila urine lebih asam, ekskresi asam
lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah.
Reabsorbsi pasif bergantung pada pH urine yang ada di ginjal. Bila pH asam
maka obat-obatan yang bersifat asam lemah akan diserap kembali
sehingga tidak dieksresikan dan bila pada suasana basa maka obat-obat asam tadi
akan terionisasi sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Begitu sebaliknya dengan
obat-obat basa yang akan dieksresi kembali pada suasana basa. Hal ini dapat
dimanfaatkan pada kasus keracunan. Pada pasien yang keracunan phenobarbital
(obat asam lemah) maka kelebihan phenobarbital yang ada di dalam darah
dapat cepat dikeluarkan dengan memberikan natrium bikarbonat yang bersifat
basa sehingga phenobarbital dapat cepat dieksresi dari tubuh melalui urin.

31
Efek lintas pertama obat

Efek lintas pertama atau (first pass effect, first-pass metabolism, presystemic


metabolism) adalah fenomena metabolisme obat yang mana konsentrasi obat berkurang cukup
signifikan sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Obat yang hilang selama absorpsi ini terutama
karena pengaruh dinding usus dan liver (hati). Berikut contoh obat-obatan yang menjalani efek
lintas pertama.

Setelah obat ditelan, obat diserap oleh sistem pencernaan dan memasuk sistem portal
hepatika, lalu dibawa ke vena portal di hati sebelum disebarkan ke seluruh tubuh. Hati
memetabolisme banyak obat, kadang-kadang sedemikian rupa bahwa hanya sejumlah kecil obat
aktif muncul dari hati ke seluruh sistem peredaran darah. Efek lintas pertama melalui hati sangat
mengurangi bioavailabilitas obat.

Rute pemberian alternatif seperti sublingual, supositoria, injeksi intravena, injeksi


intramuskular, aerosol inhalasi, dan transdermal menghindari efek lintas pertama karena
administrasi ini memungkinkan obat yang akan diserap langsung ke dalam sirkulasi sistemik.

32
MENGAPA DIPERLUKAN BIOTRANSFORMASI OBAT?

Ekskresi melalui ginjal berperan penting menghentikan aktivitas biologik sebagian obat,
terutama yang volume molekulnya kecil atau memiliki karakteristik polar, misalnya gugus
fungsional yang terionisasi sempurna pada pH fisiologik. Namun, banyak obat tidak memiliki
sifat fisikokimiawi tersebut. Molekul-molekul organik yang secara farmakologis aktif cenderung
lipofilik dan tetap takterionisasi atau hanya terionisasi parsial pada pH faali; molekulmolekul ini
mudah diserap dari filtrat glomerulus di nefron. Senyawa lipofilik tertentu sering terikat kuat ke
protein plasma dan mungkin tidak mudah terfiltrasi di glomerulus. Karena itu, sebagian besar
obat akan memiliki lama kerja yang memanjang jika pengakhiran kerja mereka hanya
bergantung pada ekskresi ginjal. Proses lain yang dapat menyebabkan terhentinya atau
berubahnya aktivitas biologik adalah metabolisme. Secara umum, xenobiotika lipofilik diubah
menjadi produk yang lebih polar dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Peran yang
dimainkan oleh metabolisme dalam inaktivasi obat larut-lemak dapat sangat dramatik. Sebagai
contoh, barbiturat lipofilik misalnya tiopental dan pentobarbital akan memiliki waktu paruh yang
sangat lama jika tidak karena konversi metabolik mereka menjadi senyawa yang lebih larut air.

PERAN BIOTRANSFORMASI DALAM DISPOSISI OBAT

Sebagian besar biotransformasi obat terjadi pada suatu tahap antara penyerapan obat ke
dalam sirkulasi umum dan eliminasinya di ginjal. Beberapa transformasi terjadi di lumen atau
dinding usus. Secara umum, reaksi-reaksi ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok utama
yang dinamai reaksi fase I dan fase II (Gambar 4-1). Reaksi fase I biasanya mengubah obat
induk menjadi metabolit yang lebih polar dengan memperkenalkan atau memunculkan suatu

33
gugus fungsional (-OH, -NH2, -SH). Metabolit-metabolit ini sering inaktif, meskipun pada
sebagian kasus aktivitas hanya mengalami modifikasi atau bahkan meningkat. Jika sudah cukup
polar, metabolit fase I mudah diekskresikan. Namun, banyak produk fase I tidak dieliminasi
dengan cepat dan mengalami reaksi berikutnya dengan suatu substrat endogen seperti asam
glukuronat, asam sulfur, asam asetat, atau asam amino berikatan dengan gugus fungsional yang
baru untuk membentuk konjugat yang sangat polar. Reaksi konjugasi atau sintetik ini merupakan
ciri utama metabolisme fase II. Banyak obat mengalami rangkaian reaksi biotransformasi ini,
meskipun pada sebagian kasus obat induk mungkin sudah memiliki gugus fungsional yang dapat
membentuk konjugat secara langsung. Sebagai contoh, gugus hidrazid pada isoniazid diketahui
membentuk konjugat N asetil pada reaksi fase II. Konjugat ini kemudian menjadi substrat untuk
reaksi tipe fase I, yaitu hidrolisis menjadi asam isonikotinat (Gambar 4-2). Jadi, reaksi fase II
dapat mendahului reaksi fase I.

DI MANA BIOTRANSFORMASI OBAT TERJADI?

Meskipun setiap jaringan memiliki kemampuan untuk memetabolisasi obat, tapi hati
adalah organ utama metabolisme obat. Jaringan lain yang memperlihatkan aktivitas cukup besar
mencakup saluran cerna, paru, kulit, ginjal, dan otak. Setelah pemberian peroral, banyak obat
(mis.isoproterenol, meperidin, pentazosin morfin) diserap utuh dari usus halus dan diangkut
mula-mula melalui sistem porta ke hati, tempat mereka menjalani metabolisme ekstensif. Proses
ini disebut efek first-pass. Beberapa obat yang diberikan per oral (mis. klonazepam,
Idorpromazin, siklosporin) lebih ekstensif dimetabolisasi di usus daripada di hati, sementara
yang lain (mis. midazolam) mengalami metabolisme di usus yang signifikan (sekitar 50%).
Karena itu, metabolisme di usus dapat berperan dalam efek first-pass keseluruhan, dan orang
dengan gangguan fungsi hati mungkin semakin mengandalkan metabolisme usus tersebut untuk
mengeliminasi obat. Gangguan metabolisme usus untuk obat tertentu (mis. felodipin, siklosporin
A) juga dapat menyebabkan peningkatan bermakna kadar plasma dan interaksi antarobat yang
relevan secara klinis (DDI, lihat bawah). Efek first-pass juga dapat sangat membatasi
ketersediaan hayati obat yang diberikan per oral (mis. lidokain) sehingga harus digunakan rute
pemberian alternatif untuk mencapai kadar darah yang efektif secara terapetis. Selain itu, usus
bagian bawah mengandung mikroorganisme yang mampu melakukan banyak reaksi
biotransformasi. Selain itu, obat dapat dimetabolisasi oleh asam lambung (mis. penisilin), oleh
enzim pencernaan (mis. polipeptida seperti insulin), atau oleh enzim di dinding usus (mis.
katekolamin simpatomimetik). Meskipun biotransformasi obat in vivo dapat melalui reaksi kimia
spontan non-katalisasi, tapi sebagian besar transformasi dikatalisis oleh enzim spesifik di sel. Di
tingkat subselular, enzimenzim ini mungkin berada di retikulum endoplasma (RE), mitokondria,
sitosol, lisosom, atau bahkan selubung nukleus atau membran plasma.

34
SISTEM OKSIDASE MIKROSOM YANG BERFUNGSI BERAGAM & REAKSI FASE I

Banyak enzim pemetabolisasi obat terletak di membran lipofilik retikulum endoplasma


hati dan jaringan lain. Jika diisolasi dengan homogenisasi dan fraksionasi sel, membran lamelar
ini membentuk vesikel yang disebut mikrosom. Mikrosom mempertahankan sebagian besar
karakteristik morfologik dan fungsional membran utuh, termasuk fitur permukaan kasar dan
halus dari retikulum endoplasma kasar (dipenuhi oleh ribosom) atau halus (tanpa ribosom).
Sementara mikrosom kasar cenderung mengkhususkan diri pada sintesis protein, mikrosom halus
relatif kaya akan enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme obat oksidatif. Secara khusus,

35
mikrosom ini mengandung kelas enzim penting yang dikenal sebagai mixed f u n c tio n o xid a s
e (MFO), atau monooxygenases . Aktivitas enzimenzim ini memerlukan bahan pereduksi
(nikotinamid adenin dinukleotida [NADPH]) dan oksigen molekular; dalam reaksi tipikal, satu
molekul oksigen dikonsumsi (direduksi) per molekul substrat, dengan satu atom oksigen muncul
di produk dan yang lain dalam bentuk air. Dalam proses oksidasi-reduksi ini, dua enzim
mikrosom berperan kunci. Yang pertama adalah flavoprotein, NADPHsitokrom P450
oksidoreduktase (POR). Satu mol enzim ini mengandung 1 mol flavin mononukleotida (FMN)
dan flavin adenin dinukleotida (FAD). Enzim mikrosom kedua adalah suatu hemoprotein yang
dinamai sitokrom P450, yang berfungsi sebagai terminal oksidase. Pada kenyataanya, membran
mikrosom mengandung berbagai bentuk hemoprotein ini, dan multiplisitas ini meningkat oleh
pemberian berulang atau pajanan ke bahan kimia eksogen (lihat teks selanjutnya). Nama
sitokrom P450 (disingkat P450 atau CYP) berasal dari sifat spektral hemoprotein ini. Dalam
bentuk tereduksinya (fero), protein ini mengikat karbon monoksida untuk menghasilkan
kompleks yang menyerap sinar secara maksimal pada 450 nm. Jumlah P450 yang relatif banyak,
dibandingkan dengan reduktase di hati, berperan menyebabkan reduksi hem P450 menjadi tahap
penentu kecepatan ( rate-limiting step ) dalam oksidasi obat di hati.

Oksidasi obat di mikrosom memerlukan P450, P450 reduktase, NADPH, dan oksigen
molekular. Suatu skema sederhana siklus oksidasi disajikan di Gambar 4-3. Secara singkat, P450
teroksidasi (Fe3+) berikatan dengan substrat obat untuk membentuk suatu kompleks biner
(langkah 1). NADPH memberikan satu elektron ke flavoprotein P450 reduktase, yang sebaliknya
mereduksi kompleks P450 tereduksi-obat (langkah 2). Elektron kedua dimasukkan dari NADPH
melalui P450 reduktase yang sama, yang berfungsi untuk mereduksi oksigen dan membentuk
suatu kompleks P450-substrat yang "diaktifkan oleh oksigen" (langkah 3). Kompleks ini pada
gilirannya memindahkan oksigen aktif ke substrat obat untuk membentuk produk teroksidasi

36
(langkah 4). Sifat pengoksidasi kuat dari oksigen aktif ini memungkinkan oksidasi sejumlah
besar substrat. Untuk kompleks enzim ini, spesifisitas substrat sangat rendah. Kelarutan lemak
yang tinggi merupakan satu-satunya kesamaan fitur struktural dari beragam obat dan bahan
kimia yang merupakan substrat dari sistem ini (Tabel 4-1). Namun, dibandingkan dengan banyak
enzim lain termasuk enzim-enzim fase II, P450 merupakan katalis yang lamban, dan reaksi
biotransformasi obat mereka lambat.

ENZIM HATI P450 MANUSIA

Dengan menggunakan g e n e a r r a y s yang dikombinasikan dengan analisis


immunoblotting preparat mikrosom, serta pemakaian penanda fungsional yang relatif selektif
dan inhibitor selektif P450, telah teridentifikasi banyak isoform P450 (CYP: 1A2, 2A6, 2B6,
2C8, 2C9, 2C18, 2C19, 2D6, 2E1, 3A4, 4A11, dan 7) di hati manusia. Dari berbagai isoform ini,
CYP1A2, CYP2A6, CYP2B6, CYP2C9, CYP2D6, CYP2E1, dan CYP3A4 CYP2D6, CYP2E1,
dan CYP3A4 tampaknya merupakan bentuk terpenting, masing-masing membentuk 15%, 4%,
1%, 20%, 5%, 10%, dan 30% dari kandungan P450 hati manusia total. Bersama-sama, mereka
bertanggung jawab mengatalisis sebagian besar obat dan memetabolisasi xenobiotik di hati
(Tabel 4-2, Gambar 4-4).

Perlu dicatat bahwa YCP3A4 sendiri bertanggung jawab dalam metabolisme lebih dari
50% obat resep yang dimetabolisasi oleh hati. Keterlibatan masing-masing P450 dalam
metabolisme suatu obat dapat diperiksa in vitro dengan penanda fungsional selektif, inhibitor
kimiawi P450 selektif, dan antibodi P450. In vivo, pemeriksaan penyaring ini dapat dilakukan
dengan penanda-penanda noninvasif yang relatif selektif, yang mencakup tes napas atau analisis
urin metabolit tertentu setelah pemberian pelacak substrat selektif-P450.

37
REAKSI FASE II

Obat induk atau metabolit-metabolit fase I-nya yang mengandung gugus kimia tertentu
sering mengalami reaksi penyatuan atau konjungsi dengan bahan endogen untuk menghasilkan
konjugat obat (Tabel 4-3). Secara umum, konjugat adalah molekul polar yang mudah
diekskresikan dan sering inaktif. Pembentukan konjugat memerlukan zat-zat antara berenergi
tinggi dan enzim transfer spesifik. Enzim-enzim ini (transferase) mungkin terletak dikromososm
atau disitosol. Dari enzimenzim ini, uridin 5'-difosfat (UDP)-glukuronosil transferase (UGT)
adalah enzim paling dominan (Gambar 4-4). Enzim-enzim mikrosom ini mengatalisis
penggabungan suatu bahan endogen aktif (misalnya turunan UDP dari asam glukuronat) dengan
suatu obat (atau senyawa endogen seperti bilirubin, produk akhir metabolisme hem). Sembilan
belas gen UGT (UGTA 1 dan UGT2 ) menyandi protein-protein UGT yang berperan dalam
metabolisme obat dan xenobiotika. Demikian juga, 11 sulfotransferase (SULT) manusia
mengatalisis sulfasi substrat dengan menggunakan 3'-fosfoadenosin 5'-fosfosulfat (PAPS)
sebagai donor sulfat endogen. Glutation transferase (GST) sitosol dan mikrosom (GSH) juga
terlibat dalam metabolisme obat dan xenobiotika, serta masing-masing metabolisme leukotrien
dan prostaglandin. Bahan kimia yang mengandung satu amina aromatik atau gugus hidrazin

38
(mis., isoniazid) adalah substrat dari N asetiltransferase (NAT) sitosol, disandi oleh gen NAT1
dan NAT2 , yang menggunakan asetil-KoA sebagai kofaktor endogen.

Juga terjadi O -, N, dan Smetilasi obat dan xenobiotika oleh metiltransferase (MTs) yang
diperantarai oleh S-adenosil-Lmetionin (SAMe; AdoMet). Terakhir, epoksida endobiotik, obat,
dan xenobiotik yang dihasilkan melalui oksidasi yang dikatalisis P450 juga dapat dihidrolisis
oleh epoksida hidrolase (EHs) sitosol atau mikrosom. Konjugasi suatu obat aktif, misalnya
turunan SKoA asam benzoat, dengan suatu substrat endogen, misalnya glisin, juga terjadi.
Karena substrat endogen berasal dari makanan, nutrisi berperan penting dalam regulasi konjugasi
obat. Reaksi fase II relatif lebih cepat dari reaksi katalisasi oleh P450, sehingga lebih efektif
dalam mempercepat biotransformasi obat. Reaksi fase II dahulu dipercayai mencerminkan proses
inaktivasi akhir dan karenanya dipandang sebagai reaksi "detoksifikasi" sejati. Namun, konsep
ini harus dimodifikasi, karena kini diketahui bahwa reaksi konjugasi tertentu (asil glukuronidasi
obat anti-inflamasi nonsteroid, O -sulfasi terhadap N -hidroksiasetilaminofluoren, dan N asetilasi
dari isoniazid) dapat menyebakan terbentuknya spesies

spesies reakif yang berperan dalam toksisitas obat. Selain itu, sulfasi diketahui mengaktifkan
minoksidil (prodrug yang aktif per oral) menjadi vasodilator yang sangat efektif, dan morfin-6-
glukuronida lebih poten daripada morfin itu sendiri.

39
Definisi Reseptor

Efek sebagian besar obat dihasilkan dari interaksinya dengan komponen makromolekular
tubuh organisme. Interaksi ini mengubah fungsi dari komponen-komponen yang berkaitan
sehingga memulai perubahan biokimia dan fisiologi sebagai respons dari obat. Pengertian
reseptor mengarah pada komponen dari organisme yang berinteraksi dengan obat.

Obat bekerja dengan cara memengaruhi aktivitas reseptornya. Bagian tempat obat bekerja
dan besarnya kerja tersebut ditentukan oleh lokasi dan kapasitas fungsional reseptor. Oleh sebab
itu, lokalisasi selektif dari kerja obat pada suatu organisme tidak selalu tergantung pada distribusi
selektif obat. Jika suatu obat bekerja pada reseptor yang memiliki fungsi yang umum pada semua
sel, efek obat tersebut akan menyebar secara luas. Apabila fungsi ini merupakan suatu yang vital,
obat tersebut dapat menjadi sulit atau berbahaya untuk digunakan. Namun, obat seperti itu dapat
memiliki fungsi klinis yang penting. Jika suatu obat berinteraksi dengan reseptor yang khas
untuk beberapa sel yang terdeferensiasi, efeknya akan lebih spesifik. Secara hipotesis, obat yang
ideal akan memberikan efek terapi melalui suatu cara tersendiri. Efek samping dapat
diminimalisir tetapi mungkin toksisitasnya tidak. Obat-obat tipe ini dapat juga sangat berbahaya
jika fungsi yang terdeferensiasi merupakan fungsi yang vital. Bahkan jika kerja utama obat
dilokalisasi, efek fisiologis obat yang dihasilkan masih bisa menyebar.

1. Sifat Kimia
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein ( mis.asetilkoli
nesterase, Na+ K+ -ATpase, Tubulin, dsb.). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor
obat yang penting misalnya untuk sitostatika. Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion,
hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran
berbagai ikatan diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat
sehingga lama kerja obat sering kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikian ikatan
non kovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.

2. Hubungan Struktur-Aktivitas
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan
aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan
stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan

40
mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru,
sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap
jaringan tertentu.

3. Reseptor Fisiologis
Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya obat untuk menimbulkan
respons telah diuraikan diatas. Tetapi terdapat juga protein seluler yang berfungsi sebagai
reseptor fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon, neurotransmitor, dan autakoid.
Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang sesuai (oleh ligand binding domain ) dan
penghantar sinyal ( oleh effektor domain ) yang dapat secara langsung menimbulkan efek
intra sel atau secara tidak langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel
lain yang dikenal sebagai second messenger.
Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler
lain membentuk sistem resptor-efektor seluler lain menimbulkan respons. Contohnya, sistem
adenilat siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase sedangkan efektornya
mensitesis cAMP sebagai second messenger. Dalam sistem ini protein G lah yang berfungsi
sebagai perantara reseptor dengan enzim tersebut. Terdapat dua macam protein G yang satu
berfungsi sebagai penghantaran yang lain berfungsi sebagai penghambatan sinyal.

Jenis-Jenis Reseptor
1. Ligan-Gated Ion Channel
Banyak obat yang digunakan secara Minis bekerja dengan mengikuti atau
menghambat kerja ligan endogen yang mengatur aliran ion melalui saluran-saluran di
membran plasma. Ligan alami adalah asetilkolin, serotonin, GABA, dan glutamat.
Semua bahan ini adalah transmiter di sinaps.
Masing-masing dari reseptor menyalurkan sinyalnya menembus membran plasma
dengan meningkatkan hantaran transmembran ion yang relevan dan karenanya
mengubah potensial listrik membran. Sebagai contoh, asetilkolin menyebabkan
terbukanya saluran ion di reseptor nikotinik asetilkolin (nAChR), yang memungkinkan
Na+ mengalir menuruni gradien konsentrasinya ke dalam sel, menghasilkan potensial
pascasinaps eksitatorik terbatas-suatu depolarisasi.

41
nAChR adalah salah satu reseptor permukaan sel untuk hormon atau
neurotransmiter yang paling banyak diketahui. Salah satu bentuk reseptor ini
adalah pentamer yang terdiri dari empat subunit polipeptida berbeda (mis. dua rantai α
plus satu β, satu γ, dan satu δ, semua dengan berat molekul berkisar dari 43.000
sampai 50.000). Berbagai polipeptida ini, yang masingmasing menembus lapis-ganda
lemak empat kali, membentuk suatu struktur silindris dengan garis tengah 8 nm.
Ketika asetilkolin berikatan dengan subunit α terjadi perubahan konformasi yang
menyebabkan pembukaan sesaat saluran air di tengah ions tempat ion natrium
mengalir dari cairan ekstrasel ke dalam sel.
Waktu yang berlalu antara pengikatan agonis dengan saluran berpintu ligan dan
respons sel sering dapat diukur dalam bilangan milidetik. Kecepatan mekanisme
penyaluran sinyal ini sangat penting dalam penyaluran cepat informasi melewati sinaps.
Saluran ion berpintu ligan dapat diatur oleh banyak mekanisme, termasuk fosforilasi dan
endositosis. Di susunan sarafpusat, mekanisme-mekanisme ini berperan menimbulkan
plastisitas sinaps yang terlibat dalam belajar dan daya ingat.
Saluran ion berpintu voltase tidak mengikat neurotransmiter secara langsung
tetapi dikontrol oleh potensial membran; saluran semacam ini juga merupakan sasaran
obat yang penting. Sebagai contoh, verapamil menghambat saluran ion berpintu voltase
yang terdapat di jantung dan otos polos vaskular, menimbulkan efek antiaritmia dan
menurunkan tekanan darah tanpa mengikuti atau melawan transmiter endogen manapun.

42
2. G-Protein Coupled Receptors
Banyak ligan ekstrasel bekerja dengan meningkatkan konsentrasi intrasel kurir
kedua (second messenger) misalnya adenosin-3',5'- monofosfat siklik (cAMP), ion
kalsium, atau fosfoinositid (dijelaskan di bawah). Umumnya, mereka menggunakan
sistem penyaluran sinyal transmembran dengan tiga komponen terpisah. Pertama, ligan
ekstrasel secara selektif dideteksi oleh reseptor permukaan sel. Reseptor pada gilirannya
mengaktifkan protein G yang terletak di sisi sitoplasma membran plasma. Protein G
yang telah aktif kemudian mengaktifkan suatu elemen efektor, biasanya enzim atau
saluran ion. Elemen ini kemudian mengubah konsentrasi kurir kedua intrasel. Untuk
cAMP, enzim efektor adalah adenilil siklase, suatu protein membran yang mengubah
adenosin trifosfat (ATP) intrasel menjadi cAMP. Protein G padanannya, Gs, merangsang
adenilil siklase setelah diaktifkan oleh hormon dan neurotransmiter yang bekerja melalui
reseptor spesifik yang terhubung ke Gs. Terdapat banyak contoh dari reseptor semacam
itu, termasuk β-adrenoseptor, reseptor glukagon, reseptor tirotropin, dan subtipe tertentu
reseptor dopamin dan serotonin.
Protein Gs dan protein G lainnya menggunakan suatu mekanisme molekular yang
melibatkan pengikatan dan hidrolisis GTP. Mekanisme ini memungkinkan amplifikasi
transduksi sinyal. Sebagai contoh, suatu neurotransmiter seperti norepinefrin mungkin
hanya mengikat reseptor membrannya selama beberapa milidetik. Namun, jika ikatan
tersebut menghasilkan molekul Gs terkait GTP, durasi pengaktifan adenilil siklase lebih
bergantung pada lamanya GTP terikat ke Gs daripada afinitas reseptor terhadap
norepinefrin. Memang, seperti protein G lainnya, Gs yang terikat ke GTP dapat tetap
aktif selama puluhan detik, memperkuat sinyal semula berkali lipat.. Mekanisme ini
juga membantu menjelaskan bagaimana penyaluran sinyal oleh protein G
menghasilkan fenomena reseptor cadangan. Famili protein G mengandung beberapa
subfamili yang secara fungsional berbeda-beda, masing-masing memperantarai efek
set tertentu reseptor untuk kelompok efektor tersendiri. Perhatikan bahwa suatu
ligan endogen (mis., norepinefrin, asetilkolin, serot onin, dsb) dapat berikatan dan
merangsang reseptor yang berhubungan dengan subset protein G yang berbeda-
beda. Kemampuan ligan yang dapat berikatan dengan banyak reseptor tersebut
memungkinkannya memicu terjadinya beragam respons (dependen protein G) di sel

43
yang berbeda. Sebagai contoh, tubuh berespons terhadap bahaya dengan menggunakan
katekolamin (norepinefrin dan epinefrin) untuk meningkatkan kecepatan denyut jantung
dan memicu konstriksi pembuluh darah di kulit, masingmasing dengan bekerja pada β
adrenoseptor terkait GS dan α1-adrenoseptor terkait-Gq. Promiskuitas ligan ini juga
menawarkan kesempatan untuk pengembangan obat.
Reseptor yang terhubung ke protein G sering dinamai "G proteincoupled
receptors" (GPCRs), "seven-trans membrane"(7-TM), atau reseptor "serpentine" ("ular").
GPCR merupakan famili reseptor terbesar dan diberi nama demikian karena rantai
polipeptida reseptor "meliuk-liuk" menembus membran plasma tujuh kali. Reseptor
untuk amina adrenergik, serotonin, asetilkolin (muskarinik tetapi tidak nikotinik),
banyak hormon peptida, odoran, dan bahkan reseptor penglihatan (di sel batang dan sel
kerucut retina) termasuk dalam famili GPCR. Semua berasal dari prekursor evolusioner
yang sama. Beberapa GPCR (mis. GABAB dan reseptor metabotropik glutamat)
memerlukan susunan yang stabil menjadi homodimer (kompleks dua polipeptida
reseptor yang sama) atau heterodimer (kompleks berbagai isoform) agar dapat berfungsi.
Namun, berbeda dari reseptor sitokin dan tirosin kinase, sebagian besar GPCR
diperkirakan mampu berfungsi sebagai monomer.
Semua GPCR menyalurkan sinyal menembus membran plasma melalui cara yang
pada hakikatnya sama. Ligan agonis mis., katekolamin atau asetilkolin terikat ke suatu
kantung yang dibatasi oleh regio-regio transmembran reseptor. Perubahan konformasi
regio yang ditimbulkannya disalurkan ke ranah sitoplasmik reseptor, yang pada
gilirannya mengaktifkan protein G yang sesuai dengan mendorong penggantian GDP
oleh GTP, seperti dijelaskan di atas. Asam-asam amino di lengkung sitoplasmik ketiga
polipeptida GPCR umumnya diperkirakan berperan penting dalam memperantarai
interaksi reseptor dengan protein G. Dasar struktural untuk pengikatan ligan ke β-
adrenoseptor baru-baru ini dapat diketahui dengan menggunakan kristalografi sinar-X

44
3. Enzym-Linked Receptors
1) Reseptor Tirosin-Kinase
Kelompok molekul reseptor ini memperantarai tahap-tahap pertama penyaluran
sinyal oleh insulin, epidermal growth factor (EGF, faktor pertumbuhan epidermis),
platelet-derived growth factor (PDGF, faktor pertumbuhan yang berasal dari
trombosit), atrial natriuretic peptide (peptida natriuretik atrium), transforming growth
factor β (TGF-(3), dan banyak hormon trofik lainnya.
Reseptor-reseptor ini adalah polipeptida yang terdiri dari ranah ekstrasel pengikat
hormon dan ranah enzim di sitoplasma, yang mungkin berupa protein tirosin kinase,
serin kinase, atau guanilil siklase. Pada semua reseptor ini, kedua ranah dihubungkan
oleh suatu segmen hidrofobik polipeptida yang menembus lapis ganda lemak
membran plasma.
Jalur sinyal reseptor tirosin kinase dimulai dengan pengikatan ligan, biasanya
suatu hormon polipeptida atau faktor pertumbuhan, dengan ranah ekstrasel reseptor.
Perubahan konformasi reseptor yang terjadi menyebabkan dua molekul reseptor
saling berikatan (dimerisasi), yang pada gilirannya menyatukan ranah-ranah tirosin
kinase, yang menjadi aktif secara enzimatis, dan memfosforilasi satu sama lain serta

45
protein-protein penghantar sinyal lainnya di sebelah hilir. Reseptor yang telah aktif
mengatalisis fosforilasi residu tirosin di berbagai protein sinyal sasaran, sehingga
satu jenis reseptor yang telah aktif dapat memo dulasi sejumlah proses biokimia
(Sebagian reseptor tirosin kinase membentuk kompleks oligomerik yang lebih besar
daripada dimer ketika diaktifkan oleh ligan, tetapi makna farmakologis dari
kompleks yang lebih besar ini masih belum diketahui).

2) Reseptor Sitokin
Reseptor sitokin berespons terhadap beragam kelompok ligan peptida, yang
mencakup hormon pertumbuhan, erit-ropoietin, beberapa jenis interferon, dan
berbagai regulator pertumbuhan dan diferensiasi. Reseptor-reseptor ini menggunakan
mekanisme yang sangat mirip dengan yang digunakan reseptor tirosin kinase, kecuali
bahwa dalam hal ini aktivitas protein tirosin kinase tidak intrinsik bagi molekul
reseptor. Suatu protein tirosin kinase terpisah, dari famili Janus-kinase (JAK),
berikatan secara non-kovalen dengan reseptor. Seperti pada kasus reseptor EGF,
reseptor sitokin mengalami dimerisasi setelah berikatan dengan ligannya,
memungkinkan JAK menjadi aktif dan memfosforilasi residu tirosin di reseptor.
Residu tirosin yang telah mengalami fosforilasi di permukaan sitoplasma reseptor
kemudian mengaktifkan serangkaian sinyal kompleks dengan berikatan dengan
protein-protein lain yang dinamai STAT (signal transducers and activators of

46
transcription). STAT itu sendiri mengalami fosforilasi oleh JAK, dua molekul STAT
terdimerisasi (melekat ke tirosin fosfat satu sama lain) dan akhirnya dimer
STAT/STAT terlepas dari reseptor dan berjalan ke nukleus, tempat dimer ini
mengatur transkripsi gen-gen spesifik

4. Intracellular Receptors
Beberapa ligan biologik dapat larut cukup baik untuk menembus membran plasma
dan bekerja pada reseptor intrasel. Salah satu kelas ligan tersebut adalah steroid
(kortikosteroid, mineralokortikoid, steroidseks, vitamin D), dan hormontiroid, yang
reseptornya merangsang transkripsi gen dengan mengikat sekuens DNA spesifik di dekat
genom yang ekspresinya akan diatur. Banyak dari sekuens DNA sasaran (disebut elemen
respons) telah dapat diidentifikasi.
Reseptor-reseptor "aktif-gen" ini termasuk dalam suatu famili protein yang
berkembang dari satu prekursor. Penguraian reseptor oleh teknik-teknik DNA
rekombinan berhasil memberi kita pemahaman tentang mekanisme molekularnya.
Sebagai contoh, pengikatan hormon glukokortikoid ke protein reseptor normalnya
menghilangkan inhibisi pada aktivitas protein merangsang transkripsi. Gambar 2-6
secara skematis menunjukkan mekanisme molekular kerja glukokortikoid: Tanpa adanya
hormon, reseptor terikat ke hsp90, suatu protein yang tampaknya mencegah pelipatan
47
normal beberapa ranah struktural reseptor. Terikatnya hormon ke ranah pengikat-ligan
memicu pembebasan hsp90. Hal ini memungkinkan ranah pengikat-DNA dan penggiat-
transkripsi reseptor berlipat membentuk konformasi yang secara fungsional aktif,
sehingga reseptor (yang kini telah aktif) dapat memulai transkripsi gen-gen sasaran

Transmisi Sinyal Biologis

Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstra seluler
(extracellular chemical) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem
penghantaran ini di mulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di
dalam sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh transmitor
untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH,LH; sedangkan untuk
reseptor yang terdapat di dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal ), tiroksin, vitamin
D.
Reseptor di membran sel bekerja dengan cara mengikat ligand yang sesuai kemudian
meneruskan sinyalnya ke sel target itu, baik secara langsung ke intrasel atau dengan cara

48
memproduksi molekul pengatur lainnya ( second messenger ) di intrasel. Suatu reseptor mungkin
memerlukan suatu protein seluller tertentu untuk dapat berfugsi ( sistem reseptor-efektor )
misalnya adenilat siklase. Pada sistem ini, reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase, dan
efektor mensintesis, siklik-AMP. Yang merupakan second messenger.
Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma, merupakan protein terlarut pengikat DNA
(solubble DNA-binding protein ) yang mengatur transkripsi gen-gen tertentu. Pendudukan
reseptor oleh hormon yang sesuai akan meningkatkan sintesis protein tertentu. Reseptor hormon
peptida yang mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan (dan dalam keadaan akut
juga aktivitas metabolik ) umumnya ialah suatu protein kinase yang mengkatalisis fosforilasi
protein target pada residu tirosin. Kelompok reseptor ini meliputi reseptor cairan insulin,
epidermal growth factor, platelet-derived growth dan limfokin tertentu. Reseptor hormon peptida
yang terdapat di membran plasma berhubungan dengan bagian katalitiknya yang berupa protein
kinase intrasel, melalui rantai pendek asam amino hidrofobik yang menembus membran plasma.
Pada reseptor untuk atrial natriuretic peptide, bagian komplek intrasel ini bukan protein
kinase, melainkan guanilat siklase yang mensintesis siklik-GMP. Sejumlah reseptor untuk
neutrotransmitor tertentu membentuk kanal ion selektif di membran plasma dan menyampaikan
sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau komposisi ion. Contoh
kelompok ini ialah nikotinik, gamma-amino butirad tipe A, glutamat, aspartap,dan glisin.
Reseptor ini merupakan protein multi-subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali
membentuk kanal ion. Mekanisme terikatnya suatu transmitor dengan kanal yang terdapat di
bagian extracell sehingga kanal menjadi terluka, belum di ketahui.
Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja membantu protein efektor tertentu
dengan perantaraan sekelompok GTP biding protein yang di kenal sebagai protein G. Yang
termasuk kelompok ini ialah reseptor untuk aminbiogenik, eikosanoik,dan hormon protein
lainnya. Reseptor ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada protein G spesifik yang
selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik seperti adenilat siklase, fosfolipase A2
dan C, kanal Ca2+ , K2 atau Na+ , dan beberapa protein yang berfungsi dalam transportasi.
Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih protein G yang masing-masing dapat memberikan
respon terhadap beberapa resptor yang berbeda, dan mengatur beberapa efektor yang berbeda
pula.

49
Second messenger sitoplasma. Penghantaran sinyal biologis dalam sitoplasma
dilansungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa cAMP, ion Ca2+ , dan yang
akhir-akhir ini sudah diterima ialah 1,,5 inositol trisphosphate (IP3 ) dan diasilgliserol (DAG).
Substansi ini memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan sangat cepat,
bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal ekstenalnya tidak ada mengalami
penyingkiran secara spesifik.

1) cAMP
Siklik-AMP ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini
dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap aktivitas
bermacam-macam reseptor (mis. reseptor adrenergik). Stimulasi adenilat siklase
dilangsungkan lewat protein Gs dan inhibisinya lewat protein Gi (lihat Gambar 1-2).
Adenilat siklase juga dapat distimulasi oleh ion Ca (terutama pada neuron), toksin kolera,
atau ion fluorida.
Siklik-AMP berfungsi mengaktifkan cAMP-dependent protein kinase (protein
kinase A) yang mengatur faal protein intrasel dengan cara foslorilasi. Siklik-AMP
didegradasi dengan cara hidrolisis yang dikatalisis oleh foslodiesterase menjadi 5-AMP
yang bukan suatu second messenger. Fosfodiesterase diaktilkan oleh ion Ca dan
kalmodulin atau cAMP, Siklik-AMP juga dikeluarkan dari dalam sel melalui transport
aktif.

50
2) Ca Sitoplasma
Ca sitoplasma merupakan second messenger lain yang berfungsi dalam aktivasi
beberapa jenis enzim (mis. fosfolipase), menggiatkan aparat kontraktil sel otot,
mencetuskan penglepasan histamin, dan sebagainya. Kadar Ca sitoplasma diatur oleh
kanal ion Ca, dan ATP-ase yang terdapat di membran plasma dan depot Ca intrasel
(misalnya retikulum sarkoplasmik). Kanal ion Ca di membran sel dapat diatur oleh
depolarisasi, interaksi dengan Gs, fosforilasi oleh cAMP-dependenf protein kinase, atau
oleh ion K+ dan Ca2+.

3) DAG dan IP3


lnositol trisphosphate (lPs) dan diasilgliserol (DAG), merupakan second
rnessenger pada transmisi sinyal di α1 adrenoseptor, reseptor vasopresin, asetilkolin,
histamin, platelet-derived growth factor, dsb.
Stimulasi adrenoseptor α1 (dan beberapa reseptor lain) meningkatkan kadar Ca intrasel
dengan beberapa cara. Salah satu mekanisme yang paling diterima saat ini ialah bahwa
akibat pengikatan agonis pada reseptor terjadi hidrolisis foslatidil inositol 4,5-bisfosfat

51
(PIP2) yang terdapat di membran sel oleh fosfolipase C (PLC) sehingga terbentuk IP3
dan DAG (Gambar 1-3).
Kelompok reseptor yang melangsungkan sinyal biologis dengan perantaraan IP3
dan DAG sebagai second messenger disebut juga sebagai Camobilizing receptors. Sistem
ini dapat berhubungan dengan sintesis prostaglandin; di sini DAG mengalami hidrolisis
lebih lanjut oleh fosfolipase A2 yang diaktifkan oleh meningkatnya kadar Ca. Seperti juga
second messenger yang lain, setelah respons biologis terjadi maka IP3 dan DAG
mengalami metabolisme di bawah pengaruh kinase tertentu.

52
A. Mekanisme Non-Reseptor
1. Efek non-spesifik dan gangguan pada membran
a. Perubahan sifat osmotik
cth : mannitol meningkatkan osmolaritas filtrat glomerulus, terjadi efek
diuretik
b. Perubahan sifat asam basa
cth : antacid menetralkan asam lambung, NH4Cl mengasamkan urin,
natrium bikarbonat membasakan urin, asam organic sebagai antiseptic
saluran kemih
c. Kerusakan non-spesifik (sebagai anti-septik dan desinfektan)
cth : detergen merusak membran lipoprotein
d. Gangguan fungsi membran
cth : eter, halotan, metoksifluran, enflurane, melarut dalam lemak
membran sel pada SSP sehingga eksitabilitasnya menurun
2. Interaksi dengan molekul kecil atau ion
a. Dilakukan oleh kelator (chelating agent)
b. CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat inaktif pada
keracunan Pb2+
c. Penisilamin mengikat Cu2+ pada penyakit Wilson
d. Dimerkapol pada keracunan logam berat
e. Kelat yang dibentuk akan larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan
melalui ginjal

53
3. Masuk ke dalam komponen sel
a. Obat yang analog dengan purin dan pirimidin akan berinkorporasi
dengan asam nukleat sehingga merusak fungsinya
b. Obat ini disebut anti-metabolit
cth : 6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, ilusitosin, dan anti-kanker atau
anti-mikroba lain
B. Efek Obat
• Efek utama : efek terapeutik
• Efek samping : efek yang tidak termasuk kegunaan terapi
• Toksisitas : aksi tambahan yang derajatnya lebih dibanding efek samping dan
tidak diinginkan
a. Efek terapeutik
• Tidak semua obat menyembuhkan penyakit, beberapa hanya
meringankan/meniadakan gejalanya saja
• Karena itu, terapi dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
1. Terapi kausal : penyebab penyakitnya ditiadakan
2. Terapi simptomatis : meringankan gejala, tetapi tidak memengaruhi
penyebab
3. Terapi subsitusi : menggantikan zat tubuh yang lazimnya diproduksi
organ yang sakit
b. Efek samping

54
1. ESO tipe A
 Efek yang dapat diprediksi, umumnya akibat dosis yang terlalu
tinggi atau kegagalan farmakokinetik.
• ESO yang bukan efek utama obat : derajatnya cukup ringan, tetapi
angka kejadian cukup tinggi
a. Obat yang menyebabkan perdarahan uterus (obat hormon,
kontrasepsi oral, AINS, Warfarin).
b. Obat yang menyebabkan konstipasi (penghilang nyeri
nekrotik, amitriptilin, Antikonvulsan fenitoin dan
karbamazepin, zat besi, Antihipertensi diltiazem dan
nifedipin, dan Alumunium pada antasid).
c. Obat yang menginduksi mimpi buruk (Propanolol,
Simvastatin, kaptopril, metildopa, nikotin).
d. Obat-obat yang menyebabkan dispepsia (gangguan usus).
Antiinflamasi ibuprofen, estrogen, dan Antibiotika,
Kortikosteroid, Fe, Metformin, Teofilin.
e. Obat yang menyebabkan edema (pembengkakan karena
penumpukan cairan pada kaki dan tangan, perut/asites,
dada/paru), yaitu : Hormon, kortikosteroid, dan anti-
hipertensi, AINS.
f. Obat yang menyebabkan anemia hemolitik (AB beta-laktam,
Anti-TBC, HCT, dsb)
g. Obat yang menyebabkan hiperpigmentasi /melanosis
(gangguan kulit). Erupsi bola karena zat anorganik, erupsi
eksema karena alergi streptomisin, merkuri, anestesi lokal,
dsb.
h. Obat yang menyebabkan impotensia, (Antidepresan, anti-
histamin, dan anti-hipertensi).

55
i. Obat yang menyebabkan jaundice/kolestasis (radang
peny.hati). (Estrogen, Amoksiklav, eritromisin, Kaptopril,
Diazepam, klordiazepoksid, AINS, grisepulvin, ketokenazol,
dsb)
j. Obat yang menyebabkan neutropenia. (Agranulositosis,
peningkatan destruksi sel darah putih, sitostatika, barbiturat,
Prokainamid, sulfasalazin, Penisilin, AINS, dsb).
• ESO akibat dosis tinggi : dosisnya relative terlalu besar atau karena
ada perbedaan respons kinetik/dinamik
a. Obat yang menyebabkan efek toksis terhadap sumsum
tulang belakang (tempat pembentukan sel darah). AINS
kadang menimbulkan supresi sumsum tulang.
b. Obat-obat yang menyebabkan efek Nefrotoksisitas (ginjal).
Aspirin, AINS, Asiklovir, Amfoterisin, Ripamfisin, sulfonamid,
dsb.
c. Obat yang menyebabkan ototoksik (fungsi pendengaran).
AB gol.Aminoglikosida, sitostatika (Cisplotin), Diuretik
furosemid, kuinin, salisilat.
d. Obat yang menyebabkan hepatotoksik (hati). Alopurinol INH,
Ripamfisin, metotreksat, tetrasiklin, kaptopril, Karbamazepin,
klindamisin, siproheptadin, dsb.
• Respons akibat penghentian obat : terjadi adaptasi pada tingkat
reseptor, menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat.
a. Antidepresan (obat gangguan depresi mayor, kecemasan
menyeluruh, penyakit panik.
b. Benzodiazepin (Hipnotik-sedatif)
c. Klonidin
• Efek samping akibat interaksi obat : reaksi akibat pengonsumsian
obat yang berbeda secara bersamaan.

2. ESO tipe B

56
 Efek yang tidak dapat diprediksi, mortalitas tinggi. Patofisiologi
dasar reaksi sangat buruk, basis genetil dan imunologi. Sangat
jarang terjadi.
• ESO akibat hipersensitivitas obat : merupakan efek negatif obat jika
digunakan dengan dosis yang bisa ditolerir oleh subjek normal,
belum dapat didefinisikan secara pasti. Terdapat 4 tipe :
I. Tipe I (reaksi hipersensitivitas segera/langsung) : reaksi
yang dimediasi oleh IgE terhadap zat-zat luar yang dalam
keadaan normal tidak berbahaya.
II. Tipe II (reaksi sitotoksik anti-bodi) : reaksi ini disebabkan
oleh antibodi IgE dan IgM, Antibody yag dipicu obat dapat
membuat permukaan sel menjadi lisis.
III. Tipe III (reaksi imun kompleks) : kompleks imun yang
bersirkulasi bisa menghasilkan kondisi alergi klinis.
IV. Tipe IV (hipersensitivitas tertunda) : reaksi relatif lebih
lambat.
• ESO akibat intoleransi obat : Intoleransi atau sensitivitas adalah
ambang batas terendah aksi farmakologi normal. Sangat jarang
terjadi dan bersifat idiopatik, sulit diprediksi.
• ESO akibat pseudoalergi obat : terjadi ketika obat mulai diberikan
atau dosis ditingkatkan.
• ESO akibat idiosinkrasi : terjadi secara individual, familial, atau
rasial.

c. Efek teratogen

57
 Kecacatan pada bayi. Berikut adalah contoh-contoh obat dan
efeknya.
d. Reaksi
alergi

Alergi :
terjadinya
reaksi
khusus
antara
antigen
dan
antibodi.

Antigen = kompleks yg terjadi antara obat dan protein.


Antibodi = zat menangkis antigen.
• Gejala alergi : urtikaria (gatal&bentol2), kemerahan kulit, demam,
serangan asma, anaphilactic shock, dan kelainan-kelainan darah.
• Fotosensitasi : kepekaan berlebihan terhadap cahaya akibat penggunaan
obat, terutama secara lokal.
• Mengapa obat dapat menimbulkan alergi?
a. Karena salah satu metabolit obat adalah pra-antigen yang berikatan
secara kovalen dengan suatu makromolekul tubuh (Protein)
membentuk komplek dan terbentuklah Antibodi.
b. Obat yang secara kimia dan farmakologi berbeda, dapat menimbulkan
reaksi alergi yang sama, sejauh mereka memiliki determinan yang
sama.
e. Faktor terjadinya efek samping
1. Terapi obat ganda

58
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Penyakit
5. Perbedaan farmakokinetika
6. Perbedaan etnik/genetik
7. Faktor farmasi

f. Efek penggunaan obat jangka panjang


1. Reaksi hipersensitif : reaksi alergi
2. Reaksi kumulasi : penumpukan karena pengulangan ekskresi lambat
3. Reaksi toleransi : keadaan berkurangnya respons terhadap dosis sama
4. Reaksi takhifilaksis : keadaan berkurangnya kecepatan aksi obat karena
pengulangan dengan dosis sama
5. Reaksi habituasi : gejala ketergantungan psikis
6. Reaksi adiksi : gejala ketergantungan psikis dan fisik

C. Prinsip Pengobatan Rasional


Prinsip pengobatan rasional menurut WHO, menganut pada 8Tepat dan
1Waspada.
1. Tepat diagnosis
2. Tepat pemilihan obat
3. Tepat indikasi
4. Tepat pasien
5. Tepat dosis
6. Tepat cara dan lama pemberian
7. Tepat harga
8. Tepat informasi
9. Waspada efek samping

59
A. INTERAKSI OBAT-RESEPTOR
lkatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan sUbstrat dengan enzim, biasanya
merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen,hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa
ikatan kovalen.
Hubungan Dosis Dengan Intensitas Efek

Menurut teori pendudukan reseptor (reseptor occupancy), intensitas eFek obat


berbanding lurus dengan Fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya, dan intensitas efek
mencapai maksimal bila seluruh reseptor diduduki oleh obat.

60
Kurva ini menunjukkan hubungan antara dosis obat dengan efek maksimal dari
obat tersebut. Kemudian afinitas obat dengan reseptor ditunjukkan dengan rumus 1/Kd,
afinitas memiliki arti yaitu kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptornya
(kemampuan obat untuk membentuk kompleks obat-reseptor). Jadi makin besar Kd (=
dosis yang menimbulkan l/2 efek maksimal), makin kecil afinitas obat terhadap
reseptornya.
Hubungan dosis dan intensitas efek dapat dimengerti melalui suatu kurva efek
kompleks yang sebenarnya dapat dijelaskan dengan kurva yang lebih sederhana. Dimana
kurva nya pasti memiliki 4 variabel yaitu potensi, kecuraman (s/ope), efek maksimal,
dan variasi biologik
1. Potensi
Menunjukkan rentang dosis obat yang menimbulkan efek, dimana
besarnya ditentukan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Bioavailabilitas obat (bergantung pada sifat farmakokinetiknya)
b. Afinitas obat terhadap reseptornya.
Potensi yang terlalu rendah dapat berpotensi merugikan karena dosis yang
diperlukan terlalu besar. Sedangkan, potensi yang terlalu tinggi jjuga dapat
merugikan atau membahayakan bila obatnya mudah menguap atau mudah
diserap melalui kulit.
2. Efek maksimal
Efek maksimal ialah respons maksimal yang ditimbulkan obat bila
diberikan pada dosis yang tinggi dimana ditentukan oleh aktivitas
intrinsik obat. Namun dalam klinik, dosis obat dibatasi oleh timbulnya
elek samping; dalam hal ini elek maksimal yang dicapai dalam klinik
mungkin kurang dari efek maksimal yang sesungguhnya.

3. Slope atau lereng log DEC

61
Slope merupakan variabel yang penting karena menunjukkan batas
keamanan obat. Kurva yang curam, menunjukkan bahwa dosis yang
menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dosis
yang menimbulkan sedasi atau tidur.

4. Variasi biologik
Variasi biologic adalah variasi antar individu dalam besarnya
respons terhadap dosis yang sama dari suatu obat. Variasi biologik
diperlihatkan sebagai garis horisontal atau garis vertikal. Garis horlsontal
menunjukkan bahwa untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas
tertentu pada suatu populasi diperlukan suatu rentang dosis. Garis vertikal
menunjukkan bahwa pemberian obat dengan dosis tertentu pada populasi
akan menimbulkan suatu rentang intensitas efek.

B. ANTAGONISME FARMAKODINAMIK
Interaksi obat-reseptor
a. Agonis
Terdapat beberapa obat yang bekerja secara agonis, hal ini berarti bahwa obat
tersebut mengaktifkan reseptor untuk memberi sinyal sebagai akibat langsung dari
pengikatan itu.

b. Antagonis

62
Antagonis berikatan dengan reseptor tetapi tidak mengaktifkan suatu mekanisme
persinyalan, sehingga tidak terjadi suatu respons hasil dari pesinyalan ke sel target.
Jadi antagonis menghalangi ikatan reseptor dengan agonisnya sehingga kerja agonis
terhambat. Antagonis demikian juga disebut receptor blocker.

Antagonisme dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:


1. Antagonisme fisiologik
Terjadi pada organ yang sama, tetapi pada sistem reseptor yang berlainan.
Misalnya, efek bronkokonstriksi histamin pada bronkus lewat reseptor histamin,
dapat dilawan dengan pemberian adrenalin yang bekerja pada adrenoseptor B.
2. Antagonisme pada Reseptor
Terjadi melalui sistem reseptor yang sama. Artinya antagonis mengikat reseptor
di tempat ikatan agonis (receptor sile atau active site) sehingga terjadi antagonisme
antara agonis dengan antagonisnya.

Antagonisme pada reseptor dapat diukur berdasarkan interaksi obat dengan


reseptornya.
a. Antagonisme Kompetitif
Antagonis yang berikatan dengan tempat reseptor secara reversibel sehingga
dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian penghambatan efek
agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai
efek maksimal. Contohnya ialah B-bloker dan antihislamin.
b. Antagonism Nonkompetitif
Pada antagonisme nonkompetitif, penghambatan efek agonis tidak dapat diatasi
dengan meningkatkan kadar agonis. Sehingga efek maksimal yang dicapai akan
berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah. Contoh dari
antagonisme ini adalah lenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik alfa di
receptor sile secara ireversibel.
c. Agonisme Parsial

63
Agonis parsial ialah agonis lemah, artinya agonis yang mempunyai aktivitas
intrinsik atau etektivitas yang rendah sehingga efek maksimalnya lemah.
Agonisme ini dapat menyebabkan reseptor menjadi jenuh dan tidak dapat
mengikat agonis maksimal. Akan tetapi, obat jenis ini memiliki efek primer yaitu
mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh agonis penuh Oleh karena itu
agonis parsial disebut juga antagonis parsial. Contoh: nalorfin ialah agonis parsial
alau antagonis parsial untuk reseptor morfin. Sehingga, nalorfin dapat digunakan
sebagai antagonis pada keracunan morfin.

64

Anda mungkin juga menyukai