Anda di halaman 1dari 51

ADAPTASI FISIOLOGI KEHAMILAN DAN

KOMPLIKASI AKIBAT KEGAGALAN ADAPTASI


PADA KEHAMILAN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Patofisiologi
Kasus Kebidanan di Program Studi Profesi Bidan
Dosen Pembimbing:
Hj. Sri Gustini, SST, M.Keb

Disusun Oleh
Kelompok 1
Dila Septi Rosdiani Nur Fitri Ratna Yulia
Diena Rahmatul Ummah Reni Suminar
Eti Rohaeti Siti Musliah Rama
Hartini Rahayu Tina Trianty
Muza Baturohmah Ucu Siti Nurjanah
Neng Mita Patmawati

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TASIKMALAYA
JURUSAN KEBIDANAN
TASIKMALAYA
2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam. Limpahan rahmat,
karunia dan hidayah-Nya yang berlimpah dan tiada akan pernah habis terhitung.
Sungguh, maha besar Allah karena telah meridhai tim penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah tentang “Adaptasi Fisiologi Kehamilan dan
Komplikasi Akibat Kegagalan Adaptasi Pada Kehamilan”. Makalah ini
dipergunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisiologi Kasus Kebidanan
dalam kegiatan pembelajaran Program Studi Profesi Bidan Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Tasikmalaya. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
saya ucapakan kepada

1. Ketua Jurusan Kebidanan Nunung Mulyani APP, M.Kes,


2. Ketua Program Studi Profesi Dr. Meti Widiya L, SST, M.Keb, dan
3. Dosen Pembimbing Hj. Sri Gustini, SST,M.Keb

serta banyak pihak yang terkait dalam penyelesaian makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan


dan kelemahannya. Oleh karena itu kami sangat memerlukan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata, kami barharap semoga makalah ini bemanfaat khususnya bagi
kami dan umumnya bagi seluruh mahasiswa dan pembaca. Kami menyadari
bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, untuk itu kami menerima kritik
dan saran yang membangun.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Tasikmalaya, Agustus 2021

Tim
Penyusun

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai
sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan. Kehamilan dan
persalinan merupakan suatu proses yang dapat menyebabkan perubahan pada
tubuh secara fisiologis maupun psikologis seorang wanita, sehingga
diperlukan beberapa penyesuaian terhadap perubahan tersebut (Nirwana,
2011).
Selama kehamilan, ibu memerlukan adaptasi dengan berbagai
perubahannya terutama pada ibu yang mengalami kehamilan pertama. Secara
fisik ibu hamil akan merasa letih, lesu dan sebagainya. Sedangkan secara
psikologis ibu hamil akan dibayangi dan dihantui rasa cemas serta takut akan
hal-hal yang mungkin akan terjadi baik pada dirinya sendiri maupun pada
bayinya. Dengan terjadinya kehamilan maka seluruh sistem genetalia wanita
mengalami perubahan yang mendasar sehingga dapat menunjang
perkembangan dan pertumbuhan janin dalam rahim. Plasenta dalam
perkembangannya mengeluarkan hormon somatomamotropin, estrogen, dan
progesteron yang menyebabkan perubahan pada bagian-bagian tubuh ibu
(Nur Intan, dkk 2016).
Kehamilan dan persalinan merupakan suatu peristiwa alamiah. Walaupun
merupakan peristiwa alamiah, kadangkala kehamilan dan persalinan disertai
risiko berupa komplikasi baik untuk ibu maupun bayinya. Menurut World
Health Organization (2013), sekitar 15% dari seluruh ibu hamil kehamilannya
akan bertumbuh dan berkembang menjadi komplikasi yang mengancam jiwa
ibu, hal tersebut terjadi dikarenakan ibu tidak memahami perubahan yang
terjadi pada tubuhnya selama masa kehamilannya (Nur Intan, dkk 2016).
Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah
kesehatan utama bagi kesehatan wanita, karena merupakan penyebab terbesar
kematian ibu dan bayi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi
(AKB) merupakan indikator utama dalam pelayanan kesehatan dan salah satu
tujuan Millenium Development Goals (MDGs). Jumlah kematian Ibu tahun
2019 berdasarkan pelaporan profil kesehatan Provinsi Jawa Barat di
kabupaten/kota sebanyak 684 kasus atau 74,19 per 100.000 KH, menurun 16
kasus dibandingkan tahun 2018 yaitu 700 kasus. Kematian ibu sebanyak 684
orang terjadi pada ibu hamil sebanyak 18,7% (Kemenkes RI, 2019).
Komplikasi pada ibu hamil merupakan masalah yang kompleks, karena
komplikasi kehamilan tersebut dapat menyebabkan kematian langsung ibu
hamil dansaat melahirkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut tim penulis mengangkat topik
dengan judul makalah “Adaptasi Fisiologi Kehamilan dan Komplikasi Akibat
Kegagalan Adaptasi Pada Kehamilan”.

B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pengkajian masalah dalam makalah ini, tim penulis
membuat perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana adaptasi fisiologi selama kehamilan?
2. Bagaimana komplikasi yang terjadi akibat kegagalan adaptasi selama
kehamilan?

C. Maksud dan Tujuan Penulisan


Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui adaptasi fisiologi selama kehamilan.
2. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi akibat kegagalan adaptasi
selama kehamilan.

D. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah
mahsiswa mampu menjelaskan adaptasi fisiologi kehamilan dan komplikasi
akibat kegagalan adaptasi pada kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Adaptasi Fisiologi Selama Kehamilan


1. Perubahan Fisiologi Sistem Reproduksi
a. Rahim
Rahim memainkan peran penting dalam kehamilan dengan
melindungi dan mendukung janin, plasenta dan cairan ketuban. Selama
40 minggu kehamilan, rahim berkembang untuk mengakomodasi janin
yang sedang tumbuh dan tetap relatif diam. Namun, pada saat persalinan
mampu berkontraksi secara teratur dan secara paksa mengeluarkan janin
karena sifat unik kontraktilitas dan elastisitasnya. Dinding rahim terdiri
dari tiga lapisan: lapisan epitel serosa eksternal atau perimetrium, lapisan
otot tengah miometrium, dan lapisan internal endometrium (desidua)
(Jaynee dan Maureen, 2020).
1) Perimetrium
Perimetrium adalah lapisan tipis peritoneum yang melindungi
rahim. Selama kehamilan, kantung peritoneum sangat terdistorsi saat
rahim membesar dan keluar dari panggul, membawa bagian anatomi
yang bersebelahan dengannya. Meningkatnya ketegangan yang
diberikan pada ligamen yang luas menyebabkan mereka menjadi
lebih panjang dan lebih lebar dan lipatan anterior dan posterior
terbuka sehingga mereka tidak lagi berada pada posisinya dan karena
itu dapat menampung arteri dan vena uterus dan ovarium yang
sangat membesar. Ligamen bulat mengalami hipertrofi yang cukup
besar dan peningkatan panjang dan diameter. Seringkali, spasme
ligamen rotundum terjadi dengan gerakan pada kehamilan yang
menyebabkan nyeri pangkal paha yang tajam biasanya pada sisi
kanan karena dekstrorotasi uterus ke kanan (Jaynee dan Maureen,
2020).
2) Miometrium
Miometrium adalah komponen utama dalam pembesaran rahim
selama kehamilan dan merupakan lapisan otot yang berbeda dari
dinding rahim yang terlibat dalam kontraksi selama persalinan.
Limfatik, sel imun, dan sel miometrium semuanya bertambah besar
dan jumlahnya didukung oleh akumulasi jaringan fibrosa dan elastik
yang menyediakan kerangka kerja yang meluas saat uterus distensi.
Lapisan luar dari miometrium yang terletak di bawah perimetrium
serosa adalah lembaran otot polos yang sangat tipis. sekitar 200μm
tebal padat dengan miosit dan tanpa jaringan ikat. Struktur ini sangat
tipis dibandingkan dengan sisa dinding rahim sehingga kecil
kemungkinannya untuk berkonstriksi. tetapi secara signifikan
mempengaruhi kontraktilitas rahim. Namun, peningkatan elastin
pada lapisan ini yang mengakibatkan peningkatan elastisitas
memungkinkan rahim untuk tumbuh dan meregang untuk
mengakomodasi janin yang sedang tumbuh. Di bawah lapisan elastis
luar ini ada lapisan tipis lainnya. lapisan otot transisi setebal 0,5-1
mm. mengandung: berkas penghubung miosit yang terbentang dari
lapisan luar ke lapisan dalam (Jaynee dan Maureen, 2020).
Sebagian besar dinding rahim terletak di bawah dua lapisan tipis
ini dan terdiri dari lapisan miosit tebal yang tersusun menjadi bundel
silinder, seperti lembaran dan serat atau fasciculata dengan jembatan
penghubung yang bergabung dan terjalin satu sama lain untuk
membentuk jaringan yang saling terkait dan jalur yang berdekatan
yang memungkinkan kontraksi terkoordinasi. Miosit. dalam setiap
bundel semua berkontraksi dan rileks hanya dalam arah membujur
(seperti pegas). Fasikulus ini tersusun dengan baik, berjalan
melintang melintasi fundus uterus, miring ke bawah dinding anterior
dan posterior uterus dan melintang melintasi segmen bawah uterus.
Setiap fasciculata berdiameter 1-2 mm dan dikelilingi serta didukung
oleh jaringan fibrosa, kolagen dan elastin (Jaynee dan Maureen,
2020).
Dalam 12 minggu pertama kehamilan, pertumbuhan uterus
sebagian disebabkan oleh hiperplasia (peningkatan jumlah miosit
karena pembelahan) tetapi terutama karena hipertrofi (peningkatan
ukuran miosit) di bawah pengaruh kadar estradiol dan progesteron
yang tinggi. Sel-sel miometrium memanjang hingga 15 kali lipat.
Sepanjang sisa kehamilan, pertumbuhan uterus terutama disebabkan
oleh pertumbuhan janin yang menyebabkan ketegangan mekanis
pada myometrium (Jaynee dan Maureen, 2020).
Meskipun dinding korpus menjadi lebih tebal selama beberapa
bulan pertama kehamilan, seiring bertambahnya usia, dinding korpus
secara bertahap menipis sehingga pada saat cukup bulan tebalnya
hanya sekitar 1,5 cm atau bahkan kurang dan rahim berubah menjadi
kantung otot dengan lapisan tipis. , lembut. dinding yang mudah
diindentasi dimana janin dapat dengan mudah dipalpasi. Dinding
menjadi lebih tipis selama persalinan aktif meskipun penebalan yang
signifikan terjadi di tempat implantasi setelah pemisahan plasenta.
Selama kehamilan, rahim mengalami peningkatan berat 10 kali lipat.
Namun, ukurannya sangat bervariasi tergantung pada usia dan
paritas wanita (Jaynee dan Maureen, 2020).
Miometrium tidak pernah benar-benar diam selama kehamilan.
Pada usia kehamilan 7 minggu, kontraksi menjadi ringan, tidak
teratur dan tidak sinkron, meskipun tidak dirasakan oleh wanita
tersebut. Saat kehamilan berlanjut, mereka dirasakan sebagai
'pengencangan', sering muncul secara tidak terduga dan sporadis,
terutama pada malam hari. Pada akhir kehamilan mereka menjadi
lebih berirama dan mungkin sesering setiap 10-20 menit,
menyebabkan beberapa ketidaknyamanan dan menyebabkan apa
yang disebut 'persalinan palsu tetapi tidak menyebabkan dilatasi
serviks. Pertama kali diamati oleh Braxton Hicks pada tahun 1873,
mereka masih dikenal dengan namanya sampai sekarang (Jaynee dan
Maureen, 2020).
Kontraksi sinkron uterus bergantung pada sambungan listrik
bersama sel-sel miometrium oleh gap junction yang terdiri dari
connexin Connexin 43 membentuk saluran interseluler , yang
memungkinkan transmisi impuls listrik. dan mungkin komunikasi
metabolik, di antara sel-sel miometrium. Sepanjang sebagian besar
kehamilan, jumlah saluran sel-ke-sel ini rendah. yang menghasilkan
sambungan listrik yang buruk Ini mendukung ketenangan
miometrium dan pemeliharaan kehamilan. Beberapa hari sebelum
permulaan persalinan, gap junction meningkat secara nyata,
menyebabkan peningkatan konduksi listrik dan koordinasi sel-sel
miometrium dan jaringan yang diperlukan untuk kontraksi yang
efektif. Peningkatan gap junction dapat dikontrol dengan mengubah
kadar estrogen dan progesteron di dalam rahim (Jaynee dan
Maureen, 2020).
Zona junctional adalah unit fungsional yang terpisah dan
berbeda di dalam rahim dan terletak di antara miometrium dan
desidua. Daerah ini tidak memiliki lapisan submukosa pelindung
sehingga kelenjar endometrium berada dalam kontak langsung
dengan miometrium. Bukti telah terakumulasi dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan bahwa zona khusus ini memainkan peran
sentral dalam proses transportasi sperma dan implantasi. Kontraksi
yang timbul di daerah ini dapat memfasilitasi atau membahayakan
kelangsungan hidup awal embrio (Jaynee dan Maureen, 2020).
3) Decidua
Tanda-tanda pertama darisel stroma endometrium, matriks dan
pembuluh darah ke dalam desidua (desidualisasi). Desidualisasi
mempersiapkan lapisan rahim untuk invasi ledakan trofo. Desidua di
serviks dan isthmus kurang berkembang dibandingkan di korpus,
yang mencegah implantasi di wilayah ini Ultrasonografi telah
mengidentifikasi bahwa implantasi biasanya terjadi superior di
korpus uteri, dan sedikit lebih sering di dinding posterior. Didorong
oleh peningkatan kadar progesteron, desidualisasi menyebar secara
progresif ke seluruh endometrium selama trimester pertama
kehamila. Tetapi paling jelas pada minggu-minggu awal ketika
kelenjar endometrium berkembang paling baik di bawah tempat
implantasi. Selama trimester pertama, desidua basalis secara
bertahap berkurang dari kira-kira 5 mm pada 6 minggu menjadi
setebal Imm pada 14 minggu. Kelenjar juga secara bertahap
mengalami regresi tetapi masih berkomunikasi dengan ruang
intervili sampai setidaknya 10 minggu (Jaynee dan Maureen, 2020).
Kelenjar di dalam desidua dapat menyediakan sumber nutrisi
penting, faktor pertumbuhan dan sitokin untuk unit fetoplasenta.
Relaksin yang diproduksi oleh desidua berperan dalam ketenangan
miometrium. Desidua juga menghasilkan jumlah prostaglandin, yang
meningkatkan ketenangan rahim atau memulai persalinan,
tergantung pada reseptor spesifik yang digabungkan. Arti penuh sel
desidua tidak dipahami tetapi telah didalilkan bahwa mereka dapat
melindungi jaringan ibu melawan invasi tak terkendali oleh
sinsitiotrofoblas (Jaynee dan Maureen, 2020).
b. Suplai darah
Aliran darah uterus pada kehamilan mensuplai miometrium,
endometrium, dan plasenta, dengan yang terakhir menerima hampir 90%
dari total aliran darah uterus mendekati aterm, diameter arteri uterina
melebar hingga 1,5 kali yang terlihat pada keadaan tidak hamil. Arteri
arkuata yang mensuplai tempat tidur plasenta menjadi 10 kali lebih besar.
Arteri spiralis yang sangat melingkar pada desidua dan miometrium
mengalami perubahan fisiologis yang mencolok yang mengganggu
elemen otot dan elastiknya dan melepaskannya dari arteri spiral sempit
menjadi kaliber besar. arteri uteroplasenta tidak tergulung yang mencapai
30 kali diameter sebelum kehamilan dan memungkinkan perluasan
myometal xmooth mince karena hipertrofi selama kehamilan. Pemodelan
ulang ini meningkatkan kapasitasnya untuk mengakomodasi peningkatan
volume darah yang dibutuhkan di dalam ruang intervili plasenta (Jaynee
dan Maureen, 2020).
Selama 10-12 minggu pertama suplai darah ke ruang interval
terbatas karena oedusi sementara ujung arteri spiralis oleh trofoblas
invasif. Setelah itu, aksi trofoblas invasif pada aneeri spiral matemal
menyebabkan resistensi yang sangat rendah terhadap sirkulasi utero-
plasenta yang memfasilitasi peningkatan aliran darah yang terlihat pada
pembuluh darah ini pada saat aterm. Sebagai akibat dari peningkatan
output cardiac ibu dan penurunan resistensi vaskular uterus , serta
pengaruh hormonal dan kimia, aliran darah uterus semakin meningkat
selama kehamilan stasiun dari sekitar 50ml/menit pada kehamilan 10
minggu, meningkat menjadi 200ml/menit pada 28 minggu mencapai
setinggi 750 ml/menit pada saat aterm, mewakili hampir 17 kali lipat
peningkatan aliran darah uterus. Jadi pada saat aterm, uterus menerima
antara 10% dan 20% dari curah jantung ibu (Jaynee dan Maureen, 2020).
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus yang melebar
menghasilkan suara tiupan lembut yang sinkron dengan denyut nadi ibu
yang dikenal sebagai souffle uterus yang paling terdengar. jelas di dekat
bagian bawah rahim. Jangan disamakan dengan placem sal souffle, suara
seperti lautan yang teredam dari darah yang mengalir melalui plasenta
yang sinkron dengan janin dan ditemukan di bagian langsung plasenta
(Jaynee dan Maureen, 2020).
c. Perubahan ukuran rahim
Perbandingan antara rahim dan buah telah menjadi patokan cukup
dapat diandalkan untuk ukuran rahim pada awal kehamilan. Pada usia
kehamilan 5 minggu, rahim terasa seperti buah pir kecil yang belum
matang. Pada minggu ke-8 terasa seperti jeruk besar dan pada minggu
ke-12 kira-kira seukuran jeruk bali (Jaynee dan Maureen, 2020).
1) Perubahan bentuk rahim minggu ke-12 kehamilan
Selama beberapa minggu pertama kehamilan, peningkatan
ukuran rahim terbatas terutama pada diameter anteroposterior dan
rahim mempertahankan bentuk aslinya seperti buah pir dengan
fundus menjadi cembung yang rata di antara insersi nibal. Namun,
seiring bertambahnya usia kehamilan, korpus dan fundus menjadi
lebih berbentuk globular menjadi hampir bulat pada minggu ke-12
dan terlalu besar untuk tetap berada di dalam pelvis. Pergerakan fisik
rahim normal pada kehamilan, memungkinkan rahim bergerak relatif
bebas di semua bidang dan dengan demikian keluar dari keadaan
antefleksi (Jaynee dan Maureen, 2020).
2) Minggu ke-16 kehamilan
Antara 12 dan 16 minggu kehamilan, fundus menjadi berbentuk
kubah dengan naiknya rahim dari panggul biasanya di bawah terjadi
dekstrorotasi ke kanan mungkin karena reciosigmoid di sisi kiri
panggul. Uterus memanjang lebih cepat daripada lebarnya. Dari
sekitar 16 minggu, os grad vally internal berelaksasi dan segmen
bawah rahim berkembang dari isthmus otot yang sangat melebar dan
menipis (Jaynee dan Maureen, 2020).
3) Minggu ke-20 kehamilan
Saat rahim naik di perut, itu mengasumsikan bentuk ovoid,
ligamen bundar tampak berinsersi di persimpangan sepertiga tengah
dan sepertiga atas organ dan tuba uterina memanjang. Segmen
bawah rahim dan kanalis servikalis meluas dari atas ke bawah dalam
bentuk seperti baji (Jaynee dan Maureen, 2020).
4) Minggu ke-30 kehamilan
Saat rahim terus membesar, rahim berkontak dengan dinding
perut anterior, menggeser usus kemudian bersekutu dan superior dan
terus naik, akhirnya mencapai hampir ke hati. Dinding perut
menopang rahim dan kecuali cukup rileks, mempertahankan
hubungan antara sumbu panjang rahim dan sumbu pintu atas
panggul. Pada posisi terlentang rahim jatuh kembali untuk
beristirahat di kolom vertebral dan pembuluh darah besar yang
berdekatan, khususnya vena cava inferior dan aorta (Jaynee dan
Maureen, 2020).
5) Minggu ke-36 kehamilan
Pada akhir minggu ke-36 kehamilan, pembesaran rahim hampir
memenuhi rongga perut. Fundus berada di ujung kartilago xiphoid..
yang didorong ke depan. Hati, kolon transversum, lambung, dan
limpa berdesakan di dalam rongga rongga perut. Usus kecil
berdesakan di atas, di belakang, dan di samping rahim gagak.
Diafragma ditekan ke atas, mengurangi diameter vertikal rongga
dada sebanyak 4 cm. Pada tahap ini. Sekitar setengah dari kanal
serviks dimasukkan ke dalam segmen bawah rahim (Jaynee dan
Maureen, 2020).
6) Minggu ke-38 kehamilan
Pada usia 38 minggu, penyisipan tuba uterina dan ligamen lebar
dan bundar terletak sedikit di atas bagian tengah rahim, memberikan
tekanan pada ligamen. Segmen bawah rahim hampir sepenuhnya
berkembang dan fisiologis cincin retraksi berkembang di
persimpangan antara segmen bawah dan atas. Konsistensi segmen
bawah rahim kurang kuat. Hal ini distensi dan jauh lebih pasif
sedangkan segmen atas rahim cukup keras, tegas dan kontraktil
Karena fasikulata berjalan melintang di seluruh area dan juga karena
avaskularitas relatif dan ketenangan di masa nifas ini adalah tempat
pilihan untuk sayatan untuk persalinan sesar (Jaynee dan Maureen,
2020).
Turunnya kepala janin ke dalam panggul (pertunangan)
menyebabkan sedikit penurunan fundus yang dikenal sebagai
keringanan yang menyebabkan perubahan bentuk perut. Wanita
menggambarkan ini sebagai 'bayi turun. Ketika ini terjadi,
pernapasan menjadi lebih mudah dan rasa panas di perut berkurang.
sering tetapi peningkatan tekanan pada kandung kemih dapat
menyebabkan frekuensi tunggal. Ketika tekanan meningkat pada
panggul, konstipasi dapat terjadi dan karena ligamen panggul lebih
teregang, nyeri punggung bawah dapat terjadi (Jaynee dan Maureen,
2020).
d. Serviks
Dalam 1 bulan konsepsi, rahim menjadi lebih lunak dan sianosis
karena edema dan peningkatan vaskularisasi. Serat kolagen menjadi
kurang padat dengan serat yang lebih tipis dan lebih longgar Susunan
elastin dan luka rapat, melingkar, kolagen serat, yang diikat bersama oleh
zat dasar yang kuat membantu membentuk struktur tubular yang kaku,
yang menahan saluran tetap tertutup dan memberikan kekuatan untuk
mempertahankan janin dalam kehamilan. Rasio kolagen elastin paling
besar di os internal di mana otot konten terendah. Kelenjar-kelenjar
serviks mengalami hipertrofi dan hiperplasia yang begitu mencolok
sehingga pada akhir kehamilan kelenjar-kelenjar tersebut menempati
setengah dari seluruh massa serviks dibandingkan dengan sebagian kecil
pada keadaan tidak hamil (Jaynee dan Maureen, 2020).
Sel-sel mukosa endoserviks menghasilkan sejumlah besar mukus
yang mengakibatkan perkembangan. Konsistensi lendir berubah selama
kehamilan di bawah pengaruh progesteron sehingga pakis khas terlihat
pada awal kehamilan berubah menjadi pola manik-manik (Jaynee dan
Maureen, 2020).
Dalam 6 minggu terakhir kehamilan , serviks mengalami banyak
perubahan (pematangan) sebagai persiapan untuk mengeluarkan janin.
Pematangan serviks melibatkan sel-sel inflamasi, tetapi kemungkinan
besar bergantung pada kelenjar prostat yang diproduksi secara endogen.
Penataan ulang dan degradasi serat kola gen menciptakan peningkatan
ruang di antara mereka, memperpendeknya dan meningkatkan kelarutan
asam seiring dengan berkurangnya kapasitas untuk menahan air.
Substansi dasar menjadi cairan yang mengubah serviks menjadi struktur
yang lunak dan dapat diregangkan dengan resistensi yang berkurang
terhadap penipisan dan dilatasi. Penipisandan penipisan dapat dengan
mudah dideteksi pada pemeriksaan vagina (Jaynee dan Maureen, 2020).
Kanal serviks memendek dari atas ke bawah dari sekitar 2 cm
panjang ke lubang melingkar belaka, dengan tepi yang hampir setipis
kertas Serabut otot setinggi sapi servikal interna ditarik ke atas atau
dibawa ke segmen bawah rahim sementara os eksternal tetap tidak
berubah Penipisan dapat dibandingkan dengan proses corong di mana
seluruh panjang silinder sempit diubah menjadi corong melebar yang
sangat tumpul dengan lubang kecil melingkar untuk keluar. Proses ini
menyebabkan keluarnya sumbat lendir sebagai pertunjukan berdarah
pada awal persalinan. Ada kontroversi seputar kapan serviks pendek
terjadi, pemendekan spontan pada serviks hamil dari trimester pertama
hingga trimester kedua kehamilan. Semakin pendek serviks, semakin
besar risiko persalinan premature (Jaynee dan Maureen, 2020).
Secara klasik penipisan dan dilatasi serviks diduga karena kontraksi
fundus yang menyebabkan tarikan serviks secara radial ke atas isi uterus.
Penipisan dan dilatasi terutama merupakan hasil dari peningkatan
tekanan intrauterin yang disebabkan oleh kontraksi dinding rahim. Dalam
formulasi ini titik terlemah dari bola - segmen bawah rahim yang lebih
tipis dan serviks yang matang - menonjol, menipis, dan melebar dengan
setiap episode peningkatan tekanan. Pada wanita nulipara, penipisan
biasanya terjadi sebelum dimulainya persalinan tetapi pada wanita
multipara, penipisan dapat terjadi bersamaan dengan dilatasi serviks
(Jaynee dan Maureen, 2020).
e. Vagina
Selama kehamilan, peningkatan vaskularisasi dan hiperzemia
berkembang di kulit dan otot-otot perineum dan vulva dengan pelunakan
jaringan ikat di bawahnya. Peningkatan vaskularisasi mempengaruhi
vagina dan menghasilkan karakteristik warna ungu dari tanda Chadurick.
Sebagai persiapan untuk distensi (Jaynee dan Maureen, 2020).
yang terjadi pada persalinan, dinding vagina mengalami perubahan
yang mencolok, mukosa menebal, jaringan ikat mengendur dan sel otot
polos hipertrofi. Peningkatan volume sekret vagina karena kadar estrogen
yang tinggi menghasilkan cairan putih kental yang dikenal sebagai
keputihan (Jaynee dan Maureen, 2020).
Pada kehamilan, jumlah glikogen yang lebih besar disimpan di epitel
vagina karena ketersediaan estrogen yang tinggi. Glikogen
dimetabolisme menjadi asam laktat oleh Lactobacillus aci dophilus,
komensal normal vagina. Hal ini menyebabkan peningkatan keasaman
vagina (pH bervariasi dari 3,5-6) (Jaynee dan Maureen, 2020).
Selama kehamilan, ibu hamil mengalami perubahan anatomi dan
fisiologis yang signifikan dalam rangka memelihara dan mengakomodasi
janin yang sedang berkembang. Perubahan ini dimulai setelah
pembuahan dan mempengaruhi setiap sistem organ dalam tubuh (Jaynee
dan Maureen, 2020).
Volume plasma meningkat secara progresif selama kehamilan
normal. Sebagian besar peningkatan 50% ini terjadi pada usia kehamilan
34 minggu dan sebanding dengan berat lahir bayi. Karena ekspansi
volume plasma lebih besar daripada peningkatan massa sel darah merah,
terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel
darah merah. Meskipun hemodilusi ini, biasanya tidak ada perubahan
mean corpuscular volume (MCV) atau mean corpuscular hemoglobin
konsentrasi (MCHC) (Jaynee dan Maureen, 2020).
Jumlah trombosit cenderung menurun secara progresif selama
kehamilan normal, meskipun biasanya tetap dalam batas normal. Dalam
proporsi wanita (5-10%), akan mencapai tingkat 100-150 × 109 sel / l
dengan istilah dan ini terjadi dengan tidak adanya proses patologis. Oleh
karena itu, seorang wanita tidak dianggap thrombocytopenic pada
kehamilan sampai jumlah trombosit kurang dari 100 × 109 sel / l (Jaynee
dan Maureen, 2020).
Kehamilan menyebabkan peningkatan dua sampai tiga kali lipat
dalam kebutuhan zat besi, tidak hanya untuk sintesis hemoglobin tetapi
juga untuk janin dan produksi enzim tertentu. Ada peningkatan 10
sampai 20 kali lipat kebutuhan folat dan peningkatan dua kali lipat
kebutuhan vitamin B12 (Jaynee dan Maureen, 2020).
Perubahan sistem koagulasi selama kehamilan menghasilkan
keadaan hiperkoagulasi fisiologis (dalam persiapan untuk hemostasis
setelah pelahiran). Konsentrasi faktor pembekuan tertentu, khususnya
VIII, IX dan X, meningkat. Kadar fibrinogen meningkat secara signifikan
hingga 50% dan aktivitas fibrinolitik menurun. Konsentrasi antikoagulan
endogen seperti antitrombin dan protein S menurun. Dengan demikian
kehamilan mengubah keseimbangan dalam sistem koagulasi yang
mendukung pembekuan, yang menyebabkan wanita hamil dan
postpartum mengalami trombosis vena. Peningkatan risiko ini terjadi
sejak trimester pertama dan setidaknya selama 12 minggu setelah
melahirkan. Tesin vitro koagulasi atau waktu tromboplastin parsial
teraktivasi (APTT), waktu protrombin (PT) dan waktu trombin (TT)]
tetap normal tanpa adanya antikoagulan atau koagulopati (Jaynee dan
Maureen, 2020).
Stasis vena pada tungkai bawah dikaitkan dengan venodilatasi dan
penurunan aliran, yang lebih menonjol di sebelah kiri. Hal ini disebabkan
oleh kompresi vena iliaka kiri oleh arteri iliaka kiri dan arteri ovarium. Di
sebelah kanan, arteri iliaka tidak melintasi vena (Jaynee dan Maureen,
2020).
2. Perubahan Jantung
Perubahan sistem kardiovaskular pada kehamilan sangat besar dan
dimulai pada awal kehamilan, sehingga pada usia kehamilan delapan
minggu, curah jantung telah meningkat sebesar 20%. Kemungkinan besar
terjadi vasodilatasi perifer oleh faktor-faktor yang bergantung pada
endotel, termasuk sintesis oksida nitrat, yang diregulasi oleh estradiol dan
kemungkinan prostaglandin vasodilatasi (PGI2). Vasodilatasi perifer
menyebabkan 25-30% penurunan resistensi vaskular sistemik, untuk
mengimbangi ini, curah jantung meningkat sekitar 40% selama
kehamilan. Hal ini dicapai terutama melalui peningkatan volume
sekuncup, tetapi juga pada tingkat yang lebih rendah, peningkatan denyut
jantung. Curah jantung maksimum ditemukan pada usia kehamilan
sekitar 20-28 minggu.
Peningkatan volume sekuncup dimungkinkan karena peningkatan
awal massa otot dinding ventrikel dan volume akhir diastolik (tetapi
bukan tekanan akhir diastolik) yang terlihat pada kehamilan. Jantung
secara fisiologis melebar dan kontraktilitas miokard meningkat.
Meskipun volume sekuncup menurun menjelang aterm, peningkatan
denyut jantung ibu (10-20 bpm) dipertahankan, sehingga
mempertahankan peningkatan curah jantung. Tekanan darah menurun
pada trimester pertama dan kedua tetapi meningkat ke tingkat tidak hamil
pada trimester ketiga (Soma dkk, 2016).
Ada pengaruh besar posisi ibu terhadap aterm pada profil
hemodinamik ibu dan janin. Pada posisi terlentang, tekanan uterus gravid
pada vena cava inferior (IVC) menyebabkan penurunan aliran balik vena
ke jantung dan akibatnya menurunkan volume sekuncup dan curah
jantung. Beralih dari posisi lateral ke posisi terlentang dapat
menyebabkan penurunan 25% pada curah jantung. Oleh karena itu,
wanita hamil harus dirawat dalam posisi lateral kiri atau kanan jika
memungkinkan. Jika wanita harus tetap terlentang, panggul harus diputar
sehingga rahim turun ke samping dan keluar dari IVC, dan curah jantung
dan aliran darah uteroplasenta dioptimalkan. Penurunan curah jantung
berhubungan dengan penurunan aliran darah uterus dan oleh karena itu
perfusi plasenta, yang dapat membahayakan janin (Soma dkk, 2016).
Meskipun volume darah dan volume sekuncup meningkat pada
kehamilan, tekanan baji kapiler paru dan tekanan vena sentral tidak
meningkat secara signifikan. Resistensi pembuluh darah paru (PVR),
seperti resistensi pembuluh darah sistemik (SVR), menurun secara
signifikan pada kehamilan normal. Meskipun tidak ada peningkatan
tekanan baji kapiler paru (pulmonary capillary wedge pressure/PCWP),
tekanan osmotik koloid serum berkurang 10-15%. Tekanan osmotik
koloid atau gradien tekanan baji kapiler paru berkurang sekitar 30%,
membuat wanita hamil sangat rentan terhadap edema paru. Edema paru
akan dipresipitasi jika ada peningkatan preload jantung (seperti infus
cairan) atau peningkatan permeabilitas kapiler paru (seperti pada
preeklamsia) atau keduanya (Soma dkk, 2016).
Persalinan berhubungan dengan peningkatan lebih lanjut curah
jantung (15% pada kala I dan 50% pada kala II) Kontraksi uterus
menyebabkan auto-transfusi 300-500 ml darah kembali ke dalam
sirkulasi dan respon simpatis terhadap nyeri dan kecemasan lebih
meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Curah jantung
meningkat antara kontraksi tetapi lebih selama kontraksi (Soma dkk,
2016).
Setelah persalinan, terjadi peningkatan curah jantung dengan segera
karena hilangnya obstruksi vena cava inferior dan kontraksi uterus, yang
mengosongkan darah ke dalam sirkulasi sistemik. Curah jantung
meningkat 60-80%, diikuti dengan penurunan cepat ke nilai pra-
persalinan dalam waktu sekitar satu jam setelah melahirkan. Transfer
cairan dari ruang ekstravaskular meningkatkan aliran balik vena dan
volume sekuncup lebih lanjut (Soma dkk, 2016).
Oleh karena itu, wanita dengan gangguan kardiovaskular paling
berisiko mengalami edema paru selama kala dua persalinan dan periode
postpartum segera. Curah jantung hampir kembali normal (nilai pra-
kehamilan) dua minggu setelah melahirkan, meskipun beberapa
perubahan patologis (misalnya hipertensi pada preeklamsia) mungkin
memerlukan waktu lebih lama (Soma dkk, 2016).
Perubahan fisiologis di atas menyebabkan perubahan pada
pemeriksaan kardiovaskular yang dapat disalahartikan sebagai patologis
oleh mereka yang tidak terbiasa dengan kehamilan. Perubahan mungkin
termasuk denyut nadi yang melonjak atau kolaps dan murmur ejeksi
sistolik, yang terjadi pada lebih dari 90% wanita hamil. Murmur mungkin
keras dan terdengar di seluruh prekordium, dengan bunyi jantung
pertama keras dan mungkin kadang-kadang bunyi jantung ketiga.
Mungkin ada denyut ektopik dan edema perifer (Soma dkk, 2016).
Temuan normal pada EKG pada kehamilan yang sebagian mungkin
berhubungan dengan perubahan posisi jantung meliputi:
a. Ektopik atrium dan ventrikel.
b. Gelombang Q (kecil) dan gelombang T terbalik di sadapan III.
c. Depresi segmen ST dan inversi gelombang T di inferior dan lateral
menyebabkan pergeseran sumbu kiri QRS (Soma dkk, 2016).
3. Perubahan Anatomi dan Fungsi Ginjal
Mekanisme adaptif utama pada kehamilan adalah penurunan yang
nyata pada resistensi vaskular sistemik (SVR) yang terjadi pada minggu
keenam kehamilan. Penurunan 40% SVR juga mempengaruhi pembuluh
darah ginjal. Meskipun terjadi peningkatan besar dalam volume plasma
selama kehamilan, penurunan besar-besaran pada SVR menciptakan
keadaan pengisian arteri yang kurang karena 85% dari volume berada
dalam sirkulasi vena. Keadaan pengisian arteri yang kurang ini unik
untuk kehamilan. Penurunan SVR dikombinasikan dengan peningkatan
aliran darah ginjal dan ini berbeda dengan keadaan kekurangan pengisian
arteri lainnya, seperti sirosis, sepsis atau fistula arteri-vena (Soma dkk,
2016).
Relaksin, suatu hormon peptida yang diproduksi oleh korpus luteum,
desidua dan plasenta, memainkan peran penting dalam regulasi
hemodinamik dan metabolisme air selama kehamilan. Konsentrasi serum
relaksin, yang sudah meningkat pada fase luteal dari siklus menstruasi,
meningkat setelah pembuahan hingga mencapai puncaknya pada akhir
trimester pertama dan turun ke nilai antara selama trimester kedua dan
ketiga. Relaksin merangsang pembentukan endotelin, yang pada
gilirannya memediasi vasodilatasi arteri ginjal melalui sintesis oksida
nitrat (NO) (Soma dkk, 2016).
Meskipun aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) pada
awal kehamilan, resistensi relatif simultan terhadap angiotensin II
berkembang, mengimbangi efek vasokonstriksi dan memungkinkan
vasodilatasi mendalam. Ketidakpekaan terhadap angiotensin II ini dapat
dijelaskan oleh efek progesteron dan faktor pertumbuhan endotel
vaskular yang dimediasi produksi prostasiklin, serta modifikasi reseptor
angiotensin I selama kehamilan. Sifat refrakter vaskular terhadap
angiotensin II mungkin juga dimiliki oleh vasokonstriktor lain seperti
agonis adrenergik dan arginin vasopresin (AVP). Ada kemungkinan
bahwa pada paruh kedua kehamilan, vasodilatator plasenta lebih penting
dalam mempertahankan keadaan vasodilatasi (Soma dkk, 2016).
4. Perubahan Anatomi dan Fungsi Ginjal
Sebagai konsekuensi dari vasodilatasi ginjal, aliran plasma ginjal dan
laju filtrasi glomerulus (GFR) keduanya meningkat, dibandingkan
dengan tingkat tidak hamil, masing-masing sebesar 40–65 dan 50–85%.
Selain itu, peningkatan volume plasma menyebabkan penurunan tekanan
onkotik di glomerulus, dengan peningkatan GFR berikutnya. Resistensi
vaskular menurun pada arteriol aferen dan eferen ginjal dan oleh karena
itu, meskipun terjadi peningkatan besar dalam aliran plasma ginjal,
tekanan hidrostatik glomerulus tetap stabil, menghindari perkembangan
hipertensi glomerulus. Saat GFR meningkat, baik konsentrasi serum
kreatinin dan urea menurun hingga nilai rata-rata masing-masing sekitar
44,2 mol/l dan 3,2 mmol/l (Soma dkk, 2016).
Peningkatan aliran darah ginjal menyebabkan peningkatan ukuran
ginjal 1-1,5 cm, mencapai ukuran maksimal pada pertengahan kehamilan.
Ginjal, pelvis dan sistem calyceal melebar karena tekanan mekanis pada
ureter. Progesteron, yang mengurangi nada ureter, peristaltik dan tekanan
kontraksi, memediasi perubahan anatomi ini. Peningkatan ukuran ginjal
dikaitkan dengan peningkatan pembuluh darah ginjal, volume interstisial
dan ruang mati urin. Terdapat juga pelebaran ureter, pelvis ginjal, dan
kaliks, yang menyebabkan hidronefrosis fisiologis pada lebih dari 80%
wanita. Sering ada dominasi sisi kanan hidronefrosis karena keadaan
anatomi ureter kanan melintasi pembuluh iliaka dan ovarium pada sudut
sebelum memasuki panggul. Stasis urin pada sistem pengumpul yang
melebar menjadi predisposisi wanita hamil dengan bakteriuria
asimtomatik menjadi pielonefritis (Soma dkk, 2016).
Ada juga perubahan dalam penanganan tubular limbah dan nutrisi.
Seperti dalam keadaan tidak hamil, glukosa disaring secara bebas di
glomerulus. Selama kehamilan, reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal
dan pengumpul kurang efektif, dengan ekskresi yang bervariasi. Sekitar
90% wanita hamil dengan kadar glukosa darah normal mengeluarkan 1-
10 g glukosa per hari. Karena peningkatan GFR dan permeabilitas kapiler
glomerulus terhadap albumin, ekskresi fraksional protein dapat
meningkat hingga 300 mg/hari dan ekskresi protein juga meningkat. Pada
kehamilan normal, konsentrasi protein total dalam urin tidak meningkat
di atas batas normal atas. Ekskresi asam urat juga meningkat karena
peningkatan GFR dan/atau penurunan reabsorpsi tubulus (Soma dkk,
2016).
5. Metabolisme Air Tubuh
Kurangnya pengisian arteri pada kehamilan menyebabkan stimulasi
baroreseptor arteri, mengaktifkan RAA dan sistem saraf simpatik. Ini
menghasilkan pelepasan non-osmotik AVP dari hipotalamus. Perubahan
ini menyebabkan retensi natrium dan air di ginjal dan menciptakan
karakteristik keadaan hipervolemik dan hipoosmolar pada kehamilan.
Volume ekstraseluler meningkat 30-50% dan volume plasma 30-40%.
Volume darah ibu meningkat 45% menjadi sekitar 1.200 hingga 1.600 ml
di atas nilai saat tidak hamil. Pada akhir trimester ketiga, volume plasma
meningkat lebih dari 50-60%, dengan peningkatan massa sel darah merah
yang lebih rendah, dan oleh karena itu osmolalitas plasma turun 10
mosmol/kg. Peningkatan volume plasma memainkan peran penting
dalam mempertahankan volume darah yang bersirkulasi, tekanan darah
dan perfusi uteroplasenta selama kehamilan (Soma dkk, 2016).
Aktivasi sistem RAA menyebabkan peningkatan kadar aldosteron
plasma dan retensi garam dan air berikutnya di tubulus distal dan saluran
pengumpul. Selain peningkatan produksi renin oleh ginjal, ovarium dan
unit uteroplasenta menghasilkan protein prekursor renin yang tidak aktif
pada awal kehamilan. Plasenta juga memproduksi estrogen yang
merangsang sintesis angiotensinogen oleh hati, menghasilkan
peningkatan kadar aldosteron secara proporsional dibandingkan dengan
renin. Kadar aldosteron plasma berkorelasi baik dengan kadar estrogen
dan meningkat secara progresif selama kehamilan. Peningkatan
aldosteron bertanggung jawab atas peningkatan volume plasma selama
kehamilan (Soma dkk, 2016).
Progesteron, yang merupakan antagonis aldosteron kuat,
memungkinkan natriuresis meskipun sifat penahan natrium aldosteron.
Kenaikan GFR juga meningkatkan pengiriman natrium distal,
memungkinkan ekskresi kelebihan natrium. Progesteron memiliki efek
antikaliuretik dan oleh karena itu ekskresi kalium dijaga konstan selama
kehamilan karena perubahan reabsorpsi tubulus, dan total kalium tubuh
meningkat selama kehamilan (Soma dkk, 2016).
Pelepasan AVP hipotalamus meningkat pada awal kehamilan
sebagai akibat dari peningkatan kadar relaksin. AVP memediasi
peningkatan reabsorpsi air melalui saluran aquaporin 2 di saluran
pengumpul. Ambang untuk sekresi hipotalamus AVP dan ambang rasa
haus diatur ulang ke tingkat osmolalitas plasma yang lebih rendah,
menciptakan karakteristik keadaan hipo-osmolar kehamilan. Perubahan
ini dimediasi oleh human chorionic gonadotropin (hCG) dan relaksin
(Soma dkk, 2016).
Pada kehamilan pertengahan dan akhir terjadi peningkatan empat
kali lipat dalam vasopresinase, suatu aminopeptidase yang diproduksi
oleh plasenta. Perubahan ini meningkatkan pembersihan metabolik
vasopresin dan mengatur kadar AVP aktif. Dalam kondisi peningkatan
produksi vasopresinase plasenta, seperti preeklamsia atau kehamilan
kembar, diabetes insipidus sementara dapat berkembang. Sebagai
konsekuensi dari ekspansi volume ini, sekresi peptida natriuretik atrium
meningkat 40% pada trimester ketiga, dan meningkat lebih lanjut selama
minggu pertama pascapersalinan. Kadar peptida natriuretik lebih tinggi
pada ibu hamil dengan hipertensi kronis dan preeklamsia (Soma dkk,
2016).
6. Perubahan Pernapasan
Ada peningkatan yang signifikan dalam kebutuhan oksigen selama
kehamilan normal. Hal ini disebabkan peningkatan 15% dalam tingkat
metabolisme dan 20% peningkatan konsumsi oksigen. Ada peningkatan
40-50% dalam ventilasi menit, sebagian besar disebabkan oleh
peningkatan volume tidal, bukan pada laju pernapasan. Hiperventilasi ibu
ini menyebabkan pO2 arteri untuk meningkatkan dan arteri pCO2 jatuh,
dengan penurunan kompensasi dalam serum bikarbonat untuk 18-22
mmol / l (lihat Tabel1).Oleh karena itu, alkalosis respiratorik ringan yang
terkompensasi penuh adalah normal pada kehamilan (pH arteri 7,44).
Tabel 1

Nilai Normal
Pemeriksaan Penunjang Hamil Tidak Hamil
Ph 7,40-7,47 7,40-7,47
pCO2, mmHg (kPa) 7,35-7,45 7,35-7,45
pO2, mmHg ( kPa) 30 (3,6-4,3) 30 (3,6-4,3)
Kelebihan basa 35-40 (4,7-6,0) 35-40 (4,7-6,0)
Bikarbonat (mmol/l) 100–104 (12,6–14,0) 100–104 (12,6–14,0)

Peninggian diafragma pada akhir kehamilan menyebabkan


penurunan kapasitas residual fungsional tetapi pergerakan diafragma dan
oleh karena itu kapasitas vital tetap tidak berubah. Volume cadangan
inspirasi berkurang pada awal kehamilan, sebagai akibat dari peningkatan
volume tidal, tetapi meningkat pada trimester ketiga, sebagai akibat dari
penurunan kapasitas residu fungsional. Laju aliran ekspirasi puncak
(PEFR) dan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) tidak
dipengaruhi oleh kehamilan (Soma dkk, 2016).
Kehamilan juga dapat disertai dengan perasaan subjektif sesak napas
tanpa hipoksia. Ini fisiologis dan paling sering terjadi pada trimester
ketiga tetapi dapat dimulai kapan saja selama kehamilan. Secara klasik,
sesak napas muncul saat istirahat atau saat berbicara dan secara paradoks
dapat membaik selama aktivitas ringan (Soma dkk, 2016).
7. Perubahan Adaptif pada Sistem Pencernaan
Mual dan muntah adalah keluhan yang sangat umum pada
kehamilan, mempengaruhi 50-90% kehamilan. Hal ini merupakan
mekanisme adaptif kehamilan untuk mencegah wanita hamil
mengonsumsi zat yang berpotensi teratogenik seperti buah dan sayuran
yang rasanya kuat. Mekanisme pasti yang mendasari tidak jelas tetapi
hormon yang berhubungan dengan kehamilan seperti human chorionic
gonadotropin (hCG), estrogen dan progesteron dapat terlibat dalam
etiologi. Tingkat puncak hCG pada akhir trimester pertama ketika
trofoblas paling aktif memproduksi hCG, berkorelasi dengan gejala mual.
Mual juga lebih sering terjadi pada kehamilan dengan kadar hCG tinggi,
seperti pada kehamilan kembar (Soma dkk, 2016).
Hormon tiroid juga mungkin terlibat dalam perkembangan gejala
mual, karena hubungan yang kuat dengan mual dan tes fungsi tiroid
abnormal telah ditemukan. Hormon perangsang tiroid (TSH) dan hCG
memiliki struktur biomolekuler yang serupa dan oleh karena itu hCG
bereaksi silang dengan TSH, merangsang kelenjar tiroid.18 Penyebab
psikologis, inkompatibilitas genetik, faktor imunologi, defisiensi nutrisi
serta infeksi Helicobacter pylori telah diusulkan sebagai faktor etiologi
mual dan muntah selama kehamilan (Soma dkk, 2016).
Gejala mual biasanya hilang pada minggu ke-20 tetapi sekitar 10-
20% pasien mengalami gejala setelah minggu ke-20 dan beberapa sampai
akhir kehamilan.21 Dalam kebanyakan kasus modifikasi diet kecil dan
pengamatan keseimbangan elektrolit sudah cukup. Sekitar 0,5-3% wanita
hamil mengalami hiperemesis gravidum, suatu bentuk mual dan muntah
yang parah, sering mengakibatkan dehidrasi, ketidakseimbangan
elektrolit, ketonuria, penurunan berat badan, dan defisiensi vitamin atau
mineral. Dalam kasus ini, cairan intravena dan penggantian vitamin
biasanya diperlukan. Suplementasi tiamin penting untuk menghindari
perkembangan ensefalopati Wernicke (Soma dkk, 2016).
Saat kehamilan berlanjut, perubahan mekanis pada saluran
pencernaan juga terjadi, yang disebabkan oleh rahim yang tumbuh. Perut
semakin tergeser ke atas, menyebabkan perubahan sumbu dan
peningkatan tekanan intra-lambung. Tonus sfingter esofagus juga
menurun dan faktor-faktor ini dapat menjadi predisposisi gejala refluks,
serta mual dan muntah (Soma dkk, 2016).
Perubahan kadar estrogen dan progesteron juga mempengaruhi
perubahan struktural pada saluran cerna. Ini termasuk kelainan pada
aktivitas saraf lambung dan fungsi otot polos, yang menyebabkan
disritmia lambung atau gastroparesis. Perubahan tersebut terlihat pada
wanita dengan penyakit gastrointestinal yang sudah ada sebelumnya
seperti penyakit refluks gastroesofageal, gastroparesis diabetikum,
operasi bypass lambung atau penyakit radang usus (Soma dkk, 2016).
8. Perubahan Endokrin
Terjadi peningkatan produksi thyroxine-binding globulin (TBG)
oleh hati, yang mengakibatkan peningkatan kadar tiroksin (T4) dan tri-
iodothyronine (T3). Tingkat bebas T3 dan T4 jangan namun sedikit
menurun pada trimester kedua dan ketiga kehamilan dan rentang normal
berkurang. T3 dan T4 adalah hormon fisiologis penting dan merupakan
faktor penentu utama apakah pasien eutiroid (Soma dkk, 2016).
Konsentrasi serum TSH sedikit menurun pada trimester pertama
sebagai respons terhadap efek tirotropik dari peningkatan kadar human
chorionic gonadotropin. Tingkat TSH meningkat lagi pada akhir
trimester pertama, dan batas atas pada kehamilan dinaikkan menjadi 5,5
mol/l dibandingkan dengan tingkat 4,0 mol/l pada keadaan tidak hamil
(Tabel 2).
Rentang referensi untuk fungsi tiroid pada kehamilan
Fungsi Tiroid Tidak hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3
fT4 (pmol/l) 9–26 10–16 9–15,5 8–14,5 fT3
(pmol/l) 2,6–5,7 3– 7 3-5,5 2,5-5,5
TSH (mU / l) 0,3-4,2 0-5,5 0,5-3,5 0,5-3,5
Kehamilan dikaitkan dengan kekurangan yodium relatif.
Penyebabnya adalah transpor aktif yodium dari ibu ke unit foeto-plasenta
dan peningkatan ekskresi yodium dalam urin. Organisasi Kesehatan
Dunia merekomendasikan peningkatan asupan yodium pada kehamilan
dari 100 menjadi 150-200 mg/hari. Jika asupan yodium dipertahankan
pada kehamilan, ukuran kelenjar tiroid tetap tidak berubah dan oleh
karena itu keberadaan gondok harus selalu diselidiki. Kelenjar tiroid 25%
lebih besar pada pasien yang kekurangan yodium (Soma dkk, 2016).
B. Komplikasi Yang Terjadi Akibat Kegagalan Adaptasi Selama
Kehamilan
Kehamilan diawali oleh peristiwa konsepsi hingga usia kehamilan
mencapai 38-42 minggu. Selama proses tersebut, ibu hamil mengalami
perubahan fisiologis, psikologis dan sosial. Perubahan fisiologis diperlukan
guna melindungi fungsi normal ibu dalam menyediakan kebutuhan untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin. Perubahan ini menimbulkan gejala
spesifik sesuai dengan tahapan kehamilan yang terdiri dari tiga trimester.
Periode yang membutuhkan perhatian khusus adalah selama trimester
pertama karena masa ini merupakan masa transisi yang dapat menimbulkan
masalah yang berbeda pada setiap ibu hamil.(1) Kehamilan tidak selamanya
berjalan normal, kadangkala terjadi kelainan maupun komplikasi. Bidan
sebagai tenaga kesehatan senantiasa waspada dalam melaksanakan asuhan
kehamilan, sehingga mampu mendeteksi dini kemungkinan ada kelainan
dalam kehamilan (patologi).
Patologi kehamilan adalah penyulit atau gangguan atau komplikasi yang
menyertai ibu saat hamil (Sujiyatini,2009:3). Patologi kehamilan terbagi
kedalam beberapa kelainan yang terjadi diantaranya:
1. Kelainan Lamanya Kehamilan
Lamanya kehamilan yang normal adalah 280 hari atau 40 minggu
dihitumg dari hari pertama haid yang terakhir. Kadang-kadang kehamilan
berakhir sebelum waktunya dan ada kalanya melebihi waktu yang
normal.
a. Abortus
Abortus atau keguguran merupakan hasil konsepsi yang keluar
terjadi saat usia kehamilan kurang dari 20 minggu serta berat janin
kurang dari 500 gram. Penyebab terjadinya abortus bermacam-
macam dan sering diperdebatkan. Secara umum ada lebih dari satu
penyebab, antara lain: faktor genetik, autoimun, kelainan anatomi/
kelainan kongenital uterus, infeksi, hematologik, defek fase luteal,
serta lingkungan hormonal. Berikut ini beberapa jenis abortus
berdasarkan tanda, gejala dan proses patologi yang terjadi, serta
penatalaksanaannya:
1) Abortus imminens
Abortus imminens merupakan perdarahan pervaginam
sebelum usia kehamilan 20 minggu, tanpa nyeri dan ukuran
rahim sesuai dengan usia kehamilan dan leher rahim yang
tertutup, tes urin kehamilan masih positif dan hasil konsepsi
masih baik. Pasien disarankan untuk tirah baring hingga
perdarahan tidak terjadi dan disarankan untuk tidak melakukan
hubungan seksual terlebih dulu sampai lebih kurang 2 minggu.
Agar dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan mendapatkan
penanganan secara medis, pasien dirujuk ke dokter kandungan.
2) Abortus insipiens
Abortus insipiens merupakan kehamilan awal dengan
perdarahan vagina dan dilatasi serviks. Biasanya, perdarahan
vagina lebih buruk dibandingkan dengan aborsi mengancam,
dan lebih banyak kram yang dirasakan pasien, serta belum ada
jaringan yang keluar. Pada USG, hasil konsepsi terletak di
segmen bawah rahim atau saluran serviks. Besar uterus masih
sesuai dengan umur kehamilan dan tes urin kehamilan masih
positif. Kontraksi yang kuat dan sering pada umumnya
dikeluhkan oleh pasien, serta pengeluaran darah yang bertambah
sesuai dengan pembukaan serviks dan usia kehamilan.
Penanganan pada pasien bidan harus memperhatikan keadaan
umum dan perubahan keadaan dinamika aliran darah yang
terjadi kemudian secepatnya dilaksanakan tindakan perbaikan
keadaan umum serta dilakukan rujukan untuk menegaskan
kondisi abortus (melalui pengecekan USG) dan
evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi dengan digital kemudian
dilakukan kuretase jika darah yang keluar banyak dan diberikan
uterotonika. Perawatan setelah tindakan antara lain kontrol
keadaan umum pasien, pemberian uterotonika dan antibiotika
profilaksis lewat advice dokter, konseling pemenuhan kebutuhan
nutrisi/hidrasi, eliminasi, mobilisasi, hygiene, dan kontrasepsi.
3) Abortus inkompletus
Abortus inkompletus merupakan kehamilan yang
berhubungan dengan perdarahan vagina, dilatasi saluran serviks,
dan keluarnya hasil konsepsi. Pada umumnya pasien merasakan
kram yang hebat, dan perdarahan vagina sangat berat. Pasien
dapat menjelaskan terdapat jaringan yang telah keluar, atau
pemeriksa dapat mengamati bukti bahwa jaringan yang telah
keluar di dalam vagina. Pemeriksaan USG dapat menunjukkan
bahwa beberapa hasil konsepsi masih ada di dalam rahim. Pada
pemeriksaan ukuran uterus lebih kecil dari usia kehamilan,
kanalis servikalis masih terbuka, teraba jaringan/menonjol pada
ostium uteri eksternum, perdarahan bisa sedikit sampai banyak
tergantung pada jaringan yang tersisa. Pasien dapat mengalami
anemia atau syok hemoragik sebelum sisa konsepsi dikeluarkan.
Penatalaksanaan pasien terlebih dahulu memperhatikan keadaan
umum dan menanggulangi gangguan dinamika aliran darah
kemudian dilanjutkan dengan rujukan untuk menetapkan
diagnosis klinis (melalui USG apabila diperlukan) serta
pelaksanaan kuretase dengan hati-hati sesuai keadaan umum dan
ukuran uterus.
4) Abortus kompletus
Abortus kompletus merupakan ketika ada perdarahan
vagina dan keluarnya hasil konsepsi melalui serviks. Pada USG
transvaginal, tidak akan ada sisa hasil konsepsi di dalam rahim.
Abortus ini ditandai dengan ostium uteri yang telah menutup,
besar uterus lebih kecil dari usia kehamilan, perdarahan sedikit
dan seluruh hasil konsepsi telah keluar, pemeriksaan urin pada
umumnya masih positif hingga 7-10 hari setelah abortus.
Penatalaksanaan pasien tidak membutuhkan perawatan atau tata
laksana khusus. Pasien dapat diberikan raborantia apabila
dibutuhkan dan dilakukan konseling pemenuhan kebutuhan
pasca abortus.
5) Missed abortion
Missed abortion merupakan abortus yang memiliki ciri-ciri
sebelum usia kehamilan 20 minggu, fetus telah meninggal dalam
kandungan serta hasil konsepsi masih ada di dalam kandungan.
Pada umumnya pasien tidak mengeluhkan apapun kecuali
pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan.
Ketika usia kehamilan 14-20 minggu pasien merasakan
rahimnya semakin kecil dengan tandatanda kehamilan sekunder
mulai menghilang, tes urin kehamilan negative pada 1 minggu
setelah terjadinya abortus. Penatalaksanaan meliputi penanganan
awal antara lain evaluasi keadaan umum dan kondisi klinis
kemudian dilaksanakan rujukan untuk penentuan diagnosis serta
penanganan evakuasi hasil konsepsi (dilatasi dan kuretase
dengan meninjau kondisi ibu dan kondisi kehamilan). Peluang
timbulnya penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih
tinggi dikarenakan jaringan plasenta yang menempel pada
dinding uterus pada umumnya lebih kuat.
6) Abortus habitualis
Abortus habitualis merupakan abortus spontan yang terjadi
3 kali atau lebih secara berturut-turut, secara umum pasien yang
mengalami abortus habitualis tidak mengalami kendala untuk
dapat hamil kembali, tetapi berakhir dengan abortus. Salah satu
factor paling sering ditemukan yang menyebabkan abortus
habitualis yakni inkompetensi serviks yaitu keadaan dimana
serviks tidak mampu menerima beban untuk tetap bertahan
menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, dimana
ostium serviks akan membuka tanpa disertai rasa
mules/kontraksi Rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin.
7) Abortus infeksiosa
Abortus infeksiosa atau Abortus Septik; adalah abortus
yang disertai infeksi pada alat genitalia, sedangkan abortus
septik penyebaran nfeksi sudah mencapai peredaran darah tubuh
atau peritoneum. Tanda gejala yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan antara lain panas tinggi, tampak sakit dan lelah,
adanya takikardia, perdarahan pervaginam yang menimbulkan
bau, uterus yang membesar dan lembek, serta nyeri tekan, pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. Apabila hal
tersebut berlanjut hingga terjadi sepsis dan syok, penderita akan
tampak lelah, panas tinggi, menggigil dan tekanan darah turun.
Penatalaksanaan pada pasien dengan kondisi seperti ini harus
memperhitungkan keadaan umum dan rujukan segera untuk
memenuhi keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian
antibiotika yang adekuat sesuai hasil kultur. Tindakan kuretase
disertai pemberian uterotonika dapat diberikan apabila keadaan
tubuh berangsur membaik minimal 6 jam setelah antibiotika
adekuat diberikan.
8) Kehamilan anembrionik (Blighted Ovum)
Blighted Ovum merupakan suatu kondisi dalam kehamilan
patologi ketika janin dan yolk sac mengalami gangguan untuk
dapat terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap
terbentuk. Kehamilan tetap berjalan hingga usia 14-16 minggu
walaupun tidak terdapat janin didalamnya. Kehamilan
anembrionik dapat diketahui melalui pemeriksaan USG yang
dilaksanakan pada usia kehamilan 7-8 minggu. Rujukan harus
segera dilakukan apabila pada deteksi dini usia kehamilan 12
minggu atau lebih belum teridentifikasinya DJJ dengan Doppler.
Penatalaksanaan kondisi dengan kehamilan ini dilakukan
melalui terminasi kehamilan dengan dilatasi dan kuretase secara
elektif.
b. Partus Serotinus
Menurut WHO kehamilan serotinus atau sering di sebut
kehamilan postterm adalah keadaan yang menunjukkan kehamilan
berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih dihitung dari
hari pertama haid terakhir (Sri, 2017).

Faktor yang mempengaruhi terjadinya serotinus adalah


hormonal, dimana kadar progesterone tidak cepat turun walaupun
kehamilan cukup bulan sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin
berkurang. Faktor predisposisi terjadinya persalinan serotinus adalah
paritas, umur, pendidikan, pekerjaan dan penyakit ibu (Wiknjosastro,
2011).
2. Kelainan tempat kehamilan (Kehamilan Ektopik)
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang
dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri.
Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding
tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.
Kehamilan ektopik dapat terjadi diluar rahim misalnya dalam tuba,
ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi didalam rahim
misalnya dalam cervix, pars interstitialis tuba atau dalam tanduk
rudimenter rahim. Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi
di tuba (90%) terutama di ampula dan isthmus.
Salah satu fungsi saluran telur yaitu untuk membesarkan hasil
konsepsi (zigot) sebelum turun dalam rahim, tetapi oleh beberapa sebab
terjadi gangguan dari perjalanan hasil konsepsi dan tersangkut serta
tumbuh dalam tuba. Saluran telur bukan tempat ideal untuk tumbuh
kembang hasil konsepsi. Disamping itu penghancuran pembuluh darah
oleh proses proteolitik jonjot koreon menyebabkan pecahnya pembuluh
darah. Gangguan perjalanan hasil konsepsi sebagian besar karena infeksi
yang menyebabkan perlekatan saluran telur. Pembuluh darah pecah karena
tidak mempunyai kemampuan berkontraksi maka perdarahan tidak dapat
dihentikan dan tertimbun dalam ruang abdomen. Perdarahan tersebut
menyebabkan perdarahan tuba yang dapat mengalir terus ke rongga
peritoneum dan akhirnya terjadi ruptur, nyeri pelvis yang hebat dan akan
menjalar ke bahu.
Gambaran kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun petugas medis biasanya tidak mengetahui adanya
kelainan dalam kehamilan. Pada umumnya penderita menunjukkan
gejala-gejala sebagai berikut:
a. Amenorhoe
b. Nyeri perut bagian bawah
c. Gejala kehamilan muda
d. Level hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) rendah
e. Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua
f. Pada pemeriksaan pervagina terdapat nyeri goyang bila serviks
digoyangkan dan kavum douglasi menonjol karena ada pembekuan
darah
Gejala dan tanda kehamilan ektopik sangat berbeda-beda dari
perdarahan banyak tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya
gejala tidak jelas, sehingga sukar membuat diagnosisnya, gejala dan
tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik, abortus atau ruptur
tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan
umum penderita sebelum hamil (Norma dan Mustika, 2018: 72).
3. Kelainan telur
a. Mola Hydatidosa
Hamil anggur (Mola Hidatidosa) adalah kehamilan abnormal
berupa tumor jinak dari sel-sel trofoblas.Trofoblas adalah bagian dari
tepi sel-sel telur yang kelak terbentuk menjadi ari-ari janin atau
merupakan suatu hasil yang gagal. Jadi, dalam proses kehamilannya
mengalami hal yang berbeda dengan kehamilan normal, dimana hasil
pembuahan sel sperma dan sel telur gagal terbentuk dan berubah
menjadi gelembung-gelembung yang bergerombol membentuk buah
anggur. (Sukarni dan Wahyu, 2013).
Mola Hidatidosa merupakan kelainan kehamilan yang ditandai
dengan trofoblas yang tidak wajar.Pada kelaianan kehamilan ini,
struktur yang dibentuk trofoblas yaitu vili korialis berbentuk
gelembung-gelembung seperti anggur (Arantika, 2017).
Mola hidatidosa dapat terbagi menjadi 2 jenis yaitu : Mola
hidatidosa komplit dan Mola hidatidosa parsialis. Mola hidatidosa
komplit yaitu penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan
kehamilan yang tidak disertai janin dan seluruh vili korialis mengalami
perubhan hidropik.Mola hidatidosa parsialis, yaitu sebagian
pertumbuhan dan perkembangan vili korialis berjalan normal sehingga
janin dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai aterm.(Arantika,
2017).
Ada beberapa teori yang menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblas : teori missed abortion. Mudah mati pada kehamilan ke 5-8
minggu karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi
penimbunan cairan masenkim dari vili dan akhirnya terbentuk
gelembunggelembung. Teori neoplasma dari park, sel-sel trofoblas
adalah abnormal dan memiliki fungsi yang abnormal dimana terjadi
reabsorbsi cairan yang berlebihan kedalam vili sehingga timbul
gelembung-gelembung. Studi dari Herting lebih menegaskan lagi
bahwa mola hidatidosa semata-mata akibat akumulasi cairan yang
menyertai degenerasi awal atau tidak adanya embrio komplit pada
minggu ketiga dan kelima.Adanya sirkulasi material yang terus
menerus dan tidak adanya sirkulasi material yang terus menerus dan
tidak adanya fetus menyebabkan trofoblast berproliferasi dan
melakukan fungsinya selama pembentukan cairan (Morgan, 2009).
b. Kelainan Plasenta
1) Kelainan besarnya, bentuknya dan beratnya
Bentuk plasenta yang normal ialah ceper dan bulat.
Diameternya 15-20 cm, tebalnya 1 ½ - 3 cm. Plasenta pada
kehamilan aterm bertanya 1/6 x berat anak atau ± 500 gram.
Plasenta yang besar dan berat terdapat pada erythroblastosis,
syphilis dan penyakit ginjal.
Plasenta fenestrate ialah plasenta yang berlubang ditengah –
tengahnya. Placenta bilobata ialah plasenta yang terdiri dari 2
lobi.
Plasenta succentutiata adalah suatu kelainan
pada plasenta dimana plasenta memiliki lobus tambahan. Lobus
tambahan ini bisa berjumlah 1 atau lebih dan meskipun lobus ini
bisa terlihat terpisah dari plasenta utama, biasanya terdapat
sambungan vaskular (pembuluh darah) dengan plasenta utama.
Plasenta membranacea, adalah plasenta lebar dan tipis
meliputi hampir seluruh permukaan chorion. Placenta
membranacea dapat menimbulkan perdarahan antepartum dan
memberi kesulitan pada kala III karena plasenta yang tipis ini
sukar terlepas.
Placenta circumvallate, pada permukaan foetal dekat pada
pinggir placenta terdapat cincin putih. Cincin putih ini
menandakan pinggir placenta, sedangkan jaringan di sebelah
luarnya terdiri dari vili yang timbul ke samping di bawah
decidua.
2) Kelainan insersi plasenta
Plasenta biasanya melekat pada dinding belakang atau
depan rahim dekat pada fundus. Jonjot – jonjot menempel ke
dalam dinding rahim hanya sampai ke lapisan atas dari stratum
spongiosum. Jika implantasi plasenta rendah, yaitu pada segmen
bawah rahim dan menutup sebagian atau seluruh ostium
internum maka plasenta tersebut disebut plasenta previa. Jika
jonjot-jonjot korion menempel pada dinding rahim lebih dalam
dari semestinya maka disebut dengan plasenta akreta. Menurut
dalamnya perlekatan dinding rahim oleh jonjot-jonjot plasenta
akreta dibagi menjadi:
a) Plasenta akreta, jonjot menembus desidua sampai
berhubungan dengan myometrium.
b) Plasenta inkreta, jonjot-jonjot sampai ke dalam lapisan
myometrium.
c) Plasenta perkreta, jonjot-jonjot menembus myometrium
hingga mencapai perimetrium dan kadang-kadang
menembus perimetrium dan menimbulkan rupture uteri.
3) Penyakit plasenta
a) Infark putih plasenta, ialah bagian bagian yang lebih pucat
dari permukaan maternal plasenta. Infark ini ditumbulkan
oleh degenerasi trophoblast (degenerasi fibrinoid).
b) Infark merah, karena synsytium mengalami degenerasu dan
kemudian melepaskan diri maka jaringan ikat villus
langsung berhubungan dengan darah hingga pada tempat ini
timbul pembekuan darah. Infark merah ini akhirnya menjadi
putih karena diorganisasi.
c) Kista plasenta, kadang – kadang terdapat kista pada
permukaan foetal placenta. Isinya cairan jernih kuning atau
kadang – kadang kemerah-merahan. Kista ini terjadi karena
pencairan korion.
d) Tumor – tumor plasenta, ialah chorioangioma, mola
hydatidosa dan choriocarcinoma.
e) Radang plasenta, dapat terjadi karena penjalaran infeksi
desidua misalnya oleh gonococcus atau kuman lain.
f) Perkapuran plasenta, pada permukaan maternal kadang-
kadang terdapat tempat-tempat yang mengalami
perkapuran.
g) Oedem plasenta, terjadi pada hydrops foetalis dan pada
gangguan peredaran darah dalam tali pusat.
h) Dysfungsi plasenta, terjadi ketika plasenta tidak mampu
memberikan nutrisi yang cukup bagi janin. Kondisi ini
dapat menimbulkan ancaman serius bagi bayi yang belum
lahir, seperti kekurangan oksigen saat lahir, persalinan
prematur, serta meninggal saat kelahiran.
c. Kelainan Tali Pusat
Kelainan tali pusat terdiri atas, (a) Kelainan insersi tali pusat,
yaitu insersi tali pusat yang abnormal di mana tempat melekatnya
tali pusat berada pada selaput janin (insersi korda velamentosa). (b)
Kelainan panjang tali pusat, yaitu kelainan tali pusat di mana
panjang mencapai 300 m, tali pusat pendek, dan tidak adanya tali
pusat (achordia). Panjang tali pusat normalnya adalah 50–55 cm, (c)
Tidak terbentuknya arteri umbilikalis artinya tali pusat hanya
memiliki satu arteri (arteri tunggal), (d) Torsi tali pusat, yaitu terjadi
akibat gerakan janin sehingga tali pusat terpilin, (e) Striktur tali
pusat, yaitu terjadi pada tali pusat yang sangat kekurangan jelly
Wharton,(f) Hematoma tali pusat, yaitu terjadi akibat pecahnya satu
variks, biasanya berasal dari vena umbilicalis dengan efusi darah ke
dalam tali pusat, (g) Kista tali pusat yaitu, kista yang terbentuk dari
sisa-sisa gelembung umbilical atau allantois. Ada murni dan palsu
bergantung pada asalnya, (h) Edema pada tali pusat, yaitu terjadi
pada bayi yang mengalami maserasi, (i) Omfalitis, yaitu infeksi pada
tali pusat yang ditandai dengan tali pusat basah disertai bau yang
tidak sedap, (j) Tetanus neonatorum, yaitu infeksi pada tali pusat
yang disebabkan oleh clostridium tetani yang masuk melalui tali
pusat. (Sodikin, 2009)
d. Kelainan Air Ketuban
1) Polyhidramniom
Polyhidramnion merupakan suatu keadaan dimana jumlah air
ketuban jauh lebih banyak dari normal, yaitu biasanya > 2000 cc.
polyhidramnion ini terjadi karena duksi air ketuban yang
bertambah yang berasal dari epitel amnion namun juga bisa
bertambah karena cairan lain masuk ke dalam ruang amnion,
pengaliran air ketuban terganggu karena janin tidak menelan
cairan air ketuban. Pada polyhidramnion rahim menjadi tegang
yang kemudian menjadi salah satu pemicu terjadinya ketuban
pecah dini. Polyhidramnion merupakan keadaan dimana jumlah
air ketuban lebih banyak dari normal atau > 2 liter.
2) Oligohydramnion
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air
ketuban sangat sedikit yakni kurang dari normal, yaitu kurang
dari 500 cc. Insidensi 5-8% dari seluruh kehamilan.
Oligohidramnion harus dicurigai jika tinggi fundusuteri lebih
rendah secara bermakna dibandingkan yang diharapkan pada
usia gestasi tersebut. Pada ibu yang mengalami
Oligohidramnion biasanya akan tampak uterus terlihat lebih
kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballottement, bahkan
ibu merasa nyeri diperut pada setiap pergerakan anak
(Rukiyah, 2010).
3) Emboli air ketuban
Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah
sejumlah cairan ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-
tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut dan shock. Dua puluh
lima persen wanita yang menderita keadaan ini meninggal dalam
waktu 1 jam. Emboli cairan ketuban jarang dijumpai.
Kemungkinan banyak kasus tidak terdiagnosis yang dibuat adalah
shock obastetrik, perdarahan post partum atau edema pulmoner
akut. Cara masuknya cairan ketuban Dua tempat utama masuknya
cairan ketuban kedalam sirkulasi darah maternal adalalah vena
endocervical (yang dapat terobek sekalipun pada persalinan
normal) dan daerah utero plasenta.Ruputra uteri meningkat
kemungkinan masuknya cairan ketuban. Abruption plasenta
merupakan peristiwa yang sering di jumpai, kejadian ini
mendahului atau bersamaan dengan episode emboli.
e. Morbus Haemolyticus Neonatorum
Penyakit haemolyticus neonatorum adalah peningkatan hemolisis
pada janin atau bayi baru lahir, yang dipicu pada 95% kasus oleh
inkompatibilitas rhesus atau inkompatibilitas ABO antara ibu dan
anak. Dalam bentuk inkompatibilitas rhesus yang parah, hidrops
janin dapat terjadi intrauterin. Bayi yang terkena pascanatal
mengalami anemia yang disebabkan oleh hemolisis, yang dapat
menyebabkan ikterus neonatorum karena peningkatan serangan
bilirubin tak terkonjugasi. Dalam kasus yang jarang terjadi, jika nilai
Hb sangat berkurang, pemberian konsentrat sel darah merah
diperlukan. Karena ketidakcocokan rhesus dapat menyebabkan
hidrops yang mengancam jiwa dalam beberapa kasus dengan
konsekuensi fatal, profilaksis anti-D harus dilakukan pada ibu
rhesus-negatif. Inkompatibilitas ABO biasanya ringan dan jarang
menyebabkan hemolisis.
f. Kehamilan Ganda
Kehamilan ganda terjadi, apabila dua atau lebih ovum di lepaskan
dan dibuahi atau apabila satu ovum dibuahi membelah secara dini
hingga membentuk dua embrio yang sama pada stadium massa sel
dalam atau lebih awal (Nugroho, 2019).
Kehamilan kembar (multiple gestations) juga dikenal sebagai
kehamilan multipel (kehamilan dengan lebih dari satu janin) multiple
pregnancy. Keadaan ini dianggap sebagai komplikasi kehamilan
karena tubuh ibu hamil harus menyesuaikan diri dengan akibat yang
ditimbulkan oleh janin yang jumlahnya lebih dari satu itu (Saputra,
2014).
g. Gangguan Pertumbuhan Intrauterin
IUGR atau intrauterine growth restriction adalah suatu kondisi
yang menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. IUGR ditandai
dengan ukuran dan berat janin yang tidak sesuai dengan usia
kehamilan. Gangguanpertumbuhan janin di kelompokkan dalam dua
kategori yaitu Makrosomia (bayi lahir besar, > 4 kg) dan IUGR
(Intra Uterine Growth Restriction) atau pertumbuhan janin terhambat
(PJT). Bayi makrosomia disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya genetik, faktor gizi, Ibu hamil menderita diabetes
mellitus, Ibu dengan obesitas, Ibu kehamilan lebih bulan. Sedangkan
PJT dimana terjadi gangguan nutrisi dan pertumbuhan janin
sehingga mengakibatkan berat lahir dibawah 10 persentil dari kurva
berat badan bayi normal artinya janin memiliki berat badan kurang
dari 90% dari keseluruhan janin dalam usia kehamilan yang sama
(Cunningham et al., 2014).
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya kehamilan IUGR
(Intra Uterine Growth Restiction) atau pertumbuhan janin terhambat
(PJT) antara lain faktor ibu, faktor janin, faktor plasenta dan factor
lingkungan. Faktor ibu meliputi usia ibu, status gizi ibu hamil,
penyakit ibu hamil, keadaan sosial ekonomi dan stres pada ibu
hamil. Faktor janin meliputi kelainan kromosom dan cacat
bawaan.Faktor plasenta misalnya sirkulasi utero plasenta.Dan faktor
lingkungan diantaranya tempat tinggal didataran tinggi, radiadi dan
zat-zat racun (Cunningham et al., 2014).
4. Gestose
a. Hyperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum merupakan mual dan muntah yang
berlebihan pada awal kehamilan, mual dan muntah yang dirasakan
oleh ibu hamil berlangsung sejak usia kehamilan 9-10 minggu dan
hanya sebagian kecil yang berlanjut sampai usia kehamilan 20-24
Minggu (Ogunyemi, 2017). Sekitar 80% terjadi mual dan muntah
pada kehamilan, mual dan muntah yang berhubungan dengan
kehamilan biasanya dimulai dengan 9-10 minggu kehamilan,
puncaknya pada 11-13 minggu, dan berakhir pada 12-14 minggu,
dalam 1- 10% dari kehamilan, gejala dapat berlanjut setelah 20-22
minggu (Ogunyemi, 2017).
Hiperemesis gravidarum yang merupakan komplikasi mual dan
muntah pada hamil muda terjadi terus menerus dapat menyebabkan
dehidrasi dan tidak seimbangnya elektrolit dengan alkalosis
hipokloremik. Hiperemesis gravidarum dapat mengakibatkan
cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan
energi. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna terjadilah ketosis
dengan tertimbunnya asam aseton – asetik, asam hidroksi butirik dan
aseton dalam darah. Kekurangan volume cairan yang diminum dan
kehilangan karena muntah menyebankan dehidrasi sehingga cairan
ekstraseluler dan plasma berkurang. Natrium dan khlorida air kemih
turun. Selain itu jug adapt menyebabkan hemokonsentrasi sehingga
aliran darah berkurang. Kekurangan kalium sebagai akibat dari
muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal menambah frekuensi
muntah – muntah lebih banyak, dapat merusak hati dan terjadilah
lingkaran yang sulit dipatahkan.
Selain dehidrasi dan terganggunya keseimbangan elektrolit
dapat terjadi robekan pada selaput lender esophagus dan lambung
(Sindroma Mallory Weiss) dengan akibat perdarahan
gastrointestinal. Pada umumnya robekan ini ringan dan perdarahan
dapat berhenti sendiri, jarang sampai diperlukan transfusi atau
tindakan operatif (Rorrong dkk, 2021).
b. Hipertensi dalam Kehamilan
1) Pengertian Hipertensi
Hipertensi pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi
saat kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir
kehamilan atau lebih setelah 20 minggu usia kehamilan pada
wanita yang sebelumnya normotensif, tekanan darah mencapai
nilai 140/90 mmHg, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg
dan tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (Junaidi,
2010).
2) Klasifikasi Hipertensi
a) Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah tekanan
darah ≥140/90 mmHg yang didapatkan sebelum kehamilan
atau sebelum umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi
tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan.
b) Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20
minggu kehamilan disertai dengan proteinuria.
Eklampsia adalah preeklampsi yang disertai dengan
kejang-kejang dan/atau koma.
c) Preeklampsia pada hipertensi kronik (preeclampsia
superimposed upon chronic hypertension) adalah
hipertensi kronik disertai tanda- tanda preeklampsi atau
hipertensi kronik disertai proteinuria.
d) Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul
pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi
menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau
kematian dengan tanda-tanda preeklampsi tetapi tanpa
proteinuria (Prawirohardjo, 2013).
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis antara hipertensi kronik,
hipertensi gestasional dan preeklampsia (Suyono S, 2009).
Gambaran Klinis Hipertensi Hipertensi Preeklampsia
Kronik Gestasional
Saatnya Muncul Kehamilan Biasanya Kehamilan <20
Hipertensi <20 minggu Trimester III Minggu
Derajat HT Ringan-berat Ringan Ringan-berat
Proteinuria Tidak ada Tidak ada Biasanya ada
Serum Urat > 5,5 Jarang Tidak ada Ada pada semua
mg/dl kasus
Hemokonsenterasi Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus
P Preeklampsi berat
Trombositopenia Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus
Preeklampsi berat
Disfungsi Hati Tidak ada Tidak ada Ada pada kasus
P Preeklampsi berat
e) Eklampsia
Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang
wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat disebabkan
oleh hal lain. Kejang bersifat grand mal atau tonik-klonik
generalisata dan mungkin timbul sebelum, selama atau
setelah persalinan. Eklampsia paling sering terjadi pada
trimester akhir dan menjadi sering mendekati aterm. Pada
umumnya kejang dimulai dari makin memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri kepala daerah
frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri epigastrium dan
hiperrefleksia. Konvulsi eklampsi dibagi menjadi 4 tingkat,
yaitu (Prawirohardjo, 2013).
5. Perdarahan Antepartum
a. Plasenta previa
Plasenta previa adalah komplikasi kebidanan yang parah pada
kehamilan yang terjadi ketika plasenta menempel ke bagian bawah
segmen uterus dan sebagian atau seluruhnya menutupi serviks
internal. (Zhang et,al, 2020)

Plasenta previa disebabkan oleh implantasi blastokista yang


terletak rendah dalam rongga rahim. Adapun faktor-faktor yang
memengaruhi terjadinya plasenta previa ialah: 1. Meningkatnya
paritas ibu, terutama jika jarak kehamilannya pendek 2.
Meningkatnya usia ibu Ditemukan 80% dari kasus plasenta previa
terjadi pada wanita yang multiparitas dan risikonya meningkat pada
ibu hamil yang berusia >35 tahun. Usia kecil dari 20 tahun juga
dinilai berisiko karena hipoplasia endometrium. Hal ini juga
disebabkan endometrium belum siap menerima hasil konsepsi yang
berdampak pada gangguan vascular dan selanjutnya terjadi plasenta
previa. (Widia, R,dkk 2019). 3. Kehamilan ganda 4. Tindakan
kuretase Terjadinya plasenta previa juga secara signifikan terkait
dengan jaringan parut uterus dan gangguan endometrium yang
terjadi dengan instrumentasi uterus seperti kuretase.
(Timothy,et,al,2019) Riwayat seksio sesarea sebelumnya 6. Adanya
bekas luka pada rahim dan miomektomi atau endometritis, Riwayat
plasenta previa dan 8. Kebiasaan merokok. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan kejadian Plasenta Previa:
1) Multiparitas dan umur lanjut (≥ 35 tahun).
2) Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat
perubahan atrofik dan inflamatorotik.
3) Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas
pembedahan (SC, Kuret,dll).
4) Chorion leave persisten.
5) Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum
siap menerima hasil konsepsi.
6) Konsepsi dan nidasi terlambat. Plasenta besar pada hamil ganda
dan eritoblastosis atau hidrops fetalis. (Trianingsih, I, dkk,
2015).
b. Solusio plasenta
Solusio Plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum persalinan,
baik sebagian atau seluruhnya, dari tempat implantasi yang normal.
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta dari tempat implantasinya
pada korpus uteri sebelum bayi lahir. dapat terjadi pada setiap saat
dalam kehamilan. Terlepasnya plasenta dapat sebagian
(parsialis),atau seluruhnya(totalis) atau hanya rupture pada tepinya
(rupture sinus marginalis) (dr.Handayo,dkk) Penyebab utama dari
solusio plasenta masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun
demikian,beberapa hal di bawah ini di duga merupakan factor-faktor
yang berpengaruh pada kejadiannya,antara lain sebagai berikut:
1) Hipertensi esensial atau preeklampsi.
2) Tali pusat yang pendek karena pergerakan janin yang banyak
atau bebas.
3) Trauma abdomen seperti terjatuh terkelungkup,tendangan anak
yang sedang di gendong.
4) Tekanan rahim yang membesar pada vena cava inferior.
5) Uterus yang sangat kecil.
6) Umur ibu (< 20 tahun atau > 35 tahun
7) Ketuban pecah sebelum waktunya.
8) Mioma uteri.
9) Defisiensi asam folat.
10) Merokok, alkohol dan kokain.
11) Perdarahan retroplasenta.
12) Kekuatan rahim ibu berkurang pada multiparitas.
13) Peredaran darah ibu terganggu sehingga suplay darah ke janin
tidak ada.
14) Pengecilan yang tiba-tiba pada hidromnion dan gameli.
Faktor-faktor yang mempengaruhi solusio plasenta antara lain
sebagai berikut:
1) Factor vaskuler (80-90%) yaitu toksemia gravidarum,
glomerulonefritis kronik,dan hipertensi esensial. Adanya
desakan darah yang tinggi membuat pembuluh darah mudah
pecah sehingga terjadi hematoma retroplasenter dan plasenta
sebagian terlepas.
2) Faktor trauma.
a) Pengecilan yang tiba-tiba dari uterus pada hidromnion dan
gamely.
b) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat dari pergerakan
janin yang banyak/bebas, atau pertolongan persalinan.
3) Faktor paritas
Lebih banyak dijumpai pada multi dari pada primi. Holmer
mencatat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta dijumpai 45
multi dan 18 primi.
4) Pengaruh lain seperti anemia, malnutrisi, tekanan uterus pada
vena cava inferior,dan lain-lain.
5) Trauma langsung seperti jatuh, kena tendang dan lain-lain.

Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau


uterus yang membentuk hematoma pada desidua,sehingga
plasenta terdesak dan akhirnya terlepas. Apabila perdarahan
sedikit,hematoma yang kecil itu hanya akan mendesak jaringan
plasenta,pedarahan darah antara uterus dan plasenta belum
terganggu,dan tanda serta gejala pun belum jelas. Kejadian baru
diketahui setelah plasenta lahir,yang pada pemeriksaan di
dapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan
bekuan darah yang berwarna kehitam-hitaman.

Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus


karena otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan itu tidak
mampu untuk lebih berkontraksi menghentikan perdarahannya.
Akibatnya hematoma retroplasenter akan bertambah
besar,sehingga sebagian dan seluruh plasenta lepas dari dinding
uterus. Sebagian darah akan menyeludup di bawah selaput
ketuban keluar dari vagina atau menembus selaput ketuban
masuk ke dalam kantong ketuban atau mengadakan ektravasasi
di antara serabut-serabut otot uterus.

Apabila ektravasasinya berlangsung hebat,maka seluruh


permukaan uterus akan berbercak biru atau ungu. Hal ini di
sebut uterus Couvelaire (Perut terasa sangat tegang dan nyeri).
Akibat kerusakan jaringan miometrium dan pembekuan
retroplasenter,maka banyak trombosit akan masuk ke dalam
peredaran darah ibu,sehinga terjadi pembekuan intravaskuler
dimana-mana,yang akan menghabiskan sebagian besar
persediaan fibrinogen. Akibatnya terjadi hipofibrinogenemi
yang menyebabkan gangguan pembekuan darah tidak hanya di
uterus tetapi juga pada alat-alat tubuh yang lainnya.

Keadaan janin tergantung dari luasnya plasenta yang


terlepas dari dinding uterus. Apabila sebagian besar atau
seluruhnya terlepas, akan terjadi anoksia sehingga
mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian kecil yang
terlepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali,atau juga akan
mengakibatkan gawat janin. Waktu sangat menentukan
beratnyaa gangguan pembekuan darah, kelainan ginjal, dan
keadaan janin. Makin lama penanganan solusio plasenta sampai
persalinan selesai, umumnya makin hebat komplikasinya.

Pada solusio plasenta, darah dari tempat pelepasan akan


mencari jalan keluar antara selaput janin dan dinding rahim
hingga akhirnya keluar dari serviks hingga terjadilah perdarahan
keluar atau perdarahan terbuka. Terkadang darah tidak keluar,
tetapi berkumpul di belakang plasenta membentuk hematom
retroplasenta. Perdarahan semacam ini disebut perdarahan ke
dalam atau perdarahan tersembunyi. Solusio plasenta dengan
perdarahan tersembunyi menimbulkan tanda yang lebih khas
karena seluruh perdarahan tertahan di dalam dan menambah
volume uterus. Umumnya lebih berbahaya karena jumlah
perdarahan yang keluar tidak sesuai dengan beratnya syok.
Perdarahan pada solusio plasenta terutama berasal dari ibu,
namun dapat juga berasal dari anak.

6. Syok
Syok adalah suatu keadaan dimana aliran darah tidak memadai untuk
memenuhi permintaan kebutuhan oksigen jaringan. Hal ini didefinisikan
sebagai sebuah sindrom yang diawali oleh hipoperfusi akut, sehingga
terjadi hipoksia jaringan dan disfungsi organ vital. Syok membutuhkan
penanganan segera karena kondisi tubuh dapat memburuk dengan amat
cepat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, Badan PPSDM. (2017). Modul Bahan Ajar Asuhan
Kebidanan Praktik Klinik Kebidanan III. Jakarta: BPPSDM.

Dinkes Provinsi Jawa Barat. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2019.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Bandung: Dinkes Jabar; 2019. Tersedia
dari: www.diskes.jabarprov.go.id.

Dr. Ni Komang, dkk. (2020). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Patologi bagi Bidan.
Yogyakarta: Penerbit Andi.

Fadlun, Feryanto, Achmad. (2012). Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta:


Salemba Medika

Harahap. (2018). Pengetahuan Dan Sikap Suami Terhadap Perubahan Fisiologis


Dan Psikologis Istri selama Kehamilan di Klinik Bersalin Hj. Nani, S.
AM.Keb; Jurnal Gentle Birth Vol 1 No 2 e-journal.ikabina.ac.id

Herliza. (2017). Pengaruh Stres Terhadap Berat Badan Lahir Anak Tikus (Rattus
Norvegicus) Pada Induk Terpapar Stresor Renjatan Listrik. Thesis. E- Skripsi
Universitas Andalas

Jayne Marshall. Maureen Raynor. 2020. Myles Testbook for Midwive 17th
Edition. Poland: Elsevier.

JF Rorrong, JJE Wantania, AM Lumentut - e-CliniC, 2021 - ejournal.unsrat.ac.id.


https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/32419 (diakses
02/08/2021)

Mutia N. Dkk. (2017). Perbedaan Kemampuan Adaptasi Pada Ibu Hamil Risiko
Tinggi Dan Risiko Rendah Primigravida Trimester Pertama. J Kep Sriwijaya
Volume 4 - Nomor 2. Universitas Sriwijaya.

N.Intan, dkk; 2016; Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Primigravida
Terhadap Perubahan Fisiologis Tubuh Yang Terjadi Selama Masa Kehamilan
di Wilayah Kerja Puskesmas Rejosari Pekanbaru ; Jom FK Volume 3 no 2
Oktober 2016

Nirwana, A. B. (2011). Psikologi Kesehatan Wanita. Yogyakarta: Muha Medika.


Noviyani H, dkk (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Kejadian Serotinus Di
Puskesmas Bara-Baraya Kota Makassar Tahun 2019. Jurnal Kesehatan
Delima Pelamonia. Akademi Kebidanan Pelamonia Makassar

Nugroho, dr. Taufan, 2019. Patologi Kebidanan, Nuha Medica, Yogyakarta

Ogunyemi, D.A. (2017). Hyperemesis Gravidarum. Tersedia pada


http://repository.unimus.ac.id (di Akses 02/08/2021)
Rukiyah, 2010. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan, Jakarta : Salemb
Medika

Saputra, dr. Lyndon dkk, 2014. Asuhan Kebidanan Masa Nifas Fisiologis dan
Patologis, Binampa Aksara, Jakarta.

Soma-Pillay, P., Nelson-Piercy, C., Tolppanen, H., & Mebazaa, A. 2016.

Physiological changes in pregnancy. Cardiovascular journal of Africa, 27(2),

89–94. https://doi.org/10.5830/CVJA-2016-021

Anda mungkin juga menyukai