PELESTARIAN DAN PEMANFAATAN BIODIVERSITAS
BERBASIS MASYARAKAT DI NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh :
Mariana Takandjandji
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bogor
Jl Gunung Batu Nomor 5 Kotak Pos 165 Bogor. Telp. (0251) 8633234, 7520067
ABSTRAK
Kata kunci: manajemen, biodiversitas, pemanfaatan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas menurut Undang‐undang No. 5
Tahun 1990 adalah keanekaragaman makhluk hidup termasuk diantaranya
daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lainnya, serta komplek‐komplek ekologi
yang merupakan bagian dari keanekaragaman yang mencakup spesies, genetik,
dan ekosistem.
Biodiversitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sangat berlimpah dan
bermanfaat. Biodiversitas tersebut mempunyai nilai ekonomi, biologis, ekologis,
dan sosial yang bermanfaat sebagai sumber pangan, kesehatan, ekonomi, dan
plasma nutfah. Biodiversitas dapat juga dimanfaatkan sebagai penyedia
oksigen, penyedia air, bahan pangan, bahan bakar, obat‐obatan, dan industri
tradisional.
Biodiversitas bersama dengan unsur‐unsur non hayati di sekitarnya,
secara keseluruhan membentuk suatu ekosistem. Unsur‐unsur tersebut saling
berkaitan satu sama lainnya sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu
unsur, akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem secara
keseluruhan. Oleh karena itu, biodiversitas tersebut harus dikelola secara
berkesinambungan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat dengan tetap
memperhatikan kelestariannya untuk kepentingan generasi selanjutnya agar
tidak punah.
Eksploitasi hutan yang terjadi saat ini, merupakan pengelolaan dan
pemanfaatan biodiversitas yang belum bijaksana dan belum disertai dengan
upaya pelestarian. Hal ini mengakibatkan kerusakan biodiversitas yang sangat
berharga. Kerusakan biodiversitas semakin dipercepat pula oleh adanya
pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, dimana semakin pesat
pertumbuhan penduduk maka akan semakin meningkat pula kebutuhan
hidupnya. Seringkali pemenuhan kebutuhan hidup tersebut mengancam
biodiversitas yang ada. Kebutuhan yang tidak seimbang dengan upaya
konservasi, akan menyebabkan terjadinya perubahan pada biodiversitas. Lahan
hutan yang dijadikan sebagai tempat pemukiman, pertanian, perkebunan, dan
penggunaan lainnya akan menyebabkan menurunnya bahkan hilangnya
biodiversitas yang ada. Kebakaran hutan yang terjadi saat ini, sadar atau tidak,
akan menyebabkan biodiversitas di hutan semakin terdesak dan perlahan‐lahan
akan hilang atau punah dari bumi Indonesia. Demikian halnya dengan
biodiversitas perairan juga mengalami ancaman akibat perilaku manusia, seperti
perusakan terumbu karang, pemboman ikan, bagan tancap, dan pencemaran
akan memberikan dampak negatif terhadap biodiversitas (Dermawan, 1997).
Perburuan dan perdagangan illegal yang tidak terbatas, juga turut menjadi
penyebab utama menurunnya biodiversitas.
Tahun 2014, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi hutan
dan lahan seluas 1.808.990 hektare atau 38,20% dari luas wilayah (Anonimous,
2015). Luas wilayah tersebut jauh telah menurun dibandingkan dengan Tahun
1997 yakni seluas 2.109.496,76 hektare atau 44,5% dari luas wilayah NTT
(Boediman, 1997).
NTT memiliki potensi biodiversitas yang tinggi dan endemik yang memiliki
kekhasan, keunikan, dan keindahan. Biodiversitas tersebut memiliki nilai
ekonomi, sosial, budaya, dan spritual yang tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan protein hewani, obat‐obatan, rekreasi, wisata, dan
budaya, dengan tetap memperhatikan kelestariannya di alam. Biodiversitas
dipengaruhi oleh letak geografis, ketinggian tempat, kesuburan tanah, dan
tingkat gangguan pada hutan (Endarwati, 2005). Namun tingkat kerusakan
potensi biodiversitas yang dimiliki NTT semakin laju seiiring dengan
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahun.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015), bahwa hutan
adalah aset strategis bagi Indonesia, sehingga berbagai tujuan ekonomi tidak
selayaknya menurunkan fungsi ekologis, dan konservasi selayaknya juga tidak
menghambat utilisasi ekonomi. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka
tulisan ini membahas tentang pelestarian dan pemanfaatan biodiversitas yang
ada di NTT agar kehidupan masyarakat yang berkelanjutan dapat berjalan
seimbang dan optimum.
B. Tujuan dan manfaat
Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada semua pihak
tentang pelestarian dan pemanfaatan biodiversitas yang berbasis masyarakat di
NTT. Kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, gambaran, dan
menambah khasanah pengetahuan tentang biodiversitas khususnya yang
berkaitan dengan wilayah NTT.
II. METODOLOGI
Kajian menggunakan pendekatan deskriptif. Data dikumpulkan melalui
studi literatur dan observasi lapangan. Hasil analisis dipaparkan secara naratif
untuk memberikan gambaran yang jelas tentang potensi biodiversitas yang ada
di NTT dan strategi pemanfaatannya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Masyarakat NTT dan Permasalahannya
NTT secara geografis merupakan wilayah kepulauan yang terdiri atas
pulau‐pulau kecil dan secara morfologis sebagian besar (70%) berbukit‐bukit dan
bergunung‐gunung dengan rata‐rata derajat kemiringan 50%, vegetasi alam
sangat jarang, dan permukaan tanah menjadi terbuka (vertik) terutama pada
musim kemarau (Boediman, 1997). Selanjutnya dikatakan, hutan di NTT terdiri
atas tipe hutan savana, dan sebagian kecil merupakan hutan hujan tropis dengan
potensi hutan antara 25 – 76 m3 per hektar.
Beberapa kabupaten di NTT memiliki cara tersendiri untuk mengelola dan
memanfaatkan biodiversitas yang ada. Masyarakat menunjukkan sikap dan
perilaku bijaksana dengan mengembangkan berbagai model pertanian lahan
kering campuran yang disesuaikan dengan aspek pertanian, peternakan,
kehutanan, dan lingkungan (Karyawan et al., 1998). Masyarakat Pulau Timor,
Alor, dan Rote mengembangkan sistem mamar dan beberapa masyarakat
lainnya di Pulau Timor (Amarasi) dengan sistem Amarasi, masyarakat Pulau
Sumba dengan sistem kaliwu, serta masyarakat di Pulau Flores dengan sistem
Sikka.
Ekosistem wilayah NTT mempunyai kekhasan yang dominan dimana
biodiversitasnya bervariasi dari ekosistem semi arid dan dengan curah hujan
yang cukup rendah. Kondisi hutan pada saat ini cukup mendapat tekanan dari
berbagai kepentingan sehingga menimbulkan berbagai permasalahan.
Masyarakat NTT umumnya sangat tergantung pada alam bahkan
memanfaatkan biodiversitas sebagai andalan dalam perekonomian keluarga.
Biodiversitas dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin
kelestarian kehidupannya. Kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk selalu
menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi sumberdaya alam yang terbatas.
Sejalan dengan tatanan budaya masyarakat NTT, maka pola pemanfaatan
hutan lebih banyak bersifat tradisional dan umumnya tergantung pada alam.
Beberapa pola pemanfaatan hutan yang dominan yaitu sebagai sumber
kebutuhan masyarakat untuk perladangan, mamar, pengembalaan ternak,
pengambilan kayu bakar, pengambilan bahan bangunan, madu, fauna (burung‐
burung), dan pakan ternak (Boediman, 1997).
NTT memiliki keanekaragaman etnis, agama, kepercayaan, dan adat
istiadat sehingga masyarakat banyak sekali menggunakan biodiversitas untuk
melaksanakan upacara ritual keagamaan dan adat. Masyarakat Sumba
mempunyai kearifan lokal yang mengikat hubungan interaksi antara manusia
dengan Tuhannya, sesama, alam, dan lingkungan. Potensi sumberdaya alam
yang ada dianggap sebagai “pingi lata luri (pohon kehidupan)” yang
memberikan sumber kehidupan pada manusia. Oleh karena begitu pentingnya
sumberdaya alam yang ada bagi keberlangsungan hidup, maka masyarakat
Sumba sangat peduli akan keberlanjutan biodiversitas, yang diwujudkan atau
diungkapkan melalui syair‐syair dalam upacara adat.
Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di NTT antara lain
adalah lontar (Borassus flabellifer) untuk diambil nira dan seluruh bagiannya,
gewang (Corypha gebanga) untuk bahan atap dan dinding rumah, kesambi
(Schleicera oleosa) untuk kayu bakar dan arang, ampupu (Eucalyptus urophylla)
untuk kayu bakar dan arang, buah pinang (Areca catechu) untuk menginang dan
upacara adat (kenoto, dalam adat Sabu), serta batangnya untuk bahan
bangunan. Walaupun tidak seluruh kebutuhan masyarakat diperoleh dari hutan
namun umumnya masyarakat desa sangat tergantung pada keberadaan hutan.
Masyarakat di Pulau Sumba umumnya menggunakan sistem tebang pilih
untuk pembuatan rumah adat, yakni untuk tiang rumah adat, menggunakan
kayu mayela (Artocarpus glaucus), kirru (Dyxoxylum caulostachyum), kunjul
(nama lokal), kapali (nama lokal), dan linnu (nama lokal). Kayu langgapa atau
kayu pahit (Pierasma javanica), kanunu (Drypetes ovalis) digunakan untuk reng,
rotan (Calamus javensis) digunakan untuk tali atau pengikat, sedangkan alang‐
alang (Imperata cylindrica) digunakan untuk atap rumah. Masyarakat Dawan di
Pulau Timor, NTT menggunakan pohon timon (Timonius sp), matani atau kayu
merah (Pterocarpus indicus), sublele (Eugenis sp) sebagai bahan bangunan.
Berbagai gangguan dan tekanan terhadap ekosistem di NTT telah
berlangsung lama dan telah menciptakan ekosistem hutan dan lahan yang
semakin memprihatinkan. Laju pemanfaatan hutan dan hasil‐hasilnya lebih cepat
dibandingkan dengan upaya untuk merehabilitasinya. Dampak dan akibat dari
fenomena tersebut telah dirasakan yakni dengan semakin menurunnya angka
biodiversitas yang dimiliki dan menurunnya tingkat kesuburan tanah yang pada
akhirnya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap laju deforestasi. Oleh
karena itu, revitalisasi kehutanan di NTT diarahkan kepada pemanfaatan dan
pengembangan hasil hutan bukan kayu yang diharapkan sebagai intensif sosial
ekonomi bagi partisipasi masyarakat, baik dalam upaya rehabilitasi hutan dan
lahan, maupun dalam mengurangi berbagai tekanan dan gangguan yang
mengarah kepada degradasi hutan.
B. Biodiversitas NTT
Populasi dari biodiversitas berupa flora dan fauna yang terdapat di NTT,
saat ini semakin berkurang karena rusaknya habitat dan eksploitasi yang
berlebihan. Jenis‐jenis flora dan fauna tersebut memiliki ciri‐ciri yang hidup di
daerah transisi, yaitu antara zona wilayah Indo‐Malaya dan zona Australia. Jenis
flora yang terdapat di NTT yaitu hue (Eucalyptus alba), cendana (Santalum
album), pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops versteegii), marra
(Tetrameles nudiflora), asam (Tamarindus indicus), kesambi (Schleisera oleosa),
mahoni (Swietenia mahagoni), jati (Tectona grandis), kemiri (Aleurites
moluccana), bayur (Pterospermum javanicum), kayu manis (Cinnamomum
burmanii), lontar (Borassus flabellifer), kayu merah (Pterocarpus indicus), ampupu
(Eucalyptus urophylla), bintangur (Calophyllum inophyllum), nyatoh (Palaquium
xanthochymum), suren (Toona sureni), kenari (Canarium ovatum), pulai (Alstonia
schloaris), cemara (Casuariana junghuniana), dan masih banyak lainnya, yang
sebagian besar penyebarannya terdapat di Pulau Timor, Sumba, dan Flores
(Boediman, 1997; Rais, 1997). Fauna yang terdapat di NTT antara lain komodo
(Varanus komodoensis), biawak timor (Varanus timorensis), sanca timor
(Python/Broghammerus timoriensis), sanca kembang (Python/Malayopython
reticulatus), buaya muara (Crocodylus porosus), rusa timor (Rusa timorensis
timorensis), kuskus (Phalanger sp.), penyu belimbing (Dermochelys coriacea),
penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), kura‐kura
leher ular rote (Chelonida mccordi) dan berbagai jenis burung.
Pulau Sumba merupakan Daerah Burung Endemik (DBE) yang memiliki 13
spesies burung dengan sebaran terbatas, tujuh spesies diantaranya merupakan
endemik. Tujuh jenis tersebut yaitu puyuh sumba (Turnix everetti), punai sumba
(Treron teysmanii), walik rawa manu (Ptilinopus dohertyi), wangi/hantu sumba
(Ninox rudolfi), julang/rangkong Sumba (Rhyticeros everetti), sikatan sumba
(Ficedula harterti), dan burung madu sumba (Nectarinia buettkoferi). Beberapa
sub spesies yang endemik yang terdapat di Pulau Sumba yakni kakatua kecil
jambul kuning (Cacatua sulphurea citrinocristata), dan burung Bayan (Eclectus
roratus cornelia).
Selain itu, NTT juga memiliki potensi biodiversitas perairan yang
terkandung dan menyebar di beberapa kawasan konservasi laut, seperti Taman
Nasional Komodo, Taman Nasional Kelimutu, Taman Wisata Alam Laut Teluk
Kupang, Taman Wisata 17 Pulau Riung, Taman Wisata Laut Gugus Pulau Teluk
Maumere, Teluk Kalabahi, dan masih banyak lagi wisata bahari yang terdapat di
NTT. Menurut Dermawan (1997), di TN Komodo tercatat lebih dari 266 sub
spesies karang dan 700 sub spesies ikan, 70 sub spesies spons, 104 sub spesies
alga dan lebih dari 19 jenis tumbuhan bakau.
C. Pelestarian dan Pemanfaatan
Biodiversitas yang ada di NTT merupakan milik masyarakat NTT sehingga
harus dimanfaatkan dan dilestarikan oleh masyarakat untuk kepentingan
masyarakat, kini dan akan datang. Pelestarian biodiversitas umumnya dapat
dilakukan dengan melindungi masing‐masing spesies dan membatasi
pemanfaatannya dari alam, serta memperbaiki habitatnya. Namun selama ini
pemanfaatan biodiversitas masih mengandalkan potensi dari alam yang
seringkali kurang memperhatikan aspek pelestarian sehingga perlu dilakukan
kajian terhadap aspek‐aspek yang berkaitan dengan perkembangan dan
pemanfaatannya.
Pelestarian terhadap biodiversitas umumnya dapat dilaksanakan dalam
dua karakteristik, yaitu pelestarian biodiversitas pada tempat atau habitat
aslinya (in‐situ) dan pelestarian di luar habitat alaminya (ex‐situ). Habitat
biodiversitas saat ini sudah dapat dikatakan rusak dimana populasi flora dan
fauna sudah menurun secara drastis sehingga sulit untuk menjamin bahwa
spesies tersebut akan mampu bertahan hidup secara alami. Oleh karena itu,
program konservasi ex‐situ merupakan solusi yang terbaik. Konservasi ex‐situ
dijabarkan dalam pengembangan flora dan fauna pada suatu lokasi di luar
kawasan konservasi ataupun di dalam habitatnya, seperti kebun binatang, taman
safari, taman hutan raya, kebun raya, penangkaran, dan arboretum.
Biodiversitas ex‐situ dapat berkembang menjadi obyek wisata rekreatif dan
wisata edukatif kepada pengunjung.
Biodiversitas flora dan fauna di NTT telah dibudidayakan secara ex‐situ
baik dalam skala kecil maupun besar, di dalam dan di luar wilayah NTT, seperti
cendana, gaharu, kayu putih, kemiri, bambu, rotan, minyak atsiri, lebah madu,
rusa timor, burung bayan, burung kakatua, komodo, kura‐kura leher ular, dan
lain‐lain. Balai Penelitian Kehutanan Kupang, sejak tahun 1990 telah melakukan
penangkaran rusa timor walaupun masih dalam skala kecil tetapi telah berhasil
bahkan hasil penangkaran telah diberikan kepada masyarakat yang berminat
untuk melestarikan satwa tersebut. Demikian pula dengan burung bayan sumba
yang merupakan endemik pulau Sumba, telah pula dilakukan penangkarannya
pada tahun 1994 dan pada tahun 2000 hasil penangkarannya telah
disumbangkan kepada negara yakni di TMII dan Taman Safari masing‐masing
sepasang. Kura‐kura leher ular yang merupakan satwa endemik pulau Rote, juga
telah berhasil dikembangbiakkan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Hal
ini merupakan suatu kebanggaan dan penghargaan yang sangat tinggi karena
populasi kura‐kura leher ular sudah dikatakan punah di alamnya. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, kita sebagai pelaku pelestari biodiversitas khususnya yang
berada di NTT dan umumnya di Indonesia, hendaknya dapat
menumbuhkembangkan dan memacu minat masyarakat, pemerintah, dan
swasta untuk melakukan penangkaran atau membudidayakan flora dan fauna
yang populasinya di alam sudah semakin berkurang. Pelestarian tersebut
diharapkan dapat dikembalikan ke alam (restocking) sehingga dapat mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap biodiversitas di alam.
Menurut Alikodra (2015), pemanfaatan biodiversitas dipengaruhi oleh
perkembangan dan kemajuan IPTEK, tingkat pendidikan (sumberdaya manusia),
dan pertumbuhan ekonomi. Kemajuan IPTEK di bidang kesehatan dan kemajuan
pendidikan telah mendorong masyarakat untuk melakukan pemanfaatan karena
distimulir oleh perbaikan ekonomi dan semakin terbuka dan mudahnya akses
antar daerah dan antar negara. Pemanfaatan biodiversitas baik yang masuk
dalam kategori dilindungi maupun tidak dilindungi, sangat diminati pasar, di
dalam dan di luar negeri.
Pengetahuan tentang pemanfaatan biodiversitas masih sangat terbatas,
sehingga perlu untuk menggali dan mengembangkan informasi‐informasi
tersebut. Berbagai jenis fauna yang memiliki peran untuk kesehatan manusia
yakni menyembuhkan beberapa penyakit, baik dalam masyarakat adat maupun
hasil‐hasil penelitian.
D. Strategi Pelaksanaan
Beberapa strategi dalam melestarikan dan memanfaatkan biodiversitas
yang dimiliki NTT dapat dilakukan oleh pemangku kepentingan di NTT. Salah satu
strategi tersebut seperti yang dinyatakan Rais (1977) yaitu melalui 16 kegiatan
antara lain evaluasi kawasan konservasi secara menyeluruh; mengembangkan
kawasan‐kawasan konservasi yang baru; meningkatkan pembinaan biodiversitas
melalui penangkaran dan pengawasan lalu lintas peredaran serta pembinaan
habitat; meningkatkan pembinaan suaka alam; meningkatkan pembangunan dan
pengelolaan kawasan pelestarian alam untuk mendorong pengembangan
industri pariwisata alam; meningkatkan keterpaduan pembangunan kawasan
konservasi dengan pembangunan wilayah; meningkatkan peran serta pelaku
ekonomi (BUMN, koperasi, dll) dalam pembangunan dan pengusahaan wisata
alam; meningkatkan koordinasi dan pembinaan terhadap Lembaga Konservasi
yang ada; menerapkan AMDAL bagi semua kegiatan pembangunan kehutanan;
memantapkan perlindungan hutan melalui peningkatan kegiatan operasi
pengamanan hutan terpadu, patroli, pembina cinta alam, kader konservasi,
penyuluh, dan peningkatan jumlah serta kualitas jagawana, serta penyuluh
bidang KSDA; meningkatkan pengelolaan hutan lindung dan kawasan lindung;
meningkatkan pembinaan keanekaragaman jenis; meningkatkan kerjasama
dengan LSM dan mita lainnya; meningkatkan partisipasi daerah dalam
pengelolaan kawasan konservasi; meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam
untuk meningkatkan nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat; dan
meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan lindung melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun dari strategi tersebut, ada sembilan kegiatan pokok yang penting
untuk dilakukan, yakni inventarisasi dan perlindungan biodiversitas dan
ekosistemnya; pemetaan kawasan konservasi baik in‐situ maupun ex‐situ;
pengembangan perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi;
pengembangan konservasi jenis; pengembangan hutan lindung; AMDAL;
pengembangan persepsi dan apresiasi masyarakat; pengembangan wisata alam;
pengembangan aparatur, sarana dan prasarana.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Biodiversitas NTT memiliki keragaman tinggi dalam spesies sehingga
menuntut pendekatan pengelolaan yang berkaitan dengan pelestarian secara
ex‐situ, dengan tetap memperhatikan pemanfaatan biodiversitas untuk tujuan
ekonomi dan budaya. Kondisi habitat, dan tingkat pemanfaatan mempunyai
pengaruh yang besar terhadap jumlah populasi biodiversitas di NTT. Secara
alami, penurunan populasi biodiversitas berhubungan langsung dengan kualitas
dan tingkat gangguan habitatnya. Tingginya laju deforestasi hutan di NTT
mempunyai kontribusi besar terhadap keberadaan biodiversitas di alam.
Penerapan manajemen yang baik dan transparan dalam pengelolaan
biodiversitas di NTT memerlukan pengetahuan yang luas tentang fungsi hutan,
hubungan timbal balik antara habitat dan aktivitas manusia, dan kesamaan
persepsi dan apresiasi, serta komitmen seluruh stakeholders. Untuk mendukung
keberhasilan penerapan upaya dimaksud diperlukan desentralisasi pengelolaan,
akses terhadap informasi, dan penguatan kelembagaan stakeholders yang
terlibat. Selain itu, untuk mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan
biodiversitas di NTT perlu dipikirkan bagaimana model pelaksanaan dan
pemanfaatannya berdasarkan prinsip‐prinsip pelestarian sehingga mampu
mendukung kesejahteraan masyarakat NTT dan sekaligus menanggulangi
kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA