Anda di halaman 1dari 35

MODUL PRAKTIKUM

FARMAKOKINETIKA

PENYUSUN:

Drs. Didik Hasmono, MS., Apt.

Efta Triastuti, M.Farm Klin.,S.Si., Apt.

Valentina Yurina, M.Si

Ema Pristi, M.Farm Klin.,S.Farm Klin., Apt.

Rudy Salam, S.Farm., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2016
1
JADWAL PRAKTIKUM

No Tanggal Kegiatan
1. 12 dan 13 September Responsi Modul Penanganan Hewan Coba
2016
2. 19 dan 20 September Responsi Modul Simulasi in Vitro
2016
3. 26 dan 27 September Praktikum Simulasi In Vitro1: Pembuatan kurva baku dan
2016 penetuan panjang gelombang maksmal
4. 3 dan 4 Oktober 2016 Praktikum Simulasi In Vitro 2: Rute Intravaskular
5. 10 dan 11 Oktober 2016 Praktikum Simulasi In Vitro 3: Rute Ekstravaskular
6. 17 dan 18 Oktober 2016 Responsi Modul Penentuan Parameter Farmakokinetika
dengan Data Darah
7. 7 dan 8 November 2016 Praktikum Penentuan Parameter Farmakokinetika dengan Data
Darah: Pembuatan kurva baku dan penentuan panjang
gelombang maksimal
8. 14 dan 15 November Praktikum Penentuan Parameter Farmakokinetika dengan Data
2016 Darah: Pengambilan sampel darah dan pengukuran kadar
sulfametoksazol dalam darah
9. 21 dan 22 November Responsi Modul Penentuan Parameter Farmakokinetika
2016 dengan Data Urine
10. 28 dan 29 November Praktikum Penentuan Parameter Farmakokinetika dengan Data
2016 Urine: Pembuatan kurva baku dan penentuan panjang
gelombang maksimal
11. 5 dan 6 November 2016 Praktikum Penentuan Parameter Farmakokinetika dengan Data
Urine: Pengambilan sampel darah dan pengukuran kadar
asetosal dalam urine
12. Tentative Ujian praktikum

2
DAFTAR ISI

Daftar Isi 2

Tata tertib praktikum 3

Bab I: Penanganan dan Pemberian Obat pada Hewan Coba 4

Bab II : Simulasi in vitro Model Farmakokinetika 17

Bab III: Penentuan Parameter Farmakokinetika Asetosal Menggunakan Data Urine 23

Manusia

Bab IV: Penentuan Parameter Farmakokinetika Sulfametoksazol Menggunakan Data 29

Darah Kelinci

3
TATA TERTIB PRAKTIKUM FARMAKOKINETIK

Mahasiswa yang mengikuti praktikum farmakokinetika diwajibkan mematuhi Tata Tertib


sebagai berikut:

1. Diwajibkan hadir tepat waktu sesuai jadwal praktikum yang telah ditentukan.
2. Mengenakan pakaian sopan dan sepatu tertutup.
3. Mengenakan jas praktikum.
4. Membawa perlengkapan yang tidak tersedia di laboratorium, seperti: gunting, alat cukur,
pipet tetes, serbet, tissue, label, kertas grafik, dll.
5. Menghadiri responsi dan diskusi akhir praktikum sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Mahassiwa yang tidak menghadiri responsi tidak diperkenankan mengikuti praktikum.
6. Membuat dan mengumpulkan jurnal 2 hari sebelum praktikum dilaksanakan. Peserta yang
tidak membuat dan mengumpulkan jurnal pada waktu yang telah ditentukan tidak
diperkenankan mengikuti praktikum.
7. Berada dalam laboratorium selama praktikum, kecuali mendapatkan izin dari dosen yang
bertugas.
8. Menjaga kebersihan dan keutuhan alat laboratorium. Bagi mahasiswa yang merusak atau
menghilangkan alat laboratorium diwajibkan mengganti sesuai dengan spesifikasi alat
tersebut maksimum 1 hari sebelum praktikum selanjutnya. Apabila hingga praktikum berikut
belum mengganti alat tersebut maka sanksinya adalah tidak diperbolehkan mengikuti ujian
praktikum.
9. Bekerja dengan jujur dan tertib.
10. Berbicara seperlunya dan tidak gaduh.
11. Maksimum ketidak hadiran mahasiswa dalam praktikum adalah 1 kali pertemuan, apabila
mahasiswa tidak hadir lebih dari 1 kali praktikum sanksinya adalah dianggap tidak lulus
dalam praktikum farmakokinetik dan harus mengulang praktikum ini pada tahun berikutnya.
Izin yang diterima adalah izin yang tertulis dan dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
12. Mengembalikan alat laboratorium dalam keadaan bersih dan lengkap.
13. Meninggalkan ruang praktikum dalam keadaan bersih dan rapi.

4
BAB I

PENANGANAN DAN PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN COBA

A. PENANGANAN HEWAN COBA

Beberapa jenis hewan yang dapat digunakan sebagai hewan coba, antara lain:

1. Mencit (Mus musculus)


2. Tikus putih (Rattus novergicus)
3. Guinea Pig (Cavia porcellus)
4. Hamster (Mesocrisetus cumiculus)
5. Kelinci (Oructologus cumiculus)
6. Anjing (Canis familiaris)
7. Ferrets/musang (Mustela putoriusfuro)
8. Kucing (Felis catus)
9. Primata (Macaca mulata)

Cara memegang hewan coba:

1. Kelinci dan Guinea Pig  pegang tengkuknya (Gambar 1.1) (jangan menarik bagian
telinganya karena dapat merusak pembuluh darahnya)

5
Gambar 1.1. Cara memegang guinea pig dan kelinci
(Sumber: http://www.ahc.umn.edu/rar/handling.html)

6
2. Tikus dan mencit  pegang ekornya kemudian setelah tertangkap segera pegang tengkuknya
menggunakan ibu jari dan telunjuk, tangan lain memegang rahangnya namun jangan sampai
tercekik (harap berhati-hati karena saat dipegang ekornya hewan ini dapat berputar dan dapat
menggigit tangan tangan yang memegang ekor tersebut). (Gambar 1.2)

7
Gambar 1.2. Cara memegang mencit dan tikus
(Sumber: http://www.ahc.umn.edu/rar/handling.html)

Cara mengurangi variasi biologi hewan coba:

1. Hasil percobaan dapat dipengaruhi oleh variasi biologis, sehingga perlu dipilih hewan coba
dengan spesies, umur, jenis kelamin, dan kondisi pemeliharaan yang sama.
2. Makanan dan minuman diberikan secukupnya sesuai standar. Semua hewan coba harus
menerima makanan yang cukup baik dari segi jumlah maupun kandungan nutrisinya, kecuali
dipersyaratkan lain sesuai dengan tujuan percobaan. Air harus tersedia setiap saat, kecuali
dibatasi oleh protokol percobaan tertentu. Kondisi air minum harus diperiksa secara rutin
karena kontaminasi mikroba dan senywa kimia dapat mempengaruhi kondisi hewan coba.
3. Sebelum percobaan dilaksanakan, hewan coba dipuasakan selama semalam namun diberi
minum air secukupnya.

Penggunaan hewan coba dalam penelitian:

1. Hewan coba yang telah digunakan dalam percobaan dapat digunakan kembali untuk
percobaan selanjutnya, namun apabila diberikan perlakuan seperti pemberian obat maka
perlu diberi selang waktu selama minimal 14 hari baru dapat digunakan kembali untuk
memberikan kesempatan eliminasi obat dalam tubuh hewan yang dikhawatirkan dapat
mempengaruhi hasil percobaan selanjutnya, terutama obat yang dapat menginduksi
metabolisme obat yang lain.
2. Setelah hewan coba tidak lagi digunakan dalam percobaan atau karena akibat percobaan
menyebabkan hewan tersebut mengalami kondisi yang tidak normal atau mengalami
penderitaan dalam waktu lama maka hewan coba harus dimusnahkan. Euthanasia merupakan
suatu prosedur pembunuhan hewan coba dengan seminimal mungkin rasa sakit. Teknik
euthanasia harus menimbulkan ketidaksadaran dalam waktu cepat, diikuti dengan

8
cardiac/respiratory arrest dan hilangnya fungsi otak. Metode yang dipilih harus yang
meminimalkan kegelisahan dan stress hewan sebelum kehilangan kesadarannya.
3. Cara terbaik untuk membunuh hewan coba adalah dengan cara menyuntikkan obat anestesi
dengan dosis yang mematikan. Obat anestesi yang dapat digunakan antara lain: barbiturat
(Na Phenobarbital) dosis letal dengan cara intravena (kelinci dan anjing) dan intraperitoneal
atau intrathoraksikal (tikus, mencit, dan Guinea Pig), atau menggunakan inhalasi gas sebagai
berikut: Kloroform, Karbondioksida, Nitrogen, dll. Sedangkan metode fisik yang dapat
dilakukan adalah cervical dislocation dan decapitation.
4. Setelah hewan coba mati kemudian dimasukkan dalam plastik terikat lalu dibungkus kertas
dan dibungkus lagi dengan plastik kemudian disegel dan dimasukkan ke lemari pendingin
hingga dimusnahkan dengan cara dibakar.

Cara penanganan luka akibat gigitan hewan coba:

1. Sebelum melakukan percobaan atau menangani hewan coba maka orang tersebut perlu
diimunisasi tetanus.
2. Jika orang yang belum memiliki imunitas terhadap tetanus mendapatkan gigitan hewan coba
maka segera dilakukan penanganan terhadap luka dan segera ke dokter untuk mendapatkan
imunisasi pencegahan terjadinya tetanus.
3. Korban gigitan hewan coba harus segera melaporkan kejadian ke penanggung jawab
laboratorium dan segera dibawa ke dokter tanpa melihat luka yang dialami besar atau kecil.
4. Hewan coba yang menggigit segera dikarantina dan diamati perkembangannya selama 10
hari serta diberi label nama korban dan waktu kejadian.

B. PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN COBA

Penggunaan spuit/semprit dan jarum injeksi:


1. Spuit dan jarum yang digunakan harus steril dan tajam.
2. Sesudah digunakan maka spuit harus dicuci menggunakan aquadest. Caranya dengan
menyedot aquadest ke dalam spuit kemudian dikeluarkan lagi ke dalam beker glass, ulangi
hingga 3 kali.
3. Pengambilan darah maksimal 10% dari volume darah hewan coba.
4. Untuk mencegah koagulasi darah, spuit diberi antikoagulan, misalnya heparin 10 (Unit/mL
darah), Na oksalat, Na sitrat, atau EDTA.

Cara pengambilan darah hewan coba:

1. Kelinci
Lewat Vena Marginalis  bulu telinga dicukur, dicari vena marginalisnya, daerah yang akan
disuntik diolesi dengan Xylol. Jarum spuit yang sudah diberi anti koagulan disuntikkan

9
sejajar/searah pembuluh vena, kemudian vena ditarik untuk menghisap darah vena marginalis
kelinci.
Lewat jantung  cari lokasi yang detak jantungnya paling kuat, oleskan desinfektan
kemudian ditusuk pada sebelah kanan/kiri sternum diantara tulang iga dengan ujung jarum
mengarah pada daerah yang detaknya paling kuat.

2. Mencit
Lewat vena  anestesi ujung ekor mencit, kemudian spuit disuntikkan ke daerah yang
dianastesi tadi lalu darah ditarik pelan-pelan (sebelumnya lakukan heparinasi spuit).
Lewat jantung  sama seperti pada kelinci hanya saja harus dianestesi dan dengan
menggunakan jarum yang lebih kecil.

Perhitungan dan faktor konversi dosis:


Setiap hewan coba memiliki dosis individual terhadap obat. Dosis untuk spesies tertentu
diperoleh dari intrapolasi menggunakan faktor konversi dosis yang terdapat pada tabel
perbandingan berat badan hewan coba dalam kolom dikalikan dengan dosis yang diberikan pada
hewan dalam faktor konversi yang terdapat pada interseksi baris dan kolom yang bersangkutan.

Tabel 1. Perbandingan Berat Badan Beberapa Hewan Coba dan Manusia


20 g 200 g 400 g 1.5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
Mouse Rat Guinea Rabbit Cat Monkey Dog Man
Pig
20 g
1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
Mouse
200 g
0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
Rat
400 g
Guinea 0,13 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
Pig
1.5 kg
0,04 0,25 0,44 1,0 1,05 2,4 4,5 14,2
Rabbit
2 kg
0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
Cat
4 kg
0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
Monkey
12 kg
0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
Dog
70 kg
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
Man

10
Volume Maksimum Larutan Obat yang Diberikan untuk Hewan Coba:
Tiap jenis hewan coba memiliki bobot dan sifat organ dengan fungsi fisiologis yang berbeda.
Sehingga jumlah atau volume cairan/larutan obat yang diberikan tidak sama. Misalnya kapasitas
lambung kelinci lebih besar daripada tikus. Jadi volume cairan yang diberikan untuk kelinci lebih
besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 Volume Maksimum Larutan Obat yang
Diberikan untuk Hewan Coba.

Tabel 2. Volume Maksimum Larutan Obat yang Diberikan untuk Hewan Coba

Volume Maksimal (mL) tiap Rute Pemberian


Hewan Coba
i.v i.m i.p s.c p.o
Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5 – 1,0 1,0
Tikus (100 g) 1,0 0,1 2,0 – 5,0 2,0 – 5,0 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1,0 – 2,0 2,5 2,5
Guinea Pig (250 g) - 0,25 2,0 – 5,0 5,0 10,0
Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci (2.5 kg) 5 – 10,0 0,5 10 – 20,0 5 – 10,0 20,0
Kucing (3 kg) 5 – 10,0 1,0 10 – 20,0 5 – 10,0 50,0
Anjing (5 kg) 10 – 20,0 5,0 20 – 50 10,0 100,0

Cara Pemberian Obat

Pemberian Per Oral:

Kelinci, Guinea Pig


Cairan diambil menggunakan catheter memakai pengunci mulut. Pasang pengunci mulut pada
saat hewan dalam posisi duduk. Tekan rahang kelinci dengan ibu jari dan telunjuk pada saat
memasang pengunci mulut. Celupkan cetheter ke dalam minyak mineral, kemudian catheter
dimasukkan ke lubang pengunci mulut. Catheter harus dimasukkan kurang lebih 20 – 25 cm agar
sampai di esophagus dan tidak hanya sampai trachea, untuk melihatnya dengan cara
mencelupkan ujung catheter ke beker berisi air, jika ada gelembung udara maka posisi catheter
salah.
Sediaan obat diberikan ke hewan coba pada posisi duduk. Tabung plastik yang berisi sediaan
obat dimasukkan sampai ke pharynx, obat (tablet/kapsul) didorong menggunakan batang
pengaduk ke arah esophagus.

Mencit/tikus
Pemberian per oral dilakukan dengan syringe khusus (Gambar 1.3 ). Pilih syringe dengan ukuran
yang tepat sesuai ukuran hewan. Ukur panjang jarum hingga mencapai tulang iga terakhir
tikus/mencit yang mendakan lokasi lambungnya, berikan tanda pada jarum sehingga jika nanti

11
memasukkan jarum dapat diketahui sampai sejauh mana jarum dapat dimasukkan. Pegang
tikus/mencit pada bagian tengkuknya sehingga tidak dapat menggerak-gerakkan kepalanya.

Letakkan ujung syringe pada mulut hewan coba, masukkan ujungnya melewati bagian belakang
lidah. Jarum harus masuk ke esofagus dengan mudah dan lancar, JANGAN DIPAKSAKAN!
Perhatikan warna membran mukus hewan, jika terjadi sianosis maka jarum diduga menghalangi
laring dan menghambat pernafasan. Jika hewan melawan, tampak mengalami gangguan
pernafasan, atau adanya hambatan, tarik kembali jarum, biarkan hewan beristirahat sebentar
sebelum memasukkan jarum kembali. Saat jarum sudah masuk pada posisi yang tepat,
administrasikan materi. Jangan menyedot.

Gambar 1.3 .Jarum khusus untuk


pemberian oral pada tikus/mencit.B.
Pemberian per oral pada tikus/mencit.
Sumber:
https://www.aalaslearninglibrary.org/dem
o/course2.

Pemberian Injeksi Intravena:


1. Kelinci
Cukur bulu di daerah yang akan diinjeksikan, kemudian ditampakkan vena telinga bagian tepi
dengan cara menggosoknya dengan kapas yang telah dibasahi dengan xylol atau telinga kelinci
dihangatkan dengan cara mendekatkan lampu ke telinga. Kemudian penjepit vena diletakkan di
dekat kepala kelinci. Jarum berukuran 26 diinjeksikan sedalam ½ inchi dengan posisi sudut 45o,
pastikan posisi jarum dalam vena dengan perlahan putar spuit kemudian obat dimasukkan.
Setelah obat diinjeksikan, tekan luka dengan kapas menggunakan penjepit (klem).

12
2. Tikus dan mencit

Untuk meningkatkan dilatasi pembuluh darah vena, rendam ekor tikus/mencit dalam air hangat
(40-45⁰C). Masukkan tikus/mencit dalam restrainer (Gambar 1.4), disinfeksi ekor dengan
alkohol 70% ethanol, pegang ekornya, masukkan spuit injeksi kecil (25-gauge atau yang lebih
kecil) dengan bagian ujung yang tajam menembus kulit dan lumen vena, masukkan ujung jarum
hingga sekitar 0,5 cm untuk menyakinkan jarum tidak keluar, dorong syringe secara perlahan
(jika jarum terletak pada posisi yang benar, vena akan tampak memutih). Proses injeksi yang
benar akan ditandai dengan tidak adanya tahanan/hambatan saat materi injeksi dimasukkan dan
darah dalam vena akan tampak terbilas. Jika terjadi pembengkakan pada daerah injeksi atau
terjadi hambatan, tarik jarum dan masukkan kembali di bagian yang lebih atas dari sisi injeksi
sebelumnya. Tarik jarum dan tekan daerah injeksi.

Gambar 1.4 Pemberian injeksi intravena pada mencit/tikus (Sumber:


http://amrita.vlab.co.in)

Pemberian Injeksi Intraperitoneal:


1. Kelinci
Tengadahkan kelinci sampai kepalanya tertarik ke belakang. Obat diinjeksikan menggunakan
jarum berukuran 22 sedalam 1 inchi ke daerah abdomen sebelah kiri bawah dengan sudut
45o.

2. Tikus, mencit
Pegang ekor tikus dengan tangan kanan, pegang leher diantara ibu jari dan telunjuk
menggunakan tangan kiri, kemudian ekor dipindahkan dan dijepit diantara jari manis dan jari
kelingking. Tikus siap diinjeksi menggunakan jarum berukuran 24 sedalam 5/8 inchi
(Gambar 1.6).

13
Gambar 1.5 Injeksi intraperitonial pada tikus (Sumber:
http://www.theodora.com/rodent_laboratory/injections.html)

Pemberian Injeksi Subkutan:


Pada kulit di bagian atas punggung yang lebih tinggi dari kepala ditarik ke atas, kemudian obat
diinjeksikandengan sudut 40o (Gambar 1.7).

Gambar 1.6 Injeksi subkutan pada tikus (Sumber:


http://www.theodora.com/rodent_laboratory/injections.html)

Pemberian Injeksi Intramuskular:


Sebelum menginjeksikan obat pada otot paha bagian belakang, usap daerah yang akan diinjeksi
dengan alkohol 70%. Setelah cairan yang diinjeksikan masuk seluruhnya, tarik jarum perlahan
dan tekan area injeksi dengan kapas. Yang perlu diperhatikan pada daerah femur terdapat sciatic
nerve yang harus dihindari saat pemberian injeks intramuskular (Gambar 1.7).

14
A B

Gambar 1.7 .A) injeksi intramuskular pada tikus/mencit. B) Saraf sciatic pada femur
tikus/mencit (Sumber: http://www.theodora.com/rodent_laboratory/injections.html)

Monitoring keadaan hewan coba

Setelah diberi suatu perlakukan tertentu, umumnya hewan akan mengalami stress atau rasa sakit.
Beberapa parameter yang menimbulkan atau dapat menjadi indikator terjadinya stress adalah
perubahan suhu (lingkungan atau tubuh), hipoksia, edema, kadar elektrolit darah, dehidrasi,
kondisi lingkungan (kandang, hewan lain dalam kandang yang sama, cahaya, kelembaban, suara,
getaran). Hewan yang lebih kecil biasanya mengalami perubahan fisiologis yang lebih cepat
dibandinkan hewan yang berukuran besar.

Frekuensi monitoring bervariasi tergantung pada keparahan kondisi hewan, kecepatan perubahan
kondisi hewan yang diharapkan, dan akibat perlakuan pada hewan. Pada umumnya monitoring
cukup dilakukan sekali sehari, namun pada kondisi krisis, monitoring dapat dilakukan sesering
mungkin atau dilakukan secara terus menerus.

Langkah monitoring hewan coba:


 Amati kondisi hewan coba dari luar kandang baik-baik.
 Angkat penutup kandang, amati apakah hewan coba bereaksi. Perhatikan pergerakan,
bulu, dan kelakuan hewan coba. Tikus/mencit yang normal biasanya bergerak aktif di
kandangnya. Sementara tikus/mencit yang mengalami gangguan/abnormal cenderung
berkelompok/bergerombol, tidak aktif mengitari kandang, dan mengeluarkan suara saat
didekati. Sebagai perbandingan, dapat dilakukan pengamatan pada hewan normal/tanpa
perlakuan. Jika ada tanda-tanda abnormalitas, hewan dapat dipindahkan ke kandang
tersendiri untuk dimonitor secara lebih detail. Kondisi yang perlu diperhatikan:
o Bagaimana cara berjalannya/bergeraknya?
o Apakah tikus/mencit gemetar/kejang/bergelung/paralisis/koma?
o Apakah bulu hewan di bagian punggung berdiri (piloerection)?

15
o Apakah punggung hewan melengkung dan bagian abdomennya tertekan saat
berjalan?
o Apakah hewan menekankan bagian perutnya ke dasar kandang saat berjalan?
o Apakah ekor hewan kaku/tegak lurus atau terkulai?
o Bagaimana produksi urin/faeces hewan?
o Apakah terjadi kemerahan di sekitar mata dan nostril (poryphyrin staining),
sianosis, pucat, abnormalitas pada membran mukosa atau kulit (telinga, kaki,
ekor) dan daerah anogenital, atau luka pada ekor?
o Bagaimana kejernihan lensa dan kornea mata, posisi bola mata, kondisi kelopak
mata?
o Apakah terjadi gangguan pernafasan (mulut terbuka saat bernafas, terdengar suara
pernafasan abnormal?)
o Apakah terjadi tanda-tanda infeksi, pertumbuhan tumor, luka akibat perlakuan?

 Setelah dilakukan pengamatan kondisi hewan secara umum, amati kondisi fisiologi
hewan yang meliputi:
o Tingkah laku
o Berat hewan
o Luas permukaan luka (jika ada)
o Status hidrasi
o Temperatur tubuh
o Parameter darah

PUSTAKA

1. Ghosh, MN. 1971. Fundamentals of Experimental Pharmacology. Scientific Book


Agency. Calcutta.
2. Hume, CW. 1972. The UFAW Handbook on The Care and Management of Laboratory
Animals. 4th Ed. Edinburgh & London: E & S Livingstone Limited – Longman Group
Limited.
3. Paget, GE & Barnes, JE. Toxicity Tests. In: Laurence, DR & Bacharach, AL. 1964.
Evaluation of Drug Activities: Pharmacometric. Vol 1. Academic Press. London.
4. Ritschel, WA. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics and Pharmacokinetics.
Drug Intelligence Publication, Inc.
5. http://www.ahc.umn.edu/rar/handling.html#Restraint
6. https://www.aalaslearninglibrary.org. 2005. American Association for Laboratory Animal
Science

16
BAB II

SIMULASI IN VITRO MODEL FARMAKOKINETIKA

Tujuan Umum:

1. Memahami konsep farmakokinetika suatu obat


2. Dapat mengaplikasikan konsep farmakokinetik pada di bidang farmasi

Tujuan Khusus:

1. Mempelajari konsep farmakokinetika suatu obat dengan menggunakan simulasi in vitro.


2. Membedakan profil farmakokinetika suatu obat adanya variasi dosis, rute pemberian, klirens
dan volume distribusi.
3. Menganalisis perbedaan parameter farmakokinetika dengan dosis, rute pemberian, klirens
dan volume distribusi yang berbeda .

Prinsip:

Konsep farmakokinetika obat di dalam tubuh dapat dipelajari dengan suatu simulasi secara in
vitro. Walaupun demikian perlu diingat bahwa simulasi ini tidak dapat menggambarkan kondisi
dalam tubuh secara sebenar-benarnya karena adanya beberapa faktor dalam tubuh yang tidak
dapat disimulasikan secara in vitro. Dalam percobaan ini, simulasi dilakukan terhadap 3 model
obat yang mempunyai harga klirens dan volume distribusi yang berbeda dengan rute pemberian
intravaskular dan ekstravaskular serta dosis yang berbeda. Hasil dari simulasi in vitro akan
menunjukkan adanya perbedaan profil kadar obat dalam darah yang disebabkan oleh proses
absorban, distribusi, dan eliminasi yang berbeda.

Bahan:

 Rhodamin
 Air suling

Alat:

 Spektrofotometer
 Magnetic stirer
 Tabung reaksi
 Pipet ukur
 Gelas beker 1L / 2L
 Pipet volume 25 mL / 30 mL

Prosedur

17
Percobaan simulasi ini dilakukan dengan 6 model farmakokinetika obat. Masing-masing
kelompok melakukan satu macam percobaan sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

Model Rute Pemberian


Intravaskular Ekstravaskular
I II III IV I II III IV

Kelompok 1-2 3-4 5-6 7-8 1-2 3-4 5-6 7-8


Dosis (mg) 2,5 1,25 2,5 1,25 2,5 1,25 2,5 1,25
Klirens 100 50 100 100 100 50 100 100
(mL/menit)
Vol. dist. (L) 0,45 0,45 0,9 0,9 0,45 0,45 0,9 0,9
Keterangan:
Dosis (Do) = jumlah Rhodamin B yang ditambahkan dalam gelas beker
Klirens (Cl) = volume larutan Rhodamin B yang dibersihkan tiap waktu
Volume distribusi (Vd) = volume air yang ada dalam gelas beker.

Tahapan percobaan:

1. Pembuatan larutan baku kerja Rhodamin B


 Buatlah larutan baku induk 100 µg/mL dari 10 mg Rhodamin B dilarutkan dalam 100
mL air suling.
 Buatlah larutan baku kerja Rhodamin B dengan cara mengencerkan larutan baku
induk dengan air suling sampai diperoleh larutan dengan kadar 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 5
µg/mL
2. Penentuan panjang gelombang maksimum
 Tentukan panjang gelombang maksimum dengan menggunakan larutan baku kerja 2
dan 5 µg/mL.
 Amati nilai absorban pada panjang gelombang antara 530 – 570 nm dengan selang
kenaikan 10 nm (530,540,550,560,570 nm) setelah ditemukan nilai λ tertinggi (mis
540 dan 550nm) amati nilai λ tiap kenaikan 1nm (540,541, 542 dst 550nm).
 Buatlah kurva perbandingan absorban terhadap panjang gelombang dari larutan baku
kerja 2 dan 5 µg/mL pada kertas grafik berskala sama.
 Tentukan λ maksimumnya.
3. Pembuatan kurva baku
 Lakukan pengamatan absorban dari larutan baku kerja pada 1 panjang gelombang
maksimum yang telah diperoleh dari poin 2.
 Tabelkan hasil pengamatan dan buatlah kurva perbandingan kadar larutan baku kerja
terhadap absorban pada kertas grafik berskala sama.
 Hitung koefisien korelasinya dan buat persamaan garisnya.

18
4. Simulasi model farmakokinetika invitro
Rute intravaskular, kompartemen 1 terbuka:
 Isi gelas beker dengan air suling secara kuantitatif, sesuai dengan nilai Vd yang telah
ditentukan; jalankan stirer.
 Tambahkan rhodamin B ke dalam gelas beker sesuai dengan dosis yang telah
ditentukan sebelumnya (Rhodamin B yang ditambahkan diambil dari larutan baku
induk yang volumenya disesuaikan).
 Ambil sampel dari gelas beker larutan Rhodamin B sebesar nilai klirens (Cl) hingga
10 kali pengambilan dan segera digantikan volume air suling dengan menambahkan
sejumlah volume yang sama.
 Ukur absorban sampel pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh
dengan menggunakan air suling sebagai blanko.
 Hitung parameter farmakokinetika (AUC0-t, AUC 0-∞, K, t1/2)

Rute ekstravaskular, kompartemen 1 terbuka:

Pada percobaan ini dianggap kadar maksimum dicapai pada pemberian ke 4 – 5 sehingga
percobaam dilakukan dengan memasukkan obat 4 – 5 kali, tiap kali sebesar 1/5 – 1/4 dosis
yang diberikan. Prosedur percobaannya sebagai berikut:

 Isi gelas beker dengan air suling secara kuantitatif sesuai dengan nilai Vd yang telah
ditentukan; jalankan stirer.
 Tambahkan Rhodamin B sebesar 1/5 – 1/4 dosis ke dalam gelas beker sesuai dengan
dosis yang telah ditentukan sebelumnya (Rhodamin B yang ditambahkan diambil
dari larutan baku induk yang disesuaikan volumenya). Homogenkan menggunakan
stirer, ambil sampel larutan Rhodamin B sebesar nilai klirensnya dan segera gantikan
volume air suling dengan menambahkan sejumlah volume yang sama.
 Ulang prosedur tersebut hingga semua dosis masuk.
 Lanjutkan pengambilan sampel larutan Rhodamin B sebesar nilai klirens hingga 10
kali pengambilan dan segera digantikan volume air suling dengan menambahkan
sejumlah volume yang sama.
 Ukur absorban sampel pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh
dengan menggunakan air suling sebagai blanko.
 Hitung parameter farmakokinetika (AUC0-t, AUC 0-∞, K, t1/2.

19
Data dan Analisis

1. Penimbangan Rhodamin B
Berat wadah + Rhodamin B
Berat wadah
Berat Rhodamin B

2. Tabel nilai Absorban Rhodamin B pada beberapa panjang gelombang untuk menentukan
λmaks
Panjang gelombang (nm) Absorban
C1 C2
(…..µg/mL) (…..µg/mL)

λmaks = ……. Nm

3. Tabel nilai Absorban Rhodamin B pada beberapa kadar untuk pembuatan kurva baku
Kadar (µg/mL) Absorban
Blanko Sampel Sampel-blanko

Persamaan kurva baku:


Y = ……..
R = ……..

Buat kurva perbandingan Absorban Rhodamin B pada berbagai kadar untuk penentuan kurva
baku!

4. Kadar Rhodamin B dalam sampel tiap waktu


Kadar Rhodamin B
Waktu
Intravaskular Ekstravaskular
sampling
I II III IV I II III

20
Gambarkan kurva log kadar Rhodamin B vs t dari rute intravaskular
Gambarkan kurva log kadar Rhodamin B vs t dari rute ekstravaskular

5. Perhitungan Area Under Curve (AUC)


Rute intravaskular:
Percobaan I:

Percobaan II:

Percobaan III:

Percobaan IV:

Rute ekstravaskular:
AUC rute ekstravaskular
Waktu
Percobaan I Percobaan II Percobaan III Percobaan IV
sampling
AUCt AUC0-t AUCt AUCt AUC0-t AUC0-t AUC0-t AUC0-t

6. Perhitungan K, t ½, dan Ka
Perhitungan K:
Dari kurva log kadar Rhodamin vs t tentukan titik-titik fase eliminasi, kemudian tentukan
persamaan garis regresinya.
Harga slop garis = - K/2,303
Harga t ½ = 0,693/K

Perhitungan Ka:
Dari slop fase eliminasi tarik garis ekstrapolasi hingga memotong sumbu Y.
Tentukan beberapa titik di bagian atas.
Hitung harga C residual dengan mengurangkan harga C sebenarnya terhadap harga C hasil
ekstrapolasi yang bersesuaian.
Hitung persamaan garis C residual vs t, kemudian hitung harga Ka dari harga slop garis yang
diperoleh.
Harga slop garis = - Ka/2,303

21
PUSTAKA
1. Shargel, L. & Andrew Yu. 2005. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics.
5th Ed. Appleton & Lange, New Jersey.
2. Ritschel W.A. 1993. Handbook of Basic Pharmacokinetics. 4th Ed. Drug Intelligence
Publication Inc: Hamilton, Illinois.
3. Gibaldi & Perrier. 1982. Pharmacokinetics. 2nd Ed. Marcel Dekker Inc., New York.

22
BAB III

PENENTUAN PARAMETER FARMAKOKINETIK ASETOSAL


MENGGUNAKAN DATA URIN MANUSIA

Tujuan umum:

Menentukan parameter farmakokinetik suatu obat (asetosal) dengan menggunakan data urin
manusia.

Tujuan khusus:

1. Menggunakan data ekskresi obat dalam urin untuk menentukan parameter farmakokinetika
obat tersebut.
2. Menghitung parameter farmakokinetika berdasarkan data ekskresi obat dalam urin.

Prinsip:

Obat dapat diekskresikan dalam bentuk utuh atau berupa metabolit aktif melalui urin. Oleh sebab
itu kadar darah dalam urin dapat digunakan untuk menentukan dan menghitung parameter
farmakokinetik. Laju ekskresi obat melalui urin sebanding dengan data penurunan kadar obat
dalam plasma setiap waktu.

Bahan & pereaksi:

 Asam asetil salisilat (asetosal/aspirin)


 Natrium salisilat p.a
 Ferri nitrat p.a
 Asam klorida p.a
 Air suling

Alat:

 Spektrofotometer
 Sentrifuga
 Vortex mixture
 Venoject
 Labu ukur
 Pipet volume
 Gelas ukur, vial, gelas beker

23
Subyek coba:

Manusia sehat, pria, dewasa, tidak memiliki gangguan pencernaan, tidak merokok, bersedia
mengikuti protokol percobaan yang telah ditetapkan dengan menandatangi formulir pernyataan
persetujuan (informed consent).

Prosedur:

Protokol percobaan

Seminggu sebelum dan selama percobaan, subyek coba tidak diperbolehkan minum obat lain
kecuali obat yang digunakan dalam percobaan. Semalam sebelum percobaan dilakukan subyek
diminta untuk berpuasa. Satu jam sebelum percobaan subyek coba diberi minum sebanyak 400
mL air dan segera mengosongkan kandung kemih sebelum minum obat yang diuji. Urin sebelum
minum obat tersebut ditampung dan digunakan sebagai blanko. Obat yang diuji adalah 500 mg
asetosal diminum dengan 200 mL air. Setelah minum obat, subyek coba diberi minum air
sebanyak 200 mL setiap jam secara berturut-turut selama 4 jam. Cuplikan urin ditampung pada
interval waktu tertentu hingga semua obat diekskresikan (± 7 x t½). Pada setiap penampungan
urin, catat dengan tepat waktu dan volume urin. Tiap sampel urin disimpan dalam wadah
masing-masing. Data harus dipastikan tepat dan benar agar hasil yang diperoleh dapat
menunjukkan kondisi sebenarnya. Jika urin tidak segera dianalisis maka sampel urin diberi
toluene 0,5 – 1 mL untuk setiap 20 – 50 ml urin dan simpan pada suhu 2 – 8 oC selama 48 jam
hingga analisis dilakukan.

Penetapan kadar salisilat dalam urin dengan larutan Ferri nitrat dalam HCl

 1 mL sampel urin ditambahkan 5 mL pereaksi Ferri nitrat


 vortex hingga homogen, kemudian disentrifuga 2500 rpm selama 5 menit
 filtrat dipisahkan dan diamati pada panjang gelombang maksimum.
 sebagai blanko digunakan 1 mL urin blanko ditambah 5 mL pereaksi Ferri nitrat.

Tahapan percobaan

1. Pembuatan pereaksi Ferri nitrat


 Ferri nitrat sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 500 mL larutan HCl 0,1 N.

2. Pembuatan larutan baku kerja salisilat


 Buatlah larutan baku induk dengan konsentrasi 1000 µg/mL dari 116 mg natrium
salisilat dilarutkan dalam 100 mL air suling.
 Buatlah larutan baku kerja salisilat dengan cara mengencerkan larutan baku induk
dengan air suling sampai diperoleh konsentrasi 20; 50; 100; 150; 200 dan 300 µg/mL.

24
3. Penentuan panjang gelombang maksimum
 Panjang gelombang maksimum ditentukan menggunakan larutan baku kerja 100 dan
200 µg/mL
 Reaksikan larutan baku kerja 100 dan 200 µg/mL sesuai dengan prosedur penetapan
kadar salisilat dan amati nilai absorban pada panjang gelombang antara 510 – 560
nm.
 Buat kurva perbandingan absorban terhadap panjang gelombang dari larutan baku
kerja 100 dan 200 µg/mL pada kertas grafik berskala sama.
 Tentukan λmaks!

4. Pembuatan kurva baku


 Lakukan pengamatan absorban dari larutan baku kerja pada beberapa konsentrasi
yang telah dibuat pada poin 2 yang telah direaksikan seperti pada metode penetapan
kadar salisilat dalam urin dengan metode Ferri nitrat pada panjang gelombang
maksimum yang telah diperoleh dari poin 3. Sebagai blanko digunakan 1 mL air
suling ditambah 5 mL pereaksi ferri nitrat.
 Buat tabel hasil pengamatan dan kurva perbandingan kadar larutan baku kerja
terhadap absorban pada kertas grafik berskala sama.
 Hitung koefisien korelasi dan buat persamaan garisnya.

5. Penetapan kembali kadar salisilat yang ditambahkan dalam urin (recovery)


 Buat larutan baku induk 1000 µg/mL dari 116 mg natrium salisilat dilarutkan dalam
100 mL urin blanko.
 Buat larutan baku kerja salisilat dengan cara mengencerkan larutan baku induk
dengan urin blanko sampai diperoleh larutan dengan kadar 20; 50; 100; 150; 200 dan
300 µg/mL.
 Lakukan pengamatan Absorban dari larutan baku kerja dengan beberapa konsentrasi
tadi setelah direaksikan seperti pada metode penetapan kadar salisilat dalam urin
dengan metode Ferri nitrat, pengukuran dilakukan pada panjang gelombang
maksimum yang telah diperoleh sebelumnya. Sebagai blanko adalah 1 mL urin
blanko ditambah 5 mL pereaksi Ferri nitrat.
 Tabelkan hasil pengamatan dan buat kurva perbandingan kadar larutan baku kerja
terhadap absorban pada kertas grafik berskala sama. Hitung persen recovery dengan
cara:
o Memasukkan nilai absorban larutan baku recovery pada persamaan kurva
baku sehingga diperoleh harga kadar salisilat yang diperoleh kembali.
o Hitung persen recovery dengan membagi perolehan kembali salisilat dalam
urin dengan kadar sebenarnya, kemudian dikalikan 100%
𝐶 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖
% recovery = 𝑥 100%
𝐶 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎

25
6. Pengumpulan sampel urin
 Buat jadwal penampungan sampel urin (dengan mempertimbangkan waktu paro
eliminasi salisilat yang diperoleh dari pustaka) selama ± 7 x t ½.
 Lakukan penampungan urin, catat secara tepat volume dan waktu penampungannya.

7. Penetapan kadar salisilat dalam urin


 Tetapkan kadar salisilat dalam sampel urin menggunakan metode Ferri nitrat dan
amati absorbannya pada panjang gelombang maksimum.
 Masukkan data absorban ke persamaan garis recovery untuk mendapatkan data kadar
salisilat dalam urin dari setiap waktu pengambilan.
Data dan Analisis
Tabel penimbangan bahan kimia
No Jenis Bahan yang Berat Wadah Berat Wadah Berat Bahan
ditimbang Timbang Timbang + (4 – 3)
Bahan
1 2 3 4 5

Tabel nilai absorban salisilat pada berbagai panjang gelombang untuk penentuan λmaks
Absorban
Panjang Gelombang (nm) C1 C2
(……….µg/mL) (……….µg/mL)

λmaks = ………. Nm

Tabel nilai absorban salisilat pada berbagai kadar untuk pembuatan kurva baku
Absorban
Kadar (µg/mL)
Blanko Sampel Sampel – blanko

26
Persamaan kurva baku:
Y = ……….
R = ……….

Tabel nilai absorban salisilat pada berbagai kadar untuk pembuatan kurva recovery
Serapan Kadar yang
Persen
Kadar Blanko Sampel Sampel - blanko didapat
recovery
(µg/mL) kembali
(%)
(µg/mL)

% recovery rata-rata = ………. %


Persamaan recovery:
Y = ………..
R = ………..
Gambarkan kurva perbandingan absorban salisilat terhadap berbagai kadar untuk penentuan
kurva baku dan kurva recovery.

Jumlah salisilat terekskresi dalam urin tiap waktu


Waktu sampling Volume urin (Vu) Kadar (Cu) Jumlah terkekskresi
(Xu)

Gambarkan kurva kadar salisilat vs t dari data urin!

Analisis Data
 Perhitungan tetapan laju eliminasi
Hitung tetapan laju eliminasi dengan metode sigma minus atau dengan metode mid point
time.
 Perhitungan tetapan laju absorbsi
1. Buat kurva Xu͠ - Xu vs t
2. Hitung harga K dari slope fase eliminasi yaitu slope = - K/2,303

27
3. Buat garis ekstrapolasi dari garis fase eliminasi hingga memotong sumbu Y
4. Hitung harga (Xu͠ - Xu) residual dengan mengurangkan harga (Xu͠ - Xu) terhadap harga
ekstrapolasi yang bersesuaian
5. Buat persamaan garis (Xu͠ - Xu) residual vs t dan hitung harga Ka dari slope garis
tersebut, yaitu = - Ka/2,303

PUSTAKA

1. Gibaldi & Perrier. 1982. Pharmacokinetics. 2nd ed. Marcell Dekker Inc., New York, USA.
2. Ritschel, WA. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics and Pharmacokinetics.
Drug Intelligence Publication, Inc.
3. Ritschel, WA. 1993. Handbook of Basic Pharmacokinetics. 4th ed. Drug Intelligence
Publication Inc: Hamilton, Illinois.
4. Shargel, L. and Andrew Yu. 2005. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. 5th
ed. Appleton and Lange, New Jersey.

28
BAB IV

PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP FARMAKOKINETIKA SULFAMETOKSAZOL


MENGGUNAKAN DATA DARAH KELINCI

Tujuan umum:

Mempelajari profil bioavailabilitas suatu obat (sulfametoksazol) dengan menggunakan data


darah kelinci dari rute pemberian yang berbeda

Tujuan khusus:

1. Mempelajari bioavailabilitas dari sediaan suspensi per oral dibandingkan dengan larutan
injeksi intramuskular dan intravena menggunakan data kadar dalam darah kelinci.
2. Menganalisa bioavailabilitas obat dengan berbagai rute pemberian yang berbeda.

Prinsip:

Perbedaan profil bioavailabilitas suatu obat dalam tubuh ditentukan diantaranya oleh rute
pemberian. Perbedaan rute pemberian akan menyebabkan perbedaan kecepatan pencapaian obat
dalam sirkulasi sistemik. Oleh sebab itu pola kadar obat dalam darah setiap waktu tertentu dari
rute pemberian yang berbeda akan berbeda juga sehingga bioavailabilitas akan berbeda. Dalam
percobaan ini akan dianalisis perbedaan profil bioavailabilitas suatu obat yang diberikan melalui
rute peroral, intramuskular, dan intravena.

Bahan dan Pereaksi:

 Sulfametoksazol
 Asam trikloro asetat 15%
 Natrium nitrit 0,1%
 Amonium sulfamat 0,5%
 N (naftil) etilen diamin dihidroklorida 0,1%
 Heparin
 Xylol
 Ethanol 70%

Alat:

 Spektrofotometer

29
 Sentrifuga
 Disposable syringe 1 cc
 Timbangan untuk hewan coba
 Kotak kelinci
 Vortex mixture
 Alat pencukur
 Alat gelas
 Mouth block
 Feeding tube

Hewan coba:

Kelinci strain New Zealand

Prosedur:

1. Pemberian per oral


 Timbang berat kelinci
 Hitung dosis dan volume suspensi yang akan diberikan per oral
Dosis 50 mg/kg BB (5 mL suspensi = 200 mg sulfametoksazol)
 Berikan obat secara per oral sesuai dengan cara pemberian obat per oral pada hewan coba
2. Pemberian intramuskular
 Timbang berat kelinci
 Hitung dosis dan volume larutan yang akan diinjeksikan secara intramuskular
Dosis 50 mg/kg BB (1 mL larutan = 250 mg sulfametoksazol)
 Injeksikan ke dalam paha bagian atas, apabila volume larutan yang diberikan melebihi
volume maksimum pemberian intramuskular maka sisa obat diinjeksikan di lokasi lain
secara intramuskular juga
3. Pemberian intravena
 Timbang berat kelinci
 Hitung dosis dan volume larutan yang akan diinjeksikan secara intravena
Dosis 20 mg/kg BB ( 1 mL larutan = 80 mg sulfametoksazol)
 Injeksikan melalui vena marginalis (di telinga) kelinci

Pengambilan sampel darah menggunakan disposable syringe:

 Disposable syringe steril dibasuh dengan larutan heparin (10U/ml darah)


 Cukur bulu daerah telinga di sekitar vena marginal
 Daerah vena marginal diolesi xylol secukupnya
 Darah diambil sebanyak 1 mL menggunakan disposable syringe yang sudah diberi
antikoagulan untuk mencegah terjadinya koagulasi.

30
 Pengambilan darah diambil pada waktu berikut:
iv: 0; 5; 10; 15; 20; 30; 45; 60; 90; dan 120 menit setelah pemberian obat
im: 0; 10; 20; 30; 45; 60; 90; dan 120 menit setelah pemberian obat
po: 0; 10; 20; 30; 45; 60; 90 dan 120 menit setelah pemberian obat
 Ambil satu sampel darah sebelum pemberian obat sebagai blanko.

Perlakuan pada hewan coba:

 Puasakan kelinci malam hari sebelum percobaan


 Timbang berat kelinci dan hitung dosis yang tepat untuk tiap kelinci
 Beri obat sulfametoksazol sesuai rute pemberian yang ditentukan
 Ambil sampel darah sesuai waktu yang telah ditentukan.

Metode penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah dengan metode azotasi daro Bratton
Marshal:

 0,5 mL sampel darah ditambah 7,5 mL air suling, dicampur (divortex) hingga homogen
dan didiamkan selama 15 menit
 tambahkan 2 mL TCA 15%, vortex dan sentrifuga 3000 rpm selama 10 menit; jika
supernatan belum jernih, pindahkan supernatan ke tabung baru kemudian sentrifuga lagi
3000 rpm, 10 menit.
 ambil 5 mL supernatan kemudian tambahkan 0,5 mL NaNO2 0,1% kemudian vortex dan
diamkan selama 3 menit.
 tambahkan 0,5 mL amonium sulfamat 0,5% dan reaksikan (vortex) selama 2 menit.
 tambahkan 2,5 mL N (naftil) etilen diamin dihidroklorida 0,1%; vortex dan diamkan
selama 10 menit.
 amati absorbannya pada λmaks yang telah dtentukan sebelumnya.

Tahapan percobaan:

1. Pembuatan larutan baku kerja sulfametoksazol


 Buatlah larutan baku induk 1000 µg/mL dari 100 mg sulfametoksazol dilarutkan dalam 5
mL NaOH 0,1N dan 25 mL H2SO4 4N (1:5), kemudian ditambahkan air suling hingga
100 mL.
 Buatlah larutan baku kerja sulfametoksazol dengan cara mengencerkan larutan baku
induk dengan air suling sampai didapat larutan dengan kadar 10, 20, 30, 50, dan 100
µg/mL.
2. Penentuan panjang gelombang maksimum
 Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan larutan baku kerja
10 dan 100 µg/mL.

31
 Reaksikan larutan baku kerja 10 dan 100 µg/mL sesuai prosedur penetapan kadar
sulfametoksazol dan amati nilai absorban pada panjang gelombang antara 520 – 560
nm.
 Buatlah kurva absorban terhadap panjang gelombang dari larutan baku kerja 10 dan
100 µg/mL pada kertas grafik berskala sama.
 Tentukan λmaks!
3. Pembuatan kurva baku
 Lakukan pengamatan absorban dari larutan baku kerja pada poin 1 yang telah
direaksikan seperti pada metode penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah
dengan metode Azotasi dari Bratton Marshal
 Lakukan pengukuran absorban pada panjang gelombang maksimum yang telah
diperoleh pada poin 2.
 Buat tabel pengamatan dan buat kurva kadar larutan baku kerja terhadap absorban
pada kertas grafik berskala sama.
 Hitung koefisien korelasi dan buat persamaan garisnya.
4. Penetapan kembali kadar sulfametoksazol yang ditambahkan dalam darah (recovery)
 Digunakan larutan baku kerja dengan kadar 10; 20; 30; 50; dan 100 µg/mL
 Caranya:
0,5 mL larutan baku kerja dan 0,5 mL darah ditambah 7,0 mL air suling,
divortex hingga homogen lalu didiamkan selama 15 menit, ditambahkan 2 mL TCA
15% divortex dan disentrifuga 2500 rpm selama 10 menit. Ambil supernatannya
sebanyak 5 mL kemudian ditambah 0,5 mL NaNO2 0,1% divortex dan didiamkan
selama 3 menit. Ditambahkan 0,5 mL amonium sulfamat 0,5% dan direaksikan
(divortex) selama 2 menit. Ditambahkan 2,5 mL N (naftil) etilen diamina
dihidroklorida 0,1% divortex dan didiamkan selama 10 menit. Diukur absorbannya
pada λmaks.
 Tabelkan hasil pengamatan dan buat kurva kadar laritan baku kerja terhadap absorban
pada kertas grafik berskala sama.
 Hitung percent recovery dengan cara berikut:
o Masukkan nilai absorban larutan baku recovery pada persamaan kurva baku
sehingga diperoleh harga kadar sulfametoksazol yang diperoleh kembali.
o Hitung percent recovery dengan membagi perolehan kembali sulfametoksazol
dalam darah dengan kadar sebenarnya, kemudian dikalikan 100%. Rumus
percent recovery:

𝐶 𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖
% recovery = 𝑥100%
𝐶 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎

5. Pengumpulan sampel darah


 Lakukan pengambilan sampel darah pada waktu berikut:

32
iv: 0; 5; 10; 15; 20; 30; 45; 60; 90 dan 120 menit setelah pemberian obat
im: 0; 10; 20; 30; 45; 60; 90 dan 120 menit setelah pemberian obat
po: 0; 10; 20; 30; 45; 60; 90 dan 120 menit setelah pemberian obat.

6. Penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah


 Tetapkan kadar sulfametoksazol dalam cuplikan darah dengan reaksi Azotasi dari
Bratton Marshal dan amati absorbannya pada panjang gelombang maksimum.
 Masukkan data absorban ke persamaan garis recovery untuk mendapatkan data kadar
sulfametoksazol dalam darah dari setiap waktu pengambilan darah.

Data dan Analisis


Penimbangan kelinci
Berat cage + kelinci
Berat cage
Berat kelinci
Dosis sulfametoksazol = ……....mg = ………mL sediaan ……….%

Tabel hasil penimbangan bahan kimia


No. Jenis bahan yang ditimbang Berat wadah Berat wadah Berat bahan
timbang timbang + bahan (4 – 3)
1 2 3 4 5

Tabel nilai absorban sulfametoksazol pada berbagai panjang gelombang untuk penentuan λmaks
Absorban
Panjang gelombang (nm) C1 C2
(……….µg/mL) (……….µg/mL)

λmaks = ……….nm

33
Tabel nilai absorban sulfametoksazol pada berbagai kadar untuk pembuatan kurva baku
Absorban
Kadar (µg/mL)
Blanko Sampel Sampel-blanko

Persamaan garis kurva baku:


Y = ………..
r = ………..

Tabel nilai absorban sulfametoksazol pada berbagai kadar untuk pembuatan kurva recovery
Kadar Absorban Kadar yang % recovery
(µg/mL) Blanko Sampel Sampel- didapat (%)
blanko kembali
(µg/mL)

% recovery rata-rata = ……….%


Persamaan recovery:
Y = ……….
r = ……….

Gambarkan kurva absorban sulfametoksazol pada berbagai kadar untuk penentuan kurva baku
dan kurva recovery!

Kadar sulfametoksazol dalam sampel darah tiap waktu dari rute pemberian per oral, iv, im
Kadar Sulfametoksazol
Waktu Sampling
Per oral iv im

Gambarkan kurva kadar sulfametoksazol vs t dari pemberian per oral, iv, im!

34
Harga AUC sulfametoksazol dari rute pemberian per oral, iv, im
AUC
Waktu Sampling Per oral iv im
AUCt AUC0-t AUCt AUC0-t AUCt AUC0-t

PUSTAKA

1. Gibaldi & Perrier. 1982. Pharmacokinetics. 2nd ed. Marcell Dekker Inc., New York, USA.
2. Hume CW. 1972. The UFAW Handbook on The Care and Management of Laboratory
Animals. 4th ed. Edinburgh & London: E & S Livingstone limited – Longman Group
Limited.
3. Paget, GE & Barnes, JE. Toxicity tests. In: Laurence, DR & Bacharach, AL., 1964.
Evaluation of Drug Activities: Pharmacometric. Volume 1. Academic Press. London.
4. Ritschel, WA. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics and Pharmacokinetics.
Drug Intelligence Publication, Inc.
5. Ritschel, WA. 1993. Handbook of Basic Pharmacokinetics. 4th ed. Drug Intelligence
Publication Inc: Hamilton, Illinois.
6. Shargel, L. and Andrew Yu. 2005. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. 5th
ed. Appleton and Lange, New Jersey.

35

Anda mungkin juga menyukai