Anda di halaman 1dari 12

PAPER ETIKA

BISNIS

(TEORI-TEORI ETIKA UTAMA)

DOSEN PENGAMPU : INSANY FITRI NURQAMAR, S.E., M.M.

OLEH :

Aqilah Nur Falihah (A021191012)


Andi Asriana Tenriawaru (A021191037)
Agnes Mayevachrisnita Maryoso (A021191042)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
ABSTRAK

Sebagai ilmu preskriptif, etika adalah cabang filsafat yang mempertimbangakan secara kritis
tindakan mana yang baik atau tindakan mana yang buruk berdasarkan ajaran moral tertentu.
Sementara ajaran moral adalah ajaran tentang kebaikan manusia berdasarkan martabat setiap
orang sebagai manusia. Studi literer dengan menggunakan metode content analysis yang
dilakukan terhadap berbagai sumber kepustakaan yang ada memperlihatkan bahwa terdapat dua
teori utama etika yang relevan bagi etika bisnis. Pertama teori etika konsekuensialis atau
teleologis. Kedua, teori etika nonkonsekuensilis Termasuk dalam teori etika konsekuensilis
adalah etika utilitarianisme, etika egoism, dan etika hedonisme. Sementara teori etika non-
konsekuensialis mencakup etika deontologi, etika keutamaan, dan etika kesetaraan dan keadilan
sebagai kewajaran. Etika konsekuensialis menilai moralitas tindakan atau keputusan
berdasarakan tujuan, kegunaan, atau dampak positif yang diperoleh dari tindakan atau keputusan
tersebut. Sementara etika nonkonsekuensialis memfokuskan moralitas tidakan atau putusan pada
kewajiban untuk melakukan apa yang merupakan kewajiban, pada motivasi dan karakter moral si
pelaku tindakan, serta pada prinsip keadilan. Semua teori etika ini, berkontribusi bagi
pemahaman terhadap etika bisnis.
Pembahasan

Etika berasal dari kata Yunani ethos yang menurut Keraf (1998) adalah adat
istiadat atau kebiasaan. Perpanjangan dari adat istiadat membangun suatu aturan kuat di
masyarakat, yaitu bagaimana setiap tindak dan tanduk mengikuti aturan-aturan, dan
aturan-aturan tersebut ternyata telah membentuk moral masyarakat dalam menghargai
adat istiadat yang berlaku. Pengertian moral menurut Velasquez (2005) bahwa moral
memang mampu mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Sehingga etika
dan moralitas berbeda, etika perlu dipahami sebagai sebuah cabang filsafat yang
berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam
hidupnya.
Terdapat banyak versi dari definisi etika bisnis dari berbagai pihak, dan berikut
adalah beberapa definisi etika bisnis:
 Menurut Laura Nash (1990), etika bisnis sebagai studi mengenai bagaimana
norma moral personal diaplikasikan dalam aktivitas dan tujuan perusahaan
(dalam Sutrisna, 2010).
 Etika bisnis adalah istilah yang biasanya berkaitan dengan perilaku etis atau tidak
etis yang dilakukan oleh manajer atau pemilik suatu organisasi (Griffin & Ebert,
2007).
 Menurut Velasques (2005), etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan
mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar
moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.

 Etika Teleologis/Konsekuensialis - Utilitarianisme

Menurut teori etika teleologis-konsekuensilialis, suatu keputusan atau tindakan


dianggap benar secara etis atau bermoral jika keputusan atau tindakan tersebut mendatangkan
hasil positif (Brooks & Dunn, 2011). Yang dimaksud dengan hasil positif antara lain
kebahagiaan, kesenangan, kesehatan, kecantikan, pengetahuan, dan sebagainya. Sedangkan
hasil negatif mencakup ketidakbahagiaan, kesengsaraan, penyakit, keburukan, dan kebodohan
(Bertens, 2014). Dengan demikian penilaian tentang baik/benar (etis) atau buruknya/salah
(tidak etis) suatu keputusan atau tindakan didasarkan pada apakah hal baik atau buruk terjadi
atau tidak.Etika teleologi cocok bagi pelaku bisnis yang berorientasi pada hasil karena
berfokus pada dampak pengambilan keputusan. Suatu kebijakan, pilihan, keputusan, atau
tindakan bisnis dianggap baik atau buruk, diterima atau tidak diterima, berguna atau tidak
berguna, dinilai berdasarkan dampak atau konsekunesi dari kebijakan, pilihan, keputusan,
atau tindakan tersebut (Brooks & Dunn, 2011). Ketika seorang investor menilai apakah
investasi yang dilakukan baik atau buruk, berguna atau tidak menguntungkan atau tidak,
tingkat pengembalian aktualnya (actual return) cepat atau lambat sesuai atau tidak sesuai
dengan harapan investor, di situ sang investor menerapkan pertimbangan etika teleologis.
Jika tingkat pengembalian berada di bawah harapan investor, maka investasi tersebut
diangap sebagai keputusan investasi yang buruk atau tidak etis; sebaliknya jika tingkat
pengembalian aktualnya lebih besar daripada yang diharapkan, maka investasi tersebut
dianggap sebagai investasi yang baik atau bermoral. Dengan demikian, jelas bahwa
kebaikan atau keburukan suatu keputusan dan tindakan etis tidak terletak pada
keputusan atau tindakan pada dirinya sendiri melainkan pada akibat atau konsekuensi
dari keputusan tersebut. Dengan demikian kebaikan atau keburukan sebuah investasi
dinilai berdasarkan hasil atau konsekuensi dari keputusan investasi (keuangan).
Keputusan investasi tersebut dianggap baik, benar, atau etis kalau keputusan tersebut
mengakibatkan hasil positif. Sebaliknya, keputusan investasi tersebut dianggap tidak
baik, tidak benar, atau tidak etis kalau keputusan tersebut mendatangkan hasil negatif.

Etika teleologis memiliki sejarah yang panjang dalam tradisi filsafat empirisme Inggris.
John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832), James Mill (1773-1836), dan
anaknya John Stuart Mill (1806-1873) merupakan para pendukung utama teori etika
teleologis ini.

Etika teleologi memiliki artikulasi yang jelas dalam utilitarianisme. Istilah


utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat” (Bertens, 2014).
Menurut teori utilitariaisme suatu tindakan dianggap baik jika tindakan tersebut
membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Utilitarianisme paling nyata
tampak dalam tulisan-tulisan Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Dalam
Utilitarianism-nya Mill menulis kredo utilitarianisme yang berbunyi, “Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga tindakan tersebut mendatangkan jumlah terbesar kebahagiaan
dari jumlah terbesar orang yang terkena dampak dari tindakan tersebut!” (The greatest
happiness of the greatest number) (Brooks & Dunn, 2011).

Jelas bahwa utilitarianisme mendefinisikan kebaikan dan kejahatan dalam kaitannya


dengan konsekuensi kesenangan dan rasa sakit. Tindakan yang benar secara etis adalah
tindakan yang menghasilkan kesenangan terbesar atau jumlah sakit terkecil.
Utilitarianisme merupakan teori yang sederhana karena tujuan hidup manusia memang
ingin memperoleh kebahagiaan. Kegunaan itu terletak pada kontribusi suatu tindakan
bagi kebahagiaan. Semua hal yang mendatangkan kebahagiaan secara etik baik karena
cenderung menghasilkan kesenangan atau mengurangi rasa sakit dan penderitaan. Bagi
kaum utilitarian, kesenangan dan rasa sakit dapat bersifat fisik maupun mental. Seorang
karyawan yang diminta supervisornya untuk menyelesaikan sebuah tugas dan membuat
laporan yang berkualitas tinggi tetapi tidak memberikan informasi yang memadai serta
rentang waktu yang pendek akan meningkatkan ketegangan dan ketidaknyaman sang
karyawan dan dengan demikian tidak berkontribusi bagi kebahagiaan karyawan
tersebut. Pengalaman yang baik adalah pengalaman yang menyenangkan karena
berkontribusi bagi kebahagiaan secara umum. Dalam kasus ini, menyelesaikan tugas
bukanlah hal yang menyenangkan dilihat dari sudut pandang karyawan.

Bagi Mill, kesenangan dan rasa sakit memiliki aspek kuantitatif dan kualitatif. Adalah
Jeremy Bentham yang kemudian mengembangkan kalkulus tentang kesenangan dan
rasa sakit berdasarkan intensitas, durasi, kepastian, keakraban, kemurnian, dan keluasan.
Bagi Mill sifat kesenangan atau penderitaan merupakan sesuatu yang penting. Beberapa
kesenangan lebih diinginkan daripada yang lain dan memerlukan usaha untuk
mencapainya. Seorang atlit misalnya berlatih tiap hari untuk bertanding di Asian
Games. Latihannya sangat menyakitkn tetapi sang atlet memfokuskan diri pada hadiah
yaitu meraih medali emas. Kesenangan kualitatif berdiri di podium melebihi jalan pajang yang
secarta kuantitatif melelahkan demi menjadi juara Asian Games. Begitu juga bagi mahasiswa
yang terus belajar secara serius selama 4 tahun yang melelahkan dan memperoleh indeks prestasi
cum laude, jaminan kerja yang baik dan gaji yang besar jelas secara kualitatif lebih
membanggakan jika dibandingkan dengan keputusan langsung bekerja setamat SMA,
menghindari kuliah karena takut mengerjakan banyak tugas, dan stress mengerjakan skripsi.

Etika politik Nicolo Machiavelli yang menegaskan bahwa “tujuan menghalalkan cara” tidak
termasuk dalam etika utilitarianisme. Karena meskipun tujuannya untuk menciptakan
kemenangan, kemakmuran, keamanan, dan kebanggaan, prinsip tujuan menghalalkan cara
memberikan kewenangan tak terbatas kepada Pangeran (Lorenzo Medici) (sekarang: negara)
untuk menggunakan cara apa pun (menipu, merampok, membunuh) untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan politik. Jelas praktik semacam ini melanggar moralitas dan
kemanusiaan kita. Di samping itu, prinsip tujuan menghalalkan cara tidak bisa diterima karena
prinsip tersebut mengasumsikan bahwa cara dan tujuan setara secara etika, dan bahwa hanya ada
satu cara untuk mencapai tujuan, atau kalau pun ada banyak cara, maka semua cara untuk
mencapai tujuan itu setara secara etika. Seorang eksekutif yang memalsukan laporan keuangan
untuk meningkatkan laba bersih perusahaan dan dengan demikian ia akan memperoleh bonus,
atau seorang eksekutif lain yang memalsukan laporan keuangan untuk mencegah isu
kebangkrutan, tetapi menyediakan lapangan perkerjaan bagi karyawan, atau untuk
mengembalikan kepercayaan konsumen, kreditor, dan stakeholders. Jelas bahwa kedua eksekutif
ini menggunakan cara yang sama (melakukan kecurangan laporan keuangan) untuk mencapai
tujuan yang berbeda. Cara yang ditempuh ini secara etika tidak dibenarkan. Untuk eksekutif yang
kedua ada alternatif lain yakni ia bisa mencari alternatif pendanaan kembali.

Tetapi harus diingat bahwa teori utilitarianisme mengukur kebahagiaan dan kesenangan atau
ketidakbahagiaan dan rasa sakit/penderitaan bukan pada tingkat individu melainkan pada tingkat
masyarakat. Artinya yang perlu dipertimbangkan adalah dampak dari suatu keputusan, tetapi
yang perlu diukur bukan hanya rasa senang atau sakit dari pembuat keputusan melainkan semua
orang yang mungkin terkena oleh keputusan tersebut. Individu seolah-olah menjadi „penonton‟
yang tidak memihak karena kebahagiaan yang menjadi standard bagi tindakan bukanlah
kebahagiaan pribadi melainkan kebahagiaan semua pihak. Bagi para utilitarian pun tidak bisa
menerima bahwa tujuan akhir menghalalkan cara atau sarana. Lagi pula tujuan dasar
utilitarianisme adalah kebahagiaan (masa depan) bagai sebanyak mungkin orang (bukan untuk
kepentingan pribadi).

Terdapat dua jenis utilitarianisme yakni utilitarianisme perbuatan dan utilitarianisme peraturan.
Yang dijelaskan di atas merupakan utilitarianisme perbuatan. Tindakan CEO untuk meminta
bonus bagi kepentingan pribadi merupakan contoh bagi utilitarianisme perbuatan. Sementara
utilitarianisme peraturan menandaskan bahwa suatu norma, peraturuan, atau hukum baik secara
moral jika norma atau peraturan tersebut mendatangkan kebahagiaan sebanyak mungkin orang
yang terkena dampak dari peraturan tersebut.

Meskipun berguna dan penting bagi bisnis, teori etika utilitarianisme memiliki beberapa
kelemahan mendasar, antara lain:
1. Utilitarianisme mengasumsikan bahwa bahwa kebahagiaan, utilitas, kesenagnan, sakit
dan penderitaan bisa diukur. Akuntan misalnya sangat pandai mengukur transaksi
ekonomi dalam bentuk uang (rupiah atau dolar) karena uang merupakan standar
pengukuran yang seragam. Tetapi tidak ada pengukuran umum untuk kebahagiaan, tidak
pula kebahagiaan seseorang setara dengan kebahagiaan orang lain. Lagi pula uang bukan
perwakilan yang tepat untuk kebahagiaan.
2. Soal distribusi dan intensitas kebahagiaan, prinsip utilitarianisme adalah untuk
menghasilkan sebanyak mungkin kebahagiaan dan untuk mendistribusikannya kepada
sebanyak mungkin orang. Tetapi dalam praktik, utilitarianisme sepi terhadap prinsip
lain seperti keadilan dan kesetaraan. Apakah adil jika mengobarkan kepentingan satu
orang demi kepentingan yang lebih besar? Atau apakah adil sebuah keputusan
menguntungkan kelompok pembangku kepentingan tertentu dengan mengorbankan
kelompok pemangku kepentingan lainnya?
3. Masalah pengukuran lainnya adalah tentang ruang lingkup. Berapa banyak orang yang
harus disertakan? Apakah yang mesti diperhitungkan hanyalah kepenitngan investor,
masyarakat setempat, global, atau juga pula kepentingan generasi yang akan datang?
4. Utilitarianisme mengabaikan motivasi dan berfokus hanya pada konsekuensi. Pada hal
dapat saja terjadi bahwa konsekuensinya sama tetapi motivasinya berbeda.
Utilitarianisme dengan demikian tidak cukup menghasilkan keputusan etis yang
komprehensif.

 Egoisme dan Hedonisme

Jika utilitarianisme mengukur baik atau buruknya suatu tindakan atau keputusan
berdasarkan kegunaan, kepentingan, atau kesenangan jumlah terbesar orang yang terkena
oleh suatu tindakan atau keputusan, etika egoisme justru ingin mereduksi tujuan tindakan
atau keputusan demi kepentingan diri sendiri tanpa perlu memperhatikan kepentingan
orang lain. Seorang manajer yang membuat peraturan tentang system penggajian baru
dengan hanya menaikan tunjangan bagi para manager tanpa menyertakan kenaikan gaji
para karyawan merupakan contoh praktik etika egoisme dalam bisnis.

Hedonisme merupakan teori etika yang dekat dengan etika egoisme. Karena hedonisme
pun memfokuskan diri pada kebahagiaan atau kesenangan pribadi. Adalah Epicurus (341-
270 SM), filsuf Yunani kuno pasca trio Yunani (Socrates, Plato, dan Aristoteles)
meletakan dasar bagi etika hedonisme ini. Berbeda dengan utilitarianisme yang
mengembangkan etika kegunaan dan kebahagiaan pada tingkat sosial-masyarakat,
hedonisme merupakan teori etika yang memfokuskan diri pada kebahagiaan dan
kesenangan pribadi. Bagi Epicurus dan Epicurean (pengikut Epikurus) „tujuan hidup
manusia adalah untuk memperoleh keamanan, kesenangan, atau kebahagiaan abadi; yaitu
suatu kehidupan di mana rasa sakit diterima hanya jika rasa sakit itu menyebabkan
kesenangan yang lebih besar, dan kesenangan akan ditolak jika kesenangan itu
menyebabkan rasa sakit yang lebih besar‟ (Brooks & Dunn, 2011).

Dalam bisnis, keuntungan merupakan tujuan utama. Keuntungan tentu akan semakin tinggi
apabila biaya produksi dapat ditekan, upah karyawan tetap, keamanan terjamin, dan
penjualan meningkat. Apabila demi memperoleh keuntungan yang semakin besar ongkos
produksi tak pernah disesuaikan, upah karyawan tak pernah dinaikan, aspirasi bawah
ditekan atas nama stabilitas perusahaan, maka praktik semacam ini merupakan aplikasi
etika hedonisme karena hanya untuk memperbesar kebahagiaan pemilik dari pada
kepentingan stakeholders secara keseluruhan.
 Etika Nonkonsekuensialis - Deontologi

Etika deontologi menilai etikalitas suatu tindakan atau putusan berdasarkan motivasi
pembuat keputusan. Seperti sudah disebutkan di depan, kata deontologi berasal dari kata
Yunani deon
(kewajiban) dan logos (ilmu) (Bertens, 2014). Menurut (prinsip) deontologi, tindakan atau
putusan secara etis dibenarkan bukan atas dasar hasil positif atau ditolak bukan atas dasar
dampak negatif yang diperoleh melainkan atas dasar motivasi pembuat keputusan atau
tindakan tersebut yakni memenuhi apa yang dipahami sebagai kewajibannya. Maka yang
menjadi dasar bagi baik buruknya perbutan adalah kewajiban. Kewajiban itu bersifat mutlak.
Filsuf yang pemikirannya selalu dikaitkan dengan etika deontologi adalah Immanuel Kant
(1724- 1804). Melalui karyanya Groundwork of the Metaphysics of Moral, Kant menyatakan
bahwa satu-satunya yang baik tanpa pengecualian adalah Kehendak Baik; yakni kehendak
untuk melakukan apa yang menurut pertimbangan kita (alasan) merupakan kewajiban (tugas)
moral kita.
Dengan demikian moralitas suatu tindakan tidak terletak pada dampak atau konsekuensi dari
tindakan tersebut melainkan itikad untuk mengikuti atau menaati alasan (pertimbangan)
tentang apa yang merupakan tugas atau kewajiban kita yang perlu kita lakukan. Kesediaan
atau ketaatan untuk melakukan „apa yang kita sadari sebagai kewajiban kita‟ berisfat mutlak,
harus, tanpa pengecualian. Bagi Kant, kewajiban merupakan standard yang perlu dipakai
untuk menilai etikalitas prilaku. Anda adalah orang yang bertindak dengan benar dan baik
atau orang yang bermoral, jika ada mengikuti apa yang merupakan tugas dan kewajiban anda
(bukan demi kesenangan melainkan melakukannya melulu demi tugas dan kewajiban
tersebut). Motif dari tugas dan kewajibanlah yang memberikan nilai moral bagi tindakan.
Kant memperkenalkan konsep imperatif kategoris (categorical imperative) untuk
menjelaskan tuntutan untuk secara mutlak menjalankan apa yang merupakan kewajiban.
Prinsip moral, menurut Kant, berlaku tanpa syarat. Prinsip tersebut menuntut bahwa „anda
seharusnya hanya bertindak dengan cara sebagaimana orang lain yang berada dalam situasi
yang sama akan bertindak dengan cara yang sama‟. Perintah ini bersifat mutlak, tanpa syarat.
Maka bagi Kant, suatu perbuatan baik jika ia dilakukan berdasarkan „imperatif kategoris‟
(yang mewajibkan kita tanpa syarat apa pun).
Di samping konsep imperatif kategoris untuk menekankan sifat mutlak sebuah tuntutan
moral, Kant juga memperkenalkan konsep imperatif praktis (practical imperative) untuk
menunjukkan prinsip universalisasi tuntuan moral. Hukum moral bagi Kant berlaku
universal tanpa diskriminasi. Prinsip imperatif praktis berbunyi, “Bertindaklah dengan cara
yang sama dengan Anda memperlakukan kemanusiaan, baik pada diri anda sendiri atau pada
pribadi lainnya...” (Bertens, 2014; Brooks & Dunn, 2011). Dengan demikian Kant
menegaskan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di bawa hukum moral.
Dengan demikian, dalam bisnis, etika deontologi menegaskan tiga hal pokok. Pertama,
bahwa motivasi tindakan atau putusan bisnis bukanlah demi sesuatu yang lain di luar tujuan
moral bisnis melainkan justru melakukan apa yang merupakan kewajiban moral bisnis itu
sendiri. Yang termasuk dalam kewajiban moral bisnis, misalnya untuk membuka lapangan
pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendayagunakan sumber daya agar
produktif, merealisasikan bakat dan potensi tenaga kerja, dan sebagainya. Kedua, bahwa
setiap orang dan stakeholders dalam bisnis harus diperlakukan setara, tanpa diskriminasi.
Orang atau stakeholders lain harus diperlakukan tidak sekedar sarana melainkan sebagai
tujuan akhir dalam diri mereka sendiri (Bertens, 2014). Seorang akuntan profesional
misalnya, secara moral tidak dibenarkan memanfaatkan mahasiswa magang untuk
memeriksa laporan keuangan kliennya karena digaji lebih kecil dari keuntungan yang ia
peroleh dari kliennya. Hubungan antara majikan dan karyawan, antara pimpinan dan
bawahan harus didasarkan pada rasa hormat, otonom, kreatif, dan bermartabat dan bukan
atas dasar kekuasaan, manipulasi, intrik, dan merendahkan. Dalam bisnis, setiap orang atau
stakeholders, tidak hanya diperlakukan sebagai sarana melainkan terutama sebagai tujuan
akhir sekaligus. Dan ketiga, kewajiban untuk bertindak etis, tidak hanya berlaku bagi diri
sendiri melainkan juga bagi orang lain.

Meskipun ideal, teori etika deontologi memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, bahwa
prinsip imperatif kategoris tidak memberikan panduan yang jelas untuk menentukan mana
yang benar dan mana yang salah jika dua atau lebih hukum moral mengalami konflik dan
hanya satu yang dapat diikuti. Hukum moral mana yang perlu diikuti? Utilitarianisme jelas
mnyatakan bahwa kita mesti mengikuti yang paling mendatangkan konsekuensi postiif.
Sementara deontologi melihat konsekuensi tidak relevan. Satu-satunya hal yang penting
adalah niat pembuat keputusan. Kedua, imperif kategoris menetapkan standard yang
sangat tinggi. Bagi banyak orang itu adalah etika yang sulit diikuti. Ada banyak contoh
dimana orang tidak diperlakukan dengan hormat dan bermartabat, dimana mereka hanya
dilihat sebagai alat dalam siklus produksi dan akan digunakan, tetapi kemudian dibuang
karena kegunaannya hilang. Banyak perusahaan mempekerjakan (memperalat) anak-anak
dibawa umur dengan upah rendah. Tidak sedikit perusahaan yang mempekerjakan pekerja
kontrak untuk menghindari tuntuan untuk memberikan fasilitas ketenagakerjaan.
Pandangan Kant mengandaikan bahwa kita semua merupakan bagian dari komunitas
moral yang menempatkan tugas dan kewajiban di atas kebahagiaan dan kesejahteraan
ekonomi. Suatu standar moral yang sangat ideal, karena dapat saja ketika orang mengikuti
kewajiban dapat mengakibatkan konsekuensi yang merugikan.

 Etika Keutamaan atau Kebajikan

Etika kebajikan mengambil inisiatif dari filsuf Yunani Aristoteles (384-322).


Dalam buku The Nicomachean Ethics, Aristoteles menegaskan bahwa tujuan hidup
manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan yang dimaksud bukan dalam arti
hedonistik (kesenangan) melainkan suatu kegiatan jiwa yang merasa bahagian karena
memenuhi tujuan hidup yang mulia dengan hidup sesuai alasan; bertindak secara sukarela
(bebas). Maka etika keutamaan atau kebajikan memfokuskan moralitas pada karakter
moral pembuat keputusan. Karakter moral dapat dibentuk melalui pendidikan moral.

Dalam bisnis, etika keutamaan penting karena pada akhirnya, moralitas binsis bergantung
pada karakter moral pribadi insan bisnis itu sendiri. Perusahaan yang secara moral baik
diwujudkan oleh kualitas moral semua orang yang terlibat di dalamnya. Moralitas
perusahaan tidak lain dari moralitas individu-individu yang ada di dalamnya. Dengan
demikian seorang eksekutif tidak bisa pada suatu kesempatan mengatakan bahwa ia
bertindak atas nama perusahaan dan di kesempatan terpisah ia bertindak atas nama pribadi.
Sebagai pribadi yang utuh, stabil dan konsisten ia adalah seorang pribadi bermoral.
Karakter moral selalu melekat pada sang eksekutif tersebut (Bertens, 2014).Kelemahan
etika kebajikan adalah bahwa nilai-nilai kebajikan seperti integritas, jujur, terhormat,
konsisten dengan prinsip dan tidak mengorbankan nilai inti, dalam praktik sering sulit
diwujudkan. Etika bisnis sering dianggap oxymoron; suatu keinginan suci yang sulit untuk
direalisasikan.

 Etika Kesetaraan dan Keadilan sebagai kewajaran (fairness)


Etika keadilan bisa dianggap sebagai penengah antara etika utilitarianisme dan etika
deontologi. Karena etika keadilan menekankan manfaat dan beban berdasarkan alasan
yang rasional.
Filsuf Inggris David Hume (1711-1776) mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu
yang penting karena: orang tidak selalu bermanfaat dan terdapat sumber daya yang langka.
Hume percaya bahwa masyarakat terbentuk melalui kepentingan pribadi. Karena manusia
tidak bisa hidup sendiri, ia memerlukan kerja sama bagi keberlangsungan hidup dan
kesejahteraan bersama. Tetapi karena sumber daya terbatas, dan faktanya beberapa orang
mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain, maka perlu ada mekanisme untuk
pembagian manfaat dan beban bagi masyarakat secara adil. Maka keadilan merupakan
mekanismenya. Orang harus memiliki klaim yang sah atas sumber daya yang langkah dan
dapat secara rasional menjelaskan dan membenarkan klaim mereka atas sumber daya
tersebut. Itulah prinsip dasar keadilan: mengalokasikan manfaat dan beban dengan alasan
yang rasional.

Terdapat dua macam keadilan yakni keadilan prosedural dan keadilan distributif. Keadilan
prosedural menuntut agar semua orang diperlakukan secara sama; tidak ada preferensi dan
diskriminasi berdasarkan kelompok, suku, agama, ras, dan status sosial. Dalam organisasi
bisnis, keadilan prosedural tampak pada prosedur operasi standar yang sama dan konsisten
bagi semua karyawan. Sementara keadilan distributif atau keadilan proporsional (Bertens,
2014) menunut perlakuan yang sama untuk hal yang setara, dan untuk hal yang tidak setara
harus diperlakukan berbeda. Misalnya, upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, lepas
dari perbedaan gender. Sebaliknya apabila mereka tidak benar-benar sama, maka mereka
tidak harus diperlakukan sama. Misalnya perbedaan upah berdasarkan pengalaman, pangkat,
pendidikan, dan tanggung jawab.

 Keadilan sebagai kewajaran (fairness).


Adalah John Rawls (1921-2002) yang mengembangkan konsep keadilan sebagai
kewajaran atau fairness. Dalam buku Theory of Justice, Rawls mengatakan bahwa setiap
orang selalu memiliki kepentingan pribadi dan tak seorang pun bisa memperoleh semua hal
yang mereka inginkan. Oleh karena itu ia perlu bekerja sama dalam masyarakat untuk
mencapai keuntungan bersama. Dengan demikian perlu ada usaha untuk menyeimbangkan
konflik kepentingan; perlu ada upaya menyeimbangkan manfaat atau keuntungan yang lebih
besar dari pada beban yang mesti mereka pikul. Prinsip yang dipakai untuk menentukan
alokasi yang merata adalah prinsip-prinsip keadilan. Keadilan sebagai kesetaraan berarti
bahwa apa pun yang mereka setujui pada keadaan awal akan dianggap adil oleh semua.

Rawls memperkenalkan dua macam prinsip keadilan yang menurut Rawls pasti akan dipilih
oleh orang yang bebas dan rasional di bawah selubung ketidakpedulian (veil of ignorance)
(tidak tahu dan tidak peduli terhadap segala status, kelas, atau potensi yang dimiliki). Prinsip
pertama adalah prinsip perbedaan, dan prinsip kedua adalah prinsip persamaan. Prinsip
perbedaan menegaskan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus bermanfaat bagi
anggota masyarakat termiskin. Sementara prinsip persamaan menegaskan bahwa akses ke
ketidaksetaraan harus terbuka bagi semua orang. Dengan demikian prinsip perbedan
mengakui bahwa sumbangan alam tidak mencukupi (tidak merata). Ada yang lahir dari alam
yang kaya raya sementara yang lain sangat miskin. Ada orang dengan bakat yang luar biasa
sementara yang lain tidak. Ini merupakan ketidakadilan. Tetapi berdasarkan prinsip keadilan
sebagai kesetaraan, apa yang benar dan jujur adalah bahwa setiap orang harus diuntungkan
dengan adanya ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Bagi Rawls, difusi keberuntungan harus
menguntungkan semua orang; terbuka bagi semua orang. Maka ketimpangan diakui, tetapi
ketimpangan tersebut juga diterapkan untuk kebaikan semua. Misalnya ketentuan tentang gaji
tertinggi dan gaji terendah, menerapkan prinsip perbedaan. Gaji tertinggi bagi para eksekutif
sebuah perusahaan hanya dapat dibenarkan (adil) jika kesenjangan tersebut lebih banyak
membantu karyawan dengan bayaran terendah di perusahaan.
KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai ilmu etika adalah cabang filsafat yang mempertimbangakan secara kritis tindakan
mana yang baik atau tindakan mana yang buruk berdasarkan ajaran moral. Sementara etika
bisnis bukan sekedar penerapan prinsip-prinsip etika dalam bisnis melainkan studi kritis
terhadap praktik bisnis dari perspektif moral. Terdapat paling tidak dua teori utama etika
yang relevan bagi etika bisnis. Pertama teori etika konsekuensialis atau teleologis. Kedua,
teori etika nonkonsekuensilis. Teori etika konsekuensialis menilai moralitas tindakan atau
keputusan bisnis berdasarakan tujuan, kegunaan, atau dampak positif yang diperoleh dari
tindakan atau keputusan tersebut. Sementara etika nonkonsekuensialis memfokuskan
moralitas tidakan atau putusan bisnis pada kewajiban untuk melakukan apa yang
merupakan kewajiban, pada motivasi dan karakter moral si pelaku tindakan, serta pada
prinsip keadilan.

Studi dari perspektif filsafati (etika) ini akan jauh lebih kaya dan komprehensif jika dapat
dilakukan lebih jauh studi tentang etika bisnis dari perspektif agama-agama. Beberapa
usaha ke arah ini sudah dilakukan tetapi masih perlu diperdalam lebih jauh agar
menghasilkan insight yang berguna bagi pemahaman terhadap tindakan dan keputusan
bisnis.
Daftar Pustaka

Agoes, S. & Ardana, CI. (2017). Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan
Membangun Manusia Seutuhnya. Salemba Empat, Jakarta.

Bertens, K. (2013). Pengantar Etika Bisnis. Kanisius, Jogyakarta.


Brooks, LJ. & Dunn, P. (2011). Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur, Eksekutif, dan
Akuntan, buku 1, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Kanti Pertiwi dari
judul asli Business & Professional Ethics , Salemba Empat, Jakarta.

Brooks, LJ. & Dunn, P. (2012). Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur, Eksekutif, dan
Akuntan, buku 2, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Kanti Pertiwi, dari
judul asli Business & Professional Ethics . Salemaba Empat, Jakarta.

De George, R. (2015). “The Relevance of Philosophy to Business Ethics: A Response to


Rorty‟s „Is Philosophy Relevant to Applied Ethics?‟”. Published Online, 23 Januari
2015. https://doi.org/10.5840/beq200616328 dari artikel asli dalam Business Ethics
Quarterly, Vol. 16. Issue 3, Juli 2006, 381-389.
Duska, R. (1993). "Aristotle: A Pre-Modern Post-Modern? Implications for Business Ethics".
Business Ethics Quarterly, 3,(3), 227-250.

Brown, N. (1987). “Teleogoligal or Dentology?”. Irish Theological Quarterly, Vol. 53,


Issue 1, 36-51. Akses online 6 Maret 2019 di
https://doi.org/10.1177/002114008705300103
Garret, T. M. (1970). Business Ethics, New Delhi, Times of India Press, 1970, hlm. 4
Griffin, J. (2015). What Can Philosophy Contribute to Ethics. Oxford University Press. Oxford.

Hugges, J. (2018). “Four Reasons Why Philosophy Is Relevant As Ever”, online at


http://www.bachelorstudies.com , diunduh 2 Maret 2019.
Keraf, S. (). Pengatar Etika Bisnis. Kanisius, Jogyakarta.
Shaw, W., & Barry, V. (1995). Moral Issues in Business. Wadsworth Publishing
Company, Belmont - California.

Shaw, W. (2005). Business Ethics (5th ed.). Thomson Wadsworth, Belmont, CA.

Yosephus, LS. (2010). Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku

Pebisnis
Kontemporer. Obor Indonesia, Jakarta.
Link Vidio :

https://youtu.be/shP6wfa8je8

Anda mungkin juga menyukai