Anda di halaman 1dari 16

SIFAT DAN KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu : Ali Yasmanto, M.H.I

Disusun Oleh :
Kelompok 2

Iskarima Aziza (102190124)


Khoirul Huda (102190126)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat
dan hidayah Allah swt kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya. Makalah pada mata kuliah Filsafat Hukum Islam yang
berisikan tema tentang Sifat Dan Karakteristik Hukum Islam.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi
besar Muhammad saw, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman,
dengan diiringi upaya meneladani akhlaknya yang mulia. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman dan juga
berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan – masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, 28 Agustus 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................1
C. Tujuan .....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sifat Dan Karakteristik Hukum Islam
1. Bersifat Universal………………………………………....………….2
2. Kemanusiaan……………………………………………....………….3
3. Moralitas………………………………………………………………4
4. Sempurna……………………………………………………………...5
5. Sistematis……………………………………....……........…………..6
6. Elastis…………………………………………………………………7
7. Partikularitas………………………………………………………….8
8. Ta’abuddi Dan Ta’aquli……………………………………………..10
9. Estetik………………………………………………………………..10
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN .................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum
Islam,sumber asal muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta manfaat
hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya. 1
Filsafat berada pada ranah abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang
dari hukum Islam, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam
pembentukan hukum. Secara konsep islam menilai hukum tidak hanya berlaku
didunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran, atau
ketetapansangsi, disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga
berhubungan dengan Allah SWT, maka manusia disamping ia mengadopsi hukum
yang langsung dari wahyu Tuhan dalam bentuk kitab suci, manusia dituntut untuk
selalu mencari formula kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat,
yaitu suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, dan hukum tersebut
haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif. Hukum Islam
mengacu pada pandangan hukum yang mengatakan bahwahukum Islam
mempunyai maksud dan tujuan. Hukum Islam merupakan sistem ketuhanan yang
mendahului Negara Islam dan bersifat mengontrol masyarakat.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sifat dan karakteristik hukum Islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui sifat dan karakteristik hukum Islam

1
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers 2014), hal. 4.
2
Muhammad Hasdin Has, Kajian Filsafat Hukum Islam Dalam Al-Qur’an, Jurnal Al-Adl ,
Vol.08, No. 02 (Juli 2015), hal. 58.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sifat Dan Karakteristik Hukum Islam


Hukum Islam memiliki watak tertentu dan beberapa karakteristik yang
membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut
ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal
dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal ini
beberapa karakteristik hukum Islam yang akan kami sampaikan.

1. Bersifat Universal
Hukum Islam bersifat Universal, mencakup semua manusia di dunia tidak
dibatasi oleh lautan atau batasan Negara. Hal ini terlihat dalam sumber utama
hukum Islam dalam konteks sejarah Rasul dengan memfokuskan dakwah mengenai
tawhid seperti panggilan ya ayyuhan nas, walaupun pada persoalan hukum hanya
khusus umat Islam saja. 3
Ajaran hukum Islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa
terkecuali, tidak dibatasi daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaran-ajaran Nabi
sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang orang Ajam, kulit putih dan kulit
hitam. Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan Syari’ (pemilik hukum Islam)
itu sendiri yang kekuasaannya tidak terbatas. Disamping itu hukum Islam bersifat
dinamis untuk segala zaman. Bukti yang menunjukkan hukum Islam memenuhi
sifat tersebut adalah Al-Qur’an yang merupakan wadah dari hukum Islam. Al-
Qur’an menggariskan kebijakan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk
manusia, seperti dalam surat Al-Anbiya’ : 107

3
Miftahul Huda, FILSAFAT HUKUM ISLAM : Menggali hakikat, sumber dan tujuan hukum
Islam, (Sukses Grafia Yogyakarta, cet. 1, Agustus 2006) hal. 36.

2
Artinya : “Dan Kami (Allah) tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. 4
Untuk memperlihatkan keuniversalan hukum Islam minimal dari 3 segi :
a. Menyangkut pemberlakuan hukum Islam bagi para subjek hukum yang berkesan
pada keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin antara
manusia biasa bahkan terhadap seorang Nabi.
b. Kemanusiaan yang universal.
c. Efektifitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang
ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula 5

2. Kemanusiaan
Hukum Islam mensyari’atkan wajib tolong menolong seperti dalam ajaran
zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan sebagainya. Zakat diwajibkan bagi orang kaya
yang hartanya senisab, yang diperuntukkan kepada orang yang membutuhkan baik
fikir miskin, maupun yang tak anggup membayar hutang dan sebagainya. 6 Hal ini
terlihat dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan teks hadits, misalnya pada surat al-
Baqarah : 110

Artinya : “Dan laksanakanlah sholat dan tunaikan zakat. Dan segala kebaikan yang
kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah.
Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

4
Ibid.,
5
A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta
: Pustaka Prima, 2007), hal. 108 – 109
6
Miftahul Huda, FILSAFAT HUKUM ISLAM : Menggali hakikat, sumber dan tujuan hukum
Islam, (Sukses Grafia Yogyakarta, cet. 1, Agustus 2006) hal. 37.

3
3. Moralitas (Akhlaki)
Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup disunia ini, oleh
karena itu Allah sengaja mengutus Nabi untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia. Sebagaimana juga Allah memerintahkan umat Islam untuk mengambil
contoh teladan dari moral Nabi dalam Al-Ahzab : 217

Artinya : “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.
Relasi antara moral dan hukum merupakan karakteristik terpenting dari kajian
hukum Islam. Dalam hukum Islam antara keduanya tidak ada pemisahan, jadi
pembahasan hukum Islam juga didalamnya termasuk pembahasan dalam moralitas.
Berbeda halnya dalam kajian hukum di Barat, yang jelas-jelas memisahkan dengan
tegas antara hukum dan moral. Dari kedua perbedaan ini ternyata mempunyai
implikasi sangat besar dalam praktek hukum di masyarakat.8
Bentuk karakter akhlak pada hukum Islam dapat disarikan dalam beberapa
ilustrasi sebagai berikut :
a. Hukum dalam pembinaan mental spiritual manusia maka diberlakukan hukum-
hukum ibadah agar hubungan manusia dengan Tuhannya terbina dengan baik
dan diharapkan memiliki efek sosial yang baik bagi lingkungannya.
b. Pembinaan akhlak untuk memelihara keturunan maka diberlakukan hukum
larangan zina.
c. Pembinaan pada etika pergaulan antara lelaki dan perempuan diberlakukan
hukum berpenampilan (tabarruj) antar mereka agar masing-masing mereka
menundukkan pandangan.

7
Ibid.,
8
Ibid.,

4
d. Pendidikan akhlak agar memelihara harta maka diberlakukan larangan judi.
e. Pendidikan moral etika ekonomi maka diberlakukan hukum larangan melakukan
riba atau perbuatan mengambil harta dengan jalan batils eperti merampok,
penipuan ataupun penggelapan.
f. Pembinaan keluarga harmonis agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan
dan kehidupan yang lemah diberlakukan hukum hadhanah dan larangan
mengabaikan pendidikannya sehingga ditetapkan hukum perwalian maupun
larangan segala bentuk pengabaian kehidupannya sehingga menelantarkannya.
g. Pembinaan etika – moral kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga
diberlakukan hukum kewajiban untuk taat kepada pemimpin, membela negara
dengan jihad bila dieprlukan.
h. Pembinaan etika agar masyarakat takut melanggar hukum diberlakuakn sanksi-
sanksi hukum pidana berupa hukum hudud dan ta’zir.
i. Pembinaan etika untuk tidak menyakiti makhluk lain maka diberlakukan hukum
menyangkut adab penyembelihan terhadap binatangs eperti keharusan dengan
alat yang tajam ketika menyembelihnya ataupun larangan pembunuhan terhadap
binantang tertentu.
j. Pembinaan etika dalam memelihara apa yang dikonsumsi tubuh manusia maka
diberlakukan hukum kewajiban untuk memakan barang yang halal dan tayyibah
dan mengharamkan yang buruk sehingga dirincikan binatang yang tidak baik
dikonsumsi. 9

4. Sempurna
Syari’at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar
permasalahan. Oleh karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah
lantaran berubah masa dan berlainan tempatnya. Untuk hukum yang lebih rinci,
syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum.
Penjelasan dan rincinya diserahkan pada ijtihad ulama dan cendekia.

9
Ismail Muhammad Syah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hal. 114-
115.

5
Dengan menetapkan patokan tersebut syari’at Islam dapat benar-benar
menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima di semua tempat dan setiap saat.
Setiap saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis
kebijakan Al-Qur’an, sehingga mereka tidak melenceng. Penetapan Al-Qu’an
tentang hukum dalam bentuk yang global dan simpel itu dimaksudkan untuk
memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan
situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global itu diharapkan hukum
Islam dapat berlaku sepanajng masa.10
Berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi
manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini
didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis
besar permasalahannya saja. Sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun
zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al
Quran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia
untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu .11

5. Sistematis
Hukum Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum Islam itu
mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Beberapa diantaranya saling
berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contohnya saja wajibnya hukum
shalat tidak terpisahkan dengan wajibnya hukum zakat. Itu menunjukkan bahwa
Islam tidak hanya mengajarkan aspek kebatinan saja yang mengutamakan hal-hal
ukhrawi tetapi juga diperintahkan untuk mencapai aspek keduniaan, didalam Al-
Qur’an menyebutkan “…bekerjalah kamu untuk kepentingan duniawimu seakan-
akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah kamu untuk kepentingan
ukhrawimu seakan-akan kamu akan mati besok.”
Fathurrahman Djamil mengungkapkan bahwa “hukum Islam senantiasa
berhubungan satu dengan yang lainnya. Hukum Islam tidak bisa dilaksanakan

10
Miftahul Huda, FILSAFAT HUKUM ISLAM : Menggali hakikat, sumber dan tujuan hukum
Islam, (Sukses Grafia Yogyakarta, cet. 1, Agustus 2006) hal. 38.
11
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 46.

6
apabila diterapkan hanya sebagian dan ditinggalkan sebagian yang lain”. Seperti
halnya ayat di atas, kita dapat menganalisa bahwa apabila kita hanya selalu
beribadah untuk mencapai akhirat dengan mengabaikan hal-hal keduniaan, pasti
pencapaian tersebut tidak akan terwujud. Karena untuk menuju kehidupan akhirat
itu tentu kita harus menjalani kehidupan dunia ini. 12

6. Elastis
Hukum Islam juga bersifat elastis (luwes), ia meliputi segala bidang dan
lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan
rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik, serta
tuntutan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajaranya. Hukum Islam
memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang muamalah, ibadah jinayah
dan lainnya. Meski demikian ia tidaklah kaku, keras dan memaksa. Ia hanya
memberikan kaidah umum yang mesti dijalankan oleh umat manusia. 13
Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi
mengapa hukum Islam memiliki karakter elastis, yaitu:
a. Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum
(mukallaf). Penetapan-penetapan hukum bagi para subjek hukum selalu
memperhitungkan kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam menjalankan
hukum mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf (subjek
hukum) diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau keringanan (azimah
dan rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti itu mencakup 3
kategori yaitu :
1) Kondisi dari subjek hukum sendiri berupa kondisi uzur, seperti perintah shalat
tepat waktu (muassa) dapat dikerjakan secara gabungan (jamak takdim atau
ta’khir), dan lain sebagainya.

12
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 3.
13
Miftahul Huda, FILSAFAT HUKUM ISLAM : Menggali hakikat, sumber dan tujuan hukum
Islam, (Sukses Grafia Yogyakarta, cet. 1, Agustus 2006) hal. 38

7
2) Disebabkan oleh orang lain seperti berlakunya hukum qishas bagi pembunuh
dapat diganti dengan hukum diyat bila keluarga korban memaafkan tindakan
pidana tesrebut.
3) Kondisi situasional dimana keadaan sangat luar biasa seperti kelaparan
membolehkan ia memakan binatang yang diharamkan selama tidak
melampaui batas dan aniaya.
b. Segi hukum dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan
perubahan sosial. Ada 2 argumentasi yang dapat dikategorikan keelastisan
hukum Islam dalam kondisi yang dimaksud seperti ini, yakni :
1) Berdiri tegaknya hukum Islam melewati hasil-hasil produk ijtihadiyah demi
menanggapi perkembangan zaman dan perubahan sosial.
2) Kondisi hukum Islam sendiri pada umumnya merespons perkembangan
zaman dan perubahan sosial pada masa turunnya Al-Qur’an. Berlakunya
hukum talak untuk memperbaiki hukum perceraian pada masa itu. 14

7. Partikularitas
Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis.
Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah
shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang
Allah SWT berfirman : “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-
lebihan.”
Dari ayat diatas dipahami bahwa Islam tidak mengajarkan spiritual yang
mandul. Dalam hukum Islam manusia dieprintahkan mencari rezeki, tetapi hukum
Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.
Memahami realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian
yang tak terpisahkan pada pemahaman universal pada hukum Islam. Bila pada
keuniversalan hukum Islam berlaku 3 segi, maka dalam karakteristik ini juga
berlaku 3 segi pemahaman, yaitu :

14
A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik,
(Yogyakarta : Pustaka Prima, 2007), hal. 105-107.

8
a. Bila ditinjau menyangkut pemberlakuan hukum terhadap para subjek hukum
tanpa dibedakan status seseorang, kaya atau miskin dan seterusnya untuk suatu
karakter unversalitas hukum, maka atas dasar keadilan pula hukum Islam
memberlakukan hukum yang khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi
hukum atas subjek hukum. Berdasarkan keuniversalan pemberlakuan hukum,
seorang pezina siapapun ia dan status bagaimanapun tetap mendapatkan sanksi
hukum. Namun, pelaku zina yang telah kawin sanksi hukumnya adalah rajam
sedangkan yang belum pernah kawin, maka sanksi hukumnya adalah didera 100
kali dan diasingkan selama 1 tahun. Sedang bagi para budak yang melakukan
zina, maka sanksinya ½ dari orang yang merdeka. Dengan demikian, hukum
Islam memberlakukan secara universal kepada setiap orang, namun dalam
pemberlakuannya terjadi penjeratan hukum secara khusus dengan pemberlakuan
partikularistik bagi pelaku hukum.
b. Bila hukum Islam memiliki karakter sesuai dengan perhatian manusia sepanjang
sejarah manusia dalam mencipatakan hukum atau yang disebut dengan
kemanusiaan yang universal, maka hukum Islam juga memiliki hukum
kemanusiaan partikular. Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang
bukan islam, berlakunya hukum-hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan
minum khamar dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini memiliki karakteristik
yang partikular karena tidak lazim dalam norma hukum yang berkembang dalam
sejarah peradaban hukum manusia. Oleh karenanya ia disebut dengan hukum
kemanusiaan yang partikular.
c. Bila ditinjau dari berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku
untuk setiap manusia yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-
hukum lainnya tidak lagi melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya,
tetapi terhadap manusia yang telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam.
Misalnya hukum perkawinan Islam, maka daripadanya berlaku hukum talak 3
kali, khulu’ bagi isteri terhadap suami, ila’, li’an, zihar, dan lain-lain
diberlakukan bagi orang yang telah tunduk menjalankan hukum Islam dimulai
sejak akad perkawinannya secara atau berdasarkan hukum Islam. Jadi orang
yang status perkawinannya tidak berdasarkan hukum Islam tidak berlaku pula

9
hukum-hukum yang menyangkut perkawinan dalam hukum Islam. Dalam kasus
seperti demikian, hukum berkarakter partikular karena hanya menunjuk pada
manusia tertentu saja15

8. Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli


Hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang
fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman
kepadaNya. Dan segala konsekuensi berupa ibadah yang mengandung sifat
ta’abuddi murni yang artinya makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya
tidak dapat dinalar (ghoiru ma’qula al ma’na) atau irrasional. Hal yang dapat
dipahami dari sifat ta’abud ini hanyalah kepatuhan pada perintah Allah swt,
merendahkan diri kepada Nya dan mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli
ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na)
atau rasional. Maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan
pemikiran manusia. Illat dari muamalah yang bersifat ta’aquli dapat dirasionalkan
dengan melihat ada maslahat atau madlarat yang terkandung di dalamnya. Sesuatu
yang dilarang karena ada madlaratnya dan diperintahkan karena ada maslahat di
dalamnya. 16

9. Estetik
Pengertian yang lazim untuk estetik adalah keindahan. Pesan dasar yang bisa
ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan
(maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalah
puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.
Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik
hukum Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah
seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum

15
Ismail Muhammad Syah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,1992), hal. 109-
111
16
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 4.

10
memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum
melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam,
I’tikaf di masjid, puasa sunnat dan sadaqah.
Karakter hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam
berbagai lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat
di antara panca ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan
tahsiniyah (estetik) maslahat hukum. 17

17
Ismail Muhammad Syah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hal.
117-118

11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sifat dan Karakteristik hukum Islam :
1. Bersifat Universal : Ajaran hukum Islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh
alam tanpa terkecuali, tidak dibatasi daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaran-
ajaran Nabi sebelumnya.
2. Kemanusiaan : Hukum Islam mensyari’atkan wajib tolong menolong seperti
dalam ajaran zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan sebagainya.
3. Moralitas : Relasi antara moral dan hukum merupakan karakteristik terpenting
dari kajian hukum Islam. Dalam hukum Islam antara keduanya tidak ada
pemisahan, jadi pembahasan hukum Islam juga didalamnya termasuk
pembahasan dalam moralitas.
4. Sempurna : Syari’at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar
permasalahan. Oleh karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-
ubah lantaran berubah masa dan berlainan tempatnya.
5. Sistematis : Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat
bertalian. Beberapa diantaranya saling berhubungan antara satu dengan yang
lainnya.
6. Elastis : Meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan
kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk,
hubungan makhluk dengan Khalik.
7. Partikularitas : Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian
secara logis
8. Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli.
9. Estetik : Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan
didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers
2014)
Muhammad Hasdin Has, Kajian Filsafat Hukum Islam Dalam Al-Qur’an, Jurnal
Al-Adl , Vol.08, No. 02 (Juli 2015)
Miftahul Huda, FILSAFAT HUKUM ISLAM : Menggali hakikat, sumber dan tujuan
hukum Islam, (Sukses Grafia Yogyakarta, cet. 1, Agustus 2006
A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam
Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima, 2007)
Ismail Muhammad Syah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,
1992)
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997)
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001)

13

Anda mungkin juga menyukai