Anda di halaman 1dari 21

QANUN ASASI

(Kajian Tentang Prinsip Dasar Nahdlatul Ulama )

MAKALAH

diajukan guna melengkapi dan memenuhi tugas mata kuliah


Aswaja An-Nahdliyah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Jember

Dosen pengampu
Achmad Faisol, M.Pd.I

Oleh
Kelompok 9

Haris Nur Afif ( 1803402037 )


Amelia Masdelina ( 1803402038 )

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS K EGURUAN DAN ILM U PENDIDIK AN
UNIVERSITAS ISLAM JEMBER
2019
2

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qanun Asasi
Nahdlatul Ulama yang dalam bentuk maupun isinya sangat sederhana. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca. Harapan penyusun, semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga penyusun dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini penyusun akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
penyusun miliki sangat kurang. Oleh karena itu penyusun harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini serta penulisan selanjutnya, terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jember, 16 Mei 2019


Penyusun
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................ 2
DAFTAR ISI ...................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 4
1.1 Latar Belakang...................................................................... 5
1.2 Rumusan Masalah................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................. 5
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 6
2.1 Qanun Asasi NU .................................................................. 6
2.1.1 Pengertian Qanun Asasi .............................................. 6
2.1.2 Pengertian NU ............................................................ 6
2.1.3 Pengertian Qanun Asasi NU ....................................... 6
2.2 Esensi Qanun Asasi NU ....................................................... 7
2.2.1 Paham Aswaja NU...................................................... 7
2.2.2 Fikrah Aswaja An-Nahdliyah...................................... 8
2.2.3 Implementasi Qanun Asasi Bagi Warga Nahdliyin...... 8
BAB III PEMBAHASAN .................................................................. 9
3.1 Arti Dan Prinsip Pendirian NU ............................................ 9
3.1.1 Arti Nahdlatul Ulama ................................................. 9
3.1.2 Prinsip Pendirian Nahdlatul Ulama ............................. 9
3.2 Pedoman, Aqidah, Dan Asas NU ......................................... 11
3.2.1 Pedoman Nahdlatul Ulama ......................................... 11
3.2.2 Aqidah Nahdlatul Ulama ............................................ 12
3.2.3 Asas-Asas Nahdlatul Ulama ....................................... 12
3.3 Tujuan Dan Usaha Berdirinya NU ....................................... 13
3.3.1 Tujuan Berdirinya NU ................................................ 13
3.3.2 Usaha-Usaha (Ikhtiar) NU .......................................... 14
3.4 Nilai-Nilai Ajaran NU Dalam Perspektif Qanun Asasi ......... 16
3.4.1 Iman Dan Taqwa Sebagai Asas Persatuan ................... 16
3.4.2 Teologi Kaum Nahdliyin ............................................ 18
3.4.3 NU dan Kehidupan Bernegara .................................... 19
BAB IV PENUTUP ......................................................................... 20
4.1 Kesimpulan ......................................................................... 20
4.2 Saran ................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 21
4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi Islam di Indonesia yang
menganut firqoh Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mengedepankan prinsip Tawasuth
(moderat), Tasamuh (toleransi), Tawazun (keseimbangan), Ta’addul (keadilan) &
Tatharruf (non-ekstrimitas/tidak beraliran Islam garis keras) dalam usaha menjaga &
memelihara kerukunan umat Islam. Sehingga NU sama sekali bukan organisasi yang
merasa paling benar dalam menentukan hukum Islam. Namun NU akan selalu
menunjukkan fakta dan bukti objektif tentang dalil mana yang paling kuat sebagai
sandaran hukum Islam.
Definisi resmi tentang Nahdlatul Ulama atau ke-NU-an adalah, seperti tertuang
dalam Qanun Asasi, bahwa NU adalah organisasi yang beraqidah Islam Ahlussunnah Wal
Jama’ah dengan menempuh manhaj dalam bidang fiqih salah satu madzhab empat: Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i atau Imam Hambali. Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi manhaj dalam bidang teologi. Imam Al-Ghazali dan Junaidi Al-
Baghdadi manhaj dalam bidang tasawwuf dan Al-Mawardi manhaj dalam bidang siyasah. 1
Qanun Asasi dirumuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk menegakkan prinsip-prinsip
ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan prinsip dasar organisasi. Perumusan tersebut
dilakukan sebagai dasar utama untuk pengambilan sumber hukum sebuah organisasi yang
diwajibkan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Al Muqaddimah Al Qanun Al Asasi
Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama’ yang menjadi prinsip dasar Nahdlatul Ulama (NU),
antara lain: Persatuan Kebangsaan, Persatuan Keagamaan, Kebutuhan akan Madzhab,
Pelurusan Fenomena Keagamaan, dan Refleksi Sejarah serta dijadikan dasar dan rujukan
sebagai warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan
politik.2
Nahdlatul Ulama (NU) pada dasarnya adalah sebuah identitas kultural keagamaan
yang dianut mayoritas umat Islam di Nusantara. NU hadir antara lain sebagai reaksi atas
gerakan puritanisme (pemurnian Islam) dari bid’ah, tahayyul, dan khurafat. Dimana

1
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 25.
2
Mudzakkir Ali, Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Semarang: Wahid Hasyim University
Press, 2014, hlm. 245.
5

gerakan puritanisme ini adalah gerakan yang gemar menuding pihak lain sebagai ahli
bid’ah dan sesat.3
Bagi kaum Nahdliyin, perbedaan tafsir, madzhab, atau aliran dalam tiap-tiap agama
adalah cermin dari keluasan makna yang terkandung dalam ajaran kitab-kitab suci.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bagian dari agama Islam harus diyakini akan mampu
menolong dan menyelamatkan umat, serta berbuat demi kemaslahatan umat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, fokus permasalahan yang akan menjadi
pembahasan dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1. Bagaimanakah konsep dasar Qanun Asasi?
2. Apa saja isi pokok dalam Qanun Asasi?
3. Bagaimanakah implementasi isi pokok Qanun Asasi untuk kemaslahatan?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan makalah ini,
antara lain:
1. Untuk mengetahui tentang konsep dasar Qanun Asasi;
2. Untuk mengetahui isi pokok dalam Qanun Asasi;
3. Untuk mengetahui implementasi isi pokok Qanun Asasi untuk kemaslahatan.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan serta meneguhkan
keyakinan (hujjah) kepada Kaum Nahdliyin atas keabsahan tradisi keagamaannya, serta
semakin meneguhkan tradisi orang-orang NU sehingga diharapkan mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.

3
Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip Hilmy
Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia, hal.115.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (NU)


2.1.1 Pengertian Qanun Asasi
Qanun Asasi adalah konstitusi dasar, aturan dasar, dan prinsip dasar yang
dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, di dalam Qanun tersebut dijelaskan
bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan sebuah paham keagamaan dimana dalam
bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang
fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-
Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali. 4
KH. Hasyim Asy’ari, merumuskan patokan cara beragama dan bertradisi Islam di
Nusantara pada empat dan dua mazhab (dalam tasawuf), maka hal itu sebagai satu titik
masuk “mencari satu tahapan puncak kemajuan yang dilalui tradisi kita”, sebagaimana
yang dikenal dalam kedelapan mazhab itu.5

2.1.2 Pengertian Nahdlatul Ulama (NU)


Secara etimologi, Nahdlatul Ulama terdiri dari dua kata bahasa Arab, nahdlah
artinya “bangkit”, “bangun”, “loncatan”, dan al-ulama’ artinya “kelompok agamawan”.
Sedangkan secara epistemologi, Nahdlatul Ulama adalah komunitas cendekiawan (ulama)
yang mampu menerima, melestarikan, dan meneruskan tradisi dan budaya generasi
sebelumnya serta mampu melakukan eksplorasi, inovasi dan kreasi yang lebih baik dan
bermanfaat.6
Dengan demikian NU secara spesifik mempunyai kesadaran historis dan
kemampuan mereformasi kondisi yang secara kultural maupun pemikiran yang relevan,
artinya sesuai dengan kebutuhan umat di masa lampau, masa kini, dan di masa yang akan
datang. Hal ini diharapkan menjadi pedoman bagi kaum Nahdliyin dalam berpikir dan
bertindak untuk kemaslahatan umat.

2.1.3 Pengertian Qanun Asasi Bagi Nahdlatul Ulama (NU)


Qonun asasi berarti aturan dasar. Bagi Nahdlatul Ulama (NU), qanun asasi adalah
pokok pikiran, pendirian dan pedoman dasar bagi perjalanan Organisasi NU. Qanun asasi
sendiri merupakan Pidato Rois Akbar NU Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan

4
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007, hlm. 45.
5
Agus Sunyoto, dkk. KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri, Jakarta: Dirjen
Kemendikbud RI, 2017, hlm. 19.
6
Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip Hilmy
Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia, hal.120.
7

Naskah Khittah Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU pertama di Surabaya. Qanun asasi
merupakan bagian tak terpisahkan dari Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama.7
K.H. Hasyim Asy’ari menegaskan prinsip dasar organisasi NU. Rumusan beliau
tuangkan dalam Kitab Al Muqaddimah Al Qanun Al Asasi Li Jam’iyyah Nahdhatul
Ulama’ yang menjadi prinsip dasar Nahdlatul Ulama (NU), kemudian juga merumuskan
Kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian direalisasikan
dalam Khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir
dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. 8

3.2 Esensi Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (NU)


Sebagai organisasi sosial keagamaaan, AD/ART NU tentulah mengarah kepada
harakah ishlahiyyah (gerakan perbaikan), karena NU sendiri merupakan jam’iyyah
ishlahiyyah/organisasi perbaikan. Gerakan perbaikan tersebut meliputi langkah penguatan
umat secara moderat, dinamis, dan manhajiy/metodologis. Dan langkah himayatul ummah
(melindungi dan menjaga umat) secara layyin (halus), tathawwu’ (sukarela) dan
tawaddud-tarahum (cinta kasih).9

2.2.1 Paham Keagamaan Ahlussunnah Wal Jama’ah NU


K.H. Hasyim Asy’ari menegaskan prinsip dasar organisasi NU. Rumusan beliau
tuangkan dalam Kitab Al Muqaddimah Al Qanun Al Asasi Li Jam’iyyah Nahdhatul
Ulama’ yang menjadi prinsip dasar Nahdlatul Ulama (NU), kemudian juga merumuskan
Kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian direalisasikan
dalam Khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir
dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. 10
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah NU yang termuat dalam qanun asasi meliputi
aspek aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan satu kesatuan ajaran yang
mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam yang didasarkan pada manhaj (pola
pikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, empat madzhab besar dalam
bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan dalam bidang tasawwuf menganut
manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi. 11

7
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim, 2015,
hlm. xii.
8
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2000, hlm. 30.
9
Loc. Cit., PBNU, 2015, hlm. vii.
10
Ibid., hlm. 31.
11
Mudzakkir Ali, Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Semarang: Wahid Hasyim University
Press, 2014, hlm. 240.
8

2.2.2 Fikrah / Pola Pikir Aswaja An-Nahdliyah


Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola
pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim
naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.12
Penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial dan
bertujuan merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
membangkitkan kembali pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

2.2.3 Implementasi Qanun Asasi Terhadap NU / Nahdliyin


Implementasi qanun asasi terhadap NU/Nahdliyin adalah menyamakan langkah
sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni
pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sektor dan bidang kehidupan baik dalam
bidang aqidah, syariah, akhlaq, sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain
sebagainya. 13

12
Ibid., hlm. 245.
13
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama‟ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda,
2008), hlm. 9.
9

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Arti Dan Prinsip Pendirian Nahdlatul Ulama


3.1.1 Arti Nahdlatul Ulama
Definisi resmi tentang Nahdlatul Ulama atau ke-NU-an adalah, seperti tertuang
dalam Qanun Asasi, bahwa NU adalah organisasi yang beraqidah Islam Ahlussunnah Wal
Jama’ah dengan menempuh manhaj dalam bidang fiqih salah satu madzhab empat: Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i atau Imam Hambali. Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi manhaj dalam bidang teologi. Imam Al-Ghazali dan Junaidi Al-
Baghdadi manhaj dalam bidang tasawwuf dan Al-Mawardi manhaj dalam bidang
siyasah.14
Hal tersebut menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan gerakan
keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan
masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tentram,
adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar
yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan, yang membentuk kepribadian khas
Nahdlatul Ulama.

3.1.2 Prinsip Pendirian Nahdlatul Ulama


Dalam rumusan Khittah Nadhalatul Ulama ditegaskan bahwa Nahdlatul Ulama
adalah jamiyah (organisasi) keagamaan yang berpaham Ahlussunah wal Jama’ah,
berhaluan salah satu dari madzhab empat yang terobsesi meningkatkan kualitas manusia
bertakwa.15
Nahdlatul Ulama berarti Jam’iyah Diniyah yang bermotif keagamaan dan
berlandaskan keagamaan sehingga segala sikap, perilaku, dan karakteristik perjuangannya
selalu disesuaikan dan diukur dengan norma dan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Bagi NU, ranah perjuangan tidak hanya berupa perjuangan simbolis, tetapi adalah
perjuangan nilai-nilai moralitas yang akan memperkokoh tatanan sebuah negara. Maka,
yang harus diperjuangkan adalah nilai-nilai yang merupakan tegaknya tatanan sebuah
negara, seperti:
- Pertama, mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah (al-syura’);
- Kedua, ditegakkannya keadilan (al-‘adl);
- Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-hurriyah) dalam menjalankan rukun Islam yang
lima (al-ushul al-khamsah);

14
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 25.
15
Rumusan Khittah NU bagian Muqadimah, doc. Lakpesdam NU.
10

- Keempat, adanya kesetaraan derajat (al-musawah), di mana semua warga negara


memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan hak dan menjalankan
kewajiban.16

Jika prinsip-prinsip tersebut ditegakkan dengan baik, negara akan mampu


menjalankan amanat dan mandatnya untuk melayani rakyat.
Harus diakui bahwa para pendiri NU telah berhasil melestarikan karakter
keindonesiaan dalam keislaman, dan sebaliknya karakter keislaman dalam keindonesiaan.
Bagi NU, kedua entitas tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, tetapi justru
bisa disinergikan untuk kemaslahatan bangsa. NU sejak pra-kemerdekaan sudah
meletakkan fondasi kebangsaan yang sangat penting, sebagaimana dikenal dalam diktum
hubbul wathan minal iman (cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman). Hadits ini
merupakan landasan paradigmatis yang mempunyai kesesuaian antara paradigma
keagamaan dan paradigma kebangsaan.17
Sebagai sebuah gerakan kultural, NU telah terbukti memberikan sumbangsih yang
sangat berharga bagi bangsa ini, yaitu dalam melahirkan konstitusi yang egaliter, plural,
dan inklusif. Ini tak lain karena sejalan dengan qanun asasi (pijakan dasar NU), yakni
sebagai organisasi yang toleran, moderat, dan terbuka.
Cara pandang seperti itu semakin memperkukuh posisi NU sebagai organisasi
sosial-keagamaan yang mempunyai kultur intelektualisme yang bersifat dinamis dan
kontekstual. Cara pandang ini telah memungkinkan NU berperan lebih besar dalam isu-isu
yang bersifat mondial, seperti demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Sebagai
kelompok moderat, NU tidak merasakan dirinya kehilangan pijakan khazanah keislaman
klasik. Sedangkan di pihak lain, NU mampu beradaptasi dengan realitas pemikiran
kontemporer yang bersifat lintas agama dan lintas batas nasionalitas.18
Lebih jauh lagi, dalam hal ini, moderasi NU bukanlah moderasi pasif yang hanya
berhenti pada tataran ide. Moderasi NU pada hakikatnya adalah sebuah jalan alternatif
untuk tujuan penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil. Komitmen NU pada
demokrasi dan kewarganegaraan membuktikan bahwa moderasi tidak hanya dalam rangka
melawan puritanisme, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana menjadikan umat
ini lebih sejahtera, mandiri dan terdidik. Tidak pada tempatnya segala tanggung jawab
diserahkan kepada negara. Masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok
moderat harus melakukan sesuatu untuk kemajuan dan kebangkitan bangsa. 19

16
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 27.
17
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 21.
18
Ibid., hlm. 28.
19
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007, hlm. 50.
11

3.2 Pedoman, Aqidah, dan Asas NU


3.2.1 Pedoman NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab II Pasal 4 dinyatakan bahwa: Nahdlatul
Ulama berpedoman kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.20
Hukum agama dalam Islam bersumber pada kedua sumber tekstual Al-Qur’an dan
Sunnah (tradisi) Nabi, konsensus (ijma’) dan analogi (qiyas). Dapat juga sumber itu
diringkas menjadi kedua sumber tekstual di atas, karena pada hakikatnya semua upaya
mencapai konsensus dan melakukan analogi hanyalah berfungsi subordinatif kepada
kedua sumber tekstual tersebut. Sumber-sumber hukum tersebut berfungsi dengan cara
sangat sederhana di bidang hukum: melakukan kategorisasi atas semua perbuatan atau
tindakan manusia. Kategorisasi dilakukan dengan jalan menempatkan perbuatan atau
tindakan itu ke dalam salah satu dan lima kategori berikut: wajib atau fardhu,
diseyogyakan (sunnah), diperkenankan (mubah), tidak diseyogyakan (makruh) dan
terlarang (haram).
Selain itu, Adapun alasan kenapa NU dalam bidang hukum islam lebih berpedoman
kepada salah satu dari empat mazhab :21
- Pertama, Al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama yang bersifat
Universal, sehingga hanya Nabi Muhammad SAW yang tahu secara mendetail maksud
dan tujuan apa yang terkandung dalam al Quran. Nabi saw sendiri menunjukan dan
menjelaskan makna dan maksud dari al Quran tersebut melalui sunnah-sunnah beliau,
yatu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir.
- Kedua, Sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang berupa perkataan , perbuatan dan taqrir
yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup bersama (semasa) dengan beliau,
oleh karena itu perlu untuk memeriksa, menyelidiki, dan selanjutnya berpedoman pada
keterangan-keterangan para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak
memperbolehkan untuk mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu
untuk mendapatkan kepastian dan kemantaban, maka jalan yang ditempuh adalah
merujuk pada ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam mazhab yang empat,
artinya bahwa dalam mengambil dan mengunakan produk fiqh (hukum Islam) dari
ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum
dijadikan pedoman dan landasan bagi Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, untuk
meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh dalam NU ada suatu forum pengkajian
produk-produk hukum fiqh yang bisa disebut “Bahsul Masail Ad-Diniyah
(pembahasan masalah-masalah keagamaan)”. Jadi dalam forum ini berbagai masalah

20
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim, 2015,
hlm. 38.
21
Loc. Cit., Mutawir Abdul, 2007, hlm. 55.
12

keagamaan akan digodok dan diutuskan hukumnya yang selanjutnya keputusan


tersebut akan menjadi pegangan bagi Nahdlatul Ulama.

3.2.2 Aqidah NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab II Pasal 5 dinyatakan bahwa: Nahdlatul
Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah
mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi;
dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Bagdadi dan
Abu Hamid al-Ghazali. 22
Pemilihan madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah didasari pertimbangan bahwa
madzhab ini merupakan madzhab mayoritas di dunia Islam yang menjadi pegangan ulama-
ulama salaf shaleh, sehingga kualitas kebenarannya tidak diragukan lagi. Oleh karena itu,
bertaqlid pada salah satu madzhab tertentu menjamin pada hakikat kebenaran, lebih dekat
pada ketelitian, dan lebih mudah mendapatkan ajaran islam. Inilah yang telah dianut oleh
para ulama salaf shaleh dikalangan umat Islam.
Adapun masyarakat Islam dianjurkan bertaqwa kepada Allah SWT dengan
sungguh-sungguh, mempertahankan agama Islam hingga akhir hayat, menjalin
persaudaraan, menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, kerabat, dan
saudara, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, tolong menolong
dalam kebaikan, dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang
dilakukan para ulama seperti: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam
Ahmad bin Hanbal.
Berdasarkan pertimbangan kualitas kebenaran yang dipegangi oleh mayoritas
ulama dan umat Islam inilah maka KH Hasyim Asy’ari mengajak umat Islam agar
mengikuti madzhab mayoritas dunia Islam, serta merumuskannya dalam Qanun Asasi.
Karena kebenaran madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak diragukan lagi, maka umat
Islam berkewajiban untuk mempertahankan madzhab ini sebagai pegangan dalam
kehidupan beragama. Disamping itu, secara sosiologis masyarakat Indonesia (Jawa) dalam
kesehariannya telah berpegang pada Ahlussunnah Wal Jama’ah.

3.2.3 Asas NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab II Pasal 6 dinyatakan bahwa: Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Nahdlatul Ulama berasas kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.23

22
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim, 2015,
hlm. 38.
23
Ibid., hlm. 38.
13

Penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila melalui Muktamar NU ke-27 di


Situbondo 1984. Komitmen NU pada finalitas Pancasila dan UUD 1945 ini merupakan
refleksi dari moderasi NU yang memandang kebhinnekaan sebagai sebuah sunnatullah,
yang harus dirayakan, dihargai, dan digunakan sebagai potensi untuk membangun
kekuatan demokrasi yang melayani dan memberdayakan umat.24
Bagi kalangan yang biasa dikenal dengan sebutan “muslim tradisionalis” ini,
memilih Pancasila merupakan sebuah keniscayaan teologis dan sosiologis. Secara teologis,
tidak ada keharusan untuk memilih ideologi negara Islam. Sedangkan secara sosiologis,
bangsa ini dihadapkan pada fakta keragaman agama, suku, bahasa, dan ras. Karena itu,
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan pilihan terbaik untuk semua kalangan.
Dalam hal ini harus diakui bahwa para pendiri NU telah berhasil melestarikan karakter
keindonesiaan dalam keislaman, dan sebaliknya karakter keislaman dalam keindonesiaan.
K.H. Sholahuddin Wahid, atau yang diakrab disapa dengan panggilan Gus Sholah,
dalam sebuah artikelnya di Harian Kompas Nahdlatul Ulama dan Pancasila, mengisahkan
penalaran yang diusulkan Kyai Achmad Siddiq perihal perlunya menerima Pancasila
sebagai dasar negara. Sebab, jika Islam dijadikan dasar negara, dapat diartikan Islam
sejajar dengan paham-paham lainnya. Padahal, Islam diyakini sebagai agama yang
kedudukannya sangat mulia, bahkan mengatasi paham-paham lainnya.
Kyai Achmad Siddiq menegaskan, “Pancasila adalah bentuk final dari upaya
membentuk negara oleh seluruh bangsa Indonesia”. Lebih kurang 38 tahun umat Islam
menerima Pancasila tanpa ada pihak yang mempersoalkan kehalalan dan keharamannya.
Jadi, sebenarnya Islam dapat memperkokoh Pancasila dan mendorong agar sila-sila yang
terdapat di dalamnya bisa diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Mendengar alasan-
alasan tersebut, sejumlah kyai semakin mantap dengan Pancasila, dan hingga sekarang ini
di dalam internal NU tidak ada lagi pihak yang mempersoalkan Pancasila.25

3.3 Tujuan dan Usaha Berdirinya NU


3.3.1 Tujuan Berdirinya NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab IV Pasal 8 dinyatakan bahwa :26
1) Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan / jam’iyyah diniyyah islamiyyah ijtima’iyyah
(organisasi sosial keagamaan Islam) untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat,
kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan martabat manusia;

24
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 21.
25
Ibid., hlm. 22.
26
Loc. Cit., PBNU, 2015, hlm. 39.
14

2) Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham
Ahlusunnah wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan
demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta;

Kemaslahatan itu hanya muncul kalau orang bersatu, guyub, mengedepankan titik-
temu, dan suka berkumpul termasuk makan-makan. Ingat tradisi kompolan di Madura,
kendurenan dan cangkrukan di Jawa. Hakikat “kumpulan” ini kemudian dilembagakan
oleh para Wali ke dalam bahasa “hukum adat” sebagai salah satu pilar dari empat pilar
hukum Islam Nusantara: hukum akal, hukum syara’, hukum adat, dan hukum fa’al
(yurisprudensi). Kalau hukum syara misalnya mengajarkan ajaran-ajaran normatif agama,
maka hukum adat mengajarkan bagaimana hukum agama itu dilaksanakan dalam suasana
guyub dan gotong-royong. Muncullah ijtihad halal bihalal, misalnya, seperti dikenal kini.
Di sini ajaran tekstual agama, Quran dan Hadis, tidak dipertentangkan dengan adat, tapi
dicari titik-temu dan penguatannya masing-masing.27
Kembalinya NU kepada Khittahnya 1926, menegaskan kembali tujuan awal
didirikannya mengurusi persoalan agama, pendidikan, sosial kemasyarakatan saja,
artinya NU meninggalkan politik praktis dengan pertimbangan bahwa selama ini NU
terlampau mengedepankan politik yang kenyataanya bukan semata-mata kepentingan
organisasi melainkan untuk kepentingan pribadi-pribadi daripada urusan sosial
keagamaan.28

3.3.2 Usaha-Usaha NU (Ikhtiar NU)


Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab IV Pasal 9 dinyatakan bahwa: Untuk
mewujudkan tujuan sebagaimana Pasal 8 di atas, maka Nahdlatul Ulama melaksanakan
usaha-usaha sebagai berikut :29
1) Di bidang agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang menganut faham
Ahlusunnah wal Jama’ah;
2) Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengupayakan terwujudnya
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan
yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang
takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama,
bangsa dan negara;

27
Ibid., hlm. 20.
28
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992, hlm. 2.
29
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim, 2015,
hlm. 48.
15

3) Di bidang sosial, mengupayakan dan mendorong pemberdayaan di bidang


kesehatan, kemaslahatan dan ketahanan keluarga, dan pendampingan masyarakat
yang terpinggirkan (mustadl’afin);
4) Di bidang ekonomi, mengupayakan peningkatan pendapatan masyarakat dan
lapangan kerja/usaha untuk kemakmuran yang merata;
5) Mengembangkan usaha-usaha lain melalui kerjasama dengan pihak dalam maupun
luar negeri yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khairu
Ummah.

Hal-hal yang tertuang dalam Anggaran Dasar NU diatas masih relevan dengan
Qanun Asasi pertama yang dirumuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Sejak berdirinya
Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang utama kegiatan sebagai ikhtiyar untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan berdirinya, baik tujuan yang bersifat keagamaan
maupun kemasyarakatan. Ikhtiyar-ikhtiyar tersebut adalah:30
1) Peningkatan silaturahim, komunikasi, relasi-relasi antar ulama (Dalam Statoeten
Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: mengadakan perhoeboengan diantara
oelama-oelama jang bermadzhab);
2) Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan. (Dalam Statoeten
Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: Memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai
oentoek mengadjar, soepadja diketahoei apakah itoe daripada kitab-kitab
assoennah wal djama’ah ataoe kitab-kitab ahli bid’ah; memperbanjak madrasah-
madrasah jang berdasar agama Islam);
3) Peningkatan penyiaran Islam, membangun sarana-sarana peribadatan dan pelayanan
sosial. (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: Menjiarkan agama
Islam dengan djalan apa sadja jang halal; memperhatikan hal-hal jang
berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe dan pondokpondok,
begitoe djoega dengan hal ikhwalnya anakanak jatim dan orang fakir miskin);
4) Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah.
(Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: Mendirikan badan-badan
oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada
dilarang oleh sjara’ agama Islam).

Kegiatan-kegiatan yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada awal berdiri dan
khidmahnya menunjukkan pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus-menerus
membangun hubungan dan komunikasi antar para ulama sebagai pemimpin masyarakat;
serta adanya keprihatinan atas nasib manusia yang terjerat oleh keterbelakangan,

30
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 46-48.
16

kebodohan dan kemiskinan. Sejak semula Nahdlatul Ulama melihat masalah ini sebagai
bidang garapan yang harus dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan nyata. Pilihan akan
ikhtiyar yang dilakukan mendasari kegiatan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa dengan
tujuan untuk melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan masyarakat, terutama
dengan mendorong swadaya masyarakat sendiri.31
Nahdlatul Ulama sejak semula meyakini bahwa persatuan dan kesatuan para ulama
dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah Islamiyah, kegiatan sosial serta
perekonomian adalah masalah yang tidak bisa dipisahkan untuk mengubah masyarakat
yang terbelakang, bodoh dan miskin menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan
berakhlak mulia. Pilihan kegiatan Nahdlatul Ulama tersebut sekaligus menumbuhkan
sikap partisipatif kepada setiap usaha yang bertujuan membawa masyarakat kepada
kehidupan yang maslahat. Sehingga setiap kegiatan Nahdlatul Ulama untuk kemaslahatan
manusia dipandang sebagai perwujudan amal ibadah yang didasarkan pada faham
keagamaan yang dianutnya.

3.4 Nilai-Nilai Ajaran NU Dalam Perspektif Qanun Asasi


3.4.1 Iman dan Taqwa (Tauhid) Sebagai Asas Persatuan
Persatuan umat Islam merupakan konsekuensi logis adanya konsep persaudaraan
yang dibangun berdasar atas keyakinan/iman (ukhuwah Islamiyah). Atas dasar ini,
Rasulullah SAW. melakukan integrasi antara kaum Ansor (penduduk pribumi Madinah)
dengan kaum imigran (Muhajirin) melalui konsep ukhuwah yang dibangun atas iman.
Persaudaran berasas Iman ini mengikat kelompok-kelompok berbeda di Yatsrib hingga
mereka menjadi satu kesatuan tak terpisahkan mengalahkan persaudaraan yang berasas
pada garis darah. Di kemudian hari, integrasi berdasar iman tersebut mampu membawa
masyarakat Madinah menjadi masyarakat beradab melampaui masyarakat lain di saat itu.32
Dalam konteks berbeda, identitas berdasar agama (Islam) diyakini memberikan
kontribusi signifikan dalam proses pembangunan identitas keindonesiaan. Berawal dari
identitas keislaman, masyarakat kepulauan Nusantara yang terpisah secara geografis,
kultural, suku, kerajaan dan bahasa berhasil bersatu membentuk identitas bersama yang di
kemudian hari kita sebut sebagai Indonesia.
Gagasan tentang persatuan umat Islam saat ini menjadi sesuatu yang sangat penting
bahkan mendesak dilakukan dan disebarkan ke masyarakat muslim mengingat kondisi
kekinian umat Islam yang semakin terpecah belah dan terjebak dalam gesekan dan konflik,
baik yang berwarna politik, ekonomi ataupun perbedaan keyakinan.

31
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 49.
32
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 25.
17

Fenomena konflik yang semakin menyebar di berbagai negara Islam (termasuk


Indonesia) patut dijadikan bahan refleksi tentang perlunya penyebaran ide-ide persaudaran
dan persatuan di tengah-tengah masyarakat Muslim. Upaya ini perlu dilakukan mengingat
umat Islam merupakan satu saudara sehingga sesama Muslim merupakan satu tubuh yang
saling terkait-menguatkan. Acuh terhadap konflik dan gesekan yang terjadi dapat merusak
persaudaraan yang berujung pada perpecahan umat Islam. Alhasil, kondisi itu akan
mengakibatkan tidak tercapainya misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan realitas dan kebenaran dipahami dengan
metode yang menyatukan (tawhîd). Pandangan dunia/hidup Islam bersumber kepada
wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan
pengamalannya, ibadahnya, doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan
dijelaskan oleh Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan
progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-
ma'lûm min al-dîn bi al-dharûrah). Pandangan dunia/hidup Islam terdiri dari berbagai
konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia,
ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut
yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan. Pandangan hidup
Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya,
peradaban dan agama lain. 33
Orientasi tauhid sebagai kekuatan yang menggerakkan persatuan umat Islam
mengindikasikan bahwa tauhid bukan saja berkaitan dengan beriman kepada Tuhan yang
Maha Esa seperti yang diyakini selama ini, melainkan juga kesatuan penciptaan (unity of
creation), kesatuan manusia (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of
guidance) dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life). Seluruh pandangan hidup
tersebut merupakan derivasi dari kesatuan Tuhan (unity of Godhead).34
Imperatif persatuan umat yang dibangun atas dasar kesamaan iman merupakan
implikasi jauh dari tauhid juga menjadi cita-cita KH. Hasyim Asy'ari. Dengan bahasa yang
agak serupa, KH. Hasyim Asy'ari menekankan persatuan umat yang dibangun atas dasar
faktor kesamaan agama. Persatuan akan mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dan
menghindarkan dari bahaya yang mengancam. Persatuan merupakan prasyarat utama
untuk menciptakan kemakmuran sekaligus mendorong terjalinnya moral welas asih antar
sesama umat. Sebaliknya, perpecahan dan memutuskan hubungan persaudaraan adalah
perbuatan dosa besar dan kejahatan yang keji. KH. Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa,

33
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007, hlm. 55.
34
Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam, Jakarta: Kemenag RI, 2012, hlm. 155.
18

persatuan telah terbukti mendatangkan kemakmuran negeri, kesejahteraan rakyat,


tersemainya peradaban, dan kemajuan negeri. 35
KH. Hasyim Asy'ari mencoba menggabungkan antara sentimen keagamaan dengan
geografis agar terwujudnya persatuan umat Islam Nusantara. Artikulasi pemikiran KH.
Hasyim Asy'ari tersebut menegaskan bahwa sejak kedatangan dan perkembangan awalnya
di Indonesia, Islam, mengutip Azyumardi Azra, tidak hanya menjadi faktor penting yang
menyatukan masyarakat Nusantara secara keagamaan, tetapi juga memberikan basis ikatan
solidaritas sosial-politik yang kokoh.36

3.4.2 Teologi Kaum Nahdliyin


Dengan berpangkal pada doktrin Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja) yang dianut
dan dikembangkan, maka dalam berbagai gerak dan langkahnya, NU senantiasa
memperlihatkan watak yang fleksibel dalam menerjemahkan dan menerima realitas.
Dalam hal ini, selalu terbuka peluang bagi para pengikutnya untuk menginterpretasikan
realitas, baik yang bersifat given, dalam arti bahwa teks-teks keagamaan yang dirujuk
untuk “melegitimasi” realitas tersebut sudah ada dan dilakukan oleh para ulama yang
dalam tradisi NU berkedudukan sebagai mujtahid.
Pemahaman Aswaja tidak semata pemahaman secara fiqhiyah, tetapi kini menjadi
kerangka manhaj al-fikr (metode berfikir) dengan harapan memberikan kesempatan yang
luas bagi umatnya untuk melakukan kreasi-kreasi orisinal dan inovatif sesuai dengan
perkembangan zaman yang mereka hadapi. Menjadikan doktrin agama tetap dilihat
sebagai pesan suci, dan berbekal akal pikiran, dengan melakukan eksperimentasi dalam
tindakan sosial warga Nahdlatul Ulama berteologikan faham Ahlussunnah Wal Jamaah
(Aswaja) dengan pandangan yang sederhana, pengertian Aswaja dibatasi pada mazhab-
mazhab tertentu, misalnya dalam masalah akidah mengikuti aliran Imam Abu Hasan Al-
Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, dalam fiqh mengikuti faham Muhammad bin Idris
al-Syafi’i, dan dalam bertasawuf mengikuti Abu al-Qosim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu
Hamid al-Ghazali. 37
Mayoritas kaum Nahdliyyin, baru mengenal Aswaja secara sekilas dan elementer,
lalu kemudian tidaklah heran bila Aswaja dalam kelompok ini mempunyai ciri-ciri praktis,
memakai kata sayyidina (yang kami mulyakan) dalam menyebut nama Nabi Muhammad
Saw. Mengamalkan qunut dalam shalat shubuh, 20 rakaat dalam shalat tarawih, tahlil,
marhabanan dalam upacara syukuran hari kelahiran, membaca manakib dan cenderung
mengakomodir terhadap tradisi lokal.

35
Ibid., hlm. 156.
36
Azyumardi Azra, "Antara Kesetiaan dan Perbenturan: Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia
dan Malaysia," dalam Kalam, edisi 3/1994, hlm. 46.
37
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 30.
19

Motif yang mendorong KH Hasyim Asy’ari menetapkan Ahlussunnah Wal


Jama’ah sebagai pijakan teologis umat Islam di Indonesia berdasarkan kelakuan
fundamental yang sudah ada serta tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat,
antara lain: tradisional (mengikuti kebiasaan yang sudah lazim), afektif (bersifat
emosional), bernilai (didasari kepercayaan yang penuh kesadaran terhadap nilai-nilai etis,
estetis, religius, atau nilai mutlak tanpa memandang konsekuensi-konsekuensinya), dan
bertujuan (untuk mencapai maksud yang diinginkan).

3.4.3 NU Dan Kehidupan Bernegara


Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari
keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan
perjuangan Nasional Bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi
aktif dalam proses perjuangan mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan, serta ikut
aktif dalam penyusunan UUD 1945. Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa
menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap
warganya selalu aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat
adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Oleh karenanya, setiap warga Nahdlatul Ulama
harus menjadi warga Negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak
terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip
persaudaraan (ukhuwwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan
baik dengan sesama warga Negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk
bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan
dinamis. Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan Nahdlatul Ulama
berusaha secara sadar untuk menciptakan warga Negara yang menyadari akan hak dan
kewajibannya terhadap bangsa dan Negara. Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara
organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan
manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga Negara yang mempunyai hak-
hak politik yang dilindungi oleh undang-undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama
menggunakan hak-hak politiknya harus melakukan secara bertanggung jawab, sehingga
dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat
hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah, dan mufakat dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama. Sesuai kultur NU dengan sikap
akomodatif, kompromatif dan keluwesan yang artinya Menaati pemerintah, dengan
begitu, juga merupakan suatu kewajiban sepanjang pemerintah tidak menganjurkan
kepada kekhufuran.
20

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Motivasi yang ada di balik keputusan KH. Hasyim Asy’ari ketika menetapkan
pilihan teologis kepada madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah didasari oleh
keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai religius yang bersifat normatif. Motivasi tersebut
diterapkan untuk membentuk sikap keberagamaan kaum muslimin di Indonesia yang
bercorak Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan karakteristik moderasinya.
Makna moderasi (tassamuh, tawassuth, tawazun, dan I’tidal) adalah suatu sikap
yang cenderung menghindari ekstrimisme dan radikalisme dalam bertindak. Diantara
kriteria yang melekat pada moderasi antara lain: menghindari tindakan radikal,
menghormati pluralitas pendapat, menghargai perbedaan keyakinan, dan menjunjung
tinggi toleransi.
Sikap moderat yang mengutamakan jalan tengah dalam menyikapi perbedaan
pendapat diantara madzhab-madzhab inilah yang diteladankan oleh ulama-ulama madzhab
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh sebab itu kebijakan KH. Hasyim Asy’ari yang tertuang
dalam Qanun Asasi wajib dilestarikan secara terus menerus oleh kaum muslimin
Indonesia, khususnya kaum Nahdliyin dengan bimbingan para ulama dan dukungan
organisasi Nahdlatul Ulama sehingga dapat mewarnai dinamika perkembangan umat
Islam di Indonesia, karena Nahdlatul Ulama merupakan organisasi Islam terbesar di
Indonesia.

4.2 Saran
Hendaknya semua warga NU atau kaum Nahdliyin berkomitmen untuk
mempertahankan eksistensi Ahlussunnah Wal Jama’ah di tempat berkhidmat masing-
masing dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai yang tertuang dalam Qanun Asasi dalam
upaya menjaga keutuhan NKRI dan memperjuangkan terciptanya kehidupan yang damai
dan sejahtera adalah merupakan wujud manifestasi keberislaman ala orang-orang NU.
21

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. 2014. Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Semarang: Wahid Hasyim
University Press.

Abbas, S. 2000. I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah.

Abdul, M. 2007. Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren.

Azra, A. 1994. "Antara Kesetiaan dan Perbenturan: Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama
di Indonesia dan Malaysia," dalam Kalam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Husna, A. dkk. 2017. Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia Press.

Marijan, K. 1992. Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga.

PBNU. 2015. AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang:
LTN-NU Jatim.

Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip Hilmy
Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia.

Siradj, S.A. 2008. Ahlussunnah wal Jama‟ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka
Cendikia Muda.

Sunyoto, A. dkk. 2017. KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri,
Jakarta: Dirjen Kemendikbud RI.

Wijaya, A. 2012. Menusantarakan Islam, Jakarta: Kemenag RI.

Thohir, A.M. 2014. Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah.

Anda mungkin juga menyukai