Disusun oleh:
Anggitya Nur Rahmadhani 17/409685/PS/07314
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
I. Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu hal yang diinginkan oleh hampir setiap
pasangan di dunia. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seseorang pria
dengan seseorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Berdasarkan definisi tersebut, perkawinan menjadi faktor dibalik munculnya
sebuah keluarga. Keluarga terdiri dari dua orang atau lebih yang saling berkomitmen
kepada sesama untuk saling berbagi intimacy, resources, decision-making,
responsibilities, dan values (Olson, DeFrain, & Skogrand, 2011). Dalam sebuah
keluarga memungkinkan adanya keberagaman pada keluarga baik struktur keluarga,
nilai, maupun kelompok etnis yang ada (Olson dkk, 2011). Tidak bisa dipungkiri
bahwa keberagaman tersebut akan menimbulkan konflik dalam keluarga. Namun,
ketika terjadi masalah yang tak terhindarkan dalam pernikahan dan keluarga,
kekuatan keluarga tersebut akan semakin berkembang. Olson dkk (2011) pun
mengungkapkan bahwa kekuatan keluarga tersebut akan digunakan untuk
menghadapi krisis atau masalah dan untuk tumbuh seiring berjalannya waktu.
Secara umum, karakteristik dari kekuatan keluarga seperti yang diungkapkan
oleh Olson dkk (2011) adalah adanya apresiasi dan afeksi, komunikasi yang positif,
spiritual well-being, komitmen, menikmati waktu bersama, dan kemampuan untuk
memanajemen stress dan krisis. Namun, seiring dengan perkembangan zaman,
kekuatan yang ada dalam keluarga perlu disikapi dengan bijaksana dan hati-hati.
Salah satu faktor yang perlu perhatian lebih adalah hal komunikasi. Di era digital,
komunikasi dan alat komunikasi sudah berkembang semakin pesat. Oleh karena itu,
perlu adanya sikap hati-hati dan bijaksana dari setiap anggota keluarga untuk
menyikapi era digital (Afiatin, 2018). Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan
dampak negatif pada hubungan antar individu dalam keluarga. Sebuah penelitian
mengungkapkan bahwa teknologi memberikan banyak keuntungan namun jika tidak
bijaksana dalam menggunakannya akan membuat individu semakin menjauh dari
keluarganya (Huisman, Edwards, Catapano, 2012).
Seperti yang sudah disebutkan bahwa kekuatan keluarga berbeda sesuai
dengan budayanya masing-masing. Hal tersebut juga berlaku untuk keluarga yang ada
di Indonesia. Di Indonesia masih kental dengan adanya nilai-nilai budaya yang
menampilkan hal-hal yang dianggap baik yang disebut dengan suatu kearifan lokal
(Afiatin, 2018). Kearifan lokal yang dimiliki setiap budaya sudah dipertahankan dan
diwariskan secara turun-temurun (Afiatin, 2018). Lebih lanjut lagi, Afiatin (2018)
menjelaskan bahwa keluarga Indonesia perlu untuk memahami dan mengenali
kearifan lokal berdasarkan suku dan agama masing-masing sebagai pijakan dalam
berkeluarga dan bermasyarakat di era digital sekarang. Berdasarkan hal tersebut, perlu
untuk memahami secara mendalam terkait penguatan perkawinan dan keluarga agar
terwujud keluarga yang tangguh. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk
menelaah lebih lanjut mengenai penguatan perkawinan dan keluarga yang berbasis
kearifan lokal.
VI. Penutup
Kekuatan keluarga di setiap keluarga berbeda dan tergantung pada
karakteristik individu dan budaya yang ada. Namun, seiring berkembangnya era
digital dan globalisasi setiap keluarga perlu untuk mengenali dan memahami kearifan
lokal yang dimiliki oleh setiap daerah. Pada budaya Jawa, kehidupan berkeluarga pun
harus berlandaskan keselarasan agar mencapai keharmonisan. Keharmonisan dengan
prinsip rukun dan hormat tersebut akan mendukung terwujudnya interaksi sosial yang
terhindar dari konflik di dalam perkawinan dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA