DI SUSUN OLEH:
LISNAWATIE
2019. C.11a.1015
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah yang berjudul “KEPERAWATAN KOMUNITAS YANG
MEMPENGARUHI FAKTOR KETURUNAN PENYAKIT DIABETES MELITUS TIPE
1” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dan dukungan dari semua pihak yang telah membantu.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
serta wawasan bagi para pembaca untuk kedepannya sehingga dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi. Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa, ataupun
penulisannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari para pembaca.
Akhir kata penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat berguna dan membantu
proses pembelajaran bagi para pembaca, terutama bagi mahasiswa STIKes Eka Harap
Palangkaraya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.3 Tujuan..............................................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN.....................................................................................................4
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................................32
3.1 Kesimpulan......................................................................................................32
3.2 Saran................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................33
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Diabetes Melitus (DM) tipe 1 atau dikenal dengan istilah Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM) adalah diabetes melitus yang tergantung pada insulin untuk mengatur
metabolisme glukosa dalam darah (Pulungan, 2015). Hal yang harus dipahami oleh semua
pihak bahwa DM tipe 1 tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup penderita dapat
dipertahankan seoptimal mungkin dengan kontrol metabolik yang baik (IDAI, 2015). Dalam
konteks DM tipe 1 banyak remaja mengalami kemunduran pada kontrol metabolik yang
sering kali disebabkan oleh pola makan dan olahraga yang tidak menentu, kepatuhan
terhadap regimen pengobatan yang buruk.
Data menunjukkan kisaran 1 dalam 1430 pada anak usai 5tahun sampai 1 dalam 360 pada
anak usia 16 tahun. Data tersebut berhubungan dengan latar belakang ras atau etnik. Kisaran
hampir 30 kasus baru setiap tahunnya pada 100.000 populasi difirlandia samapai 0,8 dalam
100.000 populasi di Jepang.pada negro amerika kejadian DM tergantung insulin telah
dilaporkam hanya 20-50 % dari diabetes tergantung insulin yang ditemukan pada kulit putih
amerika. Laki-laki dan wanita sama-sama terkena, tidak ada korelasi yang nyata terhadap
status sosioekonomi. Puncak pertama sesuai dengan waktu emningkatnya pemajangan
terhadap agen infeksi yang terjadi dengan pertumbuhan cepat pubertas yang diinduksi oleh
steroid gonad dan sekresi hormon pertumbuhan pubertas meningkat yang mengantagonis
kerja insulin dan karena hubungan stres emosi yang menyertai pubertas.
Pada DM tipe 1 terjadi kerusakan pada sel beta dalam menghasilkan insulin karena
proses autoimun. Sebagai akibatnya pasien kekurangan insulin bahkan tidak ada insulin,
sehingga memerlukan terapi insulin agar gula darah dalam batas terkontrol. Tipe ini terjadi
sekitar 5-10% dari keseluruhan penderita diabetes. Banyak hal yang dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya DM. Faktor-faktor predisposisi ini terdiri dari faktor yang dapat
diubah dan yang tidak dapat diubah. Faktor predisposisi yang dapat diubah adalah pola
makan, olahraga, dan aktivitas sedangkan faktor predisposisi yang tidak dapat diubah adalah
jenis kelamin, usia, ras, dan riwayat genetik (Pulungan, 2015). Penyakit DM dapat
dikendalikan dengan mengatur pola makan dan diet seimbang (Waspanji, 2007). Pengaturan
makanan pada penderita DM tipe 1 bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik yang baik
tanpa mengabaikan kalori yang dibutuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas,
maupun aktivitas sehari-hari.
2
1.2 Rumusan Masalah
Dilatar belakang kami telah mengemukakan maka sebagai penyusunan makalah ini saya
membahas tentang diabetes melitus tipe 1. Oleh karena itu sebagai penyusun merumuskan
masalah seperti berikut :
1. Apakan yang dimaksud dengan diabetes melitus tipe 1itu ?
2. Bagaimana epidemiologi dari diabetes melitus tipe 1 tersebut ?
3. Apa saja Faktor penyebab diabetes melitus tipe 1?
4. Bagaimana tanda gejala dari diabetes melitus tipe 1 ?
5. Bagaimana Diagnosis diabetes melitus tipe 1?
6. Pemeriksaan diagnostik apa saja yang bisa dilakukan diabetes melitus tipe 1?
7. Bagaimana penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan dalam menangani diabetes
melitus tipe 1 ?
8. Apa komplikasi yang dapat terjadi diabetes melitus tipe 1?
9. Apa saja Klasifikasi Diabetes Melitus ?
10. Apa Patogenesis dari Diabetes Melitus ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Diabetes melitus tipe 1
2. Untuk mengetahui epidemiologi dari diabetes melitus tipe 1
3. Untuk mengetahui Faktor penyebab diabetes melitus tipe 1
4. Untuk mengetahui tanda gejala dari diabetes melitus tipe 1
5. Untuk mengetahui Diagnosis diabetes melitus tipe 1
6. Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostik apa saja yang bisa dilakukan diabetes
melitus tipe 1
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan dalam menangani
diabetes melitus tipe 1
8. Untuk Mengetahui Komplikasi diabetes Melitus tipe 1
9. Untuk Mengetahui Klasifikasi Diabetes Melitus tipe 1
10. Untuk Mengetahui Patogenesis Dari Diabetes Melitus 1
3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Diabetes Mellitus Tipe 1 atau insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) merupakan
penurunan kadar insulin (insulinopenia) yang disebabkan oleh destruksi sel-sel beta pankreas
sehingga orang DM tipe 1 memerlukan insulin dari luar tubuh untuk bertahan hidup jika tidak
akan mengalami ketoasidosis, koma, dan kematian (Gibney,dkk:2009).
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan
hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan
oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada
diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh
khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus
ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme
yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis
diabetes melitus selalu berdasarkan tingginya kadar glukosa dalam plasma darah.
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Diagnosis penyakit
diabetes Melitus selain berdasarkan aspek klinis yang meliputi anamnesis dan pemeriksaan
fisik, sangatlah diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah pemeriksaan gula darah. Tahapan
preanalitik dan interpretasi hasil pemeriksaan gula darah sangatlah perlu diperhatikan agar
didapatkan hasil yang bermakna sehingga diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan dan
sebagai monitoring hasil pengobatan.
2.2 Epidemiologi
Survei di AS menunjukkan bahwa prevalensi diabetes pada anak usia sekolah adalah
sekitar 1,9 dalam 1000. Namun, frekuensinya sangat berkolerasi dengan meningkatnya usia.
Data menunjukkan kisaran 1 dalam 1430 pada anak usai 5tahun sampai 1 dalam 360 pada
anak usia 16 tahun. Data tersebut berhubungan dengan latar belakang ras atau etnik. Kisaran
hampir 30 kasus baru setiap tahunnya pada 100.000 populasi difirlandia samapai 0,8 dalam
100.000 populasi di Jepang.pada negro amerika kejadian DM tergantung insulin telah
dilaporkam hanya 20-50 % dari diabetes tergantung inuslin yang ditemukan pada kulit putih
amerika. Laki-laki dan wanita sama-sama terkena, tidak ada korelasi yang nyata terhadap
4
status sosioekonomi. Puncak pertama sesuai dengan waktu emningkatnya pemajangan
terhadap agen infeksi yang terjadi dengan pertumbuhan cepat pubertas yang diinduksi oleh
steroid gonad dan sekresi hormon pertumbuhan pubertas meningkat yang mengantagonis
kerja insulin dan karena hubungan stres emosi yang menyertai pubertas, Prevalensi dan
insiden tergantung insulin pada masa anak di AS dan tempat lain dapat menggambarkan
distribusi kerentanan gen. (Behrman, Kllegman, dan Arvin : 2000)
Sedang dinegara indonesia sendiri, khususnya diprovinsi jawa tengah penderita DM tipe 1
ditahun 2007 memiliki prevalensi sebesar 0,9 %.
5
kurangnya vitamin D yang bisa didapatkan dari sinar matahari, sehingga akhirnya memicu
penyakit autoimun.
Faktor usia.
Penyakit ini paling banyak terdeteksi pada anak-anak usia 4-7 tahun, kemudian pada anak-
anak usia 10-14 tahun.
Faktor pemicu lainnya, seperti mengonsumsi susu sapi pada usia terlalu dini, air yang
mengandung natrium nitrat, sereal dan gluten sebelum usia 4 bulan atau setelah 7 bulan,
memiliki ibu dengan riwayat preeklampsia, serta mengidap penyakit kuning saat lahir.
Kurang lebih 5%-10% penderita mengalami diabetes tipe 1 yaitu diabetes yang tergantung
insulin dari luar. Pada diabetes jenis ini sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan normal
menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh suatau proses autoimun sebagai akibatnya
penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes tipe 1
ditandai oleh awitan mendadak yang biasa terjadi diusia 30 tahun. Onset akut, biasanya
kurus, terjadi pada usia yang masih muda, berhubungan dengan HLA DR3 dan DR4,
didapatkan antibodi selislet.
6
Penderita diabetes tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe 1.
Kecenderungan ini ditemukan pada individu yang memeiliki antigen HLA ( human
leucocyte antigen) tertentu.
Faktor imunologi, pada penderita DM 1 terdapat bukti adanya suatu respon otoimun,
respon ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai benda asing. Otoantibody terhadap sel-sel pulau langerhans dan isulin
endogen ( internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun
sebelum timbulnya tanda-tanda klinis DM tipe 1 .
Faktor lingkungan, penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan
faktor-faktor eksternal yang dapat memicu dekstruksi sel beta, sebagai contoh hasil
penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toxin tertentu dapat memacu proses
otoimun yang menyebabkan destruksi sel beta pankreas.
7
7. Mudah terjadi ketoasidosis
8. Pengobatan harus dengan insulin
Adapun gejala dari diabetes tipe 1, antara lain:
Sering buang air kecil, terutama pada malam hari (polyuria).
Sering haus (polydipsia).
Sering merasa lapar (polyphagia).
Berat badan turun.
Pandangan kabur.
Kelelahan.
Mudah diserang penyakit infeksi.
Luka yang lama sembuh.
Merasa kaku atau kesemutan pada kaki.
Kerusakan progresif dari sel-β menyebabkan semakin defisiensi insulin lebih parah dengan
melibatkan hormon klasik stres (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon)
disebut hormon regulasi berlawanan.
Defisiensi insulin, yang bertindak bersama dengan konsentrasi yang berlebihan dari
epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon akan menghasilkan produksi glukosa
tak terkendali sementara penggunaan glukosa terganggu, sehingga hipergli kemia yang
berkembang.
Defisiensi insulin dan meningkatkan hormon berlawanan regulasi menyebabkan lipolisis
dan gangguan sintesis lipid dan elevasi dalam plasma lipid total, kolesterol, triglycerils, dan
asam lemak bebas.
8
Tes gula darah merupakan pemeriksaan yang mutlak akan dilakukan untuk mendiagnosis
diabetes tipe 1 atau tipe 2. Hasil pengukuran gula darah akan menunjukkan apakah seseorang
menderita diabetes atau tidak. Dokter akan merekomendasikan pasien untuk menjalani tes
gula darah pada waktu dan dengan metode tertentu. Metode tes gula darah yang dapat dijalani
oleh pasien, antara lain:
-Tes gula darah sewaktu
Tes ini bertujuan untuk mengukur kadar glukosa darah pada jam tertentu secara acak. Tes
ini tidak memerlukan pasien untuk berpuasa terlebih dahulu. Jika hasil tes gula darah sewaktu
menunjukkan kadar gula 200 mg/dL atau lebih, pasien dapat didiagnosis menderita diabetes.
-Tes gula darah puasa
Tes ini bertujuan untuk mengukur kadar glukosa darah pada saat pasien berpuasa. Pasien
akan diminta berpuasa terlebih dahulu selama 8 jam, kemudian menjalani pengambilan
sampel darah untuk diukur kadar gula darahnya. Hasil tes gula darah puasa yang
menunjukkan kadar gula darah kurang dari 100 mg/dL menunjukkan kadar gula darah
normal. Hasil tes gula darah puasa di antara 100-125 mg/dL menunjukkan pasien menderita
prediabetes. Sedangkan hasil tes gula darah puasa 126 mg/dL atau lebih menunjukkan pasien
menderita diabetes.
-Tes toleransi glukosa
Tes ini dilakukan dengan meminta pasien untuk berpuasa selama semalam terlebih dahulu.
Pasien kemudian akan menjalani pengukuran tes gula darah puasa. Setelah tes tersebut
dilakukan, pasien akan diminta meminum larutan gula khusus. Kemudian sampel gula darah
akan diambil kembali setelah 2 jam minum larutan gula. Hasil tes toleransi glukosa di bawah
140 mg/dL menunjukkan kadar gula darah normal. Hasil tes tes toleransi glukosa dengan
kadar gula antara 140-199 mg/dL menunjukkan kondisi prediabetes. Hasil tes toleransi
glukosa dengan kadar gula 200 mg/dL atau lebih menunjukkan pasien menderita diabetes.
-Tes HbA1C (glycated haemoglobin test)
Tes ini bertujuan untuk mengukur kadar glukosa rata-rata pasien selama 2-3 bulan ke
belakang. Tes ini akan mengukur kadar gula darah yang terikat pada hemoglobin, yaitu
protein yang berfungsi membawa oksigen dalam darah. Dalam tes HbA1C, pasien tidak perlu
menjalani puasa terlebih dahulu. Hasil tes HbA1C di bawah 5,7 % merupakan kondisi
normal. Hasil tes HbA1C di antara 5,7-6,4% menunjukkan pasien mengalami kondisi
prediabetes. Hasil tes HbA1C di atas 6,5% menunjukkan pasien menderita diabetes. Selain
tes HbA1C, pemeriksaan estimasi glukosa rata-rata (eAG) juga bisa dilakukan untuk
mengetahui kadar gula darah dengan lebih akurat.
9
Hasil dari tes gula darah akan diperiksa oleh dokter dan diinformasikan kepada pasien. Jika
pasien didiagnosis menderita diabetes, dokter akan merencanakan langkah-langkah
pengobatan yang akan dijalani. Khusus bagi pasien yang dicurigai menderita diabetes tipe 1,
dokter akan merekomendasikan tes autoantibodi untuk memastikan apakah pasien memiliki
antibodi yang merusak jaringan tubuh, termasuk pankreas.
Tes toleransi glukosa oral merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif daripada tes
toleransi glukosa intravena yang hanya digunakan dalam situasi tertentu (misalnya, untuk
10
pasien yang pernah menjalani operasi lambung). Tes toleransiglukosa oral dilakukan dengan
pemberian larurtan karbohidrat sederhana. Pasien mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat
(150 hingga 300 gram) selama 3 hari sebelum tes dilakukan. Sesudah berpuasa pada malam
hari , keeokan harinya sampel darah diambil. Kemudian karbohidrat sebanyak 75 gram yang
biasanya dalam bentuk minuman (seperti glukola, minuman yang mengandung gula dan
soda) diberikan kepada pasien. Pasien diberitahu untuk duduk diam selama tes dilaksanakan
dan menghindari latihan, rokok, kopi serta makanan lain kecuali air putih.
WHO merekomendasikan pengambilan sampel 2 jam sesudah konsumsi glukosa.
Rekomendasi dari national diabetes data group mencakup pula pengambilan sampel darah, 30
dan 60 menit sesudah konsumsi glukosa. Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes melitus
pada orang dewasa yang tidak hamil, pada sedikitnya dua kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu/random > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) atau,
2. Glukosa plasma puasa/nutcher > 140 mg/dl (7,8 mmol/L) atau,
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi
75 g karbohidrat ( 2jam postprandial [pp] > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Beberapa faktor mempengaruhi tes toleransi glukosa oral, yang mencakup metode
analisis, sumber spesimen (darah utuh, plasma atau serum, darah kapiler atau vena), diet,
tingkat aktivitas , lama tirah baring, adanya penyakit kronis , pengobatan dan jumlah glukosa
yang dikonsumsi, kehamilan, pembedahan lambung dan usia lanjut . (Smeltzer , Suzanne C.
2001)
Pada wanita hamil :
Tes toleransi glukosa positif menyatakan tingginya level puncak gula darah sesudah
proses pencernaan glukosa (1g/kg BB)
Kriteia lain :
Diabetic retinopathy pada ophthalmologic examination
Diagnostik dan monitoring lainya, termasuk urinalisis untuk acetone dan glycosylated
hemoglobin (menggambarkan kontrol glikemi yang terlewati 2 sampai 3 bulan)
(Tkacs. 2006)
3. Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urin dapat memberi dugaan kuat adanya diabetes mellitus, tetapi
pemeriksaan urin tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnosis adanya diabetes
mellitus.Pada pemeriksaan urin, urin akan dianalisis, mengandung glukosa atau tidak. Jika
dalam uruin ditemukan adanya glukosa, hal itu dapat memperkuat adanya diabetes mellitus.
11
4. Tes keton
Keton ditemukan dalam urin jika kadar glukosa darah sangat tinggi atau rendah. Jika hasil
tes positif dan kadar glukosa juga tinggi, dapat memperkuat adanya diabetes mellitus.
5. Pemeriksaan mata
Dari hasilpemeriksaan, padamatamenampakkanadanya retina yang abnormal.Hal
initerjadipadapenderita diabetes mellitus kronisakibatkomplikasipenyakit diabetes mellitus.
1. Diet, Salah satu langkah pertama dalam menangani DM tipe 1 adalah dengan kontrol
diet. Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
diabetes. Bagi semua penderita diabetes, perencanaan makan harus
mempertimbangkan kegemaran terhadap makanan tertentu, gaya hidup, jam – jam
makan yang biasanya diikuti dan dilatar belakangi etnik serta budayanya namun
pasien diabetes tidak boleh terlambat untuk makan. Penatalaksanaan diet meliputi
edukasi waktu, jumlah, jadwal, atau jenis makanan untuk mencegah hipoglikemia
atau hiperglikemia pada pasien DM tipe 1.
Dengan memperhatikan 3 J (jenis,jumlah dan jam).
a. Distribusi kalori : ada 2 tipe karbohidrat yang utama bagi penyandang diabetes
yaitu ; karbohidrat kompleks dan sederhana. Pati seperti roti, sereal, nasi dan pasta
merupakan karbohidrat kompleks; buah yang manis dan gula merupakan contoh
karbohidrat sederhana. Perhimpunan Diabetes Amerika dan Persatuan Diabetik
Amerika merekomendasikan bahwa untuk semua tingkatan asupan kalori,maka 50
% hingga 60 % dari kalori berasala dari karbohidrat, 20 % hingga 30 % dari
lemak dan 12 % hingga 20 % lainnya dari protein.
b. Karbohidrat : diet ini bertujuan untuk meningkatkan karbohidrat komplek
(khususnya yang berserat tinggi) sperti roti gandum utuh, nasi beras tumbuk, seral
dan pasta/ mi yang berasal dari gandum yang masih mengandung bekatul.
Penggunaan karbohidrat sederhana yang lebih dapat menjadi faktor utama dalam
meningkatkan kepatuhan rencana makan. Meskipun demikian, karbohidrat
sederhana tetap harus dikonsumsi dalam jumlah yang tidak berlebihan dan lebih
baik jika dicampur ke dalam sayuran atau makanan lain daripada dikonsumsi
secara terpisah.
12
c. Lemak : rekomendasi tentang kandungan lemak mencakup penurunan presentasi
totl kalori yang berasal dari sumber lemak hingga kurang dari 30 % total kalori
dan pembatasan jumlah lemak jenuh hingga 10 % total kalori serta pembatasan
asupan kolesterol makanan hingga kurang dari 300 mg/hari.
d. Protein : beberapa makanan sumber nabati (misalnya, kacang – kacangan dan biji
– bijian yang utuh) untuk membantu mengurangi asupan kolesterol dan lemak
jenuh.
e. Alkohol : anjuran untuk tidak mengkonsumsi alkohol secara berlebihan pada
penderita diabetes sebab bahaya utamanya adalah hipoglikemia sebab alkohol
dapat menurunkan reaksi fisiologi normal dalam tubuh yang memproduksi
glukosa (glukoneigenesis). Jadi jika penderita diabet mengkonsumsi alkohol saat
lambung kosong maka kemungkinan terjadinya hipoglikemia akan meningkatkan
NUTRISI DM :
2. Olahraga, Pasien DM tipe 1 harus olahraga teratur serta jangan olahraga terlalu keras.
Edukasi pasien tentang bagaimana efek olahraga terhadap kadar glukosa darah. Jika
pasien berolahraga keras atau lebih dari 30 menit, dikhawatirkan kemungkinan
hipoglikemia. Untuk mencegah hipoglikemia, mereka di edukasi untuk menurunkan
insulinnya 10-20% . Pasien-pasien ini juga harus dapat mempertahankan status
hidrasinya selama olahraga, dengan rumus ( DNM = 220-usia(dalam tahun). Latihan :
13
efek dari latihan dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko
kardiovascular. Latihan akan menurunan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengembalian glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Latihan dengan
melawan tahanan (resistane training) dapat meningkatkan lean body mass dengan
demiian akan menambah laju metabolisme istirahat (restig metabolic rate). Efek dari
latihan sangat bermanfaat pada penderita diabet karena dapat menurunkan berat
badan, mengurangi rasa stress, dan mempertahankan kesegaran tubuh. Selain itu,
latihan juga mengubah kadar lemak darah—yaitu, meningkatkan kadar HDL-
kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigeliserida. Secara umum
dianjurakan agar lamanya periode latihan ditingkatkan secara bertahap. Banyak pasien
diabetes, berjalan merupakan bentuk latihan yang aman dan bermanfaat karena tidak
memerlukan alat khusus serta dapat dilakukan dimana saja. Jika pasien berusia lebih
dari 30 tahun dan memiliki dua atau lebih faktor risiko untuk terkena penyakit jantung
, tes stress latihan perlu dilakukan.Lama latihan paling sedikit 25 menit, 40-90 menit
atau sampai asam lemakdibakar
Pedoman latihan pada diabetes :
Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu, alat pelindung kaki lainnya
Hindari latihan dalam udara yang sangat panas dan dingin
Periksa kaki setiap selesai melakukan latihan
Hindari latihan pada saat pengendalian metabolik buruk.
3. PEMANTAUAN :
a. Example : pemantauan kadar glukosa darah dengan menggunakan cara inspeksi
visual. Penggunaan alat pemantauan membandingkan secara visual warna di
setiap strip pereaksi denga peta warna
Keuntungan dan kekurangan pada sistem pemantauan mandiri :
Metodeyang digunakan harus sesuai dengan keterampilan pasien
Faktor yang dapat mempengaruhi pemantauan glukosa darah mencakup ketajaman
penglihatan, koordinasi motorik yang baik, kemampuan intelektual, kebiasaan
dalam menggunakan teknologi, kemauan dan biaya. Metode visual merupakan
metode murah dan tidak memerlukan banyak peralatan. Namun demikian, metode
ini memebutuhkan kemampuan untuk membedakan warna dan ketepatan dalam
mengatur waktu pelaksanaan prosedur pemeriksaan.
14
b. Example : alat pemantauan glukosa darah
Keuntungan dan kerugian :
Lebih mudah digunakan namun kemungkinan besar pasien mencatat dan
melaporkan hasil pemeriksaan glukosa yang salah sebagai akibat dari penggunaan
dan teknik yang salah. Beberapa sumber kekeliruan yang sering terjadi :
a. Aplikasi darah yang tidak benar (misalnya tetesan darah terlalu sedikit)
b. Pengaturan waktunya yang tidak benar
c. Pengapusan darah yang tidak benar (misalnya mengapus terlalu kuat atau
mengapus tanpa menggunakan bahan yang telah dianjurkan)
d. Pembersihan dan pemeliharaan alat pengukur yang tidak benar
(misalnya,membiarkan debu atau darah yang menumpuk di jendela optik)
TERAPI INSULIN : Hormon insulin disekresi oleh sel beta pulau langerhans. Hormon ini
bekerja untuk menurunkan kada r glukosa darah postprandial dengan mempermudah
pengambilan serta penggunaan glukosa oleh sel-sel otot,lemak dan hati. Pada Dm tipe 1,
Tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin sehingga insulin eksogenus harus
diberikan dalam jumlah yang tak terbatas. Pada DM tipe 1 dibutuhkan terapi insulin ini
mutlak diberikan untuk mengontrol hiperglikemi dan mempertahankan elektrolit serta status
hidrasinya dan mengantisipasi terjadinya komplikasi yang terjadi seperti ketoasidosis, koma,
serta kematian.
Penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 1 berupa terapi non farmakologis seperti olah raga
dan diet serta terapi farmakologis yaitu pemberian insulin. Diet dan penggunaan insulin yang
dijalankan dengan baik merupakan kunci untuk mencegah terjadinya kegawatdaruratan, baik
ketoasidosis diabetik maupun hipoglikemia berat.
15
1. Berobat Jalan
Pasien tidak perlu dilakukan perawatan di rumah sakit bila datang dengan keadaan umum
dan kesadaran masih baik. Pada pasien baru tanpa keluhan muntah, dehidrasi, dan asidosis,
panduan terapi insulin untuk pasien adalah sebagai berikut:
Terapi awal
Terapi Lanjutan
Ada dua standar regimen insulin yang dapat dipilih di bawah ini:
Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 yang datang dengan hiperglikemia dan ketosis
dengan pH darah normal, berikan dosis tambahan sebesar 10% total dosis insulin per hari
secara subkutan dalam bentuk insulin rapid-acting lalu monitor kadar gula darah dan keton
tiap 1-2 jam. Dosis ini dapat diulangi setelah 2-4 jam bila kadar keton darah masih di atas 1,0
mmol/L.
Self Monotoring
16
Pasien yang akan diberikan terapi insulin harus diedukasi untuk dapat memonitor dan
mencatat kadar gula darah harian, mengenali gejala ketoasidosis diabetik dini dan melakukan
tes urin keton, serta mengenali tanda hipoglikemia.
Follow Up
Follow up dilakukan terhadap kadar gula darah menggunakan pemeriksaan HbA1c setiap 3
bulan sekali sampai gula darah terkontrol dengan baik, lalu dilanjutkan setiap 6 bulan
sekali. Follow up juga harus dilakukan terhadap kemungkinan komplikasi, berupa
pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan neurologis, dan cek kadar kolesterol darah serta fungsi
ginjal.
Desain dan model alat pompa insulin sudah berganti-ganti diperbaiki sejak dibuat pertama
kali di tahun 1963 oleh Dr. Arnold Kadish, yang besarnya dan dibawa seperti tas ransel.
Sekarang ini, insulin pump dirancang berbentuk kecil dan diprogram guna memompa rapid-
acting insulin yang tersimpan dalam cartridge plastik ke kanula melalui selang plastik yang
fleksibel, dengan dua cara:
Dosis insulin di atas disalurkan masuk ke jaringan lemak bawah kulit melalui kanula
dengan bantuan jarum kecil, kemudian tempat masuk kanula difiksasi di permukaan kulit.
Keuntungan penggunaan pompa insulin adalah alat ini dapat dibawa ke mana saja, mudah
dan nyaman digunakan, bisa disesuaikan dan akurat. Namun, alat ini mahal harganya, pompa
bisa tidak berfungsi bila batere lemah, kanula dapat terpelintir dalam tubuh, insulin dapat
bocor bila cartridge kosong dan selang menjadi kendur, lokasi masuknya kanula dapat
terinfeksi. Karenanya, monitoring kadar gula darah harian mesti dilakukan secara ketat
bilamana menggunakan alat pompa insulin ini.
Pasien diabetes mellitus tipe 1 memerlukan perawatan di rumah sakit jika pasien
mengalami kejadian hiperglikemia berulang, komplikasi seperti gangren kaki, atau
mengalami penurunan kesadaran baik akibat terjadinya ketoasidosis maupun akibat kejadian
17
hipoglikemia berat. Jika dibutuhkan tindakan operasi, penting bagi dokter untuk memastikan
stabilisasi kadar gula darah dan terapi insulin pasien saat puasa preoperatif.
4.Terapi Nonfarmakologis
Selain terapi insulin, pasien diabetes mellitus tipe 1 juga memerlukan penanganan
nonfarmakologis berupa diet dan olah raga. Untuk diet, pasien dan keluarga harus mengerti
mengenai jumlah kalori, karbohidrat, protein, dan lemak yang harus dikonsumsi, serta cara
membaginya antara makan pagi, siang, malam, dan juga cemilan.
18
Suntik insulin, dengan menekan tangkai pendorong sampai habis (sampai tidak dapat
ditekan lagi)
Tarik jarum suntik keluar dari kulit. Tekankan segumpal kapas didaerah penyuntikan
selama beberapa detik (tidak boleh di obol-obo daerah bekas penyuntikan)
Gunakan spuitsekali pakai dan buang pada container plastik dengan penutup (yang
Bisa ditutup dengan erat )seperti wadah bekas larutan deterjen atau bahan pemutih
2.8 Komplikasi
2.8.1 Komplikasi akuts
1. Ketoasidosis Diabetik : Ketoasidosis diabetik merupakan komplikasi akut yang ditandai
dengan perburukan semua gejala diabetes, yang terjadi setelah stres fiisk seperti kehamilan
atau penyakit akut atau trauma. Kadang-kadang ketoasidosis diabetik merupakan gejala
adanya diabets tipe 1
2. Fenomena Fajar (dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari (antara jam 5-9
pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa pagi hari.
Hormon yang dikeluarkan hormon pertumbuhan dan kortisol dimana keduanya merangsang
glukoneogenesis.
3. Hipoglikemia, terjadi akibat setelah injeksi insulin. Gejala yang mungkin terjadi adalah
hilang kesadaran. Koma dapat terjadi pada hipoglikemia berat. (corwin :2008).
Sejumlah komplikasi yang dapat muncul akibat Diabetes Melitus yaitu :
Penyakit Kardiovaskuler
Kadar gula darah tinggi dapat menyebabkan lemak menumpuk di dinding pembuluh
darah. Seiring waktu, kondisi ini bisa menghambat sirkulasi darah yang pada akhirnya
meningkatkan risiko aterosklerosis pada pasien diabetes melitus. Aterosklerosis akibat
19
komplikasi diabetes menandakan adanya pengerasan pembuluh darah yang dapat
menimbulkan bahaya kesehatan, seperti serangan jantung atau stroke.
Hal ini pun dibenarkan oleh American Heart Association (AHA). Dalam website
resminya, AHA mengatakan bahwa orang dengan diabetes empat kali lebih mungkin
meninggal karena penyakit jantung ketimbang mereka yang tidak memiliki riwayat
penyakit diabetes. Para ahli percaya bahwa komplikasi diabetes melitus ini bisa terjadi
akibat adanya faktor risiko yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler. Faktor
risiko yang dimaksud, yaitu tekanan darah tinggi, kadar kolesterol dan trigliserida
tinggi, obesitas, malas gerak, serta merokok. Selain itu, orang yang memiliki diabetes
juga berisiko terkena aritmia. Kondisi ini merujuk pada detak jantung yang tidak
normal; bisa lebih cepat, lebih lambat, atau tidak teratur. Aritmia bisa menyebabkan
jantung yang tidak memompa dengan benar sehingga sirkulasi darah pada otak dan
organ-organ penting di dalam tubuh terhambat. Komplikasi ini juga bisa
menyebabkan diabetesi mengalami stroke dan gagal jantung. Lambat laun, akibat
penyakit gula ini bisa membuat jantung rusak dan lemah.
Stroke
Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah
(glukosa) hingga melebihi batas normal. Glukosa adalah sumber energi utama
manusia. Kadar glukosa yang berlebihan di dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai
gangguan organ tubuh. Jika diabetes tidak dikontrol dengan baik, dapat timbul
berbagai komplikasi yang membahayakan nyawa penderita, salah satunya stroke.
Diabetes memiliki kaitan erat dengan risiko aterosklerosis alias penebalan atau
penyempitan dinding pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah menuju otak
tersumbat. Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menyebabkan stroke.
Alasannya, kadar gula darah yang terlalu tinggi dalam darah dapat menyebabkan
20
terbentuknya sumbatan dan tumpukan lemak di pembuluh darah. Ketika pembuluh
darah tersumbat, suplai oksigen dan darah ke otak akan terganggu sehingga terjadilah
penyakit stroke.
Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang sering menyebabkan komplikasi.
Tak jarang, komplikasi yang muncul dapat membahayakan kondisi kesehatan
penderitanya. Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh penyakit diabetes adalah
ginjal bocor. Hal ini dikarenakan terjadi kerusakan pada pembuluh darah halus di
ginjal. Kerusakan pembuluh darah menimbulkan kerusakan glomerulus yang
berfungsi sebagai penyaring darah. Tingginya kadar gula dalam darah akan membuat
struktur ginjal berubah sehingga fungsinyapun terganggu. Gangguan ginjal seringkali
timbul pada penderita diabetes, kondisi ini dikenal sebagai nefropati diabetik.
Penyakit ini terjadi lantaran bagian penyaring dalam ginjal rusak, sehingga ginjal
bocor dan mengalirkan sejumlah protein, terutama albumin dari darah ke dalam urine.
Tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes juga dapat memicu terjadinya
luka parut pada sel-sel penyaring di ginjal. Hal itu dapat menyebabkan semakin
menurunnya fungsi ginjal secara perlahan selama bertahun-tahun. Jika tidak segera
ditangani, proses tersebut akan terus berlanjut hingga menyebabkan gagal ginjal.
Beberapa kondisi diabetes yang berisiko mengalami gangguan ginjal, antara lain
memiliki kadar gula darah yang tidak terkendali, mempunyai tekanan darah tinggi,
aktif merokok, terkena diabetes tipe 1 sebelum usia 20 tahun, atau memiliki riwayat
penyakit diabetes dan gangguan ginjal dalam keluarga.
21
Neuropati diabetic
Tingginya kadar gula dalam darah dapat merusak pembuluh darah dan saraf di tubuh,
terutama kaki. Kondisi yang biasa disebut neuropati diabetik ini terjadi ketika saraf
mengalami kerusakan, baik secara langsung akibat tingginya gula darah maupun
karena penurunan aliran darah menuju saraf. Rusaknya saraf akan
menyebabkan gangguan sensorik dengan gejala berupa kesemutan, mati rasa, atau
nyeri. Kerusakan saraf juga dapat memengaruhi saluran pencernaan dan
22
menyebabkan gastroparesis. Gejalanya berupa mual, muntah, dan merasa cepat
kenyang saat makan.
Katarak
Komplikasi diabetes melitus selanjutnya adalah masalah gigi dan mulut. Komplikasi
ini umumnya muncul akibat kadar gula darah tinggi yang tidak terkendali. Kondisi
tersebut dapat memicu infeksi dan berbagai masalah pada mulut, termasuk gangguan
pada gigi, gusi, serta lidah. Air liur mengandung gula alami. Ketika diabetes tidak
terkontrol, tak hanya glukosa dalam darah saja yang meningkat tapi juga glukosa pada
23
air liur. Air liur yang tinggi gula akan mengundang bakteri untuk tumbuh dan
berkembang di dalam mulut.
Disfungsi ereksi pada pria dan infeksi jamur vagina pada wanita
Banyak orang yang tidak sadar bahwa impotensi (disfungsi ereksi) termasuk
komplikasi diabetes melitus pada pria. Hampir sebanyak 1 dari 3 pria yang terkena
diabetes mengalami disfungsi ereksi. Pada wanita, diabetes melitus dapat
menimbulkan masalah seks akibat infeksi jamur vagina. Efek diabetes pada pria
berupa disfungsi ereksi menyebabkan ketidakmampuan mencapai atau
mempertahankan ereksi. Ini terjadi karena rusaknya pembuluh darah dan saraf.
Padahal, organ penis dipenuhi oleh pembuluh darah dan saraf.
Diabetes bisa membahayakan fungsi saraf tertentu pada tubuh, yakni autonomic
nervous system (ANS). Sistem saraf ini mengontrol pelebaran dan pembatasan
pembuluh darah. Jika pembuluh darah dan saraf pada penis pria rusak karena efek
diabetes, hal ini dapat berdampak pada disfungsi ereksi.
24
Ketika diabetes, luka sedikit saja bisa jadi infeksi parah yang sulit diobati dan lama
sembuhnya. Komplikasi diabetes melitus ini terjadi karena tingginya kadar gula darah
dapat menghambat sirkulasi darah ke bagian kaki serta kerusakan saraf kaki.
Akibatnya sel-sel kaki kesulitan untuk memperbaiki jaringan dan saraf yang rusak.
Jika diabetesi (penderita diabetes) tidak dapat mengontrol penyakitnya, kadar gula
dalam darah bisa melonjak tinggi atau bahkan turun sangat rendah. Kondisi nilai gula
darah yang terlalu tinggi dari batas normal (bisa mencapai 500 mg/dL) disebut
hiperglikemia. Sebaliknya, jika terlalu rendah (kurang dari 60 mg/dL) dinamakan
hipoglikilmia. Penderita diabetes tipe 1 dapat mengalami hiperglikemia jika tidak
melakukan suntik insulin sebelum makan. Ini karena tubuh akan kekurangan insulin
yang berfungsi dalam proses perubahan glukosa menjadi energi. Sementara itu, orang
yang rutin mengonsumsi obat diabetes juga bisa mengalami hipoglikemia jika tidak
memantau kadar glukosa darahnya dengan baik. Jika tidak ditangani dengan baik,
keduanya bisa mengancan jiwa karena dapat mengarah pada stroke, koma (mati otak)
atau dikenal dengan diabetes koma, dan kematian.
Frozen shoulder
25
Sakit bahu atau frozen shoulder merupakan sebuah kondisi yang cukup umum terjadi
di kalangan penderita diabetes. Umumnya, kondisi ini disebabkan karena kerusakan
tendon akut, terutama di bagian kapsul yang mengelilingi tendon dan ligamen
mengalami penebalan. Selain itu, diabetes pun bisa menyebabkan pembengkakan dan
pengetatan area kapsul tendon ini, sehingga menimbulkan kekakuan dan efek rasa
sakit yang sangat menyiksa. Satu-satunya upaya yang dapat Anda lakukan adalah,
dengan mengendalikan kadar gula darah dengan menjalankan gaya hidup sehat,
konsumsi makanan sehat (terutama makanan dengan kandungan serat), berolahraga
secara rutin, dan rutin periksa kondisi gula darah.
Penyakit diabetes melitus memiliki banyak nama, seperti penyakit gula dan kencing
manis. Namun, masyarakat Indonesia juga mengenal istilah diabetes kering dan
diabetes basah. Meski begitu, istilah ini tidak berhubungan dengan jenis diabetes
(diabetes tipe 1 dan 2), melainkan merupakan istilah tak resmi yang merujuk pada
kondisi luka yang dialami oleh penderita diabetes. Gejala Diabetes memang bisa
ditunjukkan dari luka yang sulit sembu. Luka basah merupakan kondisi lebih lanjut
dari diabetes kering. Ini bisa terjadi karena luka kering tidak segera diobati dengan
tepat atau kadar gula darah tetap tinggi sehingga menghambat proses penyembuhan.
Gejala khas dari luka diabetes basah ditandai dengan munculnya nanah.
Munculnya nanah menandakan luka yang semula kering kini telah terinfeksi oleh
bakteri. Selain itu, luka basah biasanya proses penyembuhan jauh lebih lama
dibanding luka kering. Pada beberapa kasus, infeksi luka yang basah dapat menyebar
ke area lain sehingga harus dilakukan tindakan amputasi. Secara umum, terdapat
beberapa hal yang menyebabkan luka diabetes sulit sembuh, baik basah ataupun
kering.
26
2.9 Klasifikasi
DM jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda, namun demikian
dapat juga ditemukan pada setiap umur. Destruksi sel-sel pembuat insulin melalui
mekanisme imunologik menyebabkan hilangnya hampir seluruh insulin endogen.
Pemberian insulin eksogen terutama tidak hanya untuk menurunkan kadar glukosa plasma
melainkan juga untuk menghindari ketoasidosis diabetika (KAD) dan mempertahankan
kehidupan.
b. Diabetes Mellitus tipe II (non-insulin dependent) :
DM jenis ini biasanya timbul pada umur lebih 40 tahun. Kebanyakan pasien DM jenis ini
bertubuh gemuk, dan resistensi terhadap kerja insulin dapat ditemukan pada banyak
kasus. Produksi insulin biasanya memadai untuk mencegah KAD, namun KAD dapat
timbul bila ada stress berat. Insulin eksogen dapat digunakan untuk mengobati
hiperglikemia yang membandel pada para pasien jenis ini.
27
c. Diabetes Mellitus lain (sekunder) : Pada DM jenis ini hiperglikemia berkaitan dengan
penyebab lain yang jelas, meliputi penyakit-penyakit pankreas, pankreatektomi, sindroma
cushing, acromegaly dan sejumlah kelainan genetik yang tak lazim.
2.10. Patogenesis
28
keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1. Keterlibatan rantai b-DQ itu
sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat menunjukkan bahwa fungsi presentasi antigen
molekul kelas II adalah relevan untuk kerentanan DM tipe 1. Setelah pendekatan "seleksi
epitop" untuk menjelaskan fenomena autoimun Nepons telah menyarankan model dimana
alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai berikut:
a). susunan dimer kelas II yang dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu,
bervariasi afinitasnya untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta.
b). hanya dimer kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan
autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida.
c). individu rentan jika produk dari gen kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-
produk gen tidak rentan yang ada dalam individu tersebut.
Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA tertentu yang berkaitan
dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus untuk
merangsang respon imun terhadap sel beta pankreas. Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM
meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet.
Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas
manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet.
Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di dalam islet,
beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan semua sel islet. Antigen
target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel
beta memproduksi antibodi IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan.
Anehnya semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target
autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe 1,
makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes,
walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak
mungkin untuk mengembangkan disease.
Antibodi juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode
prediabetik yang laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai
penanda untuk perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA. Kontribusi
dari autoantigens disebutkan di atas untuk induksi dan atau kelangsungan penyakit masih
harus diklarifikasi. Jelas, bahwa identifikasi dari autoantigens dalam DM tipe 1 adalah
29
penting baik untuk tujuan diagnostik dan untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses
penyakit. Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah dianalisis
dalam model hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe DM 1, yaitu tikus BB,
tikus NOD dan tikus MLD STZ dengan diabetes yang diinduksi, telah meningkatkan
kemampuan kita untuk memahami proses yang menyebabkan kerusakan sel beta. Namun,
karena semua kesimpulan yang diambil dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi
dengan penyakit manusia, maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet
kepada sel T CD4+ spesifik menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di
semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari tikus NOD
diabetes, saat disuntikkan ke tikus prediabetes atau nondiabetes, menginduksi insulitis dan
diabetes. Dilaporkan juga bahwa sel T CD4+ cukup untuk menimbulkan insulitis sedangkan
sel T CD8+ berkontribusi pada kerusakan yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan
bukti bahwa insulitis di pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi
dengan tidak adanya sel T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel
imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya hanya satu
subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit.
Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari hewan yang
dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+ saling mempengaruhi.
Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan diterbitkan) menunjukkan bahwa perlakuan awal
dengan ajuvan tidak menghalangi respon autoimun, melainkan dapat menyimpang respon
dari profil sitokin Th-1 ke Th-2. Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan
interferon gamma ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes
autoimun model eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan
mengaktifkan makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan
mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel
pertama yang menyerang islets. Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas
menunjukkan bahwa Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-α), dua sitokin
terutama diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan
menekan kapasitas sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Namun, tampaknya bahwa
IL-1 dan TNF tidak berkontribusi dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma
merupakan aktivator kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada
bukti yang menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan
diabetes DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida
30
dapat menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas
baru pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk
dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1. Meskipun bukti yang kuat untuk
hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian untuk DM tipe 1 adalah mengherankan
rendah pada anak kembar identik.
Kesesuaiannya kurang dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I telah
memberikan kontribusi ke sebuah penelusuran faktor lingkungan yang terkait dengan
penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk
perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi rubella congenital, dimana sampai 20% dari
anak-anak tersebut di kemudian hari mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan
bahwa selain temuan bahwa urutan asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein
envelope virus rubella yang akan mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi
dalam DM tipe I. Peran faktor lingkungan juga disarankan oleh analisis respon imun terhadap
protein susu sapi, dimana hampir semua pasien DM tipe 1 memiliki antibodi ke peptida
serum albumin sapi dan menunjukkan respon sel T untuk peptida serum albumin sapi yang
sama dengan protein yang ada di permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan
hanya sekitar 2% dari kontrol. Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel
beta di pankreas, maka hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses:
31
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe 1 atau insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) merupakan
penurunan kadar insulin (insulinopenia) yang disebabkan oleh destruksi sel-sel beta pankreas
sehingga orang DM tipe 1 memerlukan insulin dari luar tubuh untuk bertahan hidup jika tidak
akan mengalami ketoasidosis, koma, dan kematian. DM tipe ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor seperti faktor genetik, gangguan imunologi dan faktor lingkungan.
Manifestasi atau gejala yang dapat muncul meliputi poliuria, polidipsia, polifagia rasa lelah
dan lemas, mual dan muntah yang parah.
Untuk pentalaksanaan DM tipe 1 ini wajib menggunakan terapi insulin, karena tubuh
sudah tidak mampu memproduksi insulin. Untuk penatalaksanaan yang lain dapat
menggunakan diet diabetes serta olahraga. Untuk diet yang diberikan harus memperhatikan
jadwal makan, jumlah kalori dan jenis makanan, hal ini bertujuan untuk meminamalkan
terjadinya komplikasi yang lebih lanjut. Sedangkan untuk olahraga, harus memperhatikan
jenis olahraga yang dilakukan, olahraga yang tepat bagi penderita DM adalah lari atau
berenang.
Komplikasi yang dapat muncul pada diabtes meliputi ketoasidosis diabetik, down
phenomenom, dan hipoglikemia. Ketoasidosis diabetik merupakan komplikasi akut yang
ditandai dengan perburukan semua gejala diabetes, yang terjadi setelah stres fiisk seperti
kehamilan atau penyakit akut atau trauma. Kadang-kadang ketoasidosis diabetik merupakan
gejala adanya diabets tipe 1. Down Phenomenomadalah hiperglikemia pada pagi hari (antara
jam 5-9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa pagi
hari. Hormon yang dikeluarkan hormon pertumbuhan dan kortisol dimana keduanya
merangsang glukoneogenesis. Hipoglikemia, terjadi akibat setelah injeksi insulin. Gejala
yang mungkin terjadi adalah hilang kesadaran. Koma dapat terjadi pada hipoglikemia berat.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunanya banyak kekurangan, besar harapan kami
kepada para pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar
makalah ini menjadi lebih sempurna.
32
Daftar Pustaka
1. Gibney, Michael J., dkk.2009.Gizi Kesehatan Masyarakat.Jakarta:EGC
2. Baradero, Mary,. Dayrit, Mary Wilfrid., & Siswandi, Yakobus.2009.Klien Gangguan Endokrin:
Seri Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC
3. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2014.
4. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2014.
5. Corwin, Elizabeth J.2009.Buku Saku Patofisiologi Ed.3.Jakarta:EGC
6. Rubenstein, David., Wayne, David., Bradley, John., 2006.Lecture Notes Kedokteran Klinis Ed.6. 7.
Jakarta:Erlangga Medical Series
8. Misnadiarly.2008.Diabets Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi, Mengenal gejala, menanggulangi, dan
mencegah komplikasi/misnadiarly.Ed.1.Jakarta:Pustaka Popular Obor
9. Tkacs, Nancy C. 2006. Atlas of pathophysiology, 2nd ed. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins.
10. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2014.
33