Anda di halaman 1dari 45

Ujian Akhir Semester Hari, Tanggal: selasa, 22 Desember 2015

MK Pendidikan Anak Dalam Keluarga

PENGARUH KECACATAN ANAK TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DALAM

KELUARGA SERTA DAMPAKNYA PADA PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK

USIA DINI

Disusun Oleh :

DWI SETIA NINGSIH (A1F113003)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2015
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dwi Setia Ningsih

NIM : A1F113003

Dengan ini menyatakan bahwa makalah yang berjudul “ Orangtua Dengan Anak yang

Berkebutuhan Khusus “ adalah benar karya saya (bebas dari plagiarisme). Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir makalah ini.

Jambi, 21 Desember 2015

Yang menyatakan,

Dwi Setia Ningsih

NIM: A1F113003
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

A. Latar belakang..............................................................................................................................

B. Tujuan............................................................................................................................................

PEMBAHASAN

1. Keluarga......................................................................................................................................

a. Definisi keluarga.............................................................................................................

b. Fungsi keluarga...............................................................................................................

2. Masalah dalam keluarga...................................................................................................

a. Definisi kecacatan anak..............................................................................................

b. Data kecacatan anak...................................................................................................

3. Pendidikan dalam keluarga..................................................................................................

a. Pengertian pendidikan dalam keluarga....................................................................

b. Tujuan pendidikan dalam keluarga...........................................................................

c. Analisis pendidikan anak dalam keluarga dalam masalah kecacatatan anak

(ABK)..........................................................................................................................................

4. Perkembangan anak usia dini (sosial).................................................................................

a. Pengertian perkembangan sosial...................................................................................

b. Indikator perkembangan anak......................................................................................

5. Strategi keluarga untuk mengoptimalkan pendidikan keluarga.............................

a. Cara keluarga mengatasi kecacatan anak agar mampu mengoptimalkan

perkembangan anak........................................................................................................

b. Gaya pengasuhan “Parental emotional styles”......................................................


c. Metode pengasuhan “Penerapan disiplin”...........................................................

KESIMPULAN

a. Simpulan...............................................................................................................................

b. Saran.....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam percakapan sehari-hari dikalangan guru dan mahasiswa jurusan PLB

masih sering terjadi ketidak konsistenan dalam menggunakan istilah

menggunakan istilah anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan

khusus oleh sebagian orang dianggap sebagai padanan kata dari istilah anak

berkelaianan atau anak penyandang cacat. Anggapan seperti ini tentu saja

tidak tidak tepat, sebab pengertian anak berkebutuhan khusus mengandung

makna yang lebih luas, yaitu anak-anak yang memiliki hambatan

perkembangan dan hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak

penyandang cacat). Mereka memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam

pendidikan, agar hambatan belajarnya dapat dihilangkan sehingga

kebutuhannya dapat dipenuhi. Anak berkebutuhan khusus perlu mendapatkan

perhatian baik dalam pendidikan maupun penanganan sepanjang fase

hidupnya karena berbagai hambatan yang mereka miliki. Perhatian tersebut

selain bersifat formal juga termasuk perhatian bersifat afektif berupa

penerimaan dan kesiapan pola asuh. Tokoh kunci yang berhubungan dengan

penerimaan dan kesiapan pola asuh ini adalah sosok ibu. Peran ibu

sehubungan hal tersebut adalah sebagai pendamping utama (as aids) pendidik

dan penangan anak berkebutuhan khusus sebagai advokat (as advocates) yang

mengerti dan mengusahakan dan menjaga hak anak, sebagai sumber (as
resouces) akan karakteristik kebutuhan khusus anak sebagai guru ( as teacher)

di luar jam sekolah diagnotisan yang mampu menetukan kebutuhan khusus

anak dan sebagai pencipta situasi positif di rumah yang mendukung anak. Dan

menurut saya mengapa saya perlu membahas tentang anak berkebutuhan

khusus agar semua orang tau bahwa anak berkebutuhan khusus tidak harus

diejek karena kekurangannya tetapi harus dirangkul dan diberi kasih sayang

yang sangat besar terutama dari keluarga karena dengan kasih sayang dari

keluarga anak akan merasakan kalau keluarga nya bisa menerima dia dengan

segala kekurangan yang ia miliki.

Bahasan dengan munculnya data mengenai jumlah penyandang autis

mengenai integrated school sebenarnya bukanlah hal baru. Diawali di

Indonesia oleh biro sensus Amerika dinyatakan telah mencapai 475.000 orang

(Kompas, 2005). Suyanto (2005) dalam buku Dasar-dasar Pendidikan Anak

Usia Dini menyatakan bahwa di Indonesia memang tidak dihadapkan pada

kondisi yang sangat ekstrem seperti di Amerika, dimana undang-undang

pendidikan menyatakan bahwa semua warga negara AS berhak atas pelayanan

pendidikan yang sama. Maka pada akhirnya sekolah di Amerika harus

menerima anak berkebutuhan khusus (ABK), baik fisik maupun mental untuk

dapat sekolah sama seperti anak pada umumnya. Fasilitas yang disediakan,

baik sarana, prasarana, termasuk tenaga pengajar juga harus dapat memenuhi

kebutuhan anak didik, baik yang berkebutuhan khusus maupun anak pada

umumnya. Program pendidikan ini kemudian disebut mainstreaming atau

lebih dikenal sebagai sekolah inklusi. Jumlah sekolah inklusi di Indonesia

memang belum terlalu banyak. Khusus di Jogjakarta, keberadaan sekolah


inklusi ini juga masih sangat terbatas. Perlu dipahami, keberadaan sekolah

inklusi ini tidak hanya dikhususkan kepada anak autis. Lebih daripada itu,

tujuan dari sekolah inklusi ini juga untuk memfasilitasi anak dengan berbagai

macam gangguan, baik itu menyangkut gangguan fisik, sosial, kesulitan

belajar, anak berbakat, termasuk bentuk gangguan perkembangan lain yang

diasosiasikan dengan autis seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder

(ADHD), Attention Deficit Disorder (ADD), Pervasive Development Disorder

(PDD), dan sindrom Asperger, yang kemudian dikenal secara kolektif sebagai

spektrum autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD), juga dapat memperoleh

fasilitas yang sama seperti anak pada umumnya di sekolah formal (Kompas,

2005). Salah satu sekolah inklusi di Jogja yang baru berdiri pada tahun 2005,

menyatakan bahwa sejak awal berdiri sekolah ini memang berkonsep atas

adanya perbedaan pada diri setiap anak. Sekolah ini meyakini bahwa setiap

anak adalah unik, masing-masing memiliki kebutuhan, minat, tahap

perkembangan, dan gaya belajar yang berbeda. Pada dasarnya, sekolah dengan

konsep ini akan menerima anak-anak dengan kemampuan yang berbeda, baik

anak pada umumnya maupun anak dengan kebutuhan khusus. Salah satu

pengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) mengatakan, pada umumnya anak

yang memiliki kebutuhan khusus ini terpaksa dikeluarkan dari sekolah

awalnya, dan kemudian orang tuanya memilihkan jenis sekolah inklusi ini

sebagai solusinya. Konsep sekolah seperti ini akan dapat memberi manfaat

kepada setiap anak yang bersekolah di dalamnya. Anak berkebutuhan khusus

pada awalnya, yakni pada masa Renaissance, anak yang tergolong “cacat”

dianggap sebagai orang yang kemasukan roh-roh jahat (setan), dan bahkan
diperlakukan dengan sangat buruk. Disia-siakan, dihina, dan diperlakukan

secara tidak manusiawi. Banyak diantara mereka yang kemudian dikurung,

diikat, bahkan juga dipasung. Kemudian pada abad ke-16, terjadi perubahan

sikap yang lebih positif terhadap anak-anak yang dianggap “cacat” tersebut.

Beberapa rumah sakit di Paris mulai memberikan treatmen khusus pada

penderita gangguan emosional, setelah itu muncullah nama John Locke yang

dikenal sebagai orang pertama yang membedakan penderita keterbelakangan

mental dengan gangguan emosional. Hingga pada akhirnya, pada abad ke-18,

seorang ahli berkebangsaan Perancis yakni Jean Marc Itard, yang mulai

meneliti metode pendidikan bagi anak luar biasa (Mangunsong, 1998).

Pengaruh anak berkebutuhan khusus terhadap pendidikan anak dalam

keluarga adalah kurangnya perhatian dari keluarga karena kebanyakan

keluarga merasa malu memiliki anak berkebutuhan khusus sehingga mereka

sedikit mengabaikan pendidikan anaknya mereka menganggap bahwa

pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus itu tidak berpengaruh. Padahal

anak berkebutuhan khusus memiliki potensi yang luar biasa ketika orang tua

mendukung dan menfasilitasinya ia akan serius menjalankan peran baru yang

dimainkannya. Tetapi ada juga orang tua yang sangat menyayangi anaknya

tidak melihat dari kekurangannya selalu mendampinginya dan memberikan

kehangatan kepada anaknya. Karena anaknya sangat membutuhkan dekapan

dari kedua orangtua nya terutama ibunya, karena dengan kasih sayang dari

ibulah anak akan merasa nyaman dan diperhatikan.

Banyak alasan mengapa pendidikan dini menjadi begitu popular di

negara kita, diantaranya karena pendidikan sejak dini mempunyai peran yang
besar dan penting dalam pengembangan sumber daya manusia dan

pembentukan manusia seutuhnya Pendidikan anak dini usia merupakan upaya

pemberian layanan pendidikan kepada anak usia 0-6 tahun melalui Penitipan

Anak yaitu intervensi bagi anak usia 3 bulan sampai memasuki pendidikan

dasar pada lembaga penitipan anak (wahana kesejahteraan anak yang

berfungsi sebagai pengganti krluarga untuk jangka waktu tertentu bagi anak

yang orang tuanya bekerja), Kelompok Bermain yaitu layanan bagi anak usia

3-6 tahun yang berfungsi untuk meletakan dasar-dasar ke arah

perkembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan bagi

anak usia dini dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk

pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya atau Satuan PADU sejenis yaitu

layanan pendidikan pada berbagai lembaga diluar penitipan anak atau

kelompok bermain agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Penyelenggaraannya menitik beratkan pada peletakan dasar ke arah

pertumbuhan fisik ( motorik halus dan kasar ), kecerdasan (daya fikir, daya

cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap, perilaku,

agama), bahasa dan komunikasi sesuai dengan tahap-tahap perkembangan

yang dilaluinya. Kebijakan ini muncul karena rendahnya rata-rata Nilai

Ebtanas Murni (NEM) SDSLTP, tingginya angka mengulang pada kelas SD awal

sampai dengan rendahnya peringkat Human Development Index (HDI)

dilingkungan Asia Tenggara, ditambah dengan penelitian neurology dan

kajian pendidikan anak usia dini yang memberikan bukti betapa pentingnya

simulasi sejak dini dalam mengoptimalkan seluruh potensi anak. Berangkat

dari kajian empirik, data BALITBANG Pusat Data dan Informasi Pendidikan
menunjukkan bahwa: 1). 26,43 juta anak Indonesia usia 0-6 tahun, yang

sudang mendapatkan layanan pendidikan baru 7,16 juta (27,34%) 2). khusus

anak usia 4-6 tahun dari jumlah 12,673 juta, baru 4,63 (36,53%) yang

terlayani Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudlatul Athfal (RA) Ditambah

dengan adanya hasil-hasil penelitian diantaranya adalah : 1). Berfungsinya

otak adalah hasil interaksi dari cetak biru (blue print) genetis dan pengaruh

lingkungan. 2). Pada saat anak lahir terdapat lebih dari 100 miliar sel otak

yang siap untuk dikembangkan dan diaktualisasikan mencapai tingkat potensi

yang tertinggi. Jumlah ini mencakup beberapa miliar jenis informasi dalam

hidup manusia, dan riset hanya membuktikan hanya 5 % yang terpakai dari

kemampuan itu (Fergusan, 1973 dalam Clark, 1986). 3). Penggunaan sistem

yang kompleks dari proses pengelolaan otak ini sebenarnya sangat

menentukan intelegensi dan kepribadian serta kualitas kehidupan yang

dialami seseorang. 4). Hasil penelitian di dunia kedokteran; bahwa otak

manusia pada saat dilahirkan kurang lebih sama. Makin banyak otak

dipergunakan , makin banyak jaringan otak terbentuk. Sebaliknya jika otak

jarang digunakan , makin kurang jaringan otak tersebut. 5). Dalam beberapa

penelitian terbukti bahwa berhasil tidaknya pendidikan anak, bagaimanapun

tidak akan terlepas dari faktor gizi dan kesehatan serta stimulasi intelektual

secara sinergis berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.

Sedangkan kondisi pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah lahirnya

pendidikan anak berkebutuhan khusus mengalami proses yang amat panjang

bahkan sebelum manusia memahami hakikat pendidikan. Kehadiran anak

berkebutuhan khusus secara tegas di tolak oleh sebagian masyarakat. Hal


tersebut dikarenakan adanya anggapan bahwa anak berkebutuhan khusus

hanyalah mahluk yang terlalu lemah dan merepotkan orang lain dalam segala

hal. Sehingga lahirlah anggapan anak berkebutuhan khusus tidak mungkin

dapat memberikan konstribusi bagi kemajuan masyarakat. Anak berkebutuhan

khusus pada masa ini benar-benar disingkirkan dariperadaban masyarakat,

tidak berhak mendapatkan kasih sayang, dan kontak sosial dengan orang lain,

bahkan keberadaannya tidak diakui oleh masyarakatnya. Selanjutnya

anggapan negatif juga muncul dari pihak keluarga bahwa anak berkebutuhan

khusus dilahirkan akibat hukuman bagi orang tua, karma ataupun balasan

atas perbuatan dosa orang tua diberikan tuhan. Oleh karena itu di masa lalu

anak berkebutuhan khusus tidak berhak keluar dari tempat

persembunyiannya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus itu

memalukan. Tetapi sekarang pendidikan anak berkebutuhan sangat didukung

oleh pemerintah dan masyarakat sekitar sangat memakluminya karena adanya

suatu proses perubahan. Tentunya anak berkebutuhan khusus mempunyai

pengaruh pada perkembangan nya terutama perkembangan sosial karena

anak yang mangalami cacat fisik khawatir dirinya akan mendapatkan

penilaian negatif dari orang lain, khawatir tidak mampu mendapat

persetujuan dari orang lain serta takut melakukan perilaku yang memalukan

dimuka umum. Salah satu permasalahan psikologis yang dihadapi penyandang

cacat adalah kecemasan social yang mempengaruhi kemampuan dalam hal

sosialisasi dan interaksi dengan lingkungan sekitar atau dalam pergaulan

sehari-hari (Bronson & Dave, 2009). Anak yang mengalami cacat tubuh lebih

cenderung hidup dalam lingkungannya sendiri, dengan sikap-sikap yang


negatif, penuh prasangka dan rendah diri. Felix (2007) dalam jurnal

fidhzalidar , meneliti tentang seorang anak dengan cacat fisik yang bersekolah

di SDLB, kecemasan anak penyandang cacat pada lingkungan sekolah,

biasanya disebabkan adanya gangguan yang datang dari sekolah, selain itu

adanya permasalahan pada guru atau dengan teman, ketidakmampuan belajar,

perubahan di rumah, tidak ingin ditinggalkan orangtua, perasaan malu,

merasa gugup di sekolah, merasa kurang percaya diri, situasi kelas atau situasi

sekolah yang baru, tugas-tugas sekolah yang terlalu mudah untuk kalangan

anak penyandang cacat dan membosankan, sedangkan tugas sekolah yang

terlalu sulit malah membuat frustrasi.

Pemahaman terhadap perkembangan anak adalah faktor penting yang

harus dimiliki orang tua dalam rangka optimalisasi potensi anak. Catron dan

Allen (1999:23-26) dalam hayati, menyebutkan bahwa terdapat 6 aspek

perkembangan anak usia dini, yaitu kesadaran personal, kesehatan emosional,

sosialisasi, komunikasi, kognisi dan keterampilan motorik. Pemahaman

terhadap perkembangan anak tersebut dapat disimpulkan meliputi aspek

kognitif/intelektual, fisik-motorik, bahasa, sosial-emosional serta pemahaman

nilai-nilai moral dan agama. Orang tua harus mampu menguasai aspek-aspek

perkembangan dan cara mengembangkan nya agar orang tua selalu mengikuti

setiap perkembangan anak dan dapat memberikam stimulus atau ransangan

agar perkembangan anak dapat tercapai dengan baik. Jika sejak usia dini

orang tua dapat mengembangkan perkembangan anak dengan baik maka efek

nya akan baik pula dimasa dimana anak sudah beranjak remaja bahkan

dewasa. Dengan penanaman ilmu yang baik yang diberikan oleh keluarga
terutama kedua orang tua nya maka baik pula ilmu yang anak dapatkan

bahkan bisa dibawah anak sampai kemanapun.

Penjelasan tentang anak berkebutuhan khusus diharapkan agar orang

tua dapat menerima kenyataan dan menyayangi anak nya sebagaimana

mestinya, memberikan fasilitas pendidikan yang dapat mendukung

perkembangan anaknya. Juga diharapkan dapat memberikan gambaran bagi

ibu dan ayah yang memiliki anak berkebutuhan khusus bahwa tidak mudah

untuk menghadapinya anak berkebutuhan khusus. Kadang orang tua putus

asa, tetapi kemauan dan usaha yang keras dapat mengatasi kesulitan tersebut.

Memang, tak dapat dipungkiri bahwa orang tua dari anak berkebutuhan

khusus pasti menghadapi lebih banyak kekhawatiran bagaimana mereka

membawa anaknya ke pegawai kesehatan, pemilihan sekolah yang sesuai,

berkunjung ke dokter secara rutin, mengatasi stres dan frustasi tingkat tinggi.

Walaupun demikian, orang tua harus tetap bisa berada dalam kondisi yang

sehat, baik fisik maupun psikologisnya.

B. Tujuan

Makalah ini disusun untuk:

1. Menganalisis masalah anak berkebutuhan khusus yang terjadi didalam

keluarga, pendidikan anak dalam keluarga dan perkembangan anak

2. Menganalisis pengaruh anak yang berkebutuhan khusus terhadap

pendidikan anak dalam keluarga

3. Menganalisis pengaruh anak berkebutuhan khusus dan pendidikan anak

dalam keluarga terhadap perkembangan anak


4. Merumuskan strategi yang dapat dilakukan keluarga untuk

mengoptimalkan perkembangan anak


PEMBAHASAN

1. Keluarga

a. Definisi keluarga

Ada beberapa pengertian keluarga, baik dengan makna yang sempit

maupun dengan makna yang lebih luas.

1. Dalam kamus lengkap bahasa indonesia modern secara harfiah

keluarga berarti sanak saudara ( kaum kerabat, orang seisi rumah, anak

bini).

2. Dalam kamus Oxford Learner’s Packet Dictionary, keluarga berasal

dari family yang berarti ;

 Group consisting of one or two parents and their childen

( kelompok yang terdiri satu atau dua orang tua dan anak-anak

mereka)

 Group consistung of one or two parents, their childen, anak close

relations ( kelompok yang terdiri dari satu atau 2 orang tua. Anak-

anak mereka dan kerabat-karabat dekat)

 All the people descendend from the same ancestor ( semua

keturunan dari nenek moyang yang sama)

b. Fungsi keluarga

Menurut Ahmad Tafsir dkk, (2004) dalam Helmawati (2014 : 44),

melihat bahwa fungsi pendidik dalam keluarga harus dilakukan untuk

menciptakan keharmonisan baik didalam maupun diuar keluarga itu.

Apabila terjadi disfungsi peran pendidik, akan terjadi krisis dalam

keluarga. Oleh karena itu, para orangtua harus menjalankan fungsi


sebagai pendidik dalam keluarga dengan baik, khususnya ayah sebagai

pemimpin dalam keluarga. Fungsi pendidik dikeluarga, diantaranya :

1) Fungsi biologis

Fungsi biologis adalah fungsi pemenuhan kebutuhan agar

keberlangsungan hidupnya tetap terjaga termasuk secara fisik.

Maksudnya pemenuhan yang berhubungan dengan jasmani manusia.

Kebutuhan dasar manusia untuk terpenuhnya kecukupan makanan,

pakaian , tempat tinggal, kebutuhan biologis lainnya yaitu berupa

kebutuhan seksual yang berfungsi untuk menghasilkan keturunan

(regenerasi).

2) Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi ini berhubungan dengan bagaimana

pengaturan penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan

dalam rumah tangga. Seorang istri haus mampu mengelola keuangan

yang diserahkan suaminya dengan baik. Utamakan pemenuhan

kebutuhan yang bersifat prioritas dalam keluarga sehingga

penghasilan yang diperoleh suami akan dapat mencukupi kebutuhan

hidup keluarga.

Agar kebutuhan keluarga terpenuhi, seorang suami hendaknya

mempunyai penghasilan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan

utama dalam keluarganya serta mampu mengawasi penggunaanya

dengan baik, penggunaan keuangan hendak nya diawasi karena tidak

semua istri dapat mengelola keuangan dengan baik. Pengaruh


kehidupan yang materialistis dan hendosis dapat menyebabkan

pengeluaran lebih besar darpada pemasukkan.

3) Fungsi kasih sayang

Fungsi ini menyatakan bagaimana setiap anggota keluarga

harus menyayangi satu sama lain. Suami hendaknya mencurahkan

kasih sayang seorang istrinya begitu juga sebaliknya. Dan jika telah

memiliki anak maka orangtua hendaknya menunjukkan dan

mencurahkan kasih sayang kepada anaknya secara tepat. Kasih

sayang bukan hanya berupa materi yang diberikan tetapi perhatian,

kebersamaan yang hangat sebagai keluarga, saling memotivasi dan

mendukung untuk kebaikan bersama.

Banyak orangtua yang keduanya sibuk bekerja sehingga sedikit

bahkan tidak ada waktu untuk keluarga. Sebagai tanda kasih sayang

mereka memberikan materi yang berlimpah pada anaknya. Anak tidak

hanya cukup diberikan materi yang berlimpah tanda kasih sayaang

dari kedua orangtua nya. Anak tetap memerlukan perhatian,

kebersamaan, nasihat dan sentuhan hangat dari orang tuanya. Hal ini

tentu tidak dapat diperoleh dari benda atau materi. Tidak heran jika di

dalam keluarga kasih sayang tidak didapat, maka mereka akan

mencarei kasih sayang diluar rumah bersama orang lain.

4) Fungsi pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting

untuk meningkatkan matabat dan peradaban manusia. Sebagai

seorang pemimpin dalam keluarga, seorang kepala keluargan


hendaknya memberikan bimbingan dan pendidikan bagi sertiap

anggota keluarganya ; baik istri maupun anak-anaknya. Bagi seorang

istri, pendidikan sangat penting. Dengan bertambahnya pengetahuan

dan wawasan maka akan memudahkan perannya sebagai pengelola

dalam rumah tangga dan pendidik utama bagi anak-anaknya.

5) Fungsi perlingdungan

Setiap anggota keluarga berhak mendapat perlindungan dari

anggota lainnya. Sebagai seorang kepala dalam keluarga, seorang

ayah hendaknya melindngi istri dan anakn-anaknya dari ancaman

baik ancaman yang akan merugikan di dunia maupun akhirat.

Perlindunan didunia meliputi keamana atas apa yang dimakan atau

dipakai dan di mana tempat tinggal keluarga. Perlindungan

kenyamanan situasi dan kondisi serta lingkungan sekitar.

Dalam memberikan perlindungan, seorang pemimpin harus

memberikan keamanan dan kenyamanan dalam keluarga sehingga

tidak sepantasnya seorang ayah menyakiti anggota keluarganya baik

secara fisik maupun psikis. Seorang pemimpin juga hendak nya

mampu melindungi keluarganya dari ancaman yang datang dari luar.

Oleh karena itu, seorang kepala keluarga hendaknya mengatur waktu

untuk pekerjaan dan untuk keluarga karena bagaimanapun keluarga

sudah menjad tanggungannya baik di dunia maupun di akhirat.

6) Fungsi sosialisasi anak

Sebagai mahluk individu, manusia juga merupakan mahluk

sosial yang tidak dapat hidup sendiri untuk memenuhi semua


kebutuhan hidupnya. Dalam keluarga, anak pertama kali hidup

bersosialisasi. Anakmulai belajar berkomunikasi dengan orang tuanya

melalui pendengaran dan gerakan atau isyarat hingga anak mampu

berbicara.

7) Fungsi rekreasi

Rekerasi merupakan salah satu hiburan yang baik bagi jiwa dan

pikiran. Rekreasi dapat menyegarkan pikiran, menenangkan jiwa, dan

lebih mengakrabkan tali kekeluargaan. Rekreasi tidak harus ketempat

yang mewah, ramai, jauh dan menghabiskan banyak uang. Rekreasi

bersama keluarga dapat dilakukan di tempat yang meringankan

keuangan (anggaran/biaya) tetapi bermanfaat banyak. Rekreasi di

outdoor ( luar rumah atau gedung ) seperti taman atau pemandangan

yang indah, baik pegungungan ataupun laut dapat dijadikan alternatif

untuk menyegarkan pikiran, jiwa, dan menambah eratnya ikatan

keluarga.

8) Fungsi agama

Fungsi agama dilaksanakan melalui penanamna nilai-nilai

keyakinan berupa iman dan takwamengajarkan kepada anggota

keluarga untuk selalu menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa

dan menjauhkan larangan-nya. Pembelajaran dapat dilaksanakan

dengan metode pembiasaan dan peneladanan.


2. Masalah dalam keluarga

a. Definisi kecacatan anak

Kecacatan adalah adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi

yang secara objektif dapat diukur/dilihat, karena adanya

kehilangan/kelainan dari bagian tubuh/organ seseorang. Misalnya, tidak

adanya tangan, kelumpuhan pada bagian tertentu dari tubuh. Kecacatan

ini bisa selalu pada seseorang, yang dapat menghasilkan perilaku-perilaku

yang berbeda pada individu yang berebeda, misalnya kerusakan otak dapat

menjadikan individu tersebut cacat mental, hiperkatif, buta, dan lain-lain

(Mangunsong, 1998). UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 1

menyebutkan bahwa definisi penyandang cacat  adalah setiap orang yang

mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau

merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara

selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat

mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).

 Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan

definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu:  impairment,  disability, dan

handicap. Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau

hilangnya struktur atau fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan

disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya

impairment  untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap

normal bagi manusia. Adapun  handicap, merupakan keadaan yang

merugikan bagi seseorang akibat adanya  impairment, disability  yang


mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia,

jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.  

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam


berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya
kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda,
batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan
keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4)
Tidak (kurang sempurna). 

b. Data kecacatan anak

Berdasarkan data BPS Kota Semarang di tahun 2009, tercatat jumlah

penyandang cacat secara keseluruhan 1570 jiwa dan terus meningkat, dari

jumlah tersebut 33.9% adalah penyandang cacat fisik dan 18.6% adalah

penyandang cacat mental. Kebijakan pemerintah dalam penanganan

penyandang cacat tertuang dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997

tentang penyandang cacat, dan peraturan pemerintah nomor 43 tahun

1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang

cacat. Berdasarkan landasan tersebut, dikemukakan bahwa pemerintah dan

masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melakukan

pembinaan demi kesejahteraan penyandang cacat. Pemerintah dalam

menjalankan tugas tersebut memberikan kesempatan yang seluas-luasnya

kepada masyarakat untuk bersama-sama melakukan kegiatan peningkatan

kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat.

Permasalahan penyandang cacat timbul karena adanya gangguan pada

fisik mereka yang menghambat aktivitas-aktivitas sosial, ekonomi maupun

politik sehingga mengurangi haknya untuk beraktivitas penuh dalam


segala aspek kehidupan dan penghidupan, untuk memecahkan pokok

permasalahan tersebut diperlukan dua pendekatan dasar yaitu

memberdayakan mereka melalui usaha-usaha rehabilitasi pendidikan,

bantuan usaha, dan sebagainya. Upaya itu akan dicapai kondisi ilmiah,

mental sosial, serta meningkatnya pengetahuan dan keterampilan sebagai

modal dasarnya sehingga nantinya penyandang cacat tidak lagi sebagai

objek, tetapi dijadikan subjek dalam pembangunan. Di samping itu, mereka

juga harus mendapat dukungan lingkungan serta tersedianya aksesibilitas

fisik maupun nonfisik. Aksesibilitas nonfisik yang sangat utama adalah

penerimaan masyarakat yang sampai saat ini masih kurang kondusif.

3. Pendidikan anak dalam keluarga

1. Pengertian pendidikan anak dalam keluarga

Tiga tempat pendidikan yang dapat membentuk anak menjadi manusia

seutuhnya adalah di sekolah, keluarga dan masyarakat. Keluarga adalah

tempat titik tolak perkembangan anak. Peran keluarga sangat dominan

untuk menjadikan anak cerdas, sehat, dan memiliki penyesuaian sosial

yang baik. Keluarga merupakan salah satu faktor penentu utama dalam

perkembangan kepribadian anak, di samping faktor-faktor lainnya.

Menurut William J. Goode dalam Helmawati (2014 : 49) mengemukakan

bahwa keberhasilan atau potensi yang dicapai siswa dalam pendidikannya

sesungguhnya tidak hanya memperhatikan mutu dari insitusi pendidikan

saja, tetapi juga memperlihatkan keberhasilan keluarga dalam


memeberikan anak-anak mereka persiapan yang baik untuk pendidikan

yang dijalani.

Keluarga lingkungan pertama bagi anak. Di dalam lingkungan

keluarga anak pertama-tama mendapatkan berbagai pengaruh ( nilai ).

Oleh karena itu, keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua yang

bersifat informal dan kodrati. Ayah dan ibu dalam keluarga sebagai

pendidiknya, dan anak sebagai si terdidiknya. Jika hanya suatu hal anak

terpaksa tidak tinggal dilingkungan keluarga yang bahagia, anak tersebut

masa depannya akan mengalami kesulitan-kesulitan baik di sekolah,

masyarakat, maupun kelak sebagai suami-istri di dalam lingkungan

kehidupan berkeluarga. Keluarga juga sebagai lingkungan pendidikan

yang pertama sangat berpengaruh dalam membentuk pola kepribadian

anak. Di dalam keluarga anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan

norma. Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan

dasar, agama dan kepercayaan, nilai-nilai moral, norma sosial dan

pandangan hidup yang diperlukan anak.

2. Tujuan pendidikan anak dalam keluarga

1. Memelihara keluarga dari api neraka

Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim (66):6 “ Hai orang-orang yang

beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka “.

Peliharalah dirimu disini tentulah di tujukan kepada orang tua

khususnya ayah sebagai pemimpin dalam keluarga dan ibu berserta

anak-anak sebagai anggota keluarga.


2. Beribadah kepada Allah swt

Manusia diciptakan memang untuk beribadah kepada Allah Swt. Hal

ini sesuai dengan perintah Allah dalam kitab-nya yang mengajurkan

agar manusia beribadah kepada Allah Swt (QS. Al-Dzariyat (51): 56).

Kewajiban beribadah kepada Allah juga terdapat dalam QS. Al-An’am

(6) : 162 menyatakan bahwa sesungguhnya shalatku, hidup dan

matiku hanya untk Allah, Tuhan sekalian alam.

3. Membentuk akhlak mulia

Pendidikan didalam keluarga tentunya menerapkan nilai-nilai atau

keyakinan seperti juga yang ditunjukkan dalam QS. Luqman (31) : 12-

19, yaitu agar menjadi manusia yang selalu bersyukur kepada Allah :

tidak mempersekutukan Allah (keimanan) ; berbuat baik kepada kedua

orang tua ; mendirikan sholat (ibadah); tidak sombong, sederhana

dalam berjalan, dan lunakkan suara ( akhlak/kepribadian).

4. Membentuk anak agar kuat secara individu, sosial, dan profesional

Kuat secara individu di tandai dengan tumbuhnya kompetensi yang

berhubungan dengan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kuat secara

sosial berarti individu terbentuk untuk mampu berinteraksi dalam

kehidupan bermasyarakat. Kuat secara profesioanal bertujuan agar

individu mampu hidup mandiri dengan menggunakan keahliannya

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

3. Analisis pendidikan anak dalam keluarga dalam masalah kecacatan anak

(ABK)
Keluarga menjadi pihak utama yang seharusnya mendukung anak

dengan berkebutuhan khusus untuk hidup dan berkembang sesuai hak

nya, meskipun seringkali kehadirannya dan keberadaan anak

berkebutuhan khusus ditengah keluarga menimbulkan problem yang

cukup berat. Fase tidak menerima yang di tandai dengan shock,

ketidakpercayaan akan kenyataan, pengabaian, dan rasa marah kerapkali

menjadi peransaan yang dialami orang tua ketika mengetahui anaknya

berkebutuhan khusus (Janeth W. Lerner : 153). Kondisi tidak menerima

tersebut akan menjadikan pola asuh terhadap anak berkebutuhan khusus

menjadi tidak maksimal. Memiliki anak berkebutuhan khusus diakui

merupakan tantangan yang cukup berat bagi banyak orangtua. Tidak

sedikit yang mengeluhkan bahwa merawat dan mengasuh anak

berkebutuhan khusus membutuhkan tenaga dan perhatian yang ekstra

karena tidak semudah saat melakukannya pada anak-anak normal. Namun

demikian, hal ini harus dapat disikapi secara positif, agar selanjutnya

orangtua dapat menemukan langkah-langkah yang tepat untuk

mengoptimalkan perkembangan dan berbagai potensi yang masih dimiliki

oleh anak-anak tersebut. Terlebih pada prinsipnya, meskipun memiliki

keterbatasan, bukan berarti tertutup sudah semua jalan bagi anak

berkebutuhan khusus untuk dapat berhasil dalam hidupnya dan menjalani

hari-harinya tanpa selalu bergantung pada orang lain. Di balik kelemahan

atau kekurangan yang dimiliki, anak berkebutuhan khusus masih memiliki

sejumlah kemampuan atau modalitas yang dapat dikembangkan untuk


membantunya menjalani hidup seperti individu-individu lain pada

umumnya.

Keluarga dalam hal ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam

kehidupan anak berkebutuhan khusus. Menurut Heward (2003) dalam

Hendriyani (2011) menyatakan bahwa “ efektivitas berbagai program

penanganan dan peningkatan kemampuan hidup anak berkebutuhan

khusus akan sangat ditentukan oleh peran serta dan dukungan penuh dari

keluarga, sebab keluarga adalah pihak yang mengenal dan memahami

berbagai aspek dalam diri seseorang dengan jauh lebih baik daripada

orang-orang yang lain”.

Di samping itu, dukungan dan penerimaan dari orangtua dan anggota

keluarga yang lain akan memberikan ‘energi’ dan kepercayaan dalam diri

anak berkebutuhan khusus untuk lebih berusaha mempelajari dan

mencoba hal-hal baru yang terkait dengan ketrampilan hidupnya.

Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan yang diterima dari

orang-orang terdekat akan membuat mereka semakin rendah diri dan

menarik diri dari lingkungan, enggan berusaha karena selalu diliputi oleh

ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan

sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar menjadi orang yang tidak

dapat berfungsi secara sosial serta selalu tergantung pada bantuan orang

lain, termasuk dalam merawat diri sendiri.

Hal lain yang juga tidak kalah penting untuk dipahami adalah bahwa

pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak berkebutuhan khusus

pada dasarnya tidak selalu identik dengan dana yang besar. Cukup banyak
keluarga khusus yang “berhasil” ternyata memiliki kondisi ekonomi yang

terbatas. Namun demikian kehidupan yang sederhana tersebut tidak

mengurangi kebersamaan dan komunikasi yang saling dukung antar

anggota keluarga, sehingga sejalan dengan pernyataan Heward (2003)

dalam Hendriyani (2011) bahwa dalam sebuah keluarga yang kondusif,

yang diantara anggota-anggotanya memiliki kedekatan emosional serta

sifat yang komunikatif satu sama lain, akan tersedia berbagai macam

dukungan untuk mengatasi hambatan perkembangan yang dialami oleh

anak. Mereka akan dapat memilih cara yang tepat, sesuai dengan

karakteristik anak, kondisi dan kemampuan keluarga itu sendiri, sehingga

treatmen yang dilakukan dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil

yang maksimal, sekalipun treatmen tersebut hanya berupa aktivitas-

aktivitas yang sederhana.

4. Perkembangan anak usia dini (Sosial)

a. Pengertian perkembangan sosial

Perkembangan Sosial Merupakan Pencapaian Kematangan

Dalam Hubungan Sosial. Proses Belajar Untuk Menyesuaikan Diri

Terhadap Norma-Norma Kelompok, Moral Dan Tradisi , Meleburkan

Diri Menjadi Satu Kesatuan Dan Saling Berkomunikasi Dan Kerjasama.

Menurut saya dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

perkembangan sosial adalah proses dimana anak dapat berinteraksi

dengan lingkungan dan temanya. Jika anak mempunyai sosial yang


baik maka anak akan mudah berinteraksi dengan baik dan dapat

menghargai dan menyayangi temannya.

b. Indikator perkembangan anak

Indikator perkembangan anak usia 4-5 tahun :

1. Moral dan nilai agama

a. Dapat mengucapkan bacaan doa

1). Mengenal Tuhan melalui agama yang dianutnya

2). Berdoa sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan

3) Memimpin doa

b. Dapat menyanyikan lagu-lagu keagamaan

1). Menyanyikan lagu-lagu keagamaan yang sederhana

c. Dapat mengenal bermacam-macam agama

1). Menyebutkan tempat-tempat agama

d. Dapat melaksanakan gerakan ibadah secara sederhana

1). Melaksanakan gerakan ibadah secara sederhana namun

masih perlu bimbingan

e. Dapat menyebutkan hari-hari agama

1). Menyebutkan hari-hari besar agama

f. Dapat mengenal dan menyayangi ciptaan tuhan

1). Menyebutkan ciptaan-ciptaan Tuhan, misal: Manusia, bumi,

langit, tanaman, dan hewan.

2). Menyiram tanaman, memberi makan binatang

3). Mau menolong teman

4). Menghargai teman


5). Mau membagi miliknya, misal: makanan, mainan, dll.

6). Meminjamkan miliknya dengan senang hati

h. Memiliki rasa sopan santun dan saling menghormati sesama

1). Bersikap ramah

2). Mengucapkan salam

3). Meminta tolong dengan baik

4). Berterima kasih jika memperoleh sesuatu.

5). Meminta maaf jika melakukan kesalahan

6). Berbahasa sopan dalam berbicara

7). Mampu menyapa sapaan dengan ramah

8). Mau mengalah dan mendengarkan orang tua atau teman

berbicara

9). Tidak menganggu temannya

2. Sosial emosional dan kemandirian

a. Dapat berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa

1). Mulai mengajak teman untuk bermain, meminta izin bila

menggunakan barang orang lain.

2). Mau berkerja sama dalam kelompok ketika melakukan

kegiatan.

3). Berani bertanya dan menjawab pertanyaan, berbicara

dengan teman sebaya tentang rencana dalam bermain (misalnya

membuat aturan bermain).

4). Berkomunikasi dengan orang-orang yang ditemuinya,

mendengar dan bebicara dengan orang dewasa.


5). Mengadukan masalah kepada orang orang dewasa ketika

mengalami keteidaknyaman dengan temannya.

6). Mau menyapa teman dan orang dewasa.

b. Dapat menjaga keamanan diri sendiri

1). Menghindari benda-benda berbahaya

c. Menunjukkan rasa percaya diri

1). Menunjukkan kebanggaan terhadap hasil karyanya.

d. Dapat menunjukkan kemandirian

1). Memasang kancing atau resleting sendiri, memasang dan

membuka tali sepatu sendiri.

2). Mampu makan sendiri, berani pergi dan pulang sendiri (bagi

yang dekat dengan sekolahnya).

3). Mampu memilih benda untuk bermain, mampu mandi

sendiri tanpa bantuan orang dewasa.

4). Mampu mengerjakan tugas sendiri, bermain sesuai dengan

permainan yang dipilihnya.

5). Mengurus dirinya sendiri dengan bantuan misalnya

berpakaian.

e. Mulai dapat menunjukkan emosi yang wajar

1). Mampu berpisah dengan ibu tanpa menangis

2). Dapat di bujuk agar tidak cengeng lagi dan berhenti bermain

pada waktunya.

f. Mulai menunjukkan sikap kedisplinan


1). Melaksanakan tata tertib yang ada, mengikuti aturan

permainan.

2). Mengembalikan alat permainan pada tempatnya, sabar

menunggu giliran (sabar mengantri).

3). Berhenti bermain pada waktunya.

g. Mulai dapat bertanggung jawab

1). Melaksanakan tugas yang diberikan, dan menyelesaikan

tugas-tugas yang diberikan.

2). Menjaga barang milik sendiri dan orang lain. Mnggunakan

barang orang lain dengan hati-hati.

3. Bahasa

a. Dapat mendengarkan, membedakan dan mengucapkan

bunyi/suara tertentu.

1). Menyebutkan berbagai bunyi atau suara tertentu, menirukan

kembali 3-4 urutan kata.

2). Menyebutkan kata-kata dengan suku kata awal misalkan

nama-sama, melakukan 2-3 perintah secara sederhana.

3). Mendengarkan cerita dan menceritakan kembali isi cerita

secara sederhana.

b. Dapat berkomunikasi berbicra secara lisan

1). Menyebutkan nama sendiri, nama orang tua, jenis kelamin,

alamat rumah, secara sederhana, menceritakan

pengalaman/kejadian secara sederhana.


2). Menjawab pertanyaan tentang keterangan/informasi secara

sederhana.

c. Dapat memperkaya kosa-kata yang diperlukan untuk

berkomunikasi sehari-hari.

1). Menyebutkan bermacam-macam kata benda yang ada

dilingkungan sekitar, menyebutkan waktu (pagi, siang, sore).

d. Dapat menciptakan gambar (pra membaca).

1). Bercerita tentang gambar yang disediakan atau yang dibuat

sendiri, mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri

sederhana (3-4 gambar).

2). Menghubungkan gambar dengan benda atau kata.

e. Dapat mengenal hubungan antara bahasa lisan dan tulisan

(pramenbaca).

1). Membaca gambar yang memiliki kata/sifat sederhana,

menceritakan isi buku walaupun tidak sama antara rulisan dan

yang diungkapkan.

f. Dapat mengenal bentuk-bentuk simbol sederhana

(pramennulis).

1). Menghubungkan tulisan sederhana dengan simbol yang

melambangkan.

4. Kognitif

a. Dapat mengenal klasifikasi warna.


1).  Mengelompokkan benda dengan berbagai cara yang

diketahui anak. Misalnya: Menurut warna, bentuk, ukuran,

jenis, dll.

2).  Menunjuk sebanyak-banyaknya benda, hewan, tanaman

yang mempunyai warna, bentuk atau ukuran atau menurut

ciri-ciri tertentu.

b. Dapat mengenal konsep-konsep sains sedrhana.

1).  Mencoba dan menceritakan apa yang terjadi jika: warna

dicampur, proses pertumbuhan tanaman ( biji-bijian, umbi-

umbian, batang-batangan) balon ditiup lalu dilepaskan, benda-

benda dimasukkan ke dalam air(terapung, melayang,

tenggelam, benda-benda yang dijatuhkan (gravitasi), percobaan

dengan magnit, mengamati dengan kaca pembesar mencoba

dan membedakan bermacam-macam rasa, bau dan suara.

c. Dapat mengenal bilangan.

1). Membilang/menyebut urutan bilangan minimal dari

1  sampai 10, membilang dengan menunjuk benda

(mengenal konsep bilangan dengan benda-benda sampai 5.

2).  Menunjukkan urutan benda untuk bilangan 1 sampai 5,


mengenal konsep banyak - sedikit, lebih – kurang, sama – tidak
sama.

3). Menghubungkan / memasangkan lambang bilangan dengan


benda- benda sampai 5 ( anak tidak disuruh menulis),
menunjuk 2 kumpulan benda yang sama jumlahnya, yang tidak
sama, lebih banyak dan lebih sedikit.
4). Menyebutkan hasil penambahan (menggabungkan 2
kumpulan benda),  menyebutkan hasil pengurangan
(memisahkan kumpulan benda) dengan benda sampai 5.

d. Dapat mengenal bentuk geometri.

1). Mengelompokkan bentuk-bentuk geometri (lingkaran,


 

segitiga, segiempat),  menyebutkan kembali benda-benda yang

menunjukkan bentuk-bentuk geometri.

e. Dapat memecahkan masalah sederhana.

1). Mengerjakan maze (mencari jejak) yang sederhana,

menyusun kepingan puzzel menjadi bentuk utuh (4 – 6 keping).

2). Mencari lokasi tempat asal suara, memasang benda sesuai

dengan pasangannya.

3). Mencari lokasi tempat asal suara,  memasang benda sesuai

dengan pasangannya.

4).  Menceritakan kembali suatu informasi berdasarkan

ingatannya, membedakan konsep kasar – halus melalui panca

indera.

f. Dapat mengenal konsep ruang dan posisi.

1). Menyebutkan konsep depan – belakang – tengah, atas –

bawah, luar – dalam, pertama – terakhir – diantara, keluar –

masuk, naik – turun, maju – mundur.

g. Dapat mengenal ukuran.

1).    Membedakan konsep panjang-pendek, jauh-dekat melalui

mengukur dengan satuan tak baku (langkah, jengkal, benang

atau tali),  membedakan konsep berat – ringan, gemuk-kurus


melalui menimbang benda dengan timbangan buatan dan

panca indera.

2).  Membedakan konsep penuh-kosong melalui mengisi wadah

dengan air, pasir, biji-bijian, beras,  membedakan konsep tebal –

tipis.

3).   Membedakan konsep tinggi – rendah,  membedakan konsep

besar – kecil, membedakan konsep cepat – lambat.

h. Dapat mengenal konsep waktu.

1).  Membedakan waktu (pagi, siang, malam), menyebutkan

nama-nama hari dalam satu minggu, bulan dan tahun.

i. Dapat mengenal berbagai pola.

1). Memperkirakan urutan berikutnya setelah melihat bentuk 2

pola yang berurutan. Misalnya merah, putih, merah, putih,

merah,  meronce dengan merjan.

j. Dapat konsep pengetahuan sosial sederhana.

1).  Menceritakan letak  lokasi dari rumah  ke sekolah, mengenal

berbagai macam profesi (Contoh: Dokter, polisi, dll.)

2). Mengenal berbagai macam alat angkutan sederhana

(Contoh: Mobil; motor, dll.)

5. Fisik/motorik

a. Dapat melakukan gerakan ditempat (gerak dasar non

lokomotor)

1). Memutar dan mengayunkan lengan, meliukkan tubuh.


2).  Membungkukkan badan, senam fatansi bentuk meniru

(misal: menirukan berbagai gerakan hewan, menirukan gerakan

tanaman, yang terkena angin sepoi-sepoi, angin kencang dan

kencang sekali dengan lincah.

b. Dapat melakukan gerak berpindah tempat sederhana (gerak

dasar lokomotor).

1). Berjalan ke berbagai arah dengan berbagai cara, misalnya;

berjalan maju di atas garis lurus, berjalan di atas papan titian,

berjalan ke depan dengan tumit, berjalan ke depan jinjit (angkat

tumit), berjalan mundur dan melompat ke berbagai arah

dengan satu atau dua kaki.

2). Meloncat dari ketinggian 20-30 cm, memanjat,

bergelantung, dan berayun.

3). Berdiri dengan tumit,  berlari kemudian melompat dengan

seimbang tanpa jatuh.

4). Berlari dengan berbagai variasi (menyamping, ke depan dan

ke belakang), merayap dengan berbagai variasi.

5).  Merangkak dengan berbagai variasi, menaiki benda beroda

(Contoh: menaiki sepeda roda dua dengan bantuan roda kecil

dua).

c. Dapat melakukan gerakan jari tangan, untuk kelenturan otot

(motorik halus).
1).   Membuat berbagai bentuk dengan menggunakan plastisin,

playdough/tanah liat, meremas kertas/koranmeremas parutan

kelapa dll.

2).  Menjiplak dan meniru membuat garis tegak, datar, miring,

lengkung, dan lingkaran, meniru melipat kertas sedehana (1-4

lipatan).

3). Merekat/menempel, menyusun berbagai bentuk dengan

balok.

4).  Memegang pensil (belum sempurna), meronce dengan

manik-manik.

d. Dapat melakukan koordinasi mata-tangan.

1).   Mengurus dirinya sendiri dengan sedikit bantuan. Misal

makan, mandi, menyisir rambut, mencuci,

menggosok/membersihkan sepatu, mengikat tali sepatu,

mengkancingkan baju, membuka risleting jaket, menggunting

sesuai bentuk melingkar, zigzag, dll.

2). Menjahit jelujur 10 lobang dengan tali sepatu,

melambungkan dan menangkap objek (bola besar).

3).  Memantulkan bola besar pada posisi diam di tempat,

memantulkan objek (bola besar) sambil berjalan/bergerak.

6. Seni

a. Dapat menggambar sederhana.


1). Menggambar bebas dengan berbagai media (pensil warna,

krayon, arang dll), menggambar bebas dari bentuk lingkaran

dan segiempat.

2).   Menggambar orang dengan lengkap dan sederhana.,

mencap dengan berbagai media (pelepah pisang, batang pepaya,

karet busa dan Mencetak berbagai media (pasir, adonan

tepung).

b. Dapat mewarnai sederhana.

1). Mewarnai bentuk gambar sederhana, mewarnai bentuk-bentuk geometri


dengan ukuran besar.

c. Dapat menciptakan sesuatu dengan berbagai media.

1).  Menyusun  bentuk-bentuk bangunan sederhana dari balok,

menyusun bentuk dari kepingan geometri yang sederhana.

2). Merangkai bentuk dengan lidi, membatik dan jumputan

sederhana.

3). Mencocok dengan pola buatan guru, bermain warna dengan

berbagai media. Misalnya : krayon, cat air, dll.

4).   Melukis dengan jari (finger painting), membuat bunyi-

bunyian dengan berbagai alat.

5).  Membuat alat perkusi sederhana (misalnya membuat,

krincingan dari tutup botol).

6).   Bertepuk tangan dengan 2 pola untuk membuat irama.

d. Dapat mengekspresikan diri dalam bentuk gerak sederhana.


1).  Menggerakkan kepala, tangan atau kaki mengikuti irama

musik/ritmik, mengekspresikan diri secara bebas sesuai  irama

musik.

e. Dapat menyanyi dan memainkan alat musik sederhana.

1). Menyanyikan lagu secara lengkap, menyanyikan beberapa

lagu  anak-anak.

2).   Mencipta, mengarang syair lagu,  bermain dengan berbagai

alat musik perkusi sederhana.

3). Mengucapkan syair dari berbagai lagu.

c. Analisis perkembangan dengan kecacatan anak.

Anak yang berkebutuhan khusus tentunya memiliki perkembangan

yang terhambat salah satunya yaitu yaitu perkembangan sosial anak

berkebutuhan khusus memiliki rasa tidak percaya diri dan takut akan

keramaian,karena anak berkebutuhan khusus sangat khawatir jika

kehadirannya tidak diterima dilingkungan.

5. Strategi keluarga untuk mengoptimalkan pendidikan anak.

a. Cara keluarga mengatasi kecacatan anak, agar mampu

mengoptimalkan perkembangan anak.

1. Memberikan kasih sayang

2. Mengajak anak untuk selalu bercertita tentang kegiatannya

seharian.
3. Jika didalam bercerita selipkanlah tentang pendidikan dengan cara

tidak memaksa agar anak mendapat pengetahuan yang sama

dengan anak yang normal.

b. Gaya pengasuhan “Parental emotional styles”.

Gaya pengasuhan pelatihan emosi dianggap baik untuk

meningkatkan perkembangan sosial emosional anak. Menurut Gottman

dan declaire (1997) dalam Elmanora (2012) , menyatakan bahwa gaya

pengasuh pelatih emosi (emotional coaching) adalah gaya pengasuhan

gaya orang tua yang memerhatikan emosi anak. Dampak penggunaan

gaya pengasuhan pelatih emosi anak adalah anak belajar untuk

mempercayai peransaan mereka, mereka mengatur emosi mereka

sendiri, dan belajar menyelesaikan masalah. Anak yang dihasilkan dari

gaya pengasuhan pelatih emosi ini adalah anak memiliki rasa percaya

diri yang tinggi, belajar dengan baik, dan bergaul dengan baik dengan

dengan baik dengan orang lain (gottman dan declaire 1997).

c. Metode pengasuhan “Penerapan disiplin”.

Dengan menerapkan metode pengasuhan penerapan disiplin ini

adalah anak jadi bisa disiplin dan menghargai kepercayaan dari kedua

orang tuanya. Anak jadi bisa langsung pulang jika urusan sekolah

sudah selesai dan bila ada kepentingan dan urusan lainnya anak bisa

pulang terlebih dahulu dan meminta izin dengan kedua oarng tua.
SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Anak berkebutuhan khusus (ABK) , adalah anak yang memiliki potensi

yang sangat baik jika selalu ada dampingan dari keluarga dan memberikan

perhatian yang sangat khusus untuknya. Orang tua harus selalu meluangkan

waktu untuk anak nya agar anak merasa selalu dikelilingin orang-oang yang

disayanginya dan tidak merasakan ketakutan karna selalu adanya kenyaman

yang diberkan. Orangtua selalu memberikan stimulus agar anak dapat

mengembangkan potensi yang dimilikinya tanpa rasa malu, takut dan tidak

percaya diri. Orang tua juga dapat memahami perilaku anak melalui diskusi.

2. Saran

Yang harus dilakukan orang tua untuk mengoptimalkan

perkembangan anak dengan cara memfasilitasi anak dengan berbagai alat

yang dibutuhkan oleh anak. Dengan berbagai fasilitas yang diberikan kepada

anak bisa mengembangkan potensinya dan ilmu yang dimilikinya.


DAFTAR PUSTAKA

Alimin , Zaenal, 2004. Anak Berkebutuhan khusus.

Jur._pend._luar_biasa/195903241984031. Hal 1

Anggraini, Rizki, R, 2013. Presepsi Orangtua Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

Jur-Unp.

Aziz, Safrudin, 2015. Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Penerbit

Gava Media.

Bethayana, Berlianingtyas, R, 2007. Deskripsi Karakteristik Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) Di Sekolah Inklusi. Naskah-publikasi-03320054.

Elmanora, 2012. Gaya Pengasuhan dan Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia

Sekolah Pada Keluarga Petani. Jur.llm.kons.128-137.

Hermawati, 2014. Pendidikan Keluarga. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Hendriani, Wiwin, 2011. Dukungan Orangtua Bagi Perkembangan Anak


Berkebutuhan Khusus.
http://wiwinhendriani.com/2011/09/17/dukungan-orangtua-sebagai-
determinan-sosial-bagi-perkembangan-anak-berkebutuhan-khusus/

Kay, Janet, 2013. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta : Penerbit Kanisius (anggota

IKAP).

Mahabati, Aini, 2009. Jurnal Pendidikan Khusus (JPK), Jur_pola-asuh0001.

Prihatin, Eka. 2005. Analisis Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PADU). Jur-Upi.
Setiawan, Atang, _______. Konsep Perkembangan Sosial.

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/19560412198

3011-

ATANG_SETIAWAN/PERKEMBANGAN_ABK/PERKEMBANGAN_SOSIAL.p

df

__________, 2013. Orang Tua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus. ____ :_______.

__________, 2013. Indikator Pendidikan Anak Usia Dini Usia 3-4 tahun.

http://kurikulumpaud.blogspot.com/2013/07/indikator-paud-kelompok-usia-

4-5-tahun.html.

__________, 2015. Pengertian Kecacatan Definisi Faktor Keluarga dan Hambatan


Tuna Dasa. http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-
kecacatan-definisi-faktor.html.

Anda mungkin juga menyukai